Anda di halaman 1dari 5

POLITIK UANG DAN “SERANGAN FAJAR”

Oleh : Erwin Andre Anto (1931210039)

1B D3 Teknik Mesin, Jurusan Teknik Mesin, Politeknik Negeri Malang

ABSTRAK

Korupsi merupakan salah satu kata yang cukup populer di masyarakat dan telah
menjadi tema pembicaraan sehari-hari. Namun demikian, ternyata masih banyak masyarakat
yang belum mengetahui apa itu korupsi. Pada umumnya, masyarakat memahami korupsi
sebagai sesuatu yang merugikan keuangan negara semata. Pada saat ini, paradigma (kerangka
berpikir) dalam masyarakat bahwa korupsi selalu terjadi akibat lemahnya sistem hukum dalam
suatu negara dan kekuasaan yang dominan.

PENDAHULUAN

Dari berbagai jenis korupsi yang diatur dalam undang-undang, gratifikasi merupakan
suatu hal yang relatif baru dalam penegakan hukum tindak pidana korupsi di Indonesia.
Gratifikasi adalah pemberian dalam arti luas yang meliputi pemberian uang tambahan (fee),
hadiah uang, barang, rabat (diskon), komisi pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas
penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya. tilah gratifikasi
secara jelas dan gamblang kita temukan dalam Pasal 12B dan Pasal 12C Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20
Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor).

PEMBAHASAN

Dilihat dari aspek strategi pemberantasan korupsi, ketentuan tentang gratifikasi


sesungguhnya berada pada dua ranah sekaligus, yang tidak hanya dari aspek penindakan, akan
tetapi memiliki dimensi pencegahan yang kuat.

Dari aspek pencegahan ditekankan pada beberapa hal, yaitu:


1. Pengendalian lingkungan yang berintegritas di kementerian, institusi Negara dan
sektor swasta melalui pelaporan gratifikasi dan pencegahan korupsi;
2. Mencegah adanya konflik kepentingan dalam pelaksanaan tugas pelayanan publik atau
tugas lainnya dari pegawai negeri dan penyelenggara Negara;
3. Membangun budaya transparansi, akuntabilitas dan integrtitas;
4. Perlindungan hukum terhadap pelapor; dan,
5. Pemetaan area rawan gratifikasi untuk kepentingan pencegahan korupsi.

Akan tetapi, dalam praktek, seringkali ditemukan upaya pembenaran terhadap


penerimaan gratifikasi. Berkembangnya adagium “tidak boleh menolak rejeki” semakin
memperkuat kebiasaan tersebut hingga nyaris menjadi perilaku keseharian, termasuk dalam
pelayanan publik di masyarakat. Seperti halnya saat akan diadakannya pemilu, entah itu
pelilihan kades, DPR atau pun caleg. Umumnya gratifikasi sering terlihat pada pemilihan
ketua desa atau pun anggota DPR/DPRD, biasanya disebut dengan “ Serangan Fajar”

Disebut serangan fajar karena para pelaku memberikan uang saat pemilu akan segera
dimulai dengan mengharapkan masyarakat memilih mereka dan sebagai imbalannya mereka
memberi sejumlah uang pada masyarakat sebagai tanda terima kasih karena telah memilih
mereka.
Dari sudut pandang pelaku ragam sebutan gratifikasi tersebut sesungguhnya dilihat sebagai
biaya tambahan, yang memicu fenomena ekonomi biaya tinggi. Hal ini terjadi hampir di
semua ruang gerak pelaku yang bersinggungan dengan tugas dan fungsi institusi pemerintah.
Biaya tambahan seperti ini tentu saja berimplikasi pada harga sebuah produk hingga sampai di
tangan konsumen. Dengan kata lain, masyarakat sebagai konsumen akhir yang menanggung
“biaya gelap”.

Sebagai contoh Penangkapan seorang anggota legislatif oleh Komisi Pemberantasan


Korupsi (KPK) bersama dengan uang lebih dari Rp8 miliar yang diduga akan digunakannya
untuk 'serangan fajar' dalam pemilu legislatif (pileg) mendatang, disebut pengamat
menunjukkan bahwa pemilu kali ini juga akan diwarnai politik uang.
Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) mencatat, potensi kecurangan pemilu
bisa dikontribusikan oleh perilaku kompetisi yang pragmatis, di tengah suasana kompetisi
yang sangat kompetitif, apalagi dalam pileg.
Serangan fajar dapat dilakukan kaan saja, Salah satu titik yang paling rawan adalah
ketika hari tenang, justru mereka bergerilya karena tiga hari terakhir itu lah kesempatan
terakhir mereka untuk meyakinkan target pemilih. Entah itu secara langsung maupun tidak
langsung,

Siapa yang tidak tergiur dengan cara di iming iming dengan diberikan sejumlah uang
tanpa harus repot kerja, hanya dengan cara mencoblos partai mereka saat pemilu.
Banyak orang yang tergiur akan rayuan itu, ada juga yang tidak.
Mereka yang tergiur merupakan mereka yang kalangan masyarakat yang kurang
memperhatikan akan perembagan politik. Mereka tidak peduli dengan keadan politik negara.
Mereka hanya ingin enaknya saja, ketika ada yang korupsi mereka marah padahal mereka
sendiri yang memilih partai tersebut sebagai wakil rakyat. Saat ini suara rakyat murah dan
mudah dibeli oleh para pelaku politik uang.

Sementara, dalam jangka panjang, politik uang adalah cikal bakal praktik korupsi
politik. "Karena biaya politik yang tinggi, kemudian pejabat politik itu ketika menjabat akan
berpikir bagaimana mengembalikan uang yang sudah dikeluarkan begitu besar pada proses
kontestasi. ya ujungnya bancakan uang negara dan uang proyek,"

Politik uang lahir karena ketidakpercayaan kandidat dan tim sukses bahwa mereka
bisa menang dengan cara-cara jujur. Selain itu, masalah itu muncul lantaran persoalan dari
parpol, khususnya dalam konteks rekrutmen pejabat publik. Proses rekrutmen yang tidak
mengandalkan kapasitas dan rekam jejak yang jelas, menurut Almas, melahirkan calon-calon
yang instan, yang tidak hanya cukup memasang baliho yang banyak untuk menarik suara
pemilih. Caleg yang instan menurut kami akan cenderung melahirkan praktik jual beli suara,
apalagi kalau mereka sudah caleg instan, dan mengutamakan modal yang besar

Faktor lain, yang memicu politik uang adalah, pendidikan politik di Indonesia yang
masih rendah. Sehingga pemilih belum teredukasi secara maksimal tentang pentingnya
pemilu, pentingnya memilih calon yang baik dalam pemilu dan apa konsekuensi dari politik
uang.

Masalah yang akan lahir dari politik uang. Pertama, itu akan mencederai kedaulatan
pemilih, karena seharusnya mereka bisa melakukan pertimbangan yang lebih baik, kemudian
dicederai dengan uang. Kedua, ini akan membuat biaya pemilu semakin mahal dan nanti akan
ada korelasinya dengan korupsi politik
Meskipun politik uang sudah dilarang tegas dalam peraturan dan termasuk tindak
gratifikasi, tetapi masih banyak pelaku yang melakukannya secara sembunyi sembunyi dan
rahsia. Mereka menggoda masyarakat dengan mengiming iming mereka. Misal denga cara
akan membangunkan tempat wisata di desa tersebut jika masyarakat memilih partai terebut
dan partai tersebut menang pemilu. Banyak cara yang dilakukan oleh para oknum oknum
politik. Dari bentuk pemberiannya, tidak hanya dalam bentuk tunai, tapi banyak juga
diberikan dalam bentuk voucher."Karena mereka masih berpikir 'yang nggak boleh kan politik
uang', bukan memberikan barang,"

Upaya preventif pencegahan politik uang dan serangan fajar

sebenarnya upaya preventif pertama ada pada partai politik (parpol) sebagai
perekrut pertama para wakil rakyat sebelum di-endorse oleh rakyat. Jika partai politik
masih melakukan praktik mahar dan politik uang (money politic) maka tentu saja akan
sangat berpengaruh pada strategi pemenangan kadernya, termasuk dengan melakukan
serangan fajar.

sebaliknya, jika parpol mengharamkan segala bentuk praktik politik uang maka
tentu praktik serangan fajar tidak akan terjadi dan para wakil rakyat akan berusaha
dipilih dengan memahami aspirasi para konstituennya utuk dikemas dalam kampanye
sehat untuk melahirkan demokrasi yang berkualitas.

Di sisi lain masyarakat juga perlu tegas untuk menolak segala bentuk praktik
politik uang, termasuk serangan fajar. Betapapun menggiurkan tawaran serangan fajar,
masyarakat harus menjaga harkat dan martabat demokrasi dengan tidak memberikan
ruang bagi serangan fajar.

Jika masyarakat sebagai pemilih tidak memberikan ruang bagi praktik serangan
fajar, maka dengan demikian mengacu pada hukum supply and demand, praktik
serangan fajar akan punah dengan sendirinya dan kualitas demokrasi semakin
meningkat. Pemilih akan menentukan preferensi pilihan berdasarkan program para
waikl rakyat yan mampu menyerap aspirasinya.
KESIMPULAN

Masyarakat yang cerdas dalam suatu negara wajib dibutuhkan karena dengan
demikian akan menjadi pengawas dalam menjalankan suatu negara. Penigkatan pendidikan
ini wajib dilaksanakan. Dengan demikian, selain para wakil rakyat yang terpilih benar-benar
mewakili rakyat, tentunya wakil rakyat yang terpilih benarbenar memperjuangkan aspirasi
rakyat yang menjadi amanah dan tanggung jawabnya. Tanpa serangan fajar, demokrasi akan
lebih murni dan menghasilkan wakil rakyat yang berkualitas baik secara integritas maupun
akuntabilitas. Satu hal yang pasti, tanpa serangan fajar akan terbangun relasi yang lebih
berkualitas antara konstituen dan para wakilnya di parlemen karena relasi tersebut
mendasarkan pada keterwakilan aspirasi dan program.

Anda mungkin juga menyukai