Anda di halaman 1dari 4

NAMA : MIFTAHUL FIRDAUS

INTANSI : STAI
JUDUL OPINI : POLITIK UANG

Politik uang

Dalam sebuah Pemilihan Umum adalah proses melibatkan warga negara ke dalam proses
pemerintahan. Warga negara dilibatkan secara aktif untuk menentukan siapa yang berhak
mengendalikan pemerintahan dalam periode waktu tertentu. Proses dari mengendalikan
adanya kedaulatan di tangan rakyat. Rakyat yang berdaulat berhak menentukan siapa yang
memegang kekuasaan dan mengatur kehidupan warga negara. Kedaulatan rakyat ini
diserahkan sebagian saja kepada para penguasa. Karena sejatinya, kedaulatan rakyat yang
sesungguhnya tetap ada ditangan rakyat. Penguasa memiliki legitimasi memerintah dan
menjalankan kekuasaan sepanjang tidak merugikan kepentingan rakyat yang menyerahkan
sebagian kedaulatannya tersebut. Penyerahan sebagian kedaulatan itu melalui prosesi pemilu.
Rakyat yang telah menyerahkan sebagian kedaulatannya itu pada dasarnya masih bisa dan
harus mengontrol jalannya pemerintahan sehari-hari di luar prosesi pemilu. Kedaulatan untuk
mengawasi jalannya pemerintahan ini bisa dilakukan secara langsung atau tidak langsung
seperti melalui partai politik atau organisasi masyarakat sipil.

Pada titik inilah menjadi persoalan krusial ketika proses penyerahan sebagian kedaulatan
untuk memerintah dan menjalankan pemerintahan dilakukan melalui proses transaksi yang
bernama jual beli suara atau biasanya disebut money politic. Money Politic atau jual beli
suara pada dasarnya adalah membeli kedaulatan rakyat. Selain itu, rakyat yang menerima
uang sebenarnya menggadaikan kedaulatannya untuk masa waktu tertentu. Jika kita
menggadaikan kedaulatan kita kepada penguasa maka pada dasarnya kita tidak bisa
mengklaim kedaulatan itu kembali. Setidaknya kita tidak punya hak untuk menuntut
penguasa memberikan perhatian kepada kepentingan dan kebutuhan kita, karena kita sudah
menerima imbalan atas legitimasi yang sudah kita berikan kepada mereka para penguasa.
Konsekuensinya, kita tidak berhak marah apabila mereka para penguasa korupsi, atau
menyalah gunakan jabatannya untuk memperkaya diri sendiri atau kelompoknya. yang
ditimbulkan akibat money politic sesungguhnya mengakibatkan hubungan antara rakyat
dengan kuasa menjadi tidak seimbang, menjadi timpang dan menjadikan rakyat tidak berdaya
terhadap penguasa. Ketidak seimbangan ini akan dipertahankan terus, karena menguntungkan
penguasa dan merugikan rakyat. Kepentingan publik menjadi tidak relevan dibicarakan
karena dijadikan kekuasaan dan wilayah private.

Perilaku masyarakat yang cenderung lemah dalam mendapatkan informasi politik menjadi
sasaran utama praktik politik uang. Di Daerah-daerah sudah menciptakan korupsi politik ini
telah menjadi budaya masyarakat Indonesia dalam setiap perhelatan pemilu/pilkada/pilkades.
Tentu, perlu adanya upaya untuk mencegah peraktik politik uang dan menyadarkan
masyarakat bahwa praktik politik uang merupakan praktik yang merugikan masyarakat dalam
jangka panjang. Selain itu, praktik politik uang ini menjadi corong utama penyebab
munculnya pemimpin yang korup dan tidak pro terhadap rakyat. Maka menyadarkan
masyarakat untuk melakukan perlawanan politik uang ini sangat penting untuk memposisikan
masyarakat sebagai good citizen. Serta memposisikan masyarakat sebagai kontrol roda
pemerintahan. Dampak korupsi dalam pemilu sangat beragam. Salah satu contohnya ialah
ketika politisi yang terpilih dengan cara korup, maka dapat dipastikan akan melakukan
praktik korupsi ketika berkuasa.

Di tengah situasi pandemi Covid-19, kita perlu mewaspadai potensi pelanggaran


konvensional dari kandidat ataupun tim suksesnya dalam pemilihan kepala daerah serentak
pekan ini. Di antara pelanggaran itu adalah politik uang, mobilisasi pemilih fiktif, intimidasi,
provokasi, dan bahkan manipulasi tim terhadap pemilih agar memilih atau tidak memilih
calon tertentu. perilaku pemilih yang bertipe pilihan rasional ternyata tidak selalu bermuara
pada pertimbangan keunggulan kualitas tawaran programatik calon. Tipe ini pada dasarnya
mengandaikan bahwa motivasi memilihnya didasari perhitungan memaksimalkan keuntungan
sekaligus meminimalkan risiko. Kenyataannya, pertimbangan ini kerap berbelok menjadi
"nomer piro wani piro" alias. Pemilih jenis ini dapat disebut sebagai pemilih transaksional
material. Apabila tidak ada upaya mengeremnya, fenomena ini bisa makin menjamur seiring
dengan potensi pelanggaran oleh kandidat. Apalagi bila ditunjang lesunya ekonomi akibat
pandemi.

Masalah politik uang umumnya dijelaskan dengan pendekatan struktural, baik yang berasal
dari sisi pelaku calon ataupun pemilih maupun lembaga pengawas dan penegak hukum
(Badan Pengawas Pemilihan Umum, kepolisian, lembaga peradilan, hingga aturan
perundangan yang membingkainya). Dari sisi pelaku, jalinan struktur yang terbentuk dalam
proses elektoral mengandaikan uang sebagai sumber daya utama. Hal ini mempertemukan
praktik transaksional antara kandidat dan pemilih. Dari sisi pengawas dan penegak hukum,
pemberantasan praktik politik uang sering kali terhambat oleh rumitnya prosedur ataupun
sulitnya kelengkapan alat bukti.

Masalah struktural tersebut menjangkiti pula pemilih rasional yang setengah transaksional.
Ungkapan "terima uangnya, jangan pilih orangnya" sekilas tampak membawa pesan
perlawanan terhadap kandidat pemberi uang. Namun sikap mendua ini sebenarnya masih
menyisakan ruang kelonggaran bagi si pemberi. Secara tidak langsung, kesadaran bahwa
proses kandidasi itu berbiaya tinggi masih tertancap kuat dalam ingatan kandidat.
Implikasinya, muncul dalih bahwa memberi materi saja belum tentu dipilih, apalagi tidak
memberi. Konstruksi kesadaran mental tersebut berkelindan dengan jalinan struktur yang
melingkupinya, sehingga seolah-olah mustahil memberantas praktik tersebut.

Walau demikian, ikhtiar harus tetap dilakukan dan harapan harus dirawat. Diseminasi
pengetahuan bahwa politik uang berkorelasi dengan praktik korupsi yang berujung pada
pemiskinan rakyat kiranya perlu diintensifkan. Ini dilakukan tidak hanya pada momentum
elektoral. Hal ini setidaknya untuk menggeser pandangan bahwa politik uang merupakan
habitus "lazim" dan seolah-olah menjadi hukum tidak tertulis apabila ingin mendapatkan
dukungan suara dari pemilih. Lebih jauh lagi, pandangan pakem bahwa politik elektoral itu
mahal dan hanya bisa diakses oleh kaum elite pada gilirannya dapat digeser menjadi berbiaya
murah dan inklusif bagi semua warga negara.

Dalam konteks pemilihan kepala daerah, ada wacana untuk mengembalikan pemilihan
kepada dewan perwakilan rakyat daerah, khususnya di tingkat provinsi. Namun solusi
kelembagaan itu agaknya belum menyentuh akar masalah, yakni kelindan antara struktur
politik dan kesadaran (mental) bahwa uang menjadi sumber daya dan basis penopang utama
yang semakin marak digunakan pada saat pemili di daerah-daerah, ini pun terjadi di daerah
terpencil masih awam tetapi di manfaatkan oleh pihak-pihak yang tidak berrtanggung jawab

Politik uang telah berjalin dengan mahar bagi partai politik, korupsi, jual-beli suara,
klientelisme, hingga distorsi demokrasi menjadi oligarki. Masalah ini tidaklah memadai bila
dipecahkan dengan hanya bertumpu pada soal kelembagaan. Upaya ini membutuhkan iktikad
dari para aktor utama, yakni kandidat dan elite di sekelilingnya. Walaupun ini terkesan klise,
kenyataan struktur politik kita memang masih terpolakan dari atas ke bawah. Karena itu,
inisiatif dari para elite untuk menghentikan politik uang menjadi harapan yang harus terus
didengungkan.

Upaya memberantas politik uang juga membutuhkan dukungan dari para pemangku
kepentingan di masyarakat, yakni tokoh agama, sekolah, universitas, tokoh masyarakat, kaum
intelektual, aktivis pro-demokrasi, dan media. Tekad ini harus dalam satu tarikan napas: tolak
politik uang! Akar rumput kemudian tentu akan mencerna persuasi tolak politik uang itu.
Walaupun hasil yang dapat dirasakan tidak secepat membalikkan telapak tangan, pendidikan
politik ini harus terus bersama-sama diikhtiarkan. Muara dari ini semua adalah menggiring
pemilih menjadi semakin rasional, bukan transaksional.

Anda mungkin juga menyukai