Anda di halaman 1dari 9

POLITIK PENCITRAAN : Runtuhnya Ideologi Partai

Oleh Rum Rosyid, Untan-Pontianak


Pendahuluan
Sebagai penulis disertasi, yang terlibat langsung pada hari-hari politik menyulitkan
fenomena survival partai Golkar menurut Akbar Tanjung melalui pendekatan
kelembagaan. Ia menganalisis dari konteks kesisteman, nilai (ideologi) dan kultur,
kemandirian (otonomi), hingga pencitraan partai. Berubahnya sistem politik Indonesia,
harus direspons secara tepat oleh Golkar. Respons tersebut didukung sepenuhnya oleh
konteks nilai-nilai dan kultur organisasi. Berbeda dengan partai-partai politik pada
umumnya yang bersifat sektarian, Golkar bercorak catch all. Paradigma Baru yang
dirumuskan, berupaya meyakinkan bahwa Golkar selaras dengan reformasi.

Sementara dalam konteks otonomi organisasi, Partai Golkar merespons perubahan


dengan melakukan restrukturisasi kepengurusan dengan memastikan berjalannya
mekanisme demokrasi internal partai. Tidak ada lagi struktur Dewan Pembina yang
otoritatif di dalamnya. Secara kelembagaan Partai Golkar “menentukan dirinya sendiri”,
termasuk kebijakan dalam menentukan calon presiden dan juga memilih koalisi.
Terkait dengan citra partai dan pengenalan masyarakat, kasus Partai Golkar juga menarik.
Kiprah dan citra Partai Golkar telah dibangun dalam waktu yang panjang. Luasnya
jangkauan jaringan organisasi dan difusinya yang demikian ekspansif baik dari sisi
wilayah maupun tingkatan sosial mengakibatkan Partai Golkar dikenal secara luas.

Sama dengan pragmatisme, politik citra juga lahir dari sebuah landasan teoritik yang
menganggap tindakan manusia didorong oleh stimulus atau rangsangan-rangsangan
simbolis yang sering sekali tidak menggambarkan substansi. Pola bertindak seperti ini
akan sangat efektif ketika masyarakat masih hidup dalam sistem kesadaran naif yang
memuja tampilan fisik, simbol-simbol dan realitas kasat mata yang mudah ditangkap oleh
indera. Paradigma berfikir seperti ini menjadi trend yang terus-menerus direproduksi,
bahkan oleh sistem politik yang seharusnya menempati level tertinggi institusi perubahan
bangsa. Dalam realitas politik hal itu terwujud dalam perilaku pemilih dalam momentum-
momentum pemilihan umum di Indonesia, dimana simbol-simbol politik pencitraan
direproduksi dan dikonsumsi secara masif oleh masyarakat.

Dalam sebuah sistem politik modern, kedua paradigma tersebut layak-layak saja
digunakan oleh seluruh institusi politik terutama oleh partai politik yang salah satu
tujuannya adalah meraih sebesar mungkin suara rakyat. Instrumen-instrumen yang
mendukung paradigma tersebut terbukti mampu memobilisasi kekuatan dalam rangka
memperoleh kekuasaan. Namun persoalannya, perilaku pragmatis dan politik pencitraan
kemudian meruntuhkan peluang bagi tumbuhnya konsistensi, komitmen dan basis nilai
politik yang bersifat ideologis. Padahal paradigma politik yang berbasis ideologi
merupakan landasan moral dan perilaku politik yang mendorong terjadinya perubahan
struktural yang substantif.

Partai dengan pimpinan, pengurus dan warga partai yang cenderung pragmatis tentu saja
akan mudah dan cepat terjebak dalam sebuah sistem yang sedang berlaku. Keterjebakan
tersebut terjadi karena partai politik tersebut berada dalam sebuah ruang sistem rasional
yang sarat dengan pertimbangan-pertimbangan kontraktual, sedangkan pertimbangan
kontraktual biasanya sangat realistis dan tergantung pada peta pasar politik. Keuntungan
atau manfaat, biaya (cost) atau kerugian, konsekuensi negatif/positif maupun orientasi
hasil yang terus mengalami dinamika dapat mengombang-ambingkan eksistensi partai
politik. Posisi di tengah peta pasar politik tersebut tak akan pernah menghasilkan
perubahan-perubahan jangka panjang yang sebenarnya berkontribusi terhadap
terbentuknya kesetiaan konstituen. Dengan kata lain, rakyat yang selama ini memiliki sisi
pragmatisme juga sebenarnya memiliki kepentingan dan menghargai sisi-sisi konsistensi
dan prinsip-prinsip jangka panjang dari sebuah partai. Akhirnya, dalam jangka waktu
tidak begitu lama, partai seperti ini akan cepat ditinggalkan oleh rakyat.

Sama halnya dengan pragmatisme, partai politik yang mengandalkan politik pencitraan
juga mengalami nasib yang sama karena larut dalam sebuah struktur simbolis yang
cenderung mengalami perubahan secara cepat. Penilaian terhadap citra cepat luntur
karena cenderung mengabaikan substansi. Pada waktu tertentu citra akan efektif karena
memberi makna lebih daripada citra sebelumnya, namun degradasi terhadap citra terjadi
ketika citra lebih indah, dan populis telah muncul. Pencitraan dalam partai politik juga
tak melahirkan kader di dalam partai karena berisi para penunggang bebas (free rider)
berorientasi pragmatis di dalam partai. Pola seperti ini jelas manipulatif karena dikemas
oleh media sebagai sumber produksi hyperrealitas.

Gelombang Pragmatisme Partai Politik


Banyak partai berdiri, lembaga-lembaga menjamur, bahkan tokoh yang dulunya sama
sekali tidak tenar menjadi sedemikian booming. Ada yang booming karena keunikannya
dalam berimprovisasi, juga ada yang booming karena ketahuan melakukan tindak
pindana korupsi. Era ini sudah benar-benar terbuka, dan ini jelas dimanfaatkan oleh para
mantan aktivis mahasiswa. Banyak yang bergabung ke Partai Politik, ada yang jadi caleg
di posisi atas atau sekedar untuk belajar dan memenuhi kuota sehingga dimasukkan
namanya di nomor-nomor buntut. Di era keterbukaan dengan puluhan partai ini membuat
orang begitu mudah menjadi wakil rakyat dengan membawa-bawa nama rakyat. Tak
peduli pernah sarjana atau tidak, cukup dengan mengeluarkan berlembar-lembar dana
dapatlah dia ijazah. Walau sebusuk apapun dia, kalau media telah memainkan perannya,
tulisan, bahkan biografi dibuat, yang busuk tadi pun seketika harum. Maka tak heran
muncullah calon wakil rakyat yang karakter politiknya “nggak jelas”, pragmatis, cacat
moral, juga hukum.

Anggota DPR dari Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Arif Mudatsir Mandan
berpendapat saat ini kepercayaan masyarakat terhadap partai politik menurun sangat
tajam akibat perilaku para politisinya. Salah satu sebabnya adalah perubahan orientasi
yang hanya diabdikan untuk modal. “Ideologi kita sangat pragmatis, hampir tak ada
sesuatu yang diperjuangkan untuk yang akan datang,” katanya dalam seminar yang
diselenggarakan oleh Ikatan Keluarga Alumni Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia
(IKA PMII) di Jakarta, Kamis (17/7/08). Hal ini berbeda dengan para politisi di masa lalu
yang masih memiliki ideologi politik yang diperjuangkan, yang menjadikannya memiliki
sebuah visi bagaimana Indonesia ke depannya.
Pemilu 2009 ternyata menjadi “kuburan” bagi partai politik Islam. Meski ada satu partai
yang sedikit meningkat perolehan suaranya, akan tetapi secara keseluruhan mereka
mengalami penurunan, bahkan kegagalan karena adanya peraturan ambang batas untuk
bisa duduk di parlemen (parliamentary threshold) membuat beberapa di antaranya gagal
ke Senayan. Parpol Islam yang dimaksud di sini adalah parpol yang menjadikan Islam
sebagai asas partai. Mereka adalah PKS, PPP, PBB, PKNU, PBR, PMB, dan PPNUI.
Merujuk hasil final perhitungan KPU, perolehan suara mereka cuma sebesar 18,17%,
turun sekitar 3,17% dari akumulasi suara parpol Islam (PKS, PPP, PBB, PBR, dan
PPNUI) pada pemilu 2004 yang mencapai 21,34%. Jika kita bandingkan dengan pemilu-
pemilu sebelumnya, perolehan parpol Islam 2009 termasuk yang buruk (lihat Tabel).

Tabel Jumlah Suara Partai-partai Berasaskan Islam pada Pemilu di Indonesia


Tahun Nama Partai Prosentase
suara
1955 Masyumi, NU, PSII, Perti 43,50
1971 NU, Parmusi, PSII, Perti 27,12
1977 PPP 29,29
1982 PPP 27,78
1987 PPP 15,97
1992 PPP 17,01
1997 PPP 22,43
1999 PPP, PBB, PK, PNU, PSII, PKU, Masyumi, PUI, PSII 1905, 16,25
Masyumi Baru
2004 PBB, PPP, PPNU, PKS, PBR 21,37
2009 PKS, PPP, PBB, PKNU, PBR, PMB, PPNUI 18,17

(Diolah dari berbagi sumber)

Membaca fenomena tersebut, Pemilu 2009 adalah episode lanjutan, meminjam Abdul
Munir Mulkhan, runtuhnya mitos politik santri. Jika pada Pemilu 1955 akumulasi suara
parpol Islam masih bisa digjaya dengan 43,5% tetapi terus turun sampai titik terendah
saat kekuasaan puncak otoritarian Soeharto pada Pemilu 1987 (15,97%) dan 1992
(17,01%). Mengapa ini bisa terjadi? Didukung oleh kekuatan represif, Soeharto berhasil
melakukan proyek kuningisasi (baca: Golkar-isasi) yang pada akhirnya menyebabkan
terjadinya deideologisasi Islam.

Liberalisasi Modal : menata system rekrutmen kepemimpinan


Umat Islam yang pada Pemilu 1955 berhasil diyakinkan oleh para politisi Islam akan
pentingnya kekuatan politik Islam, maka pada era kekuasaan Soeharto berbalik
diyakinkan bahwa tidak ada relevansi antara Islam dengan politik. Maka urusan politik
betul-betul menjadi profan dan sebaliknya Islam hanya dipenjara pada urusan sakral,
ritual. Deideologisasi Islam ini dilakukan sampai ke akar-akanya. Sehingga siapa saja
yang memperjuangkan Islam politik, maka akan masuk bui. Bahkan secara intelektual,
proyek ini pun diselaraskan dengan wacana “Islam Yes, Partai Islam No” dan ide
sekularisasi lainnya yang digagas Nurcholish Madjid.
Keyakinan-keyakinan yang ideal dalam masyarakat dunia, sampai saat ini tidak
membawa hasil yang memuaskan. Ia yang awalnya,diharapkan membawa pembebasan
dan jalan keselamatan,ternyata malah membawa kita menuju jurang pertikaian yang
menelan banyak korban. Revolusi Perancis,civil war di Amerika, pembantaian oleh Nazi
Jerman, rezim Stalin di Rusia,rezim Pol Pot di Kamboja, tragedi PKI di Indonesia, dan
seterusnya adalah sebagian bukti-bukti yang menggiring pemahaman masyarakat bahwa
ideologi berarti pembantaian antar manusia atas nama cita-cita luhur dan gagasan yang
agung. Ideologi sebagai bagian dari peradaban manusia memang menampilkan wajah
ganda. Hingga kini, ia dianggap sebagai sebuah kesadaran palsu. Ini seperti yang pernah
dikatakan Karl Marx, kaum elit mendominasi pandangan awam tentang dunia yang
kemudian menghasilkan kesadaran palsu. Tetapi menariknya ia juga seperti candu.
Beberapa kali kita menyaksikan ideologi dipuja bagai sebuah agama sehingga
penganutnya sanggup berjuang hingga meregang nyawa.

Bagaimanapun pertarungan ideologi ini tetap berlangsung. Kaum kapitalis dan sosialis
membawa dialektika dalam keseharian hidup sosial kita. Di sisi lain,kaum sosialis
pun,tak kalah “gertakan”. Karl Marx,mempelopori untuk menelanjangi keserahan kaum
kapitalis melalui teori Materialisme dialektika-historis, Althusser dengan teori
Strukturalis, Antonio Gramsci dengan Hegemoni, hingga teori “kritis”oleh Max
Hokreimer dan para penerusnya yang mengajukan kembali konsep dasar Marx, yakni
pembebasan manusia dari segala belenggu penindasan dan penghisapan, tetapi secara
kritis dan antidogmatis sebagai antitesis dari teori-teori pembangunan. Mereka berlomba
mencipta teori-teori baru untuk meyakinkan masyarakat dunia, bahwa ini adalah jalan
menuju masa depan yang baik. Para teoritis kapitalis, misalnya,melahirkan teori-teori
modernisasi, antara lain: teori pembangunan,teori tabungan dan investasi, dan
sebagainya. Teori kaum ini yang mutakhir adalah ide tentang Neoliberalisme melalui
gerakan globalisasi dan pasar bebas. Sebagai pintu masuk berbagai produk perundang-
undangan yang memperluas kesempatan masuknya para investor global.

Ketidak berfihakan para pemimpin bisa dilihat dari sejumlah produk Undang-Undang
(UU) yang lebih memenuhi kepentingan asing seperti UU Penanaman Modal dan UU
tentang pengelolaan sumber daya air yang sangat merugikan kepentingan para petani
sebagai pengguna terbesar air. “Kita tidak bisa menghentikan, juga tak bisa menyetop
liberalisasi modal, tetapi minimal negera harus bisa membatasi modal. Sekarang ini
kapitalisasi modal justru diteguhkan oleh negara,” terangnya

Kondisi ini semakin memprihatinkan dikarenakan partai adalah produsen utama para
pemimpin di Indonesia. Karena itu menurut ketua IKA PMII ini, menjadi penting untuk
mengingatkan para generasi muda di bawah umur 40 tahun yang nantinya menjadi para
pemimpin tentang pentingnya keberfihakan pada rakyat kecil. Arief berpendapat,
perlawanan memang dilakukan, tetapi tertelan oleh arus yang kuat. Masih diperlukan
waktu yang panjang untuk membesarkan kelompok yang mampu melawan ini. Untuk
saat sekarang kesabaran politik sangat diperlukan guna menata sistem rekrutmen
kepemimpinan dimasa mendatang. Wakil Ketua Partai Demokrat Prof Dr Mubarok
mengakui saat ini kualitas pemimpin yang ada hanyalah ‘pas-pasan’ karena itu
diperlukan dukungan dan kerjasama semua fihak guna mendukung pemimpin tersebut
serta kesabaran politik.

Tahun 2005, beberapa partai politik (parpol) menggelar hajatan besar mereka, berupa
kongres atau pun musyawarah nasional (munas), pada bulan Desember Partai Golkar
melaksanakan munasnya. Catatan apa yang menarik untuk diberikan pada parpol-parpol
Indonesia. Tentu saja, pertama kali, perlu diuraikan kondisi obyektif sekaligus catatan
bernada penilaian atas eksistensi dan kiprah parpol-parpol Indonesia pasca Orde Baru.

KEPUSTAKAAN
Achmad An'am Tamrin Demokrasi “voorskot”: strategi resistensi terhadap politik uang,
Wednesday, 01 April 2009 20:44, http://www.jakartabeat.net/politika
Achwan, Rochman, "Good Governance": Manifesto Politik Abad Ke-21 , google 2010
Administrator, Peran Pemuda Terjebak Pragmatisme Sesaat , 05 August 2009,
http://www.hmifebugm.com
Admin, Pragmatisme Partai Ancam Bangsa, 08 Apr 2010
admin on Sun, 02/15/2009, Hak Asasi Manusia dalam Bayang-bayang Pragmatisme,
Litbang Kompas, http://cetak.kompas.com/read/
Admin(2008), Politik yang Berorientasi Nilai: Kuliah Umum Akbar Tandjung di SSS
Jakarta, 7 Juni 2005 Akbar Tandjung Chairman Akbar Tandjung Institute.
Ahmad Suaedy(2008) Peta Pemikiran dan Gerakan Islam di Indonesia:
Masa Depan Islam Indonesia, http://www.gusdur.net
Alfan Alfian, Dilema Golkar, Dilema Jusuf Kalla, Selasa, 06 November 2007
ariedjito, Orde (paling) Baru , Wednesday, 07 May 2008
Budi Mulyana, Pragmatisme Polugri Indonesia, google 2010.
Chazizah Gusnita , Artis Jadi Caleg, Politik Indonesia Pragmatis, detikNews, Kamis,
17/07/2008 08:49 WIB
Dimas Bagus Wiranata Kusuma , Pragmatisme Politik Pemuda, Thursday, 15 October
2009 09:11 Duesseldorf, Nov 8, '06 4:13 AM, http://ediwahyu.multiply.com/journal/
Dodi Ambardi, IDEOLOGI, KONSTITUEN, DAN PROGRAM PARPOL, Bukit Talita,
27 Februari - 1 Maret 2009freedom.institute.org/id
Ediwahyu, Mendayung Diantara Dua Karang: Pemuda, Nasionalisme dan Pragmatisme,
ediwahyu.multiply.com/journal
Endrizal, MA, Century, Koalisi dan Pragmatisme Politik, 02 Maret 2010 | BP Erlangga
Ida Fauziah , Julia Perez Wujud Pragmatisme, Selasa, 06/04/2010
Iwan Januar , BAHAYA PRAGMATISME, Friday, 01 May 2009, KapanLagi.com
Makmur Keliat, Peta Kekuasaan dan Kemiskinan, 2009 08 Tuesday, 31 March:01
Kompas
Marinus W, Koalisi Pragmatisme Vs Koalisi Deontologisme, . (Artikel April, 2009)
Masdiana, Sarana Pragmatisme Politik, 06 april 2009 ,http://m.suaramerdeka.com/
Max Regus , "Pragmatisme Religius", Menuju Sinkretisme Destruktif? , :
http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0410/15/opini/1262288.htm
M. Fadjroel Rahman, 2001 Pelopor dan Pengawal Revolusi Demokrasi: Gerakan
Mahasiswa Sebagai Gerakan Politik Nilai, PSJ, 2001.

Nova Kurniawan, Pragmatisme Politik ‘09, Maret 26, 2009, Nova Kurniawan's Weblog
NU Online , Ideologi Modal Jadikan Pragmatisme Politik , Kamis, 17 Juli 2008 Pandu
Oscar Siagian , Koalisi dalam Ruang Pragmatisme Elit, Redaksi on Mei 5th, 2009
Peter G. Riddel, "The Diverse Voices of Political Islam in Post-Suharto Indonesia",
Islam and Christian - Muslim Relations, Vol. 13, No. 1, 2002, hlm. 65 – 83
Redaksi(2008), Maklumat Politik Indonesia, 11 Aug , http://swaramuslim.net/
Utama Manggala(2007), Memilih Demokrasi untuk Indonesia, October 8.
Sanusi Uwes PR(2009), Pragmatisme Partai Politik dan Bendera Islam , Thursday, 15
October.
Todung Mulya Lubis(2008), Negara Pragmatis, Thu Nov 20.
VIVAnews , Politik Kartel Atau Dinasti? Indonesia pasca reformasi bergerak ke arah
format poltik baru. Perlu kritik dan refleksi. Dari Diskusi P2D, Senin, 26 Oktober 2009,
10:05 WIB
Wishnugroho akbar(2010), Birokrasi Harus Steril dari Kepentingan Politik, Jakarta
Wemmy al-Fadhli , Fenomena Koalisi Pragmatis, Monday, 27 April 2009 20:33
Woodward, M., (Summer-Fall 2001), "Indonesia, Islam and the Prospect of Democracy"
SAIS Review Vol. XXI, No. 2, hlm. 29-37.
Zaenal Abidin EP, Majelis Ulama Indonesia: Pelanggeng Pragmatisme Religius, 24
Pebruari 2006
M Ismail Yusanto: Pragmatisme Menggusur Idealisme Islam, Monday, 10 August 2009
Afan Gaffar. Javanese Voters: A Case of Election Under A Hegemonic Party System,
Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 1992.
A. S. Hikam. Demokrasi dan Civil Society, LP3S, Jakarta,1996
Burhanuddin (Editor), Mencari Akar Kultural Civil Society di Indonesia, INCIS, Jakarta
2003. Carl J. Friedrich. Constitutional Governt and Democracy: Theory and Practice in
Europe and America, Waltham, Mass : Blaisdell Publishing Company, 1967.
Miriam Budiardjo. Dasar-Dasar Ilmu Politik, Gramedia, Jakarta, 1988.
Jakob Oetama.Perspektif Pers Indonesia?, LP3S, Jakarta 1987.
Max Webwr. Wirschaft und Gesellschaft, Tuebingen, JCB Mohr, 1956. (khususnya pada
Bab I)
Ignas Kleden. Budaya Politik atau Moralitas Politik, (Artikel), Harian Kompas, 12 Maret
1998.
Ben Anderson. The Pemuda Revolution: Indonesian Politics 1945-1945 (Disertasi) pada
Universitas Cornell Amerika Serikat, 1967.
Frans Neumann (Ed). Politische Theorien und Ideologien, Baden-baden, Signal-Verlag.
Idrus Marham, Pemuda dan Jebakan Penjara Pragmatisme, Artikel dalam Jurnal
Resonansi, volume 1 nomor 2 tahun 2003.
Anderson, Benedict dan Audrey Kahin (eds.), Interpreting Indonesian Politics: Thirteen
Contribution to the Debate. New York: Cornell Modern Indonesia Project, 1982.Booth,
Anne dan Peter McCawley (eds.), Boediono (penerjemah), Ekonomi Orde Baru: The
Indonesian Economics During the Soeharto Era Jakarta: LP3ES, 1981. Crouch, Harold,
The Army and Politics in Indonesia. Ithaca: Cornell University Press, 1978.
Hill, Hal (ed), Indonesia’s New Order: The Dynamics of Socio-Economic
Transformation.
Honolulu: University of Hawaii Press, 1994.Karim, Muhammad Rusli, Peranan ABRI
dalam Politik dan Pengaruhnya Terhadap Pendidikan
Politik di Indonesia (1965-1979), Jakarta: Yayasan Idayu, 1981.Liddle, R. William,
Cultural and Class Politics in New Order Indonesia. Singapore, Institute of
Southeast Asian Studies, 1977.
Mas’oed, Mohtar, Negara, Kapital dan Demokrasi. Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 1994.
Pabottinggi, Mochtar Sihbudi, Syamsuddin Haris, Riza (eds),
Menelaah Kembali Format Politik Orde Baru. Jakarta: PPW-LIPI Yayasan Insan Politika,
1995.
Sanit, Arbi, Sistem Politik Indonesia: Penghampiran dan Lingkungan. Jakarta: Yayasan
Ilmu-Ilmu
Sosial & FIS-UI, 1980.
Van Der Kroef, J.M., Indonesia after Sukarno. Van Couver: Univ. of British Columbia
Press, 1971.
Ardianto, Elvinaro dan Bambang Q-Anees. 2007. Filsafat Ilmu Komunikasi.
Bandung: Simbiosa Rekatama Media.
Effendy, Onong Uchjana. 1989. Kamus Komunikasi. Bandung: Mandar
Maju, hlm 264.
Kam. 2001. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Edisi ke-3 – Cetakan 1.
Jakarta: Balai Pustaka, hlm 828.
Rogers, Everett. M. 1994. A History of Communication Study: A
Biographical Approach. New York:The Free Press.
West, Richard dan Lynn H. Turner. 2008. Pengantar teori Komunikasi: Analisis dan
Aplikasi. Buku 1 edisi ke-3. Terjemahan. Maria Natalia
Damayanti Maer. Jakarta: Salemba Humanika.
Wiryanto. 2004. Pengantar Ilmu Komunikasi. Cetakan ke-3. Jakarta: PT.
Grasindo-Gramedia Widiasarana Indonesia.
Afan Gaffar. “Javanese Voters: A Case of Election Under A Hegemonic Party System”,
Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 1992.
A. S. Hikam. “Demokrasi dan Civil Society”, LP3S, Jakarta,1996
Burhanuddin (Editor), “Mencari Akar Kultural Civil Society di Indonesia”, INCIS,
Jakarta 2003. Carl J. Friedrich. “Constitutional Governt and Democracy: Theory and
Practice in Europe and America”, Waltham, Mass : Blaisdell Publishing Company, 1967.
Miriam Budiardjo. “Dasar-Dasar Ilmu Politik”, Gramedia, Jakarta, 1988.
Jakob Oetama.“Perspektif Pers Indonesia”, LP3S, Jakarta 1987.
Max Weber. “Wirschaft und Gesellschaft”, Tuebingen, JCB Mohr, 1956. (khususnya
pada Bab I)
Ignas Kleden. “Budaya Politik atau Moralitas Politik?”, (Artikel), Harian Kompas, 12
Maret 1998.
Ben Anderson. “The Pemuda Revolution: Indonesian Politics 1945-1945” (Disertasi)
pada Universitas Cornell Amerika Serikat, 1967.
Frans Neumann (Ed). ”Politische Theorien und Ideologien”, Baden-baden, Signal-Verlag.
Idrus Marham, “Pemuda dan Jebakan Penjara Pragmatisme”, Artikel dalam Jurnal
Resonansi, volume 1 nomor 2 tahun 2003.
Harry Truman, Golkar Dalam Pusaran Politik Indonesia, Mar 22, '07 10:24 AM
http://adetaris.multiply.com
Berger, Arthur Asa. 1991. Media Analysis Techniques. California:Sage Publication
Bignell, Jonathan. 2001. Media Semiotics, An Introduction. London: Manchaster
University Press
Chomsky, Noam dan Edward S. Herman, 1988. Manufacturing Consent: The Political
Economy of the Mass Media. New York:Pantheon
Currant, James and Michael Gurevitch. 1991. Mass Media and Society .London :Edward
Arnold
Curran, James and Richard Collins, 1986. Media, Culture and Society: A Critical Reader.
London:Sage Publication
Denzin, Norman K. (eds). 2000. Handbook of Qualitative Research. California:Sage
Public
Eriyanto. 2001. Analisis Wacana: Pengantar Analisa Teks Media. Yogyakarta:LKIS
Fairclough, Norman. 1998. Critical Discourse Analysis: The Critical Study of Language.
London:Longman
Fairclough, Norman. 1995. Media Discourse. New York:Edward Arnold
Fiske, John. 1982. Introduction of Communication Studies. London:Routledge
Guba, Egon. G,. 1990. The Paradigm Dialog. New York:Sage Books
Hall, Stuart. 1992. Culture, Media dan Language. London:Routledge
Hardiman, Budi Francisco, 1990. Kritik Ideologi: Pertautan Pengetahuan dan
Kepentingan. Yogyakarta:Kanisius
Kolakowski, Leszek. 1978. Main Currents of Marxisme III. Oxford:Clarendon Press
Latif, Yid dan Idi Subandy Ibrahim (eds). 1996. Bahasa dan Kekuasaan: Politik Wacana
di Panggung Orde Baru. Jakarta:Mizan
Littlejohn, Stephen. 2002. Theories of Human Communication. California:Wadsworth
Publishing Company
Lull, James. 1998. Media, Komunikasi, Kebudayaan; Suatu Pendekatan Global.
Jakarta:YOI
Magnis-Suseno, Franz. 1992. Filsafat sebagai Ilmu Kritis. Yogyakarta:Kanisius
Magnis-Suseno, Franz. 1991. Etika Politik: Prinsip-prinsip Moral dan Dasar Kenegaraan
modern. Jakarta:Gramedia
Mannheim, Karl. 1979. Ideologi dan Utopia. An Introduction to the Sociology of
Knowledge. London:Routledge
Mcdonnell, Diane. 1986. Theories of Discourse: An Introduction. Oxford:Basil
Blackwall
Mcquail, Dennis (ed). 2002. McQuail’s Reader in Mass Communication Theory.
London:Sage Publications
Mills, Sara. 1991. Discourse. London:Routledge
Neuman, Lawrence W. 2000. Social Research Methods. London:Allyn and Bacon
Raboy, Marc dan Bernard Dagenais (eds). 1995. Media, Crisis and Democracy: Mass
Communication and the Disruption of Social Order. London:Sage Publication
Reese, Stephen D,. 2001. Framing Public Life. New Jersey:Lawrence Earlbaum Publisher
Riggins, Stephen H,. 1997. The Language and Politics of Exclusion: Others in Discourse.
London:Sage Publication
Rogers, Everett. M. 1994. A History of Communication Study. New York:The Free Press
Saverin, Werner. 1997. Communication Theories: Origins, Methods and Uses in the
Mass Media. New York:Longman
Sen, Krishna dan David T. Hill. 2001. Media, Budaya dan Politik di Indonesia.
Jakarta:PT Media Lintas Inti Nusantara
Shoemaker, Pamela cs (eds). 1991. Mediating The Message: Theories of Influences on
Mass Media Content. London:Longman Group
Shoemaker, Pamela cs (eds). 1996. Mediating The Message: Theories of Influences on
Mass Media Content. London:Longman Group
Sobur, Alex. 2001. Analisis Teks Media: Suatu Pengantar untuk Analisis Wacana,
Analisis Semiotik, dan Analisis Framing. Bandung:PT. Remaja Rosdakarya
Wimmer, Roger D. 2000. Mass Media Research: An Introduction. Singapore:Wadsworth
PC
Vatikionis, Michail R.J. 1993. Indonesian Politics under Soeharto, Order, Development
and Pressure for Change. New York:Routledge
Almond, Gabriel A. and G Bingham Powell, Jr.,
Comparative Politics: A Developmental Approach . New Delhi, Oxford & IBH
Publishing Co, 1976
Anderson, Benedict, R. O’G., Language and Power: Exploring Political Cultures in
Indonesia . Ithaca: Cornell University Press, 1990.
Emmerson, Donald, K., Indonesia’s Elite: Political Culture and Cultural Politics.
London: Cornell University Press, 1976.
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Pokok-pokok pikiran sekitar penyelenggaraan
pemilu 1987: Laporan Kedua, Bagian I, Transformasi Budaya Politik. Jakarta: LIPI,
1987.
Rosenbaum, Wolter, A., Political Culture, Princeton. Praeger, 1975.
Suryadinata, Leo, Golkar dan Militer: Studi Tentang Budaya Politik . Jakarta: LP3ES,
1992.
Widjaya, Albert, Budaya Politik dan Pembangunan Ekonomi. Jakarta: LP3ES, 1982

Anda mungkin juga menyukai