Anda di halaman 1dari 21

Involusi Pendidikan Indonesia

Oleh Rum Rosyid


Proses pendidikan merupakan upaya sadar manusia yang tidak pernah ada hentinya.
Sebab, jika manusia berhenti melakukan pendidikan, sulit dibayangkan apa yang akan
terjadi pada sistem peradaban dan budaya [Suyanto, 2006:11] manusia. Dengan ilustrasi
ini, maka baik pemerintah maupun masyarakat berupaya untuk melakukan pendidikan
dengan standar kualitas yang diinginkan untuk memberdayakan manusia. “Sistem
pendidikan yang dibangun harus disesuaikan dengan tuntutan zamannya, agar pendidikan
dapat menghasilkan outcome yang relevan dengan tuntutan zaman [Suyanto, 2006:11].
Kepentingan pengembangan pribadi berkaitan dengan kebutuhan diri siswa. Kebutuhan
tersebut mencakup pengembangan aspek fisik, intelektual, emosional, sosial, dan
vokasional. Sekolah berfungsi untuk mengembangkan aspek tersebut. Idealnya,
pengembangan tersebut menyita sebagian besar program sekolah.
Masyarakat memiliki kepentingan terhadap sistem pendidikan. Ia menunjukkan
sekelompok masyarakat yang bercirikan budaya, kepercayaan/ agama dan bahasa yang
sama. Kepentingan masyarakat dalam pendidikan bertujuan untuk memelihara dan
meningkatkan warisan budaya seperti adat istiadat, kesenian, bahasa, kepercayaan,
peningggalan budaya, dan sebagainya. Masyarakat juga menunjukkan organisasi yang
bergerak pada seluruh aspek kebutuhan hidup warganya secara ideologi, politik,
ekonomi, sosial, budaya, pertahanan, dan keamanan. Pendidikan berperan untuk
mengembangkan organisasi tersebut.
Kepentingan negara terhadap sistem pendidikan berkaitan dengan fungsinya untuk
menjaga keberadaan dan integritas negara, melindungi warganya, membina persatuan dan
kesatuan, menjalankan hukumnya, berhubungan dan bekerja sama dengan negara lain,
dan lain sebagainya. Fungsi tersebut disampaikan kepada warganya terutama melalui
pendidikan.
Ketiga kepentingan tersebut diramu dan dimuatkan ke dalam kurikulum. Untuk
pengembangan kurikulum, pihak kepentingan biasanya diwakilkan kepada utusan orang
tua/siswa, utusan guru, pemerintah, ahli bidang ilmu, ahli pendidikan, stakeholders, dan
sebagainya. Mereka terlibat dalam mengembangkan kurikulum tersebut pada tingkat
nasional, daerah, dan sekolah.

Beberapa Kurikulum Pendidikan di Indonesia


1. Kurun waktu 1945 sampai 1968
a. Kurikulum pertama ‘leer plan’
Lahir pada masa kemerdekaan memakai istilah dalam bahasa Belanda leer plan artinya
rencana pelajaran. lebih popular ketimbang curriculum (bahasa Inggris). Perubahan arah
pendidikan lebih bersifat politis, dari orientasi pendidikan Belanda ke kepentingan
nasional. Sedangkan asas pendidikan ditetapkan Pancasila. Kurikulum yang berjalan saat
itu dikenal dengan sebutan Rencana Pelajaran 1947, yang baru dilaksanakan pada tahun
1950. Sejumlah kalangan menyebut sejarah perkembangan kurikulum diawali dari
Kurikulum 1950. Bentuknya memuat dua hal pokok: 1). Daftar mata pelajaran dan jam
pengajarannya, 2). Garis-garis besar pengajaran. Orientasi Rencana Pelajaran 1947 tidak
menekankan pada pendidikan pikiran. Yang diutamakan adalah : pendidikan watak,
kesadaran bernegara dan bermasyarakat. Materi pelajaran dihubungkan dengan kejadian
sehari-hari, perhatian terhadap kesenian dan pendidikan jasmani.

b. Rencana Pelajaran Terurai 1952


Kurikulum ini lebih merinci setiap mata pelajaran yang disebut Rencana Pelajaran
Terurai 1952. "Silabus mata pelajarannya jelas sekali. seorang guru mengajar satu mata
pelajaran," (Djauzak Ahmad, Dirpendas periode1991-1995). Di penghujung era Presiden
Soekarno, muncul Rencana Pendidikan 1964 atau Kurikulum 1964. Fokusnya pada
pengembangan daya cipta, rasa, karsa, karya, dan moral (Panca wardhana). Mata
pelajaran diklasifikasikan dalam lima kelompok bidang studi: moral, kecerdasan,
emosional/artistik, keprigelan (keterampilan), dan jasmaniah. Pendidikan dasar lebih
menekankan pada pengetahuan dan kegiatan fungsional praktis.

2. Kurun waktu tahun 1968 sampai tahun 1999


a. Kurikulum 1968
Kelahiran Kurikulum 1968 bersifat politis, mengganti Rencana Pendidikan 1964 yang
dicitrakan sebagai produk Orde Lama. Dengan suatu pertimbangan untuk tujuan pada
pembentukan manusia Pancasila sejati. Kurikulum 1968 menekankan pendekatan
organisasi materi pelajaran: kelompok pembinaan Pancasila, pengetahuan dasar, dan
kecakapan khusus. Mata pelajaran dikelompokkan menjadi 9 pokok.
Djauzak menyebut Kurikulum 1968 sebagai kurikulum bulat. "Hanya memuat mata
pelajaran pokok saja," . Muatan materi pelajaran bersifat teoritis, tidak mengaitkan
dengan permasalahan faktual di lapangan. Titik beratnya pada materi apa saja yang tepat
diberikan kepada siswa di setiap jenjang pendidikan.
b. Kurikulum 1975
Kurikulum 1975 menekankan pada tujuan, agar pendidikan lebih efektif dan efisien.
Menurut Drs Mudjito; Ak; Msi (Direktur Pemb. TK dan SD Depdiknas). yang melatar
belakangi lahirnya kurikulum ini adalah pengaruh konsep di bidang manejemen, yaitu
MBO (management by objective) yang terkenal saat itu," Metode, materi, dan tujuan
pengajaran dirinci dalam Prosedur Pengembangan Sistem Instruksional (PPSI), yang
dikenal dengan istilah "satuan pelajaran", yaitu rencana pelajaran setiap satuan bahasan.
Setiap satuan pelajaran dirinci menjadi : tujuan instruksional umum (TIU), tujuan
instruksional khusus (TIK), materi pelajaran, alat pelajaran, kegiatan belajar-mengajar,
dan evaluasi. Kurikulum 1975 banyak dikritik. Guru dibikin sibuk menulis rincian apa
yang akan dicapai dari setiap kegiatan pembelajaran.
c. Kurikulum 1984
Kurikulum 1984 mengusung process skill approach. Meski mengutamakan pendekatan
proses, tapi faktor tujuan tetap penting. Kurikulum ini juga sering disebut "Kurikulum
1975 yang disempurnakan". Posisi siswa ditempatkan sebagai subjek belajar. Dari
mengamati sesuatu, mengelompokkan, mendiskusikan, hingga melaporkan. Model ini
disebut Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA) atau Student Active Leaming (SAL). Tokoh
penting dibalik lahirnya Kurikulum 1984 adalah Profesor Dr. Conny R. Semiawan,
Kepala Pusat Kurikulum Depdiknas periode 1980-1986. Konsep CBSA yang elok secara
teoritis dan bagus hasilnya di sekolah-sekolah yang diujicobakan, mengalami banyak
deviasi dan reduksi saat diterapkan secara nasional. Sayangnya, banyak sekolah kurang
mampu menafsirkan CBSA. Yang terlihat adalah suasana gaduh di ruang kelas lantaran
siswa berdiskusi, di sana-sini ada tempelan gambar, dan yang menyolok guru tak lagi
mengajar model berceramah. Akhiran penolakan CBSA bermunculan.
d. Kurikulum 1994 dan Suplemen Kurikulum 1999
Kurikulum 1994 merukan hasil upaya untuk memadukan kurikulum-kurikulum
sebelumnya, terutama kurikulum 1975 dan 1984. Sayang, perpaduan antara tujuan dan
proses belum berhasil. Sehingga banyak kritik berdatangan, disebabkan oleh beban
belajar siswa dinilai terlalu berat, dari muatan nasional sampai muatan lokal. Materi
muatan lokal disesuaikan dengan kebutuhan daerah masing-masing, misalnya bahasa
daerah kesenian, keterampilan daerah, dan lain-lain. Berbagai kepentingan kelompok-
kelompok masyarakat juga mendesak agar isu-isu tertentu masuk dalam kurikulum.
Akhirnya, Kurikulum 1994 menjelma menjadi kurikulum super padat. Kejatuhan rezim
Soeharto pada 1998, diikuti kehadiran Suplemen Kurikulum 1999. Tapi perubahannya
lebih pada menambal sejumlah materi.

3. Kurun waktu 1999 sampai sekarang


a. Kurikulum Berbasis Kompetensi
Sebagai pengganti kurikulum 1994 adalah kurikulum 2004, yang disebut dengan
Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK). Suatu program pendidikan berbasis kompetensi
harus mengandung tiga unsur pokok, yaitu: pemilihan kompetensi yang sesuai;
spesifikasi indikator-indikator evaluasi untuk menentukan keberhasilan pencapaian
kompetensi; dan pengembangan pembelajaran. KBK memiliki ciri-ciri sebagai berikut :
Menekankan pada ketercapaian kompetensi siswa baik secara individual maupun
klasikal, berorientasi pada hasil belajar (learning outcomes) dan keberagaman. Kegiatan
pembelajaran menggunakan pendekatan dan metode yang bervariasi, sumber belajar
bukan hanya guru, tetapi juga sumber belajar lainnya yang memenuhi unsur edukatif.
Penilaian menekankan pada proses dan hasil belajar dalam upaya penguasaan atau
pencapaian suatu kompetensi. Struktur kompetensi dasar KBK ini dirinci dalam
komponen aspek, kelas dan semester. Keterampilan dan pengetahuan dalam setiap mata
pelajaran, disusun dan dibagi menurut aspek dari mata pelajaran tersebut. Pernyataan
hasil belajar ditetapkan untuk setiap aspek rumpun pelajaran pada setiap level.
Perumusan hasil belajar adalah untuk menjawab pertanyaan;Apa yang harus siswa
ketahui dan mampu lakukan sebagai hasil belajar mereka pada level ini?. Hasil belajar
mencerminkan keluasan, kedalaman, dan kompleksitas kurikulum dinyatakan dengan
kata kerja yang dapat diukur dengan berbagai teknik penilaian. Setiap hasil belajar
memiliki seperangkat indikator. Perumusan indikator adalah untuk menjawab pertanyaan,
Bagaimana kita mengetahui bahwa siswa telah mencapai hasil belajar yang diharapkan?.
b. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan
Pelaksanaan KBK masih dalam uji terbatas, namun pada awal tahun 2006, uji terbatas
tersebut dihentikan. Dan selanjutnya dengan terbitnya permen nomor 24 tahun 2006 yang
mengatur pelaksanaan permen nomor 22 tahun 2006 tentang standar isi kurikulum dan
permen nomor 23 tahun 2006 tentang standar kelulusan, lahirlah kurikulum 2006 yang
pada dasarnya sama dengan kurikulum 2004. Perbedaan yang
menonjol terletak pada kewenangan dalam penyusunannya, yaitu mengacu jiwanya
desentralisasi sistem pendidikan. Pada kurikulum 2006, pemerintah pusat menetapkan
standar kompetensi dan kompetensi dasar, sedangkan sekolah dalam hal ini guru dituntut
untuk mampu mengembangkan dalam bentuk silabus dan penilaiannya sesuai dengan
kondisi sekolah dan daerahnya. Hasil pengembangan dari semua mata pelajaran,
dihimpun menjadi sebuah perangkat yang dinamakan Kurikulum Tingkat Satuan
Pendidikan (KTSP). Penyusunan KTSP menjadi tanggung jawab sekolah di bawah
binaan dan pemantauan dinas pendidikan daerah dan wilayah setempat. Pertanyaan yang
timbul : Apakah sistem pendidikan pada tingkat satuan pendidikan dasar dan menengah
sekarang, sudah menerapkan suatu proses pembelajaran dan penilaian yang berorientasi
pada kompetensi?.

Dampak kebijakan pendidikan nasional yang dibuat pemerintah sering kali tak
diperhitungkan jauh ke depan. Hal itu lebih karena kebijakan pendidikan nasional lebih
didasarkan pada kepentingan politik pemerintah saat itu daripada untuk kepentingan
pendidikan berkualitas bagi anak bangsa. “Karena pendidikan itu lebih bergantung pada
struktur kekuasaan yang ada, maka kemajuan pendidikan bangsa ini juga sangat
bergantung pada komitmen politik pemerintah. Jika komitmen politik itu rendah, ya,
pendidikan kita tidak akan berubah. Akan terus jauh ketinggalan dari negara-negara lain,”
kata tokoh pendidikan HAR Tilaar di Jakarta (Kompas, 8 Agustus 2007). Tilaar
menyampaikan pandangannya mengenai pendidikan Indonesia dewasa ini dalam acara
Principal’s Chat 2007 yang digelar Bina Nusantara (Binus) International. Acara ini
merupakan forum diskusi tahunan antara Binus International dan guru serta kepala SMA
di wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi.
Menurut guru besar (emeritus) Universitas Negeri Jakarta ini, kuatnya kepentingan
politik dalam kebijakan pendidikan nasional itu bukan saja bisa dilihat dari bergonta-
gantinya kebijakan pendidikan setiap kali pemerintahan selesai. Ini mengingat, banyak
kebijakan pendidikan pada tingkat nasional maupun lokal juga tidak didukung dari hasil
penelitian di lapangan, yaitu dalam situasi pembelajaran di sekolah dan masyarakat
Indonesia. Sebagai contoh, kebijakan ujian nasional (UN) yang sampai sekarang masih
kontroversial, menurut Tilaar, bukanlah kebijakan yang sangat strategis untuk
peningkatan kualitas lulusan pendidikan di Indonesia. Namun, kebijakan itu terus
dipaksakan tanpa melihat dampaknya jauh ke depan bagi proses pendidikan secara
menyeluruh.

Definisi kebijakan pendidikan sebagaimana adanya dapat disimak melalui pernyatan-


pernyataan berikut ini. Carter V. Good (1959) (dalam Imron, 2002:18) menyatakan,
Educational policy is judgment, derived from some system of values and some assesment
of situational factors, operating within institutionalized adecation as a general plan for
guiding decision regarding means of attaining desired educational objectives.
Kebijakan pendidikan adalah suatu penilaian terhadap sistem nilai dan faktor-faktor
kebutuhan situasional, yang dioperasikan dalam sebuah lembaga sebagai perencanaan
umum untuk panduan dalam mengambil keputusan, agar tujuan pendidikan yang
diinginkan bisa dicapai.
Hal menarik lainnya dapat disimak dalam sebuah konstitusi Jepang, yakni Undang-
Undang Pendidikan yang ditetapkan pada Tahun 1947. Pokok-pokok undang-undang
tersebut adalah i) Prinsip Legalisme, ii) Prinsip Administrasi yang Demokratis, iii)
Prinsip Netralitas, iv) Prinsip Penyesuaian dan Penetapan Kondisi Pendidikan, dan v)
Prinsip Desentralisasi. (Research and Statistic Planning Division, Ministry of Education,
Science, Sports and Culture of Japan, 2000).
Prinsip yang pertama menetapkan bahwa mekanisme pengelolaan diatur dengan undang-
undang dan peraturan-peraturan. Sebelum Perang Dunia II masalah pendidikan
diputuskan oleh Peraturan Kekaisaran dan pendapat parlemen dan warga negara
diabaikan. Namun, setelah reformasi pendidikan pasca perang urusan pendidikan diatur
oleh undang-undang dan peraturan di parlemen. Prinsip kedua mengindikasikan bahwa
sistem administrasi pendidikan harus dibangun berdasarkan konsensus nasional dan
mencerminkan kebutuhan masyarakat dalam membuat formulasi kebijakan pendidikan
dan prosesnya. Prinsip ketiga menjamin bahwa kewenangan pendidikan harus
independen dan tidak dipengaruhi dan diinterfensi oleh kekuatan politik. Prinsip keempat
mengidikasikan bahwa pemegang kewenangan pusat dan lokal mempunyai tanggung
jawab untuk menyediakan kesempatan pendidikan yang sama bagi semua dengan
menyediakan fasilitas-fasilitas pendidikan yang cukup untuk mencapai tujuan
pendidikan. Prinsip kelima menyatakan bahwa pendidikan harus dikelola berdasarkan
otonomi pemerintah lokal karena pendidikan merupakan fungsi dari pemerintah lokal.
Nah, dapat disimpulkan bahwa kebijakan pendidikan adalah suatu produk yang
dijadikan sebagai panduan pengambilan keputusan pendidikan yang legal-netral dan
disesuaikan dengan lingkugan hidup pendidikan secara moderat.

HAR Tilaar mengatakan bahwa dalam perkembangan zaman yang sangat cepat dewasa
ini, kebijakan pendidikan Indonesia memang tepat diarahkan pada peningkatan mutu
pendidikan. Apalagi jika melihat dari laporan UNDP tahun 2006, yang menempatkan
indeks pembangunan manusia Indonesia di peringkat ke-108 dari 177 negara. Sayangnya,
peningkatan mutu itu sering kali dicapai dengan kebijakan yang tidak berakar dari guru,
kepala sekolah, dan masyarakat itu sendiri. Akibatnya, pemerintah masih terus saja
berjalan dengan kebijakan yang coba-coba dan berganti-ganti, hanya berdasarkan asumsi.
Kebijakan-kebijakan pendidikan maupun praksis pendidikan berdasarkan pada asumsi
yang kurang jelas, bukan berdasarkan situasi belajar dan pembelajaran anak Indonesia.
“Kita memang bisa belajar dari sumber-sumber ilmu pengetahuan dari bangsa- bangsa
yang lain. Akan tetapi, semua itu tetap perlu dicek dan divalidasi dalam situasi konkret di
dalam masyarakat Indonesia,” kata Tilaar. Kebijakan nasional yang juga mendapat
sorotan Tilaar adalah upaya meningkatkan profesionalisme guru dan pelaksanaan
Kurikulum 2006 yang lebih dikenal dengan sebutan Kurikulum Tingkat Satuan
Pendidikan (KTSP). Menurut Tilaar, kebijakan ini merupakan upaya yang baik dalam
pelaksanaan reformasi pendidikan di Tanah Air. Namun, sering kali pemerintah tidak
juga belajar dari masa lalu, dengan mengambil kebijakan yang tergesa-gesa, tanpa
persiapan.
“Seharusnya peluncuran suatu kurikulum baru perlu dilaksanakan dengan persiapan yang
matang. Selain persiapan gurunya, juga sarana-sarana penunjang lainnya. Akan tetapi,
seperti juga perubahan-perubahan kurikulum nasional sebelumnya, kedatangan KTSP ini
merupakan suatu surprise sehingga menimbulkan kegamangan pada guru di lapangan,”
kata Tilaar.
Dalam penyesuaian kurikulum dengan tuntutan lokal yang menjadi jiwa KTSP, ternyata
soal muatan lokal hanya dialokasikan dua jam pelajaran. Seharusnya muatan lokal yang
bukan dalam pengertian sempit itu merupakan roh dari keseluruhan KTSP. Dengan kata
lain, seluruh mata pelajaran haruslah disesuaikan dengan kebutuhan lingkungan.
Strategi Pembangunan Pendidikan
Indonesia, telah memiliki sebuah sistem pendidikan dan telah dikokohkan dengan UU
No. 20 tahun 2003. Pembangunan pendidikan di Indonesia sekurang-kurangnya
menggunakan empat strategi dasar, yakni; pertama, pemerataan kesempatan untuk
memperoleh pendidikan, kedua, relevansi pendidikan, ketiga, peningkatan kualitas
pendidikan, dan keempat, efisiensi pendidikan. Secara umum strategi itu dapat dibagi
menjadi dua dimensi yakni peningkatan mutu dan pemerataan pendidikan. Pembangunan
peningkatan mutu diharapkan dapat meningkatkan efisiensi, efektivitas dan produktivitas
pendidikan. Sedangkan kebijakan pemerataan pendidikan diharapkan dapat memberikan
kesempatan yang sama dalam memperoleh pendidikan bagi semua usia sekolah [Hujair
AH. Sanaky, 2003:146]. Dari sini, pendidikan dipandang sebagai katalisator yang dapat
menunjang faktor-faktor lain. Artinya, pendidikan sebagai upaya pengembangan
sumberdaya manusia [SDM] menjadi semakin penting dalam pembangunan suatu bangsa.

Kebijakan Pendidikan
Untuk menjamin kesempatan memperoleh pendidikan yang merata disemua kelompok
strata dan wilayah tanah air sesuai dengan kebutuhan dan tingkat perkembangannya perlu
strategi dan kebijakan pendidikan, yaitu : [a] menyelenggarakan pendidikan yang relevan
dan bermutu sesuai dengan kebutuhan masyarakat Indonesia dalam menghadapi
tantangan global, [b] menyelenggarakan pendidikan yang dapat dipertanggungjawabkan
[accountable] kepada masyarakat sebagai pemilik sumberdaya dan dana serta pengguna
hasil pendidikan, [c] menyelenggarakan proses pendidikan yang demokratis secara
profesional sehingga tidak mengorbankan mutu pendidikan, [d] meningkatkan efisiensi
internal dan eksternal pada semua jalur, jenjang, dan jenis pendidikan, [e] memberi
peluang yang luas dan meningkatkan kemampuan masyarakat, sehingga terjadi
diversifikasi program pendidikan sesuai dengan sifat multikultural bangsa Indonesia, [f]
secara bertahap mengurangi peran pemerintah menuju ke peran fasilitator dalam
implementasi sistem pendidikan, [g] Merampingkan birokrasi pendidikan sehingga lebih
lentur [fleksibel] untuk melakukan penyesuaian terhadap dinamika perkembangan
masyarakat dalam lingkungan global [Kelompok Kerja Pengkajian, dalam Hujair AH.
Sanaky, 2003:146].
Empat strategi dasar kebijakan pendidikan yang dikemukakan di atas cukup ideal. Tetapi
Muchtar Bukhori, seorang pakar pendidikan Indonesia, menilai bahwa kebijakan
pendidikan kita tak pernah jelas. Pendidikan kita hanya melanjutkan pendidikan yang
elite dengan kurikulum yang elitis yang hanya dapat ditangkap oleh 30 % anak didik”,
sedangkan 70% lainnya tidak bisa mengikuti [Kompas, 4 September 2004]. Dengan
demikian, tuntutan peningkatan kualitas pendidikan, relevansi pendidikan, efisiensi
pendidikan, dan pemerataan kesempatan untuk memperoleh pendidikan, belum terjawab
dalam kebijakan pendidikan kita. Kondisi ini semakin mempersulit mewujudkan
pendidikan yang egalitarian dan SDM yang semakin merata di berbagai daerah.
Proses menuju perubahan sistem pendidikan nasional banyak menuai kendala serius.
Apalagi ketika membicarakan konteks pendidikan nasional sebagai bagian dari
pergumulan ideologi dan politik penguasa. Problem-problem yang dihadapi seringkali
berkaitan dengan kebijakan-kebijakan [policies] yang sangat strategis. Maka, dalam
konteks kebijakan pendidikan nasional, menurut Suyanto, banyak pakar dan praktisi
pendidikan mengkritisi pemerintah, dianggap tidak memiliki komitmen yang kuat untuk
membenahi sistem pendidikan nasional” [Suyanto,2006:x-xi]. Artinya, kebijakan-
kebijakan pendidikan kita, kurang menggambarkan rumusan-rumusan permasalahan dan
“prioritas” yang ingin dicapai dalam jangka waktu tertentu. Hal ini, “terutama berkaitan
dengan anggaran pendidikan nasional yang semestinya sebesar minimal 20%, diambil
dari APBN dan APBD [pasal 31 ayat 4 UUD Amandemen keempat]. Tetapi, sampai
sekarang kebijakan strategi belum dapat diwujudkan sepenuhnya, pendidikan nasional
masih menyisihkan kegetiran-kegetiran bagi rakyat kecil yang tidak mampu mengecap
pendidikan di sekolah” [Suyanto, 2006:xi].

Pada dasarnya, bahwa kebijakan pemerintah Indonesia 2004-2009--yang memiliki


orientasi basis ekonomi sesuai dengan Rencana Strategis Pendidikan Nasional 2005-
2009--mengacu pada amanat UUD 1945, amandemen ke–4 pasal 31 tentang Pendidikan;
Ketetapan MPR Nomor VII/MPR/2001 tentang Visi Indonesia Masa Depan; Undang-
Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas);
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara; Undang-Undang
Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional; UU Nomor
32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, UU Nomor 33 Tahun 2004 tentang
Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah; UU Nomor
14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen; PP Nomor 20 Tahun 2004 tentang Rencana
Kerja Pemerintah; PP Nomor 21 Tahun 2004 tentang Rencana Kerja dan Anggara
Kementerian/Lembaga, dan PP Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional
Pendidikan.
Setiap kebijakan yang berkaitan dengan pendidikan akan berdampak pada pengambilan
keputusan oleh para pembuat kebijakan dalam bidang pendidikan; baik di tingkat makro
(nasional); tingkat messo (daerah); dan tingkat mikro (satuan pendidikan).
Keberadaan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR)-Republik Indonesia (RI) sebagai
sebuah lembaga negara yang memiliki kewenangan untuk membuat sebuah kebijakan
paling tinggi di Indonesia tentunya sangat memperngaruhi eksistensi dan prosesi
pendidikan yang diharapkan memiliki standar mutu yang layak di dalam lingkungan
masyarakat dalam negeri dan luar negeri. Kemudian keberadaan Dewan Perwakilan
Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), dan Pemerintah Pusat yang dipimpin
oleh Presiden, Eksekutif nomor satu yang dibantu oleh Wakil Presiden; jajaran
Kementerian; dan jajaran badan/lembaga kelengkapan eksekutif negara---adalah para
pembuat kebijakan yang bisa mempengaruhi dunia pendidikan Indonesia.
Namun, khususnya pada tingkat makro, para pengambil keputusan khusus masalah
pendidikan di tingkat DPR RI adalah Komisi X DPR RI Presiden RI, dan Menteri
Pendidikan Nasional RI (pemimpin Departemen Pendidikan Nasional).Sehingga, segala
bentuk kebijakan pendidikan nasional yang dihasilkan oleh ketiga elemen ini akan
mempengaruhi kebijakan pendidikan di seluruh daerah dan seluruh satuan pendidikan di
Indonesia.
Adapun, dengan peran pengambil kebijakan yang bisa mempengaruhi masalah
pendidikan di tingkat daerah ialah DPRD dan Pemerintah Daerah (Pemda). Khususnya
dalam masalah pendidikan, posisi Komisi E di DPRD dan Dinas Pendidikan di Pemda
sangatlah berperan untuk memfasilitasi adanya pemberlakuan kebijakan pendidikan di
tingkat daerahnya masing-masing yang didasari oleh peraturan perundang-undangan dari
hasil permusyawaratan policy maker nasional.
Akhirnya, keberadaan satuan pendidikan pun tak kalah pentingnya untuk membuat
kebijakan pendidikan yang akan mempengaruhi fenomena pendidikan yang berlangsung
di satuan pendidikannya masing-masing.
Berikut ini adalah ilustrasi berupa bagan tentang anatomi kebijakan pendidkan nasional
berdasarkan kajian terhadap data Renstra Pendidikan Nasional 2005-2009 dan aspek
empirik yang tengah berlangsung saat ini di Indonesia dengan konsentrasi khusus untuk
pengaturan pendidikan dasar dan menengah.

Program Penelitian Kebijakan Pendidikan


Program Penelitian Kebijakan Pendidikan (PPKP) diselenggarakan sebagai usaha untuk
melakukan penilaian dan pengukuran terhadap kebijakan pendidikan dalam lingkungan
PTAI (internal) dan penyelenggaraan pendidikan agama dan keagamaan yang menjadi
tugas fungsional Direktorat Jenderal Kelembagaan Agama Islam (eksternal). Atau
disinergikan dengan program penelitian yang dirancang Badan Penelitian dan
Pengembangan Agama dan Pendidikan dan Latihan Keagamaan (Badan Litbang Agama
dan Diklat Keagamaan).
Program ini terdiri atas empat paket, yakni:
Penelitian Bahan Kebijakan (PBK).
Penelitian Koherensi Kebijakan (PKK) atau Analisis Kebijakan.
Penelitian Pelaksanaan Kebijakan (PPK) atau Evaluasi Formatif.
Penelitian Hasil Kebijakan (PHK) atau Evaluasi Sumatif.
PBK diarahkan untuk menghimpun informasi, gagasan, dan potensi bagi perumusan
kebijakan. PKK diarahkan untuk memahami dan menilai koherensi kebijakan, baik
vertikal maupun horizontal. PPK diarahkan untuk menilai unsur penunjang dan
penghambat pelaksanaan kebijakan, internal maupun eksternal. PHK diarahkan untuk
mengukur tingkat keberhasilan kebijakan yang dioperasionalisasikan dalam bentuk
program (proyek) pengembangan, disertai kriteria, indikator, dan tolok ukur tertentu.
Pertelaan Program ini adalah sebagai berikut:
Tujuan : Memacu partisipasi dosen dan peneliti dalam
proses pengembangan pendidikan (penggalian potensi pengembangan pendidikan,
pengembangan program pendidikan, dan penilaian program pengembangan pendidikan).
Pelaksana : Dosen dan peneliti lintas bidang keahlian (ilmu).
Pengelola : Lembaga/Pusat Penelitian/P3M.
Sifat : Kolektif (interdisipliner).
Waktu : Satu tahun anggaran, atau berlanjut sesuai
kebutuhan.
Tahapan :
a. Penawaran bantuan penelitian kebijakan pendidikan.
b. Pengajuan usulan penelitian.
c. Seleksi usulan penelitian.
d. Penilaian usulan penelitian.
e. Pengumuman usulan yang diterima dan yang ditolak.
f. Presentasi usulan penelitian melalui workshop.
g. Penandatanganan kontrak bantuan penelitian.
h. Pelaksanaan penelitian.
i. Pemantauan penelitian oleh Tim Ahli.
j. Penilaian terhadap hasil penelitian melalui seminar.
k. Pelaporan pelaksanaan penelitian.
l. Tindak lanjut hasil penelitian (dengan rekomendasi Tim Ahli).
m. Publikasi hasil penelitian melalui jurnal atau dalam bentuk buku.
7. Keterangan: Dapat disusun skala prioritas tertentu, terutama yang dipandang layak
untuk diselenggarakan penelitian berjangka secara berkelanjutan (longitudinal research).

Kebijakan Otonomi Pendidikan


Pasca Reformasi tahun 1998, memang ada perubahan fundamental dalam sistem
pendidikan nasional. Perubahan sistem pendidikan tersebut mengikuti perubahan sistem
pemerintah yang sentralistik menuju desentralistik atau yang lebih dikenal dengan
otonomi pendidikan dan kebijakan otonomi nasional itu mempengaruhi sistem
pendidikan kita [Suyanto, 2006:xi]. Sistem pendidikan kita pun menyesuaikan dengan
model otonomi. Kebijakan otonomi di bidang pendidikan [otonomi pendidikan]
kemudian banyak membawa harapan akan perbaikan sistem pendidikan kita. Pelaksanaan
otonomi daerah bidang pendidikan di Indonesia masih menghadapi sejumlah masalah
baik yang bersifat konseptual maupun masalah yang bersifat faktual. Demikian
diutarakan Dr Baedhowi saat mempertahankan disertasinya untuk memperoleh gelar
doktor dalam bidang Ilmu Administrasi pada Universitas Indonesia, di Kampus UI
Depok.

Menurut Baedhowi, masalah konseptual berkaitan dengan berbagai masalah inheren yang
terdapat dalam otonomi konsep otonomi daerah seperti kebijakan otonomi daerah dapat
diintepretasikan sebagai otonomi yang seluas-luasnya yang memisahkan kewenangan
antara pemerintah daerah dan pemerintah pusat secara rigid. Kedua, tidak ada hubungan
hierarkhis pemerintah antara pemerintah kabupaten/kota dan pemerintah provinsi. Selain
itu tidak ada hubungan yang jelas antarpemerintah di satu kabupaten/kota dengan
kabupaten/kota lainnya.
Sementara itu, masalah faktual yang muncul dalam implementasi kebijakan otonomi
daerah, lanjutnya, antara lain daerah tidak merasa siap menerima satuan kerja pusat yang
telah diserahkan ke daerah dan secara sepihak mengembalikannya ke pusat. Baedhowi
mengatakan, daerah melakukan pengambilalihan satuan kerja pusat yang tidak diserahkan
ke daerah. Daerah juga tidak mengelola dengan benar satuan kerja yang telah diserahkan
dan telah menjadi satuan kerja daerah. Ia menulis disertasi dengan judul Implementasi
Kebijakan Otonomi Daerah Bidang Pendidikan, Studi Kasus di Kabupaten Kendal Dan
Kota Surakarta.
”Jika permasalahan tersebut tidak segera ditangani, dikhawatirkan desentralisasi
pengelolaan pendidikan akan membawa dampak negatif yang lebih kompleks seperti
merosotnya mutu pendidikan dan disintegrasi bangsa,” ujarnya. ”UU Sistem Pendidikan
Nasional memberikan dukungan yang tegas dan jelas dalam penyelenggaraan otonomi
daerah di bidang pendidikan dengan tetap berpegang pada satu sistem pendidikan
nasional dalam kerangka negara kesatuan Republik Indonesia,” kata Baedhowi yang juga
Sekretaris Jenderal Departemen Pendidikan Nasional.
UU Nomor 22 Tahun 1999 Otonomi Daerah secara otomatis merubah semua tatanan
kebijakan seluruh negeri ini. Termasuk kebijakan tentang pendidikan. Semua kebijakan,
kini tidak lagi 100% ditangani pemerintah pusat. Tapi diselaraskan dengan kearifan lokal.
Memang, kebijakannya tetap dari pusat tapi setelah mempertimbangkan segala persoalan
dari daerah. Sederhananya, pusat hanya memfasilitasi saja. Menyelaraskan kebijakan
dengan kearifan lokal tentu tidak mudah. Jika dulu mungkin agak lebih enteng karena
bentuk kebijakan itu dari pusat dan daerah mana pun harus menerimanya. Untuk saat ini
tentu tidak mudah, butuh tenaga yang ekstra dalam membahas persoalan-persoalan
daerah yang akan dibuat kebijakan.
Berangkat dari sini, Dr Baedhowi, melihat perlu ada semacam pemaparan komprehensif
untuk menjelaskan konsep dasar dan implementasi kebijakan otonomi daerah bidang
pendidikan. Staf ahli Menteri Pendidikan Nasional bidang Pengembangan Kurikulum dan
Media Pendidikan ini memaparkannya. Di antaranya mengenai konsep, pengalaman di
beberapa negara, baik-buruk, implementasi serta pengawasan otonomi pendidikan.
Mengenai konsep, tentang perlunya kebijakan otonomi pendidikan, dipandang Baedhowi
perlu karena daerah lebih accountable dan efektif dalam mengelola pendidikan. Berbeda
jauh dibanding masa sentralisasi pendidikan, dengan birokrasi berbelit dan panjang.
Menurut Baedhowi ada keuntungan fundamental memakai sistem desentralisasi. Yakni
dalam mempertimbangkan kebijakan yang akan dipusatkan. “Jika keputusan berangkat
dari daerah, keuntungannya daerah lebih mengetahui persoalan pendidikan di
wilayahnya, ketimbang pusat,” kata Baedhowi.

Dalam Undang-Undang Sisdiknas yang disahkan tanggal 11 Juni 2003, terdapat paling
kurang sembilan belas pasal yang menggandengkan kata pemerintah dan pemerintah
daerah, yang konotasinya adalah berbagai kebijakan dalam pembangunan pendidikan
hendaknya selalu mengawinkan kepentingan nasional dan kepentingan lokal (daerah)
sehingga kualitas pendidikan yang diharapkan dapat meningkatkan daya saing peserta
didik, dilaksanakan secara efisien dan efektif. Mulai dari hak dan kewajiban pemerintah
dan pemerintah daerah untuk menjamin terselenggaranya pendidikan yang berkualitas,
sampai kepada hak regulasi dalam mengatur sistem pendidikan nasional.

Secara singkat dapat disebutkan, misalnya dalam Undang-Undang Sisdiknas Pasal 10


disebutkan bahwa pemerintah dan pemerintah daerah mengatur dan mengawasi
penyelenggaraan pendidikan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pada Pasal 34 ayat (2) disebutkan bahwa pemerintah dan pemerintah daerah menjamin
terselenggaranya wajib belajar minimal jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya.
Pada Pasal 44 ayat (1) disebutkan pemerintah dan pemerintah daerah wajib membina dan
mengembangkan tenaga kependidikan pada satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh
pemerintah dan pemerintah daerah. Ayat (3) pemerintah dan pemerintah daerah wajib
membantu pembinaan dan pengembangan tenaga kependidikan pada satuan pendidikan
yang diselenggarkan oleh masyarakat.

Selanjutnya pada Pasal 49 ayat (1) disebutkan dana pendidikan selain gaji pendidik dan
biaya pendidikan kedinasan dialokasikan minimal 20 persen dari APBN pada sektor
pendidikan dan minimal 20 persen dari APBD. Ayat (4) dana pendidikan dari pemerintah
kepada pemerintah provinsi/kabupaten/kota diberikan dalam bentuk hibah sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sebenarnya masih banyak pasal yang
menjelaskan peranan pemerintah dan pemerintah daerah, namun dari beberapa pasal yang
dijelaskan di atas, kiranya cukup menggambarkan hak dan kewajiban pemerintah maupun
pemerintah daerah dalam sistem pendidikan nasional.

Pemberian aksentuasi kepada pemerintah daerah dalam Undang-Undang Sisdiknas,


diharapkan nantinya pengembangan pendidikan di tingkat lokal akan lebih efektif jika
dikembangkan oleh pemerintah daerah bersama kelompok masyarakat. Sebab jenis
kompetensi yang dibutuhkan oleh masing-masing daerah, berbeda satu sama lain. Itulah
sebabnya pada Pasal 50 ayat (4) disebutkan bahwa pemerintah kabupaten/kota
berkewajiban mengelola satuan pendidikan yang berbasis keunggulan lokal.

Memang belum ada hasil signifikan terkait dengan kebijakan otonomi. Sebagai acuan,
pengalaman otonomi pendidikan di sejumlah negara seperti, Selandia Baru, Spanyol,
Brasil, Meksiko, dan Zimbabwe, hasilnya cukup memuaskan. Di Selandia Baru misalnya,
desentralisasi difokuskan pada pemangkasan manajemen lapisan tengah birokrasi
pendidikan dan menyerahkan urusan pendidikan pada level sekolah. Komitmen
pemerintah ditunjukkan dengan kebijakan mengurangi jumlah pegawai pusat departemen
pendidikan, menghapus seluruh administrasi tingkat daerah, serta menyerahkan tanggung
jawab alokasi anggaran, pengaturan pegawai, dan pengambilan keputusan di bidang
pendidikan pada masing-masing sekolah. Pelaksanaan otonomi pendidikan di Selandia
Baru menunjukan tingkat keberhasilan cukup signifikan.
Keberhasilan Selandia Baru bisa dilihat dari implementasi desentralisasi pendidikan.
Mereka memulai dengan reformasi administrasi. Lalu diikuti reformasi pedagogis yang
tercermin pada konsensus luas tentang tujuan utama kurikulum nasional, sekaligus
memberi peluang sekolah setempat menambahkan muatan lokal. Namun kebijakan
seperti itu bukan berarti tak ada sisi negatifnya. Di Spanyol, kebijakan ala Selandia Baru
membuat banyak dewan sekolah lamban menyesuaikan diri dengan pendekatan
manajemen baru di tingkat sekolah.

Otonomi yang didasarkan pada UU No. 22 tahun 1999, yaitu memutuskan suatu
keputusan dan atau kebijakan secara mandiri. Otonomi sangat erat kaitanya dengan
desentralisasi. Dengan dasar ini, maka otonomi yang ideal dapat tumbuh dalam suasana
bebas, demokratis, rasional dan sudah barang tentu dalam kalangan insan-insan yang
“berkualitas”. Oleh karena itu, dilakukan rekonstruksi dan reformasi dalam Sistem
Pendidikan Nasional dan Regional, yang tertuang dalam GBHN 1999, juga telah
dirumuskan misi pendidikan nasional kita, yaitu mewujudkan sistem dan iklim
pendidikan nasional yang demokratis dan bermutu, guna memperteguh akhlak mulia,
kreatif, inovatif, berwawasan kebangsaan, cerdas, sehat, berdisiplin, bertanggung jawab,
berketerampilan serta menguasai iptek dalam rangka mengembangkan kualitas manusia
Indonesia [Soedjiarto,1999].

Untuk mewujudkan misi tersebut mesti diterapkan arah kebijakan sebagai berikut, yaitu :
[1] perluasan dan pemerataan pendidikan. [2] meningkatkan kemampuan akademik dan
profesionalitas serta kesejahteraan tenaga kependidikan, [3] melakukan pembaharuan
dalam sistem pendidikan nasional termasuk dalam bidang kurikulum, [4]
memberdayakan lembaga pendidikan formal dan PLS secara luas, [5] dalam realisasi
pembaharuan pendidikan nasional mesti berdasarkan prinsip desentralisasi, otonomi
keilmuan, dan manajemen, [6] meningkatkan kualitas lembaga pendidikan yang
dikembangkan oleh berbagai pihak secara efektif dan efisien terutama dalam
pengembangan iptek, seni dan budaya sehingga membangkitkan semangat yang pro-aktif,
kreatif, dan selalu reaktif dalam seluruh komponen bangsa [Soedjiarto, 1999].

Otonomi perguruan tinggi


Otonomi pendidikan khususnya otonomi perguruan tinggi yang dasar hukumnya adalah
Peraturan Pemerintah No. 61 tahun 1999 yang muncul bersamaan dengan ketentuan
otonomi daerah sebenarnya mengandung hal-hal yang positif. Otonomi itu sendiri dapat
diartikan suatu keadaan yang independen, bebas, atau tidak terikat. Dalam konteks
pendidikan khususnya perguruan tinggi, otonomi itu dapat dikaitkan dengan kebebasan
akademik yang artinya sebuah institusi perguruan tinggi bebas mengelola
pendidikannya sendiri sesuai dengan tujuan pendidikan yang ingin dicapainya.
Bagi perguruan tinggi negeri yang selama ini masih bergantung kepada
pemerintah, dengan adanya otonomi maka PTN itu harus bisa menjalankan
sistem pendidikannya secara mandiri dengan tidak sepenuhnya lagi bergantung kepada
pemerintah. Otonomi ini juga dianggap sebagai tuntutan kemajuan zaman bahkan
persiapan menuju era globalisasi dan pasar bebas yang mau tidak mau akan kita masuki.
Singkatnya, otonomi PTN atau otonomi kampus memiliki tujuan untuk mewujudkan
sistem pendidikan yang lebih baik demi menghasilkan kualitas sumber daya manusia
Indonesia yang handal di masa mendatang. Dan sebagai tahap awal dari realisasinya,
empat PTN yaitu UI, ITB, IPB, dan UGM akan dijadikan pilot project dari pelaksanaan
otonomi kampus.
Otonomi kampus yang belum sepenuhnya berjalan dan masih lebih banyak berada dalam
tataran konsep telah menimbulkan permasalahan-permasalahan, khususnya
ketidaksetujuan pada banyak kalangan mahasiswa. Walaupun dalam otonomi itu terdapat
banyak aspek yang mempengaruhi sistem pendidikan, namun yang paling disorot dalam
otonomi kampus adalah permasalahan yang sangat klasik yaitu soal dana. Dengan adanya
otonomi yang diartikan penghentian ketergantungan kepada pemerintah, juga diartikan
bahwa perguruan tinggi harus dapat mencari sember pendanaan sendiri untuk
menjalankan pendidikannya. Masalah pun timbul karena untuk mencukupi anggaran dana
untuk pendidikannya pergurun tinggi terpaksa harus menaikkan biaya pendidikan, dan
inilah yang diprotes oleh kalangan mahasiswa dan menganggap otonomi malah
menimbulkan beban yang berat dari segi finansial karena ketidakkreatifan dari birokrat
kampus dalam mencari dana dan akhirnya dibebankan kepada mahasiswa. Di UI sendiri,
hal ini pun telah dirasakan oleh para mahasiswa mulai angkatan ’99 di mana mereka
dikenakan Dana Peningkatan Kualitas Pendidikan (DPKP) sebesar Rp 1.000.000,00
untuk fakultas-fakultas eksakta dan Rp 750.000,00 untuk fakultas-fakultas noneksakta
yang harus dibayar setiap semester selain SPP dan DKFM. Di sisi lain, munculnya ide
otonomi pendidikan di masa Indonesia sedang dihantam krisis ekonomi berkepanjangan
ini lalu diartikan juga sebagai ketidakmampuan pemerintah dalam memberikan dana
kepada dunia pendidikan akibat krisis. Anggaran subsidi pendidikan yang jumlahnya
kecil pun terpaksa harus dipangkas lagi agar tidak terlalu membebani APBN.
Padahal tujuan otonomi pendidikan itu sangat luhur dan mulia karena bercita-cita dapat
mengangkat mutu pendidikan bangsa kita. Dan pemerintah pun seharusnya memiliki
perhatian yang besar agar pendidikan dapat dinikmati oleh seluruh lapisan masyarakat
bangsa ini sesuai dengan amanat UUD 1945 pasal 31. Jadi, otonomi pendidikan itu
sebenarnya sebagai pembebas atau justru penindas. Dikatakan pembebas karena dengan
adanya otonomi pendidikan dunia pendidikan khususnya perguruan tinggi dapat
menyelenggarakan sistem pendidikannya secara bebas sesuai dengan tujuan, kebutuhan,
dan tuntutan kemajuan zaman. Sistem pengajaran, kurikulum, metode, dan ilmu yang
diberikan dapat disesuaikan dengan kebutuhan dan tidak lagi sepenuhnya mengacu
kepada ketentuan baku dan tunggal yang ditetapkan pemerintah. Dengan demikian dunia
akademis yang sehat dengan kreativitas dan daya kritis yang tinggi dari para peserta didik
dapat tercapai, akhirnya cita-cita untuk dapat menghasilkan sebuah mutu pendidikan
yang baik pun akan tercapai. Di sisi lain otonomi pendidikan dikatakan sebagi penindas
karena otonomi justru menimbulkan beban dari segi finansial karena otonomi diartikan
sebagai pembebanan dana pendidikan kepada peserta didik yang akhirnya pendidikan
hanya dapat dinikmati oleh sebagian kalangan yang berpunya saja.

Liberalisasi Pendidikan
Beberapa kalangan pakar dan praktisi pendidikan, mencermati kebijakan otonomi
pendidikan sering dipahami sebagai indikasi kearah “liberalisasi” atau lebih parah lagi
dikatakan sebagai indikasi kearah “komersialisasi pendidikan”. Hal ini, menurut Suyanto,
semakin dikuatkan dengan terbentuknya Badan Hukum Pendidikan [BHP] yang
dibekukan, oleh beberapa pengamat dianggap sebagai pengejawantahan dari sistem yang
mengarah pada “liberalisasi pendidikan” [Suyanto, 2006:xi]. Menurut Rancangan
Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan atau BHP melepaskan perguruan tinggi dari
intervensi pemerintah. Tidak ada lagi perbedaan antara perguruan tinggi negeri (PTN)
dan perguruan tinggi swasta (PTS). Semuanya dikelola dalam sebuah model privatisasi.
Menurutnya era BHP mengedepankan kemandirian perguruan tinggi dalam aspek
manajemen administrasi keuangan, sumber daya manusia, dan akademik. Dalam hal
mendirikan program studi baru serta menjalin kerja sama dengan institusi asing, setiap
perguruan tinggi bebas dari intervensi birokrasi pemerintah. Termasuk di dalamnya untuk
kegiatan riset unggulan.
Pendanaan yang minim dianggap sebagai sumber utama terpuruknya pendidikan
nasional. Berbagai masalah akut, seperti buruknya sarana dan prasarana sekolah,
tingginya murid drop out, serta guru yang tidak berkualitas, ditengarai disebabkan oleh
sangat terbatasnya dana yang disediakan. Hal inilah yang selalu didengung-dengungkan
ketika ada kritikkan tentang dunia pendidikan kita.
Kelak, tidak ada lagi perbedaan antara perguruan tinggi negeri (PTN) dan perguruan
tinggi swasta (PTS). Seperti tertuang dalam lembar penjelasan atas RUU BHP tersebut,
lembaga pendidikan diharapkan kemampuannya secara mandiri dan bertanggung jawab
memanfaatkan sumber daya pendidikan. Hal tersebut dimaksudkan untuk melaksanakan
proses pembelajaran yang menghasilkan keluaran bermutu. Dalam konteks BHP kelak
menjadi lembaga nirlaba - juga berarti BHP sebagai legal entity yang berbadan hukum,
lebih mengutamakan upaya peningkatan mutu daripada mencari keuntungan. Jika ada
hasil usaha, maka dana itu diinvestasikan untuk upaya peningkatan mutu dan tidak akan
dikenai pajak. Sementara pengelolaan secara korporatif, dimaksudkan sebagai upaya
mendorong kemandirian lembaga pendidikan.
Prinsip kemandirian sebagai entitas legal, BHP dapat bertindak sebagai subjek hukum
mandiri. Dengan demikian, BHP dapat mengikatkan diri melalui perjanjian dengan pihak
lain yang berkonsekuensi kepada kekayaan, hak, utang atau kewajiban. BHP harus pula
membukukan kekayaan utang dan hasil operasinya dengan menerapkan standar akuntansi
yang berlaku. Mereka juga harus siap diaudit oleh lembaga independen atau akuntan
publik atas biaya sendiri. Yang ironis, model yang ada dalam RUU BHP justru
mempersempit ruang bagi seluruh warga negara untuk mengenyam layanan pendidikan
dasar hingga perguruan tinggi. Istilah privatisasi pasti kental dengan pendekatan modal.
Sebagai pranata yang lekat dengan kepentingan publik, tidaklah pantas lembaga
pendidikan berhitung-hitung dengan modal seperti layaknya lembaga bisnis.
Sama halnya dengan layanan kesehatan, sektor pendidikan pun hendaknya dianggap
sebagai hak dasar bagi setiap warga negara di mana pemerintah wajib memenuhinya. Jika
model pelayanan di sektor tersebut sudah terjerumus pada privatisasi, taruhannya adalah
pada generasi penerus bangsa. Privatisasi itu memang berangkat dari konsep liberalisme
dan kapitalisme, di mana model pelayanan sudah membidik segmen tertentu demi
perputaran modal. Konsekuensi logis dari privatisasi saat ini perguruan tinggi seakan
berlomba membuka program baru atau menjalankan strategi penjaringan mahasiswa baru
untuk mendatangkan dana. Saat ini saja perguruan tinggi negeri (PTN) sudah berlomba-
lomba membuka program studi baru, seperti diploma dan ekstensi, yang nyata-nyata kian
"membunuh" keberadaan perguruan tinggi swasta.

Pendidikan Indonesia Alami Proses Involusi


Pendidikan Indonesia tengah mengalami proses involusi dan bergerak tanpa arah yang
jelas. Dari hari ke hari manusia yang terlibat dalam pendidikan bukannya tumbuh kian
cerdas, tetapi mutunya semakin menurun meski input fasilitas fisiknya terus bertambah.
Ketidakjelasan arah pendidikan itu menyebabkan pendidikan di Indonesia tidak
kompetitif lagi dibandingkan dengan pencapaian negara-negara lain, bahkan di wilayah
Asia Tenggara sekalipun. "Kebijakan pendidikan kita tidak pernah jelas. Pendidikan kita
hanya melanjutkan pendidikan yang elite eksklusif dengan kurikulum elitis yang hanya
bisa ditangkap oleh 30 persen anak didik," kata Dr Mochtar Buchori, mantan Rektor IKIP
Muhammadiyah Jakarta, Jumat (3/9).

Keprihatinan terhadap pendidikan Indonesia yang bergerak tanpa arah yang jelas,
kegagalan perguruan tinggi yang diunggulkan di dalam negeri berkompetisi di tingkat
global dan regional, bahkan pencapaian kuantitatif pendidikan Indonesia yang mulai
dikejar negara-negara kecil, yang selama ini tidak diperhitungkan, muncul pula dalam
diskusi panel ahli yang diselenggarakan redaksi Kompas baru-baru ini.

Liputan pendidikan sejumlah wartawan Kompas ke sejumlah negara makin


mengukuhkan keprihatinan itu. Dr Francis Wahono, aktivis organisasi nonpemerintah
yang bergerak dalam bidang pendidikan di masyarakat bawah, mengemukakan, apabila
proses involusi yang tengah terjadi dalam pendidikan di Indonesia dibiarkan terus
berlangsung, dalam kurun waktu tujuh sampai sepuluh tahun mendatang Indonesia akan
menjadi bangsa paria di kawasan Asia Tenggara. "Kinerja sektor pendidikan kita
sungguh mengenaskan. Indeks pembangunan manusia (HDI), yang menempatkan
Indonesia di peringkat ke-111, mencerminkan betapa miskinnya pemikiran dan kacaunya
penyelenggaraan pendidikan di Tanah Air," kata Wahono.

Staf Ahli Menteri Pendidikan Nasional Ace Suryadi mengatakan, investasi pendidikan
yang dilakukan sejak pemerintahan Soeharto telah salah kaprah. Perluasan pendidikan
tanpa memerhatikan mutu-seperti pada masa Orde Baru-jika dilanjutkan hanya akan
menabrak batu. Menurut Ace, sejak reformasi bergulir sampai sekarang belum ada
restrukturisasi program pendidikan yang berarti. Penambahan dana pendidikan saja, jika
tanpa diikuti restrukturisasi dalam proses pembangunan pendidikan, tak akan banyak
memperbaiki situasi pendidikan di Indonesia.

"Dari dulu sampai sekarang, kebijakan pendidikan kita masih terlalu umum. Belum ada
kebijakan besar dalam pendidikan, misalnya untuk mengejar keunggulan sampai tahun
2020," kata Ace. Menurut Buchori, sistem pendidikan yang diberlakukan saat ini
merupakan kelanjutan dari sistem yang bersifat elitis eksklusif. Kurikulum hanya bisa
diikuti oleh 30 persen dari peserta didik, sedangkan 70 persen lainnya tak bisa mengikuti.
Ketika jumlah yang 70 persen itu dipaksakan terus mengikuti, terjadi pengatrolan-
pengatrolan dan sebagainya, yang merusak nilai-nilai pendidikan.

Untuk menyelenggarakan pendidikan yang baik dan bersifat massal, lanjut Buchori,
sistem itu harus diubah. Pendidikan dibagi menjadi dua jalur: jalur anak-anak berbakat
dan jalur untuk mereka yang memiliki kemampuan rata-rata. Untuk menopang kemajuan
suatu negara, tambahnya, perlu diciptakan kelompok ilmuwan yang elitis tetapi bersifat
inklusif. Suatu kelompok kecil orang-orang yang sangat pintar yang tidak arogan, peduli
pada nasib orang lain, dan punya semangat egaliter. Pada lapisan lainnya adalah
kelompok profesional yang andal dan masyarakat kebanyakan yang melek huruf dalam
arti luas.

"Untuk menciptakan lapisan elite yang unggul memang perlu dibentuk lembaga-lembaga
pendidikan yang elitis, tetapi juga memiliki semangat egaliter. Jadi, jangan terlalu
berlebihan, sampai menyediakan fasilitas pacuan kuda dan lain- lainnya. Sikap berlebih-
lebihan itu yang menimbulkan kesan bahwa pendidikan hanya untuk orang-orang kaya,"
katanya.

Guru besar bidang linguistik Prof Dr Soenjono Dardjowidjojo mengemukakan, banyak


kebijakan pendidikan di Indonesia yang salah arah. Akan tetapi, menurut dia, dalam
membangun pendidikan tidak perlu terlalu menyalahkan dan menggantungkan diri pada
pemerintah. Di Amerika Serikat pun, kata Soenjono yang pernah memimpin sebuah
jurusan di Universitas Hawaii, perguruan tinggi yang unggul justru perguruan tinggi
swasta. "Untuk mengembangkan pendidikan, kita tidak bisa bergantung pada dana
pemerintah. Biarkan tumbuh universitas- universitas swasta yang dikelola seperti
perusahaan atau industri. Lembaga pendidikan memang harus dikelola seperti badan
usaha. Asalkan dijamin bahwa keuntungannya akan dikembalikan untuk peningkatan
mutu lembaga pendidikan itu," katanya.

Efektifitas dan Efisiensi system pendidikan


Sabtu, 27 Januari 2007, National Integration Movement (NIM) menggelar Diskusi
Kebangsaan di Padepokan One Earth, Ciawi. Diskusi kali ini membahas tentang
efektivitas sistem pendidikan di Indonesia dalam melahirkan manusia Indonesia yang
berkarakter dan berbudaya. Sudahkah Sistem Pendidikan Kita Menciptakan Manusia
Yang Berkarakter Dan Berbudaya?

Pengembangan sistem pendidikan terkini, seharusnya merupakan perubahan yang


mendasar dan menyeluruh, atau lazim disebut dengan reformasi pendidikan. Namun
harus diakui bahwa reformasi pendidikan itu masih banyak merupakan wacana
ketimbang tindakan konkrit. Usaha reformasi belum didukung oleh konsep yang tepat
dan jelas serta belum ada kebijakan yang mantap. Upaya kebudayaan pendidikan itu
berupa upaya mempertajam akal (secara konqnitif), rasa (secara afektif) dan
karya/tindakan (secara psikomotorik) untuk melestarikan dan mengembangkan
kebudayaan sebagai hasil budi daya manusia seperti Ilmu Pengetahuan, Religiositas,
Etika, Estetika dan Kecakapan Hidup. Tujuan dari pendidikan itu sendiri adalah
mamayung hayuning salira, bangsa, manungsa/bawana, atau mencita-citakan
kebahagiaan diri, bangsa, dan umat manusia sedunia.
Tapi kenyataannya di Indonesia, lebih banyak lembaga pendidikan yang diselenggarakan
untuk merebut/melanggengkan kekuasaan, atau demi materialisme bagi kepentingan
segelintir orang atau diri sendiri. Sayangnya, sistem pendidikan di Indonesia sendiri
susah untuk independen. Selalu saja ada campur tangan para politisi. Akhirnya
pendidikan di Indonesia selalu tergantung pada penguasa yang berkuasa. Tapi karena
penguasa biasanya hanya mementingkan kepentingan sendiri dan kelompok, maka jadilah
sistem pendidikan di Indonesia yang hanya memfokuskan pada intelektual dan
materialisme.
Misalnya : sekolah yang dirancang khusus untuk mengasah kemampuan siswa dengan
fasilitas serba lengkap dan tenaga pengajar yang serba pintar agar nantinya seorang siswa
lulusan sekolah itu mudah mendapat pekerjaan atau menjadi kaya raya. Sekolah seperti
ini sebenarnya bukanlah lembaga pendidikan, tapi sebuah usaha perdagangan
“berbulu/berjubah” sekolah.

Reformasi pada hakekatnya adalah perubahan menyeluruh dan mendasar dalam segala
aspek kehidupan. Perubahan menyeluruh dan mendasar ini disebut pula sebagai
perubahan paradigma atau perubahan sistemik. Perubahan ini tidak sekedar menambah
apa yang sudah ada seperti misalnya menambah guru dan gedung sekolah (doing more of
the same thing). Perubahan semacam ini baru merupakan awal atau gelombang pertama
reformasi. Gelombang perubahan kedua menambah yang sudah ada dengan yang lebih
baik atau melaksanakan yang sudah pernah dilakukan dengan cara yang lebih baik.
Contoh gelombang kedua ini misalnya menambah guru yang bergelar sarjana,
meningkatkan syarat dosen yang bergelar Doktor, membangun gedung sekolah
dilengkapi dengan penyejuk udara, atau meningkatkan efisiensi dalam kegiatan
penambahan (doing more of the same but doing it better). Pada gelombang ketiga
perubahan dilakukan dengan meningkatkan efektivitas sistem yang sudah ada dengan
membenahi komponen-komponen tertentu seperti misalnya mengembangkan kurikulum
baru atau menggantikan EBTANAS dengan sistem evaluasi baru (increasing the
effectiveness of the the present system by rearranginng its components) (Banathy,1991;
Miarso,1998a; Reigeluth & Garfinkle,1992). Reformasi atau perubahan paradigma dalam
pendidikan pada dasarnya adalah melakukan tindakan lain yang berbeda berdasarkan pola
pikir yang sesuai dengan perkembangan lingkungan. Masalah yang kita hadapi sekarang
tidak mungkin kita selesaikan dengan cara lama yang telah menimbulkan masalah yang
kita hadapi. Perkembangan lingkungan tersebut diantaranya adalah tuntutan atas HAM,
desentralisasi pengelolaan, dan demokrasi partisipatif.

Persoalan sekarang, apakah sistem pendidikan yang ada saat ini telah efektif untuk
mendidik bangsa Indonesia menjadi bangsa yang modern, memiliki kemampuan daya
saing yang tinggi di tengah-tengah bangsa lain? Jawabannya tentu belum. Menurut
Suyanto, berbicara kemampuan, kita sebagai bangsa nampaknya belum sepenuhnya siap
benar menghadapi tantangan persaingan [Suyanto, 2006:11]. Sementara, disatu sisi,
“bidang pendidikan kita menjadi tumpuan harapan bagi peningkatan kualitas Sumber
Daya Manusia [SDM] Indonesia. Tetapi disisi lain, sistem pendidikan kita masih
melahirkan mismatch terhadap tuntutan dunia kerja, baik secara nasional maupun
regional [Suyanto, 2006:21]. Berbagai problem fundamental yang dihadapi pendidikan
nasional saat ini, yang tercermin dalam “realitas” pendidikan yang kita jalani. Seperti
persoalan anggaran pendidikan, kurikulum, strategi pembelajaran, dan persoalan output
pendidikan kita yang masih sangat rendah kualitasnya.

Sistem Pendidikan di Indonesia secara konseptual berdasarkan Pancasila, yang dijabarkan


oleh UUD’45 Psl 31, ayat 1-5. Dijabarkan kembali lewat UU No. 20/2003 tentang
Sisdiknas. Pendidikan formal distandarisasi dengan Peraturan Pemerintah (PP) No.
19/2005, dan standar isi pendidikan formal diatur dengan Peraturan Menteri (PerMen)
No. 221. Tapi bila kita memperhatikan standar isi pendidikan itu, tidak ada pelajaran
Religiositas maupun Etika.
Menurut standar kelulusan seorang siswa berdasarkan PP 19/2005 & PerMen 222,
disebutkan bahwa seorang siswa dinyatakan lulus bila (1) mengikuti semua program, (2)
nilai pendidikan agama dan estetika minimal baik, (3) lulus Ujian Sekolah, dan (4) lulus
Ujian Nasional yang hanya difokuskan pada mata pelajaran Bahasa Indonesia, Bahasa
Inggris, dan Matematika. Sehingga, bila sekolah yang cerdik (bedakan dengan cerdas)
akan memfokuskan pengajaran pada ke-3 pelajaran yang diuji ini untuk “mengejar”
statistik tingkat kelulusan sekolah. “Keberhasilan” sekolah ini dapat menjadi ‘ikon
marketing’ yang jitu bagi sekolah itu dalam menjaring siswa-siswa baru, di mana tetap
saja tujuan akhir adalah profit, bukan mendidik.

Masalah jadi bertambah rumit ketika secara tidak sadar, para orang tua secara tidak sadar
cenderung untuk memilih sekolah yang hanya mengembangkan intelektual dan
matematik semata sehingga sekolah-sekolah seperti ini akan ramai biarpun mahal karena
dalam benak orang tua, bila pintar pasti mudah mencari pekerjaan. Padahal tujuan
pendidikan bukanlah seperti itu. Tapi celakanya, para pembuat dan pelaku pendidikan
tidak juga tahu bahwa pendidikan dimaksudkan untuk mendidik seseorang menjadi
berbudaya dan berkarakter, bukan sekedar pintar secara intelektual saja. Dalam sistem
pendidikan yang penting adalah proses ajar-mengajar bukan hanya hasil akhir. Tapi yang
paling parah adalah ketika kita tidak menghargai apa yang sebenarnya sudah ditanamkan
dalam tradisi budaya kita. Kita pikir intelektual dapat menghasilkan kreatifitas, atau kita
pikir intelektual semata dapat memberikan kita kebahagiaan. Apalagi bila kita berpikir
kebahagiaan bisa tercapai dengan berlimpahnya uang dan harta.
Pendidikan yang efektif adalah suatu pendidikan yang memungkinkan peserta didik
untuk dapat belajar dengan mudah, menyenangkan dan dapat tercapai tujuan sesuai
dengan yang diharapkan. Dengan demikian, pendidik (dosen, guru, instruktur, dan
trainer) dituntut untuk dapat meningkatkan keefektifan pembelajaran agar pembelajaran
tersebut dapat berguna. Kreatifitas sebenarnya mudah dimunculkan bila seseorang
berbudaya dan berkarakter. Tapi menciptakan seseorang yang berbudaya dan berkarakter
tidak dapat dilakukan lewat sistem pengajaran “salah dihukum-benar diberi hadiah.”
Sistem pengajaran “carrot and stick” seperti ini mungkin efektif bila untuk mengajar
binatang atau untuk menjadikan seorang manusia robotis, tapi tidak akan efektif bila
untuk mengajar seorang manusia supaya berbudaya dan berkarakter.

Konsep Pengajaran Ki Hadjar Dewantara berfokus pada (1) Kepribadian Merdeka. Hidup
ini bebas merdeka mengikuti hak asal tidak melupakan kewajiban. (2) Kemasyarakatan
atau kekeluargaan. (3) Kebangsaan yang memiliki rasa satu dalam suka, duka, dan dalam
mencapai cita-cita dan tujuan bersama, berfaham religius, humanistis, dan kultural, serta
berwawasan Bhinneka Tunggal Ika. (4) Kebudayaan yang berkembang secara kontinyu,
konvergen, dan konsentris (Trikon). Budaya menurut Ki Hadjar selalu berkembang
secara terus menerus. Kemudian berpadu dengan budaya asing yang sesuai dengan
kepribadian bangsa Indonesia sendiri, yaitu Pancasila. Proses perpaduannya sendiri
seperti air dan gula, bukan terpisah seperti air dan minyak. Dan Konsentris yang berarti
mendunia tanpa harus kehilangan ciri khas masing-masing. (5) Perekonomian yang
merakyat yaitu bertujuan menyejahterakan dan membahagiakan diri tiap rakyat, seluruh
bangsa Indonesia, dan umat manusia sedunia (Mamayu hyuning salira, bangsa, dan
manungsa).

Di Perguruan Taman Siswa dijabarkan dalam Pancadarma (5 Bhakti), yakni : Kodrat


Alam, Kemerdekaan, Kebudayaan, Kebangsaan, dan Kemanusiaan.
Selain Ki Hajar Dewantara di tahun 1922, K.H Ahmad Dahlan pada tahun 1910 juga
sudah mengemukakan sistem pendidikan diadopsi oleh Muhammadiyah. Teuku Moh.
Syafei juga pernah menggagas suatu konsep pendidikan berbasis nasionalisme Indonesia.
Celakanya, karena “silau” dengan keberhasilan konsep pendidikan berbudaya asing dan
kurangnya penghargaan pada konsep pendidikan negeri sendiri, maka pejabat yang
mengurusi pendidikan di Indonesia cenderung mengadopsi konsep pendidikan asing yang
belum tentu cocok dengan para siswa di Indonesia. Tapi lebih celaka, tiap ganti pejabat,
ganti pula sistem pendidikan sehingga membingungkan baik siswa maupun pengajar.
Inilah yang terjadi bila pola pendidikan diterapkan secara top down.

Bila melihat sebuah penelitian dari Amerika yang pernah dikutip oleh Anand Krishna
bahwa hanya 4% dari peran otak kiri dalam pencapaian keberhasilan manusia, maka pola
pendidikan di Indonesia pun harus juga mencakup pengasahan otak sebelah kanan. Jadi
kebijakan standar kelulusan seorang siswa hanya berdasarkan Hasil Ujian Akhir Nasional
(UAN) seperti yang terjadi saat ini sudah seharusnya direvisi. Problem-problem
pendidikan yang bersifat metodik dan strategik membuahkan output yang sangat
memprihatinkan. Output pendidikan kita memiliki mental yang selalu tergantung kepada
orang lain. Output pendidikan kita tidak memiliki mental yang bersifat mandiri, karena
memang tidak kritis dan kreatif. Akhirnya, output yang pernah mengenyam pendidikan,
malah menjadi “pengangguran terselubung”. Ini artinya, setiap tahunnya, pendidikan
nasional kita memproduksi pengangguran terselubung. Mereka itu, adalah korban dari
ketidakberesan sistem pendidikan kita yang masih sedang merangka berbenah. Mungkin
saja, kita sebagai insan yang berpendidikan, tentu saja terus atau kebanyakan berharap
akan datangnya perubahan “fundamental” terhadap sistem pendidikan [Suyanto,
2006:viii] di Indonesia.

Efektifitas pendidikan di Indonesia sangat rendah. Setelah praktisi pendidikan melakukan


penelitian dan survey ke lapangan, salah satu penyebabnya adalah tidak adanya tujuan
pendidikan yang jelas sebelum kegiatan pembelajaran dilaksanakan. Hal ini
menyebabkan peserta didik dan pendidik tidak tahu “goal” apa yang akan dihasilkan
sehingga tidak mempunyai gambaran yang jelas dalam proses pendidikan. Jelas hal ini
merupakan masalah terpenting jika kita menginginkan efektifitas pengajaran. Bagaimana
mungkin tujuan akan tercapai jika kita tidak tahu apa tujuan kita. Selama ini, banyak
pendapat beranggapan bahwa pendidikan formal dinilai hanya menjadi formalitas saja
untuk membentuk sumber daya manusia Indonesia. Tidak peduli bagaimana hasil
pembelajaran formal tersebut, yang terpenting adalah telah melaksanakan pendidikan di
jenjang yang tinggi dan dapat dinaggap hebat oleh masyarakat. Anggapan seperti itu
jugalah yang menyebabkan efektifitas pengajaran di Indonesia sangat rendah. Setiap
orang mempunya kelebihan di bidangnya masing-masing dan diharapkan dapat
mengambil pendidikaan sesuai bakat dan minatnya bukan hanya untuk dianggap hebat
oleh orang lain.

Dalam pendidikan di sekolah menengah misalnya, seseorang yang mempunyai kelebihan


di bidang sosial dan dipaksa mangikuti program studi IPA akan menghasilkan efektifitas
pengajaran yang lebih rendah jika dibandingkan peserta didik yang mengikuti program
studi yang sesuai dengan bakat dan minatnya. Hal-hal sepeti itulah yang banyak terjadi di
Indonesia. Dan sayangnya masalah gengsi tidak kalah pentingnya dalam menyebabkan
rendahnya efektifitas pendidikan di Indonesia. Efisien adalah bagaimana menghasilkan
dari suatu tujuan dengan proses yang lebih ‘murah’. Dalam proses pendidikan akan jauh
lebih baik jika kita memperhitungkan untuk memperoleh hasil yang baik tanpa
melupakan proses yang baik pula. Hal-hal itu jugalah yang kurang jika kita lihat
pendidikan di Indonesia. Kita kurang mempertimbangkan prosesnya, hanya bagaiman
dapat meraih stendar hasil yang telah disepakati. Beberapa masalah efisiensi pengajaran
di indonesia adalah mahalnya biaya pendidikan, waktu yang digunakan dalam proses
pendidikan, mutu pegajar dan banyak hal lain yang menyebabkan kurang efisiennya
proses pendidikan di Indonesia. Yang juga berpengaruh dalam peningkatan sumber daya
manusia Indonesia yang lebih baik.

Masalah mahalnya biaya pendidikan di Indonesia sudah menjadi rahasia umum bagi kita.
Sebenarnya harga pendidikan di Indonesia relative lebih rendah jika kita bandingkan
dengan Negara lain yang tidak mengambil sistem free cost education. Namun mengapa
kita menganggap pendidikan di Indonesia cukup mahal? Hal itu tidak kami kemukakan di
sini jika penghasilan rakyat Indonesia cukup tinggi dan sepadan untuk biaya pendidikan.
Jika kita berbicara tentang biaya pendidikan, kita tidak hanya berbicara tentang biaya
sekolah, training, kursus atau lembaga pendidikan formal atau informal lain yang dipilih,
namun kita juga berbicara tentang properti pendukung seperti buku, dan berbicara tentang
biaya transportasi yang ditempuh untuk dapat sampai ke lembaga pengajaran yang kita
pilih. Di sekolah dasar negeri, memang benar jika sudah diberlakukan pembebasan biaya
pengajaran, namun peserta didik tidak hanya itu saja, kebutuhan lainnya adalah buku teks
pengajaran, alat tulis, seragam dan lain sebagainya yang ketika disurvey, hal itu
diwajibkan oleh pendidik yang bersangkutan. Yang mengejutkanya lagi, ada pendidik
yang mewajibkan les kepada peserta didiknya, yang tentu dengan bayaran untuk pendidik
tersebut.
Selain masalah mahalnya biaya pendidikan di Indonesia, masalah lainnya adalah waktu
pengajaran. Dengan survey lapangan, dapat kami lihat bahwa pendidikan tatap muka di
Indonesia relative lebih lama jika dibandingkan Negara lain. Dalam pendidikan formal di
sekolah menengah misalnya, ada sekolah yang jadwal pengajarnnya perhari dimulai dari
pukul 07.00 dan diakhiri sampai pukul 16.00.. Hal tersebut jelas tidak efisien, karena
ketika diamati lagi, peserta didik yang mengikuti proses pendidikan formal yang
menghabiskan banyak waktu tersebut, banyak peserta didik yang mengikuti lembaga
pendidikan informal lain seperti les akademis, bahasa, dan sebagainya. Jelas juga terlihat,
bahwa proses pendidikan yang lama tersebut tidak efektif juga, Karena peserta didik
akhirnya mengikuti pendidikan informal untuk melengkapi pendidikan formal yang
dinilai kurang. Selain itu, masalah lain efisienfsi pengajaran adalah mutu pengajar.
Kurangnya mutu pengajar jugalah yang menyebabkan peserta didik kurang mencapai
hasil yang diharapkan dan akhirnya mengambil pendidikan tambahan yang juga
membutuhkan uang lebih.
Yang kami lihat, kurangnya mutu pengajar disebabkan oleh pengajar yang mengajar tidak
pada kompetensinya. Misalnya saja, pengajar A mempunyai dasar pendidikan di bidang
bahasa, namun dia mengajarkan keterampilan, yang sebenarnya bukan kompetensinya.
Hal-tersebut benar-benar terjadi jika kita melihat kondisi pendidikan di lapangan yang
sebenarnya. Hal lain adalah pendidik tidak dapat mengomunikasikan bahan pengajaran
dengan baik, sehingga mudah dimengerti dan membuat tertarik peserta didik.
Sistem pendidikan yang baik juga berperan penting dalam meningkatkan efisiensi
pendidikan di Indonesia. Sangat disayangkan juga sistem pendidikan kita berubah-ubah
sehingga membingungkan pendidik dan peserta didik. Dalam beberapa tahun belakangan
ini, kita menggunakan sistem pendidikan kurikulum 1994, kurikulum 2004, kurikulum
berbasis kompetensi yang pengubah proses pengajaran menjadi proses pendidikan aktif,
hingga kurikulum baru lainnya KSP. Ketika mengganti kurikulum, kita juga mengganti
cara pendidikan pengajar, dan pengajar harus diberi pelatihan terlebih dahulu yang juga
menambah cost biaya pendidikan. Sehingga amat disayangkan jika terlalu sering
mengganti kurikulum yang dianggap kurang efektif lalu langsung menggantinya dengan
kurikulum yang dinilai lebih efektif.

Standardisasi Pendidikan Indonesia


Jika kita ingin meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia, kita juga berbicara tentang
standardisasi pengajaran yang kita ambil. Tentunya setelah melewati proses untuk
menentukan standar yang akan diambil. Dunia pendidikan terus berudah. Kompetensi
yang dibutuhka oleh masyarakat terus-menertus berunah apalagi di dalam dunia terbuka
yaitu di dalam dunia modern dalam ere globalisasi. Kompetendi-kompetensi yang harus
dimiliki oleh seseorang dalam lembaga pendidikan haruslah memenuhi standar.
Seperti yang kita lihat sekarang ini, standar dan kompetensi dalam pendidikan formal
maupun informal terlihat hanya keranjingan terhadap standar dan kompetensi. Kualitas
pendidikan diukur oleh standard an kompetensi di dalam berbagai versi, demikian pula
sehingga dibentuk badan-badan baru untuk melaksanakan standardisasi dan kompetensi
tersebut seperti Badan Standardisasi Nasional Pendidikan (BSNP).

Tinjauan terhadap sandardisasi dan kompetensi untuk meningkatkan mutu pendidikan


akhirnya membawa kami dalam pengunkapan adanya bahaya yang tersembunyi yaitu
kemungkinan adanya pendidikan yang terkekung oleh standar kompetensi saja sehngga
kehilangan makna dan tujuan pendidikan tersebut. Peserta didik Indonesia terkadang
hanya memikirkan bagaiman agar mencapai standar pendidikan saja, bukan bagaimana
agar pendidikan yang diambil efektif dan dapat digunakan. Tidak perduli bagaimana cara
agar memperoleh hasil atau lebih spesifiknya nilai yang diperoleh, yang terpentinga
adalah memenuhi nilai di atas standar saja. Hal seperti di atas sangat disayangkan karena
berarti pendidikan seperti kehilangan makna saja karena terlalu menuntun standar
kompetensi. Hal itu jelas salah satu penyebab rendahnya mutu pendidikan di Indonesia.

Selain itu, akan lebih baik jika kita mempertanyakan kembali apakah standar pendidikan
di Indonesia sudah sesuai atau belum. Dalam kasus UAN yang hampir selalu menjadi
kontrofesi misalnya. Kami menilai adanya sistem evaluasi seperti UAN sudah cukup
baik, namun yang kami sayangkan adalah evaluasi pendidikan seperti itu yang
menentukan lulus tidaknya peserta didik mengikuti pendidikan, hanya dilaksanakan
sekali saja tanpa melihat proses yang dilalu peserta didik yang telah menenpuh proses
pendidikan selama beberapa tahun. Selain hanya berlanhsug sekali, evaluasi seperti itu
hanya mengevaluasi 3 bidang studi saja tanpa mengevaluasi bidang studi lain yang telah
didikuti oleh peserta didik.
Banyak hal lain juga yang sebenarnya dapat kami bahas dalam pembahasan sandardisasi
pengajaran di Indonesia. Juga permasalahan yang ada di dalamnya, yang tentu lebih
banyak, dan membutuhkan penelitian yang lebih dalam lagi. Penyebab rendahnya mutu
pendidikan di Indonesia juga tentu tidah hanya sebatas yang kami bahas di atas. Banyak
hal yang menyebabkan rendahnya mutu pendidikan kita. Tentunya hal seperti itu dapat
kita temukan jika kita menggali lebih dalam akar permasalahannya. Dan semoga jika kita
mengetehui akar permasalahannya, kita dapat memperbaiki mutu pendidikan di Indonesia
sehingga jadi kebih baik lagi. (Wallahu’alam Bishawab).

Anda mungkin juga menyukai