Dampak kebijakan pendidikan nasional yang dibuat pemerintah sering kali tak
diperhitungkan jauh ke depan. Hal itu lebih karena kebijakan pendidikan nasional lebih
didasarkan pada kepentingan politik pemerintah saat itu daripada untuk kepentingan
pendidikan berkualitas bagi anak bangsa. “Karena pendidikan itu lebih bergantung pada
struktur kekuasaan yang ada, maka kemajuan pendidikan bangsa ini juga sangat
bergantung pada komitmen politik pemerintah. Jika komitmen politik itu rendah, ya,
pendidikan kita tidak akan berubah. Akan terus jauh ketinggalan dari negara-negara lain,”
kata tokoh pendidikan HAR Tilaar di Jakarta (Kompas, 8 Agustus 2007). Tilaar
menyampaikan pandangannya mengenai pendidikan Indonesia dewasa ini dalam acara
Principal’s Chat 2007 yang digelar Bina Nusantara (Binus) International. Acara ini
merupakan forum diskusi tahunan antara Binus International dan guru serta kepala SMA
di wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi.
Menurut guru besar (emeritus) Universitas Negeri Jakarta ini, kuatnya kepentingan
politik dalam kebijakan pendidikan nasional itu bukan saja bisa dilihat dari bergonta-
gantinya kebijakan pendidikan setiap kali pemerintahan selesai. Ini mengingat, banyak
kebijakan pendidikan pada tingkat nasional maupun lokal juga tidak didukung dari hasil
penelitian di lapangan, yaitu dalam situasi pembelajaran di sekolah dan masyarakat
Indonesia. Sebagai contoh, kebijakan ujian nasional (UN) yang sampai sekarang masih
kontroversial, menurut Tilaar, bukanlah kebijakan yang sangat strategis untuk
peningkatan kualitas lulusan pendidikan di Indonesia. Namun, kebijakan itu terus
dipaksakan tanpa melihat dampaknya jauh ke depan bagi proses pendidikan secara
menyeluruh.
HAR Tilaar mengatakan bahwa dalam perkembangan zaman yang sangat cepat dewasa
ini, kebijakan pendidikan Indonesia memang tepat diarahkan pada peningkatan mutu
pendidikan. Apalagi jika melihat dari laporan UNDP tahun 2006, yang menempatkan
indeks pembangunan manusia Indonesia di peringkat ke-108 dari 177 negara. Sayangnya,
peningkatan mutu itu sering kali dicapai dengan kebijakan yang tidak berakar dari guru,
kepala sekolah, dan masyarakat itu sendiri. Akibatnya, pemerintah masih terus saja
berjalan dengan kebijakan yang coba-coba dan berganti-ganti, hanya berdasarkan asumsi.
Kebijakan-kebijakan pendidikan maupun praksis pendidikan berdasarkan pada asumsi
yang kurang jelas, bukan berdasarkan situasi belajar dan pembelajaran anak Indonesia.
“Kita memang bisa belajar dari sumber-sumber ilmu pengetahuan dari bangsa- bangsa
yang lain. Akan tetapi, semua itu tetap perlu dicek dan divalidasi dalam situasi konkret di
dalam masyarakat Indonesia,” kata Tilaar. Kebijakan nasional yang juga mendapat
sorotan Tilaar adalah upaya meningkatkan profesionalisme guru dan pelaksanaan
Kurikulum 2006 yang lebih dikenal dengan sebutan Kurikulum Tingkat Satuan
Pendidikan (KTSP). Menurut Tilaar, kebijakan ini merupakan upaya yang baik dalam
pelaksanaan reformasi pendidikan di Tanah Air. Namun, sering kali pemerintah tidak
juga belajar dari masa lalu, dengan mengambil kebijakan yang tergesa-gesa, tanpa
persiapan.
“Seharusnya peluncuran suatu kurikulum baru perlu dilaksanakan dengan persiapan yang
matang. Selain persiapan gurunya, juga sarana-sarana penunjang lainnya. Akan tetapi,
seperti juga perubahan-perubahan kurikulum nasional sebelumnya, kedatangan KTSP ini
merupakan suatu surprise sehingga menimbulkan kegamangan pada guru di lapangan,”
kata Tilaar.
Dalam penyesuaian kurikulum dengan tuntutan lokal yang menjadi jiwa KTSP, ternyata
soal muatan lokal hanya dialokasikan dua jam pelajaran. Seharusnya muatan lokal yang
bukan dalam pengertian sempit itu merupakan roh dari keseluruhan KTSP. Dengan kata
lain, seluruh mata pelajaran haruslah disesuaikan dengan kebutuhan lingkungan.
Strategi Pembangunan Pendidikan
Indonesia, telah memiliki sebuah sistem pendidikan dan telah dikokohkan dengan UU
No. 20 tahun 2003. Pembangunan pendidikan di Indonesia sekurang-kurangnya
menggunakan empat strategi dasar, yakni; pertama, pemerataan kesempatan untuk
memperoleh pendidikan, kedua, relevansi pendidikan, ketiga, peningkatan kualitas
pendidikan, dan keempat, efisiensi pendidikan. Secara umum strategi itu dapat dibagi
menjadi dua dimensi yakni peningkatan mutu dan pemerataan pendidikan. Pembangunan
peningkatan mutu diharapkan dapat meningkatkan efisiensi, efektivitas dan produktivitas
pendidikan. Sedangkan kebijakan pemerataan pendidikan diharapkan dapat memberikan
kesempatan yang sama dalam memperoleh pendidikan bagi semua usia sekolah [Hujair
AH. Sanaky, 2003:146]. Dari sini, pendidikan dipandang sebagai katalisator yang dapat
menunjang faktor-faktor lain. Artinya, pendidikan sebagai upaya pengembangan
sumberdaya manusia [SDM] menjadi semakin penting dalam pembangunan suatu bangsa.
Kebijakan Pendidikan
Untuk menjamin kesempatan memperoleh pendidikan yang merata disemua kelompok
strata dan wilayah tanah air sesuai dengan kebutuhan dan tingkat perkembangannya perlu
strategi dan kebijakan pendidikan, yaitu : [a] menyelenggarakan pendidikan yang relevan
dan bermutu sesuai dengan kebutuhan masyarakat Indonesia dalam menghadapi
tantangan global, [b] menyelenggarakan pendidikan yang dapat dipertanggungjawabkan
[accountable] kepada masyarakat sebagai pemilik sumberdaya dan dana serta pengguna
hasil pendidikan, [c] menyelenggarakan proses pendidikan yang demokratis secara
profesional sehingga tidak mengorbankan mutu pendidikan, [d] meningkatkan efisiensi
internal dan eksternal pada semua jalur, jenjang, dan jenis pendidikan, [e] memberi
peluang yang luas dan meningkatkan kemampuan masyarakat, sehingga terjadi
diversifikasi program pendidikan sesuai dengan sifat multikultural bangsa Indonesia, [f]
secara bertahap mengurangi peran pemerintah menuju ke peran fasilitator dalam
implementasi sistem pendidikan, [g] Merampingkan birokrasi pendidikan sehingga lebih
lentur [fleksibel] untuk melakukan penyesuaian terhadap dinamika perkembangan
masyarakat dalam lingkungan global [Kelompok Kerja Pengkajian, dalam Hujair AH.
Sanaky, 2003:146].
Empat strategi dasar kebijakan pendidikan yang dikemukakan di atas cukup ideal. Tetapi
Muchtar Bukhori, seorang pakar pendidikan Indonesia, menilai bahwa kebijakan
pendidikan kita tak pernah jelas. Pendidikan kita hanya melanjutkan pendidikan yang
elite dengan kurikulum yang elitis yang hanya dapat ditangkap oleh 30 % anak didik”,
sedangkan 70% lainnya tidak bisa mengikuti [Kompas, 4 September 2004]. Dengan
demikian, tuntutan peningkatan kualitas pendidikan, relevansi pendidikan, efisiensi
pendidikan, dan pemerataan kesempatan untuk memperoleh pendidikan, belum terjawab
dalam kebijakan pendidikan kita. Kondisi ini semakin mempersulit mewujudkan
pendidikan yang egalitarian dan SDM yang semakin merata di berbagai daerah.
Proses menuju perubahan sistem pendidikan nasional banyak menuai kendala serius.
Apalagi ketika membicarakan konteks pendidikan nasional sebagai bagian dari
pergumulan ideologi dan politik penguasa. Problem-problem yang dihadapi seringkali
berkaitan dengan kebijakan-kebijakan [policies] yang sangat strategis. Maka, dalam
konteks kebijakan pendidikan nasional, menurut Suyanto, banyak pakar dan praktisi
pendidikan mengkritisi pemerintah, dianggap tidak memiliki komitmen yang kuat untuk
membenahi sistem pendidikan nasional” [Suyanto,2006:x-xi]. Artinya, kebijakan-
kebijakan pendidikan kita, kurang menggambarkan rumusan-rumusan permasalahan dan
“prioritas” yang ingin dicapai dalam jangka waktu tertentu. Hal ini, “terutama berkaitan
dengan anggaran pendidikan nasional yang semestinya sebesar minimal 20%, diambil
dari APBN dan APBD [pasal 31 ayat 4 UUD Amandemen keempat]. Tetapi, sampai
sekarang kebijakan strategi belum dapat diwujudkan sepenuhnya, pendidikan nasional
masih menyisihkan kegetiran-kegetiran bagi rakyat kecil yang tidak mampu mengecap
pendidikan di sekolah” [Suyanto, 2006:xi].
Menurut Baedhowi, masalah konseptual berkaitan dengan berbagai masalah inheren yang
terdapat dalam otonomi konsep otonomi daerah seperti kebijakan otonomi daerah dapat
diintepretasikan sebagai otonomi yang seluas-luasnya yang memisahkan kewenangan
antara pemerintah daerah dan pemerintah pusat secara rigid. Kedua, tidak ada hubungan
hierarkhis pemerintah antara pemerintah kabupaten/kota dan pemerintah provinsi. Selain
itu tidak ada hubungan yang jelas antarpemerintah di satu kabupaten/kota dengan
kabupaten/kota lainnya.
Sementara itu, masalah faktual yang muncul dalam implementasi kebijakan otonomi
daerah, lanjutnya, antara lain daerah tidak merasa siap menerima satuan kerja pusat yang
telah diserahkan ke daerah dan secara sepihak mengembalikannya ke pusat. Baedhowi
mengatakan, daerah melakukan pengambilalihan satuan kerja pusat yang tidak diserahkan
ke daerah. Daerah juga tidak mengelola dengan benar satuan kerja yang telah diserahkan
dan telah menjadi satuan kerja daerah. Ia menulis disertasi dengan judul Implementasi
Kebijakan Otonomi Daerah Bidang Pendidikan, Studi Kasus di Kabupaten Kendal Dan
Kota Surakarta.
”Jika permasalahan tersebut tidak segera ditangani, dikhawatirkan desentralisasi
pengelolaan pendidikan akan membawa dampak negatif yang lebih kompleks seperti
merosotnya mutu pendidikan dan disintegrasi bangsa,” ujarnya. ”UU Sistem Pendidikan
Nasional memberikan dukungan yang tegas dan jelas dalam penyelenggaraan otonomi
daerah di bidang pendidikan dengan tetap berpegang pada satu sistem pendidikan
nasional dalam kerangka negara kesatuan Republik Indonesia,” kata Baedhowi yang juga
Sekretaris Jenderal Departemen Pendidikan Nasional.
UU Nomor 22 Tahun 1999 Otonomi Daerah secara otomatis merubah semua tatanan
kebijakan seluruh negeri ini. Termasuk kebijakan tentang pendidikan. Semua kebijakan,
kini tidak lagi 100% ditangani pemerintah pusat. Tapi diselaraskan dengan kearifan lokal.
Memang, kebijakannya tetap dari pusat tapi setelah mempertimbangkan segala persoalan
dari daerah. Sederhananya, pusat hanya memfasilitasi saja. Menyelaraskan kebijakan
dengan kearifan lokal tentu tidak mudah. Jika dulu mungkin agak lebih enteng karena
bentuk kebijakan itu dari pusat dan daerah mana pun harus menerimanya. Untuk saat ini
tentu tidak mudah, butuh tenaga yang ekstra dalam membahas persoalan-persoalan
daerah yang akan dibuat kebijakan.
Berangkat dari sini, Dr Baedhowi, melihat perlu ada semacam pemaparan komprehensif
untuk menjelaskan konsep dasar dan implementasi kebijakan otonomi daerah bidang
pendidikan. Staf ahli Menteri Pendidikan Nasional bidang Pengembangan Kurikulum dan
Media Pendidikan ini memaparkannya. Di antaranya mengenai konsep, pengalaman di
beberapa negara, baik-buruk, implementasi serta pengawasan otonomi pendidikan.
Mengenai konsep, tentang perlunya kebijakan otonomi pendidikan, dipandang Baedhowi
perlu karena daerah lebih accountable dan efektif dalam mengelola pendidikan. Berbeda
jauh dibanding masa sentralisasi pendidikan, dengan birokrasi berbelit dan panjang.
Menurut Baedhowi ada keuntungan fundamental memakai sistem desentralisasi. Yakni
dalam mempertimbangkan kebijakan yang akan dipusatkan. “Jika keputusan berangkat
dari daerah, keuntungannya daerah lebih mengetahui persoalan pendidikan di
wilayahnya, ketimbang pusat,” kata Baedhowi.
Dalam Undang-Undang Sisdiknas yang disahkan tanggal 11 Juni 2003, terdapat paling
kurang sembilan belas pasal yang menggandengkan kata pemerintah dan pemerintah
daerah, yang konotasinya adalah berbagai kebijakan dalam pembangunan pendidikan
hendaknya selalu mengawinkan kepentingan nasional dan kepentingan lokal (daerah)
sehingga kualitas pendidikan yang diharapkan dapat meningkatkan daya saing peserta
didik, dilaksanakan secara efisien dan efektif. Mulai dari hak dan kewajiban pemerintah
dan pemerintah daerah untuk menjamin terselenggaranya pendidikan yang berkualitas,
sampai kepada hak regulasi dalam mengatur sistem pendidikan nasional.
Selanjutnya pada Pasal 49 ayat (1) disebutkan dana pendidikan selain gaji pendidik dan
biaya pendidikan kedinasan dialokasikan minimal 20 persen dari APBN pada sektor
pendidikan dan minimal 20 persen dari APBD. Ayat (4) dana pendidikan dari pemerintah
kepada pemerintah provinsi/kabupaten/kota diberikan dalam bentuk hibah sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sebenarnya masih banyak pasal yang
menjelaskan peranan pemerintah dan pemerintah daerah, namun dari beberapa pasal yang
dijelaskan di atas, kiranya cukup menggambarkan hak dan kewajiban pemerintah maupun
pemerintah daerah dalam sistem pendidikan nasional.
Memang belum ada hasil signifikan terkait dengan kebijakan otonomi. Sebagai acuan,
pengalaman otonomi pendidikan di sejumlah negara seperti, Selandia Baru, Spanyol,
Brasil, Meksiko, dan Zimbabwe, hasilnya cukup memuaskan. Di Selandia Baru misalnya,
desentralisasi difokuskan pada pemangkasan manajemen lapisan tengah birokrasi
pendidikan dan menyerahkan urusan pendidikan pada level sekolah. Komitmen
pemerintah ditunjukkan dengan kebijakan mengurangi jumlah pegawai pusat departemen
pendidikan, menghapus seluruh administrasi tingkat daerah, serta menyerahkan tanggung
jawab alokasi anggaran, pengaturan pegawai, dan pengambilan keputusan di bidang
pendidikan pada masing-masing sekolah. Pelaksanaan otonomi pendidikan di Selandia
Baru menunjukan tingkat keberhasilan cukup signifikan.
Keberhasilan Selandia Baru bisa dilihat dari implementasi desentralisasi pendidikan.
Mereka memulai dengan reformasi administrasi. Lalu diikuti reformasi pedagogis yang
tercermin pada konsensus luas tentang tujuan utama kurikulum nasional, sekaligus
memberi peluang sekolah setempat menambahkan muatan lokal. Namun kebijakan
seperti itu bukan berarti tak ada sisi negatifnya. Di Spanyol, kebijakan ala Selandia Baru
membuat banyak dewan sekolah lamban menyesuaikan diri dengan pendekatan
manajemen baru di tingkat sekolah.
Otonomi yang didasarkan pada UU No. 22 tahun 1999, yaitu memutuskan suatu
keputusan dan atau kebijakan secara mandiri. Otonomi sangat erat kaitanya dengan
desentralisasi. Dengan dasar ini, maka otonomi yang ideal dapat tumbuh dalam suasana
bebas, demokratis, rasional dan sudah barang tentu dalam kalangan insan-insan yang
“berkualitas”. Oleh karena itu, dilakukan rekonstruksi dan reformasi dalam Sistem
Pendidikan Nasional dan Regional, yang tertuang dalam GBHN 1999, juga telah
dirumuskan misi pendidikan nasional kita, yaitu mewujudkan sistem dan iklim
pendidikan nasional yang demokratis dan bermutu, guna memperteguh akhlak mulia,
kreatif, inovatif, berwawasan kebangsaan, cerdas, sehat, berdisiplin, bertanggung jawab,
berketerampilan serta menguasai iptek dalam rangka mengembangkan kualitas manusia
Indonesia [Soedjiarto,1999].
Untuk mewujudkan misi tersebut mesti diterapkan arah kebijakan sebagai berikut, yaitu :
[1] perluasan dan pemerataan pendidikan. [2] meningkatkan kemampuan akademik dan
profesionalitas serta kesejahteraan tenaga kependidikan, [3] melakukan pembaharuan
dalam sistem pendidikan nasional termasuk dalam bidang kurikulum, [4]
memberdayakan lembaga pendidikan formal dan PLS secara luas, [5] dalam realisasi
pembaharuan pendidikan nasional mesti berdasarkan prinsip desentralisasi, otonomi
keilmuan, dan manajemen, [6] meningkatkan kualitas lembaga pendidikan yang
dikembangkan oleh berbagai pihak secara efektif dan efisien terutama dalam
pengembangan iptek, seni dan budaya sehingga membangkitkan semangat yang pro-aktif,
kreatif, dan selalu reaktif dalam seluruh komponen bangsa [Soedjiarto, 1999].
Liberalisasi Pendidikan
Beberapa kalangan pakar dan praktisi pendidikan, mencermati kebijakan otonomi
pendidikan sering dipahami sebagai indikasi kearah “liberalisasi” atau lebih parah lagi
dikatakan sebagai indikasi kearah “komersialisasi pendidikan”. Hal ini, menurut Suyanto,
semakin dikuatkan dengan terbentuknya Badan Hukum Pendidikan [BHP] yang
dibekukan, oleh beberapa pengamat dianggap sebagai pengejawantahan dari sistem yang
mengarah pada “liberalisasi pendidikan” [Suyanto, 2006:xi]. Menurut Rancangan
Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan atau BHP melepaskan perguruan tinggi dari
intervensi pemerintah. Tidak ada lagi perbedaan antara perguruan tinggi negeri (PTN)
dan perguruan tinggi swasta (PTS). Semuanya dikelola dalam sebuah model privatisasi.
Menurutnya era BHP mengedepankan kemandirian perguruan tinggi dalam aspek
manajemen administrasi keuangan, sumber daya manusia, dan akademik. Dalam hal
mendirikan program studi baru serta menjalin kerja sama dengan institusi asing, setiap
perguruan tinggi bebas dari intervensi birokrasi pemerintah. Termasuk di dalamnya untuk
kegiatan riset unggulan.
Pendanaan yang minim dianggap sebagai sumber utama terpuruknya pendidikan
nasional. Berbagai masalah akut, seperti buruknya sarana dan prasarana sekolah,
tingginya murid drop out, serta guru yang tidak berkualitas, ditengarai disebabkan oleh
sangat terbatasnya dana yang disediakan. Hal inilah yang selalu didengung-dengungkan
ketika ada kritikkan tentang dunia pendidikan kita.
Kelak, tidak ada lagi perbedaan antara perguruan tinggi negeri (PTN) dan perguruan
tinggi swasta (PTS). Seperti tertuang dalam lembar penjelasan atas RUU BHP tersebut,
lembaga pendidikan diharapkan kemampuannya secara mandiri dan bertanggung jawab
memanfaatkan sumber daya pendidikan. Hal tersebut dimaksudkan untuk melaksanakan
proses pembelajaran yang menghasilkan keluaran bermutu. Dalam konteks BHP kelak
menjadi lembaga nirlaba - juga berarti BHP sebagai legal entity yang berbadan hukum,
lebih mengutamakan upaya peningkatan mutu daripada mencari keuntungan. Jika ada
hasil usaha, maka dana itu diinvestasikan untuk upaya peningkatan mutu dan tidak akan
dikenai pajak. Sementara pengelolaan secara korporatif, dimaksudkan sebagai upaya
mendorong kemandirian lembaga pendidikan.
Prinsip kemandirian sebagai entitas legal, BHP dapat bertindak sebagai subjek hukum
mandiri. Dengan demikian, BHP dapat mengikatkan diri melalui perjanjian dengan pihak
lain yang berkonsekuensi kepada kekayaan, hak, utang atau kewajiban. BHP harus pula
membukukan kekayaan utang dan hasil operasinya dengan menerapkan standar akuntansi
yang berlaku. Mereka juga harus siap diaudit oleh lembaga independen atau akuntan
publik atas biaya sendiri. Yang ironis, model yang ada dalam RUU BHP justru
mempersempit ruang bagi seluruh warga negara untuk mengenyam layanan pendidikan
dasar hingga perguruan tinggi. Istilah privatisasi pasti kental dengan pendekatan modal.
Sebagai pranata yang lekat dengan kepentingan publik, tidaklah pantas lembaga
pendidikan berhitung-hitung dengan modal seperti layaknya lembaga bisnis.
Sama halnya dengan layanan kesehatan, sektor pendidikan pun hendaknya dianggap
sebagai hak dasar bagi setiap warga negara di mana pemerintah wajib memenuhinya. Jika
model pelayanan di sektor tersebut sudah terjerumus pada privatisasi, taruhannya adalah
pada generasi penerus bangsa. Privatisasi itu memang berangkat dari konsep liberalisme
dan kapitalisme, di mana model pelayanan sudah membidik segmen tertentu demi
perputaran modal. Konsekuensi logis dari privatisasi saat ini perguruan tinggi seakan
berlomba membuka program baru atau menjalankan strategi penjaringan mahasiswa baru
untuk mendatangkan dana. Saat ini saja perguruan tinggi negeri (PTN) sudah berlomba-
lomba membuka program studi baru, seperti diploma dan ekstensi, yang nyata-nyata kian
"membunuh" keberadaan perguruan tinggi swasta.
Keprihatinan terhadap pendidikan Indonesia yang bergerak tanpa arah yang jelas,
kegagalan perguruan tinggi yang diunggulkan di dalam negeri berkompetisi di tingkat
global dan regional, bahkan pencapaian kuantitatif pendidikan Indonesia yang mulai
dikejar negara-negara kecil, yang selama ini tidak diperhitungkan, muncul pula dalam
diskusi panel ahli yang diselenggarakan redaksi Kompas baru-baru ini.
Staf Ahli Menteri Pendidikan Nasional Ace Suryadi mengatakan, investasi pendidikan
yang dilakukan sejak pemerintahan Soeharto telah salah kaprah. Perluasan pendidikan
tanpa memerhatikan mutu-seperti pada masa Orde Baru-jika dilanjutkan hanya akan
menabrak batu. Menurut Ace, sejak reformasi bergulir sampai sekarang belum ada
restrukturisasi program pendidikan yang berarti. Penambahan dana pendidikan saja, jika
tanpa diikuti restrukturisasi dalam proses pembangunan pendidikan, tak akan banyak
memperbaiki situasi pendidikan di Indonesia.
"Dari dulu sampai sekarang, kebijakan pendidikan kita masih terlalu umum. Belum ada
kebijakan besar dalam pendidikan, misalnya untuk mengejar keunggulan sampai tahun
2020," kata Ace. Menurut Buchori, sistem pendidikan yang diberlakukan saat ini
merupakan kelanjutan dari sistem yang bersifat elitis eksklusif. Kurikulum hanya bisa
diikuti oleh 30 persen dari peserta didik, sedangkan 70 persen lainnya tak bisa mengikuti.
Ketika jumlah yang 70 persen itu dipaksakan terus mengikuti, terjadi pengatrolan-
pengatrolan dan sebagainya, yang merusak nilai-nilai pendidikan.
Untuk menyelenggarakan pendidikan yang baik dan bersifat massal, lanjut Buchori,
sistem itu harus diubah. Pendidikan dibagi menjadi dua jalur: jalur anak-anak berbakat
dan jalur untuk mereka yang memiliki kemampuan rata-rata. Untuk menopang kemajuan
suatu negara, tambahnya, perlu diciptakan kelompok ilmuwan yang elitis tetapi bersifat
inklusif. Suatu kelompok kecil orang-orang yang sangat pintar yang tidak arogan, peduli
pada nasib orang lain, dan punya semangat egaliter. Pada lapisan lainnya adalah
kelompok profesional yang andal dan masyarakat kebanyakan yang melek huruf dalam
arti luas.
"Untuk menciptakan lapisan elite yang unggul memang perlu dibentuk lembaga-lembaga
pendidikan yang elitis, tetapi juga memiliki semangat egaliter. Jadi, jangan terlalu
berlebihan, sampai menyediakan fasilitas pacuan kuda dan lain- lainnya. Sikap berlebih-
lebihan itu yang menimbulkan kesan bahwa pendidikan hanya untuk orang-orang kaya,"
katanya.
Reformasi pada hakekatnya adalah perubahan menyeluruh dan mendasar dalam segala
aspek kehidupan. Perubahan menyeluruh dan mendasar ini disebut pula sebagai
perubahan paradigma atau perubahan sistemik. Perubahan ini tidak sekedar menambah
apa yang sudah ada seperti misalnya menambah guru dan gedung sekolah (doing more of
the same thing). Perubahan semacam ini baru merupakan awal atau gelombang pertama
reformasi. Gelombang perubahan kedua menambah yang sudah ada dengan yang lebih
baik atau melaksanakan yang sudah pernah dilakukan dengan cara yang lebih baik.
Contoh gelombang kedua ini misalnya menambah guru yang bergelar sarjana,
meningkatkan syarat dosen yang bergelar Doktor, membangun gedung sekolah
dilengkapi dengan penyejuk udara, atau meningkatkan efisiensi dalam kegiatan
penambahan (doing more of the same but doing it better). Pada gelombang ketiga
perubahan dilakukan dengan meningkatkan efektivitas sistem yang sudah ada dengan
membenahi komponen-komponen tertentu seperti misalnya mengembangkan kurikulum
baru atau menggantikan EBTANAS dengan sistem evaluasi baru (increasing the
effectiveness of the the present system by rearranginng its components) (Banathy,1991;
Miarso,1998a; Reigeluth & Garfinkle,1992). Reformasi atau perubahan paradigma dalam
pendidikan pada dasarnya adalah melakukan tindakan lain yang berbeda berdasarkan pola
pikir yang sesuai dengan perkembangan lingkungan. Masalah yang kita hadapi sekarang
tidak mungkin kita selesaikan dengan cara lama yang telah menimbulkan masalah yang
kita hadapi. Perkembangan lingkungan tersebut diantaranya adalah tuntutan atas HAM,
desentralisasi pengelolaan, dan demokrasi partisipatif.
Persoalan sekarang, apakah sistem pendidikan yang ada saat ini telah efektif untuk
mendidik bangsa Indonesia menjadi bangsa yang modern, memiliki kemampuan daya
saing yang tinggi di tengah-tengah bangsa lain? Jawabannya tentu belum. Menurut
Suyanto, berbicara kemampuan, kita sebagai bangsa nampaknya belum sepenuhnya siap
benar menghadapi tantangan persaingan [Suyanto, 2006:11]. Sementara, disatu sisi,
“bidang pendidikan kita menjadi tumpuan harapan bagi peningkatan kualitas Sumber
Daya Manusia [SDM] Indonesia. Tetapi disisi lain, sistem pendidikan kita masih
melahirkan mismatch terhadap tuntutan dunia kerja, baik secara nasional maupun
regional [Suyanto, 2006:21]. Berbagai problem fundamental yang dihadapi pendidikan
nasional saat ini, yang tercermin dalam “realitas” pendidikan yang kita jalani. Seperti
persoalan anggaran pendidikan, kurikulum, strategi pembelajaran, dan persoalan output
pendidikan kita yang masih sangat rendah kualitasnya.
Masalah jadi bertambah rumit ketika secara tidak sadar, para orang tua secara tidak sadar
cenderung untuk memilih sekolah yang hanya mengembangkan intelektual dan
matematik semata sehingga sekolah-sekolah seperti ini akan ramai biarpun mahal karena
dalam benak orang tua, bila pintar pasti mudah mencari pekerjaan. Padahal tujuan
pendidikan bukanlah seperti itu. Tapi celakanya, para pembuat dan pelaku pendidikan
tidak juga tahu bahwa pendidikan dimaksudkan untuk mendidik seseorang menjadi
berbudaya dan berkarakter, bukan sekedar pintar secara intelektual saja. Dalam sistem
pendidikan yang penting adalah proses ajar-mengajar bukan hanya hasil akhir. Tapi yang
paling parah adalah ketika kita tidak menghargai apa yang sebenarnya sudah ditanamkan
dalam tradisi budaya kita. Kita pikir intelektual dapat menghasilkan kreatifitas, atau kita
pikir intelektual semata dapat memberikan kita kebahagiaan. Apalagi bila kita berpikir
kebahagiaan bisa tercapai dengan berlimpahnya uang dan harta.
Pendidikan yang efektif adalah suatu pendidikan yang memungkinkan peserta didik
untuk dapat belajar dengan mudah, menyenangkan dan dapat tercapai tujuan sesuai
dengan yang diharapkan. Dengan demikian, pendidik (dosen, guru, instruktur, dan
trainer) dituntut untuk dapat meningkatkan keefektifan pembelajaran agar pembelajaran
tersebut dapat berguna. Kreatifitas sebenarnya mudah dimunculkan bila seseorang
berbudaya dan berkarakter. Tapi menciptakan seseorang yang berbudaya dan berkarakter
tidak dapat dilakukan lewat sistem pengajaran “salah dihukum-benar diberi hadiah.”
Sistem pengajaran “carrot and stick” seperti ini mungkin efektif bila untuk mengajar
binatang atau untuk menjadikan seorang manusia robotis, tapi tidak akan efektif bila
untuk mengajar seorang manusia supaya berbudaya dan berkarakter.
Konsep Pengajaran Ki Hadjar Dewantara berfokus pada (1) Kepribadian Merdeka. Hidup
ini bebas merdeka mengikuti hak asal tidak melupakan kewajiban. (2) Kemasyarakatan
atau kekeluargaan. (3) Kebangsaan yang memiliki rasa satu dalam suka, duka, dan dalam
mencapai cita-cita dan tujuan bersama, berfaham religius, humanistis, dan kultural, serta
berwawasan Bhinneka Tunggal Ika. (4) Kebudayaan yang berkembang secara kontinyu,
konvergen, dan konsentris (Trikon). Budaya menurut Ki Hadjar selalu berkembang
secara terus menerus. Kemudian berpadu dengan budaya asing yang sesuai dengan
kepribadian bangsa Indonesia sendiri, yaitu Pancasila. Proses perpaduannya sendiri
seperti air dan gula, bukan terpisah seperti air dan minyak. Dan Konsentris yang berarti
mendunia tanpa harus kehilangan ciri khas masing-masing. (5) Perekonomian yang
merakyat yaitu bertujuan menyejahterakan dan membahagiakan diri tiap rakyat, seluruh
bangsa Indonesia, dan umat manusia sedunia (Mamayu hyuning salira, bangsa, dan
manungsa).
Bila melihat sebuah penelitian dari Amerika yang pernah dikutip oleh Anand Krishna
bahwa hanya 4% dari peran otak kiri dalam pencapaian keberhasilan manusia, maka pola
pendidikan di Indonesia pun harus juga mencakup pengasahan otak sebelah kanan. Jadi
kebijakan standar kelulusan seorang siswa hanya berdasarkan Hasil Ujian Akhir Nasional
(UAN) seperti yang terjadi saat ini sudah seharusnya direvisi. Problem-problem
pendidikan yang bersifat metodik dan strategik membuahkan output yang sangat
memprihatinkan. Output pendidikan kita memiliki mental yang selalu tergantung kepada
orang lain. Output pendidikan kita tidak memiliki mental yang bersifat mandiri, karena
memang tidak kritis dan kreatif. Akhirnya, output yang pernah mengenyam pendidikan,
malah menjadi “pengangguran terselubung”. Ini artinya, setiap tahunnya, pendidikan
nasional kita memproduksi pengangguran terselubung. Mereka itu, adalah korban dari
ketidakberesan sistem pendidikan kita yang masih sedang merangka berbenah. Mungkin
saja, kita sebagai insan yang berpendidikan, tentu saja terus atau kebanyakan berharap
akan datangnya perubahan “fundamental” terhadap sistem pendidikan [Suyanto,
2006:viii] di Indonesia.
Masalah mahalnya biaya pendidikan di Indonesia sudah menjadi rahasia umum bagi kita.
Sebenarnya harga pendidikan di Indonesia relative lebih rendah jika kita bandingkan
dengan Negara lain yang tidak mengambil sistem free cost education. Namun mengapa
kita menganggap pendidikan di Indonesia cukup mahal? Hal itu tidak kami kemukakan di
sini jika penghasilan rakyat Indonesia cukup tinggi dan sepadan untuk biaya pendidikan.
Jika kita berbicara tentang biaya pendidikan, kita tidak hanya berbicara tentang biaya
sekolah, training, kursus atau lembaga pendidikan formal atau informal lain yang dipilih,
namun kita juga berbicara tentang properti pendukung seperti buku, dan berbicara tentang
biaya transportasi yang ditempuh untuk dapat sampai ke lembaga pengajaran yang kita
pilih. Di sekolah dasar negeri, memang benar jika sudah diberlakukan pembebasan biaya
pengajaran, namun peserta didik tidak hanya itu saja, kebutuhan lainnya adalah buku teks
pengajaran, alat tulis, seragam dan lain sebagainya yang ketika disurvey, hal itu
diwajibkan oleh pendidik yang bersangkutan. Yang mengejutkanya lagi, ada pendidik
yang mewajibkan les kepada peserta didiknya, yang tentu dengan bayaran untuk pendidik
tersebut.
Selain masalah mahalnya biaya pendidikan di Indonesia, masalah lainnya adalah waktu
pengajaran. Dengan survey lapangan, dapat kami lihat bahwa pendidikan tatap muka di
Indonesia relative lebih lama jika dibandingkan Negara lain. Dalam pendidikan formal di
sekolah menengah misalnya, ada sekolah yang jadwal pengajarnnya perhari dimulai dari
pukul 07.00 dan diakhiri sampai pukul 16.00.. Hal tersebut jelas tidak efisien, karena
ketika diamati lagi, peserta didik yang mengikuti proses pendidikan formal yang
menghabiskan banyak waktu tersebut, banyak peserta didik yang mengikuti lembaga
pendidikan informal lain seperti les akademis, bahasa, dan sebagainya. Jelas juga terlihat,
bahwa proses pendidikan yang lama tersebut tidak efektif juga, Karena peserta didik
akhirnya mengikuti pendidikan informal untuk melengkapi pendidikan formal yang
dinilai kurang. Selain itu, masalah lain efisienfsi pengajaran adalah mutu pengajar.
Kurangnya mutu pengajar jugalah yang menyebabkan peserta didik kurang mencapai
hasil yang diharapkan dan akhirnya mengambil pendidikan tambahan yang juga
membutuhkan uang lebih.
Yang kami lihat, kurangnya mutu pengajar disebabkan oleh pengajar yang mengajar tidak
pada kompetensinya. Misalnya saja, pengajar A mempunyai dasar pendidikan di bidang
bahasa, namun dia mengajarkan keterampilan, yang sebenarnya bukan kompetensinya.
Hal-tersebut benar-benar terjadi jika kita melihat kondisi pendidikan di lapangan yang
sebenarnya. Hal lain adalah pendidik tidak dapat mengomunikasikan bahan pengajaran
dengan baik, sehingga mudah dimengerti dan membuat tertarik peserta didik.
Sistem pendidikan yang baik juga berperan penting dalam meningkatkan efisiensi
pendidikan di Indonesia. Sangat disayangkan juga sistem pendidikan kita berubah-ubah
sehingga membingungkan pendidik dan peserta didik. Dalam beberapa tahun belakangan
ini, kita menggunakan sistem pendidikan kurikulum 1994, kurikulum 2004, kurikulum
berbasis kompetensi yang pengubah proses pengajaran menjadi proses pendidikan aktif,
hingga kurikulum baru lainnya KSP. Ketika mengganti kurikulum, kita juga mengganti
cara pendidikan pengajar, dan pengajar harus diberi pelatihan terlebih dahulu yang juga
menambah cost biaya pendidikan. Sehingga amat disayangkan jika terlalu sering
mengganti kurikulum yang dianggap kurang efektif lalu langsung menggantinya dengan
kurikulum yang dinilai lebih efektif.
Selain itu, akan lebih baik jika kita mempertanyakan kembali apakah standar pendidikan
di Indonesia sudah sesuai atau belum. Dalam kasus UAN yang hampir selalu menjadi
kontrofesi misalnya. Kami menilai adanya sistem evaluasi seperti UAN sudah cukup
baik, namun yang kami sayangkan adalah evaluasi pendidikan seperti itu yang
menentukan lulus tidaknya peserta didik mengikuti pendidikan, hanya dilaksanakan
sekali saja tanpa melihat proses yang dilalu peserta didik yang telah menenpuh proses
pendidikan selama beberapa tahun. Selain hanya berlanhsug sekali, evaluasi seperti itu
hanya mengevaluasi 3 bidang studi saja tanpa mengevaluasi bidang studi lain yang telah
didikuti oleh peserta didik.
Banyak hal lain juga yang sebenarnya dapat kami bahas dalam pembahasan sandardisasi
pengajaran di Indonesia. Juga permasalahan yang ada di dalamnya, yang tentu lebih
banyak, dan membutuhkan penelitian yang lebih dalam lagi. Penyebab rendahnya mutu
pendidikan di Indonesia juga tentu tidah hanya sebatas yang kami bahas di atas. Banyak
hal yang menyebabkan rendahnya mutu pendidikan kita. Tentunya hal seperti itu dapat
kita temukan jika kita menggali lebih dalam akar permasalahannya. Dan semoga jika kita
mengetehui akar permasalahannya, kita dapat memperbaiki mutu pendidikan di Indonesia
sehingga jadi kebih baik lagi. (Wallahu’alam Bishawab).