Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH PEMBANGUNAN DAN PERMASALAHAN

KEMISKINAN STRUKTURAL DAN KULTURAL

DOSEN PEMBIMBING

USTADZ AGUNG KURNIAWAN, M.Pd.I

DISUSUN OLEH :

RADI VUTERA JAYA 20010041

RAKHA PUTRA ARDHANA 20010042

PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR


SEKOLAH TINGGI ILMU AL-QUR’AN PALEMBANG
TAHUN PELAJARAN 1442 H./2020 M.
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Alla SWT. karena dengan rahmat,
karunia, serta taufik dan hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan makalah yang
berjudul Pembangunan dan Permasalahan Kemiskinan Struktural dan Kultural
dengan baik meskipun banyak kekurangan di dalamnya. Dan juga kami berterima
kasih pada dosen mata kuliah Ilmu Sosial Dasar Sekolah Tinggi Ilmu Al-Qur’an
Al-Lathifiyyah yang telah memberikan tugas ini kepada kami.

Kami sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah
wawasan serta pengetahuan tentang Ilmu Sosial Dasar, yang menurut kami dapat
memberikan manfaat yang besar bagi kita. Kami juga menyadari sepenuhnya
bahwa di dalam makalah ini terdapat kekurangan dan jauh dari kata sempurna.
Oleh sebab itu, kami berharap adanya kritik, saran dan usulan demi perbaikan
makalah yang telah kami buat di masa yang akan datang, mengingat tidak ada
sesuatu yang sempurna tanpa saran yang membangun.

Semoga makalah sederhana ini dapat dipahami bagi siapapun yang


membacanya. Sekiranya makalah yang telah disusun ini dapat berguna bagi kami
sendiri maupun orang yang membacanya. Sebelumnya kami mohon maaf apabila
terdapat kesalahan kata-kata yang kurang berkenan dan kami memohon kritik dan
saran yang membangun demi perbaikan makalah ini di waktu yang akan datang.

Palembang, 11 Desember 2020

Penyusun
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Sudah sepatutnya kita sebagai anak bangsa berbangga atas prestasi yang
telah ditorehkan negeri tercinta ini. Dengan segala bentuk kerja keras, akhirnya
Indonesia menempatkan diri sebagai salah satu negara miskin didunia.
Prestasi itupun membuahkan hasil dengan adanya penghargaan berupa aliran dana
segar dan semakin memantapkan posisinya dalam daftar negara penghutang.
Sungguh ironis, namun itulah yang terjadi. Fenomena kemiskinan ini akan
semakin tampak nyata dan bentuk pengorbanannya berupa ratapan tangisan anak
bangsa dan peluh para buruh yang terkapar.

Pembangunan di Indonesia saat ini telah membawa banyak perubahan


dalam berbagai aspek di masyarakat, baik pada kawasan pedesaan maupun
perkotaan. Perubahan tersebut membawa dampak tidak hanya terhadap
lingkungan fisik, tapi juga sistem nilai dalam tatanan kehidupan sosial
bermasyarakat. Namun sayangnya perubahan yang diciptakan oleh pembangunan
membawa dampak yang menyertainya sangat mengerikan dan kompleks, karena
ternyata telah melahirkan keterbelakangan dan kemiskinan dalam masyarakat.
Bentuk kemiskinan yang terjadi di Indonesia saat ini adalah suatu bentuk yang
masih semu. Apakah karena secara struktural Indonesia ini miskin atau mungkin
secara kultural Indonesia ini miskin. Kemiskinan struktural adalah kemiskinan
akibat dari super struktur yang membuat sebagian anggota atau kelompok
masyarakat tertentu mendominasi sarana ekonomi, sosial, politik dan budaya.
Sedangkan kebudayaan kemiskinan adalah kemiskinan yang muncul
sebagai akibat adanya nilai-nilai atau kebudayaan yang dianut oleh orang-orang
miskin, seperti malas, mudah menyerah pada nasib, kurang memiliki etos kerja
dan sebagainya. Ciri dari kebudayaan kemiskinan ini adalah masyarakat enggan
mengintegrasikan dirinya dalam lembaga-lembaga utama, sikap apatis, curiga,
terdiskriminasi oleh masyarakat luas. Dalam komunitas lokal ditemui ada rumah
yang bobrok, penuh sesak dan bergerombol. Ditingkat keluarga, masa kanak-
kanak cenderung singkat, cepat dewasa, cepat menikah. Pada individu mereka ada
perasaan tidak berharga, tidak berdaya dan rendah diri akut.

1.2 Rumusan Masalah

1. Apa pengertian kemiskinan struktural dan kultural ?


2. Apa akar permasalahan kemiskinan stuktural dan kultural ?

1.3 Tujuan Penulisan

1. Mengetahui pengertian dari kemiskinan stuktural dan kultural


2. Mengetahui akar permasalahan kemiskinan struktural dan kultural
BAB 2
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Kemiskinan Struktural dan Kemiskinan Kultural

Kemiskinan struktural adalah kemiskinan akibat dari super struktur yang


membuat sebagian anggota atau kelompok masyarakat tertentu mendominasi
sarana ekonomi, sosial, politik dan budaya. Struktur ini menyebabkan tidak
adanya pemerataan, tidak berkembangnya kualitas dan daya kreasi rakyat dalam
pelaksanaan pembangunan serta terpinggirkannya partisipasi masyarakat dalam
pelaksanaan pembangunan.

Kemiskinan, dalam realitasnya selalu dilihat dari sudut ekonomi, dimana


batasan kemiskinan adalah suatu kondisi di mana orang tidak memiliki harta
benda atau mempunyai pendapatan di bawah batasan nominal tertentu.

Sedangkan kebudayaan kemiskinan, merupakan kemiskinan yang muncul


sebagai akibat adanya nilai-nilai atau kebudayaan yang dianut oleh orang-orang
miskin, seperti malas, mudah menyerah pada nasib, kurang memiliki etos kerja
dan sebagainya. Ciri dari kebudayaan kemiskinan ini adalah masyarakat enggan
mengintegrasikan dirinya dalam lembaga-lembaga utama, sikap apatis, curiga,
terdiskriminasi oleh masyarakat luas. Dalam komunitas lokal ditemui ada rumah
yang bobrok, penuh sesak dan bergerombol. Ditingkat keluarga, masa kanak-
kanak cenderung singkat, cepat dewasa, cepat menikah. Pada individu mereka ada
perasaan tidak berharga, tidak berdaya dan rendah diri akut.

Pandangan lain tentang budaya kemiskinan adalah, bahwa kebudayaan


kemiskinan merupakan efek domino dari belenggu kemiskinan struktural yang
menghinggap masyarakat terlalu lama, sehingga membuat masyarakat apatis,
pasrah, berpandangan jika sesuatu yang terjadi adalah takdir, dalam konteks
keagamaan disebut dengan paham Jabariah, terlebih paham ini disebarkan dan di
doktrinasikan dalam mimbar agama. Contoh kemiskinan ini ada pada masyarakat
pedesaan, komunitas kepercayaan atau agama, dan kalangan marginal lainnya.

2.2 Akar Permasalahan Kemiskinan Struktural dan Kemiskinan Kultural

Penggalian tentang kemiskinan yang selama ini cenderung dilakukan pada


batas angka-angka statistik makro yang kurang mendalam serta tidak detail dalam
mengungkap latar belakang masyarakat miskin. Akibatnya tidak dapat melihat
persoalan secara komperehensif mengenai dimensi-dimensi kemiskinan, karena
sesungguhnya persoalan kemiskinan terkait dan saling mempengaruhi dengan
persoalan yang lainnya. Pada sisi lain studi tentang kemiskinan juga cenderung
over akademis yang kurang memiliki daya guna pemecahan persoalan yang
sifatnya praksis penanggulangan kemiskinan, sekaligus gagal mengungkap akar
penyebab kemiskinan.

Beberapa faktor yang dianggap sebagai penyebab kemiskinan majemuk


meliputi tiga aspek yaitu:

Kelembagaan: rakyat miskin tidak punya akses ke pembuat keputusan dan


kebijakan, sedangkan kelembagaan yang ada tidak pernah menjaring atau
menyalurkan aspirasi yang muncul dari bawah, dan setiap kebutuhan rakyat
miskin sudah didefinisikan dari atas oleh kelembagaan yang ada, sehingga
kemiskinan tidak dapat terselesaikan.

Regulasi: kebijakan pemerintah yang mengutamakan kepentingan ekonomi.


Kebijakan ekonomi dalam investasi modal pada sektor-sektor industri yang tidak
berbasis pada potensi rakyat menutup kesempatan masyarakat untuk
mengembangkan potensinya dan menjadi akar proses pemiskinan.
Good governance: tidak adanya transparansi dan keterbukaan pada pembuatan dan
pelaksanaan kebijakan yang mengakibatkan kebijakan hanya bisa diakses oleh
orang-orang tertentu. Segala bentuk regulasi diputuskan oleh lembaga-lembaga
pembuat kebijakan tanpa mengikutkan para pelaku yang terlibat dan tidak
memahami aspirasi rakyat miskin sehingga kebijakan yang muncul tidak
mendukung rakyat miskin.

Aspek ekonomi bukanlah satu-satunya penyebab kemiskinan. Faktor-


faktor yang lain, seperti politik dan sosial budaya, mempunyai peranan yang
sangat kuat dalam melatarbelakangi munculnya lingkaran kemiskinan yang tak
terselesaikan, yaitu:

A. Aspek politik yang mengakibatkan kemiskinan yaitu:


Tidak ada budaya demokrasi yang mengakar.
Keputusan-keputusan politik yang sangat dipengaruhi keputusan dan kepentingan
politik dari luar negeri.
Tidak ada kontrol langsung dari rakyat terhadap birokrasi.
Tidak berdayanya mekanisme dan sistem perwakilan politik menghadapi
kepentingan modal.

B. Aspek ekonomi yang mengakibatkan munculnya kemiskinan yaitu:


Kebijakan globalisasi atau liberalisasi sistem ekonomi.
Rendahnya akses terhadap faktor produksi pembangunan yang berorientasi
pertumbuhan.
Spekulasi mata uang.

C. Aspek sosial budaya yang mengakibatkan kemiskinan yaitu:


Hancurnya identitas sosio kultural yang hidup di masyarakat.
Hancurnya kemampuan komunikasi antar berbagai kelompok dan gerakan social.
Marginalisasi mayoritas rakyat.
Lemahnya kelembagaan yang ada.
Kuatnya budaya bisu di semua lapisan masyarakat.

Paradigma ekonomi yang dipakai dalam penyusunan pembangunan,


membuat pemilik modal menguasai segala-galanya. Penguasaan ekonomi dengan
dalih demi ‘keuntungan bersama’, menjadi penyebab dasar kemiskinan dalam
masyarakat dan menimbulkan kebijakan ekonomi yang semena-mena. Aspek
sosial budaya banyak sekali mempengaruhi terjadinya proses pemiskinan. Tradisi
yang ada tidak sedikit yang memberikan ‘pembenaran’ dalam pemenuhan
kebutuhan dasar. ‘Pembenaran tradisi’ bahwa anak harus ikut menanggung
kemiskinan keluarga, di satu sisi memunculkan kasus pekerja anak; dan di sisi
lain terjadi pemberontakan yang melahirkan realita anak jalanan pada banyak kota
di Indonesia. Modernisasi yang dipaksakan, memunculkan kemiskinan dalam
bentuk yang lain.

Kepentingan politik tidak bisa dilepaskan dari kemiskinan yang terjadi.


Struktur birokrasi yang tidak aspiratif terhadap rakyat miskin menimbulkan
banyak kebijakan yang semakin memiskinkan rakyat .

Berbicara tentang kemiskinan struktural, artinya struktur yang membuat


orang menjadi miskin, dimana masyarakat tidak dilibatkan dalam pengambilan
keputusan dan tidak mendapatkan akses secara baik. Disebut kemiskinan kultural,
adalah budaya yang membuat orang miskin, yang dalam antropologi disebut
Koentjaraningrat dengan mentalitas atau kebudayan kemiskinan sebagai adanya
budaya miskin. Seperti, masyarakat yang pasrah dengan keadaannya dan
menganggap bahwa mereka miskin karena turunan, atau karena dulu orang tuanya
atau nenek moyangnya juga miskin, sehingga usahanya untuk maju menjadi
kurang. Semakin banyak program-program yang bergerak dalam penanggulangan
kemiskinan, namun makin banyak pula jumlah orang miskin.

Kemiskinan dalam perspektif ekonomi, didefiniskan sebagai kekurangan


sumber daya yang dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup dan
meningkatkan kesejahteraan. Sumber daya dalam konteks ini tidak hanya aspek
finansial, melainkan semua jenis kekayaan yang dapat meningkatkan
kesejahteraan dalam arti luas. Kemiskinan ini menggunakan indikator yang
sifatnya materi seperti kepemilikan harta benda, income perkapita, maupun
konsumsi sebagaimana Badan Pusat Statistik (BPS) menggunakan indikator
konsumsi sebesar 21,00 kalori/ orang setiap hari yang disetarakan dengan
pendapatan tertentu, atau pendekatan Bank Dunia yang menggunakan standar 1
dolar AS/orang setiap hari. Contoh kemiskinan ini adalah tidak mampu memenuhi
kebutuhan dasar seperti sandang, pangan, papan beserta akses lain, seperti
kesehatan, pekerjaan maupun pendidikan.

Kemiskinan dalam perspektif kesejahteraan sosial mengarah pada


keterbatasan individu atau kelompok dalam mengakses jaringan dan struktur
sosial yang mendukung dalam mendapatkan kesempatan-kesempatan peningkatan
produktivitas. Faktor penghambat tersebut secara umum meliputi faktor internal,
dalam hal ini bersumber dari si miskin itu sendiri, seperti rendahnya pendidikan
dan adanya hambatan budaya. Sedangkan faktor eksternal berasal dari luar
kemampuan sesorang tersebut, seperti birokrasi atau peraturan-peraturan resmi
yang menghambat seseorang mendapatkan sumber daya. Secara sederhana
kemiskinan dalam persepektif ilmu kesejahteraan sosial dimaknai sebagai
kemiskinan yang pada awalnya disebabkan oleh kemiskinan ekonomi, kemudian
dikarenakan terlalu lama dalam kondisi tersebut baik karena faktor tidak
disengaja, disengaja maupun karena dipelihara menyebabkan efek domino yaitu
tumbuhnya patologi atau masalah-masalah sosial. Sedangkan resiko ketika
kemiskinan sudah menjadi masalah sosial adalah selain harus menyelesaikan
masalah ekonomi itu sendiri juga mengatasi masalah sosial yang timbul.
Contohnya adalah: munculnya kriminalitas, budaya malas, korupsi, disparitas
sosial yang menyebabkan konflik, dan ketergantungan pada pihak lain.

Kemiskinan struktural adalah kemiskinan yang muncul bukan karena


ketidakmampuan si miskin untuk bekerja (malas), melainkan karena
ketidakmampuan sistem dan struktur sosial dalam menyediakan kesempatan-
kesempatan yang memungkinkan si miskin dapat bekerja. Struktur sosial tersebut
tidak mampu menguhubungkan masyarakat dengan sumber-sumber yang tersedia,
baik yang disediakan oleh alam, pemerintah maupun masyarakat yang ada
disekitarnya. Mereka yang tergolong dalam kelompok ini adalah buruh tani,
pemulung, penggali pasir dan mereka yang tidak terpelajar dan tidak terlatih.
Pihak yang berperan besar dari terciptanya kemiskinan struktural ini adalah
pemerintah, karena pemerintah yang memiliki kekuasaan dan kebijakan
cenderung membiarkan masyarakat dalam kondisi miskin, tidak mengeluarkan
kebijakan yang pro masyarakat miskin, jikapun ada lebih berorientasi pada
proyek, bukan pada pembangunan kesejahteraan. Sehingga tidak ada masyarakat
miskin yang ‘naik kelas’, artinya jika pada awalanya buruh, nelayan, pemulung
maka selamanya menjadi buruh nelayan dan pemulung, karena tidak ada upaya
dalam menaikan derajat dan kemampuan mereka baik itu dalam kesempatan
pendidikan atau pelatihan.

Sedangkan kebudayaan kemiskinan, merupakan kemiskinan yang muncul


sebagai akibat adanya nilai-nilai atau kebudayaan yang dianut oleh orang-orang
miskin, seperti malas, mudah menyerah pada nasib, kurang memiliki etos kerja
dan sebagainya. Ciri dari kebudayaan kemiskinan ini adalah masyarakat enggan
mengintegrasikan dirinya dalam lembaga-lembaga utama, sikap apatis, curiga,
terdiskriminasi oleh masyarakat luas. Dalam komunitas lokal ditemui ada rumah
yang bobrok, penuh sesak dan bergerombol. Ditingkat keluarga, masa kanak-
kanak cenderung singkat, cepat dewasa, cepat menikah. Pada individu mereka ada
perasaan tidak berharga, tidak berdaya dan rendah diri akut.

Pandangan lain tentang budaya kemiskinan adalah, bahwa kebudayaan


kemiskinan merupakan efek domino dari belenggu kemiskinan struktural yang
menghinggap masyarakat terlalu lama, sehingga membuat masyarakat apatis,
pasrah, berpandangan jika sesuatu yang terjadi adalah takdir, dalam konteks
keagamaan disebut dengan paham Jabariah, terlebih paham ini disebarkan dan di
doktrinasikan dalam mimbar agama. Contoh kemiskinan ini ada pada masyarakat
pedesaan, komunitas kepercayaan atau agama, dan kalangan marginal lainnya.

Di dunia ini, sudah sunatullahnya terdapat hal-hal yang bertolak belakang.


Siang dan malam, kebaikan dan keburukan, keberhasilan dan kegagalan, juga
kaya dan miskin. Kemiskinan itu sendiri merupakan fenomena sosial yang tidak
bisa dinilai sebagai suatu hal yang harus diberantas hingga hilang dari permukaan
bumi. Namun, permasalahan timbul akibat jurang yang lebar antara kaya dan
miskin sehingga lahirlah permasalahan sosial lainnya yang lebih kompleks seperti
kriminalitas, prostitusi, kekerasan terhadap perempuan dan anak, masalah
kesehatan dan pendidikan dsb. Karena itu, untuk menangani permasalahan
tersebut, dibutuhkan analisis yang tajam serta penangangan secara komprehensif
dan berkesinambungan oleh seluruh pihak yang terkait dengan hal ini.
Berdasarkan hasil survei BPS Maret 2009, jumlah penduduk miskin (penduduk
yang berada di bawah Garis Kemiskinan di Indonesia pada Bulan Maret 2009
sebesar 32,53 juta 14,15 persen).

Di Indonesia, fenomena kemiskinan muncul tidak hanya pada dimensi


ekonomi atau material saja. Ia juga menyentuh dimensi lain yaitu sosial budaya
sehingga muncullah istilah cultural poverty yang dikemukakan oleh Oscar Lewis
dalam teorinya. Hal ini muncul sebagai akibat adanya nilai-nilai atau kebudayaan
yang dianut oleh orang-orang miskin seperti malas, mudah menyerah pada nasib,
dan kurang memiliki etos kerja. Karena penyebab kemiskinan ini muncul dari
dalam diri manusia itu sendiri, maka upaya menanggulanginya juga harus dari
dalam diri manusia tersebut. Dalam aset komunitas, terdapat beberapa modal
dalam suatu masyarakat. Salah satunya adalah modal spiritual.

Spiritualitas adalah jiwa dari upaya pemberian bantuan. Ia adalah sumber


dari empati dan perhatian, denyut dari kasih sayang dan unsur utama dari
kebijakan praktis, serta dorongan utama pada kegiatan pelayanan. Pekerja sosial
mengetahui bahwa peran, teori, dan keterampilan profesional yang kita miliki
menjadi tidak bermakna, kosong, melelahkan, dan tidak hidup tanpa adanya
spiritualitas.

Dorongan dalam diri seseorang yang bersumber dari kekuatan transedental


manusia dengan kekuatan lain yang tak kasat mata serta lebih berkuasa darinya, di
luar diri manusia, yang membawa orientasi manusia tidak semata-mata mengarah
ke tujuan duniawi, tetapi lebih jauh lagi ke kehidupan yang lebih hakiki. Modal
spiritual tersebut memiliki peran dalam proses pembangunan sosial,
pengembangan dan pemberdayaan masyarakat meliputi beberapa fungsi seperti,
meningkatkan etos kerja dan memberikan daya dorong atau semangat yang positif
dalam melakukan pembangunan; memberikan jiwa dalam upaya pemberian
bantuan; memberikan arah dalam pembangunan, dan menjadi pelndung terhadap
penyimpangan.

Spiritualitas erat kaitannya dengan pemahaman agama. Islam sebagai salah


satu agama yang diakui di Indonesia dan memiliki umat terbanyak atau mayoritas
di negeri kita ini dapat menjadi aset bermodal spiritual yang kuat manakala benar-
benar memahami sumber ajarannya yaitu Al-Qur’an dan al-hadits serta
mengimplementasikan secara komprehensif dalam kehidupan sehari-hari.

Saya mencoba mengambil intisari dari Al – Qur’an surat Ar Raa’d ayat 11,
“…Sesungguhnya Allah tidak merobah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka
merobah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.…”
Terdapat refleksi sosiologis dari ayat tersebut yaitu 1) Konsep perubahan
masyarakat (taghyir), yang menurut M. Quraisy Syihab ditafsirkan sebagai proses
perubahan yang memosisikan manusia menjadi pelaku perubahan baik secara
individu maupun bagian dari komunitas atau masyarakat. Berdasarkan
pembentukan katanya, subjek pada ayat tersebut adalah Qaum yakni sekelompok
manusia yang berkumpul dan terdiri dari berbagai jenis golongan, suku, bahasa,
yang disatukan oleh ikatan tertentu dan mempunyai tujuan yang sama. Inilah yang
mendasari terbentuknya faham kebangsaan Dengan kata lain, perubahan ini
mengarah pada gerakan sosial yang mampu menggerakkan masyarakat (massa)
menuju sebuah tata nilai ideal. 2) Konsep potensi diri. Berdasarkan tafsir Asy-
Sya’rawi, Nafs (potensi diri manusia) sebagai penggerak tingkah laku manusia.
Dalam nafs terdapat dua dimensi yaitu kebaikan dan keburukan.
Maka dari itu kualitasnya dapat meningkat atau menurun. Nafs dalam diri
manusia menjadi wadah dari berbagai potensi, menjadi penentu posisi dan peran
manusia dalam bidang sosial, ekonomi, politik, keilmuan dsb. Kualitas nafs
berimplikasi pada kualitas SDM. Atas dasar itulah, salah satu aspek dalam
masyarakat yang menjadi fokus utama pengembangan adalah nafas.

Selain ayat tersebut, terdapat beberapa hadits yang menerangkan tentang


kemiskinan dari persprektif Islam. Menurut riwayat Abu Hurairah, Rasulullah saw
bersabda:
“Sekiranya salah seorang di antara kamu pergi mencari kayu bakar lalu dipikul di
atas punggungnya (untuk dijual), hal ini lebih baik daripada pergi meminta-minta
kepada orang lain baik ia diberi maupun ditolak” (HR. Muttafaqun ‘alaih).
“Orang yang tidak memiliki sesuatu yang dapat menutupi kebutuhannya, dan
kondisinya tidak diketahui sehingga diberi shadaqah. Maka ia diberi zakat dan dia
tidak meminta-minta” (HR. al-Bukhari dan Muslim, dari Abu Hurairah
radhiyallaHu ‘anHu).

Begitulah ajaran Islam menghargai usaha dan proses seorang manusia


dalam memenuhi kebutuhan hidupnya di dunia. Terkait erat dengan hal tersebut,
modal spiritual juga mengorientasikan daya yang kita punya kita bukan hanya
untuk kehidupan di dunia saja, melainkan juga untuk mencapai kebahagiaan
hakiki dari kehidupan akhirat kelak sehingga dalam menjalani usaha atau
prosesnya, kita senantiasa diiringi rasa syukur atas segala rezeki yang
dianugerahkan kepada kita dan bersabar atas kekurangan yang ada pada kita
sambil terus-menerus berusaha memperbaikinya. Dengan begitu, niscaya jiwa pun
akan merasa tentram.
Dari uraian di atas, jelas bahwa pemahaman yang utuh tentang ajaran
Islam sebagai salah satu substansi dari modal spiritual, seharusnya dapat
meningkatkan produktivitas seseorang untuk memperbaiki kondisinya sehingga
idealnya, tak ada lagi orang yang secara “sukarela” menjadi miskin.

BAB III
PENUTUP

3. 1 Kesimpulan

Kemiskinan struktural adalah kemiskinan akibat dari super struktur yang


membuat sebagian anggota atau kelompok masyarakat tertentu mendominasi
sarana ekonomi, sosial, politik dan budaya
Ada tiga sisi yang menjadi akar penyebab dari terjadinya kemiskinan struktural
yaitu:
Pemahaman akan kemiskinan yang tidak tepat dan sepihak. Kemiskinan lebih
dikaji dari aspek ekonomi saja. Aspek-aspek lain yang berkaitan erat dengan
persoalan kemiskinan seperti aspek politik, kultural, serta sosial dikaji secara
terpisah. Persoalan kemiskinan dipahami tanpa mengkaji dampak dari kebijakan
publik atau pemerintah terhadap keberadaan rakyat miskin
Kebijakan yang dibuat oleh pemerintah tidak melibatkan masyarakat yang terkena
sasaran, baik di tingkat perencanaan maupun sampai ke tingkat pelaksanaannya.
Tidak ada evaluasi atas kebijakan dan program pembangunan di perkotaan untuk
melihat dampak yang terjadi.
Sedangkan kebudayaan kemiskinan adalah kemiskinan yang muncul sebagai
akibat adanya nilai-nilai atau kebudayaan yang dianut oleh orang-orang miskin,
seperti malas, mudah menyerah pada nasib, kurang memiliki etos kerja dan
sebagainya.
Yang menjadi penyebab terjadinya kebudayaan kemiskinan melingkupi beberapa
hal, diantaranya:
Hancurnya identitas sosio kultural yang hidup di masyarakat.
Hancurnya kemampuan komunikasi antar berbagai kelompok dan gerakan sosial.
Marginalisasi mayoritas rakyat.
Lemahnya kelembagaan yang ada.
Kuatnya budaya bisu di semua lapisan masyarakat.

3.2 Saran

Tak ada gading yang tak retak. Kritik dan saran yang bersifat konstruktif kami
harapkan dari pembaca sebagai bahan pertimbangan untuk pembuatan makalah
selanjutnya yang lebih baik.

Anda mungkin juga menyukai