Anda di halaman 1dari 13

PRAGMATISME PARPOL : Uang Dan Figur

Oleh : Rum Rosyid, Untan Pontianak


Pendahuluan
Apabila mencermati perkembangan dan dinamika internal maupun eksternal parpol-
parpol yang ada, bau pragmatisme sungguh menusuk kini. Internal, pragmatisme itu
mengental, misalnya lewat terterobosnya tradisi-tradisi konservatif regenerasi parpol.
Pragmatisme itu, dalam konteks ini mengemuka lewat dua faktor: uang dan figur. Uang
ternyata dapat dipakai untuk membeli suara dalam setiap kongres atau munas parpol.
Politik uang memang susah dibuktikan, mengingat kecanggihan pemainnya tetapi dapat
terasakan dampaknya. Politik uang ternyata mampu merobohkan bangunan dan proses
kaderisasi parpol yang sudah dibangun bertahun-tahun oleh para pengurus sebelumnya.
Dari situasi di atas dapat dijelaskan adanya keterputusan kehendak konstituen dan elite
partai. Saat hendak mendulang suara, partai berusaha mendengungkan apa yang bisa
membangkitkan sentimen konstituen, tapi sesudahnya elite cenderung mengejar
kepentingan mereka. Selanjutnya antar-sesama elite politik menegosiasikan kepentingan-
kepentingan mereka sendiri.

Pada titik inilah, pragmatisme politik menjadi kartel-kartel politik. Para elite politik
menentukan dan menegosiasikan kekuasaan. Siapa yang menjadi ketua komisi di DPR,
ketua DPR dan MPR, termasuk posisi menteri di kabinet hampir semuanya hasil dari
tawar-menawar antar-elite. Tidak ada yang bisa menafikan hal ini, termasuk SBY yang
mendulang suara mayoritas di legislatif.

Lalu apa yang mendasari pragmatisme ini. Kesimpulan dari Ambardi cukup klise: Uang.
Tapi memang begitulah faktanya. Ketika ongkos berpolitik semakin tinggi (biaya
kampanye di media, operasional partai, gaya hidup elite politik) maka partai politik harus
mencari sumber dana sendiri. Akibatnya tidak ada partai politik yang berani bertahan
sebagai oposisi dan menjauh dari kekuasaan.

Bahkan PDIP yang menyatakan diri oposisi pada pemerintahan SBY yang lalu, punya
catatan menempatkan elitenya sebagai ketua komisi yang dianggap basah. Kasus uang
Departemen Kelautan adalah contoh bagaimana uang negara mengalir ke sejumlah partai.
Dan ketika akan menjadi kartu yang dapat menjatuhkan elite politik maka terjadi
kompromi dan diredam di antara elite politik pula, SBY dan Amien Rais bersalaman di
Halim dan sepakat untuk tidak saling menjatuhkan. Termasuk Akbar Tanjung dengan
kasus Bulog-nya yang kemudian divonis bebas.

Untuk kehidupan politik, perilaku kartel politik semacam ini tentu saja merugikan.
Praktek ini membawa politik ke level yang sangat permukaan dan artifisial. Tidak ada
lagi perihal yang bersifat prinsipil. Politik dengan mudahnya digeser dari perdebatan
mendalam akan kesejahteraan publik kepada tawar-menawar kekuasaan. Kemungkinan
lebih menakutkan adalah kepentingan publik pada akhirnya dapat dibeli. Argumen politik
yang cerdas dan debat yang sehat hilang tergantikan oleh uang dan kekuasaan. Tidak ada
jaminan bahwa kehendak publik yang dititipkan kepada partai politik lewat hak pilih oleh
rakyat akan direalisasikan. Ada keterputusan mandat dari para pemilih.
Politik uang dalam Pemilu memiliki rasionalitas yang berbeda bagi masing-masing
pelaku politik. Bagi para calon legislatif (caleg) politik uang merupakan alat untuk
menaklukkan pilihan bebas masyarakat. Bagi mereka suara pemilih adalah komoditas
yang bisa dibarter atau dibeli dengan harga atau barang yang disepakati bersama atau
sesuai dengan harga pasar (gelap) yang ketahui dan ditetapkan para calo-calo politik.
Para calo yang membuka pintu masuk bagi para caleg ke pertemuan-pertemuan warga
atau para tokoh masyarakat.
Bagi para pemilih, penerimaan atas politik uang bukan berarti penundukan elit politik
atas pilihan politik mereka. Berlainan dari kekhawatiran yang melihat masyarakat sebagai
korban politik uang, saya malah menemukan contoh bagaimana beberapa kelompok
masyarakat telah berhasil mengembangkan strategi politik dalam Pemilu berdasarkan
realitas dan bentuk kelembagaan Pemilu yang berkembang selama satu dekade ini.
Setelah satu Pemilu legislatif berlangsung pada tahun 1999 dan rangkaian Pilkada,
dengan cepat masyarakat sadar bahwa sistem politik yang baru saja dilembagakan juga
tidak dapat memberikan kepastian akan pemenuhan kebutuhan mereka. Masyarakat tidak
lagi hanya menghadapi caleg sebagai individu yang lemah karena teratomisasi secara
politik. Mereka menyusun strategi bersama yang bisa memaksa para caleg untuk
memenuhi kebutuhan mereka.

Di beberapa komunitas desa yang saya jumpai terdapat beberapa warga dalam lingkup
satu RT, RW atau Dusun membentuk panitia penyambutan caleg dan mengatur strategi
kolektif untuk menghadapi masuknya caleg ke dalam kelembagaan sosial mereka.
Dengan persetujuan keseluruhan warga mereka menawarkan lembaga mereka dan
memfasilitasi para caleg untuk ‘bersilaturahmi’ dengan para warga. Terkadang kebutuhan
dan harga telah disepakati sejak awal sebelum pertemuan.
Untuk acara silaturahmi antara warga dengan caleg, para panitia telah mengatur sebuah
pentas drama yang mencoba meyakinkan para caleg bahwa sebagai komunitas mereka
bisa bersepakat untuk memberikan suara mereka. Pertanyaan disusun, pernyataan
dukungan disiapkan, demikian pula para pembawa perannya. Bahkan suara warga pun
siap dibagi sebagai bentuk kompromi terhadap para caleg yang telah mampir ke
pertemuan warga sehingga semua merasa menang sesuai dengan jumlah uang atau barang
yang diberikan. Di akhir pertemuan yang disampaikan adalah penegasan terhadap
tuntutan warga dan yang ditunggu adalah jawaban langsung dari sang caleg berupa uang
atau barang baik untuk skedar membeli tikar, mengecor jalan kampung hingga
memperbaiki tempat ibadah. Semakin cepat uang atau material disampaikan maka
semakin meyakinkanlah sang caleg.

Tentu “masyarakat” yang dimaksud di sini bukanlah satu kesatuan organik dan panitia
bukanlah orang yang benar-benar dapat menentukan suara warganya. Kesepakatan warga
yang direpresentasikan panitia sangat mungkin bersifat semu dan hanya akal-akalan sadar
warga yang kini benar-benar merasa terlindungi kebebasan memilihnya di dalam bilik
suara. Sebuah berkah politik dari reformasi 1998 tentunya. Bagi para caleg ini adalah
resiko politik yang sulit diperhitungkan. Mereka sadar banyaknya dana dan material yang
mereka gelontorkan tidak selalu berbanding lurus dengan jumah suara yang mereka raih.
Pada akhirnya variabel lain seperti ikatan primordial dan pengaruh sosial para panitia
lebih berpengaruh langsung daripada uang itu sendiri.

Dalam obrolan ronda malam atau di kedai-kedai kopi strategi politik semacam ini
bukanlah rahasia lagi. Bahkan para caleg pun mengetahuinya. Bagi para caleg, tuntutan
warga adalah ongkos politik yang harus dibayar untuk melempangkan jalan menuju
kekuasaan. Sedangkan tuntutan masyarakat untuk pemberian uang muka merupakan
jawaban dari masyarakat atas strategi politik uang yang dimulai oleh partai politik. Setali
tiga uang. Penerimaan atas politik uang ini tidak bisa kita lihat sebatas oportunisme
masyarakat dalam menyikapi bombardir uang dari para caleg. Lebih dari itu, politik uang
muka adalah transaksi ekonomi politik yang dilakukan secara sadar akibat tidak adanya
mekanisme kontrol masyarakat terhadap partai politik dan para anggota legislatif. Oleh
karena tidak ada kepastian imbal balik pemenuhan kebutuhan warga setelah para caleg
terpilih, maka secara rasional imbal balik tersebut harus dilakukan di awal, dalam bentuk
uang muka.

Politik uang muka ini sepenuhnya rasional dalam sistem pemilu yang tidak bisa
melahirkan keterwakilan politik berkualitas yang dapat mendorong pengelolaan sumber
daya negara bagi kepentingan konstituennya. Lingkaran setan pun terbentuk. Politik uang
muka sedang melembaga dalam masyarakat. Para caleg pun tidak bisa menghindar dari
politik uang yang berbiaya tinggi, yang berakibat logis pada penggerogotan sumber daya
publik. Lingkaran permasalahan yang mungkin berakar pada hilangnya kepercayaan
terhadap kebaikan bersama dalam hidup bernegara. Apakah keputusan MK mengenai
penentuan anggota legislaif berdasar suara terbanyak akan berpengaruh terhadap praktek
ini. Fakta yang yang terjadi adalah keputusan tersebut makin mendorong banyaknya
caleg yang masuk ke pertemuan-pertemuan warga untuk melakukan kesepakatan-
kesepakatan langsung dengan warga. Berbeda dengan sistem sebelumnya yang lebih
banyak dilakukan dan dibiayai caleg pada nomor urut teratas. Bagi beberapa komunitas
ini adalah berkah karena kini semakin banyak caleg yang bisa ‘menyumbang’ kas warga
atau membantu memenuhi kebutuhan kolektif mereka.
Dari sisi caleg dan parpol, keputusan ini masih mungkin untuk mendorong ke dua arah
yang berbeda. Pertama, oleh karena para tingginya persaingan, para caleg kini harus lebih
banyak melakukan pertemuan langsung dengan pemilih yang mengakibatkan semakin
tingginya biaya politik. Jika pragmatisme politik uang muka semakin menguat dalam
masyarakat maka pemenang Pemilu dapat dipastikan adalah mereka yang memiliki
modal finansial yang besar. Kemungkinan kedua adalah tingginya biaya politik yang
diakibatkan sistem suara terbanyak tersebut akan melampaui nilai ekonomi dari jabatan
legislatif yang diperebutkan. Akibatnya para caleg akan berpikir ulang untuk
menggunakan politik uang untuk memperoleh dukungan suara dan mulai menggunakan
strategi-strategi lain yang berbasis modal sosial atau intelektual. Untuk itu mereka
terlebih dahulu harus mematahkan pragmatisme politik uang muka dalam masyarakat.
Dan ini tentu akan membawa politik Indonesia ke arah yang lebih baik.

Sejarah Pendirian Partai Politik


Jika ditelusuri sejarah kelahiran partai politik, pada mulanya terinspirasi oleh bagaimana
sejatinya elemen kemasyarakatan menyalurkan aspirasinya kepada penguasa. Itu terjadi
disejumlah negara Eropa yang menganut sistem monarki, dimana kekuasaan atas negara
dan pemerintahan secara absolut dipegang oleh kerajaan yang berkuasa secara mutlak.
Maka untuk menyalurkan aspirasi mereka dalam kekuasaan negara yang begitu kuat, oleh
segolongan masyarakat kemudian menggabungkan dirinya dalam kelompok-kelompok
untuk secara bersama-sama menyalurkan aspirasinya, yang dalam perkembangannya
kelompok-kelompok itu kemudian mendapatkan pengakuan dalam sistem politik
kenegaraan, yang pada bentuknya disebut dengan “Partai Politik”.

Pada perkembangan selanjutnya, partai politik tidak lagi diorientasikan semata untuk
penyaluran aspirasi, tetapi pada prakteknya juga dimanfaatkan oleh elitnya untuk menjadi
instrumen pencapaian posisi dan kedudukannya di lembaga formal, baik di lembaga
perwakilan aspirasi pendukungnya (legislatif), maupun di jajaran pemerintahan
(eksekutif), dengan dalih bahwa aspirasi yang disampaikan hanya mungkin efektif
pencapaiannya, jika kedudukan dalam kekuasaan legislatif dan eksekutif dapat diraih,
untuk berfungsi mensejahterakan pendukung dan anggotanya. Ironisnya karena para ahli
ilmu politik dalam merumuskan definisinya, tidak mempetakan antara “tujuan” dan
“fungsi” partai politik itu sendiri. Sebutlah misalnya definisi yang dikemukakan dua
ilmuan politik terkemuka. Carl J. Friedrich mendifinisikan partai politik pada tujuannya
untuk merebut atau mempertahankan kekuasaan, untuk maksud mensejahterakan
anggotanya, baik untuk kebijaksaanaan keadilan, maupun untuk hal-hal yang bersifat
materil. “A political party is a group of human beings, stably organized with the objective
of securing or maintaning for its leaders the control of a government, with the farther
objective of giving to members of the party, through such control ideal and material
benefits and advantages”.

Sementara lebih jauh oleh R. H. Soltau mengemukakan definisinya tentang partai politik
sebagai organisasi yang dimanfaatkan untuk menguasai pemerintahan dalam menjalankan
kebijaksanaan umum: “A group of citizens more or les organized, who act as a political
unit and who, by the us of their voting power, aim to control the govern ment and carry
out their general policies”. Jika rumusan dari dua definisi itu dicermati, jelas bahwa
antara tujuan dan fungsi semakin tidak nyata pembedaannya, sehingga sadar atau tidak
sadar dalam prakteknya, menjebak para pelaku politik (elit partai politik) tidak lagi
mementingkan pembedaan itu, sehingga dapat mengaburkan cita-cita ideal ideal
pendirian suatu partai politik, dan dalam prakteknya untuk tujuan kemaslahatan
pendukungnya.

Kartel Politik : Koalisi Partai dan Politik Dinasti


Partai-partai politik Indonesia telah membentuk suatu sistem kepartaian yang
terkartelisasi sejak berjalannya kembali demokrasi pada 1999. Temuan-temuan dari studi
yang di lakukan memperlihatkan bahwa sistem kepartaian yang terkartelisasi tersebut
mengandung lima ciri utama: (1) menghilangnya peran ideologi partai dalam menentukan
perilaku koalisi partai; (2) ketidakpastian dalam membentuk koalisi; (3) tidak adanya
partai-partai oposisi; (4) efek minimal dari hasil-hasil pemilu; dan (5) kecenderungan
yang kuat dari berbagai partai untuk bertindak sebagai sebuah kelompok. Kelima ciri ini,
khususnya yang kelima, tidak memperlihatkan ciri-ciri yang umumnya menggambarkan
sebuah sistem kepartaian yang kompetitif.
Kebutuhan partai-partai untuk menjaga keberlangsungan hidup kolektif mereka
menyebabkan mereka membentuk sebuah kartel. Dengan demikian, keberlangsungan
hidup mereka didefinisikan oleh kebutuhan kolektif mereka untuk menjaga sumber-
sumber keuangan mereka yang terutama berasal dari pemerintah. Sumber itu bukan uang
pemerintah yang secara resmi dialokasikan untuk partai-partai politik. Namun sumber itu
adalah uang pemerintah yang didapatkan partai-partai tersebut melalui aktivitas-aktivitas
perburuan-rente (rent-seeking). Hal ini dimungkinkan hanya jika mereka memiliki akses
dalam jabatan-jabatan pemerintahan dan parlemen. Lebih khusus, jabatan-jabatan kabinet
dan pemimpin parlemen di tingkat komisi sangat penting bagi partai-partai tersebut.

Begitu partai-partai itu terlibat dalam jenis aktivitas rente ini, mereka mematok nasib
mereka bersama sebagai sebuah kelompok. Nasib politik dan ekonomi mereka terikat
bersama dan keberlangsungan hidup mereka bergantung pada terpeliharanya kartel itu.
Dalam situasi seperti ini, partai-partai tersebut melihat jabatan-jabatan kabinet dan
parlemen terutama sebagai gerbang untuk menjalankan aktivitas-aktivitas rente, bukan
untuk mencapai kepentingan ideologis dan programatis partai-partai itu.

Sikap politik pragmatis dan mayoritasnya partai koalisi pendukung SBY di legislatif
merupakan kondisi yang mencemaskan dalam politik kontemporer Indonesia ke
depannya. Analisis yang dilakukan oleh Hendrik Boli Tobi (P2D) menunjukkan bahwa
kondisi tersebut memusatkan kekuasaan pada Presiden SBY. Hampir bisa dipastikan
kekuasaan SBY akan hadir tanpa koreksi, dan kekuasaan tanpa koreksi tentu saja rentan
untuk menyimpang. Ada nuansa SBY mencoba menghadirkan kehendak dirinya dalam
pemilihan ketua umum Golkar, dan juga ada kehendak dari partai politik untuk terlihat
sejalan dengan garis politik SBY. Hasilnya Aburizal Bakrie yang dikenal sejalan dengan
SBY terpilih menjadi ketua umum. Sama halnya dengan PDI-P, Taufiq Kiemas yang
dikenal sangat punya pengaruh di dalam partai didaulat duduk sebagai Ketua Umum
MPR. Indikasi lainnya dari politik SBY adalah menentukan ketua DPRD di mana Partai
Demokrat menguasai mayoritas. Kalau ini terjadi maka lengkaplah jangkauan kekuasaan
SBY di pusat dan daerah.

Selain memaksimalkan kekuasaan ditangannya, tendensi lainnya adalah politik dinasti.


Seperti diketahui beberapa Ketua Umum Partai Demokrat Hadi Utomo, Panglima
Kostrad Jendral Erwin Sudjono, Danjen Kopasus Mayjen Pramono Edie Wibowo dan
Dirut BNI memiliki kekerabatan dengan SBY. Kedua anaknya pun sudah dipersiapkan
untuk menjadi tokoh politik di masa mendatang. Bibit nepotisme seperti ini wajar jika
jauh-jauh hari harus terus menerus diingatkan. Kekuasaan yang tanpa koreksi dan
kehendak untuk memajukan handai-tolan sangat berpotensi memunculkan konflik
kepentingan. Bagi sebagian orang kecenderungan semacam ini tidak perlu terlalu
dikhawatirkan karena ukuran-ukurannya adalah konstitusi. Selama tindak-tanduk politik
tidak melanggar konstitusi maka tidak lah perlu dipermasalahkan. Jika melanggar, serta
merta hukum akan menjatuhkan keberadaannya. Korupsi (baca: suap) masih menjadi
kebiasaan dalam lini birokrasi di Indonesia, termasuk wilayah pengadilan.

Studi Ambardi menyimpulkan bahwa kartel politik menemukan ruang geraknya karena
banyaknya wilayah abu-abu dalam politik. Dengan demikian, argumen di atas terasa naif
dan tidak bersentuhan dengan realitas politik Indonesia. Kekuasaan yang mutlak,
pengadilan yang korup dan hukum yang multiinterpretasi merupakan kondisi cukup agar
kekuasaan menjadi absolut. Sedemikian dominannya perburuan kekuasaan membuat
model kleptokrasi tumbuh mekar. Kleptokrasi bisa dimaknai sebagai model kekuasaan
politik berdasarkan kemampuan mencuri uang. Alhasil, wakil pilihan rakyat pun identik
dengan wakil pilihan uang. Padahal, sejak bangsa ini berdiri, gerakan untuk melawan
kleptokrasi sudah digagas dengan membumikan nilai-nilai Pancasila. Sangat tepatlah
ketika Mohammad Hatta mengatakan bahwa Sila I Pancasila adalah fundamen etik
bernegara. Sementara sila II-V adalah fundamen politik. Artinya politik mesti dibangun
dengan semangat kemanusiaan, peraturan, demokrasi dan keadilan sosial. Semestinya,
energi dibalik kekuasaan itu adalah ideologi. Satu rezim kekuasaan tidak akan mungkin
berjalan dengan baik tanpa memiliki ideologi. Ideologi merupakan sumber visi, inspirasi
dan motivasi. Ideologi membuat orang cerdas menatap masa depan. Ideologi menjadi
dasar perubahan.

Pragmatisme Politisi Pengusaha


Pascatumbangnya Orde Baru, selain melengserkan Soeharto dan membuka katup
demokrasi, nyaris tak ada pembaruan mendasar yang bisa dilakukan pemuda dan gerakan
mahasiswa. Mengutip hasil penelitian Lembaga Survei Indonesia (2007), salah satu
kendala utama dalam menuntaskan agenda reformasi adalah sulitnya mencari sosok muda
tampil mengimbangi peran elite mapan produk kepemimpinan politik Orde Baru.
Terhambatnya regenerasi kepemimpinan politik pemuda yang bisa berdiri sejajar dengan
sosok mapan seperti Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), Megawati Soekarnoputri atau
Jusuf Kalla diperkirakan masih akan terus berlangsung hingga pemilu 2009. Elite
Indonesia pascareformasi, sepertinya tengah mengalami pergeseran entitas, dari elite
berbasis militer-politisi-birokrat ke elite berlatar aktivisintelektual-entrepreneur.

Menarik dalam konteks ini, ialah munculnya para aktor politisi-pengusaha yang bahu-
membahu terjun langsung untuk menguasai parpol. Faktanya, jumlah mahasiswa dan
geliat gerakan mahasiswa mengalami booming pada dekade 70-an, yang perannya
tumbuh dan mengait kuat dengan dunia politik. Hal itu berpengaruh signifikan pada
tampilnya kembali sosok politik pemuda. Pascakampus, para mantan aktivis mahasiswa
aktif dalam organisasi kepemudaan, partai politik, LSM, perguruan tinggi, pers, dan
dunia bisnis. Kejatuhan rezim Soeharto menjadi momentum bagi para mantan aktivis
mahasiswa untuk memasuki dunia politik praktis. Banyak di antara mereka, terutama
mantan aktivis berlatar profesionalentrepreneur untuk duduk di lembaga legislatif
maupun eksekutif, di level nasional maupun daerah. Namun, tak sedikit dari mereka yang
memasuki arena kekuasaan harus mengalami disorientasi visi dan terjebak dalam arus
pragmatisme politik.

Penyebabnya adalah, tren politik nasional diwarnai secara kental oleh kegiatan ekonomi
pasar. Pasar telah menjadi arena political game baru, yang mempenetrasi wilayah politik
dan perilaku para aktornya. Tren politik berbasis pasar (industri politik) juga tumbuh
seiring dengan sikap elite politik yang kian arogan, parokial, dan partitokrat (perilaku
partai yang suka "merampas" kedaulatan rakyat). Kalau pola yang lazim selama ini, para
pengusaha tidak susah-susah ikut berpolitik, melainkan sekedar mensponsori para politisi
murni. Tetapi, kini trennya, utamanya pasca Munas Partai Golkar akhir 2004, para politisi
pengusaha kelihatannya emoh untuk berdiam diri, melainkan terjun langsung
mengendalikan komando parpol. Sehingga dengan demikian tak ada kekhawatiran lagi
obsesi politiknya terganggu oleh manuver politisi murni yang kadang-kadang merugikan
gerak-langkah mereka. Tatkala kritik conflict of interest dimunculkan, mereka tenang-
tenang saja mungkin etika politik telah dianggap tidak signifikan lagi apakah parpol
didukung atau tidak oleh konstituen.

Dalam buku The Rise of Capital (1986), Richard Robinson menjelaskan bagaimana
pengusaha mengendalikan negara melalui arena politik. Realitas politik itu sesungguhnya
adalah wajah lain dari watak kekuasaan Orde Baru yang nepotik, kolutif, dan koruptif.
Ketika sikap pragmatisme para politico-business itu bersinerji dengan iklim politik pasar,
maka bisa dipastikan dunia politik akan menjadi lawan dari demokrasi. Persoalannya
kemudian, bagaimana menjamin proses transisi politik dari generasi tua ke generasi
muda tidak kembali terjebak pada model regenerasi elitis, pragmatis, subjektif, dan
fragmentatif. Pertama, kaum muda harus berani merombak watak budaya politik
"banalisme" yang menjadikan kekuasaan dan uang sebagai tujuan. Kedua, memperkuat
komitmen penegakan hukum dan memfungsikan partai politik dan badan legislatif
sebagai arena perjuangan kepentingan.

Figure Politik : artis politisi


Pragmatisme juga terbaca lewat ketergantungan atas figur politik yang sengaja atau tidak
dimitoskan sedemikian rupa. Adakalanya, figur itu kuat karena dipercaya merupakan
penyambung ideologis atas tokoh politik berpengaruh tempo dulu, adakalanya ia
dianggap ikon reformasi (perubahan). Tetapi, belakangan muncul tren figur yang layak
jual di pasar politik elektoral Indonesia karena rating popularitas tinggi seolah mengikuti
tren acara-acara favorit di berbagai televisi dan pandai menawarkan janji perubahan.
Sejumlah artis ramai-ramai diusung oleh partai politik menjadi caleg dalam pemilu 2009.
Salah satunya PAN yang disebut-sebut menggaet Wulan Guritno, Eko Patrio, Marini
Zumarnis, Derry Drajat, dan Iyet Bustami. Pantaskah mereka menjadi wakil rakyat di
DPR. "Politik kita instan. Ingin cepat mendapatkan dukungan suara dengan memasang
artis yang dikenal masyarakat. Harusnya ada kesadaran di kalangan artis bisa mengukur
diri sendiri, kalau tidak mampu, ya jangan," ujar pengamat politik dari LIPI Lili Romli
kepada detikcom, Kamis (17/7/2008).

Lili mengatakan, jangan mentang-mentang karena artis itu populer dan dikenal
masyarakat jadi ikut-ikutan tanpa mengetahui apa itu politik. "Tetapi itu hak politik artis
itu. Memang ada juga artis yang mampu berpolitik," katanya. Menurut Lili, masyarakat
Indonesia juga harus diberikan kesadaran agar tidak masuk ke dalam politik pragmatis
tersebut. Meskipun syarat pemilihan caleg atau presiden itu terkenal namun harus dilihat
juga kualitas dari orang yang dicalonkan itu. "Masyarakat harus diberi kesadaran agar
tidak terjebak dengan politik pragmatis itu," tukasnya. Apa mungkin nanti partai-partai
yang ikut pemliu 2009 mencalonkan artis jadi presiden? "Bisa jadi seperti itu," kata Lili.
Artis-artis yang berada di DPR sekarang ini, lanjut Lili, hanya diam seribu bahasa. "Itu
merugikan rakyat dan partai. Dia dikirim ke dewan untuk memperjuangkan nasib rakyat,"
tegasnya.

Fenomena Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pemilukada)yang mirip pemilihan kontes


kecantikan dan model kembali menjadi pembicaraan di masyarakat. Kasus terbaru yang
membuat heboh jagat politik nasional adalah munculnya artis yang kerap tampil vulgar
Julia Perez alias Jupe. Artis 'heboh' ini diusung tujuh partai politik sebagai calon wakil
bupati Kabupaten Pacitan, Jawa Timur. Apakah ini sebagai guyonan atau serius, ini
menjadi bahan pertanyaan besar. Yang pasti Jupe semakin mengharumkan daerah
kelahiran Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

Kasus Jupe ini semakin mengukuhkan bahwa politik Indonesia tidak hanya bermodalkan
visi dan misi untuk dipilih rakyat melainkan juga harus memiliki modal citra dan
popularitas yang menjadi representasi dari sikap pragmatisme. Sekarang memang partai
berbondong-bondong mengajukan calon tanpa mempriortaskan aspek kualitas sang calon
tetapi lebih mengedepankan aspek popularitas dan sebagainya. Yang terpenting targetnya
adalah menang.

Sebenarnya kalau kita jujur mengakui, kita tidak mampu menjawab kebutuhan
pragmatisme masyarakat. Kalau dia (calon) tidak punya finansial dia tidak berani maju.
Kalau dia punya kemampuan finansial untuk memenuhi kebutuhannya sendiri pasti mikir
dua kali untuk maju. Sekarang masyarakat bila tidak ada uang trasportnya mana mau
disuruh-suruh, apalagi memilih. Transport dan segala macamnya ini tentu membutukan
sumber finansial yang cukup untuk mencapai target pemilih yang dibutuhkan.
Sebenarnya bukan partai tidak punya kader yang cukup (dalam segi kualitas) tapi juga
harus dilihat juga masalah finansial itu. Sebenarnya ini masalah lama, sudah terjadi sejak
pemilu lalu.

Julia Perez selain dia populer juga secara finansial memadai. Popularitas dia itu justru
mendatangkan finansial. Misalnya dia menyanyi, dari lagu-lagu itu bisa dijual albumnya
dan bisa buat nada sambung. Dari sini semua bisa dijadikan sebagai pendidikan politik
bagi masyarakat. Bagaimana agar masyarakat tidak gampang melihat finansial semata.
Oleh karena itu kita masih berharap masyarakat memilih calonnya secara rasional. Secara
umum masyarakat dan kader politik harus diberikan pendidikan politik tentang
persyaratan umum seorang calon pimpinan daerah yang diatur undang-undang. Selama
ini kriteria sebenarnya sudah cukup seperti pendidikannya harus diperhatikan, visi dan
misinya serta memiliki komitmen untuk memajukan daerah tempat.

Politik Pragmatisme Struktural Fungsional

Selain itu ada pragmatisme struktural-fungsional, bahwa karena posisi dan perannya amat
strategis, maka pada saat yang sama parpol harus mengupayakan aspek material-finansial
yang cukup dengan segala cara -asal tidak terdeteksi oleh aparat penegak hukum. Banyak
peluang untuk itu, misalnya dengan menyelewengkan jabatan-jabatan politik yang ada
untuk memperkaya pundi-pundi finansial parpol (secara tidak resmi), atau dengan
menjadikan parpol sebagai mesin keruk para pelamar kandidat presiden-wakil presiden,
kepala daerah atau yang lain yang pencalonannya harus lewat parpol.

Adakalanya masyarakat cemas akan kelakuan-kelakuan negatif parpol-parpol. Betapa


beraninya parpol-parpol itu mengambil risiko kebangkrutan lembaga karena tidak disukai
lagi oleh konstituen. Diasumsikan kalau masyarakat semakin cerdas dan obyektif, maka
tidak ada kesempatan bagi parpol-parpol untuk macam-macam atau mempercepat proses
kematiannya. Tapi, apakah masyarakat politik kita sudah cerdas? Kini, terserah para
pengurus dan kader parpol mana saja, apakah sekadar berjuang untuk kepentingan jangka
pendek artinya kepentingan lingkaran elite di dalamnya secara optimal, tetapi parpolnya
hancur. Ataukah untuk kepentingan keberlangsungan parpol dan optimalisasi fungsi dan
perannya, termasuk dalam ikut melaksanakan tanggungjawab pendidikan politik bangsa.
KEPUSTAKAAN
Achmad An'am Tamrin Demokrasi “voorskot”: strategi resistensi terhadap politik uang,
Wednesday, 01 April 2009 20:44, http://www.jakartabeat.net/politika
Achwan, Rochman, "Good Governance": Manifesto Politik Abad Ke-21 , google 2010
Administrator, Peran Pemuda Terjebak Pragmatisme Sesaat , 05 August 2009,
http://www.hmifebugm.com
Admin, Pragmatisme Partai Ancam Bangsa, 08 Apr 2010
admin on Sun, 02/15/2009, Hak Asasi Manusia dalam Bayang-bayang Pragmatisme,
Litbang Kompas, http://cetak.kompas.com/read/
Admin(2008), Politik yang Berorientasi Nilai: Kuliah Umum Akbar Tandjung di SSS
Jakarta, 7 Juni 2005 Akbar Tandjung Chairman Akbar Tandjung Institute.
Ahmad Suaedy(2008) Peta Pemikiran dan Gerakan Islam di Indonesia:
Masa Depan Islam Indonesia, http://www.gusdur.net
Alfan Alfian, Dilema Golkar, Dilema Jusuf Kalla, Selasa, 06 November 2007
ariedjito, Orde (paling) Baru , Wednesday, 07 May 2008
Budi Mulyana, Pragmatisme Polugri Indonesia, google 2010.
Chazizah Gusnita , Artis Jadi Caleg, Politik Indonesia Pragmatis, detikNews, Kamis,
17/07/2008 08:49 WIB
Dimas Bagus Wiranata Kusuma , Pragmatisme Politik Pemuda, Thursday, 15 October
2009 09:11 Duesseldorf, Nov 8, '06 4:13 AM, http://ediwahyu.multiply.com/journal/
Dodi Ambardi, IDEOLOGI, KONSTITUEN, DAN PROGRAM PARPOL, Bukit Talita,
27 Februari - 1 Maret 2009freedom.institute.org/id
Ediwahyu, Mendayung Diantara Dua Karang: Pemuda, Nasionalisme dan Pragmatisme,
ediwahyu.multiply.com/journal
Endrizal, MA, Century, Koalisi dan Pragmatisme Politik, 02 Maret 2010 | BP Erlangga
Ida Fauziah , Julia Perez Wujud Pragmatisme, Selasa, 06/04/2010
Iwan Januar , BAHAYA PRAGMATISME, Friday, 01 May 2009, KapanLagi.com
Makmur Keliat, Peta Kekuasaan dan Kemiskinan, 2009 08 Tuesday, 31 March:01
Kompas
Marinus W, Koalisi Pragmatisme Vs Koalisi Deontologisme, . (Artikel April, 2009)
Masdiana, Sarana Pragmatisme Politik, 06 april 2009 ,http://m.suaramerdeka.com/
Max Regus , "Pragmatisme Religius", Menuju Sinkretisme Destruktif? , :
http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0410/15/opini/1262288.htm
M. Fadjroel Rahman, 2001 Pelopor dan Pengawal Revolusi Demokrasi: Gerakan
Mahasiswa Sebagai Gerakan Politik Nilai, PSJ, 2001.
Nova Kurniawan, Pragmatisme Politik ‘09, Maret 26, 2009, Nova Kurniawan's Weblog
NU Online , Ideologi Modal Jadikan Pragmatisme Politik , Kamis, 17 Juli 2008 Pandu
Oscar Siagian , Koalisi dalam Ruang Pragmatisme Elit, Redaksi on Mei 5th, 2009
Peter G. Riddel, "The Diverse Voices of Political Islam in Post-Suharto Indonesia",
Islam and Christian - Muslim Relations, Vol. 13, No. 1, 2002, hlm. 65 – 83
Redaksi(2008), Maklumat Politik Indonesia, 11 Aug , http://swaramuslim.net/
Utama Manggala(2007), Memilih Demokrasi untuk Indonesia, October 8.
Sanusi Uwes PR(2009), Pragmatisme Partai Politik dan Bendera Islam , Thursday, 15
October.
Todung Mulya Lubis(2008), Negara Pragmatis, Thu Nov 20.
VIVAnews , Politik Kartel Atau Dinasti? Indonesia pasca reformasi bergerak ke arah
format poltik baru. Perlu kritik dan refleksi. Dari Diskusi P2D, Senin, 26 Oktober 2009,
10:05 WIB
Wishnugroho akbar(2010), Birokrasi Harus Steril dari Kepentingan Politik, Jakarta
Wemmy al-Fadhli , Fenomena Koalisi Pragmatis, Monday, 27 April 2009 20:33
Woodward, M., (Summer-Fall 2001), "Indonesia, Islam and the Prospect of Democracy"
SAIS Review Vol. XXI, No. 2, hlm. 29-37.
Zaenal Abidin EP, Majelis Ulama Indonesia: Pelanggeng Pragmatisme Religius, 24
Pebruari 2006
M Ismail Yusanto: Pragmatisme Menggusur Idealisme Islam, Monday, 10 August 2009
Afan Gaffar. Javanese Voters: A Case of Election Under A Hegemonic Party System,
Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 1992.
A. S. Hikam. Demokrasi dan Civil Society, LP3S, Jakarta,1996
Burhanuddin (Editor), Mencari Akar Kultural Civil Society di Indonesia, INCIS, Jakarta
2003. Carl J. Friedrich. Constitutional Governt and Democracy: Theory and Practice in
Europe and America, Waltham, Mass : Blaisdell Publishing Company, 1967.
Miriam Budiardjo. Dasar-Dasar Ilmu Politik, Gramedia, Jakarta, 1988.
Jakob Oetama.Perspektif Pers Indonesia?, LP3S, Jakarta 1987.
Max Webwr. Wirschaft und Gesellschaft, Tuebingen, JCB Mohr, 1956. (khususnya pada
Bab I)
Ignas Kleden. Budaya Politik atau Moralitas Politik, (Artikel), Harian Kompas, 12 Maret
1998.
Ben Anderson. The Pemuda Revolution: Indonesian Politics 1945-1945 (Disertasi) pada
Universitas Cornell Amerika Serikat, 1967.
Frans Neumann (Ed). Politische Theorien und Ideologien, Baden-baden, Signal-Verlag.
Idrus Marham, Pemuda dan Jebakan Penjara Pragmatisme, Artikel dalam Jurnal
Resonansi, volume 1 nomor 2 tahun 2003.
Anderson, Benedict dan Audrey Kahin (eds.), Interpreting Indonesian Politics: Thirteen
Contribution to the Debate. New York: Cornell Modern Indonesia Project, 1982.Booth,
Anne dan Peter McCawley (eds.), Boediono (penerjemah), Ekonomi Orde Baru: The
Indonesian Economics During the Soeharto Era Jakarta: LP3ES, 1981. Crouch, Harold,
The Army and Politics in Indonesia. Ithaca: Cornell University Press, 1978.
Hill, Hal (ed), Indonesia’s New Order: The Dynamics of Socio-Economic
Transformation.
Honolulu: University of Hawaii Press, 1994.Karim, Muhammad Rusli, Peranan ABRI
dalam Politik dan Pengaruhnya Terhadap Pendidikan
Politik di Indonesia (1965-1979), Jakarta: Yayasan Idayu, 1981.Liddle, R. William,
Cultural and Class Politics in New Order Indonesia. Singapore, Institute of
Southeast Asian Studies, 1977.
Mas’oed, Mohtar, Negara, Kapital dan Demokrasi. Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 1994.
Pabottinggi, Mochtar Sihbudi, Syamsuddin Haris, Riza (eds),
Menelaah Kembali Format Politik Orde Baru. Jakarta: PPW-LIPI Yayasan Insan Politika,
1995.
Sanit, Arbi, Sistem Politik Indonesia: Penghampiran dan Lingkungan. Jakarta: Yayasan
Ilmu-Ilmu
Sosial & FIS-UI, 1980.
Van Der Kroef, J.M., Indonesia after Sukarno. Van Couver: Univ. of British Columbia
Press, 1971.
Ardianto, Elvinaro dan Bambang Q-Anees. 2007. Filsafat Ilmu Komunikasi.
Bandung: Simbiosa Rekatama Media.
Effendy, Onong Uchjana. 1989. Kamus Komunikasi. Bandung: Mandar
Maju, hlm 264.
Kam. 2001. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Edisi ke-3 – Cetakan 1.
Jakarta: Balai Pustaka, hlm 828.
Rogers, Everett. M. 1994. A History of Communication Study: A
Biographical Approach. New York:The Free Press.
West, Richard dan Lynn H. Turner. 2008. Pengantar teori Komunikasi: Analisis dan
Aplikasi. Buku 1 edisi ke-3. Terjemahan. Maria Natalia
Damayanti Maer. Jakarta: Salemba Humanika.
Wiryanto. 2004. Pengantar Ilmu Komunikasi. Cetakan ke-3. Jakarta: PT.
Grasindo-Gramedia Widiasarana Indonesia.
Afan Gaffar. “Javanese Voters: A Case of Election Under A Hegemonic Party System”,
Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 1992.
A. S. Hikam. “Demokrasi dan Civil Society”, LP3S, Jakarta,1996
Burhanuddin (Editor), “Mencari Akar Kultural Civil Society di Indonesia”, INCIS,
Jakarta 2003. Carl J. Friedrich. “Constitutional Governt and Democracy: Theory and
Practice in Europe and America”, Waltham, Mass : Blaisdell Publishing Company, 1967.
Miriam Budiardjo. “Dasar-Dasar Ilmu Politik”, Gramedia, Jakarta, 1988.
Jakob Oetama.“Perspektif Pers Indonesia”, LP3S, Jakarta 1987.
Max Weber. “Wirschaft und Gesellschaft”, Tuebingen, JCB Mohr, 1956. (khususnya
pada Bab I)
Ignas Kleden. “Budaya Politik atau Moralitas Politik?”, (Artikel), Harian Kompas, 12
Maret 1998.
Ben Anderson. “The Pemuda Revolution: Indonesian Politics 1945-1945” (Disertasi)
pada Universitas Cornell Amerika Serikat, 1967.
Frans Neumann (Ed). ”Politische Theorien und Ideologien”, Baden-baden, Signal-Verlag.
Idrus Marham, “Pemuda dan Jebakan Penjara Pragmatisme”, Artikel dalam Jurnal
Resonansi, volume 1 nomor 2 tahun 2003.
Harry Truman, Golkar Dalam Pusaran Politik Indonesia, Mar 22, '07 10:24 AM
http://adetaris.multiply.com
Berger, Arthur Asa. 1991. Media Analysis Techniques. California:Sage Publication
Bignell, Jonathan. 2001. Media Semiotics, An Introduction. London: Manchaster
University Press
Chomsky, Noam dan Edward S. Herman, 1988. Manufacturing Consent: The Political
Economy of the Mass Media. New York:Pantheon
Currant, James and Michael Gurevitch. 1991. Mass Media and Society .London :Edward
Arnold
Curran, James and Richard Collins, 1986. Media, Culture and Society: A Critical Reader.
London:Sage Publication
Denzin, Norman K. (eds). 2000. Handbook of Qualitative Research. California:Sage
Public
Eriyanto. 2001. Analisis Wacana: Pengantar Analisa Teks Media. Yogyakarta:LKIS
Fairclough, Norman. 1998. Critical Discourse Analysis: The Critical Study of Language.
London:Longman
Fairclough, Norman. 1995. Media Discourse. New York:Edward Arnold
Fiske, John. 1982. Introduction of Communication Studies. London:Routledge
Guba, Egon. G,. 1990. The Paradigm Dialog. New York:Sage Books
Hall, Stuart. 1992. Culture, Media dan Language. London:Routledge
Hardiman, Budi Francisco, 1990. Kritik Ideologi: Pertautan Pengetahuan dan
Kepentingan. Yogyakarta:Kanisius
Kolakowski, Leszek. 1978. Main Currents of Marxisme III. Oxford:Clarendon Press
Latif, Yid dan Idi Subandy Ibrahim (eds). 1996. Bahasa dan Kekuasaan: Politik Wacana
di Panggung Orde Baru. Jakarta:Mizan
Littlejohn, Stephen. 2002. Theories of Human Communication. California:Wadsworth
Publishing Company
Lull, James. 1998. Media, Komunikasi, Kebudayaan; Suatu Pendekatan Global.
Jakarta:YOI
Magnis-Suseno, Franz. 1992. Filsafat sebagai Ilmu Kritis. Yogyakarta:Kanisius
Magnis-Suseno, Franz. 1991. Etika Politik: Prinsip-prinsip Moral dan Dasar Kenegaraan
modern. Jakarta:Gramedia
Mannheim, Karl. 1979. Ideologi dan Utopia. An Introduction to the Sociology of
Knowledge. London:Routledge
Mcdonnell, Diane. 1986. Theories of Discourse: An Introduction. Oxford:Basil
Blackwall
Mcquail, Dennis (ed). 2002. McQuail’s Reader in Mass Communication Theory.
London:Sage Publications
Mills, Sara. 1991. Discourse. London:Routledge
Neuman, Lawrence W. 2000. Social Research Methods. London:Allyn and Bacon
Raboy, Marc dan Bernard Dagenais (eds). 1995. Media, Crisis and Democracy: Mass
Communication and the Disruption of Social Order. London:Sage Publication
Reese, Stephen D,. 2001. Framing Public Life. New Jersey:Lawrence Earlbaum Publisher
Riggins, Stephen H,. 1997. The Language and Politics of Exclusion: Others in Discourse.
London:Sage Publication
Rogers, Everett. M. 1994. A History of Communication Study. New York:The Free Press
Saverin, Werner. 1997. Communication Theories: Origins, Methods and Uses in the
Mass Media. New York:Longman
Sen, Krishna dan David T. Hill. 2001. Media, Budaya dan Politik di Indonesia.
Jakarta:PT Media Lintas Inti Nusantara
Shoemaker, Pamela cs (eds). 1991. Mediating The Message: Theories of Influences on
Mass Media Content. London:Longman Group
Shoemaker, Pamela cs (eds). 1996. Mediating The Message: Theories of Influences on
Mass Media Content. London:Longman Group
Sobur, Alex. 2001. Analisis Teks Media: Suatu Pengantar untuk Analisis Wacana,
Analisis Semiotik, dan Analisis Framing. Bandung:PT. Remaja Rosdakarya
Wimmer, Roger D. 2000. Mass Media Research: An Introduction. Singapore:Wadsworth
PC
Vatikionis, Michail R.J. 1993. Indonesian Politics under Soeharto, Order, Development
and Pressure for Change. New York:Routledge
Almond, Gabriel A. and G Bingham Powell, Jr.,
Comparative Politics: A Developmental Approach . New Delhi, Oxford & IBH
Publishing Co, 1976
Anderson, Benedict, R. O’G., Language and Power: Exploring Political Cultures in
Indonesia . Ithaca: Cornell University Press, 1990.
Emmerson, Donald, K., Indonesia’s Elite: Political Culture and Cultural Politics.
London: Cornell University Press, 1976.
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Pokok-pokok pikiran sekitar penyelenggaraan
pemilu 1987: Laporan Kedua, Bagian I, Transformasi Budaya Politik. Jakarta: LIPI,
1987.
Rosenbaum, Wolter, A., Political Culture, Princeton. Praeger, 1975.
Suryadinata, Leo, Golkar dan Militer: Studi Tentang Budaya Politik . Jakarta: LP3ES,
1992.
Widjaya, Albert, Budaya Politik dan Pembangunan Ekonomi. Jakarta: LP3ES, 1982

Anda mungkin juga menyukai