Secara umum sistem pendidikan pada masa VOC dapat digambarkan sebagai berikut:
(1) Pendidikan Dasar; Berdasar peraturan tahun 1778, dibagi kedalam 3 kelas berdasar
rankingnya. Kelas 1 (tertinggi) diberi pelajaran membaca, menulis, agama, menyanyi dan
berhitung. Kelas 2 mata pelajarannya tidak termasuk berhitung. Sedangkan kelas 3
(terendah) materi pelajaran fokus pada alphabet dan mengeja kata-kata. Proses kenaikan
kelas tidak jelas disebutkan, hanya didasarkan pada kemampuan secara individual.
Pendidikan dasar ini berupaya untuk mendidik para murid-muridnya dengan budi pekerti.
Contoh pendidikan dasar ini antara lain Batavische school (Sekolah Betawi, berdiri tahun
1622); Burgerschool (Sekolah Warga-negara, berdiri tahun 1630); Dll.
(2) Sekolah Latin ; Diawali dengan sistem numpang-tinggal (in de kost) di rumah pendeta
tahun 1642. Sesuai namanya, selain bahasa Belanda dan materi agama, mata pelajaran
utamanya adalah bahasa Latin. Setelah mengalami buka-tutup, akhirnya sekolah ini
secara permanent ditutup tahun 1670.
(3) Seminarium Theologicum (Sekolah Seminari); Sekolah untuk mendidik calon-calon
pendeta, yang didirikan pertama kali oleh Gubernur Jenderal van Imhoff tahun 1745 di
Jakarta. Sekolah dibagi menjadi 4 kelas secara berjenjang. Kelas 1 belajar membaca,
menulis, bahasa Belanda, Melayu dan Portugis serta materi dasar-dasar agama. Kelas 2
pelajarannya ditambah bahasa Latin. Kelas 3 ditambah materi bahasa Yunani dan
Yahudi, filsafat, sejarah, arkeologi dan lainnya. Untuk kelas 4 materinya pendalaman
yang diasuh langsung oleh kepala sekolahnya. Sistem pendidikannya asrama dengan
durasi studi 5,5 jam sehari dan Sekolah ini hanya bertahan selama 10 tahun.
(4) Academie der Marine (Akademi Pelayanan); Berdiri tahun 1743, dimaksudkan untuk
mendidik calon perwira pelayaran dengan lama studi 6 tahun. Materi pelajarannya
meliputi matematika, bahasa Latin, bahasa ketimuran (Melayu, Malabar dan Persia),
navigasi, menulis, menggambar, agama, keterampilan naik kuda, anggar, dan dansa.
Tetapi iapun akhirnya ditutup tahun 1755.
(5) Sekolah Cina; 1737 didirikan untuk keturunan Cina yang miskin, tetapi sempat
vakum karena peristiwa de Chineezenmoord (pembunuhan Cina) tahun 1740.
selanjutnya, sekolah ini berdiri kembali secara swadaya dari masyarakat keturunan Cina
sekitar tahun 1753 dan 1787.
(6) Pendidikan Islam; Pendidikan untuk komunitas muslim relatif telah mapan melalui
lembaga-lembaga yang secara tradisional telah berkembang dan mengakar sejak proses
awal masuknya Islam ke Indonesia. VOC tidak ikut campur mengurusi atau
mengaturnya. Pada akhir abad ke-18, setelah VOC mengalami kebangkrutan, kekuasaan
Hindia Belanda akhirnya diserahkan kepada pemerintah kerajaan Belanda langsung. Pada
masa ini, pendidikan mulai memperoleh perhatian relatif maju dari sebelumnya.
Beberapa prinsip yang oleh pemerintah Belanda diambil sebagai dasar kebijakannya di
bidang pendidikan antara lain: (1) Menjaga jarak atau tidak memihak salah satu agama
tertentu; (2) Memperhatikan keselarasan dengan lingkungan sehingga anak didik kelak
mampu mandiri atau mencari penghidupan guna mendukung kepentingan kolonial; (3)
Sistem pendidikan diatur menurut pembedaan lapisan sosial, khususnya yang ada di
Jawa.; (4) Pendidikan diukur dan diarahkan untuk melahirkan kelas elit masyarakat yang
dapat dimanfaatkan sebagai pendukung supremasi politik dan ekonomi pemerintah
kolonial. Jadi secara tidak langsung, Belanda telah memanfaatkan kelas aristokrat
pribumi untuk melanggengkan status quo kekuasaan kolonial di Indonesia.
Era ini sesungguhnya telah beroleh pengaruh dari faham gerakan Aufklarung
(pencerahan) yang berkembang di Eropa. Di antara tesisnya menyebutkan tentang
penghargaan terhadap nalar, kebebasan spiritual serta sekularisasi agama dan negara.
Implikasi logis dari hal ini salah satunya adalah penyerahan pengelolaan pendidikan
kepada negara, bukan lagi kepada lembaga-lembaga keagamaan (gereja). Secara formil,
pemerintah Hindia Belanda telah mendirikan beberapa sekolah di Jawa sejak
kepemimpinan Daendels, yaitu sekolah artileri (1806) di Jatinegara, sekolah pelayaran
(1808) di Semarang, sekolah bidan (1809) di Jakarta, dan sekolah seni tari (1809) di
Cirebon. Daendels ini juga dikenal sebagai tokoh pertama yang menginstruksikan para
bupati agar mengusahakan pendirian sekolah-sekolah bagi remaja-remaja pribumi.
Janssens yang menggantikan Daendels juga meneruskan kebijakan yang serupa di bidang
pendidikan. Tetapi usahanya terinterupsi dengan kekalahan militer dan politik dari
kerajaan Inggris. Hindia Belanda selanjutnya dikelola oleh Inggris di bawah Raffles.
Secara kelembagaan formal, Inggris tidaklah menaruh perhatian besar kepada dunia
pendidikan bagi kaum pribumi. Hanya saja, mereka tergolong sangat berminat melakukan
eksplorasi ilmiah yang kemudian menghasilkan karya-karya intelektual yang cukup
monumental, antara lain: History of Java karya Raffles, sejarah Sumatera, kamus Melayu
dan pelajaran bahasa Melayu yang merupakan karya-karya Marsden, Java Government
Gazette yang memuat ilmu pengetahuan tentang daerah dan penduduk, hasil kajian botani
oleh Horsfield, dan juga kajian kepemilikan tanah di Jawa oleh Colin Mackenzie. Karya-
karya tersebut memberi kontribusi signifikan bagi dunia ilmu pengetahuan sekaligus
menjadi penanda khusus masa lima tahun (1811-1816) kekuasaan Inggris di Indonesia.
Masa pemulihan kekuasaan Belanda pasca pendudukan Inggris menjadi titik tolak baru
bagi perkembangan lebih maju dunia pendidikan di Indonesia.
Pada masa ini, pendidikan bagi pribumi kembali dirasa penting guna menopang
operasionalisasi pemerintahan Hindia Belanda. Gubernur Jenderal Van den Bosch (1829-
1834) yang dikenal sebagai penggagas Cultuurstelsel tercatat pernah menerbitkan edaran
agar didirikan sekolah dasar negeri di tiap karesidenan atas biaya Bijbelgenootschap
(persekutuan Injil) tahun 1831. Tetapi kurang beroleh tanggapan karena menyelisihi
prinsip netral sikap pemerintah dalam soal agama. Baru kemudian tahun 1848, dengan
keluarnya Keputusan Raja, diinstruksikan untuk mendirikan sekolah-sekolah pribumi
dengan pembiayaan sebesar f. 25.000 setahun yang dibebankan kepada pemerintah
Hindia Belanda untuk mendidik para calon pegawai negeri. Sejak itulah berdiri dan
berkembang sekolah-sekolah dari tingkat dasar dan lanjutan hingga tinggi yang
memperkenankan golongan pribumi (aristokrat) untuk turut menikmati pendidikan.
Untuk mengurusi pendidikan, agama dan kerajinan, pemerintah Hindia Belanda juga
telah membentuk departemen khusus pada tahun 1867. Perkembangan ini kemudian
sempat mengalami kemunduran karena krisis ekonomi dunia (malaise) yang berlangsung
hampir satu dekade (1883-1892).
Kesulitan keuangan dari Belanda akibat Perang Dipenogoro pada tahun 1825 sampai
1830 (Mestoko dkk,1985:11, Mubyarto,1987:26) serta perang Belanda dan Belgia (1830-
1839) mengeluarkan biaya yang mahal dan menelan banyak korban. Belanda membuat
siasat agar pengeluaran untuk peperangan dapat ditutupi dari negara jajahan. Kerja paksa
dianggap cara yang paling ampuh untuk memperoleh keuntungan yang maksimal yang
dikenal dengan cultuurstelsel atau tanam paksa (Nasution, 1987:11). Kerja paksa dapat
dijalankan sebagai cara yang praktis untuk meraup keuntungan sebesar-besarnya. Rakyat
miskin selalu menjadi bagian yang dirugikan karena digunakan sebagai tenaga kerja
murah. Rakyat miskin yang sebagian bekerja sebagai petani juga dimanfaatkan untuk
menambah kas negara penguasa.
Untuk melancarkan misi pendidikan demi pemenuhan tenaga kerja murah, pemerintah
mengusahakan agar bahasa Belanda bisa diujarkan oleh masyarakat untuk mempermudah
komunikasi antara pribumi dan Belanda. Lalu, bahasa Belanda menjadi syarat Klein
Ambtenaarsexamen atau ujian pegawai rendah pemerintah pada tahun 1864. (Nasution,
1987:7). Syarat tersebut harus dipenuhi para calon pegawai yang akan digaji murah.
Pegawai sedapat mungkin dipilih dari anak-anak kaum ningrat yang telah mempunyai
kekuasaan tradisional dan berpendidikan untuk menjamin keberhasilan perusahaan
(Nasution, 1987:12). Jadi, anak dari kaum ningrat dianggap dapat membantu menjamin
hasil tanam paksa lebih efektif, karena masyarakat biasa mengukuti perintah para ningrat.
Suatu keadaan yang sangat ironis, kehidupan terdiri dari lapisan-lapisan sosial yaitu
golongan yang dipertuan (orang Belanda) dan golongan pribumi sendiri terdapat
golongan bangsawan dan orang kebanyakan.
Kehidupan petani yang selalu ditekan bukan masalah yang baru. Petani menduduki posisi
sosial yang selalu dimanfaatkan, lahan pertanian merupakan tempat untuk
menggantungkan pendapatan dan hidup petani, terutama petani gurem. Petani menjadi
sapi perahan yang harus membayar pungutan resmi untuk membantu jalannya
pemerintahan dan penyuplai kebutuhan pejabat daerah (Mubyarto, 1987:24). Praktek
tanam paksa sekitar tahun 1830-1870 (di Yogyakarta, Solo, dan Priangan sampai 1918)
merupakan kesengsaraan yang tiada taranya dan memiliki kesan yang paling hitam bagi
petani dari masa penjajahan Belanda.
Politik Etis
Perkembangan pendidikan di Indonesia mendapati tahapan barunya menjadi lebih
progresif ketika memasuki tahun 1900, yakni era Ratu Juliana berkuasa di kerajaan
Belanda. Van Deventer yang menjabat sebagai Gubernur Jenderal Hindia Belanda
menerapkan politik etis (Etische Politiek) pada tahun 1899 dengan motto “de Eereschuld”
(hutang kehormatan) dan slogan “Educatie, Irigatie, Emigratie”. Pemerintah Belanda
lambat laun seolah-olah bertanggung jawab atas pendidikan anak Indonesia melalui
politik etis.
Prinsip-prinsip atau arah etis (etische koers) yang diterapkan di bidang pendidikan pada
masa ini adalah: (1) Pendidikan dan pengetahuan Barat diterapkan sebanyak mungkin
bagi pribumi. Bahasa Belanda diupayakan menjadi bahasa pengantar pendidikan; (2)
Pendidikan rendah bagi pribumi disesuaikan dengan kebutuhan mereka. Sistem
pendidikan pada masa ini belum lepas dari pola stratifikasi sosial yang telah ada, dan
beroleh pengesahan legal sejak tahun 1848 dari penguasa kolonial. Dalam stratifikasi
resmi tersebut dinyatakan bahwa penduduk dibagi kedalam 4 (empat) golongan: (1)
Golongan Eropa; (2) Golongan yang dipersamakan dengan Eropa; (3) Golongan
Bumiputera; dan (4) Golongan yang dipersamakan dengan Bumiputera. Tahun 1920,
rumusan ini mengalami revisi menjadi seperti berikut ini: (1) Golongan Eropa; (2)
Golongan Bumiputera; dan (3) Golongan Timur Asing. Perlu dicatat bahwa untuk
golongan pribumi (bumiputera), secara sosial terstratifikasi sebagai berikut: (1) Golongan
bangsawan (aristokrat) dan pemimpin adat; (2) Pemimpin agama (Ulama); dan (3)
Rakyat biasa.
Secara umum, sistem pendidikan di Indonesia pada masa penjajahan Belanda sejak
diterapkannya Politik Etis dapat digambarkan sebagai berikut: (1) Pendidikan dasar
meliputi jenis sekolah dengan pengantar Bahasa Belanda (ELS, HCS, HIS), sekolah
dengan pengantar bahasa daerah (IS, VS, VgS), dan sekolah peralihan. (2) Pendidikan
lanjutan yang meliputi pendidikan umum (MULO, HBS, AMS) dan pendidikan kejuruan.
(3) Pendidikan tinggi.
Pendidikan dibuat berjenjang, tidak berlaku untuk semua kalangan, dan berdasarkan
tingkat kelas. Pendidikan lebih diutamakan untuk anak-anak Belanda, sedangkan untuk
anak-anak Indonesia dibuat dengan kualitas yang lebih rendah. Pendidikan bagi pribumi
berfungsi untuk menyediakan tenaga kerja murah yang sangat dibutuhkan oleh penguasa.
Sarana pendidikan dibuat dengan biaya yang rendah dengan pertimbangan kas yang terus
habis karena berbagai masalah peperangan.
Politik etis dijalankan berdasarkan faktor ekonomi di dalam maupun di luar Indonesia,
seperti kebangkitan Asia, timbulnya Jepang sebagai Negara modern yang mampu
menaklukkan Rusia, dan perang dunia pertama (Nasution, 1987:17). Politik etis terutama
sebagai alat perusahaan raksasa yang bermotif ekonomis agar upah kerja serendah
mungkin untuk mencapai keuntungan yang maksimal. Irigasi, transmigrasi, dan
pendidikan yang dicanangkan sebagai kedok untuk siasat meraup keuntungan. Irigasi
dibuat agar panen padi tidak terancam gagal dan memperoleh hasil yang lebih
memuaskan. Transmigrasi berfungsi untuk penyebaran tenaga kerja, salah satunya untuk
pekerja perkebunan. Politik etis menjadi program yang merugikan rakyat.
Pendidikan dasar berkembang sampai tahun 1930 dan terhambat karena krisis dunia,
tidak terkecuali menerpa Hindia Belanda yang disebut mengalami malaise (Mestoko dkk,
1985 :123). Masa krisis ekonomi merintangi perkembangan lembaga pendidikan. Lalu,
lembaga pendidikan dibuat dengan biaya yang lebih murah. Kebijakan yang dibuat
termasuk penyediaan tenaga pengajar yang terdiri dari tenaga guru untuk sekolah dasar
yang tidak mempunyai latar belakang pendidikan guru (Mestoko, 1985:158), bahkan
lulusan sekolah kelas dua dianggap layak menjadi guru. Masalah lain yang paling
mendasar adalah penduduk sulit mendapatkan uang sehingga pendidikan bagi orang
kurang mampu merupakan beban yang berat. Jadi, pendidikan semakin sulit dijangkau
oleh orang kebanyakan. Pendidikan dibuat untuk alat penguasa, orang kebanyakan
menjadi target yang empuk diberi pengetahuan untuk dijadikan tenaga kerja yang murah.
Pemerintah Belanda juga membuat sekolah desa. Sekolah desa sebagai siasat untuk
mengeluarkan biaya yang murah. Sekolah desa diciptakan pada tahun 1907. Tipe sekolah
desa yang dianggap paling cocok oleh Gubernur Jendral Van Heutz sebagai sekolah
murah dan tidak mengasingkan dari kehidupan agraris (Nasution, 1987:78). Kalau
lembaga pendidikan disamakan dengan sekolah kelas dua, pemerintah takut penduduk
tidak bekerja lagi di sawah. Penduduk diupayakan tetap menjadi tenaga kerja demi
mengamankan hasil panen.
Sekolah desa dibuat dengan biaya serendah mungkin. Pesantren diubah menjadi
madrasah yang memiliki kurikulum bersifat umum. Pesantren dibumbui dengan
pengetahuan umum. Cara tersebut dianggap efektif, sehingga pemerintah tidak usah
membangun sekolah dan mengeluarkan biaya (Nasution, 1987:80). Guru sekolah diambil
dari lulusan sekolah kelas dua, dianggap sanggup menjadi guru sekolah desa. Guru yang
lebih baik akan digaji lebih mahal dan tidak bersedia untuk mengajar di lingkungan desa.
Masa penjajahan Belanda berkaitan dengan pendidikan merupakan catatan sejarah yang
kelam. Penjajah membuat pendidikan sebagai alat untuk meraup keuntungan melalui
tenaga kerja murah. Sekolah juga dibuat dengan biaya yang murah, agar tidak
membebani kas pemerintah. Politik etis menjadi tidak etis dalam pelaksanaannya,
kepentingan biaya perang yang sangat mendesak dan berbagai masalah lain menjadi
kenyataan yang tercatat dalam sejarah pendidikan masa Belanda.
Jepang juga memandang perlu melatih guru-guru agar memiliki keseragaman pengertian
tentang maksud dan tujuan pemerintahannya. Materi pokok dalam latihan tersebut antara
lain: (1) Indoktrinasi ideologi Hakko Ichiu; (2) Nippon Seisyin, yaitu latihan kemiliteran
dan semangat Jepang; (3) Bahasa, sejarah dan adat-istiadat Jepang; (4) Ilmu bumi dengan
perspektif geopolitis; serta (5) Olaharaga dan nyanyian Jepang. Sementara untuk
pembinaan kesiswaan, Jepang mewajibkan bagi setiap murid sekolah untuk rutin
melakukan beberapa aktivitas berikut ini: (1) Menyanyikan lagi kebangsaan Jepang,
Kimigayo setiap pagi; (2) Mengibarkan bendera Jepang, Hinomura dan menghormat
Kaisar Jepang, Tenno Heika setiap pagi; (3) setiap pagi mereka juga harus melakukan
Dai Toa, bersumpah setia kepada cita-cita Asia Raya; (4) Setiap pagi mereka juga
diwajibkan melakukan Taiso, senam Jepang; (5) Melakukan latihan-latihan fisik dan
militer; (7) Menjadikan bahasa Indonesia sebagai pengantar dalam pendidikan. Bahasa
Jepang menjadi bahasa yang juga wajib diajarkan.
Taman Siswa misalnya terpaksa harus mengubah Taman Dewasa menjadi Taman Tani,
sementara Taman Guru dan Taman Madya tetap tutup. Kebijakan ini menyebabkan
terjadinya kemunduran yang luar biasa bagi dunia pendidikan dilihat dari aspek
kelembagaan dan operasonalisasi pendidikan lainnya.
Sementara itu terhadap pendidikan Islam, Jepang mengambil beberapa kebijakan antara
lain: (1) Mengubah Kantoor Voor Islamistische Zaken pada masa Belanda yang dipimpin
kaum orientalis menjadi Sumubi yang dipimpin tokoh Islam sendiri, yakni K.H. Hasyim
Asy’ari. Di daerah-daerah dibentuk Sumuka; (2) Pondok pesantren sering mendapat
kunjungan dan bantuan pemerintah Jepang; (3) Mengizinkan pembentukan barisan
Hizbullah yang mengajarkan latihan dasar seni kemiliteran bagi pemuda Islam di bawah
pimpinan K.H. Zainal Arifin; (4) Mengizinkan berdirinya Sekolah Tinggi Islam di
Jakarta di bawah asuhan K.H. Wahid Hasyim, Kahar Muzakkir dan Bung Hatta; (4)
Diizinkannya ulama dan pemimpin nasionalis membentuk barisan Pembela Tanah Air
(PETA) yang belakangan menjadi cikal-bakal TNI di zaman kemerdekaan; dan (5)
Diizinkannya Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI) terus beroperasi, sekalipun kemudian
dibubarkan dan diganti dengan Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi) yang
menyertakan dua ormas besar Islam, Muhammadiyah dan NU. Lepas dari tujuan semula
Jepang memfasilitasi berbagai aktivitas kaum muslimin ketika itu, nyatanya hal ini
membantu perkembangan Islam dan keadaan umatnya setelah tercapainya kemerdekaan.
Sejarah Belanda sampai Jepang dipahami sebagai alur penjelasan kalau pendidikan
digunakan sebagai alat komoditas oleh penguasa. Pendidikan dibuat dan diajarkan untuk
melatih orang-orang menjadi tenaga kerja yang murah. Runtutan penjajahan Belanda dan
Jepang menjadikan pendidikan sebagai senjata ampuh untuk menempatkan penduduk
sebagai pendukung biaya untuk perang melalui berbagai sumber pendapatan pihak
penjajah. Pendidikan pula yang akan dikembangkan untuk membangun negara Indonesia
setelah merdeka.
Kemerdekaan Indonesia tidak membuat nasib orang tidak mampu terutama dari sektor
pertanian menjadi lebih baik. Pemaksaan atau perintah halus gampang muncul kembali,
contoh yang paling terkenal dengan akibat yang hampir serupa seperti cara-cara dan
praktek pada jaman Jepang, bimas gotong royong yang diadakan pada tahun 1968-1969
disebut bimas gotong royong karena merupakan usaha gotong royong antara pemerintah
dan swasta (asing dan nasional) untuk meyelenggarakan intensifikasi pertanian dengan
menggunakan metode Bimas (Fakih, 2002:277, Mubyarto, 1987:37). Adapun tujuannya
adalah untuk meningkatkan produksi beras dalam waktu sesingkat mungkin dengan
mengenalkan bibit padi unggul baru yaitu Peta Baru (PB) 5 dan PB 8.37. Pada jaman
penjajahan Belanda juga pernah dilakukan cultuurstelsel, Jepang memaksakan
penanaman bibit dari Taiwan. Jadi, rakyat dipaksakan mengikuti kemauan dari pihak
penguasa. Cara tersebut kurang lebih sama dengan yang dilakukan oleh pemerintah
Indonesia sebagai cara untuk menghasilkan panen yang lebih maksimal. Muller
(1979:73) menyatakan berdasarkan penelitian yang dilakukan di Indonesia bahwa
sebagian besar masyarakat yang masih hidup dalam kemiskinan, paling-paling hanya bisa
memenuhi kebutuhan hidup yang paling minim, dan hampir tidak bisa beradaptasi aktif
sedangkan golongan atas hidup dalam kemewahan.
Pendidikan pada masa Belanda, Jepang dan setelah kemerdekaan sulit dicapai oleh orang-
orang dari rumah tangga kurang mampu. Mereka diajarkan dan diberi pengetahuan untuk
kepentingan pihak penguasa. Mereka dijadikan tenaga kerja yang diandalkan untuk
mencapai keuntungan yang maksimal. Setelah jaman kemerdekaan, rakyat dari rumah
tangga kurang mampu terus menjadi sumber pemaksaan secara halus untuk
pengembangan bibit padi unggul. Pendidikan sebagai alat penguasa untuk
mengembangkan program yang dianggap dapat mendukung peningkatan pemasukan
pemerintah. dari awal kemerdekaan. Pada masa perjuangan kemerdekaan, dapat dilihat
atau setidaknya mendengarkan kesaksian dari para sesepuh kita bagaimana proses
pendidikan dijalankan oleh pemerintah. Periode tahun 1908-1945 ditandai dengan
kehadiran para pemimpin politik yang penuh dedikasi dan gigih dalam perjuangan di
bidang pendidikan, sehingga mereka dapat dipandang sebagai tokoh sekaligus pemimpin
politik yang pantas ditiru. Dokter Wahidin Sudirohusodo kala itu begitu yakin bahwa
pendidikan merupakan solusi utama guna mengentaskan bangsa dari keterbelakangan dan
kemelaratan. Demikian pula dengan Ki Hajar Dewantara yang mengemas pemikirannya
tentang pendidikan dalam sebuah konsep sederhana namun begitu dalam filosofinya: Ing
Ngarso sung Tulodho, Ing Madyo Mangun Karso, Tut Wuri Handayani, yang artinya “di
depan memberi contoh, di tengah membangun semangat, dan di belakang mengawasi”.
Begitu pula di awal masa kemerdekaan, masalah pendidikan nasional telah memperoleh
cukup banyak perhatian dari elite politik yang ada. Jika kita membuka kembali lembaran
sejarah, proklamator Bung Hatta merupakan salah satu tokoh yang gencar menyuarakan
pentingnya pendidikan nasional bagi kemajuan bangsa sejak zaman kolonialisme.
Bahkan “guru besar” ilmu ekonomi pertumbuhan W.W. Rostow langsung turun tangan
datang ke Indonesia untuk memberikan ceramah-ceramah ke univeristas-universitas
terkemuka di Indonesia. Tak pelak kemudian, jika universitas di Indonesia dikuasai oleh
pikiran dan praktek kapitalisme. Di sekolah militer yang kemudian melahirkan “perwira
intelektual” juga berhasil menjadi ujung tombak kekuasaan kapitalisme dengan
bercokolnya mereka di wilayah kekuasaan strategis ditahun 1970-an seperti Mayjen
Umar Wirahadikusumah di Badan Pemeriksa Keuangan, Kolonel Sutjipto dan Mayjen
Muskita di Departemen Perdagangan, Kolonel Sumudarsono dan Mayjen Tirtajasa di
Departemen Perindustrian serta Brigjen Piet Harjono dan Brigjen Tahir di Departemen
Keuangan.
Rekayasa Sosial
Jika di bidang ekonomi orientasi pertumbuhan menjadi titik pokok utama, maka di
bidang ilmu social diperlakukan penyelarasan melalui rekayasa social atau social
engineering dengan merancang strategi modernisasi.Sejalan dengan orientasi
pertumbuhan dan pasar di bidang ekonomi, para ahli ilmu sosial merancang strategi
modernisasi, sebuah strategi penghilangan nilai tradisional yang dianggap menghambat
proses menuju masyarakat “beradab”, yakni modern. Salah satu produknya yakni politik
masa mengambang, yakni sebuah alat politik untuk menjauhkan rakyat dari proses
pengambilan keputusan dengan anggapan bahwa masyarakat Indonesia masih
terbelakang dan karenanya diperlukan elit sebagai penentu arah, merumuskan konsep,
dan melaksanakan sekaligus mengevaluasi. Kepentingan ini sejalan dengan harapan
militer menciptakan stabilitas nasional untuk mengamankan modal, produk-produk
lainnya antara lain, revolusi hijau dan Panca Usaha Tani (pertanian) program yang
dijalankan oleh lulusan lembaga riset IRRI seperti: Menteri Pertanian Wardojo,
Syarifuddin Karama dan Farid Bahar serta tak kurang dari 832 lulusan lainnya,
Transmigrasi – praktek ini dijalankan oleh Menteri Transmigrasi Martono atas bekal
pinjaman 820 juta dollar dari Bank Dunia- dan Keluarga Berencana (kependudukan),
reboisasi, HPH, HGU (kehutanan), sekulerisasi (teologi).
Di bidang psikologi, kaum intelektual kita direkrut sebagai pengklasifikasi para tahanan
sekaligus menentukan nasib mereka, ahli komunikasi seperti Alwi Dahlan dan Hidayat
Mukmin dijadikan “juru penerangan” menyebarluaskan pengertian di kalangan
masyarakat mengenai bahaya laten dari sisa-sisa G-30-S/PKI maupun golongan ekstrem
dan subversif lainnya”, imbalan dari kerja Alwi Dahlan adalah ketua BP7 sebuah alat
indoktrinasi negara disemua lapisan negara, dengan program yang kita kenal sebagai
penataran P4.
Tidak hanya berhenti di sektor pendidikan sekolah, kepentingan kaum kapitalis juga
termaktub dengan dibentuknya kelompok studi seperti Centre for Strategic and
International Studies (CSIS). Lembaga ini didirikan oleh persekutuan pemilik modal-
militer dan kaum intelektual antara lain oleh Ali Moertopo, Soedjono Hoemardani,
Sofyan dan Jusuf Wanandi, serta Harry Tjhan Silalahi. Tahun 1971 mereka berperan
besar bagi kemenangan Golkar dalam pemilihan umum, dengan menyingkirkan kekuatan
politik yang potensial menjadi penghalang. CSIS juga menghasilkan kajian mengenai
orientasi kebijakan pembangunan, seperti 25 Tahun Akselerasi Modernisasi dan
Pembangunan yang ditulis Ali Moertopo tahun 1973, sebuah kajian untuk melegitimasi
kepentingan pemilik modal demi proyek lanjutan yang akan dilobi oleh Sofyan Wanandi
dan Soedjono Hoemardani. Untuk kaum “akademis”, ruang bagi perjalanan penguat
legitimasi juga dibuka melalui para intelektual-akademisi yang pro modernisasi ala
developmentalism diantaranya Selo Soemardjan, Harsja Bachtiar, Astrid Susanto,
Mattulada dan Miriam Budiardjo yang menguasai program-program studi ilmu sosial di
beberapa universitas terkemuka.
Beberapa intelektual yang terjun bebas ke jurang neo liberal dapat diidentifikasi dari
pikiran dan prakteknya dalam melakukan analisis, yang hanya berpijak pada kesalahan
pelaku birokrasi pemerintah ataupun pengusaha nasional dan takut untuk berbicara pada
kesalahan sistem-struktur yang tidak adil yakni neo liberal; diantara mereka adalah
menteri, pejabat di lembaga finansial atau penerima proyek dari penganut neo liberal.
Selain itu beberapa juga menjadi “broker” bagi penguatan civil society melalui program
partnership. Jika melihat komposisi di atas maka kita masih melihat keterkaitan lembaga
pendidikan yang mereka naungi dengan para pendahulunya saat orde baru masih
berkuasa. (Wallahu a’lam Bishawab).
Kepustakaan
Cahyana, Ade, Indonesia 2010: Merubah Mitos menjadi Realitas Pembangunan, From:
http://www.depdiknas.go.id/Jurnal/26/indonesia 2010 Ade Cahyana.htm,
sabtu, 16/9/ 2006, jam. 13.10.
Freire, Paulo, 1995, Pendidikan Kaum Tertindas, Terjemahan, Utomo Dananjaya,
LP3ES, Jakarta.
Kelompok Kerja Pengkajian dan Perumusan, Rangkuman Filosofi, Kebijaksanaan dan
Strategi Pendidikan Nasional, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
Republik Indonesia, 1999, Jakarta.
Mastuhu, 2003, Menata Ulang Pemikiran Sistem Pendidikan Nasional dalam Abad 21,
Safiria Insania Press dan MSI, Yogyakarta.
Musa, Ibrahim, Otonomi Penyelenggaraan Pendidikan Dasar dan Menengah, From:
http://202.159.18.43/jp/22ibrahim.htm, Akses, 5 Juni 2002
Nomida Musnir, Diana, 2000, Arah Pendidikan Nasional dalam Perspektif Historis,
dalam Buku: Sindhunata [editor], 2000, Menggagas Paradigma Baru
Pendidikan, Demokratisasi, Otonomi, Civil Society, Globalisasi, Kanisius,
Yogyakarta.
Purbo, Onno W., Pergeseran Drastis Paradigma Dunia Pendidikan, From:
http://bebas.vlsm.org/v09/onno-ind-1/application/education/pergeseran-
drastis-paradigma-dunia-pendidikan-1998.rtf, 7/11/2003.
Sanaky, Hujair AH., 2003, Paradigma Pendidikan Islam, Membangun Masyarakat
Madani Indonesia, Safiria Insania dan MSI, Yogyakarta.
--------, 2005, Sertifikasi dan Profesionalisme Guru di Era Reformasi Pendidikan, Jurnal
Pendidikan Islam [JPI], Volume XII TH VIII Juni 2005, ISSN: 0853-7437,
Jurusan Tarbiyah Fakultas Ilmu Agama UII, Yogyakarta.
----------, Paradigma Pembangunan Pendidikan di Indonesia Pasca Reformasi Antara
Mitos dan Realitas.
Suryadi, Ace, Pengelolaan Pendidikan Perlu Paradigma Baru, From:http://www.
Kompas.com/kompas-cetak/0010/16/DIKBUD/peng09.htm.,akses, Sabtu,
23/8/ 2003.
Suyanto & Djihad Hisyam, 2000, Refleksi dan Reformasi Pendidikan di Indonesia
Memasuki Milenium III, Adicita Karya Nusa, Yogyakarta.
Suyanto, 2006, Dinamika Pendidikan Nasional [Dalam Percaturan Dunia Global], PSAP
Muhammadiyah, Jakarta.
Soedjiarto, 1999. "Memahami Arahan Kebijakan GBHN 1999-2004 tentang Pendidikan
Sebagai Upaya Mencerdaskan Kehidupan Bangsa dan Membangun Peradaban
Negara bangsa Indonesia", Makalah, Primagama-IPSI-PGRI, Yogyakarta.
Tilaar, H.A.R., 1998, Beberapa Agenda Reformasi Pendidikan Nasional Dalam
Perspektif Abad 21, Tera Indonesia, Magelang.
Yacub, Muhammad, From: http://www.depdiknas.go.id/Jurnal/27/suatu opini mengenai
reformasi_s.htm, akses, Rabu,20/9/2006, jam.13.35.
Zamroni, 2000, Paradigma Pendidikan Masa Depan, Adipura, Yogyakarta.
Insentif bagi Industri yang Lakukan Pelatihan, Kompas, Kamis, 26 Juni 1997
Tempo, 7 Januari 2001
Lewat Persentase Anggaran, Belajar dari Negara Lain, Kompas, Sabtu, 2 Mei 1998
Kabupaten dan Kota Menjadi Basis Pengelolaan Pendidikan Dasar, Kompas, Rabu, 24
Februari 1999
Sekolah Plus, Menghitung Dengan Dollar, Suplemen, Tempo, 18 Maret 2001
Kasrai, Reza, Corporate University, CFS-Quebec Education Action, edisi musim gugur
2001. http://www.newyouth.com/archives/campaigns/mexico/UNAM.asp
RUU BHP, Skenario Neoliberalisme, SUARA PEMBARUAN DAILY, September 5,
2007
BHMN, Neoliberalisme Pendidikan, Suara Pembaruan March 15, 2007
Muhammad Roqib, M.Ag , Politik Pendidikan dan Pendidikan Politik Sebagai Upaya
Memajukan Bangsa, Jumat, 2008 Agustus 08
Pan Mohamad Faiz (New Delhi) , Polemik Inkonstitusionalitas Anggaran Pendidikan,
Dimuat pada H.U. Seputar Indonesia (05/05/07)
Pan Mohamad Faiz , Menanti Political Will Pemerintah di Sektor Pendidikan, Pikiran
Rakyat Bandung , October 05, 2006
Abu Khaulah Zainal Abidin , “Ideologi Pendidikan Kita” Maret 22, 2008, Posted by
rumahbelajaribnuabbas in Pendidikan.
Greg Russell, Bentuk Pemerintahan Berdasarkan Konstitusi (terj.), Demokrasi, Office of
International Information Programs, US. Dept. of States., tanpa tahun.
Richard C.Schroeder, Garis Besar Pemerintahan Amerika Serikat (terj.), Office of
International Information Programs – United States Dept. of States, 2000.
The center on Education Policy, Washington D.C., The Federal Role in US Education,
US Society and Values, e-journals of the U.S.. Department of State, vol 5 no.
2, June 2000.
Tiffany Danitz, The Standards Revolution In U.S. Schools, US Society and Values, e-
journals of the U.S.. Department of State, vol 5 no. 2, June 2000.
Anonim, The Federal Role in Education - Overview , US Department of Education in
http://www.ed.gov
Anonim, College Rankings, America’s "Top" Schools, US Society and Values, e-journals
of the U.S.. Department of State, , vol 10 no. 2, November 2005.
Judith S. Eaton, An Overview of U.S. Accreditation, publication of Council for Higher
Education Accreditation, tanpa tahun .
Robert H. Bruininks, Public Universities In The United States, US Society and Values, e-
journals of the U.S.. Department of State, , vol 10 no. 2, November 2005.
James W. Wagner, What Is A Large, Private Research University?, US Society and
Values, e-journals of the U.S.. Department of State, , vol 10 no. 2, November
2005.
Anonim, The Cost Of College In The United States, US Society and Values, e-journals of
the U.S.. Department of State, , vol 10 no. 2, November 2005.
Martina Schulze, Possible Sources Of Financial Aid, US Society and Values, e-journals
of the U.S.. Department of State, , vol 10 no. 2, November 2005.
Margaret S. Branson, At The Core Of U.S. Education, A Passion For Learning, US
Society and Values, e-journals of the U.S.. Department of State, vol 5 no. 2,
June 2000.
Hizbut Tahrir, How the Khilafah was Destroyed, Khilafah Publication, London 2000
Ideologi Pendidikan Sebuah Pengantar , Tuesday, March 18, 2008
http://www.fppm.org/Info%20Anda/pendidikan%20yang%20membebaskan.htm.
Mansour Faqih dan Toto Rahardjo. Pendidikan yang membebaskan, 09 Agustus 2002
http://www.pikiran-rakyat.com/Artikel/0802.htm.
Ahmad Dahidi & Miftachul Amri. Potret Pendidikan di Jepang, Sebuah Refleksi. 22 Mei
2003.
Agus Syafii <agussyafii@yaho...>, Problem Pendidikan di Era Reformasi, February 18,
2008
Kepentingan Politik Masih Terlihat Lebih Menonjol, http://www.kompas.co.id/kompas-
cetak/0708/08/humaniora/3750060.htm
Pendidikan Indonesia Alami Proses Involusi, Harian Kompas, 4 September 2004
Agung Pramanto (JIP'98)/Redaksi AP, Dilema Otonomi Pendidikan: Catatan Dari
Seminar Otonomi Pendidikan Nasional 2001 SMFSUI
Otonomi Pendidikan Masih Hadapi Banyak Kendala, Jakarta, Sinar Harapan, 2003
St Kartono , Memahami Otonomi Pendidikan beserta Implikasinya, SUARA
PEMBARUAN DAILY , 2002
Uni Eropa: Perdamaian Aceh Bukti Kekuatan Soft Power, TEMPO Interaktif, Jakarta,
Rabu, 13 Desember 2006 | 21:15 WIB
"Soft Power" dan Jejak Bush , Kompas, 21 Nopember 2006
Muhammad Roqib, M.Ag, Politik Pendidikan dan Pendidikan Politik Sebagai Upaya
memajukan Bangsa, http://roqibstain.blogspot.com/2008/08/politik-
pendidikan-dan-pendidikan.html
Marsudi Budi Utomo, 50 Tahun RI-Jepang, December 24, 2007
Novian Widiadharma, UIN Yogyakarta , Art, Soft Power, dan Tata Dunia Baru,
Wednesday, 13 August 2008 07:15
Nurani Soyomukti (Esai Politik): "Soft Power", Strategi Gerakan Anti Teror(Isme),
Sabtu, 2007 Agustus 25
Dino Patti Djalal Juru Bicara Kepresidenan, SBY dan "Soft Power" , URL Source:
http://www.kompas.com/kompas-cetak/0506/13/opini/1806887.htm
Megawati: Pandangan Tentang Pendidikan Murah dan Gratis, Menyesatkan, Rabu, 05
Mei 2004
Khoirul Anwar , Membangun Moral di abad Global , 15 Juni 2008 - 17:05
Iskandar Alisjahbana , Cyberspace dari Peradaban Gelombang-Ketiga "Sifat dan Hakekat
Manusia & Masyarakat di Dalam Era-Informasi" , Edisi ke Tujuh, April 1997
Baridul Islam Pr, “Abuse of Power” Kaum Intelektual, Purwokerto, 16 Maret 2003
Anonym, Masalah Pendidikan Di Indonesia, August 29, 2007
Yusufhadi Miarso, Pengembangan Terkini Sistem Pendidikan dan Pembelajaran di
Perguruan Tinggi, Disampaikan dalam Semiloka Pengajaran dan Program
Magang, Departemen Ilmu Hubungan Internasional, FISIP-UI, 2 Mei 2008
Banathy, Bela H. (1991). Systems Design of Education. A journey to create the future.
Englewood Cliffs, NJ: Educational Technology Publications
Dabbagh, Nada & Brenda Bannan-Ritland. Online Learning. Concept, strategies and
application. Columbus,OH : Pearson. 2005
Miarso, Yusufhadi. (2005). Menyemai Benih Teknologi Pendidikan. Jakarta: Pustekkom-
Kencana
Reigeluth, Charles M. and Robert J. Garfinkle. (eds.)(1994). Systemic Change in
Education. Englewood Cliffs, NJ: Educational Technology Publications
Toffler, Alvin. The Third Wave. London : Pan Books Ltd.
UNSCTD. Knowledge Society. Published for and on behalf of The Unted Nations.
Oxford,NY : Oxford University Press. 1998
Tim MWA Wakil Mahasiswa KM ITB dan Kastrat Kabinet KM ITB, Positioning Paper.
Pernyataan Sikap KM ITB terhadap RUU BHP BHP: Gaya Baru Otokrasi
Pendidikan Indonesia
NIM. Sistem Pendidikan Yang Berkarakter dan Berbudaya, February 28, 2007
Benedict Richard O'Gorman Anderson. Imagined Communities: Reflections on the
Origin and Spread of Nationalism. Edition: 2, revised. Verso, 1991
Bertrand Russell. Power: A New Social Analysis. Edition: 2. W.W.Norton & company,
1938
Chantal Mouffe . Gramsci and Marxist Theory: essays. Routledge, 1979
Dewey, John, 1974, The Child and The Curriculum,and The School and Society, Chicago
and London, The University of Chicago Press.
Giddens, Anthony, The Nation States and Violence: Volume Two of a Contemporary
Immanuel Maurice Wallerstein, Immanuel Wallerstein. The Modern World-
system II. Edition: 2. Academic Press, 1980
Masinambow, EKM (ed), 1997, Koentjaraningrat dan Antropologi Indonesia, Jakarta,
AAI dan Yayasan Obor Indonesia.
McQuail, Denis, 2000, Mass Communication Theories, Fourth edition, Sage Publication,
London
Michael Wallerstein : The Political Economy of Inequality, Unions, amd Social
Democracy. New York: Cambridge University Press, 2008
Renate Holub. Antonio Gramsci: Beyond Marxism and Postmodernism. Routledge, 1992
Rudolf Ekstein, Robert S. Wallerstein. The Teaching and Learning of Psychotherapy.
Edition: 2. Basic Books, 1958
Siswanta, Relasi kekuasaan: telaah pemikiran Antonio Gramsci dalam konteks politik
Indonesia kontemporer. Media Wacana, 2006
Sutaarga, Moh. Amir. 1997/1998. Pedoman Penyelenggaraan dan Pengelolaan Museum.
Jakarta: Proyek Pembangunan Permuseuman Jakarta
Vedi R. Hadiz, Benedict Richard O'Gorman Anderson. Politik, budaya, dan perubahan
sosial: Ben Anderson dalam studi politik Indonesia. Penerbit PT Gramedia
Pustaka Utama bekerja sama dengan Yayasan SPES, 1992
FX Sugiyanto, Ilusi Kurikulum Pendidikan dalam Kuasa Neoliberalisme , Saturday, 02
August 2008