Anti-Humanisme: Kritik Ideologi dan Upaya Purifikasi atas Marx
Dimas Aditya Wicaksono
Humanisme bukanlah suatu gagasan baru dalam sejarah. Terhitung semenjak antroposentrisme Renaisans telah berhasil menggeser hegemoni sosok Tuhan dalam setiap upaya diskrusus dan aktivitas intelektual-kesenian, gagasan Humanisme telah menempati takhta tertinggi dalam pandangan-dunia tiap-tiap individu di Barat, serta kemudian hampir di seluruh dunia melalui ekspansi kolonial negara-negara “misionaris humanisme” tersebut dan juga jejaring interkoneksi antar masyarakat seluruh dunia dalam konteks globalisasi masa kini. Puncaknya pada masa Pencerahan (Aufklärung), optimisitas Humanisme yang ditaruh pada diri individu manusia sebagai sosok yang mandiri, bebas dan rasional tersimbolisasi melalui ungkapan Immanuel Kant: “Sapere Aude!”, beranilah menggunakan akalmu! Dengan demikian, manusia melalui kemandirian rasionya sudah selayaknya menjadi pusat realitas tanpa pengecualian yang akan memberikan terang bagi jalan kemajuan peradaban dan emansipasi penuh seluruh umat manusia. Namun dalam konteks konstelasi politik global pada pertengahan abad ke 20, garis perkembangan Humanisme sampai pada sebuah titik singgung yang tak terduga dengan medan teoritik dan praktiko-politik tradisi Marxis. Gerakan de-Stalinisasi dalam tubuh Partai Komunis Uni Soviet yang kemudian diiringi dengan pembacaan baru atas Marxime-Leninisme sebagai “Humanisme universal” dengan Uni Soviet sebagai “negara seluruh umat manusia” turut mempengaruhi perkembangan geopolitik serta, secara lebih spesifik lagi, perkembangan teoritik tradisi Marxis. Dalam terang konteks sejarah ini lah Louis Althusser hadir—bahwa bagi Althusser, “pengutamaan segalanya atas nama manusia” yang telah meresap dalam tubuh Marxisme merupakan sebuah omong kosong belaka dari selubung jejaring ideologis. Melalui proyek rekonstruksinya atas filsafat Marx, Althusser berupaya untuk mempurifikasi segala pengaruh ideologis dalam filsafat—sebuah proyek anti-Humanisme. Periodisasi Pemikiran Marx Dalam For Marx (1997 [1965]), Althusser berupaya untuk memulai proyek rekonstruksi filsafatnya melalui pembagian periode perkembangan pemikiran Marx dengan berlandaskan pada identifikasi atas problem yang tengah dipersoalkan. Hal ini menjadi penting, sebab identifikasi atas sebuah problem spesifik akan turut merumuskan kerangka problem atau cara pengajuan pertanyaan yang spesifik pula, yang mana kemudian menjadi suatu pengandaian bagi gugus pengetahuan atau rumusan teori yang baru. Identifikasi atas kebaruan teori ini oleh Athusser, meminjam istilah Gaston Bachelard, disebut sebagai “patahan epistemologis”. Melalui prinsip tersebut, Althusser membagi sejarah pemikiran Marx menjadi dua periode besar, yakni periode “ideologis” (pra-1845) dan periode “saintifik” (pasca-1845). Terkait periodisasi tersebut, terma “ideologi” di sini mengacu pada sebuah elemen dalam superstruktur, yakni bagian dari keseluruhan formasi sosial yang dirumuskan oleh modus produksi—sebagaimana dijelaskan oleh Marx dalam teori materialisme historisnya. Secara historis, terma tersebut mengacu pada masa di mana Marx masih berjibaku di dalam medan problematik idealisme Jerman serta materialisme humanis Feuerbach, dan oleh karena itu masihlah terpengaruh oleh ideologi pada masa itu—dengan kata lain, teorinya masihlah merupakan sebuah humanisme yang bersifat etis dan normatif, yang tak lain adalah bentuk ideologi borjuis. Hal ini sebagaimana tampak melalui seruan morilnya dalam Die Rheinische Zeitung (1842) untuk mengkritik pemerintahan Prussia supaya menjadi Negara kodrat manusia (the State of human nature), maupun pergeseran pandangannya mengenai esensi manusia yang awalnya adalah rasional dan bebas menjadi makhluk komunal—dan dengan demikian pula pandangannya mengenai sejarah sebagai alienasi esensi komunal manusia yang dapat ditebus melalui revolusi komunis. Terma “saintifik” di sini mengacu pada periode di mana Marx telah keluar dari medan problematik Idealisme Jerman yang diawali dengan kritik atas humanisme Feuerbach sebagai upaya perumusan medan problematiknya sendiri secara negatif (hanya berupa kritik), untuk kemudian dilanjutkan dengan perumusan problem spesifiknya sendiri secara positif melalui perumusan gugus pengetahuan baru, yakni disiplin materialisme dialektis serta materialisme historis—yang menolak pandangan tradisi Idealisme Jerman bahwa bukanlah ideologi (ide, agama, norma, dst.) yang menentukan sejarah, melainkan kontradiksi pada modus produksi. Strukturisasi patahan epistemologis dalam keseluruhan periodisasi pemikiran Marx meliputi dua aspek, yakni: Pertama, transisi dari ideologi tentang sejarah (sejarah sebagai horizon realisasi esensi manusia) menuju sains tentang sejarah (materialisme historis, yakni bahwa sejarah ditentukan, setidaknya sebagaimana pembacaan Althusser, pada pokok terakhir oleh kontradiksi pada tataran modus produksi. Kedua, transisi dari idealisme rasionalis Neo- Hegelianisme (Hegel yang dibaca dalam kerangka Kantian) melalui materialisme humanis Feuerbach (1842), kemudian empirisisme historis dalam The German Ideology (1857), dan sejak 1857 menuju ke filsafat yang seluruhnya baru dan radikal, yakni materialisme dialektis yang kemudian melahirkan pula materialisme historis. Maka secara ringkas bagi Althusser dapat dikatakan bahwa sejarah pemikiran Marx adalah sejarah penemuan materialisme historis dan materialisme dialektis—yang pada keduanya kemudian Althusser menaruh perhatian dalam upayanya merumuskan ulang Marxisme. Dehegelianisasi Marxisme Dalam pemaparan Althusser, materialisme historis dan materialisme dialektis dapat dipahami sebagamana berikut: “historical materialism (disingkat: histomat) adalah sains Marxis sejarah, tentang relasi antara basis dan superstruktur, sementara dialectical materialism (disingkat: diamat) adalah filsafat atau teori Marxis tentang praktik-praktik teoritik.” Pengertian Althusser atas dua disiplin sentral dalam bangunan pemikiran Marx tersebut menjadi penting untuk memahami upaya separasi sains Marxis dari ideologi borjuis, atau secara umum yakni separasi sains dari ideologi. Upaya ini merupakan proyek Althusser untuk mentransformasi filsafat dari kondisinya yang terkontaminasi ideologi menjadi “disiplin saintifik”. Maka perlu bagi kita kemudian memahami sekilas awal pengertian Althusser mengenai sains dan ideologi: ideologi eksis sebagai pandangan-dunia (praktiko-sosial) yang kerapkali tak disadari, sementara di sisi lain, sains eksis melalui patahan epistemologis atas ideologi (walaupaun ideologi masih tetaplah eksis dalam disiplin saintifik) yang dicirikan dengan sifat teoretik. Dengan demikian, tugas dari sains adalah melakukan distansiasi semaksimal mungkin terhadap ideologi—dan hal ini pulalah yang membedakan Marxisme dengan pemikiran Sosialisme Utopis. Relasi antara diamat dengan histomat diposisikan dalam kerangka pembahasan Althusser mengenai “kesatuan teori dan praktik”. Sebagai titik berangkat, Althusser mengilhami ungkapan Lenin yang terkenal—“Tanpa teori revolusioner, tak akan ada praktik revolusioner”—dengan merumuskan prinsip kesatuan praktis; bahwa teori adalah bagian dari praktik. Maka dalam kerangka ini, Althusser menafsirkan ungkapan Lenin di atas: “tanpa diamat, tak akan ada histomat.” Supaya histomat dapat terhindar dari hambatan efek teoritis ideologi dalam upayanya melakukan elaborasi dan konstruksi sistematik sejarah dan upaya transformasi emansipatif atasnya, maka diamat perlu bekerja melalui upaya purifikasi medan teoritik Marxisme dari pengaruh ideologi borjouis. Maka, tanpa filsafat Marxis yang spesifik tak akan ada sains tentang transformasi emansipatif sejarah menuju tatanan Komunisme—histomat selalu mengandaikan diamat dan tidak sebaliknya. Dengan demikian, perlu dilakukan identifikasi atas filsafat Marx secara spesifik dengan menunjukkan perbedaannya secara radikal dengan filsafat sebelumnya. Dalam konteks Marx yang hidup di era pasca-Hegelian, pembedaan yang dilakukan tak lain adalah terhadap filsafat Hegel. Dalam Dialectics of Nature (1925), Engels mengungkapkan tiga hukum pokok materialisme dialektis (diamat) atau filsafat Marx: 1) perubahan dari kuantitas ke kualitas, 2) negasi atas negasi, 3) kesatuan segala ikhwal yang bertentangan (coincidentia oppositorum). Secara langsung dapat dipahami bahwa ketiga hukum tersebut berasal dari Hegel dalam buku Wissenschaft der Logik. Dalam pandangan umum, upaya pembedaan tersebut dipahami dalam skema “pembalikan” sebagaimana yang dihasilkan melalui penafsiran atas Catatan Penutup Edisi Kedua Kapital jilid I, di mana Marx mengungkapkan: “Metode dialektis saya, pada fondasinya, tidak hanya berbeda dari kaum Hegelian melainkan tepatnya beroposisi dengannya. Bagi Hegel, proses pemikiran, yang ia transformasikan menjadi subjek independen di bawah ‘Idea’, merupakan pencipta dunia riil, dan dunia riil hanyalah penampakan eksternal dari idea. Dengan saya, kebalikannya menjadi benar: yang-ideal tidak lain dari dunia material yang direfleksikan dalam pikiran manusia dan diterjemahkan ke dalam bentuk pemikiran.” Maka umum dipahami bahwa, tatkala pada Hegel dialektika adalah gerak Roh atau Idea untuk menyadari-dirinya, pada Marx dialektika adalah gerak materi dalam sejarah yang menentukan gerak kesadaran. Namun, Althusser menyanggah penafsiran umum atas teks tersebut dengan menjelaskan bahwa istilah “kebalikan” (reverse) hanyalah bersifat metaforis, dan bukannya substansial. Bagi Althusser, dialektika Marxis dan dialektika Hegel adalah dua metodologi yang sepenuhnya berbeda karena mengacu pada medan problematik yang berbeda pula—yakni, terkait proses produksi pengetahuan. Dalam dialektika Hegel, proses produksi pengetahuan selalu bermula dari ikhwal yang sederhana dan konkrit menuju pluralitas entitas yang kompleks melalui proses diferensiasi internal. Dalam yang sederhana dan konkrit tersebut sudah terkandung potensi bagi keseluruhan kontradiksi yang akan melahirkan ikhwal selanjutnya sebagaimana yang diekspresikan oleh Hegel melalui prinsip kontradiksi (A = non-A). Dalam korelasinya dengan proses produksi pengetahuan, hal ini menjadi berkaitan melalui tesis mengenai identifikasi antara pikiran dan Ada. Bagi Hegel, kenyataan bersifat identik dengan pemikiran, dan oleh karena itulah gerak penciptaan konsep dalam pikiran adalah sama dengan gerak kenyataan dalam sejarah itu sendiri—dialektika Hegel adalah dialektika konsep yang adalah sama dengan dialektika realitas. Hal inilah apa yang oleh Althusser disebut sebagai “otogenesis konsep” (penciptaan-diri konsep), bahwa konsep menciptakan dirinya sendiri melalui benih kontradiksi yang telah menentukan telos atas geraknya yang linier dengan gerak sejarah. Dalam dialektika Marx, yang terjadi adalah sepenuhnya berbeda. Proses produksi pengetahuan Marx bermula dari sesuatu yang abstrak untuk kemudian memproduksi sesuatu yang konkret dalam pikiran. Sifat abstrak tersebut disematkan sebab apa yang dianggap konkret di awal proses produksi pengetahuan sejatinya adalah konsentrasi dari beragam determinasi atau jalinan prakondisi yang teramat kompleks. Tidak ada atom—sebagaimana misalnya substansi dalam pengertian Aristoteles—yang menjadi suatu kesatuan sederhana yang tak terbagi lagi. Dengan ini, Marx tidak pernah beranjak menelusuri sesuatu sebagai objek empirik, melainkan sebagai konstruksi teoritik. Bagi Althusser, pengetahuan tidaklah bermula dari objek empirik sederhana, melainkan dari gugus pengetahuan umum yang kompleks, sebab objek empirik sederhana tersebut pun juga merupakan konstruksi teoritik juga. Dalam terang Althusser: “Laku abstraksi di mana esensi murni disaring dari individu konkrit adalah sebuah mitos ideologis.” Maka dalam kerangka rekonstruksi Althusser, titik mula pengetahuan (titik mula diamat) bukanlah objek empirik-konkrit melainkan gugus pengetahuan ideologis tentang objek tersebut, yang kemudian dikritik berdasaran gugus pengetahuan mengenai sarana produksi tentang objek itu untuk kemudian menghasilkan sains tentang objek itu—dengan kata lain, pengetahuan merupakan proses produksi yang intra-teoritik. Namun meskipun menekankan pada proses konstruksi teoritik pengetahuan, Althusser berhasil menghindar dari jebakan idealisme Hegelian dengan menolak tesis identifikasi antara Ada dan pikiran—bahwa bagi Althusser, proses produksi pengetahuan terjadi di dalam pikiran, tidak boleh diandaikan inheren dalam kenyataan, serta tidak mereduksi objek empirik atau konkrit-riil di luar pikiran. Dengan kata lain, Althusser tidaklah memaksakan kategori berpikir dalam realitas sebagaimana idealisme Hegelian. Merumuskan Kontradiksi Setelah merampungkan penjelasan metodologis di atas, maka dapat kemudian dipahami bahwa medan problematik diamat adalah pengaruh ideologi borjuis di ranah praktik teoritik, dengan separasi ideologi dengan sains sebagai politik pengetahuannya. Bagi Althusser, salah satu pengaruh ideologi borjuis yang menjadi sasaran bagi upaya purifikasi diamat terhadap histomat adalah konsep kontradiksi Hegelian sebagaimana telah dijelaskan di atas. Penjelasan lanjutannya adalah bahwa dalam pandangan Hegel, sejarah dimengerti sebagai eksternalisasi serta alienasi diri Roh ke dalam berbagai manifestasi diferensiasi imanennya berupa berbagai fenomena seperti perang, konflik, atau perjuangan kelas—yang bagi Hegel tidak memiliki perbedaan tingkatan atas berbagai kontradiksi dan hanya merupakan “muslihat Akal Budi” (List der Vernunft) saja. Purifikasi atas paham kontradiksi ini akan membawa pembahasan kepada upaya rekonstruksi Althusser mengenai histomat. Dalam pandangan Althusser, kontradiksi Marxis tentu saja tidak dapat disamakan dengan kontradiksi Hegelian. Hal ini dapat diidentifikasi melalui tiga pokok kontradiksi Marxis, yakni: 1) tidak bermula dari entitas yang paling sederhana; 2) bukan merupakan eksternalisasi dan alienasi—atau dengan kata lain, bukan merupakan fenomena dari suatu esensi tersembunyi; 3) memiliki perbedaan tingkat kontradiksi. Pada pokok pertama, Althusser menjelaskan bahwa kontradiksi tidak pernah hadir sendirian, melainkan hadir dalam suatu akumulasi kontradiksi bersama kontradiksi-kontradiksi lainnya. Sebagai contoh adalah tatkala Althusser berusaha untuk menggambarkan situasi Rusia menjelang revolusi Oktober 1917, yang penuh oleh koeksistensi kontradiksi. Terdapat kontradiksi-kontradiksi antara berbagai kelompok, seperti di antara borjuasi besar dengan Tsar, borjuasi kecil yang berbeda tendensi antara konformisme maupun berbagai paham kiri mulai dari anarkis sampai bolshevik-komunis, serta kepentingan kapitalis internasional untuk menggulingkan Tsar. Dengan demikian dapat dipahami, bahwa entitas sederhana tak lain hanyalah bagian dari kompleksitas struktur yang “mendahului yang terberi” (ever-pre-given structure). Hal ini sebagaimana diartikulasikan oleh Althusser: “Yang-sederhana hanya dapat eksis dalam suatu struktur yang kompleks; eksistensi universal dari sebuah kategori sederhana tak pernah asali, ia hanya muncul sebagai hasil akhir dari sebuah proses historis yang panjang; maka, mengenai realitas, kita tak berhadapan dengan eksistensi kesederhanaan murni, entah itu esensi ataupun kategori, melainkan dengan eksistensi ‘ikhwal konkrit’ yang kompleks dan menstruktur kenyataan dan proses-proses. Inilah prinsip dasar yang sepenuhnya menepis kontradiksi Hegel.” Pada pokok kedua, Althusser menekankan kembali kritik atas model penafsiran “pembalikan” terhadap proyek pemikiran Marx. Marx tidak sekedar membalik filsafat Hegel: dari filsafat Roh ke filsafat ekonomi, dari idealisme ke ekonomisme—sebab model pembalikan ini masihlah tetap terjebak dalam “muslihat Akal Budi”, bahwa ada suatu esensi terselubung di balik fenomena. Pembalikan determinasi Idea terhadap realitas ekonomi menjadi determinasi ekonomi terhadap Idea masihlah bercorak Hegelian, dan belum sepenuhnya spesifik Marxis. Bagi Althusser, rekonstruksi atas kontradiksi Marxis mengandaikan “bukan hanya terma- termanya yang berubah” melainkan juga “relasi di antara yang masing-masing itu sendiri pun berubah”—atau dengan kata lain, memikirkan relasi determinasi basis-superstruktur di luar kerangka determinasi yang linier-mekanis maupun teleologis. Perubahan relasi determinasi tersebut kemudian menyingkap tegangan di antara: di satu sisi, determinasi pada pokok terakhir oleh modus produksi ekonomis; di sisi lain, otonomi relatif superstruktur dan efektivitas spesifiknya. Bagi Althusser, konsepsi Marxis memang menjelaskan bahwa ekonomi merupakan pokok penentu. Namun, bukan berarti bahwa hanya ekonomi saja—melalui relasi produksi dan kekuatan produksi—yang menentukan fenomena spesifik, melainkan terdapat banyak determinasi konkret yang bekerja di saat yang bersamaan. Suatu fenomena, seperti situasi politik pada waktu tertentu, bentuk produksi sastra dalam suatu situasi historis, atau ideologi dominan dalam formasi sosial tertentu tidaklah pernah dideterminasi oleh satu faktor saja. Terdapat banyak faktor determinan, yang hubungan antar satu dengan lainnya tidaklah sebatas bersifat tambahan di dalam modus produksi yang kini dirumuskan ulang sebagai struktur secara keseluruhan. Maka dalam jangka panjang, sejarah mewujudkan dirinya melalui superstruktur- superstruktur yang saling berkoeksistensi serta muti-bentuk, seperti tradisi lokal dalam skala regional hingga kompleksitas situasi dalam skala internasional. Dengan kata lain, basis ekonomis menentukan superstruktur, untuk kemudian ditentukan pula oleh superstruktur dalam gilirannya. Determinasi balik superstruktur ini kemudian disebut sebagai “overdeterminasi”. Hal ini menjadi mungkin sebab setelah suatu superstruktur tercipta, ia dapat memiliki konsistensi internalnya sendiri dan dapat mereproduksi dirinya sendiri dalam struktur yang koheren. Konsistensi internal superstruktur tersebutlah yang memberi ruang bagi sifat otonomi relatifnya, bahwa ia tak harus selalu ditentukan oleh basis ekonomis, namun secara tak sadar dalam aktivitasnya mengkonfirmasi dan melegimitasi kondisi basisnya. Dengan demikian, modus produksi tidak lagi identik dengan basis ekonomi murni (yang terdiri dari relasi produksi dan kekuatan produksi), melainkan telah menjadi “struktur secara keseluruhan” atau “sistem sinkronis dari hubungan sosial secara keseluruhan”, sementara gagasan tentang modus produksi yang koeksisten secara tumpang tindih memungkinkan kita untuk menyingkap persoalan palsu dari prioritas ekonomi sebagaimana yang tampak dalam pandangan Stalinis. Mengenai pokok ketiga, Althusser mengadopsi elaborasi teoritik Mao Zhedong—yang baginya merupakan suatu konsepsi pembacaan yang orisinil dan bersih dari pengaruh Hegel— dalam makalahnya, Tentang Kontradiksi (1937), yang mencakup tiga tesis utama: 1) distingsi antara kontradiksi pokok dan sekunder; 2) distingsi antara aspek pokok dan sekunder; dan 3) perkembangan tak mesti (uneven development) dari kontradiksi. Maksudnya adalah, bahwa di antara sederet kontradiksi (psikologis, ekonomis, politis, dst) tentu terdapat satu kontradiksi yang dominan dan memegang pengaruh utama dalam menentukan kontradiksi-kontradiksi lain; dalam sebuah kontradiksi dominan tersebut, mestilah terdapat beragam aspek, dengan sebuah aspek utama yang merupakan konstituen terhadap kontradiksi tersebut, dengan aspek sisanya bersifat atributif semata; dan dalam perkembangan sejarah, aspek-aspek itu dapat bertukar satu sama lain (yang utama menjadi atributif dan sebaliknya), dan watak dari kontradiksi-kontradiksi tersebut dapat berubah-ubah (yang dominan menjadi sekunder, dan sebaliknya). Sebagai contoh adalah tatkala Lenin dalam sebuah surat pendek untuk Pravda (1975) berusaha untuk mendeskripsikan kondisi Rusia kala itu. Dalam pengamatannya, terdapat aspek- aspek dari realitas sosial (budaya feodal seperti tuan tanah, struktur gerejawi, dan hak istimewa tuan tanah, dst) di Rusia yang bukan merupakan hasil dari modus produksi kapitalis, tetapi telah bertahan selama berabad-abad dari modus produksi dominan yang juga menjadi tempat bagi munculnya aspek-aspek sosial itu, bahkan hingga melampaui masa hidup modus produksi asal mereka. Perkembangan tak mesti dari koeksistensi multiplisitas kontradiksi inilah yang dalam konsepsi Althusser memungkinkan terjadinya overdeterminasi superstruktur terhadap basis ekonomis. Keseluruhan penguraian atas kontradiksi tersebut menjelaskan, bahwa Althusser tidaklah berupaya untuk menganalisis realitas sosial-budaya sebagai “tatanan sosial” atau “totalitas sistem”, sebab penafsiran semacam itu mengimplikasikan dunia sebagai sebuah struktur monolitik dengan desain kaku dan terpusat yang secara mutlak menentukan keseluruhan aspek dari struktur. Sebaliknya, Althusser menggunakan istilah-istilah seperti “formasi sosial”, menekankan bahwa masyarakat merupakan struktur yang terdesentralisir—yakni, suatu multiplisitas sistem yang jauh lebih kompleks dengan begitu banyak elemen yang saling terjalin dalam jejaring relasi antara satu dengan yang lain. Melalui multiplisitas koeksistensi struktur yang terdesentralisir ini lah kontradiksi justru dapat dimungkinkan dalam kerangka teoritis Marxis. Maka adalah tepat dikatakan: bahwa Althusser mengupayakan sebuah dekonstruksi atas totalitas, untuk kemudian diikuti dengan laku rekonstruksi—yakni, dalam kerangka teori Marxis berupa kesatuan antara teori dan praktik sebagai suatu bentuk agenda politis-emansipatif. Desentralisasi atas Subjek Pemaparan Althusser mengenai diamat (filsafat Marxis) dan histomat (sains Marxis sejarah) berimplikasi pada pemahaman ulang terhadap konsep basis dan superstruktur serta korelasinya dengan kondisi material masyarakat—atau spesifiknya di sini: subjek. Dalam hal ini, Althusser mengintrodusir suatu jenis kausalitas (atau lebih tepatnya, efektivitas—dengan menaruh penekanan lebih pada ‘akibat’ [effect] daripada ‘sebab’ [cause]-nya) atau relasi sebab- akibat yang mengatur hubungan antara kondisi material dengan elemen-elemen dalam formasi sosial masyarakat, yang disebut sebagai efektivitas (kausalitas) struktural. Konsep efektivitas tersebut sesungguhnya sudah inheren pada ajaran Marx, namun disalahpahami oleh jenis pemahaman efektivitas yang umumnya berkembang dalam sejarah filsafat Barat, yakni efektivitas mekanis dan efektivitas ekspresif. Hal ini sebagaimana diungkap oleh Althusser dalam Reading Capital (1968), bahwa sejak filsafat klasik, teori kausalitas (efektivitas) hanya memiliki dua model, yakni efektivitas mekanis (transitif dan linier) yang hanya mendeskripsikan pengaruh satu elemen terhadap elemen lainnya, dan efektivitas ekspresif (teleologis), yang mendeskripsikan pengaruh keseluruhan pada bagian-bagiannya, tetapi hanya dengan menjadikan bagian-bagian dari keseluruhan tersebut sebagai “ekspresi” dari yang keseluruhan tersebut— sebuah fenomena atas esensinya yang tersembunyi. Dalam hal ini, Althusser menempatkan efektivitas struktural sebagai oposisi terhadap dua bentuk model efektivitas tersebut. Pada sistem efektivitas struktural, totalitas kompleks dari struktur tak lain merupakan sebuah struktur atas efek-efek dengan—meminjam peristilahan Spinoza—penyebab yang hadir-absen (present-absent cause). Hadir-absennya penyebab mengimplikasikan bahwa penyebab-penyebab tidaklah berasal dari luar struktur; bukan objek, elemen, atau ruang yang sudah ada sebelumnya, yang mana struktur hadir untuk meninggalkan jejaknya (berupa jejak kausalitas). Sebaliknya, keseluruhan kompleksitas struktur adalah penyebab bagi setiap akibat atau efeknya, dan maka dari itu efek senantiasa hadir dalam absensi penyebab yang terdensentralisir pada keseluruhan struktur. Mengikuti pemaparan Spinoza, struktur adalah imanen dalam efeknya, yakni bahwa seluruh keberadan struktur tersusun dari efeknya. Secara singkat, struktur—yang hanya merupakan kombinasi spesifik dari elemen- elemen struktural yang khas—bukanlah apapun di luar efeknya. Melalui konsep modus produksi Marxis sebagai kompleksitas jejaring struktur ini lah kita kemudian dapat memahami mekanisme pembentukan diri subjek dalam kaitannya dengan kondisi material masyarakat. Namun sebelumnya, perlu dijelaskan terlebih dahulu terma-terma mendasar Marxis dalam terang pembacaan Althusser, di antaranya “materialitas”dan “produksi”. Dalam filsafat Marx, materialitas tidaklah dipahami sebagai suatu arkhe atau prinsip pertama realitas berupa objek terisolasi yang menjadi sasaran kontemplasi pasif atau kekuatan determinatif yang diabstraksikan dari keseluruhan kenyataan. Hal ini merupakan pengertian materialisme lama (old materialism) dan umum ditemukan dalam model pembacaan Marx yang dihasilkan melalui “pembalikan atas filsafat Hegel”. Materialitas yang dimaksud oleh Marx adalah—pertama-pertama sebagaimana yang umum disepakati oleh para pengkaji Marxis— positivitas atau faktisitas segala sesuatu yang juga mengandung perbedaan objektif dalam modus eksistensinya. Namun tidak hanya berhenti sampai disitu, sebab materialitas tidaklah sama dengan “fisikalitas”. Aspek materialitas selanjutnya yang khas Marxis adalah materialitas objektivitas atau efektivitas. Hal ini melingkupi relasi sosial dalam jejaring kompleksitas struktur formasi sosial secara spesifik maupun realitas secara keseluruhan. Oleh karena itu, materialitas di sini juga mencakup bukan hanya objek berwujud tetapi juga proses dan praktik. Proses dan praktik tercakup dalam materialitas oleh karena efektivitasnya dalam mentransformasi aspek- aspek dari dunia material—suatu perubahan yang tidak terjadi di dunia immaterial—dan juga karena kedua hal tersebut dapat diamati dan bisa dijelaskan. Singkatnya, materialitas dalam terang pengertian Marxis bukanlah sebatas “materi” atau “materi dalam gerak”, sementara proses produksi Marxis diartikan tidak hanya sebatas sebagai produksi atas barang atau komoditas, melainkan atas segala sesuatu yang bersifat material dalam relasinya dengan modus produksi dari suatu formasi sosial. Dalam setiap formasi sosial sebagai kompleksitas struktur—dalam konteks ini, tak lain adalah masyarakat borjuis—terdapat sebuah modus produksi yang dominan di mana proses produksinya dapat dicapai melalui “kekuatan produktif di dalam dan di bawah relasi produksi yang pasti”. Untuk memastikan kelanggengan dirinya, masyarakat borjuis perlu melakukan apa yang oleh Althusser disebut sebagai reproduksi atas kondisi produksi—suatu upaya mengamankan status quo, yakni dengan tidak hanya mereproduksi obyek-obyek konsumsi melainkan juga mereproduksi syarat-syarat material dari proses produksi atas obyek-obyek itu sendiri—baik bagi alat-alat produksi maupun bagi pekerja (labour) yang mencakup kapasitas fisik maupun psikis, upah penghidupan, kompetensi dan keterampilan, dst. Dalam konteks reproduksi inilah Althusser memperkenalkan distingsi terkenalnya perihal aparatus represif negara (repressive state apparatuses, atau RSA) dan aparatus ideologis negara (ideological state apparatuses, atau ISA). Introduksi konsep ini merupakan upaya Althusser untuk menambahkan persyaratan lain pada reproduksi tenaga kerja dalam aras reproduksi atas relasi produksi, yakni ketundukan pada ideologi yang berkuasa Althusser menjelaskan, bahwa status quo reproduksi atas relasi produksi tersebut dapat dijamin melalui otonomi relatif superstruktur melalui entitas legal-politik dan ideologis. Keduanya berkaitan secara langsung maupun tidak langsung dengan negara (the State) yang hadir sebagai RSA dan ISA. RSA merupakan segala bentuk struktur obyektif negara yang melaksanakan fungsinya melanggengkan negara melalui kekerasan. Bentuk konkret dari aparatus ini misalnya pemerintah, kepolisian, militer dan lain sebagainya. Sementara, ISA merupakan segala struktur obyektif dari kepublikan yang melaksanakan fungsinya melalui internalisasi tanpa kekerasan. Bentuk konkret dari apartus ini amat beragam, misalnya dalam terang Althusser: segala bentuk institusi agama, pendidikan, keluarga, partai, pers dan kebudayaan secara luas. Perbedaan utama antara kedua jenis aparatus itu, dengan demikian, ialah cara utama yang melaluinya status quo dijaga: aparatus represif berjalan dengan “melalui kekerasan” dan aparatus ideologis bekerja dengan “melalui ideologi”. Ideologi dalam pandangan Althusser tidaklah sama dengan ideologi dalam pengertian Marx dalam The German Ideology (1857), yakni sebagai “ilusi yang mengalihkan kesadaran individu dari kondisi materialnya” atau “kesadaran palsu” (false consciousness). Bagi Althusser, ideologi merupakan representasi dari hubungan imajiner tiap-tiap individu dengan kondisi material mereka. Maka, bukanlah sesuatu yang dapat secara langsung masuk kedalam dikotomis penilaian “benar” atau “salah”, melainkan merupakan jejaring relasi dan sikap yang kompleks yang melaluinya individu dapat menstruktur pengalaman hidup mereka di dunia. Ideologi bukan hanya merupakan objek pikiran dari individu , bukan pula sama sekali sebagai bentuk kesadaran, tetapi sebagai objek dari "dunia" mereka—sebagai "dunia” itu sendiri. Strukturisasi pengalaman hidup tersebut—sebagaiman dalam terang penjelasan di atas—dimungkinkan bukanlah melalui kesadaran transendental subjek yang murni sebagaimana dalam paham Immanuel Kant, melainkan melalui perangkat ideologis berupa aparatus ideologis negara (ISA) dalam kerangka reproduksi relasi produksi sehingga memungkinkan subjek untuk memposisikan dirinya dalam realitas material. Dalam terang ini, individu merupakideologian entitas material-biologis-tunggal penyokong subjek. Individual merupakan kategori abstrak, meskipun ia berwujud konkret (dalam arti, memiliki tubuh material). Ia abstrak, sebab ia selalu-sudah merupakan subjek bahkan sebelum ia lahir. Proyeksi atas posisi sebagai subjek dalam jejaring struktur, atau “sosialitas pra- kelahiran” tersebut dimungkinkan melalui suatu konfigurasi ideologis yang terdapat dalam jejaring struktur bahkan dalam lingkup keluarga tempat di mana seorang bayi lahir, dan dengan demikian telah secara otomatis terkonstitusi sebagai subjek. Sifat niscaya dari ideologi tersebut lebih lanjut diungkapkan sebagaimana oleh Althusser: “Materialisme historis (histomat) tidak dapat memahami bahkan mengenai bagaimana masyarakat komunis pun dapat eksis tanpa ideologi […] tidak dapat dibayangkan bahwa komunisme, modus produksi dan relasi produksi yang baru dapat berjalan tanpa pengorganisasian sosial atas produksi, berikut bentuk-bentuk ideologis yang sesuai.” Peran efektivitas struktur melalui ideologi ini lah yang kemudian menyingkap persoalan dari apa yang disebut sebagai “ilusi kesadaran”—kalaupun masih absah untuk dapat meminjam peristilahan Marx—yang telah dielaborasi oleh Spinoza jauh sebelumnya. Bagi Spinoza, semenjak perumusan dualisme Cartesian, kita selalu mengira bahwa kita adalah sebab dan bukan akibat atas setiap laku pikiran dan tindakan kita. Hal ini kemudian menjadi semacam titik buta yang telah lama tak disadari, membuat kita menempatkan kesadaran diri kita secara transendental sehingga dengan demikian kesadaran diri tersebut diasumsikan bebas dari intervensi dunia. Secara praktis, hal ini berimplikasi pada sikap penyangkalan terhadap aspek “sosialitas” diri kita sendiri, serta signifikasi dari jejaring relasi struktural yang kita masuki, di mana kemudian kita mengambil posisi di dalamnya—yang kemudian melalui kesadaran akan hal tersebut akan menentukan kemampuan kita untuk bertindak. Penutup Dengan keseluruhan pemaparan di atas, dapat kemudian dipahami bahwa proyek rekonstruksi filsafat Marx oleh Louis Althusser sebagai suatu proyek anti-Humanisme mengambil sikap oposisi terhadap paham Humanisme melalui elaborasi teoritisnya atas disiplin diamat dan histomat spesifik Marxis. Sifat anti-humanis dalam pemikiran Althusser dapat diidentifikasi melalui kandungan kritiknya terhadap Humanisme meliputi: 1) Humanisme bukanlah merupakan suatu idea yang muncul dari ruang hampa, melainkan sebuah efek yang diproduksi dari relasi antar elemen-elemen dalam kompleksitas superstruktur ideologis yang mengacu pada modus produksi dari formasi sosial masyarakatnya (dalam konteks situasi sejarah kala itu, yakni masyarakat borjuis)—sehingga humanisme tak lain merupakan ideologi borjuis yang memberikan efek menghambat bagi sains Marxis (histomat) dalam upayanya melaukan elaborasi dan konstruksi sistematik atas sejarah dan upaya transformasi emansipatif atasnya di ranah medan teoritik sekaligus praktis sebagai satu kesatuan; dan 2) Tesis Humanisme mengenai independensi dan kebebasan subjek melalui rasionalitas manusia dipatahkan melalui elaborasi materialitas Marxisme, bahwa elemen-elemen dalam struktur tak lain merupakan suatu efek yang timbul dari kompleksitas berbagai kekuatan determinasi dari struktur secara keseluruhan— dengan kata lain, subjek tak pernah independen dari realitas materialnya, melainkan turut terkonstitusi atasnya dan oleh karena itu keutuhan subjek terdesentralisasi pada keseluruhan jejaring struktur. Dengan demikian, tirai penutup panggung teatrikal raksasa Humanisme telah diturunkan—setidaknya dalam kesempatan kali ini, oleh Louis Althusser. Daftar Pustaka Althusser, Louis, dan Balibar, Étienne. 1968. Reading Capital. London: New Left Books. Althusser, Louis. 2005. For Marx. London: Verso. Beetz, Johannes. 2016. Materiality and Subject in Marxism, (Post-)Structuralism, and Material Semiotics. UK: Palgrave Macmillan. Stolze, Ted. 2019. Becoming Marxist: Studies in Philosophy, Struggle, and Endurance. Boston: Brill. Montag, Waren. 2013. Althusser and His Contemporaries: Philosophy Perpetual’s War. London: Duke University Press. Jameson, Fredric. 1983. The Political Unconscious: Narrative as a Socially Symbolic Act. London: Routledge. Roberts, Adam. 2000. Fredric Jameson. New York: Routledge. Suryajaya, Martin. 2014. Alain Badiou dan Masa Depan Marxisme. Yogyakarta: Resist Book. Suryajaya, Martin. 2009. Imanensi dan Transendensi: Sebuah Rekonstruksi Deleuzian atas Ontologi Imanensi dalam Tradisi Filsafat Prancis Kontemporer. Jakarta: AksiSepihak .