Anda di halaman 1dari 24

PERKEMBANGAN PENDIDIKAN INDONESIA DALAM LINGKARAN

NEOLIBERALISME : Meninjau Sejarah Pendidikan Kita


Oleh Rum Rosyid
Pendidikan Pada Masa Hindu-Budha
Pembahasan sejarah Hindu-Budha di Indonesia akrab diawali dari kemunculan beberapa
kerajaan di abad ke-5 M, antara lain: Kerajaan Hindu di Kutai (Kalimantan) dengan
rajanya Mulawarman, putra Aswawarman atau cucu Kundung(ga). Di Jawa Barat muncul
Kerajaan Hindu Tarumanegara dengan rajanya Purnawarman. Pada masa itu, eksistensi
pulau Jawa telah disebut Ptolomeus (pengembara asal Alexandria – Yunani) dalam
catatannya dengan sebutan Yabadiou dan demikian pula dalam epik Ramayana
eksistensinya dinyatakan dengan sebutan Yawadwipa. Ptolomeus juga sempat menyebut
tentang Barousai (merujuk pada pantai barat Sumatera Utara; Sriwijaya). Fa-Hien
(pengembara asal China) dalam perjalanannya dari India singgah di Ye-po-ti (Jawa) yang
menurutnya telah banyak para brahmana (Hindu) tinggal di sana. Maka tidak berlebihan
jika Lee Kam Hing kemudian menyatakan bahwa lembaga-lembaga pendidikan telah ada
di Indonesia sejak periode permulaan. Pada masa itu, pendidikan lekat terkait dengan
agama.
Menurut catatan I-Ching, seorang peziarah dari China, ketika melewati Sumatera pada
abad ke-7 M ia mendapati banyak sekali kuil-kuil Budha dimana di dalamnya berdiam
para cendekiawan yang mengajarkan beragam ilmu. Kuil-kuil tersebut tidak saja menjadi
pusat transmisi etika dan nilai-nilai keagamaan, tetapi juga seni dan ilmu pengetahuan.
Lebih dari seribu biksu Budha yang tinggal di Sriwijaya itu dikatakan oleh I-Ching
menyebarkan ajaran seperti yang juga dikembangkan sejawatnya di Madhyadesa (India).
Bahkan, di antara para guru di Sriwijaya tersebut sangat terkenal dan mempunyai reputasi
internasional, seperti Sakyakirti dan Dharmapala. Sementara dari pulau Jawa muncul
nama Djnanabhadra. Pada masa itu, para peziarah Budha asal China yang hendak ke
tanah suci India, dalam perjalanannya kerap singgah dulu di nusantara ini untuk
melakukan studi pendahuluan dan persiapan lainnya.
Sejarah agama Hindu-Budha di Indonesia berbeda dengan sejarahnya di India. Disini,
kedua agama tersebut dapat tumbuh berdampingan dan harmonis. Bahkan ada
kecenderungan syncretism antara keduanya dengan upaya memadukan figur Syiwa dan
Budha sebagai satu sumber yang Maha Tinggi. Sebagaimana tercermin dari satu bait
syair Sotasoma karya Mpu Tantular pada zaman Majapahit “Bhinneka Tunggal Ika”,
yakni dewa-dewa yang ada dapat dibedakan (bhinna), tetapi itu (ika) sejatinya adalah satu
(tunggal). Sekalipun demikian, patut diketahui sempat adanya sejarah konflik politik
antar kerajaan yang berbeda agama pada masa-masa permulaannya.
Pada masa Hindu-Budha ini, kaum Brahmana merupakan golongan yang
menyelenggarakan pendidikan dan pengajaran. Perlu dicatat bahwa sistem kasta tidaklah
diterapkan di Indonesia setajam sebagaimana yang terjadi di India. Adapun materi-materi
pelajaran yang diberikan ketika itu antara lain: teologi, bahasa dan sastra, ilmu-ilmu
kemasyarakatan, ilmu-ilmu eksakta seperti ilmu perbintangan, ilmu pasti, perhitungan
waktu, seni bangunan, seni rupa dan lain-lain. Pola pendidikannya mengambil model
asrama khusus, dengan fasilitas belajar seperti ruang diskusi dan seminar. Dalam
perkembangannya, kebudayaan Hindu-Budha membaur dengan unsur-unsur asli
Indonesia dan memberi ciri-ciri serta coraknya yang khas. Sekalipun nanti Majapahit
sebagai kerajaan Hindu terakhir runtuh pada abad ke-15, tetapi ilmu pengetahuannya
tetap berkembang khususnya di bidang bahasa dan sastra, ilmu pemerintahan, tata negara
dan hukum. Beberapa karya intelektual yang sempat lahir pada zaman ini antara lain:
Arjuna Wiwaha karya Mpu Kanwa (Kediri, 1019), Bharata Yudha karya Mpu Sedah
(Kediri, 1157), Hariwangsa karya Mpu Panuluh (Kediri, 1125), Gatotkacasraya karya
Mpu Panuluh, Smaradhahana karya Mpu Dharmaja (Kediri, 1125), Negara Kertagama
karya Mpu Prapanca (Majapahit, 1331-1389), Arjunawijaya karya Mpu Tantular
(Majapahit, ibid), Sotasoma karya Mpu Tantular, dan Pararaton (Epik sejak berdirinya
Kediri hingga Majapahit).
Menjelang periode akhir tersebut, pola pendidikan tidak lagi dilakukan dalam kompleks
yang bersifat kolosal, tetapi oleh para guru di padepokan-padepokan dengan jumlah
murid relatif terbatas dan bobot materi ajar yang bersifat spiritual religius. Para murid
disini sembari belajar juga harus bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka
sehari-hari. Jadi secara umum dapatlah disimpulkan bahwa: (1) Pengelola pendidikan
adalah kaum brahmana dari tingkat dasar sampai dengan tingkat tinggi; (2) Bersifat tidak
formal, dimana murid dapat berpindah dari satu guru ke guru yang lain; (3) Kaum
bangsawan biasanya mengundang guru untuk mengajar anak-anaknya di istana
disamping ada juga yang mengutus anak-anaknya yang pergi belajar ke guru-guru
tertentu; (4) Pendidikan kejuruan atau keterampilan dilakukan secara turun-temurun
melalui jalur kastanya masing-masing.

Pendidikan Masa Awal Kedatangan Islam


Sejak abad ke-7 M, lalu lintas perdagangan laut internasional yang melewati wilayah
nusantara sudah ramai (dikenal sebagai jalur perdagangan “Po-ssu” atau Persia). Daerah-
daerah pesisir yang kala itu merupakan vassal (bawahan) dari kerajaan inti yang terletak
di pedalaman, menjadi tempat persinggahan yang menarik bagi para pedagang dari
banyak negeri seberang seperti Arab, Persia dan India. Nilai-nilai baru yang dibawa para
pedagang muslim semisal dari Gujarat diterima hangat oleh raja-raja pesisir.
Sebagaimana kemudian tercatat bahwa kerajaan-kerajaan Islam permulaan di Indonesia
muncul di daerah pesisir seperti kerajaan Perlak (1292) dan kerajaan Samudera Pasai
(1297). Dari sini pula dapat terbaca bahwa penyebaran Islam di Indonesia bermula dari
pusat-pusat perdagangan di daerah pesisir Sumatera Utara (jalur Selat Malaka) baru
kemudian menyebar ke Jawa dan seterusnya ke wilayah Timur Indonesia.
Pendidikan Islam di Indonesia pada masa awalnya bersifat informal, yakni melalui
interaksi inter-personal yang berlangsung dalam berbagai kesempatan seperti aktivitas
perdagangan. Da’wah bil hal atau keteladanan pada konteks ini mempunyai pengaruh
besar dalam menarik perhatian dan minat seseorang untuk mengkaji atau memeluk ajaran
Islam. Selanjutnya, ketika agama ini kian berkembang, di tiap-tiap desa yang
penduduknya telah menjadi muslim umumnya didirikan langgar atau masjid. Fasilitas
tersebut bukan hanya sebagai tempat shalat saja, melainkan juga tempat untuk belajar
membaca al-Qur’an dan ilmu-ilmu keagamaan yang bersifat elementer lainnya. Metode
pembelajaran adalah sorogan (murid secara perorangan atau bergantian belajar kepada
guru) dan halaqah atau wetonan (guru mengajar sekelompok murid yang duduk
mengitarinya secara kolektif atau bersama-sama). Mereka yang kemudian berkeinginan
melanjutkan pendidikannya setelah memperoleh bekal cukup dari langgar/masjid di
kampungnya, dapat masuk ke pondok pesantren. Secara tradisional, sebuah pesantren
identik dengan kyai (guru/pengasuh), santri (murid), masjid, pemondokan (asrama) dan
kitab kuning (referensi atau diktat ajar). Sistem pembelajaran relatif serupa dengan sistem
di langgar/masjid, hanya saja materinya kini kian berbobot dan beragam, seperti bahasa
dan sastra Arab, tafsir, hadits, fikih, ilmu kalam, tasawuf, tarikh dan lainnya. Di
pesantren, seorang santri memang dididik agar dapat menjadi seorang yang pandai (alim)
di bidang agama Islam dan selanjutnya dapat menjadi pendakwah atau guru di tengah-
tengah masyarakatnya.
Ketika kekuasaan politik Islam semakin kokoh dengan munculnya kerajaan-kerajaan
Islam, pendidikan semakin beroleh perhatian. Contoh paling menarik untuk disebutkan
adalah sistem pendidikan Islam yang tampak telah terstruktur dan berjenjang di kerajaan
Aceh Darussalam (1511-1874). Secara formal, kerajaan ini membentuk beberapa
lembaga yang membidangi masalah pendidikan dan ilmu pengetahuan, yaitu: (1) Balai
Seutia Hukama (lembaga ilmu pengetahuan); (2) Balai Seutia Ulama (jawatan pendidikan
dan pengajaran); (3) Balai Jamaah Himpunan Ulama (kelompok studi para ulama dan
sarjana pemerhati pendidikan). Adapun jenjang pendidikannya dapat disebutkan sebagai
berikut: (1) Meunasah (madrasah), berada di tiap kampung. Disini diajarkan materi
elementer seperti: menulis dan membaca huruf hijaiyah, dasar-dasar agama, akhlak,
sejarah Islam dan bahasa Jawi/Melayu; (2) Rangkang (setingkat MTs), berada di setiap
mukim. Disini diajarkan Bahasa Arab, ilmu bumi, sejarah, berhitung (hisab), akhlak,
fikih dan lain-lain; (3) Dayah (setingkat MA), berada di setiap ulebalang. Materi
pelajarannya meliputi: fikih, Bahasa Arab, tawhid, tasawuf/akhlak, ilmu bumi,
sejarah/tata negara, ilmu pasti dan faraid; (4) Dayah Teuku Cik (setingkat perguruan
tinggi atau akademi), yang di samping mengajarkan materi-materi serupa dengan Dayah
tetapi bobotnya berbeda, diajarkan pula ilmu mantiq, ilmu falaq dan filsafat. Sultan
Mahdum Alauddin Muhammad Amin ketika memerintah kerajaan Perlak (1243-1267 M)
disebutkan pernah mendirikan majelis ta’lim tinggi, semacam lembaga pendidikan tinggi
yang dihadiri oleh para murid yang sudah mendalam ilmunya untuk mengkaji beberapa
kitab besar semacam al-Umm karangan Imam Syafi’i. Pembiayaan pendidikan pada
masa- tersebut berasal dari kerajaan. Tetapi perlu dicatat disini bahwa hal ini sangat
tergantung pada kondisi kerajaan dan faktor siapa yang sedang menjadi raja.
Ketika era penjajahan dimulai, pendidikan Islam tetap masih dapat berlangsung secara
tradisional melalui peran para guru agama baik yang berbasis di langgar atau masjid
maupun yang berada di pesantren-pesantren dan madrasah. Sejarah kemudian mencatat
bahwa lembaga-lembaga pendidikan Islam ini memberi kontribusi besar dalam
kontinuitas proses islamisasi nusantara dan sekaligus membangun kesadaran dan
kekuatan resistensi kultural dan politik terhadap penjajahan asing. Pasca konferensi
organisasi muslim Indonesia yang mengelola pendidikan pada tahun 1936 di Padang
Panjang, disepakati suatu standar umum dari sistem pendidikan Islam ketika itu, yakni:
(1) Madrasah Awaliyah 3 tahun; (2) Madrasah Ibtidaiyah 4 tahun; (3) Madrasah
Tsanawiyah 3 tahun; (4) Madrasah Muallimin (sekolah guru) 3 tahun; dan (5) Madrasah
Islam Tinggi.
Secara umum, pendidikan Islam di masa pra kemerdekaan ini dapat diikhtisarkan
mengambil bentuk sebagai berikut: (1) Langgar. Dikelola seorang amil, modin atau lebai
yang berfungsi sebagai guru agama sekaligus pemimpin ritual keagamaan di masyarakat.
Materi ajar bersifat elementer. Metode pembelajaran sorogan dan halaqah. Tidak ada
biaya formal, seringkali hanya berupa pemberian ‘in natura’. Hubungan guru-murid
umumnya mendalam dan langgeng. (2) Pesantren. Murid diasramakan di pondok yang
dibangun oleh sang guru atau dengan biaya swadaya masyarakat setempat. Ada properti
tanah yang dapat dikelola bersama oleh guru dan murid untuk mendanai proses
pendidikan. Kekurangan biaya terkadang memaksa santri mencari dana keluar, meminta
sumbangan dari umat Islam secara sukarela. Jumlah murid relatif, ada yang banyak ada
juga yang sedikit. Tidak ada batasan atau penjenjangan pendidikan yang tegas. Guru
tidak digaji secara formal. Murid memberi layanan kepada guru sebagai ganti biaya
pendidikan seperi ikut mengelola tanah atau usaha lain milik guru. (3) Madrasah. Pola
pendidikan teratur dan berjenjang. Guru menerima imbalan tunai secara tetap. Metode
menjadi bersifat klasikal. Pengetahuan umum diajarkan di samping materi-materi ilmu
agama

Pendidikan masa penjajahan Portugis


Penjelajahan bangsa Portugis, seperti disebutkan B. Schrieke, hingga sampai ke
Indonesia kiranya tidak dapat dilepaskan dari sejarah perbenturan antara dunia Islam -
dunia Barat sejak abad pertengahan dan juga dukungan kemajuan bidang militer dan
kemaritiman mereka. Beberapa peristiwa penting yang lekat dalam ingatan yang melatari
hal ini antara lain: (1) Konsili Clermont tahun 1095 M dimana Paus Urbanus II
mendeklarasikan Perang Salib melawan dunia Islam; (2) Konstantinopel, pusat imperium
Bizantium, direbut Sultan Muhammad II tahun 1453 M; (3) Bulla Paus berjudul
Romanus Pontifex tertanggal 8 Januari 1455 M yang berisi pernyataan menghadiahkan
Afrika untuk dikristenkan oleh Portugis; (4) Kota Granada lepas dari kekuasaan Islam
tahun 1492 M; (5) Bulla Paus berjudul Inter Caetera Divinae tahun 1493 M membagi
dunia menjadi dua bagian, masing-masing untuk Portugis dan Spanyol; (6) Perjanjian
Tordesillas tanggal 7 Juni 1494 M, menguatkan Bulla Paus tahun 1493 M, memberi hak
istimewa kepada dua bangsa tersebut untuk melakukan conquistadores (penaklukan).
Portugis pertama kali singgah di Malaka tahun 1509 M setelah sebelumnya menaklukkan
kerajaan Goa di India. Ini berarti Portugis hadir di Indonesia hampir satu dekade setelah
Raden Patah mendirikan kerajaan Islam Demak di pulau Jawa. Tahun 1511 M. Malaka
sudah dapat dikuasai oleh Portugis di bawah Afonso de Albuquerqe (1459-1515 M). Dua
tahun kemudian, Pati Unus putra Raden Patah memimpin armada menyerang kekuasaan
Portugis di Malaka, tetapi berakhir dengan kegagalan. Berikutnya Portugis bergerak
untuk menguasai daerah rempah-rempah yang berpusat di Maluku (berasal dari istilah
bahasa Arab: Jazirat al-Mulk, yakni kepulauan raja-raja). Ketika Portugis menjejakkan
kakinya di Maluku, seperti diutarakan oleh Russell Jones, Islam telah mengakar di
kalangan penduduk setempat sekitar 80 tahun. Di daerah ini khususnya Ambon, melalui
peran ordo Jesuit hingga tahun 1560 M, tercatat ada sekitar 10.000 orang yang memeluk
Roma Katholik dan bertambah menjadi 50.000 hingga 60.000 pada tahun 1590 M.
Sementara ordo Dominikan mampu mengkonversikan kedalam agama Roma Katholik
sekitar 25.000 orang di kepulauan Solor. Dari catatan Ismatu Ropi, Katholik Roma ini
merupakan fase kedua masuknya Kristen ke Indonesia melalui jasa ordo Jesuit di bawah
payung organisasi Society of Jesus dan ordo Dominikan yang turut hadir bersama armada
Portugis. Fase pertama adalah masuknya Gereja Timur Nestorian yang ditengarai sempat
muncul di Sibolga Sumatera Utara sekitar abad ke-16 juga. Sedangkan fase ketiga adalah
Kristen Protestan yang muncul bersamaan dengan armada pelayaran Belanda.
Praksis pendidikan pada masa Portugis ini secara mendasar dikerjakan oleh organisasi
misi Katholik Roma. Baru pada tahun 1536, di bawah Antonio Galvano, penguasa
Portugis di Maluku, didirikan sekolah seminari yang menerima anak-anak pemuka
pribumi. Selain pelajaran agama, mereka juga diajari membaca, menulis dan berhitung.
Sekolah sejenis dibuka di Solor dimana bahasa Latin juga diajarkan kepada murid-
muridnya. Mereka yang berkeinginan melanjutkan pendidikan dapat pergi ke Goa – India
yang ketika itu merupakan pusat kekuatan Portugis di Asia. Perkembangan pendidikan di
zaman Portugis ini dapat dinyatakan berpusat di Maluku dan sekitarnya, sebab di daerah-
daerah lain kekuasaan Portugis kurang begitu mengakar.

Masa Penjajahan Belanda


Brugmans menyatakan pendidikan ditentukan oleh pertimbangan ekonomi dan politik
Belanda di Indonesia (Nasution, 1987:3). Pendidikan selama penjajahan Belanda dapat
dipetakan kedalam 2 (dua) periode besar, yaitu pada masa VOC (Vereenigde Oost-
indische Compagnie) dan masa pemerintah Hindia Belanda (Nederlands Indie). Pada
masa VOC, yang merupakan sebuah kongsi (perusahaan) dagang, kondisi pendidikan di
Indonesia dapat dikatakan tidak lepas dari maksud dan kepentingan komersial. Berbeda
dengan kondisi di negeri Belanda sendiri dimana lembaga pendidikan dikelola secara
bebas oleh organisasi-organisasi keagamaan, maka selama abad ke-17 hingga 18 M,
bidang pendidikan di Indonesia harus berada dalam pengawasan dan kontrol ketat VOC.
Jadi, sekalipun penyelenggaraan pendidikan tetap dilakukan oleh kalangan agama
(gereja), tetapi mereka adalah berstatus sebagai pegawai VOC yang memperoleh tanda
kepangkatan dan gaji. Dari sini dapat dipahami, bahwa pendidikan yang ada ketika itu
bercorak keagamaan (Kristen Protestan). Hal ini juga dikuatkan dari profil para guru di
masa ini yang umumnya juga merangkap sebagai guru agama (Kristen). Dan sebelum
bertugas, mereka juga diwajibkan memiliki lisensi (surat izin) yang diterbitkan oleh VOC
setelah sebelumnya mengikuti ujian yang diselenggarakan oleh gereja Reformasi.
Kondisi pendidikan di zaman VOC juga tidak melebihi perkembangan pendidikan di
zaman Portugis atau Spanyol. Pendidikan diadakan untuk memenuhi kebutuhan para
pegawai VOC dan keluarganya di samping untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja
murah terlatih dari kalangan penduduk pribumi. VOC memang mendirikan sekolah-
sekolah baru selain mengambil alih lembaga-lembaga pendidikan yang sebelumnya
berstatus milik penguasa kolonial Portugis atau gereja Katholik Roma. Secara geografis,
pusat pendidikan yang dikelola VOC juga relative terbatas di daerah Maluku dan
sekitarnya. Di Sumatera, Jawa dan Sulawesi, VOC memilih untuk tidak melakukan
kontak langsung dengan penduduk, tetapi mempergunakan mediasi para penguasa lokal
pribumi. Jikalaupun ada, itu hanya berada di pusat konsentrasi pendudukannya yang
ditujukan bagi para pegawai dan keluarganya.

Secara umum sistem pendidikan pada masa VOC dapat digambarkan sebagai berikut:
(1) Pendidikan Dasar; Berdasar peraturan tahun 1778, dibagi kedalam 3 kelas berdasar
rankingnya. Kelas 1 (tertinggi) diberi pelajaran membaca, menulis, agama, menyanyi dan
berhitung. Kelas 2 mata pelajarannya tidak termasuk berhitung. Sedangkan kelas 3
(terendah) materi pelajaran fokus pada alphabet dan mengeja kata-kata. Proses kenaikan
kelas tidak jelas disebutkan, hanya didasarkan pada kemampuan secara individual.
Pendidikan dasar ini berupaya untuk mendidik para murid-muridnya dengan budi pekerti.
Contoh pendidikan dasar ini antara lain Batavische school (Sekolah Betawi, berdiri tahun
1622); Burgerschool (Sekolah Warga-negara, berdiri tahun 1630); Dll.
(2) Sekolah Latin ; Diawali dengan sistem numpang-tinggal (in de kost) di rumah pendeta
tahun 1642. Sesuai namanya, selain bahasa Belanda dan materi agama, mata pelajaran
utamanya adalah bahasa Latin. Setelah mengalami buka-tutup, akhirnya sekolah ini
secara permanent ditutup tahun 1670.
(3) Seminarium Theologicum (Sekolah Seminari); Sekolah untuk mendidik calon-calon
pendeta, yang didirikan pertama kali oleh Gubernur Jenderal van Imhoff tahun 1745 di
Jakarta. Sekolah dibagi menjadi 4 kelas secara berjenjang. Kelas 1 belajar membaca,
menulis, bahasa Belanda, Melayu dan Portugis serta materi dasar-dasar agama. Kelas 2
pelajarannya ditambah bahasa Latin. Kelas 3 ditambah materi bahasa Yunani dan
Yahudi, filsafat, sejarah, arkeologi dan lainnya. Untuk kelas 4 materinya pendalaman
yang diasuh langsung oleh kepala sekolahnya. Sistem pendidikannya asrama dengan
durasi studi 5,5 jam sehari dan Sekolah ini hanya bertahan selama 10 tahun.
(4) Academie der Marine (Akademi Pelayanan); Berdiri tahun 1743, dimaksudkan untuk
mendidik calon perwira pelayaran dengan lama studi 6 tahun. Materi pelajarannya
meliputi matematika, bahasa Latin, bahasa ketimuran (Melayu, Malabar dan Persia),
navigasi, menulis, menggambar, agama, keterampilan naik kuda, anggar, dan dansa.
Tetapi iapun akhirnya ditutup tahun 1755.
(5) Sekolah Cina; 1737 didirikan untuk keturunan Cina yang miskin, tetapi sempat
vakum karena peristiwa de Chineezenmoord (pembunuhan Cina) tahun 1740.
selanjutnya, sekolah ini berdiri kembali secara swadaya dari masyarakat keturunan Cina
sekitar tahun 1753 dan 1787.
(6) Pendidikan Islam; Pendidikan untuk komunitas muslim relatif telah mapan melalui
lembaga-lembaga yang secara tradisional telah berkembang dan mengakar sejak proses
awal masuknya Islam ke Indonesia. VOC tidak ikut campur mengurusi atau
mengaturnya. Pada akhir abad ke-18, setelah VOC mengalami kebangkrutan, kekuasaan
Hindia Belanda akhirnya diserahkan kepada pemerintah kerajaan Belanda langsung. Pada
masa ini, pendidikan mulai memperoleh perhatian relatif maju dari sebelumnya.
Beberapa prinsip yang oleh pemerintah Belanda diambil sebagai dasar kebijakannya di
bidang pendidikan antara lain: (1) Menjaga jarak atau tidak memihak salah satu agama
tertentu; (2) Memperhatikan keselarasan dengan lingkungan sehingga anak didik kelak
mampu mandiri atau mencari penghidupan guna mendukung kepentingan kolonial; (3)
Sistem pendidikan diatur menurut pembedaan lapisan sosial, khususnya yang ada di
Jawa.; (4) Pendidikan diukur dan diarahkan untuk melahirkan kelas elit masyarakat yang
dapat dimanfaatkan sebagai pendukung supremasi politik dan ekonomi pemerintah
kolonial. Jadi secara tidak langsung, Belanda telah memanfaatkan kelas aristokrat
pribumi untuk melanggengkan status quo kekuasaan kolonial di Indonesia.

Era ini sesungguhnya telah beroleh pengaruh dari faham gerakan Aufklarung
(pencerahan) yang berkembang di Eropa. Di antara tesisnya menyebutkan tentang
penghargaan terhadap nalar, kebebasan spiritual serta sekularisasi agama dan negara.
Implikasi logis dari hal ini salah satunya adalah penyerahan pengelolaan pendidikan
kepada negara, bukan lagi kepada lembaga-lembaga keagamaan (gereja). Secara formil,
pemerintah Hindia Belanda telah mendirikan beberapa sekolah di Jawa sejak
kepemimpinan Daendels, yaitu sekolah artileri (1806) di Jatinegara, sekolah pelayaran
(1808) di Semarang, sekolah bidan (1809) di Jakarta, dan sekolah seni tari (1809) di
Cirebon. Daendels ini juga dikenal sebagai tokoh pertama yang menginstruksikan para
bupati agar mengusahakan pendirian sekolah-sekolah bagi remaja-remaja pribumi.
Janssens yang menggantikan Daendels juga meneruskan kebijakan yang serupa di bidang
pendidikan. Tetapi usahanya terinterupsi dengan kekalahan militer dan politik dari
kerajaan Inggris. Hindia Belanda selanjutnya dikelola oleh Inggris di bawah Raffles.
Secara kelembagaan formal, Inggris tidaklah menaruh perhatian besar kepada dunia
pendidikan bagi kaum pribumi. Hanya saja, mereka tergolong sangat berminat melakukan
eksplorasi ilmiah yang kemudian menghasilkan karya-karya intelektual yang cukup
monumental, antara lain: History of Java karya Raffles, sejarah Sumatera, kamus Melayu
dan pelajaran bahasa Melayu yang merupakan karya-karya Marsden, Java Government
Gazette yang memuat ilmu pengetahuan tentang daerah dan penduduk, hasil kajian botani
oleh Horsfield, dan juga kajian kepemilikan tanah di Jawa oleh Colin Mackenzie. Karya-
karya tersebut memberi kontribusi signifikan bagi dunia ilmu pengetahuan sekaligus
menjadi penanda khusus masa lima tahun (1811-1816) kekuasaan Inggris di Indonesia.
Masa pemulihan kekuasaan Belanda pasca pendudukan Inggris menjadi titik tolak baru
bagi perkembangan lebih maju dunia pendidikan di Indonesia.
Pada masa ini, pendidikan bagi pribumi kembali dirasa penting guna menopang
operasionalisasi pemerintahan Hindia Belanda. Gubernur Jenderal Van den Bosch (1829-
1834) yang dikenal sebagai penggagas Cultuurstelsel tercatat pernah menerbitkan edaran
agar didirikan sekolah dasar negeri di tiap karesidenan atas biaya Bijbelgenootschap
(persekutuan Injil) tahun 1831. Tetapi kurang beroleh tanggapan karena menyelisihi
prinsip netral sikap pemerintah dalam soal agama. Baru kemudian tahun 1848, dengan
keluarnya Keputusan Raja, diinstruksikan untuk mendirikan sekolah-sekolah pribumi
dengan pembiayaan sebesar f. 25.000 setahun yang dibebankan kepada pemerintah
Hindia Belanda untuk mendidik para calon pegawai negeri. Sejak itulah berdiri dan
berkembang sekolah-sekolah dari tingkat dasar dan lanjutan hingga tinggi yang
memperkenankan golongan pribumi (aristokrat) untuk turut menikmati pendidikan.
Untuk mengurusi pendidikan, agama dan kerajinan, pemerintah Hindia Belanda juga
telah membentuk departemen khusus pada tahun 1867. Perkembangan ini kemudian
sempat mengalami kemunduran karena krisis ekonomi dunia (malaise) yang berlangsung
hampir satu dekade (1883-1892).

Kesulitan keuangan dari Belanda akibat Perang Dipenogoro pada tahun 1825 sampai
1830 (Mestoko dkk,1985:11, Mubyarto,1987:26) serta perang Belanda dan Belgia (1830-
1839) mengeluarkan biaya yang mahal dan menelan banyak korban. Belanda membuat
siasat agar pengeluaran untuk peperangan dapat ditutupi dari negara jajahan. Kerja paksa
dianggap cara yang paling ampuh untuk memperoleh keuntungan yang maksimal yang
dikenal dengan cultuurstelsel atau tanam paksa (Nasution, 1987:11). Kerja paksa dapat
dijalankan sebagai cara yang praktis untuk meraup keuntungan sebesar-besarnya. Rakyat
miskin selalu menjadi bagian yang dirugikan karena digunakan sebagai tenaga kerja
murah. Rakyat miskin yang sebagian bekerja sebagai petani juga dimanfaatkan untuk
menambah kas negara penguasa.

Untuk melancarkan misi pendidikan demi pemenuhan tenaga kerja murah, pemerintah
mengusahakan agar bahasa Belanda bisa diujarkan oleh masyarakat untuk mempermudah
komunikasi antara pribumi dan Belanda. Lalu, bahasa Belanda menjadi syarat Klein
Ambtenaarsexamen atau ujian pegawai rendah pemerintah pada tahun 1864. (Nasution,
1987:7). Syarat tersebut harus dipenuhi para calon pegawai yang akan digaji murah.
Pegawai sedapat mungkin dipilih dari anak-anak kaum ningrat yang telah mempunyai
kekuasaan tradisional dan berpendidikan untuk menjamin keberhasilan perusahaan
(Nasution, 1987:12). Jadi, anak dari kaum ningrat dianggap dapat membantu menjamin
hasil tanam paksa lebih efektif, karena masyarakat biasa mengukuti perintah para ningrat.
Suatu keadaan yang sangat ironis, kehidupan terdiri dari lapisan-lapisan sosial yaitu
golongan yang dipertuan (orang Belanda) dan golongan pribumi sendiri terdapat
golongan bangsawan dan orang kebanyakan.

Kehidupan petani yang selalu ditekan bukan masalah yang baru. Petani menduduki posisi
sosial yang selalu dimanfaatkan, lahan pertanian merupakan tempat untuk
menggantungkan pendapatan dan hidup petani, terutama petani gurem. Petani menjadi
sapi perahan yang harus membayar pungutan resmi untuk membantu jalannya
pemerintahan dan penyuplai kebutuhan pejabat daerah (Mubyarto, 1987:24). Praktek
tanam paksa sekitar tahun 1830-1870 (di Yogyakarta, Solo, dan Priangan sampai 1918)
merupakan kesengsaraan yang tiada taranya dan memiliki kesan yang paling hitam bagi
petani dari masa penjajahan Belanda.

Politik Etis
Perkembangan pendidikan di Indonesia mendapati tahapan barunya menjadi lebih
progresif ketika memasuki tahun 1900, yakni era Ratu Juliana berkuasa di kerajaan
Belanda. Van Deventer yang menjabat sebagai Gubernur Jenderal Hindia Belanda
menerapkan politik etis (Etische Politiek) pada tahun 1899 dengan motto “de Eereschuld”
(hutang kehormatan) dan slogan “Educatie, Irigatie, Emigratie”. Pemerintah Belanda
lambat laun seolah-olah bertanggung jawab atas pendidikan anak Indonesia melalui
politik etis.
Prinsip-prinsip atau arah etis (etische koers) yang diterapkan di bidang pendidikan pada
masa ini adalah: (1) Pendidikan dan pengetahuan Barat diterapkan sebanyak mungkin
bagi pribumi. Bahasa Belanda diupayakan menjadi bahasa pengantar pendidikan; (2)
Pendidikan rendah bagi pribumi disesuaikan dengan kebutuhan mereka. Sistem
pendidikan pada masa ini belum lepas dari pola stratifikasi sosial yang telah ada, dan
beroleh pengesahan legal sejak tahun 1848 dari penguasa kolonial. Dalam stratifikasi
resmi tersebut dinyatakan bahwa penduduk dibagi kedalam 4 (empat) golongan: (1)
Golongan Eropa; (2) Golongan yang dipersamakan dengan Eropa; (3) Golongan
Bumiputera; dan (4) Golongan yang dipersamakan dengan Bumiputera. Tahun 1920,
rumusan ini mengalami revisi menjadi seperti berikut ini: (1) Golongan Eropa; (2)
Golongan Bumiputera; dan (3) Golongan Timur Asing. Perlu dicatat bahwa untuk
golongan pribumi (bumiputera), secara sosial terstratifikasi sebagai berikut: (1) Golongan
bangsawan (aristokrat) dan pemimpin adat; (2) Pemimpin agama (Ulama); dan (3)
Rakyat biasa.

Secara umum, sistem pendidikan di Indonesia pada masa penjajahan Belanda sejak
diterapkannya Politik Etis dapat digambarkan sebagai berikut: (1) Pendidikan dasar
meliputi jenis sekolah dengan pengantar Bahasa Belanda (ELS, HCS, HIS), sekolah
dengan pengantar bahasa daerah (IS, VS, VgS), dan sekolah peralihan. (2) Pendidikan
lanjutan yang meliputi pendidikan umum (MULO, HBS, AMS) dan pendidikan kejuruan.
(3) Pendidikan tinggi.
Pendidikan dibuat berjenjang, tidak berlaku untuk semua kalangan, dan berdasarkan
tingkat kelas. Pendidikan lebih diutamakan untuk anak-anak Belanda, sedangkan untuk
anak-anak Indonesia dibuat dengan kualitas yang lebih rendah. Pendidikan bagi pribumi
berfungsi untuk menyediakan tenaga kerja murah yang sangat dibutuhkan oleh penguasa.
Sarana pendidikan dibuat dengan biaya yang rendah dengan pertimbangan kas yang terus
habis karena berbagai masalah peperangan.

Politik etis dijalankan berdasarkan faktor ekonomi di dalam maupun di luar Indonesia,
seperti kebangkitan Asia, timbulnya Jepang sebagai Negara modern yang mampu
menaklukkan Rusia, dan perang dunia pertama (Nasution, 1987:17). Politik etis terutama
sebagai alat perusahaan raksasa yang bermotif ekonomis agar upah kerja serendah
mungkin untuk mencapai keuntungan yang maksimal. Irigasi, transmigrasi, dan
pendidikan yang dicanangkan sebagai kedok untuk siasat meraup keuntungan. Irigasi
dibuat agar panen padi tidak terancam gagal dan memperoleh hasil yang lebih
memuaskan. Transmigrasi berfungsi untuk penyebaran tenaga kerja, salah satunya untuk
pekerja perkebunan. Politik etis menjadi program yang merugikan rakyat.

Pendidikan dasar berkembang sampai tahun 1930 dan terhambat karena krisis dunia,
tidak terkecuali menerpa Hindia Belanda yang disebut mengalami malaise (Mestoko dkk,
1985 :123). Masa krisis ekonomi merintangi perkembangan lembaga pendidikan. Lalu,
lembaga pendidikan dibuat dengan biaya yang lebih murah. Kebijakan yang dibuat
termasuk penyediaan tenaga pengajar yang terdiri dari tenaga guru untuk sekolah dasar
yang tidak mempunyai latar belakang pendidikan guru (Mestoko, 1985:158), bahkan
lulusan sekolah kelas dua dianggap layak menjadi guru. Masalah lain yang paling
mendasar adalah penduduk sulit mendapatkan uang sehingga pendidikan bagi orang
kurang mampu merupakan beban yang berat. Jadi, pendidikan semakin sulit dijangkau
oleh orang kebanyakan. Pendidikan dibuat untuk alat penguasa, orang kebanyakan
menjadi target yang empuk diberi pengetahuan untuk dijadikan tenaga kerja yang murah.

Ciri-ciri Pendidikan Belanda


Pendidikan dibuat oleh Belanda memiliki ciri-ciri tertentu. Pertama, gradualisme yang
luar biasa untuk penyediaan pendidikan bagi anak-anak Indonesia. Belanda membiarkan
penduduk Indonesia dalam keadaan yang hampir sama sewaktu mereka menginjakkan
kaki, pendidikan tidak begitu diperhatikan. Kedua, dualisme diartikan berlaku dua sistem
pemerintahan, pengadilan dari hukum tersendiri bagi golongan penduduk. Pendidikan
dibuat terpisah, pendidikan anak Indonesia berada pada tingkat bawah. Ketiga, kontrol
yang sangat kuat. Pemerintah Belanda berada dibawah kontrol Gubernur Jenderal yang
menjalankan pemerintahan atas nama raja Belanda. Pendidikan dikontrol secara sentral,
guru dan orang tua tidak mempunyai pengaruh langsung politik pendidikan. Keempat,
Pendidikan berguna untuk merekrut pegawai. Pendidikan bertujuan untuk mendidik anak-
anak menjadi pegawai perkebunan sebagai tenaga kerja yang murah. Kelima, prinsip
konkordansi yang menjaga agar sekolah di Hindia Belanda mempunyai kurikulum dan
standar yang sama dengan sekolah di negeri Belanda, anak Indonesia tidak berhak
sekolah di pendidikan Belanda. Keenam, tidak adanya organisasi yang sistematis.
Pendidikan dengan ciri-ciri tersebut diatas hanya merugikan anak-anak kurang mampu.
Pemerintah Belanda lebih mementingkan keuntungan ekonomi daripada perkembangan
pengetahuan anak-anak Indonesia.

Pemerintah Belanda juga membuat sekolah desa. Sekolah desa sebagai siasat untuk
mengeluarkan biaya yang murah. Sekolah desa diciptakan pada tahun 1907. Tipe sekolah
desa yang dianggap paling cocok oleh Gubernur Jendral Van Heutz sebagai sekolah
murah dan tidak mengasingkan dari kehidupan agraris (Nasution, 1987:78). Kalau
lembaga pendidikan disamakan dengan sekolah kelas dua, pemerintah takut penduduk
tidak bekerja lagi di sawah. Penduduk diupayakan tetap menjadi tenaga kerja demi
mengamankan hasil panen.

Sekolah desa dibuat dengan biaya serendah mungkin. Pesantren diubah menjadi
madrasah yang memiliki kurikulum bersifat umum. Pesantren dibumbui dengan
pengetahuan umum. Cara tersebut dianggap efektif, sehingga pemerintah tidak usah
membangun sekolah dan mengeluarkan biaya (Nasution, 1987:80). Guru sekolah diambil
dari lulusan sekolah kelas dua, dianggap sanggup menjadi guru sekolah desa. Guru yang
lebih baik akan digaji lebih mahal dan tidak bersedia untuk mengajar di lingkungan desa.

Masa penjajahan Belanda berkaitan dengan pendidikan merupakan catatan sejarah yang
kelam. Penjajah membuat pendidikan sebagai alat untuk meraup keuntungan melalui
tenaga kerja murah. Sekolah juga dibuat dengan biaya yang murah, agar tidak
membebani kas pemerintah. Politik etis menjadi tidak etis dalam pelaksanaannya,
kepentingan biaya perang yang sangat mendesak dan berbagai masalah lain menjadi
kenyataan yang tercatat dalam sejarah pendidikan masa Belanda.

Masa Penjajahan Jepang


Setelah Februari 1942 menyerang Sumatera Selatan, Jepang selanjutnya menyerang Jawa
dan akhirnya memaksa Belanda menyerah pada Maret 1942. Belanda digantikan oleh
kekuasaan Jepang. Jepang membawa ide kebangkitan Asia yang tidak kalah liciknya dari
Belanda. Didorong semangat untuk mengembangkan pengaruh dan wilayah sebagai
bagian dari rencana membentuk Asia Timur Raya yang meliputi Manchuria, Daratan
China, Kepulauan Filiphina, Indonesia, Malaysia, Thailand, Indo China dan Rusia di
bawah kepemimpinan Jepang, negara ini mulai melakukan ekspansi militer ke berbagai
negara sekitarnya tersebut. Dengan konsep “Hakko Ichiu” (Kemakmuran Bersama Asia
Raya) dan semboyan “Asia untuk Bangsa Asia”, bangsa fasis inipun menargetkan
Indonesia sebagai wilayah potensial yang akan menopang ambisi besarnya. Dengan
konteks sejarah dunia yang menuntut dukungan militer kuat, Jepang mengelola
pendidikan di Indonesia pun tidak bisa dilepaskan dari kepentingan ini. Sehingga dapat
dikatakan bahwa sistem pendidikan di masa pendudukan Jepang sangat dipengaruhi motif
untuk mendukung kemenangan militer dalam peperangan Pasifik.

Jepang kemudian menerapkan beberapa kebijakan terkait pendidikan yang memiliki


implikasi luas terutama bagi sistem pendidikan di era kemerdekaan. Hal-hal tersebut
antara lain: (1) Dijadikannya Bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi pengantar
pendidikan menggantikan Bahasa Belanda; (2) Adanya integrasi sistem pendidikan
dengan dihapuskannya sistem pendidikan berdasarkan kelas sosial di era penjajahan
Belanda.
Sistem pendidikan pada masa pendudukan Jepang itu kemudian dapat diikhtisarkan
sebagai berikut: (1) Pendidikan Dasar (Kokumin Gakko / Sekolah Rakyat). Lama studi 6
tahun. Termasuk SR adalah Sekolah Pertama yang merupakan konversi nama dari
Sekolah dasar 3 atau 5 tahun bagi pribumi di masa Hindia Belanda. (2) Pendidikan
Lanjutan. Terdiri dari Shoto Chu Gakko (Sekolah Menengah Pertama) dengan lama studi
3 tahun dan Koto Chu Gakko (Sekolah Menengah Tinggi) juga dengan lama studi 3
tahun. (3) Pendidikan Kejuruan. Mencakup sekolah lanjutan bersifat vokasional antara
lain di bidang pertukangan, pelayaran, pendidikan, teknik, dan pertanian. (4) Pendidikan
Tinggi.

Guna memperoleh dukungan tokoh pribumi, Jepang mengawalinya dengan menawarkan


konsep Putera Tenaga Rakyat di bawah pimpinan Soekarno, M. Hatta, Ki Hajar
Dewantoro, dan K.H. Mas Mansur pada Maret 1943. Konsep ini dirumuskan setelah
kegagalan the Triple Movement yang tidak menyertakan wakil tokoh pribumi. Tetapi
PTR akhirnya mengalami nasib serupa setahun kemudian. Pasca ini, Jepang tetap
merekrut Ki Hajar Dewantoro sebagai penasehat bidang pendidikan mereka. Upaya
Jepang mengambil tenaga pribumi ini dilatarbelakangi pengalaman kegagalan sistem
pendidikan mereka di Manchuria dan China yang menerapkan sistem Nipponize
(Jepangisasi). Karena itulah, di Indonesia mereka mencobakan format pendidikan yang
mengakomodasi kurikulum berorientasi lokal. Sekalipun patut dicatat bahwa pada
menjelang akhir masa pendudukannya, ada indikasi kuat Jepang untuk menerapkan
sistem Nipponize kembali, yakni dengan dikerahkannya Sendenbu (propagator Jepang)
untuk menanamkan ideologi yang diharapkan dapat menghancurkan ideologi Indonesia
Raya.

Jepang juga memandang perlu melatih guru-guru agar memiliki keseragaman pengertian
tentang maksud dan tujuan pemerintahannya. Materi pokok dalam latihan tersebut antara
lain: (1) Indoktrinasi ideologi Hakko Ichiu; (2) Nippon Seisyin, yaitu latihan kemiliteran
dan semangat Jepang; (3) Bahasa, sejarah dan adat-istiadat Jepang; (4) Ilmu bumi dengan
perspektif geopolitis; serta (5) Olaharaga dan nyanyian Jepang. Sementara untuk
pembinaan kesiswaan, Jepang mewajibkan bagi setiap murid sekolah untuk rutin
melakukan beberapa aktivitas berikut ini: (1) Menyanyikan lagi kebangsaan Jepang,
Kimigayo setiap pagi; (2) Mengibarkan bendera Jepang, Hinomura dan menghormat
Kaisar Jepang, Tenno Heika setiap pagi; (3) setiap pagi mereka juga harus melakukan
Dai Toa, bersumpah setia kepada cita-cita Asia Raya; (4) Setiap pagi mereka juga
diwajibkan melakukan Taiso, senam Jepang; (5) Melakukan latihan-latihan fisik dan
militer; (7) Menjadikan bahasa Indonesia sebagai pengantar dalam pendidikan. Bahasa
Jepang menjadi bahasa yang juga wajib diajarkan.

Setelah menguasai Indonesia, Jepang menginstruksikan ditutupnya sekolah-sekolah


berbahasa Belanda, pelarangan materi tentang Belanda dan bahasa-bahasa Eropa lainnya.
Termasuk yang harus ditutup adalah HCS, sehingga memaksa peranakan China kembali
ke sekolah-sekolah berbahasa Mandarin di bawah koordinasi Hua-Chino Tsung Hui,
yang berimplikasi pada adanya proses resinification (penyadaran dan penegasan identitas
sebagai keturunan bangsa China). Kondisi ini antara lain memaksa para guru untuk
mentranslasikan buku-buku berbahasa asing kedalam Bahasa Indonesia untuk
kepentingan proses pembelajaran. Selanjutnya sekolah-sekolah yang bertipe akademis
diganti dengan sekolah-sekolah yang bertipe vokasi. Jepang juga melarang pihak swasta
mendirikan sekolah lanjutan dan untuk kepentingan kontrol, maka sekolah swasta harus
mengajukan izin ulang untuk dapat beroperasi kembali.

Taman Siswa misalnya terpaksa harus mengubah Taman Dewasa menjadi Taman Tani,
sementara Taman Guru dan Taman Madya tetap tutup. Kebijakan ini menyebabkan
terjadinya kemunduran yang luar biasa bagi dunia pendidikan dilihat dari aspek
kelembagaan dan operasonalisasi pendidikan lainnya.
Sementara itu terhadap pendidikan Islam, Jepang mengambil beberapa kebijakan antara
lain: (1) Mengubah Kantoor Voor Islamistische Zaken pada masa Belanda yang dipimpin
kaum orientalis menjadi Sumubi yang dipimpin tokoh Islam sendiri, yakni K.H. Hasyim
Asy’ari. Di daerah-daerah dibentuk Sumuka; (2) Pondok pesantren sering mendapat
kunjungan dan bantuan pemerintah Jepang; (3) Mengizinkan pembentukan barisan
Hizbullah yang mengajarkan latihan dasar seni kemiliteran bagi pemuda Islam di bawah
pimpinan K.H. Zainal Arifin; (4) Mengizinkan berdirinya Sekolah Tinggi Islam di
Jakarta di bawah asuhan K.H. Wahid Hasyim, Kahar Muzakkir dan Bung Hatta; (4)
Diizinkannya ulama dan pemimpin nasionalis membentuk barisan Pembela Tanah Air
(PETA) yang belakangan menjadi cikal-bakal TNI di zaman kemerdekaan; dan (5)
Diizinkannya Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI) terus beroperasi, sekalipun kemudian
dibubarkan dan diganti dengan Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi) yang
menyertakan dua ormas besar Islam, Muhammadiyah dan NU. Lepas dari tujuan semula
Jepang memfasilitasi berbagai aktivitas kaum muslimin ketika itu, nyatanya hal ini
membantu perkembangan Islam dan keadaan umatnya setelah tercapainya kemerdekaan.

Pendidikan semakin menyedihkan dan dibuat untuk menyediakan tenaga cuma-cuma


(romusha) dan kebutuhan prajurit demi kepentingan perang Jepang (Mestoko, 1985
dkk:138). Sistem penggolongan dihapuskan oleh Jepang. Rakyat menjadi alat kekuasaan
Jepang untuk kepentingan perang. Pendidikan pada masa kekuasaan Jepang memiliki
landasan idiil hakko Iciu yang mengajak bangsa Indonesia berkerjasama untuk mencapai
kemakmuran bersama Asia raya. Pelajar harus mengikuti latihan fisik, latihan
kemiliteran, dan indoktrinasi yang ketat.

Kebangkitan Asia menjadi slogan omong kosong pada kenyataannya. Mubyarto


(1987:36) menjelaskan pertanian Indonesia diusahakan dapat mendukung usaha
peperangan. Bibit baru dari Taiwan memang berumur lebih pendek dengan hasil per
hektar lebih tinggi dipaksakan untuk ditanam dengan sistem larikan (dalam garis lurus)
dan dengan menggunakan pupuk hijau dan kompos. Petani menjadi membenci sistem
baru tersebut. jaman Jepang sebagai jaman penyiksaan yang kejam. Jadi, petani dibuat
sebagai sumber pendapatan yang terus dipaksa untuk menambah hasil panen. Penduduk
sebagai alat komoditas yang terus diperas.

Sejarah Belanda sampai Jepang dipahami sebagai alur penjelasan kalau pendidikan
digunakan sebagai alat komoditas oleh penguasa. Pendidikan dibuat dan diajarkan untuk
melatih orang-orang menjadi tenaga kerja yang murah. Runtutan penjajahan Belanda dan
Jepang menjadikan pendidikan sebagai senjata ampuh untuk menempatkan penduduk
sebagai pendukung biaya untuk perang melalui berbagai sumber pendapatan pihak
penjajah. Pendidikan pula yang akan dikembangkan untuk membangun negara Indonesia
setelah merdeka.

Era Awal Kemerdekaan


Setelah kemerdekaan, perubahan bersifat sangat mendasar yaitu menyangkut penyesuaian
bidang pendidikan. Badan pekerja KNIP mengusulkan kepada kementrian pendidikan,
pengajaran, dan kebudayaan supaya cepat untuk menyediakan dan mengusahakan
pembaharuan pendidikan dan pengajaran sesuai dengan rencana pokok usaha pendidikan
(Mestoko, 1985:145). Lalu, pemerintah mengadakan program pemberantasan buta huruf.
Program buta huruf tidak mudah dilaksanakan dengan berbagai keterbatasan sumber
daya, kendala gedung sekolah dan guru. Kementrian PP dan K juga mengadakan usaha
menambah guru melalui kursus selama dua tahun. Kursus bahasa jawa, bahasa Inggris,
ilmu bumi, dan ilmu pasti(Mestoko dkk, 1985:161). Program tersebut menunjukkan
jumlah orang yang buta huruf seluruh Indonesia sekitar 32,21 juta (kurang lebih 40%),
buta huruf pada tahun 1971. Buta huruf yang dimaksud adalah buta huruf latin (Mestoko
dkk, 1985:327). Jadi, kegiatan pemberantasan buta huruf di pedesaan yang diprogramkan
oleh pemerintah untuk menanggulangi angka buta aksara di Indonesia dan buta
pengetahuan dasar, tetapi pendidikan kurang lebih tidak berdampak pada rumah tangga
kurang mampu.
Badan Pekerja KNIP mengusulkan pokok-pokok usaha pendidikan dan pengajaran
kepada Kementrian Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan (29 Desember 1945): (1)
Perlu ada perubahan pedoman pendidikan dan pengajaran. Yang paling mendasar adalah
mengubah faham individualisme menjadi faham kesusilaan dan peri kemanusiaan yang
tinggi. (2) Demi persatuan dan keadilan sosial, sekolah harus dibuka untuk segala lapisan
masyarakat baik laki-laki maupun perempuan. (3) Sistem pendidikan perlu berorientasi
vokasi, leadership dan pemberantasan buta huruf. (4) Pendidikan agama perlu diberi
perhatian seksama dengan asas kemerdekaan beragama. Adapun madrasah dan pesantren
sangat perlu mendapat perhatian dan bantuan nyata dari pemerintah. (5) Pengembangan
optimal pendidikan tinggi termasuk memanfaatkan bantuan guru besar asing dan
pengiriman mahasiswa untuk studi ke luar negeri. (6) Wajib belajar 6 tahun yang
diharapkan telah merata dalam jangka waktu satu dekade (10 tahun). (7) Pendidikan
teknik dan ekonomi khususnya pertanian, industri, pelayaran dan perikanan perlu
mendapat perhatian istimewa. (8) Pendidikan kesehatan dan olahraga hendaknya
dilaksanakan secara teratur. (9) Pendidikan gratis bagi siswa Sekolah Rakyat. Sedangkan
bagi siswa Sekolah Menengah dan Perguruan Tinggi diupayakan pengaturan pembiayaan
dan tunjangan yang luas agar dapat membantu akses bagi mereka yang kurang mampu.
Usulan ini kemudian ditindaklanjuti oleh Mendikjar (Dr. Mr. T.S.G. Mulia) dengan
membentuk Panitia Penyelidik Pengajaran di bawah pimpinan Ki Hajar Dewantara
dengan penulis Soegarda Poerbakawatja. Salah satu hasil Panitia Penyelidik Pengajaran
ini adalah rumusan tujuan pendidikan sebagai berikut: “Mendidik warga negara yang
sejati, sedia menyumbangkan tenaga dan pikiran untuk warga negara dan masyarakat.”
Pengertian “warga yang sejati” itu kemudian dijabarkan sifat-sifatnya dalam pedoman
bagi guru-guru yang dikeluarkan oleh Kementerian PP dan K pada tahun 1946, yaitu: (1)
Berbakti kepada Tuhan YME. (2) Cinta kepada alam. (3) Cinta kepada negara. (4) Cinta
dan hormat kepada ibu-bapak. (5) Cinta kepada bangsa dan kebudayaan. (6)
Keterpanggilan untuk memajukan negara sesuai kemampuannya. (7) Memiliki kesadaran
sebagai bagian integral dari keluarga dan masyarakat. (8) Patuh pada peraturan dan
ketertiban. (9) Mengembangkan kepercayaan diri dan sikap saling hormati atas dasar
keadilan. (10) Rajin bekerja, kompeten dan jujur baik dalam pikiran maupun tindakan.
Formulasi cita-cita ini menunjukkan bahwa pendidikan ketika itu lebih menekankan pada
aspek penanaman semangat patriotisme.
Pada bulan Desember 1949, terjadi perubahan ketatanegaraan dimana UUD 1945 diganti
dengan Konstitusi Sementara Republik Indonesia Serikat. Meski landasan idiil (yaitu
Pancasila) tidak berubah, tetapi formulasi tujuan pendidikan mengalami perubahan. Hal
ini tampak dalam UU No. 4 tahun 1950 tentang Dasar-dasar Pendidikan dan Pengajaran
di Sekolah yang disahkan oleh Presiden RI (Mr. Assaat) dan Mendikjar RI (S.
Mangunsarkoro), yaitu: “Membentuk manusia susila yang cakap dan warga negara yang
demokratis, serta bertanggung jawab tentang kesejahteraan masyarakat dan tanah air.”
Rumusan tujuan pendidikan ini kemudian dituangkan kembali dalam UU No. 12 tahun
1954 tentang Dasar-dasar Pendidikan dan Pengajaran di Sekolah yang sesungguhnya
merupakan pemberlakuan kembali UU No. 4 tahun 1950 untuk seluruh wilayah RI.
Formulasi cita-cita ini menunjukkan bahwa pendidikan ketika itu telah mengadaptasi
pemikiran demokrasi yang tengah berkembang sehingga sifat-sifat ini pula yang
ditanamkan kepada generasi mudanya.
Tujuan pendidikan nasional kembali mengalami perubahan ketika politik negara
dikendalikan faham Manipol-Usdek di bawah pimpinan Bung Karno sejak 1959. Dalam
Kepres RI No. 145 tahun 1965 tentang Pokok-Pokok Sistem Pendidikan Nasional
Pancasila disebutkan bahwa: “Tujuan Pendidikan Nasional kita baik yang
diselenggarakan oleh pihak Pemerintah maupun oleh pihak Swasta, dari Pendidikan
Prasekolah sampai Pendidikan Tinggi, supaya melahirkan warga negara Sosialis
Indonesia yang susila, yang bertanggung jawab atas terselenggaranya Masyarakat
Sosialis Indonesia, adil dan makmur baik spiritual maupun materiil dan yang berjiwa
Pancasila, yaitu: (a) Ke-Tuhan-an Yang Maha Esa, (b) Perikemanusiaan yang adil dan
beradab, (c) Kebangsaan, (d) Kerakyatan, (e) Keadilan Sosial, seperti dijelaskan dalam
Manipol/Usdek.” Formulasi ini ternyata tidak bertahan lama karena peristiwa G 30 S/PKI
tahun 1965 yang menyadarkan rakyat tentang motif politik PKI di balik cita-cita
pendidikan tersebut. Selanjutnya, pada masa Orde Baru melalui Ketetapan MPRS RI No.
XXVII/MPRS/1966 tentang Agama, Pendidikan dan Kebudayaan disebutkan bahwa
tujuan pendidikan adalah: “Membentuk manusia Pancasilais sejati berdasarkan
ketentuan-ketentuan seperti yang dikehendaki oleh Pembukaan Undang-Undang Dasar
1945.”
Pada tahun 1973, MPR hasil pemilu mengeluarkan Ketetapan MPR RI No. IV/MPR/1973
yang dikenal dengan Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) yang di dalamnya
menyebutkan rumusan tujuan pendidikan sebagai berikut: “Pendidikan pada hakikatnya
adalah usaha sadar untuk mengembangkan kepribadian dan kemampuan di dalam dan di
luar sekolah dan berlangsung seumur hidup.” Tujuan ini kemudian mengalami
reformulasi kembali dalam Ketetapan MPR No. IV/MPR/1978 yang berbunyi:
“Pendidikan nasional berdasarkan atas Pancasila dan bertujuan untuk meningkatkan
ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, kecerdasan, keterampilan, mempertinggi
budi pekerti, memperkuat kepribadian, dan mempertebal semangat kebangsaan agar
dapat menumbuhkan manusia-manusia pembangunan yang dapat membangun dirinya
sendiri serta bersama-sama bertanggung jawab atas pembangunan bangsa.”
Demikianlah, melalui beberapa ilustrasi formulasi tujuan pendidikan dalam sejarah
Indonesia dapat dipahami bahwa dinamika yang terjadi di dunia pendidikan nasional kita
sangat erat terkait dengan dinamika politik, ekonomi, serta sosio-kultural masyarakat.
Pendidikan memang diakui sebagai wahana pencerdasan dan pembudayaan masyarakat,
tetapi bagaimanapun juga, di samping faktor perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi, kepentingan-kepentingan politik maupun ekonomi senantiasa saja menjadi
pertimbangan yang memberi warna dan corak bagi perkembangan pendidikan yang ada.
Coba perhatikan formulasi cita-cita pendidikan yang tertuang dalam UU No. 20 tahun
2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional berikut ini:
Pendidikan Nasional berfungsi untuk mengembangkan kemampuan serta meningkatkan
mutu kehidupan dan martabat manusia Indonesia dalam rangka upaya mewujudkan
tujuan nasional
(Pasal 3).
Pendidikan Nasional bertujuan mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan
manusia Indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan
Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan ,
kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa tanggung
jawab kemasyarakatan dan kebangsaan (Pasal 4).

Kemerdekaan Indonesia tidak membuat nasib orang tidak mampu terutama dari sektor
pertanian menjadi lebih baik. Pemaksaan atau perintah halus gampang muncul kembali,
contoh yang paling terkenal dengan akibat yang hampir serupa seperti cara-cara dan
praktek pada jaman Jepang, bimas gotong royong yang diadakan pada tahun 1968-1969
disebut bimas gotong royong karena merupakan usaha gotong royong antara pemerintah
dan swasta (asing dan nasional) untuk meyelenggarakan intensifikasi pertanian dengan
menggunakan metode Bimas (Fakih, 2002:277, Mubyarto, 1987:37). Adapun tujuannya
adalah untuk meningkatkan produksi beras dalam waktu sesingkat mungkin dengan
mengenalkan bibit padi unggul baru yaitu Peta Baru (PB) 5 dan PB 8.37. Pada jaman
penjajahan Belanda juga pernah dilakukan cultuurstelsel, Jepang memaksakan
penanaman bibit dari Taiwan. Jadi, rakyat dipaksakan mengikuti kemauan dari pihak
penguasa. Cara tersebut kurang lebih sama dengan yang dilakukan oleh pemerintah
Indonesia sebagai cara untuk menghasilkan panen yang lebih maksimal. Muller
(1979:73) menyatakan berdasarkan penelitian yang dilakukan di Indonesia bahwa
sebagian besar masyarakat yang masih hidup dalam kemiskinan, paling-paling hanya bisa
memenuhi kebutuhan hidup yang paling minim, dan hampir tidak bisa beradaptasi aktif
sedangkan golongan atas hidup dalam kemewahan.

Pendidikan pada masa Belanda, Jepang dan setelah kemerdekaan sulit dicapai oleh orang-
orang dari rumah tangga kurang mampu. Mereka diajarkan dan diberi pengetahuan untuk
kepentingan pihak penguasa. Mereka dijadikan tenaga kerja yang diandalkan untuk
mencapai keuntungan yang maksimal. Setelah jaman kemerdekaan, rakyat dari rumah
tangga kurang mampu terus menjadi sumber pemaksaan secara halus untuk
pengembangan bibit padi unggul. Pendidikan sebagai alat penguasa untuk
mengembangkan program yang dianggap dapat mendukung peningkatan pemasukan
pemerintah. dari awal kemerdekaan. Pada masa perjuangan kemerdekaan, dapat dilihat
atau setidaknya mendengarkan kesaksian dari para sesepuh kita bagaimana proses
pendidikan dijalankan oleh pemerintah. Periode tahun 1908-1945 ditandai dengan
kehadiran para pemimpin politik yang penuh dedikasi dan gigih dalam perjuangan di
bidang pendidikan, sehingga mereka dapat dipandang sebagai tokoh sekaligus pemimpin
politik yang pantas ditiru. Dokter Wahidin Sudirohusodo kala itu begitu yakin bahwa
pendidikan merupakan solusi utama guna mengentaskan bangsa dari keterbelakangan dan
kemelaratan. Demikian pula dengan Ki Hajar Dewantara yang mengemas pemikirannya
tentang pendidikan dalam sebuah konsep sederhana namun begitu dalam filosofinya: Ing
Ngarso sung Tulodho, Ing Madyo Mangun Karso, Tut Wuri Handayani, yang artinya “di
depan memberi contoh, di tengah membangun semangat, dan di belakang mengawasi”.

Begitu pula di awal masa kemerdekaan, masalah pendidikan nasional telah memperoleh
cukup banyak perhatian dari elite politik yang ada. Jika kita membuka kembali lembaran
sejarah, proklamator Bung Hatta merupakan salah satu tokoh yang gencar menyuarakan
pentingnya pendidikan nasional bagi kemajuan bangsa sejak zaman kolonialisme.

Pendidikan Masa Orde Baru


Namun sebaliknya, pada periode 1959-1998 muncul pemimpin-pemimpin dan pelaku-
pelaku politik yang tidak lagi berjalan dengan idealisme yang nasionalistik dan patriotik.
Terlebih lagi pada masa pemerintahan Soeharto yang dianggap sebagian besar kalangan
mulai mengenyampingkan isu tentang pendidikan. Pada saat itu kita lebih melihat
pendidikan digunakan sebagai kendaraan politik bagi pemerintah untuk melakukan
indoktrinasi terhadap rakyat. Hal tersebut ditempuh terkait dengan kekhawatiran akan
timbulnya gejolak apabila pendidikan benar-benar diperkenalkan sepenuhnya. Mereka
lebih banyak berasyik-masyuk dengan kepentingan kelompok, karena bagi mereka
kekuasaan bukan lagi amanah namun kesempatan untuk memakmurkan diri, keluarga,
dan teman-teman dekatnya. Sejak saat itulah pandangan terhadap dunia pendidikan
dianggap tidak lagi menjanjikan segi finansial apapun, non issue, sesuatu hal yang
mudah, sesuatu yang dapat ditangani siapa saja, sehingga wajar bila kemudian
diketepikan dan digeser pada prioritas yang kesekian.
Sistem pendidikan kita terlihat masih bersifat tambal sulam, mulai dari kebijakan
kurikulum, manajemen, sistem pembelajaran, tuntutan kualitas guru, tuntutan fasilitas
dan dana pendidikan, kurang memliki “prioritas” yang ingin dicapai. Sementara secara
umum, pendidikan seringkali dipandang sebagai investasi modal jangka panjang yang
harus mampu membekali “pembelajar” untuk menghadapi kehidupan masa depannya.
Pendidikan harus mampu mencerahkan “pembelajar” dari ketidak tahuan menjadi tahu
dan memberdayakan, artinya pendidikan mampu membuat “pembelajar” berhasil dalam
kehidupan. Maka, berbicara soal pendidikan adalah bicara “soal kualitas kehidupan
“pembelajar”, soal kualitas sumberdaya manusia [SDM], yang akan menjadi tantangan
dan sekaligus peluang bagi bangsa Indonesia untuk ikutan bergulir sejajar dengan bangsa
lain.

Sejarah Ideology liberal bagi para intelektual


Awalnya adalah melemahnya pengaruh Belanda sejak penyerahan kedaulatan ke
Indonesia di tahun 1949 yang kemudian perlahan-lahan tergantikan oleh Amerika Serikat
– juga sedang merancang kepentingannya untuk berhadapan dengan blok komunis
melalui program peluncuran developmentalism oleh Harry S. Truman dibantu dengan
beberapa intelektual diantaranya Rostow (ekonomi) dan Parson (sosiologi) melalui
program perekrutan sarjana untuk studi lanjut. Peran besar USAID, Yayasan Ford dan
Rockefeller dalam menyediakan dana segar sebesar 150 juta US Dollar semakin
memperkuat upaya mereka untuk “merancang ideology bagi para intelektual di belahan
dunia lain mulai dari bidang social, penciptaan seni sampai metodologi ilmiah”.
Guy J. Pauker yang dekat dengan perwira militer dan elit politik orde baru merancang
program pendidikan bagi militer melalui sekolah staf komando yang sekarang kita kenal
dengan nama Seskoad. Saat penggulingan Soekarno, yang dipersiapkan melalui operasi
rahasia, para perwira militer ini mengambil peran yang penting hal tersebut ditunjukkan
dengan pernyataan Dubes Marshal Green yang menilai operasi dan pendidikan itu
sebagai “investasi kita yang paling berharga bagi masa depan Indonesia”. perwira militer
yang terlibat kup dan kemudian tampil memimpin adalah lulusan akademi militer AS.
Bahkan penyebutan orde baru dimulai dari seminar Angkatan Darat pada Agustus 1966,
sebagai penanda pula persekutuan antara intelektual-politisi-militer.

Di kalangan ekonom-sipil- Bruce Glassburner memimpin tim dari Berkeley untuk


memberi pelajaran di bidang administrasi bisnis, perencanaan ekonomi dan statistik, di
samping juga melakukan perekrutan sarjana untuk studi di Berkeley dan Harvard kepada
para intelektual Indonesia yang kemudian melahirkan arsitek ekonomi orde baru yang di
kenal dengan “Mafia Berkeley”, istilah yang pertama kali diperkenalkan oleh jurnal
Ramparts di AS. Pada saat kekuasaan mutlak Soeharto di tahun 1967 para sarjana yang
direkrut tersebut menduduki posisi strategis diantaranya: Departemen Perdagangan
tampil Sumitro Djojohadikusumo (Rotterdam 1939) dan Subroto (Harvard 1964),
sementara Bappenas dipimpin oleh Widjojo Nitisastro (Berkeley 1961) dan Emil Salim
(Berkeley 1964) sebagai wakilnya. Mohammad Sadli (MIT 1956) menjadi ketua Tim
Teknis Penanaman Modal Asing sementara Barli Halim (Berkeley 1969) duduk di
Departemen Industri.

Memeluk Ekonomi Pasar


Setelah keberhasilan mengguling Soekarno, babak selanjutnya dilahirkanlah program
“memulihkan ekonomi Indonesia” yang kemudian melahirkan persekutuan lebih kuat
antara intelektual, militer, pemilik modal, politisi serta lembaga keuangan internasional
yang kemudian merubah haluan bangsa ini ke arah kapitalisme. Selama tahun-tahun
pertama kelahiran orde baru, program ekonomi bangsa sesungguhnya di buat 100% oleh
badan eknomi dunia seperti IMF, Bank Dunia, USAID, hal tersebut dapat dibuktikan
sebagaimana ungkapan Mohamad Sadli saat perjanjian dengan Freeport McMoran yang
mengaku hanya minta ditunjukkan kolom-kolom yang harus ditandatanganinya. “Bagi
kami yang penting adalah mendatangkan modal ke Indonesia,” seperti dikutip Jeffrey
Winters dalam Power in Motion.

Bahkan “guru besar” ilmu ekonomi pertumbuhan W.W. Rostow langsung turun tangan
datang ke Indonesia untuk memberikan ceramah-ceramah ke univeristas-universitas
terkemuka di Indonesia. Tak pelak kemudian, jika universitas di Indonesia dikuasai oleh
pikiran dan praktek kapitalisme. Di sekolah militer yang kemudian melahirkan “perwira
intelektual” juga berhasil menjadi ujung tombak kekuasaan kapitalisme dengan
bercokolnya mereka di wilayah kekuasaan strategis ditahun 1970-an seperti Mayjen
Umar Wirahadikusumah di Badan Pemeriksa Keuangan, Kolonel Sutjipto dan Mayjen
Muskita di Departemen Perdagangan, Kolonel Sumudarsono dan Mayjen Tirtajasa di
Departemen Perindustrian serta Brigjen Piet Harjono dan Brigjen Tahir di Departemen
Keuangan.

Rekayasa Sosial
Jika di bidang ekonomi orientasi pertumbuhan menjadi titik pokok utama, maka di
bidang ilmu social diperlakukan penyelarasan melalui rekayasa social atau social
engineering dengan merancang strategi modernisasi.Sejalan dengan orientasi
pertumbuhan dan pasar di bidang ekonomi, para ahli ilmu sosial merancang strategi
modernisasi, sebuah strategi penghilangan nilai tradisional yang dianggap menghambat
proses menuju masyarakat “beradab”, yakni modern. Salah satu produknya yakni politik
masa mengambang, yakni sebuah alat politik untuk menjauhkan rakyat dari proses
pengambilan keputusan dengan anggapan bahwa masyarakat Indonesia masih
terbelakang dan karenanya diperlukan elit sebagai penentu arah, merumuskan konsep,
dan melaksanakan sekaligus mengevaluasi. Kepentingan ini sejalan dengan harapan
militer menciptakan stabilitas nasional untuk mengamankan modal, produk-produk
lainnya antara lain, revolusi hijau dan Panca Usaha Tani (pertanian) program yang
dijalankan oleh lulusan lembaga riset IRRI seperti: Menteri Pertanian Wardojo,
Syarifuddin Karama dan Farid Bahar serta tak kurang dari 832 lulusan lainnya,
Transmigrasi – praktek ini dijalankan oleh Menteri Transmigrasi Martono atas bekal
pinjaman 820 juta dollar dari Bank Dunia- dan Keluarga Berencana (kependudukan),
reboisasi, HPH, HGU (kehutanan), sekulerisasi (teologi).

Di bidang psikologi, kaum intelektual kita direkrut sebagai pengklasifikasi para tahanan
sekaligus menentukan nasib mereka, ahli komunikasi seperti Alwi Dahlan dan Hidayat
Mukmin dijadikan “juru penerangan” menyebarluaskan pengertian di kalangan
masyarakat mengenai bahaya laten dari sisa-sisa G-30-S/PKI maupun golongan ekstrem
dan subversif lainnya”, imbalan dari kerja Alwi Dahlan adalah ketua BP7 sebuah alat
indoktrinasi negara disemua lapisan negara, dengan program yang kita kenal sebagai
penataran P4.

Tidak hanya berhenti di sektor pendidikan sekolah, kepentingan kaum kapitalis juga
termaktub dengan dibentuknya kelompok studi seperti Centre for Strategic and
International Studies (CSIS). Lembaga ini didirikan oleh persekutuan pemilik modal-
militer dan kaum intelektual antara lain oleh Ali Moertopo, Soedjono Hoemardani,
Sofyan dan Jusuf Wanandi, serta Harry Tjhan Silalahi. Tahun 1971 mereka berperan
besar bagi kemenangan Golkar dalam pemilihan umum, dengan menyingkirkan kekuatan
politik yang potensial menjadi penghalang. CSIS juga menghasilkan kajian mengenai
orientasi kebijakan pembangunan, seperti 25 Tahun Akselerasi Modernisasi dan
Pembangunan yang ditulis Ali Moertopo tahun 1973, sebuah kajian untuk melegitimasi
kepentingan pemilik modal demi proyek lanjutan yang akan dilobi oleh Sofyan Wanandi
dan Soedjono Hoemardani. Untuk kaum “akademis”, ruang bagi perjalanan penguat
legitimasi juga dibuka melalui para intelektual-akademisi yang pro modernisasi ala
developmentalism diantaranya Selo Soemardjan, Harsja Bachtiar, Astrid Susanto,
Mattulada dan Miriam Budiardjo yang menguasai program-program studi ilmu sosial di
beberapa universitas terkemuka.

Jalur yang ditempuh untuk pelanggengan kepentingan tersebut (baca: hegemonisasi)


adalah diperkenalkannya gagasan Rostow (ekonomi), Parson (sosiologi), Shmuel
Eisenstadt, Lucien Pye, Gabriel Almond dan Samuel Huntington (politik) yang berbicara
tentang pentingnya negara Dunia Ketiga mengikuti jalur modernisasi kapitalis. Selain itu
atas bantuan Yayasan Ford, Rockefeller, USAID intelektual kita juga diikutkan dalam
pergaulan internasional yang melibatkan ahli-ahli seperti Clifford Geertz, Karl Jackson
dan Robert Jay.

Persekutuan Intelektual dengan Neo Liberal


Tumbangnya kediktaktoran Soeharto pada mei 1998 tidak menyurutkan langkah kapitalis
dan sekutunya, lembaga finansial seperti: Bank Dunia, IMF, ADB dan tak lupa juga
penyandang dana seperti: USAID, yayasan Ford untuk tetap bercokol di Indonesia.
Mereka sama sekali tidak mau ambil pusing bahwa atas “jasa” merekalah krisis dan
kehancuran bangsa ini berlangsung. Saat ini perjalanan mereka dapat kita lihat pada para
intelektual kita yang “mengais rejeki” pada proyek-proyek globalisasi seperti: good
governance, good corporate governance, program anti korupsi, menyingkirkan segenap
rintangan investasi dan pasar bebas (baca: privatisasi, pemberlakuan perlindungan hak
milik intelektual (HAKI), good governance (pemerintahan yang baik), penghapusan
subsidi dan program proteksi rakyat, deregulasi, penguatan civil society, program anti-
korupsi, dan lain sebagainya.
Globalisasi yang berlandaskan pada paham Neo-liberalis sesungguhnya ditandai dengan
kebijakan pasar bebas, yang mendorong perusahaaan swasta dan pilihan konsumen,
penghargaan atas tanggungjawab personal dan inisiatif kewiraswastaan, serta
menyingkirkan birokrat dan “parasit” pemerintah, yang tidak akan pernah mampu
meskipun dikembangkan. Aturan dasar kaum neo-liberal adalah “Liberalisasikan
perdagangan dan keuangan,” “Biarkan pasar menentukan harga,” “Akhiri inflasi,
stabilisasi ekonomi-makro, dan privatisasi,” “Pemerintah harus menyingkir dari
menghalangi jalan.” Arsitek tata dunia ini ditetapkan dalam apa yang dikenal sebagai
“The Neo-Liberal Washington Consensus,” yang terdiri dari para pembela ekonomi
swasta terutama wakil dari perusahaan-perusahaan besar yang mengontrol dan menguasai
ekonomi internasional dan memiliki kekuasaan untuk mendominasi informasi kebijakan
dalam membentuk opini publik (M. Fakih: 2001).
Secara ideal, sebenarnya dunia pendidikan kita harus mampu berjalan beriringan dengan
dunia luar. Akan tetapi, kendala utama yang dihadapi adalah komitmen pemerintah yang
tidak terfokus pada prioritas dalam hal dana pendidikan baik pada masa lalu dan masa
kini. Akibatnya idealisme tersebut masih jauh dari impian, jauh dari kenyataan dan hanya
menjadi “mitos”. Maka yang menjadi persoalan sekarang apakah pemerintah atau
bangsa Indonesia ini sadar bahwa pendidikan merupakan kunci utama untuk menghadapi
persaingan dengan dunia luar. Apakah pemerintah baik pusat maupun daerah memiliki
komitmen untuk menentukan sektor pendidikan adalah faktor kunci bagi pembangunan
bangsa dan negara ini. Apabila dilihat dari komitmen pemerintah Indonesia
menempatkan anggaran pendidikan dibawah standar yaitu 8% dalam anggaran belanja
dan pendapatan negara [APBN] yang semestinya sebesar minimal 20% [baca: Suyanto,
2006:xi], bahkan semua komponen menghendaki, termasuk usulan dari pengurus besar
PGRI agar anggaran pendidikan mendapat alokasi 25% dari APBN [Ibrahim Musa, Ibid,
From: http://202.159.18.43/jp/22ibrahim.htm]. Sebab, anggaran pendidikan yang
memadai untuk dapat menjadikan SDM bangsa Indonesia berkualitas setarap dengan
tingkat pelayanan pendidikan di negara maju hanya tinggal impian. Dengan demikian,
dapat dikatakan bahwa sebenarnya kesadaran pemerintah Indonesia atas masalah
pendidikan sangat rendah dibandingkan perhatian pada sector lain.

Beberapa intelektual yang terjun bebas ke jurang neo liberal dapat diidentifikasi dari
pikiran dan prakteknya dalam melakukan analisis, yang hanya berpijak pada kesalahan
pelaku birokrasi pemerintah ataupun pengusaha nasional dan takut untuk berbicara pada
kesalahan sistem-struktur yang tidak adil yakni neo liberal; diantara mereka adalah
menteri, pejabat di lembaga finansial atau penerima proyek dari penganut neo liberal.
Selain itu beberapa juga menjadi “broker” bagi penguatan civil society melalui program
partnership. Jika melihat komposisi di atas maka kita masih melihat keterkaitan lembaga
pendidikan yang mereka naungi dengan para pendahulunya saat orde baru masih
berkuasa. (Wallahu a’lam Bishawab).

Kepustakaan
Cahyana, Ade, Indonesia 2010: Merubah Mitos menjadi Realitas Pembangunan, From:
http://www.depdiknas.go.id/Jurnal/26/indonesia 2010 Ade Cahyana.htm,
sabtu, 16/9/ 2006, jam. 13.10.
Freire, Paulo, 1995, Pendidikan Kaum Tertindas, Terjemahan, Utomo Dananjaya,
LP3ES, Jakarta.
Kelompok Kerja Pengkajian dan Perumusan, Rangkuman Filosofi, Kebijaksanaan dan
Strategi Pendidikan Nasional, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
Republik Indonesia, 1999, Jakarta.
Mastuhu, 2003, Menata Ulang Pemikiran Sistem Pendidikan Nasional dalam Abad 21,
Safiria Insania Press dan MSI, Yogyakarta.
Musa, Ibrahim, Otonomi Penyelenggaraan Pendidikan Dasar dan Menengah, From:
http://202.159.18.43/jp/22ibrahim.htm, Akses, 5 Juni 2002
Nomida Musnir, Diana, 2000, Arah Pendidikan Nasional dalam Perspektif Historis,
dalam Buku: Sindhunata [editor], 2000, Menggagas Paradigma Baru
Pendidikan, Demokratisasi, Otonomi, Civil Society, Globalisasi, Kanisius,
Yogyakarta.
Purbo, Onno W., Pergeseran Drastis Paradigma Dunia Pendidikan, From:
http://bebas.vlsm.org/v09/onno-ind-1/application/education/pergeseran-
drastis-paradigma-dunia-pendidikan-1998.rtf, 7/11/2003.
Sanaky, Hujair AH., 2003, Paradigma Pendidikan Islam, Membangun Masyarakat
Madani Indonesia, Safiria Insania dan MSI, Yogyakarta.
--------, 2005, Sertifikasi dan Profesionalisme Guru di Era Reformasi Pendidikan, Jurnal
Pendidikan Islam [JPI], Volume XII TH VIII Juni 2005, ISSN: 0853-7437,
Jurusan Tarbiyah Fakultas Ilmu Agama UII, Yogyakarta.
----------, Paradigma Pembangunan Pendidikan di Indonesia Pasca Reformasi Antara
Mitos dan Realitas.
Suryadi, Ace, Pengelolaan Pendidikan Perlu Paradigma Baru, From:http://www.
Kompas.com/kompas-cetak/0010/16/DIKBUD/peng09.htm.,akses, Sabtu,
23/8/ 2003.
Suyanto & Djihad Hisyam, 2000, Refleksi dan Reformasi Pendidikan di Indonesia
Memasuki Milenium III, Adicita Karya Nusa, Yogyakarta.
Suyanto, 2006, Dinamika Pendidikan Nasional [Dalam Percaturan Dunia Global], PSAP
Muhammadiyah, Jakarta.
Soedjiarto, 1999. "Memahami Arahan Kebijakan GBHN 1999-2004 tentang Pendidikan
Sebagai Upaya Mencerdaskan Kehidupan Bangsa dan Membangun Peradaban
Negara bangsa Indonesia", Makalah, Primagama-IPSI-PGRI, Yogyakarta.
Tilaar, H.A.R., 1998, Beberapa Agenda Reformasi Pendidikan Nasional Dalam
Perspektif Abad 21, Tera Indonesia, Magelang.
Yacub, Muhammad, From: http://www.depdiknas.go.id/Jurnal/27/suatu opini mengenai
reformasi_s.htm, akses, Rabu,20/9/2006, jam.13.35.
Zamroni, 2000, Paradigma Pendidikan Masa Depan, Adipura, Yogyakarta.
Insentif bagi Industri yang Lakukan Pelatihan, Kompas, Kamis, 26 Juni 1997
Tempo, 7 Januari 2001
Lewat Persentase Anggaran, Belajar dari Negara Lain, Kompas, Sabtu, 2 Mei 1998
Kabupaten dan Kota Menjadi Basis Pengelolaan Pendidikan Dasar, Kompas, Rabu, 24
Februari 1999
Sekolah Plus, Menghitung Dengan Dollar, Suplemen, Tempo, 18 Maret 2001
Kasrai, Reza, Corporate University, CFS-Quebec Education Action, edisi musim gugur
2001. http://www.newyouth.com/archives/campaigns/mexico/UNAM.asp
RUU BHP, Skenario Neoliberalisme, SUARA PEMBARUAN DAILY, September 5,
2007
BHMN, Neoliberalisme Pendidikan, Suara Pembaruan March 15, 2007
Muhammad Roqib, M.Ag , Politik Pendidikan dan Pendidikan Politik Sebagai Upaya
Memajukan Bangsa, Jumat, 2008 Agustus 08
Pan Mohamad Faiz (New Delhi) , Polemik Inkonstitusionalitas Anggaran Pendidikan,
Dimuat pada H.U. Seputar Indonesia (05/05/07)
Pan Mohamad Faiz , Menanti Political Will Pemerintah di Sektor Pendidikan, Pikiran
Rakyat Bandung , October 05, 2006
Abu Khaulah Zainal Abidin , “Ideologi Pendidikan Kita” Maret 22, 2008, Posted by
rumahbelajaribnuabbas in Pendidikan.
Greg Russell, Bentuk Pemerintahan Berdasarkan Konstitusi (terj.), Demokrasi, Office of
International Information Programs, US. Dept. of States., tanpa tahun.
Richard C.Schroeder, Garis Besar Pemerintahan Amerika Serikat (terj.), Office of
International Information Programs – United States Dept. of States, 2000.
The center on Education Policy, Washington D.C., The Federal Role in US Education,
US Society and Values, e-journals of the U.S.. Department of State, vol 5 no.
2, June 2000.
Tiffany Danitz, The Standards Revolution In U.S. Schools, US Society and Values, e-
journals of the U.S.. Department of State, vol 5 no. 2, June 2000.
Anonim, The Federal Role in Education - Overview , US Department of Education in
http://www.ed.gov
Anonim, College Rankings, America’s "Top" Schools, US Society and Values, e-journals
of the U.S.. Department of State, , vol 10 no. 2, November 2005.
Judith S. Eaton, An Overview of U.S. Accreditation, publication of Council for Higher
Education Accreditation, tanpa tahun .
Robert H. Bruininks, Public Universities In The United States, US Society and Values, e-
journals of the U.S.. Department of State, , vol 10 no. 2, November 2005.
James W. Wagner, What Is A Large, Private Research University?, US Society and
Values, e-journals of the U.S.. Department of State, , vol 10 no. 2, November
2005.
Anonim, The Cost Of College In The United States, US Society and Values, e-journals of
the U.S.. Department of State, , vol 10 no. 2, November 2005.
Martina Schulze, Possible Sources Of Financial Aid, US Society and Values, e-journals
of the U.S.. Department of State, , vol 10 no. 2, November 2005.
Margaret S. Branson, At The Core Of U.S. Education, A Passion For Learning, US
Society and Values, e-journals of the U.S.. Department of State, vol 5 no. 2,
June 2000.

Hizbut Tahrir, How the Khilafah was Destroyed, Khilafah Publication, London 2000
Ideologi Pendidikan Sebuah Pengantar , Tuesday, March 18, 2008
http://www.fppm.org/Info%20Anda/pendidikan%20yang%20membebaskan.htm.
Mansour Faqih dan Toto Rahardjo. Pendidikan yang membebaskan, 09 Agustus 2002
http://www.pikiran-rakyat.com/Artikel/0802.htm.
Ahmad Dahidi & Miftachul Amri. Potret Pendidikan di Jepang, Sebuah Refleksi. 22 Mei
2003.
Agus Syafii <agussyafii@yaho...>, Problem Pendidikan di Era Reformasi, February 18,
2008
Kepentingan Politik Masih Terlihat Lebih Menonjol, http://www.kompas.co.id/kompas-
cetak/0708/08/humaniora/3750060.htm
Pendidikan Indonesia Alami Proses Involusi, Harian Kompas, 4 September 2004
Agung Pramanto (JIP'98)/Redaksi AP, Dilema Otonomi Pendidikan: Catatan Dari
Seminar Otonomi Pendidikan Nasional 2001 SMFSUI
Otonomi Pendidikan Masih Hadapi Banyak Kendala, Jakarta, Sinar Harapan, 2003
St Kartono , Memahami Otonomi Pendidikan beserta Implikasinya, SUARA
PEMBARUAN DAILY , 2002
Uni Eropa: Perdamaian Aceh Bukti Kekuatan Soft Power, TEMPO Interaktif, Jakarta,
Rabu, 13 Desember 2006 | 21:15 WIB
"Soft Power" dan Jejak Bush , Kompas, 21 Nopember 2006
Muhammad Roqib, M.Ag, Politik Pendidikan dan Pendidikan Politik Sebagai Upaya
memajukan Bangsa, http://roqibstain.blogspot.com/2008/08/politik-
pendidikan-dan-pendidikan.html
Marsudi Budi Utomo, 50 Tahun RI-Jepang, December 24, 2007
Novian Widiadharma, UIN Yogyakarta , Art, Soft Power, dan Tata Dunia Baru,
Wednesday, 13 August 2008 07:15
Nurani Soyomukti (Esai Politik): "Soft Power", Strategi Gerakan Anti Teror(Isme),
Sabtu, 2007 Agustus 25
Dino Patti Djalal Juru Bicara Kepresidenan, SBY dan "Soft Power" , URL Source:
http://www.kompas.com/kompas-cetak/0506/13/opini/1806887.htm
Megawati: Pandangan Tentang Pendidikan Murah dan Gratis, Menyesatkan, Rabu, 05
Mei 2004
Khoirul Anwar , Membangun Moral di abad Global , 15 Juni 2008 - 17:05
Iskandar Alisjahbana , Cyberspace dari Peradaban Gelombang-Ketiga "Sifat dan Hakekat
Manusia & Masyarakat di Dalam Era-Informasi" , Edisi ke Tujuh, April 1997
Baridul Islam Pr, “Abuse of Power” Kaum Intelektual, Purwokerto, 16 Maret 2003
Anonym, Masalah Pendidikan Di Indonesia, August 29, 2007
Yusufhadi Miarso, Pengembangan Terkini Sistem Pendidikan dan Pembelajaran di
Perguruan Tinggi, Disampaikan dalam Semiloka Pengajaran dan Program
Magang, Departemen Ilmu Hubungan Internasional, FISIP-UI, 2 Mei 2008
Banathy, Bela H. (1991). Systems Design of Education. A journey to create the future.
Englewood Cliffs, NJ: Educational Technology Publications
Dabbagh, Nada & Brenda Bannan-Ritland. Online Learning. Concept, strategies and
application. Columbus,OH : Pearson. 2005
Miarso, Yusufhadi. (2005). Menyemai Benih Teknologi Pendidikan. Jakarta: Pustekkom-
Kencana
Reigeluth, Charles M. and Robert J. Garfinkle. (eds.)(1994). Systemic Change in
Education. Englewood Cliffs, NJ: Educational Technology Publications
Toffler, Alvin. The Third Wave. London : Pan Books Ltd.
UNSCTD. Knowledge Society. Published for and on behalf of The Unted Nations.
Oxford,NY : Oxford University Press. 1998
Tim MWA Wakil Mahasiswa KM ITB dan Kastrat Kabinet KM ITB, Positioning Paper.
Pernyataan Sikap KM ITB terhadap RUU BHP BHP: Gaya Baru Otokrasi
Pendidikan Indonesia
NIM. Sistem Pendidikan Yang Berkarakter dan Berbudaya, February 28, 2007
Benedict Richard O'Gorman Anderson. Imagined Communities: Reflections on the
Origin and Spread of Nationalism. Edition: 2, revised. Verso, 1991
Bertrand Russell. Power: A New Social Analysis. Edition: 2. W.W.Norton & company,
1938
Chantal Mouffe . Gramsci and Marxist Theory: essays. Routledge, 1979
Dewey, John, 1974, The Child and The Curriculum,and The School and Society, Chicago
and London, The University of Chicago Press.
Giddens, Anthony, The Nation States and Violence: Volume Two of a Contemporary
Immanuel Maurice Wallerstein, Immanuel Wallerstein. The Modern World-
system II. Edition: 2. Academic Press, 1980
Masinambow, EKM (ed), 1997, Koentjaraningrat dan Antropologi Indonesia, Jakarta,
AAI dan Yayasan Obor Indonesia.
McQuail, Denis, 2000, Mass Communication Theories, Fourth edition, Sage Publication,
London
Michael Wallerstein : The Political Economy of Inequality, Unions, amd Social
Democracy. New York: Cambridge University Press, 2008
Renate Holub. Antonio Gramsci: Beyond Marxism and Postmodernism. Routledge, 1992
Rudolf Ekstein, Robert S. Wallerstein. The Teaching and Learning of Psychotherapy.
Edition: 2. Basic Books, 1958
Siswanta, Relasi kekuasaan: telaah pemikiran Antonio Gramsci dalam konteks politik
Indonesia kontemporer. Media Wacana, 2006
Sutaarga, Moh. Amir. 1997/1998. Pedoman Penyelenggaraan dan Pengelolaan Museum.
Jakarta: Proyek Pembangunan Permuseuman Jakarta
Vedi R. Hadiz, Benedict Richard O'Gorman Anderson. Politik, budaya, dan perubahan
sosial: Ben Anderson dalam studi politik Indonesia. Penerbit PT Gramedia
Pustaka Utama bekerja sama dengan Yayasan SPES, 1992
FX Sugiyanto, Ilusi Kurikulum Pendidikan dalam Kuasa Neoliberalisme , Saturday, 02
August 2008

Anda mungkin juga menyukai