Anda di halaman 1dari 3

Sebuah Analisa Autokritik:

Alienasi pada Kehidupan Mahasiswa Berdasarkan Pemikiran Eric Fromm


Oleh: Elan Patria Nusadi

Di tengah kesunyian pemenjaraan fisik selama masa pandemi—di mana banyak dari kita
menjaga jarak dari kebisingan dunia. Saya memanfaatkan momentum ini untuk mengeluarkan satu-
persatu kilas balik pengalaman diri selama setahun kebelakang, menjejerkan nya di depan nalar dan
pemikiran, lalu memilah mana saja yang masih menjadi persoalan. Di dalam proses kontemplasi
tersebut, saya menemukan sebuah ide dan kesadaran mengenai fenomena yang menjadi
permasalahan hidup bagi sebagian besar golongan intelektual muda —yaitu mahasiswa. Berbicara
mengenai kehidupan mahasiswa, 2019 merupakan tahun pertama bagi saya menjalani bab baru
dalam kehidupan. Pada lembaran terakhir di bab sebelum nya, saya mengisi pikiran dengan harapan
dan imajinasi mengenai dunia baru yang akan dihidupi nanti nya. Sebuah gambaran mengenai dunia
yang sesungguhnya—dunia yang apa adanya, tanpa omong kosong, dan hidup berintegrasi sebagai
bagian dari civil society. Itulah tesis yang saya ajukan kepada diri sendiri, konsep mengenai
bagaimana seharusnya hidup dihidupi sepenuhnya oleh seorang mahasiswa.

Namun dalam keberjalanan nya, terjadi sebuah benturan antara pengharapan dan
kenyataan. Kehidupan beserta segala aktivitas yang dijalani sebagai mahasiswa seolah menarik dan
mengisolasi diri saya dalam situasi keterasingan. Semua kesibukan dari mulai kegiatan akademik di
kelas, praktikum di laboratorium, berorganisasi menjalankan student goverment, hingga
bersosialisasi dengan rekan sejawat justru menciptakan jarak dari konsep atau gambaran mengenai
dunia yang saya bayangkan sebelum nya. Padahal di sisi lain, mahasiswa selaku kaum intelektual
memiliki 4 fungsi; Iron stock, yaitu pengganti peranan pemerintahan dalam menjalankan
kehidupan berbangsa dan bernegara. Agen of change, yaitu inisiator untuk menciptakan
perubahan ke arah kehidupan yang lebih baik. Social control, yaitu pengontrol kehidupan sosial
sehingga mampu mengajak dan mendorong kepada kehidupan yang lebih baik. Dan Moral force,
yaitu menunjung tinggi serta mengusahakan nilai-nilai moral sebagai indikator kebaikan dalam
kehidupan masyarakat. Tentunya fungsi-fungsi tersebut akan mengalami kelumpuhan bila
mahasiswa—sebagai subjek pelaksana nya, menderita fenomena alienasi yang mengisolasi mereka
dari realita hakiki kehidupan.

Menurut Eric Fromm—seorang psikolog, sosiolog, dan filsuf berkebangsaan jerman, alienasi
adalah sebuah pengalaman dan cara pandang hidup ketika seseorang mengalami diri nya sebagai
sosok terasing. Ia tidak lagi menghayati eksistensi diri sebagai pusat dari kehidupan yang dijalani,
atau sebagai pusat dari segala tindakan yang dilakukan. Orang yang mengalami alienasi sibuk
mengejar hal-hal di luar diri nya, sehingga tindakan dan cara pikir nya dikendalikan oleh aspek-aspek
eksternal. Fromm berpendapat bahwa faktor yang menyebabkan terjadinya alienasi adalah tercabut
nya kesadaran manusia sebagai subjek dalam dunia nya sendiri yang dipengaruhi oleh banyak hal,
di antaranya; perkembangan pemikiran manusia dalam bidang teknologi, berlimpah ruahnya barang-
barang yang menjadi komoditas dan menyebabkan karakter manusia modern yang konsumtif
dan juga hal-hal yang abstrak seperti pemikiran, ideologi dan juga pendapat umum yang
menggeser keotonomian manusia sebagai subjek bagi dirinya sendiri. Fromm juga menggolongkan
fenomena alienasi dalam 4 bentuk; alienasi dalam proses produksi, alienasi dalam proses konsumsi,
alienasi dalam hubungan dengan orang lain, dan alienasi terhadap diri sendiri.
Alienasi dalam proses produksi yang dimaksud Fromm adalah alienasi yang dialami oleh para
pekerja suatu perusahaan ketika menjalankan usaha nya. Dalam dunia industri modern, pekerja
seolah kehilangan dirinya, mereka menjadi atom ekonomi yang harus bekerja sesuai dengan
perintah dan tuntutan pasar. Peradaban membawa manusia dari yang berfungsi sebagai individu
penyusun keluarga dan masyarakat, menjadi suatu komponen yang dimiliki oleh pasar dan negara.
Tidak jauh berbeda dengan para buruh yang bekerja 8 jam perhari hanya untuk membuat satu
bagian kecil dari keseluruhan proses produksi, mahasiswa juga mengalami hal serupa dalam bentuk
yang berbeda. Kampus selaku lembaga pendidikan yang memproduksi ide, menempatkan
mahasiswa dalam kantong-kantong kecil—yang dinamai jurusan. Hal ini dilakukan agar mahasiswa
dapat memproduksi ide-ide mikro akademis sesuai dengan lingkup sempit disiplin ilmu yang
dikuasai. Tanpa memahami apa andil, fungsi dan posisi ide tersebut dalam sebuah sistem raksasa
yang bersifat multidisipliner. Kurikulum yang disusun pun dihegemoni oleh tuntutan pasar, ia
ditujukan untuk menciptakan tenaga pekerja kokoh yang menjadi sekrup bagi sistem kapitalisme,
bukan untuk menciptakan manusia intelektual yang adikarya. Padahal sebenarnya, mencari ilmu
tidak lah sebatas usaha pencukupan diri menuju muara pencarian pendapatan, namun juga proses
merealisasikan diri yang sejati.

Sedangkan dalam proses konsumsi, Fromm menyatakan alienasi terjadi disaat manusia
mengonsumsi tanpa ada nya keterikatan konkret apa pun dengan objek yang dikonsumsi nya. Hal ini
dapat dibuktikan dengan tumbuh nya kebiasaan konsumeristik. Sebuah tingkah laku mental ketika
manusia ingin memiliki suatu barang bukan karena nilai fungsi nya, namun disebabkan oleh atribut-
atribut imajiner yang melekat pada barang tersebut seperti; legitimasi sosial, pengaruh iklan, dan
rasa ekslusivitas. Menurut Fromm, orang berusaha sekuat tenaga untuk mengikuti ritme hidup
bersama agar dapat diakui sebagai bagian dari golongan dengan menjalankan hal-hal yang sesuai
aturan, walaupun sebenarnya ia adalah orang yang tak berdaya tanpa ia sadari. Mahasiswa pun
tidak dapat terelakkan dari fenomena alienasi ini, pendidikan dewasa ini bertransformasi menjadi
sebuah komoditas. Calon-calon mahasiswa berlomba untuk mendapatkan kursi di jurusan yang
dianggap primadona. bukan karena minat dan keinginan mereka sendiri untuk mempelajari ilmu
tersebut, namun karena persepsi dan anggapan yang berkembang di masyarakat. Ada beberapa
jurusan yang dianggap lebih bernilai dan terhormat daripada jurusan lain. Dapat dibayangkan
kerabat dan teman saya kemungkinan besar akan mengerutkan dahi andaikan saya menempuh studi
di jurusan filsafat atau sastra, namun tersenyum bangga jika saya berkuliah di kedokteran. Hal ini
pun dimanfaatkan oleh birokrat kampus, untuk menaikkan harga satu kursi di sebuah jurusan
primadona lewat jalur mandiri—sesuai dengan prinsip ekonomi tradisional demand-supply.

Fromm juga berpendapat bahwa seseorang tidak dapat menghubungkan diri nya sendiri
secara penuh dengan sesama manusia kecuali bila ia memiliki “diri” yang murni untuk membangun
relasi. Sebab esensi dari konsep alienasi itu sendiri ialah tentang kondisi keteransingan manusia
terhadap manusia lain nya, hal ini yang disebut alienasi dalam hubungan dengan orang lain.
Hubungan manusia yang teralienasi tidak lebih dari dari dua mesin hidup yang saling menggunakan
—dua subjek yang saling mengobjektifikasi. Dari hasil analisa yang saya rumuskan, terdapat 2 garis
besar alienasi dalam hubungan dengan orang lain yang diderita mahasiswa; alienasi vertikal dan
alienasi horizontal. Alienasi vertikal terjadi ketika entitas mahasiswa sebagai kaum intelektual
mengalami keterasingan dengan kelompok dan segmen lain di masyarakat—seperti kaum proletar.
Kampus dan pemukiman penduduk berdiri bersebelahan, namun mahasiswa dan masyarakat sekitar
seolah hidup dalam dunia nya masing-masing. Interaksi hanya terbatas pada kebutuhan ekonomi
dan formalitas akademik. Sedangkan alienasi horizontal adalah alienasi yang terjadi pada sesama
mahasiswa. hubungan mahasiswa terhadap mahasiswa lain nya terpisah oleh fragmen jurusan,
fakultas, hingga universitas. Hasrat bersatu dan mengorganisir diri yang organik sudah mengalami
ketiadaan, dan berganti menjadi kepentingan diplomasi semata. Hal ini dapat terjadi dipengaruhi
perasaan superioritas sebuah kelompok mahasiswa terhadap kelompok lain.

Jenis-jenis alienasi sebelum nya seolah bekerja sama menjerumuskan seorang individu pada
titik alienasi final: keterasingan terhadap diri sendiri. Fromm menjelaskan bahwa individu yang
teralienasi merupakan seseorang yang digerakkan oleh nafsu ambisi dan tidak lagi menghayati diri
nya dengan keterbatasan manusia, namun menjadi budak bagi tujuan-tujuan yang di proyeksikan
nya. Sehingga orang tersebut terdistorsi oleh pengaruh bawah sadar yang bermuara pada ambisi.
Penghayatan terhadap diri sendiri selalu disandarkan pada aspek-aspek fiksi seperti jabatan, titel,
dan kekayaan materi yang dimiliki. Fenomena serupa juga menggambarkan pelbagai situasi
memprihatinkan dari kehidupan mahasiswa. Situasi di mana mahasiswa berorganisasi demi tujuan
mencapai pucuk-pucuk jabatan kepemimpinan, meraih ketenaran, dan menyebarkan dominasi
kelompok ekslusif nya. Pada situasi lain, hal serupa terjadi ketika mahasiswa terdistorsi mengejar
angka-angka di atas kertas, namun lupa terhadap tanggung jawab suci nya—yakni pengabdian sosial.
Hal-hal ini yang mengakibatkan pemahaman seorang mahasiswa kepada gagasan forma mengenai
“mahasiwa” menjadi kabur, dan dapat dibuktikan dengan bergeser nya pandangan: mahasiswa yang
awal nya sebagai kaum intelektual menjadi kaum pra pencari kerja.

Pada hakikat nya, manusia merupakan suatu kesatuan. Fenomena alienasi menjerat
mahasiswa pada kurungan-kurungan sepi yang mendistraksi dan menghalusinasikan pikiran untuk
mencegah tercapai nya tujuan kita. Fromm memberikan solusi terhadap problema alienasi dengan
melakukan perubahan besar-besaran terhadap aspek politik, spiritual, orientasi filosofis, struktur
karakter manusia, dan kebudayaan. Sehingga tercipta kehidupan masyarakat yang menuju pada
solidaritas, cinta antar sesama, integrasi antar kerja dan aktivitas sosial. problema mengenai alienasi
ditenggarai menjadi sebab gagal nya revolusi sosial yang diusahakan mahasiswa baru-baru ini.
Perombakan sistem dalam kehidupan mahasiswa sangat diperlukan. sebab situasi sekarang
menyebabkan alienasi justru banyak terjadi pada mahasiswa yang aktif berorganisasi, seperti yang
dibuktikan pada jurnal berjudul “Perbedaan Alienasi Pada Mahasiswa Ditinjau Dari Keikutsertaan
Mahasiswa Dalam Berorganisasi” oleh Ibnu Haldun. Pemikiran Fromm sangat berguna sebagai acuan
dalam melakukan refleksi, sebab Fromm juga berkata titik awal untuk memulai solusi tersebut
adalah kesadaran. Maka tujuan saya dalam melahirkan tulisan ini tidak lain ialah upaya untuk kritik
sekaligus pencerdasan. Tulisan ini merupakan teriakan parau saya kepada kawan-kawan sesama
mahasiswa, sebuah vibrasi yang menjelma menjadi aksara penuh harapan, supaya mampu
memantik kesadaran bagi seluruh kaum intelektual—khusus nya mahasiswa indonesia. Dan yang
paling penting tulisan ini sekaligus menjadi kritik yang saya hunuskan kepada diri sendiri, sebagai
sebuah bentuk deklarasi untuk menolak hanyut dalam situasi yang serba memabukkan.

HIDUP MAHASISWA! HIDUP RAKYAT INDONESIA!

Anda mungkin juga menyukai