Anda di halaman 1dari 8

Makalah Kemiskinan Struktural dan Kultural

BAB I

PENDAHULUAN


A. Latar Belakang Masalah

Sudah sepatutnya kita sebagai anak bangsa berbangga atas prestasi yang telah ditorehkan
negeri tercinta ini. Dengan segala bentuk kerja keras, akhirnya Indonesia menempatkan diri
sebagai salah satu negara miskin didunia.
Prestasi itupun membuahkan hasil dengan adanya penghargaan berupa aliran dana segar dan
semakin memantapkan posisinya dalam daftar negara penghutang. Sungguh ironis, namun itulah
yang terjadi. Fenomena kemiskinan ini akan semakin tampak nyata dan bentuk pengorbanannya
berupa ratapan tangisan anak bangsa dan peluh para buruh yang terkapar.

Pembangunan di Indonesia saat ini telah membawa banyak perubahan dalam berbagai
aspek di masyarakat, baik pada kawasan pedesaan maupun perkotaan. Perubahan tersebut
membawa dampak tidak hanya terhadap lingkungan fisik, tapi juga sistem nilai dalam tatanan
kehidupan sosial bermasyarakat. Namun sayangnya perubahan yang diciptakan oleh
pembangunan membawa dampak yang menyertainya sangat mengerikan dan kompleks, karena
ternyata telah melahirkan keterbelakangan dan kemiskinan dalam masyarakat. Bentuk
kemiskinan yang terjadi di Indonesia saat ini adalah suatu bentuk yang masih semu. Apakah
karena secara struktural Indonesia ini miskin atau mungkin secara kultural Indonesia ini miskin.
Kemiskinan struktural adalah kemiskinan akibat dari super struktur yang membuat sebagian
anggota atau kelompok masyarakat tertentu mendominasi sarana ekonomi, sosial, politik dan
budaya.

Sedangkan kebudayaan kemiskinan adalah kemiskinan yang muncul sebagai akibat
adanya nilai-nilai atau kebudayaan yang dianut oleh orang-orang miskin, seperti malas, mudah
menyerah pada nasib, kurang memiliki etos kerja dan sebagainya. Ciri dari kebudayaan
kemiskinan ini adalah masyarakat enggan mengintegrasikan dirinya dalam lembaga-lembaga
utama, sikap apatis, curiga, terdiskriminasi oleh masyarakat luas. Dalam komunitas lokal ditemui
ada rumah yang bobrok, penuh sesak dan bergerombol. Ditingkat keluarga, masa kanak-kanak
cenderung singkat, cepat dewasa, cepat menikah. Pada individu mereka ada perasaan tidak
berharga, tidak berdaya dan rendah diri akut.



B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana kemiskinan struktural?
2. Bagaimana kemiskinan kultural?




BAB II
PEMBAHASAN


A. Pengertian Kemiskinan Struktural dan Kemiskinan Kultural

Kemiskinan struktural adalah kemiskinan akibat dari super struktur yang membuat
sebagian anggota atau kelompok masyarakat tertentu mendominasi sarana ekonomi, sosial,
politik dan budaya.Struktur ini menyebabkan tidak adanya pemerataan, tidak berkembangnya
kualitas dan daya kreasi rakyat dalam pelaksanaan pembangunan serta terpinggirkannya
partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan pembangunan.

Kemiskinan, dalam realitasnya selalu dilihat dari sudut ekonomi, dimana batasan
kemiskinan adalah suatu kondisi di mana orang tidak memiliki harta benda atau mempunyai
pendapatan di bawah batasan nominal tertentu.

Sedangkan kebudayaan kemiskinan, merupakan kemiskinan yang muncul sebagai akibat
adanya nilai-nilai atau kebudayaan yang dianut oleh orang-orang miskin, seperti malas, mudah
menyerah pada nasib, kurang memiliki etos kerja dan sebagainya. Ciri dari kebudayaan
kemiskinan ini adalah masyarakat enggan mengintegrasikan dirinya dalam lembaga-lembaga
utama, sikap apatis, curiga, terdiskriminasi oleh masyarakat luas. Dalam komunitas lokal ditemui
ada rumah yang bobrok, penuh sesak dan bergerombol. Ditingkat keluarga, masa kanak-kanak
cenderung singkat, cepat dewasa, cepat menikah. Pada individu mereka ada perasaan tidak
berharga, tidak berdaya dan rendah diri akut.

Pandangan lain tentang budaya kemiskinan adalah, bahwa kebudayaan kemiskinan
merupakan efek domino dari belenggu kemiskinan struktural yang menghinggap masyarakat
terlalu lama, sehingga membuat masyarakat apatis, pasrah, berpandangan jika sesuatu yang
terjadi adalah takdir, dalam konteks keagamaan disebut dengan paham Jabariah, terlebih paham
ini disebarkan dan di doktrinasikan dalam mimbar agama. Contoh kemiskinan ini ada pada
masyarakat pedesaan, komunitas kepercayaan atau agama, dan kalangan marginal lainnya.

B. Akar Permasalahan Kemiskinan Struktural dan Kemiskinan Kultural

Penggalian tentang kemiskinan yang selama ini cenderung dilakukan pada batas angka-
angka statistik makro yang kurang mendalam serta tidak detail dalam mengungkap latar
belakang masyarakat miskin. Akibatnya tidak dapat melihat persoalan secara komperehensif
mengenai dimensi-dimensi kemiskinan, karena sesungguhnya persoalan kemiskinan terkait dan
saling mempengaruhi dengan persoalan yang lainnya. Pada sisi lain studi tentang kemiskinan
juga cenderung over akademis yang kurang memiliki daya guna pemecahan persoalan yang
sifatnya praksis penanggulangan kemiskinan, sekaligus gagal mengungkap akar penyebab
kemiskinan.



Beberapa faktor yang dianggap sebagai penyebab kemiskinan majemuk meliputi tiga
aspek yaitu:

1. Kelembagaan: rakyat miskin tidak punya akses ke pembuat keputusan dan kebijakan,
sedangkan kelembagaan yang ada tidak pernah menjaring atau menyalurkan aspirasi yang
muncul dari bawah, dan setiap kebutuhan rakyat miskin sudah didefinisikan dari atas oleh
kelembagaan yang ada, sehingga kemiskinan tidak dapat terselesaikan.
2. Regulasi: kebijakan pemerintah yang mengutamakan kepentingan ekonomi. Kebijakan
ekonomi dalam investasi modal pada sektor-sektor industri yang tidak berbasis pada potensi
rakyat menutup kesempatan masyarakat untuk mengembangkan potensinya dan menjadi akar
proses pemiskinan.
3. Good governance: tidak adanya transparansi dan keterbukaan pada pembuatan dan
pelaksanaan kebijakan yang mengakibatkan kebijakan hanya bisa diakses oleh orang-orang
tertentu. Segala bentuk regulasi diputuskan oleh lembaga-lembaga pembuat kebijakan tanpa
mengikutkan para pelaku yang terlibat dan tidak memahami aspirasi rakyat miskin sehingga
kebijakan yang muncul tidak mendukung rakyat miskin.

Aspek ekonomi bukanlah satu-satunya penyebab kemiskinan. Faktor-faktor yang lain, seperti
politik dan sosial budaya, mempunyai peranan yang sangat kuat dalam melatarbelakangi
munculnya lingkaran kemiskinan yang tak terselesaikan, yaitu:
a. Aspek politik yang mengakibatkan kemiskinan yaitu:
1) Tidak ada budaya demokrasi yang mengakar.
2) Keputusan-keputusan politik yang sangat dipengaruhi keputusan dan kepentingan politik
dari luar negeri.
3) Tidak ada kontrol langsung dari rakyat terhadap birokrasi.
4) Tidak berdayanya mekanisme dan sistem perwakilan politik menghadapi kepentingan
modal.

b. Aspek ekonomi yang mengakibatkan munculnya kemiskinan yaitu:
1) Kebijakan globalisasi atau liberalisasi sistem ekonomi.
2) Rendahnya akses terhadap faktor produksi pembangunan yang berorientasi pertumbuhan.
Spekulasi mata uang.

c. Aspek sosial budaya yang mengakibatkan kemiskinan yaitu:
1) Hancurnya identitas sosio kultural yang hidup di masyarakat.
2) Hancurnya kemampuan komunikasi antar berbagai kelompok dan gerakan social.
3) Marginalisasi mayoritas rakyat.
4) Lemahnya kelembagaan yang ada.
5) Kuatnya budaya bisu di semua lapisan masyarakat.






Paradigma ekonomi yang dipakai dalam penyusunan pembangunan, membuat pemilik
modal menguasai segala-galanya. Penguasaan ekonomi dengan dalih demi keuntungan
bersama, menjadi penyebab dasar kemiskinan dalam masyarakat dan menimbulkan kebijakan
ekonomi yang semena-mena. Aspek sosial budaya banyak sekali mempengaruhi terjadinya
proses pemiskinan. Tradisi yang ada tidak sedikit yang memberikan pembenaran dalam
pemenuhan kebutuhan dasar. Pembenaran tradisi bahwa anak harus ikut menanggung
kemiskinan keluarga, di satu sisi memunculkan kasus pekerja anak; dan di sisi lain terjadi
pemberontakan yang melahirkan realita anak jalanan pada banyak kota di Indonesia. Modernisasi
yang dipaksakan, memunculkan kemiskinan dalam bentuk yang lain.

Kepentingan politik tidak bisa dilepaskan dari kemiskinan yang terjadi. Struktur birokrasi
yang tidak aspiratif terhadap rakyat miskin menimbulkan banyak kebijakan yang semakin
memiskinkan rakyat .

Berbicara tentang kemiskinan struktural, artinya struktur yang membuat orang menjadi
miskin, dimana masyarakat tidak dilibatkan dalam pengambilan keputusan dan tidak
mendapatkan akses secara baik. Disebut kemiskinan kultural, adalah budaya yang membuat
orang miskin, yang dalam antropologi disebut Koentjaraningrat dengan mentalitas atau
kebudayan kemiskinan sebagai adanya budaya miskin. Seperti, masyarakat yang pasrah dengan
keadaannya dan menganggap bahwa mereka miskin karena turunan, atau karena dulu orang
tuanya atau nenek moyangnya juga miskin, sehingga usahanya untuk maju menjadi kurang.
Semakin banyak program-program yang bergerak dalam penanggulangan kemiskinan, namun
makin banyak pula jumlah orang miskin.

Kemiskinan dalam perspektif ekonomi, didefiniskan sebagai kekurangan sumber daya
yang dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup dan meningkatkan kesejahteraan.
Sumber daya dalam konteks ini tidak hanya aspek finansial, melainkan semua jenis kekayaan
yang dapat meningkatkan kesejahteraan dalam arti luas. Kemiskinan ini menggunakan indikator
yang sifatnya materi seperti kepemilikan harta benda, income perkapita, maupun konsumsi
sebagaimana Badan Pusat Statistik (BPS) menggunakan indikator konsumsi sebesar 21,00 kalori/
orang setiap hari yang disetarakan dengan pendapatan tertentu, atau pendekatan Bank Dunia
yang menggunakan standar 1 dolar AS/orang setiap hari. Contoh kemiskinan ini adalah tidak
mampu memenuhi kebutuhan dasar seperti sandang, pangan, papan beserta akses lain, seperti
kesehatan, pekerjaan maupun pendidikan.

Kemiskinan dalam perspektif kesejahteraan sosial mengarah pada keterbatasan individu
atau kelompok dalam mengakses jaringan dan struktur sosial yang mendukung dalam
mendapatkan kesempatan-kesempatan peningkatan produktivitas. Faktor penghambat tersebut
secara umum meliputi faktor internal, dalam hal ini bersumber dari si miskin itu sendiri, seperti
rendahnya pendidikan dan adanya hambatan budaya. Sedangkan faktor eksternal berasal dari luar
kemampuan sesorang tersebut, seperti birokrasi atau peraturan-peraturan resmi yang
menghambat seseorang mendapatkan sumber daya. Secara sederhana kemiskinan dalam
persepektif ilmu kesejahteraan sosial dimaknai sebagai kemiskinan yang pada awalnya
disebabkan oleh kemiskinan ekonomi, kemudian dikarenakan terlalu lama dalam kondisi tersebut
baik karena faktor tidak disengaja, disengaja maupun karena dipelihara menyebabkan efek
domino yaitu tumbuhnya patologi atau masalah-masalah sosial. Sedangkan resiko ketika
kemiskinan sudah menjadi masalah sosial adalah selain harus menyelesaikan masalah ekonomi
itu sendiri juga mengatasi masalah sosial yang timbul. Contohnya adalah: munculnya
kriminalitas, budaya malas, korupsi, disparitas sosial yang menyebabkan konflik, dan
ketergantungan pada pihak lain.

Kemiskinan struktural adalah kemiskinan yang muncul bukan karena ketidakmampuan si
miskin untuk bekerja (malas), melainkan karena ketidakmampuan sistem dan struktur sosial
dalam menyediakan kesempatan-kesempatan yang memungkinkan si miskin dapat bekerja.
Struktur sosial tersebut tidak mampu menguhubungkan masyarakat dengan sumber-sumber yang
tersedia, baik yang disediakan oleh alam, pemerintah maupun masyarakat yang ada disekitarnya.
Mereka yang tergolong dalam kelompok ini adalah buruh tani, pemulung, penggali pasir dan
mereka yang tidak terpelajar dan tidak terlatih. Pihak yang berperan besar dari terciptanya
kemiskinan struktural ini adalah pemerintah, karena pemerintah yang memiliki kekuasaan dan
kebijakan cenderung membiarkan masyarakat dalam kondisi miskin, tidak mengeluarkan
kebijakan yang pro masyarakat miskin, jikapun ada lebih berorientasi pada proyek, bukan pada
pembangunan kesejahteraan. Sehingga tidak ada masyarakat miskin yang naik kelas, artinya
jika pada awalanya buruh, nelayan, pemulung maka selamanya menjadi buruh nelayan dan
pemulung, karena tidak ada upaya dalam menaikan derajat dan kemampuan mereka baik itu
dalam kesempatan pendidikan atau pelatihan.

Sedangkan kebudayaan kemiskinan, merupakan kemiskinan yang muncul sebagai akibat
adanya nilai-nilai atau kebudayaan yang dianut oleh orang-orang miskin, seperti malas, mudah
menyerah pada nasib, kurang memiliki etos kerja dan sebagainya. Ciri dari kebudayaan
kemiskinan ini adalah masyarakat enggan mengintegrasikan dirinya dalam lembaga-lembaga
utama, sikap apatis, curiga, terdiskriminasi oleh masyarakat luas. Dalam komunitas lokal ditemui
ada rumah yang bobrok, penuh sesak dan bergerombol. Ditingkat keluarga, masa kanak-kanak
cenderung singkat, cepat dewasa, cepat menikah. Pada individu mereka ada perasaan tidak
berharga, tidak berdaya dan rendah diri akut.

Pandangan lain tentang budaya kemiskinan adalah, bahwa kebudayaan kemiskinan
merupakan efek domino dari belenggu kemiskinan struktural yang menghinggap masyarakat
terlalu lama, sehingga membuat masyarakat apatis, pasrah, berpandangan jika sesuatu yang
terjadi adalah takdir, dalam konteks keagamaan disebut dengan paham Jabariah, terlebih paham
ini disebarkan dan di doktrinasikan dalam mimbar agama. Contoh kemiskinan ini ada pada
masyarakat pedesaan, komunitas kepercayaan atau agama, dan kalangan marginal lainnya.

Di dunia ini, sudah sunatullahnya terdapat hal-hal yang bertolak belakang. Siang dan
malam, kebaikan dan keburukan, keberhasilan dan kegagalan, juga kaya dan miskin. Kemiskinan
itu sendiri merupakan fenomena sosial yang tidak bisa dinilai sebagai suatu hal yang harus
diberantas hingga hilang dari permukaan bumi. Namun, permasalahan timbul akibat jurang yang
lebar antara kaya dan miskin sehingga lahirlah permasalahan sosial lainnya yang lebih kompleks
seperti kriminalitas, prostitusi, kekerasan terhadap perempuan dan anak, masalah kesehatan dan
pendidikan dsb. Karena itu, untuk menangani permasalahan tersebut, dibutuhkan analisis yang
tajam serta penangangan secara komprehensif dan berkesinambungan oleh seluruh pihak yang
terkait dengan hal ini. Berdasarkan hasil survei BPS Maret 2009, jumlah penduduk miskin
(penduduk yang berada di bawah Garis Kemiskinan di Indonesia pada Bulan Maret 2009 sebesar
32,53 juta 14,15 persen).

Di Indonesia, fenomena kemiskinan muncul tidak hanya pada dimensi ekonomi atau
material saja. Ia juga menyentuh dimensi lain yaitu sosial budaya sehingga muncullah istilah
cultural poverty yang dikemukakan oleh Oscar Lewis dalam teorinya. Hal ini muncul sebagai
akibat adanya nilai-nilai atau kebudayaan yang dianut oleh orang-orang miskin seperti malas,
mudah menyerah pada nasib, dan kurang memiliki etos kerja. Karena penyebab kemiskinan ini
muncul dari dalam diri manusia itu sendiri, maka upaya menanggulanginya juga harus dari
dalam diri manusia tersebut. Dalam aset komunitas, terdapat beberapa modal dalam suatu
masyarakat. Salah satunya adalah modal spiritual.

Spiritualitas adalah jiwa dari upaya pemberian bantuan. Ia adalah sumber dari empati dan
perhatian, denyut dari kasih sayang dan unsur utama dari kebijakan praktis, serta dorongan
utama pada kegiatan pelayanan. Pekerja sosial mengetahui bahwa peran, teori, dan keterampilan
profesional yang kita miliki menjadi tidak bermakna, kosong, melelahkan, dan tidak hidup tanpa
adanya spiritualitas.

Dorongan dalam diri seseorang yang bersumber dari kekuatan transedental manusia
dengan kekuatan lain yang tak kasat mata serta lebih berkuasa darinya, di luar diri manusia, yang
membawa orientasi manusia tidak semata-mata mengarah ke tujuan duniawi, tetapi lebih jauh
lagi ke kehidupan yang lebih hakiki. Modal spiritual tersebut memiliki peran dalam proses
pembangunan sosial, pengembangan dan pemberdayaan masyarakat meliputi beberapa fungsi
seperti, meningkatkan etos kerja dan memberikan daya dorong atau semangat yang positif dalam
melakukan pembangunan; memberikan jiwa dalam upaya pemberian bantuan; memberikan arah
dalam pembangunan, dan menjadi pelndung terhadap penyimpangan.

Spiritualitas erat kaitannya dengan pemahaman agama. Islam sebagai salah satu agama
yang diakui di Indonesia dan memiliki umat terbanyak atau mayoritas di negeri kita ini dapat
menjadi aset bermodal spiritual yang kuat manakala benar-benar memahami sumber ajarannya
yaitu Al-Quran dan al-hadits serta mengimplementasikan secara komprehensif dalam kehidupan
sehari-hari.

Saya mencoba mengambil intisari dari Al Quran surat Ar Raad ayat 11,
Sesungguhnya Allah tidak merobah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merobah
keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.
Terdapat refleksi sosiologis dari ayat tersebut yaitu 1) Konsep perubahan masyarakat (taghyir),
yang menurut M. Quraisy Syihab ditafsirkan sebagai proses perubahan yang memosisikan
manusia menjadi pelaku perubahan baik secara individu maupun bagian dari komunitas atau
masyarakat. Berdasarkan pembentukan katanya, subjek pada ayat tersebut adalah Qaum yakni
sekelompok manusia yang berkumpul dan terdiri dari berbagai jenis golongan, suku, bahasa,
yang disatukan oleh ikatan tertentu dan mempunyai tujuan yang sama. Inilah yang mendasari
terbentuknya faham kebangsaan Dengan kata lain, perubahan ini mengarah pada gerakan sosial
yang mampu menggerakkan masyarakat (massa) menuju sebuah tata nilai ideal. 2) Konsep
potensi diri. Berdasarkan tafsir Asy-Syarawi, Nafs (potensi diri manusia) sebagai penggerak
tingkah laku manusia. Dalam nafs terdapat dua dimensi yaitu kebaikan dan keburukan.
Maka dari itu kualitasnya dapat meningkat atau menurun. Nafs dalam diri manusia
menjadi wadah dari berbagai potensi, menjadi penentu posisi dan peran manusia dalam bidang
sosial, ekonomi, politik, keilmuan dsb. Kualitas nafs berimplikasi pada kualitas SDM. Atas dasar
itulah, salah satu aspek dalam masyarakat yang menjadi fokus utama pengembangan adalah
nafas.

Selain ayat tersebut, terdapat beberapa hadits yang menerangkan tentang kemiskinan dari
persprektif Islam. Menurut riwayat Abu Hurairah, Rasulullah saw bersabda:
Sekiranya salah seorang di antara kamu pergi mencari kayu bakar lalu dipikul di atas
punggungnya (untuk dijual), hal ini lebih baik daripada pergi meminta-minta kepada orang lain
baik ia diberi maupun ditolak (HR. Muttafaqun alaih).
Orang yang tidak memiliki sesuatu yang dapat menutupi kebutuhannya, dan kondisinya tidak
diketahui sehingga diberi shadaqah. Maka ia diberi zakat dan dia tidak meminta-minta (HR. al-
Bukhari dan Muslim, dari Abu Hurairah radhiyallaHu anHu).

Begitulah ajaran Islam menghargai usaha dan proses seorang manusia dalam memenuhi
kebutuhan hidupnya di dunia. Terkait erat dengan hal tersebut, modal spiritual juga
mengorientasikan daya yang kita punya kita bukan hanya untuk kehidupan di dunia saja,
melainkan juga untuk mencapai kebahagiaan hakiki dari kehidupan akhirat kelak sehingga dalam
menjalani usaha atau prosesnya, kita senantiasa diiringi rasa syukur atas segala rezeki yang
dianugerahkan kepada kita dan bersabar atas kekurangan yang ada pada kita sambil terus-
menerus berusaha memperbaikinya. Dengan begitu, niscaya jiwa pun akan merasa tentram.
Dari uraian di atas, jelas bahwa pemahaman yang utuh tentang ajaran Islam sebagai salah satu
substansi dari modal spiritual, seharusnya dapat meningkatkan produktivitas seseorang untuk
memperbaiki kondisinya sehingga idealnya, tak ada lagi orang yang secara sukarela menjadi
miskin.




















BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Kemiskinan struktural adalah kemiskinan akibat dari super struktur yang membuat
sebagian anggota atau kelompok masyarakat tertentu mendominasi sarana ekonomi, sosial,
politik dan budaya
Ada tiga sisi yang menjadi akar penyebab dari terjadinya kemiskinan struktural yaitu:
1. Pemahaman akan kemiskinan yang tidak tepat dan sepihak. Kemiskinan lebih dikaji dari
aspek ekonomi saja. Aspek-aspek lain yang berkaitan erat dengan persoalan kemiskinan
seperti aspek politik, kultural, serta sosial dikaji secara terpisah. Persoalan kemiskinan
dipahami tanpa mengkaji dampak dari kebijakan publik atau pemerintah terhadap keberadaan
rakyat miskin
2. Kebijakan yang dibuat oleh pemerintah tidak melibatkan masyarakat yang terkena sasaran,
baik di tingkat perencanaan maupun sampai ke tingkat pelaksanaannya.
3. Tidak ada evaluasi atas kebijakan dan program pembangunan di perkotaan untuk melihat
dampak yang terjadi.
Sedangkan kebudayaan kemiskinan adalah kemiskinan yang muncul sebagai akibat adanya
nilai-nilai atau kebudayaan yang dianut oleh orang-orang miskin, seperti malas, mudah
menyerah pada nasib, kurang memiliki etos kerja dan sebagainya.
Yang menjadi penyebab terjadinya kebudayaan kemiskinan melingkupi beberapa hal,
diantaranya:
1. Hancurnya identitas sosio kultural yang hidup di masyarakat.
2. Hancurnya kemampuan komunikasi antar berbagai kelompok dan gerakan sosial.
3. Marginalisasi mayoritas rakyat.
4. Lemahnya kelembagaan yang ada.
5. Kuatnya budaya bisu di semua lapisan masyarakat.

B. Saran

Tak ada gading yang tak retak. Kritik dan saran yang bersifat konstruktif kami harapkan dari
pembaca sebagai bahan pertimbangan untuk pembuatan makalah selanjutnya yang lebih baik.

Anda mungkin juga menyukai