Anda di halaman 1dari 31

“Generasi Yang Terus Resah Di Tengah Sistem Kapitalisme”

(Sejarah Gerakan Mahasiswa Kerakyatan)

Betul, kalian yang melahirkan kami, wahai kapitalisme. Akan tetapi, kami tidak akan membiarkan
sistemmu yang semakin lama semakin lapuk itu terus menghisap yang lemah. Betul, bahwa sebagian
besar dari kami adalah kelas borjuis kecil, tetapi kami telah menambatkan pilihan: bahwa kami memihak
mereka yang telah kau hisap selama berabad-abad karena lambat laun, kami pun akan sama dengan kelas
proletariat yang tidak mempunyai apa kecuali peninadasan yang merantai kami. Kalian catat, kami
bersama kaum buruh dan tani akan membalik sistem dunia yang menindas ini. Kami, gerakan mahasiswa
akan terus berada ditengah deyut nadi kaum buruh dan kaum-kaum lain yang kau tindas, bersama
bergerak, melahirkan sistem baru yang manusiawi.
***

I.Sistem Pendidikan Kapitalisme:

Melahirkan “Proletarisasi” dan Perlawanan

Setelah kejatuhan feodalisme akibat tidak kuat menanggung “beban sejarah” perkembangan umat
manusia, lahirlah sistem kapitalisme yang lebih modern. Slogan kapitalisme – sebagaimana yang
diteriakkan dalam Revolusi Prancis, libertey (kebebasan), egality (persamaan), faternity (persaudaraan)
– berhasil menyapu sistem feodalisme yang telah ketinggalan jaman. Inilah bukti bahwa sejarah selalu
bergerak maju. Sederhanya selalu berdialektika. Revolusi Prancis merupakan tonggak munculnya suatu
tahapan baru dari peradapan manusia. Memang berbeda dengan feodalisme, dimana raja adalah wakil
Tuhan, kapitalisme berteriak dengan lantang, semua manusia adalah sama. Kapitalisme “mengibarkan”
tinggi-tinggi “bendera” kebebasan individu. Berkembangnya kapitalisme ini juga ditandai dengan
revolusi tehnologi/ilmu pengetahuan. Berawal ditemukanya mesin uap dan listrik, industri berkembang
secara cepat. Pusat-pusat industri seperti tekstil mulai berkembang, mulai terjadi mobilisasi dari desa
menuju perkotaan. Begitu juga dalam bidang filsafat, eksitensialisme mewakili periode ini. "Segala
"paham tua" yang ada harus dihancurkan", begitu teriakan yang muncul dari kaum borjuasi.

Setiap perubahan dari suatu sistem ke sistem lainya, secara otomatis disertai perubahan corak produksi.
Begitu juga perubahan dari sistem feodalisme ke sistem kapitalisme. Corak produksi feodalisme -- tuan
tanah dan petani miskin sebagai kelas utama -- digantikan oleh kaum borjuasi dan buruh sebagai kelas
utama dalam corak produksi kapitalisme. Ini otomatis mempengaruhi semua tatanan masyarakat yang
ada, budaya, politik, iptek,dll.

Seperti yang disinggung diatas, perkembangan kapitalisme ditandai dengan industrialisasi disegala
sektor, terjadi mobilisasi dari desa ke pusat-pusat industri di perkotaan. Corak produksi lama – corak
agraris – mulai ditinggalkan, mulailah muncul buruh-buruh industri. Kita ambil contoh ini seperti yang
terjadi di Rusia, dimana fase perpindahan corak produksi dari feodalisme ke kapitalisme terlihat dengan
jelas. Sebagaimana yang ditulis Paul Le Blanc:

Pada masa alih abad, dari abad ke 19 ke abad 20, Rusia adalah sebuah negeri yang luas dengan keadaan
yang terus menerus berubah dan bergolak, yang diserang oleh berbagai kontradiksi yang mendalam.
Sebagian besar masyarakat Rusia adalah petani, dengan pemilikan tanah sedang atau tidak sama sekali, yang
baru dilepaskan dan muncul dari perbudakan, namun tetap ditindas oleh kaum bangsawan yang berkuasa.
Pada saat yang bersamaan, sebuah proses dramatis dari industrialisasi dan urbanisasi telah menciptakan
kelas pekerja yang signifikan tetapi rapuh, yang menghadapi kehidupan dan kerja yang buruk sekali. Kaum
kapitalis baru yang meningkat jumlahnya, sementara hanya memperolehkan peran dari patner-patner yunior
di antara penguasa setengah (quasi) feodal di Rusia. 1

Masih dalam contoh perkembangan Rusia, disamping perubahan-perubahan “fisik” diatas, juga terjadi
perubahan dalam tingkatan ideologis. N Olesich dan V Privatov mengambarkan sebagai berikut:

Sementara dalam kebijaksanaan ekonominya, Tsar mendorong peningkatan kepentingan kaum pemilik
modal dalam lapangan ideologi, khususnya dalam pendidikan tinggi, meskipun pendidikan tinggi tersebut
mempunyai cara yang konservatif. Akhirnya dibawah dampak dari kapitalisme, sistem kasta yang picik dari

1
Paul Le Blang, Lenin dan Partai Revolusioner terjemahan halaman 15 - 68

1
pendidikan tinggi, yang hanya memberikan kesempatan pada para bangsawan telah didorong untuk
memberikan jalan pada semua strata masyarakat.

Pada awal abad ke 20, jumlah kaum terpelajar bertambah denga cepat. Pada awal 1903 telah terdapat 85
lembaga pendidikan tinggi di Rusia dengan menampung 42.884 siswa. Kira-kira sepuluh tahun kemudian,
pada tahun ajaran 1914/1915 telah berdiri 105 pendidikan tinggi dengan daya tampung 127.400 siswa 2.

Apa yang terjadi Rusia, juga terjadi dinegara-negara lain yang memasuki fase corak produksi baru –
corak produksi kapitalis. Begitu juga di Indonesia. Bedanya sistem kapitalisme di Indonesia bukan lahir
dari perjuangan borjuasi "pribumi", tapi dicangkokkan oleh kalonialisme Belanda. Pada awalnyapun,
kolonialisme Belanda kurang memperhatikan sektor pendidikan, berbeda dengan negara-negara lain
yang mengalami fase “normal”3 dari perpindahan corak produksi ini. Kolonialisme Belanda pada
awalnya hanya memeras fisik, tanpa meningkatkan kecerdasan rakyat Indonesia 4. Tidak heran kalau di
antara negara jajahan di Asia, Indonesia paling terbelakang, dibanding Malaysia, Brunai, Singapura, yang
menjadi jajahan Inggris.

Baru sejak diterapkanya politik Etis oleh Belanda – setelah kemenangan kelompok liberal, dengan slogan
irigasi, edukasi dan transmigrasi -- terhadap tanah jajahan seperti Indonesia, terjadi perubahan yang
mendasar di berbagai sektor. Perkembangan kapitalisme di Belanda, dimana jumlah produk meningkat,
sementara pasar terbatas, memaksa mencari tempat lain sebagai pasar dan membuka industri baru di
negeri jajahan. Mau tidak mau Belanda harus “mendidik” penduduk daerah jajahan, baik untuk
kepentingan industrialisasi maupun staf adminitrasi rendahan. Dalam laporan Semaoen menggambarkan
kondisi Indonesia setelah diberlakukanya politik etis:

Tahun 1900 menyaksikan perubahan besar: pertumbuhan kapitalisme telah menimbulkan penghisapan
terhadap bumiputra, dan juga proletarisasi. Para kapitalis, untuk memperoleh staff juru tulis dan pegawai
kecil, membuka kesempatan pendidikan bagi bumiputera. Pemerintah mulai menerapkan “Politik Etis”,
yang dengan alasan meningkatkan “standar hidup” orang bumi putera …” 5.

Sekolah-sekolah baru kemudian didirikan, baik oleh pemerintah Belanda atau oleh kaum bumi putera,
kesempatan pendidikan bagi rakyat bertambah luas – dimana sebelumnya hanya golongan priyayi yang
dapat menikmati pendidikan. Sekolah-sekolah yang didirikan oleh kaum bumi putera tidak hanya
bertujuan “komersial”, akan tetapi sudah bertujuan sosial politik. Dapat kita ambil contoh tujuan
didirikan sekolah menurut Serikat Islam:

1. Memberi sendjata tjoekoep, boet mentjari penghidoepan dalam doenia kemodalan 6


(berhitoeng, menoelis, ilmoe bumi, bahasa Belanda, Djawa, Melajoe, d.sb).
2. Memberi haknja moerid-moerid, ja’ni kesoekaan hidoep dengan djalan pergaoelan7
(vereeniging).
3. Menoendjoekkan kewadjipannja kelak, terhadap berjoeta-djoeta Kaeom Kromo8.9

Dari sini kita dapat melihat, paling tidak kapitalisme telah memberikan “sumbangkan” yang berarti --
kesempatan pendidikan, melahirkan intelegensia-intelegensia baru. Dengan begitu telah muncul “kelas”
baru yang mempunyai “keistimewaan” dalam memperoleh akses-akses baik informasi, teori-teori ilmiah
dibandingkan kelas lainya.”Kelas” ini bisa berdiskusi, membicarakan situasi yang ada, membandingkan
kondisi yang mereka alami dengan teori-teori yang mereka pelajari. Maka tidak heran kalau mereka
menjadi kritis terhadap keadaan, kemudian muncul kesadaran untuk mengubah keadaan, mendorong
sektor lain untuk ikut bergerak. Inilah sebanya banyak tokoh-tokoh yang mendorong perubahan dunia

2
Membangun Kontak Mahasiswa Dengan Kelas Pekerja, diterjemahkan dari teks aslinya yang berjudul “ Establising Contacs
With the Working Class” dalam Lenin Student in Revolution, Moscow ;1982
3
Seperti halnya yang terjadi pada revolusi Prancis dan Inggris, feodalisme dihancurkan sehancur-hancurnya. Tapi beda yang
terjadi di Indonesia, sisa-sisa feodalisme masih dipertahankan. Memang yang kemudian kita dapatkan adalah dobel kekuasaan.
Ditingkat atas dikuasasi oleh Belanda, ditingkat bawah para Adipati masih berkuasa. Struktur feodal masih dimanfaatkan oleh
Belanda untuk kepentingan ekonomi ataupun politik. Hal ini dapat kita lihat sistem upeti dan peranan para "raja-raja" lokal
untuk mengawasi sistem tanam paksa, misalnya. Akibatnya, kapitalisasi yang terjadi di Indonesia tersendat-sendat.
4
Kita dapat melihat bagaiman sistem tanam paksa diterapkan oleh Belanda. Segala potensi penduduk yang ada hanya difokuskan
untuk memenuhi kebutuhan barang tanah jajahan. Kerja-kerja rodi yang diterapkan Belanda telah menguras seluruh tenaga
rakyat.
5
Gerakan Indonesia di Hindia Belanda, laporan oleh kawan Semaoen.
6
Untuk mengganti kata kapitalisme.
7
Yang dimaksud sebenarnya adalah berorganisasi.
8
Yang dimaksud adalah rakyat jelata.
9
Tan Malaka, SI Semarang Dan Onderwijs (Drukk Minahasa, Semarang, 1921 dikeluarkan oleh School)

2
berasal dari “kelas” ini, tokoh-tokoh seperti Hegel, Marx, Adam Smid, Lenin, Gandhi, Soekarno,dll –
merupakan intelegensia, lahir dari universitas-universitas.

Apa yang terjadi selajutnya, “kebaikan” kapitalisme ini telah “melahirkan anak haram” yang melawan
“ibu kandungnya sendiri”. Kelas “baru”, yaitu mahasiswa, dalam fakta-fakta sejarah malah mempelopori
untuk melawan sistem kapitalisme yang menghisap. Ini bukan terjadi begitu saja, bahwa ternyata sistem
pendidikan kapitalisme menciptakan “proletarisasi” baru.

Marilah kita kupas lebih mendalam. Kapitalisme membutuhkan banyak tenaga kerja terlatih untuk
memenuhi kebutuhan pasar industri yang berkembang sangat pesat. Dengan demikian, lembaga-lembaga
pendidikan dipacu untuk “melahirkan” tenaga-tenaga kerja ahli sesuai dengan kebutuhan pasar kapitalis.
Apa yang terjadi kemudian, jurusan-jurusan tertentu yang banyak dibutuhkan ekonomi kapitalis dipacu
hasilnya, sedangkan jurusan-jurusan yang tidak ada hubungannya dengan ekonomi kapitalis “dinomer
duakan”. Disadari atau tidak, universitas menjadi sub-ordinasi terhadap kebutuhan langsung terhadap
ekonomi kapitalis. Ernest Mandel mengambarkan kondisi ini sebagai berikut:

Mereka bahkan tidak diizijinkan memilih karir, bidang, studi dan disiplin ilmu yang mereka kehendaki dan
berhubungan dengan keahlian dan kebutuhan mereka. Mereka akan dipaksa menerima pekerjaan, disiplin
ilmu dan bidang studi yang berhubungan dengan kepentingan penguasa masyarakat kapitalis, dan tidak
berhubungan dengan kebutuhan mereka sebagai manusia 10.

Dengan kondisi diatas, mahasiswa hanya dijadikan “komoditi”, tidak diberi hak untuk menentukan
pilihan-pilihan, kebebasan ini telah dirampas oleh kebutuhan pasar kapitalis. Mahasiswa yang mencoba
“menentang” kehendak pasar kapitalis, mengambil jurusan yang tidak dibutuhkan oleh kebutuhan
kapitalis, maka akan menjadi penganggur-penganggur baru. Adalah tepat yang digambarkan Ernest
Mandels tentang kondisi ini, mengutip dari kuliah umum seoang pendidik yang terkenal di Kanada:

Beberapa hari yang lalu, ketika di Toronto, salah satu pendidik Kanada yang terkenal memberikan kuliah
umum tentang sebab-sebab perlawanan mahasiswa. Menurutnya, alasan-alasan perlawanan itu “secara
mendasar bersifat material”. Bukan karena kondisi hidup mereka tidak memuaskan;bukan karena mereka
diperlakukan seperti buruh abad XIX. Tapi karena secara sosial kita menciptakan sejenis proletariat 11 di
universitas yang tidak berhak berpartisipasi dalam menentukan kurikulum, tidak berhak, setidaknya untuk
ikut menentukan kehidupan mereka sendiri selama empat, lima atau enam tahun yang mereka habiskan di
universitas.12

Dari sini jelaslah, mahasiswa menjadi terasing dengan “kehidupanya” di universitas. Mereka menjalani
kehidupan di universitas dengan keterpaksaan, bukanlah kehendak dari hati nurani. Apa yang didapatkan
adalah kondisi universitas yang “otoriter”, tidak memberi peluang kepada mahasiswa untuk
mengembangkan kemampuan mereka. Tuntutan-tuntutan kapitalis yang tidak berhubungan dengan bakat
perorangan dan kebutuhan manusia, itulah yang ada.

Makin terasingnya tenaga kerja intelektual ini sedikit banyak menggerakkan perlawanan mahasiswa.
Memang perlawanan ini bukan pelopor dari perlawan kelas buruh, tapi dapat menjadi picu ledak bagi
perlawanan sektor lain yang lebih luas. Awalnya perlawanan mahasiswa adalah untuk menghadapi
birokrasi kampus yang otoriter, yang mengekang kebebasan indiviudal mereka. Mereka berusaha
mengubah tatanan kampus agar bisa lebih “memanusiakan”. Ernest Mandels menyatakan dalam
tulisanya:

Mereka (mahasiswa-pen) pertama-tama berhadapan dengan wewenang para dosen dan lembaga-lembaga
universitas yang paling tidak dalam bidang ilmu sosialnya tidak berhubungan dengan realitas. Pelajaran
yang mereka peroleh tidak memberikan analisa ilmiah yang obyektif tentang apa yang sedang terjadi di
dunia atau negara-negara barat lainya. Tantangan terhadap wewenang akademis dari lembaga inilah yang
kemudian cepat bergeser menjadi tantangan terhadap isi pendidikan. 13

10
Gerakan Mahasiswa Revolusioner: Teori dan Pratek, Ernest Mandels
11
Makna proletariat disini bukan makna sesungguhnya. Makna proletariat sesuguhnya adalah suatu kelas yang tidak memiliki
alat produksi, menghasilkan nilai lebih dan tidak bisa mengakumulasi modal. Proletariat yang dimaksud disini adalah
keterasingan mahasiswa dengan apa yang ada di universitas, seperti halnya kaum buruh yang “terasing” dengan proses produksi
yang ada di pabrik
12
Gerakan Mahasiswa Revolusioner: Teori dan Pratek, Ernest Mandels
13
Ibid

3
Hal ini kemudian diperparah oleh situasi kehidupan mahasiswa yang makin memburuk, baik akibat
dikuranginya subsidi pendidikan, dikuranginya beasiswa, ataupun akibat orang tua mereka yang semakin
melemah ekonominya akibat krisis yang ada. Banyaknya subsidi bagi sektor pendidikan dianggap tidak
efisien. Banyak anggaran negara yang harus dikuluarkan untuk kebutuhan ini, itulah alasannya.
Pendidikan kemudian dikomersialkan, mahasiswa harus memenuhi kebutuhannya sendiri – baik untuk
pemenuhan literatur-literatur, penelitian ilmiah – dengan membayar mahal biaya pendidikan. Akibatnya
banyak mahasiswa yang harus berhenti kuliah, hanya mahasiswa kaya yang mampu melanjutkan kuliah.
Ada baiknya kita melihat keadaan mahasiswa di Rusia awal abad 20:

Pada tahun ajaran 1899/1900, 5,3% dari mahasiswa di universitas Moskow nyaris tidak dapat
melanjutkan kuliahnya. Pada tahun 1901 jumlah siswa yang sangat membutuhkan bantuan
keuangan melonjak di Universitas Moskow; 62,27% di Jurusan Filologi, 50,21% di Jurusan
Matematika, dan 60,73% di Jurusan Kedokteran. Jumlah siswa yang butuh bantuan keuwangan
sangat melonjak di kedokteran hewan, institut pertanian, sekolah guru dan sekolah asisten dosen….

…. Sementara pemerintah secara reguler selalu menaikkan bayaran sekolah. Cara ini telah
membuat terdepaknya para mahasiswa yang tidak kaya dari universitas. Dari periode 1887 hingga
1898 uang bayaran meningkat dari 10 rubel menjadi 50 rubel. Pada masa revolusi (gagal-pen) 1905
uang bayaran telah mencapai 100 rubel pertahun.

Setiap tahun uang dana beasiswa terus dikurangi. Pada tahun 1899 hanya 6,1% siswa di Universitas Kazan
menerima beasiswa. Pada tahun 1904 jumlahnya semakin menurun mencapai 4,3%. Seringkali dalam
mendistribusikan beasiswa para birokrat pendidikan tinggi lebih menekankan pada loyalitas politik
ketimbang kondisi material .14

Dari gambaran-gambaran diatas, jelaslah kapitalisme telah melahirkan “anak” yang salah urus sehingga
melawan “orang tuanya sendiri”. Sistem pendidikan kapitalisme ternyata telah memelihara “harimau”
yang akan menerkam dan membinasakan sistem yang telah membesarkan.

II. Perlawanan Mahasiswa : Dari Kampus Menuju “Jalan Raya”


Antara Gerakan Moral dan Gerakan Politik

Apa bila kita telusuri, perlawanan-perlawanan memang berasal dari dalam kampus, dari persoalan-
persoalan interen kampus. Segala kebijaksanaan yang mencoba mengekang aktivitas mahasiswa, terus
menerus didobrak oleh mahasiswa sendiri. Kondisi pendidikan yang tidak memadai, profesor-profesor
yang “kolot”, kurikulum-kurikulum yang tidak memenuhi harapan mahasiswa – kondisi inilah yang pada
mulanya mendorong perlawanan mahasiswa. Kita dapat melihat fakta-fakta yang ada selama ini tentang
“tahap awal” perlawanan mahasiswa yang dimulai dari dalam kampus. Kejadian ini dapat dilihat ketika
perlawanan mahasiswa di Rusia tanggal 8 Februari 1889 di Univeristas Petersburg ketika mahasiswa
mengejek rektor mereka yang reaksioner 15.

Apa yang terjadi di Universitas yang ada di Italia, “pemberontakan” mahasiswa sebetulnya hanya berasal
dari persoalan yang “sepele”. Berawal dari tradisi staf pengajar yang otoriter, para profesor hanya
memberikan pelajaran sesuai yang ada dalam diktat, begitu juga materi ujian juga hanya diambil dalam
diktat16. Kurikulum yang adapun juga tidak memadai lagi, sudah ketinggalan jaman. Kondisi inilah yang
kemudian mendorong mahasiswa untuk mengadakan perlawanan. Tuntutan mahasiswa yang pada
awalnya hanya tuntutan di satu universitas menjadi meluas ke seluruh universitas yang ada di Italia.

Kondisi Spayol dibawah pemerintahan Franco yang fasis seddang mengalami krisis – baik politik
maupun ekonomi – membawa akibat langsung pada bidang pendidikan. Biaya pendidikan yang mahal
dan minimnya subsidi mengakibatkan banyak mahasiswa yang harus droup out, 40 sampai 50 persen
mahasiswa mengundurkan diri sebelum ujian akhir 17. Kondisi ini diperparah dengan tidak adanya
kebebasan dari mahasiswa untuk berorganisasi, hanya ada satu organ mahasiswa yang diakui oleh
pemerintah. Kondisi inilah yang kemudian memacu mahasiswa untuk mengadakan perlawanan. Mereka

Membangun Kontak Mahasiswa Dengan Kelas Pekerja, diterjemahkan dari teks aslinya yang berjudul “ Establising Contacs
15

With the Working Class” dalam Lenin Student in Revolution, Moscow ;1982

16
Lihat Mahasiswa Bergerak, Alex Supartono, hal 23, YLBHI, 1999
17
Ibid, hal 28

4
mengorganisir diri, membentuk wadah perlawanan, dimana perlawanan kemudian meluas, tidak hanya
menentang kondisi dan sistem pendidikan, tapi juga melawan rejim Franco yang fasis.

Kita beralih ke Prancis. Setelah gerakan mahasiswa mencapai puncaknya ketika memprotes invansi
imperialis ke Aljasair (1961), dapat dikatakan gerakan melemah. Ini disebabkan oleh persoalan subyektif
dari serikat mahasiswa waktu itu, UNEF (Union Nation des Etudiants de France). Hampir 7 tahun dapat
dikatakan gerakan mahasiswa di Prancis mengalami titik jenuh, baru memasuki tahun 1968 gerakan
menguat, bukan karena situasi politik tapi karena situasi lingkungan mahasiswa sendiri. Selama ini
mahasiswa harus melawan disiplin asrama yang kolot, mahasiswa laki-laki dilarang datang ke asrama
perempuan, propaganda politik dilarang, dapat dikatakan asrama seperti halnya penjara. Inilah
gambaranya:

… Di tahun 1968, 72% mahasiswi dan 58% mahasiswa tinggal di asrama. Peraturan disiplin di Asrama
sangat represif dan kuno;pertemuan dan propaganda politik dilarang dan mahasiswa tidak diijinkan masuk
ke asrama mahasiswi. Mereka dilarang mendekorasi kamar dan menancapkan apapun di dinding; dibanyak
asrama mereka hanya boleh menerima tamu diruang tamu…18

Kondisi seperti diatas yang kemudian memancing mahasiswa yang sebelumnya “tertidur” untuk bangkit
kembali. Kampaye anti peraturan yang kolot kemudian dilancarkan oleh mahasiswa di beberapa
universitas. Aksi-aksi mahasiswa mulai bermunculan lagi, kondisi ini kian memanas dengan adanya
kondisi universitas yang makin tidak memadai; beasiswa yang tidak mencukupi, fasilitas pendidikan
yang minim, tidak ada café, bioskop, diskotik.

Begitu juga dengan perlawanan mahasiswa di Korea Selatan. Awalnya perlawanan mahasiswa di Korea
Selatan adalah adanya pengekangan terhadap kehidupan mahasiswa di universitas mereka berada.
Gerakan ini dimulai dengan adanya, pertama kebijaksanaan otonomi kampus dalam artian kampus adalah
lembaga akademis yang harus terbebaskan dari kepentingan politik diluar dunia akademis seperti politik
praktis, organisasi massa, parpol, juga organisasi buruh dan tani. Kedua, adanya kebijaksanaan wajib
militer. Kebijaksanaan ini bertujuan sebagai alat cuci ideologi bagi negara dan menanamkan
nasionalisme sempit.

Ketiga, tidak diakuinya organisasi kampus selain Dewan Perwakilan Mahasiswa yang dibentuk oleh
universitas. Di dalam suatu universitas hanya ada satu organ mahasiswa yang diakui yang tentu saja telah
dikooptasi peran dan keberadaannya. Keempat, dibentuknya Komite Disiplin Akademis. Komite ini
dibuat dengan kuasa penuh untuk memberikan sanksi-sanksi disiplin pada mahasiswa, dosen dan
profesor yang memberikan dukungan terhadap gerakan demokratis. Aktivis mahasiswa diancam dengan
droup out dan skorsing. Akibat adanya komite ini, sekitar 1.600 mahasiswa dipecat dari universitas,
puluhan lainya dipenjara dengan masa hukuman 1-10 tahun.

Hal serupa juga terjadi di Indonesia awal-awal tahun 90-an. Kebijaksanaan NKK/BKK --yang diterapkan
pada akhir tahun 78-an untuk “mematikan perlawanan” mahasiswa --mulai dipertayakan. Mahasiswa
mulai menuntut otonomi kampus, dihapuskanya depolitasasi kampus, diberikanya kebebasan untuk
mendirikan lembaga-lembaga mahasiswa alternatif. Memang berbeda strategi yang diterapkan gerakan
mahasiswa Indonesia dengan strategi gerakan di negara-negara lain. Gerakan mahasiswa Indonesia
mengambil strategi “melingkar” ,untuk membuka ruang yang tertutup rapat di universitas, mahasiswa
melakukan aksi-aksi advokasi. Maka kasus-kasus Kedung Ombo, Kaca Piring, Belanguan, diangkat oleh
gerakan mahasiswa.

Memang dalam satu sisi strategi “melingkar” ini menguntungkan karena langsung menohok isyu-isyu
politik, akan tetapi juga membawa akibat lain. Aktivis-aktivis yang mempunyai kesadaran politis ini
tetap minoritas jumlahnya, sementara mayoritas mahasiswa di dalam “penjara” universitas tidak
mempunyai kesadaran politis, kesadaran ‘ekonomispun” jumlahnya masih amat terbatas jumlahnya.
“Liberalisasi” universitas yang seperti di Barat tidak terjadi di Indonesia, sehingga persoalan ini – dimana
mahasiswa apolitis, terbelakang dalam tradisi ilmiah -- sampai saat masih menjadi masalah yang harus
dipecahkan oleh gerakan mahasiswa dewasa ini.

Marilah kita melangkah lebih jauh. Gerakan mahasiswa yang berawal dari kampus tersebut bersamaan
dengan proses dialektika yang terjadi, kemudian merambah ke “jalan raya”, mengugat sistem negara

18
Mahasiswa Bergerak, Alex Supartono, hal 42, YLBHI, 1999

5
yang otoriter. Gerakan mahasiswa sadar bahwa sistem otoriter di kampus adalah akibat langsung dari
sistem negara yang juga otoriter. “Slogan” perjuangan gerakan mahasiswa harus menjadi bagian dari
gerakan demokratik yang menyeluruh melawan rejim otoriter. “Tidak mungkin ada demokrasi di kampus
sebelum masyarakat menjadi demokratis”. Ernest Mandels menuliskan:

Dalam garis besar, gerakan mahasiswa dimulai dari isyu-isyu kampus dan dengan cepat mulai bergerak
keluar batas-batas universitas. Gerakan ini mulai menanggapi masalah-masalah sosial dan politik yang tidak
langsung berhubungan dengan apa yang terjadi di dalam universitas. 19

Selanjutnya kita ambil contoh lagi apa yang terjadi di Rusia akhir abad 19 untuk memperkuat fakta-fakta
diatas, memperlihatkan perlawanan mahasiswa yang awalnya bersifat “ekonomis” menjadi gerakan yang
politis, menentang kekuasaan yang ada. Sebagai mana digambarkan oleh N Olesich dan V Privalov:

Peristiwa dapat dimulai pada tanggal 8 Februari 1899. Pada sebuah perayaan di Universitas Petersburg para
mahasiswa mengejeki rektornya, yang selalu reaksioner, dan aksi berkembang lebih jauh menjadi kebencian
terhadap Tsar. Lalu mahasiswa memutuskan untuk mengadakan gerak jalan menuju Nevsky Prospekt.
Pemerintah memutuskan untuk menghukum mereka. Polisi secara brutal membubarkan barisan. Beberapa
hari kemudian peristiwa tersebut menjadi perhatian umum di St Petersburg dan keseluruh negeri. Semua
lembaga pendidikan di Rusia menyatakan mogok dibawah slogan kebebasan individu dan kenbebasan
bicara didalam lingkungan ilmu pengetahuan. 20

Lebih lanjut digambarkan bahwa tuntutan tersebut tidak mungkin bisa tercapai dalam sistem
pemerintahan Tsar yang otoriter:

Sementara itu pada tahun 1899, para mahasiswa tetap melangkah jauh dengan tuntutan abstrak kebebasan
individu dan hak-hak perseorangan, yang tidak mungkin di bawah otokrasi Tsar. Pada tahun 1901-1902,
slogan para mahasiswa menjadi lebih politik kongkrit dan mendalam, seperti misalnya, “gulingkan otokrasi
!” dan “kami menginginkan kebebasan bicara, dewan mahasiswa dan pers!”. Leaflet para mahasiswa
menekankan lebih jauh lagi dari tuntutan akademik pada tuntutan politik, dan pentingnya aksi mahasiswa
dengan kelas pekerja.

Meskipun dalam tujuan gerakan secara keseluruhan masih akademis dalam tahun 1901-1902, tapi gerakan
ini sudah siap mengadopsi alat-alat politik. Para mahasiswa meninggalkan rumus-rumus universitas dan
turun ke jalan, melakukan demostrasi, sebuah perjuangan politik. Dengan bekerja sama dengan kelas
pekerja dalam demostrasi, para mahasiswa, semakin sadar, dan membawanya menuju revolusi. 21

Gerakan politik mahasiswa Korea Selatan berawal dari tuntutan kebebasan berorganisasi, kebebasan
demonstrasi, mogok dan kebebasan pers, yang merupakan tuntutan demokratik gerakan di negeri itu
melawan rejim militer. Kemudian tuntutan ini berkembang menjadi tuntutan anti AS (anti imperialisme).
Gerakan mahasiswa ini semakin membesar ketika bulan juli 1989, Rim Sun Gyong ditangkap karena
menghadari Festival Pemuda dan Mahasiswa Dunia ke 13 di Pyongyang, Korea Utara, dia kemudian
dihukum 10 tahun.

Peristiwa ini telah menyulut aksi mahasiswa di seluruh Korea Selatan dan menyeret seluruh sektor rakyat.
Aksi-aksi mahasiswa kemudian berkembang lebih jauh menjadi aksi anti kekerasan militer. Tragedi
Kwangju 1980, dimana tentara membunuh para demostran, sekitar 1000 orang mahasiswa mati. Tahun
1982 tiga mahasiswa diculik oleh Dinas Intelejen Korea, ketiganya disiksa dan dibunuh oleh dinas
intelejen tersebut. Peristiwa-peristiwa ini mulai mengubah strategi perjuangan mahasiswa, dari aksi
“damai” menuju taktik “kekerasan”. Mulai digunakan bambu, tongkat, pipa besi dan bom molotov untuk
melawan tentara.

Ternyata gerakan mahasiswa tidak hanya menggugat sistem kapitalis di negara mereka sendiri, tapi juga
menggugat sistem yang sama di negara-negara lain. Beberapa aksi dari imperialis untuk
mengkolonialisasi negara-negara lain. Ernet Mandels memberikan contoh-contoh gerakan mahasiswa
yang terjadi Kolumbia, dan negara-negara Eropa Barat,:

19
Gerakan Mahasiswa Revolusioner: Teori dan Pratek, Ernest Mandels
20
Membangun Kontak Mahasiswa Dengan Kelas Pekerja, diterjemahkan dari teks aslinya yang berjudul “ Establising Contacs
With the Working Class” dalam Lenin Student in Revolution, Moscow ;1982
21
Ibid

6
Apa yang terjadi di Kolumbia di mana masalah penindasan komunitas kulit hitam diangkat oleh sejumlah
mahasiswa pemberontak mirip dengan apa yang terjadi dalam gerakan mahasiswa Eropa Barat, paling tidak
dielemen paling maju, yang paling peka terhadap masalah-masalah yang dihadapi orang-orang paling
tertindas dalam sistem kapitalis dunia.

Mereka terlibat dalam berbagai aksi solidaritas dengan perjuangan pembebasan revolusioner di negara-
negara berkembang seperti Kuba, Vietnam dan bagian-bagian tertindas lainya dunia ketiga. Identifikasi
bagian-bagian yang paling sadar dalam gerakan mahasiswa Prancis dengan revolusi Aljasair, dan
perjuangan Aljasair dari imperialisme….. Kalangan mahasiswa yang sama kemudian akan mengambil
tempat di depan dalam perjuangan mempertahankan revolusi Vietnam melawan perang agresi imperialisme
Amerika.22

Pergeseran perlawanan mahasiswa -- dari isyu-isyu kampus ke isyu-isyu politik -- ini tidak terjadi begitu
saja. Perkembangan sistem kapitalisme baik di negara maju atau di negara dunia ketiga secara langsung
mempengaruhi hal ini. Seperti yang sudah dijelaskan diatas, alienasi mahasiswa terhadap lingkungannya
menyebabkan mahasiswa kritis terhadap sistem yang ada. Selama sistem kapitalisme masih ada, berarti
masih ada tenga kerja yang terasing, baik itu kerja manual maupun kerja intelektual. Dan karena itu akan
tetap ada mahasiswa yang terasing, berarti perlawanan mahasiswa akan tetap ada.

Setidaknya ada dua ciri pokok perlawanan mahasiswa – dari pergeseran isyu-isyu kampus ke isyu politik
– sebagai pelajaran bagi gerkan mahasiswa. Pertama, dari “menyerang” sistem otoriterian di dalam
kampus, gerakan bergeser dengan menyerang sistem kapitalisme. Ini tentunya merupakan kesadaran
maju, bahwa sistem di kampus yang “mempenjarakan” tidak akan berubah tanpa merubah sistem negara
yang menindas. Tumbuhnya kesadaran ideologis ini merupakan “kunci” bagi gerakan mahasiswa untuk
“membuka” ruang yang telah mengukung mahasiswa selama ini, “ruang” yang menyebabkan mahasiswa
terasing baik dengan lingkungan atau dirinya sendiri.

Kedua, tumbuhnya kesadaran internasionalis. Apabila kita saksikan, gerakan mahasiswa tidak hanya
memperhatikan kepentingan mereka sindiri, tapi juga memperhatikan nasib rakyat dibelahan bumi lain
yang ditindas sistem yang sama. Dapat kita saksikan aksi mahasiswa yang mendukung perjungan rakyat
Aljasair, Vietnam, mendukung perjungan kaum kulit hitam di Afrika. Ini menunjukkan kesadaran yang
lebih maju lagi, dimana gerakan mahasiswa mulai sadar bahwa perjungan mereka tidak cukup di
perjuangkan di negara dimana mereka berada, tapi harus dilakukan diseluruh dunia. Hal ini didasari
kesadaran, bahwa ternyata terjadi di dalam kampus mereka, juga terjadi di kampus-kampus lain di negara
lain, dan berarti sistem kapitalis yang menindas tidak hanya terjadi di satu negara tapi telah meluas ke
negara-negara lain. Bahwa ternyata “racun’ kapitalis telah disebarakan ke seluruh penjuru dunia, maka
“penawarnyapun” harus diberikan ke seluruh penjuru dunia pula.

Pergeseran dari isyu lokal di dalam kampus menjadi isyu politik yang kemudian menyerang sistem
kapitalis, sekaligus untuk membahas apakah gerakan mahasiswa tetap berkutat pada gerakan moral atau
melangkah ke gerakan politik. Perdebatan ini sampai saat ini tetap menghangat, baik di negara-negara
kapitalis maju maupun negara dunia ketiga seperti Indonesia.

III. Gerakan Moral VS Gerakan Politik

Ada sebagian pendukung gerakan morol garakan mahasiswa yang berperdapat, bahwa peran mahasiswa
cukup mengkrititsi dan maksimal mempelopori perubahan tapi tidak akan pernah menuntaskan
perubahan itu sendiri. Menurut pendapat ini, pada tahap “penyelesaian”, kekuatan sosial dan politik non
mahasiswa yang akan mengambil alihnya. Setelah serah tugas berlangsung, mahasiswa kembali ke
kampus untuk “belajar” kembali. Atau dalam bahasa Soe Hok Gie, mahasiswa berperan seperti halnya
“cow boy”, datang pada saat ada penjahat, setelah penjahat berhasil ditumpas sang cow boy kembali ke
tempatnya. Argumen seperti ini dapat kita lihat dalam tulisan Arbi Sanit tentang gerakan mahasiswa:

Perlu dicatat bahwa mahasiswa memang tidak menuntaskan koreksi dan perubahan sosial itu sendiri. Juga
perlu diingat bahwa cetusan koreksi serta perubahan, dimasyarakatkan oleh mahasiswa bersama kekuatan
masyarakat lainya. Terdapat kerjasama di antara mahasiswa dan kekuatan sosial lainnya, sejak awal
mahasiswa menerima peranannya dalam suatu masalah, sampai pada penyelesainnya. Justru pada tahap

22
Gerakan Mahasiswa Revolusioner: Teori dan Pratek, Ernest Mandels

7
penyelesaiannya, kekuatan sosial dan politik non mahasiswa beserta lembaga-lembaga masyarakat yang
ada, mengambil alih dan menyelesaikan kegitan yang dirintis oleh mahasiswa tersebut.

Dalam hal proses serah tugas seperti itu telah berlangsung, mahasiswa kembali ketugas utamanya yaitu
studi dan mempersiapkan diri untuk memasuki berbagai bidang profesi. Dan berkenaan dengan posisi serta
perannya sebagai bagian kaum intelektual, mahasiswa kembali kekegiatan analisa dalam rangka memahami
kelanjutan proses kehidupan dan menentukan sikap terhadap proses tersebut. 23

Sementara pendapat yang menyatakan bahwa gerakan mahasiswa tidak cukup hanya dengan gerakan
“moral fosce” harus menjadi gerakan “political fosce”, beragumentasi bahwa mahasiswa tidak hanya
cukup mengkritisi dan mempelopori perubahan, tapi juga harus bereperan aktif untuk menuntaskanya.
Tujuan apa? Dengan berperan aktif dalam penuntasan perubahan akan dapat “mengawal” perubahan itu
sendiri, sehinga segala idelaisme yang ada dapat diwujudkan. Karena bagaimanapun antara kesadaran
mahasiswa dan massa rakyat tetaplah berbeda, harus diakui bahwa kesadaran mahasiswa lebih maju
sehingga inisiatif-inisiatif bagi perubahan dan kemenangan yang telah direbut tetaplah diperlukan. Dan
bahkan mahasiswa perlu “mencerdaskan” sektor rakyat lainya dengan memberikan pendidikan ideologi,
politik, organisasi, taktik dan strategi perjuangan.

Sebetulnya perdebatan ini akan berakhir ketika kita berangkat dari analisa apa itu negara dimana kita
berada saat ini? Negara inilah yang nota bene membentuk satu sistem yang ada saat ini. Dengan analisa
ini diharapkan kita tahu apa yang harus kita kerjakan, apakah perjuangan cukup dengan perjuangan
moral atau harus dengan perjuangan politik?!

Negara memang telah berkembang dari bentuk yang paling sederhana sampai yang modern sampai saat
ini, dan perkembangan ini akan terus berlanjut. Pada tahap awal perkembangan manusia, negara tidaklah
dikenal. Segala fungsi kerja dalam kehidupan sosial dijalankan secara kolektif oleh seluruh anggota
masyarakat. Tentang hal ini kita bisa mengambil contoh yang terjadi pada suku Bushmen (suku Afrika
yang tinggal dibelukar):

Sehubungan dengan Bushmen (suku Afrika yang tinggal di belukar, pentj.), Pastur Viktor Ellenberger
menuliskan suku ini tidak mengenal kepemilikan pribadi ataupun pengadilan-pengadilan, ataupun otoritas
sentral dan lembaga khusus seperti itu. (La fin tragique des Bushmen, hal 70-73; Paris, Amiot-
Dumont,1953). Pengarang lain menulis tentang suku yang sama: “Gerombolan, bukan sukunya, adalah
lembaga politik yang sebenarnya pada suku Bushmen. Setiap gerombolan memiliki otonomi, menjalankan
hidupnya mandiri dari yang lain. Segala urusannya adalah hukum yang diatur oleh pemburu terlatih dan
orang tua, orang yang lebih berpengalaman secara umum.” (I. Shapera, The Khoisan Peoples of South
Africa, hal 76, George Routledge and Sons, Ltd., 1930.).24

Hal serupa juga kita lihat dalam masyarakat Mesopotamia kuno, dimana fungsi aktif dan pasif dijalankan
secara kolektif rejim klan totem:

Hal yang sama juga terjadi pada rakyat Mesir dan Mesopotamia kuno: “Saat itu keluarga patriarkis dengan
otoritas paternal tidak lebih matang daripada pengelompokkan politik tersentral… Kewajiban aktif dan pasif
dilakukan secara kolektif dalam rejim klan totem. Kekuasaan dan tanggung jawab dalam masyarakat ini
masih memiliki ciri yang tak dapat dipisahkan. Di sini kita melihat masyarakat komunal dan egaliter,
partisipasi dalam totem yang sama, esensi utama dan dasar dari setiap individu untuk menyatukan
semuanya, menempatkan semua anggota klan pada dasar yang sama.” (A. Moret dan G. Davy, Des Clans
aux Empires, hal 17, La Renaissance du Livre, 1923.). 25

Kemudian dalam perkembanganya, kerja sosial berkembang dan masyarakat terbagi menjadi kelas-kelas.
Saat itulah negara pertama kali muncul, ketika terjadi pembagian kerja dalam kehidupan sosial
masyarakat. Dengan terbentuknya negara, sejumlah kecil minoritas dari masyarakat mengambil alih
peran sosial yang ada. Perkembangan ini makin lama makin rumit sejalan dengan corak perkembangan
masyarakat. Dalam sistem kapitalisme seperti saat ini, negara tidak lebih adalah alat kontrol dari pemilik
modal (borjuasi) terhadap kelas-kelas lain. Karena merupakan alat kontrol, maka dibentuklah intitusi-
intusi seperti birokrasi, tentara, parlemen, lembaga peradilan, yang semuaanya dipilih dari kelas mereka,
dapat dikatakan semua lembaga yang ada sudah dikuasai kaum borjuasi.

23
Mahasiswa, Kekuasaan dan Bangsa, Arbi Sanit, Lingkaran Studi Indonesia, hal. 9
24
Teori Negara Marxis, Ernest Mandels, diterjemahkan dari tulisan asli berbahasa Inggris
25
Ibid

8
Jika kita sedikit memikirkan masalah itu tersebut, kita lihat semua orang yang menjalankan peran negara,
semua orang yang menjadi bagian aparatur negara, adalah – bagaimanapun juga – anjing penjaga. Polisi
khusus dan polisi biasa adalah anjing penjaga, tetapi begitu juga dengan pengumpul pajak, hakim, pesuruh
dalam kantor pemerintahan, kernet bus kota, dan lain-lain. Secara garis besar, semua peran dari negara dapat
disimpulkan menjadi: pengawasan dan pengontrolan kehidupan masyarakat demi kepentingan kelas
penguasa.26

Dengan kondisi seperti ini, apa bila kita hubungan dengan perjuangan mahasiswa, dengan perjuangan
yang bersifat “moralis”, menyerukan kepada borjuasi yang telah mendominasi segala sektor yang ada
akan menjadi absurd belaka. Karena apa? Secara “naluriah” borjuasi akan tetap mempertahankan
keistimewaan yang telah mereka peroleh, mereka akan tetap mempertahankan posisi kelas mereka agar
tetap bisa mengontrol semua sendi-sendi kehidupan dalam masyarakat.

Kalaupun para borjuasi terdesak misalnya dengan tuntutan-tuntutan mahasiswa, perubahan yang ada
akan hanya bersifat reformis belaka. Bagaimanapun juga hanya perubahan sistem yang akan dapat
mengubah “wajah” negara yang menindas saat ini. Dan ini tentunya harus diperjuangkan secara politik,
tidak cukup dengan tuntutan politis tapi diperjuangkan secara moral.

Tujuan gerakan politik adalah jelas, mengganti sistem yang terbukti menindas untuk kemudian
digantikan sistem lain. Target perjuangan politik adalah kekuasaan, mengambil alih kontrol negara yang
selama ini dipegang penindas. Sedangkan perjungan moral hanyalah meminta “belas kasihan” dari
kekuasaan yang menindas agar sadar dengan apa yang dilakukan.

IV
Sejarah Gerakan Mahasiswa Indonesia:
Gerakan Mahasiswa, Kelahirannya Di Tengah Sistem Kapitalisme Yang Cacat

I.1. Tumbuhnya Organisasi-organisasi Modern di Indonesia.


Setelah patahnya dominasi VOC27 yang datang ke Nusantara dibawah pimpinan Jan P. Coen,
kekuasaan kolonial Belanda diambil alih oleh pemerintah Belanda. Adalah Deandels--seorang
penggagum Nopeloen yang menjajah negerinya—kemudian diangkat menjadi Gubernur Jendral di
Hindia Belanda, dan kemudian membuat terpaan pertama dengan membangun “Jalan Raya Pos” dari
Anyer –di ujung Barat pulau Jawa—sampai Panarukan—di ujung Timur P. Jawa—dengan tumbal
tetetasan darah rakyat Nusantara yang membasuhi setiap incin jalan tersebut. Sejak “Jalan Raya Pos”
membentang dengan kokoh laksana ular yang menjulur, P. Jawa telah disatukan dalam kekuasaan
ekonomi-politik pemerintah Belanda. Sejak saat inilah, berbarengan dengan kemenangan kaum borjuasi
di Prancis, corak produksi kapitalisme mulai dirintis, KAPITALISME CANGKOKAN ! BUKAN
KAPITALISME YANG DILAHIRKAN OLEH BORJUASI NUSANTARA SENDIRI, TETAPI
KAPITALISME YANG DIHASILKAN DARI PERSETUBUAN KOLONIALISME YANG
MENGHISAP DENGAN FEODALISME YANG TELAH MEMBUSUK, SEHINGGA LAHIR
MENJADI KAPITALISME YANG CACAT, BAHKAN SUDAH CACAT SEJAK DALAM
KANDUNGANNYA.
Kapitalisme ini membutuhkan selain tenaga-tenaga rakyat yang dihisap, juga tenega-tenaga ahli
untuk memaksimalkan penindasan mereka agar mereka bisa meneguk kekayaan alam sampai dasar-
dasarnya. Maka kemudian dibangunlah sekolah-sekolah yang akan menjadi sekrup-sekrup dari sistem
kapitalisme. Sekolah Militer yang mereka bangun di Semarang pada tahun 1819—Belanda
membutuhkan militer untuk alat meninadas—baru kemudian dibuka sekolah-sekolah umum seperti
Sekolah Tinggi Leiden (1826), Institut Bahasa Jawa Surakarta (1832), Sekolah Pegawai Hindia-Belanda
di Delft (1842), Sekolah Guru Bumiputra di Surakarta (1852). 28Sekolah-sekolah ini jelas-jelas dibuka
untuk tangan-tangan pemerintah kolonial Belanda di Hindia Belanda, dan sekolah-sekolah ini tentu saja
hanya diperuntukkan bagi anak-anak Belanda dan pegawai Tinggi Pribumi. Selain membuka sekolah-
sekolah tinggi, di Hindia mulai dibangun sekolah dasar—tetapi sekali lagi khusus untuk golongan

26
Teori Negara Marxis, Ernest Mandels, diterjemahkan dari tulisan asli berbahasa Inggris
27 VOC merupakan persekutuan antara pedangan-pedang Belanda yang berasal dari 17 Propinsi yang ada di Belanda.
28 Parakitri T Simbolon, Menjadi Indonesia, Penerbit Kompas, Jakarta, Hal.185.

9
Belanda—dengan membuka sekolah dasar yang sekuler di Weltervreden pada 24 Februari 1817.29 Dan
baru 1871—bersamaan dengan liberalisme di Hindia Belanda—dikeluarkan UU Pendidikan pertama,
pendidikan dan pengajaran semakin diarahkan bagi kepentingan Bumiputra. 30
Seiring dengan pekembangan liberalisme di Hindia Belanda—yang ditandai dengan disahkan UU
Pokok Agraria yang memberikan keleluasaan kepada modal swasta Belanda masuk ke Hindia Belanda—
mau tidak mau pendidikan menjadi salah satu factor penting dalam pembangunan sistem kapitalisme.
Dengan kedok Politik Etis, dibukalah sekolah-sekolah dasar sampai sekolah tinggi bagi pribumi yang
tujuan pokoknya adalah sebagai tenaga-tenaga bagi industrailisasi modal-modal swasta Belanda di tanah
jajahan. Ini seiring dengan prinsip liberalisme dimana koloni bukan hanya sebagai penghasil produk-
produk yang menguntungkan seperti kopi, teh, gula, tembakau, tetapi juga sumber suplai bahan mentah
seperi baja, minyak, batu bara, dll bagi industrialisasi di Belanda. 31 Sumber-sumber bahan mentah
tersebut sebagian besar ada diluar Jawa sehingga banyak membutuhkan tenaga-tenaga kerja baru, maka
bergandenganlah program politik etis—edukasi, irigrasi dan emigrasi—untuk mengekploitasi sumber
bahan mentah tersebut.
Dibuknya sekolah-sekolah tersebut memberikan pengaruh bagai kesadaran kebangsaan bangsa
Indonesia. Ilmu pengetahuan dari Utara yang rasional berpadu dengan pengalaman-pengalaman bangsa
lain yang sedang bergolak di Selatan dalam memperjungkan demokratisasi—khususnya di Tiongkok—
telah membuka sel-sel otak bangsa pribumi tentang arti nasionalisme. Ditengah situasi seperti inilah,
gerakan mahasiswa di Indonesia mulai tumbuh. Adalah Tirto Adisuryo Sang Pemula itu, setelah jebol
dari Stovia—sekolah kedokteran pada masa Belanda—merintis organisasi modern pertama bagi pribumi
yaitu Sarekat Prijaji (1905). Organisasi ini memang didasari semangat kebangsaan, tetapi salah
menentukan materi sebagai unsur perubahannya yaitu kaum priyanyi. Golongan priyanyi ini merupakan
golongan yang beku, yang hanya mengharapkan kedudukan dari gubermen, impian-impian mereka hanya
sebatas pada kenaikan gaji dan kenaikan pangkat 32, yang dunia pikirannya berlindung di bawah
kewibawaan gubermen33, tanpa kewibawan, mereka tidak ada artinya 34. Sehingga ketika mereka
diharapkan sebagai pelopran perubahan dalam melawan kolonialisme, kegagalanlah yang terjadi karena
kebekuan mereka35. Sedangkan sifatnya yang paling progresif adalah gonta-ganti istri, sebelum kawin
‘sesungguhnya’, sebagai latihan, para priyanyi-prinyanyi ini melakukan ‘gladi bersih’ dengan menikahi
perempuan dari keturunan orang kebanyakan. 36 Kegagalan ini kemudian diulangi oleh Boedi Oetomo
(1908)—yang dalam sejarah resmi dianggap sebagai organisasi modern yang pertama-- yang juga
didirikan oleh mahasisa-masiswa Stovia—dipelopori oleh Soetomo. Boedi Oetomo juga mendasarkan
materi yang membangunnya kaum prinyayi, walaupun dapat bertahan hidup sampai tahun 1920 tetapi
tumbuh menjadi organisasi yang lumpuh dan kerdil dalam cita-cita nasionalisme.
Setelah dua organisasi di atas, mulai menjamurlah organisasi-organisasi modern di Indonesia.
Serekat Prijaji setelah bubar berubah menjadi Serikat Dagang Islamiah (SDI) dengan basis utamnya
kaum pedagang—yang kemudian berkembang menjadi SI dan dalam perkembangan selanjutnya sebagai
embrio dari PKI. Sementara itu, di Bandung pada 6 September 1912 dua mahasiswa lulusan Stovia,
Tjipto Mangoenkoesoemo dan Soewardi Soerjaningrat serta seorang Indo, E.F.E. Douwes Dekker,
mendirikan Partai Hindia atau Indishe Partij (IP). 37 Maka semakin maraklah organisasi-organisasi
kebangsaan yang dipelopori oleh mahasiswa. Tidak ketinggal, mahasiswa-mahasiswa Indonesia di negeri
Belanda antara bulan Januari-Pebruari 1925 didirikan organisasi yaitu Perhimpunan Indonesia (PI)—
oragnisasi ini merupakan kelanjutan dari Indsche Vereeniging 38. PI sangat dipengaruhi oleh ideologi
marxisme yang sedang naik daun di Eropa dan juga banyak melakukan diskusi-diskusi dengan tokoh-
tokoh komunis Indonesia seperti Semaun. 39 Dalam program perjuangannya, PI menyatakan:
1. Hanya suatu kesatuan Indonesia yang mengesampingkan perbedaan-perbedaan
sempit dapat menghancurkan kekuasaan penjajah. Tujuan bersama untuk
membentuk suatu Indonesia yang merdeka menuntut pembinaan tasa kebangsaan
yang didasarkan kepada suatu aksi-massa yang sadar dan percaya diri.

29 ibid.hal.188
30 ibid.hal.186.
31 W.F Wertheim, Masyarakat Indonesia Dalam Transisi Studi Perubahan Sosial, Tiara Wacana, Yogyakarta, hlm.71.
32
Pramodya Ananta Toer, Rumah Kaca, Hasta Mitra, Jakarta, hal.264
33 ibid, hal.300
34
Pramodya Ananta Toer, Nyayi Sunyi Seorang Bisu, Hasta Mitra, Jakarta, hal. 169
35 op.cit.hal. 274
36 Pramodya Ananta Toer, Gadis Pantai, Hasta Mitra, Jakarta, hal.62.
37 Parakitri T Simbolon, Menjadi Indonesia, Penerbit Kompas, Jakarta, hal 246-7.
38 John Ingleson, Jalan Ke Pengasingan, Pergerakan Nasionalis Indonesia Tahun 1927-1938, LP3S, Jalarta, hal. 2.
39 Harry A. Poeze, Tan Malaka, Pergulatan Menuju Republik, Grafiti, Jakarta. Hal. 368.

10
2. Syarat mutlak untuk mencapai tujuan itu ialah adanya partisipasi seluruh lapisan
rakyat Indonesia dalam suatu perjuangan yang terpadu untuk mencapai
kemerdekaan.
3. Unsur yang pokok dan dominan dalam setiap masalah politik dan penjajahan ialah
konflik kepentingan antara penguasa dan yang dijajah. Kecenderungan pihak
penguasa untuk mengaburkan dan menutupi masalah ini harus dilawan dengan
mempertajam dan mempertegas konflik kepentingan tersebut.
4. melihat adanya dislokasi dan demoralisasi sebagai akibat pengaruh pemerintah
kolonial terhadap kesehatan fisis dan psikologis dari kehidupan orang Indonesia,
diperlukan sujumplah besar usaha untuk memulihkan kondisi rohani dan kondisi
material menjadi normal. 40
Selain organisasi-organisasi ini, di Indonesia juga berkembang study-study club misalnya yang
terdapat di Surabaya dan di Bandung. Study Club yang ada di Bandung kemudian berkembang menjadi
Partai Nasionalis Indonesia (PNI) yang dipimpin oleh Soekarno.
Apabila kita amati, oraganisasi-organisasi yang dipelopori oleh mahasiswa di atas condong
kepada ideology kebangsaan. Kerangka organisasi yang dibuat oleh gerakan mahasiswa ketika itu tidak
semata-mata hanya melibatkan mahasiswa, tetapi berusaha melibatkan massa rakyat secara luas untuk
kepentingan kemerdekaan, bahkan sudah sampai pada pendirian partai politik. Dalam kerangka gerakan,
konsep yang dibangun oleh mahasiswa-masiswa ketika itu untuk membangun format gerakan adalah
tepat, bahwa tulang punggung dari gerakan adalah massa rakyat yang terlibat aktif dalam organisasi
modern. Sikap sektarian, dalam artian hanya melibatkan mahasiswa dalam gerakan pembebasan nasional
tidak terjadi, tetapi yang tumbuh adalah sikap kebangsaan untuk mencapai Indonesia Merdeka.
Kemudian tentang metode, gerakan yang dipelopori oleh mahasiswa yang muncul sebelum
revolusi nasional adalah melalui rapat-rapat akbar (vergadering) yang dilakukan dipangan terbuka.
Metode ini melibatkan mobilisasi rakyat yang besar untuk kemudian mendengarkan pidato-pidato
politik. Rakyat dari seluruh penjuru yang masih bisa terjangkau dalam vergadering dimobilisasi,
sehingga acara-acara seperti ini selalu ramai dikunjungi oleh banyak orang. Veragadering ternyata sangat
efektif bagi pendidikan politik kepada rakyat, karena dalam setiap pidato-pidatonya, orator-orator selalu
menjelaskan kepada Indonesia terjajah. Selain itu, rakayat dari berbagai golongan—petani, buruh,
pegawai rendahan, dll—bisa berbaur sehingga mereka menyadari bahwa penindasan yang dilakukan oleh
penjajah menimpa banyak golongan sehingga hal ini akan menumbuhkan semangat keberanian dan
kebersamaan—embrio dari semangat persatuan.

I.2. Pers Sebagai Alat Perjuangan


Setiap perjuangan tentu membutuhkan senjata politiknya. Apa senjata itu? Dalam gelombang
nasionalisme abad ke 19, senjata politik dari gerakan kebangsaan adalah Surat Kabar. Bahasa yang
digunakan dalam surat kabar pribuni adalah bahasa Melayu Rendah. Bahasai ini, apabila kita telusuri
pada awalnya merupakan bahasa penghubung, baik antara golongan Tionghoa dengan masyarakat luas
maupun dengan sesama golongan Tionghoa sendiri—ini terjadi karena golongan Tionghoa yang ada di
Indonesia berasal dari macam-macam suku Tiongkok, antara satu dengan lainya mempunyai bahasa
yang berbeda41 (Pramoedya.1999:202)
Perkembangan selanjutnya menunjukkan bahwa bahasa Melayu Tionghoa – pemerintah kolonial
Belanda sering menyebutnya bahasa Melayu Rendah—kemudian banyak digunakan wartawan dan
pemgarang pribumi. Banyak penulis yang nasionalis dan beridologi kiri menggunakan bahasa Melayau
Tionghoa—Pram menyebutnya bahasa kerja –antara lain Raden Mas Tirto Adhi Soerjo, Mas Marco,
Semaun, yang mana buah karya mereka ini tidak disenangi oleh pemerinatah kolonial Belanda yang
mengunakan bahasa Melayu Tinggi. 42
Surat kabar pribumi yang pertama kali mengunakan bahasa Melayu Rendah adalah Medan Prijaji
(1907) yang dirintis oleh Raden Mas Tirto Adhi Soerjo. Surat kabar ini pada awalnya mingguan dan
kemudian berkembang menjadi surat kabar harian dengan berita-berita utama menyangkut persoalan
rakyat yang ditindas oleh penguasa kolonial. Dalam perkembangan selanjutnya, masing-masing
organisasi politik yang berkembang ketika itu mempunyai surat kabar sendiri-sendiri. Partai Komunis
Indonesia mempunyai jumlah surat kabar terbanyak, baik di Jawa, Semarang, Surabaya, Surakarta,
Batavia, Pekalongan maupun yang terbit di luar Jawa seperti di Padang Panjang, Bukit Tinggi, Medan,
Makasar, Pontianak dan Ternate. Organisasi lain seperti Perhimpunan Indonesia juga mempunyai surat

40 Op.cit, hal.6-7.
41 Pramoedya Ananta Toer, Hoakiau di Indonesia, Garba Budaya, Jakarta, hal. 202
42 Leo Suryadinata, Prisma, hal. 48

11
kabar sendiri yaitu Indonesia Merdeka, sedangkan Serikat Islam dengan surat kabarnya Sinar Djawa,
Indische Partij dengan terbitannya De Express dan Het Tijdscrift.
Bagaimana bahasa mereka dalam mengugah semangat kebangsaan dapat kita lihat sebagai
berikut. Dalam memberikan semangat kepada rakyat Indonesia, Marco menulis dalam Sinar Djawa edisi
Kamis, 11 April 1918 No. 82, dengan judul Djangan Takoet sebagi berikut:

--------------------------------------------------------------------------------------------------------

Sekarang kami hendak membitjarakan tentang peperangan soeara ditanah kita Hindia jang
seperti djemeroetini. Apakah peperangan mentjari makan di Hindia sini achirnja djoega seperti
peperangan mentjari makan di Zuid Afrika? Inilah misih djadi pertanjaan jang tidak moedah
didjawab! Kami tahoe ada djoega bangsa kita anak Hindia jang lebih soeka memehak kaoem
oeang dari pada memehak bangsanja jang soedah tertindas setengah mati, maar … djangan
poetoes pengharapan pembatja! Disini ada banjak sekali anak-anak moeda jang berani
membela kepada rajat, dan kalau perloe sampe berbatas jang penghabisan. Dari itoe kita orang
tidak oesah takoet dengan bangsa kita makhloek jang lidahnja pandjang, lidah mana jang hanja,
perloe diboeat mendjilat makanan jang tidak banjak, dan dia bekerdja diboeat masin melawan
bangsanja sensiri jang ini waktoe masih djadi indjak-indjakan. Bangsa apakah orang sematjam
ini?! Itoelah toean pembatja bisa kasih nama sendiri! Sekarang ada lagi pertanjaan, jaitoe tidak
saban orang bisa mendjawab itoe pertanjaan: Apakah di Hindia sini ada soerat kabar jang
dibantoe oleh kaoem oeang, soepaja itoe soerat kabar bisa melawan soerat kabarnja rajat? Ada!
Tetapi nama soerat kabar itoe pembatja bisa mentjari sendiri.

Dari itoe saudara-saudara dan sekalian pembatja, soenggoehpoen berat sekali kita bertandingan
boeat menghela bangsa kita jang amat tertindas, sebab ketjoeali kita mesti berani bertanding
dengan kaoem oeang, dengan bangsa kita sendiri jang lidahnja pandjang. Djadi sesoenggoehnja
pada ini waktoe kita orang tidak bisa tjoema memegangi kebangsa'an (nationalisme sadja,
sebab bangsa kita masih ada jang djadi berkakas, melawan kepad kita sendiri. Djadi
seharoesnja kita djoega mesti mempoenjai hati kemanoesia'an (socialisme). Ingatlah siapa jang
menindas kita? …………….. tetapi ………………

Lain dari itoe, kita memberi ingat kepada saudara-saudara, djanganlah soeka membatja
sembarang soerat kabar, pilihlah soerat kabar jang betoel-betoel memihak kepada kamoeorang,
tetapi jang tidak memihak kepada kaoem oeang Sebab kalau tidak begitoe, soedah boleh
ditentoekan, achirnja kita orang Hindia tentoe akan terdjeroemoes di dalam lobang
kesengsara'an jang amat hina sekali.

Achir kalam, kami berkata; NGANDEL, KENDEL, BANDEL, itoelah gambar hatinja
manoesia jang tidak memandjangkan lidahnja, tetapi menoendjoekkan giginja jang amat
tadjam, dan kalau perloe ……… 43

Selain untuk membangkitkan semangat, surat kabar pergerakan juga berusaha meblejeti sistem kapitalisme yang
ada di Indonesia. Sebagai contoh dapat kita lihat isi surat kabar berikut ini:

-------------------------------

Tjaranja pabrik goela hendak menjewa sawah orang-orang desa itoe jang soedah kedjadian
lantaran dari politie desa: Loerah, Tjarik enz, enz, djadi pabrik tidak oesah rewel-rewel masoek
keloear di romah-romah orang desa jang sawahnja hendak disewa pabrik. Apakah perkara ini
soedah mestinja penggawai desa atau Goepermen: Asistent Wedono Wedono dan Regent mesti
menoeloeng kaperloean pabrik boeat mentjari tanah jang akan ditanami teboe? Kaloek
menoeroet adilnja, seharoesnja pabrik mesti datang di romah masing-masing orang desa dan
lain-lainnja sama sekali tidak boleh toeroet tjampoer tentang perkara sewa menjewa itoe soedah
kedjadian dan hendak teeken perdjandjian. Banjak orang-orang desa bilangan pabrik Tjepiring
dan Gemoeh afdeling Kendal, Semarang, bahwa marika itoe merasa terlaloe menesal sekali,
karena sawahnja disewa oleh pabrik, sebab oeang sewaan tanahnja dari pabrik, itoe lebih
sedikit dari pada hasil kalau itoe tanahnja dikerdjakan sendiri. Apakah sebabnja itoe pabrik
bisa menjewa tanah orang desa dengan harga moerah sekali? Tida lalu tentoe dari roepa-roepa
akal jang tidak baik boeat orang desa itoe, tetapi baik boeat loerahnja enz enz. Begitoe orang
memberi kabar kepada kami. Kalau kabar itoe njata, kami berseroe kepada pemerentah haroes

43 Marco, Djangan Takoet, Sinar Djawa, Kamis, 11 April 1918 No. 82

12
menjelidiki, apakah prijaji-prijaji dan loerah jang memegang peperentahan dipabrik sitoe tidak
terima presen dari pabrik, soedah tentoe akalnja pabrik menjewa tanah orang-orang desa
dengan lakoe jang tidak baik. Hal ini kami telah mendapat keterangan dari beberapa orang desa
jang sawahnja disewa pabrik. Dibawah ini kami bisa kasih keterangan dengan pendek, soepaja
djadi timbangan sekalian orang jang sehat pikirannja: "Sebahoe sawah oleh pabrik tidak lebih
f66,- (enam poeloeh enam roepiah) didalam 18 boelan, jaitoe seoemoernja teboe; sawah
sebahoe kalau ditanami padi bisa tiga dalam 18 boelan, dan itoe padi kalau didjoeal tidak
koerang dari f300 (tiga ratoes roepiah), djadi tiap-tiap sebahoe sawah jang disewa pabrik, orang
desa roegi f234,- (doea ratoes tiga poeloeh empat roepiah). Tjobalah pembatja pikir sendiri
boekankah soedah terang sekali kalau menoeroet keterangan di atas itoe, semoea orang desa
jang sawahnja disewakan pabrik tjoema f66,- (enam poeloeh enam roepiah) sebahoe dalam 18
boelan lamanja, dia orang mendapat keroegian f234,- (doea ratoes tiga poeloeh empat roepiah).
Lagi poela semoea sawah jang loeas ditanami teboe itoe tidak bisa baik lagi ditanami padi.
Kalau menilik hal itoe terang sekali orang-orang desa jang sawahnja disewakan pabrik itoe
tentoe dengan akalan jang tidak baik, sebab kalau tidak begitoe, kami berani berkata, tentoe
orang desa tidak nanti sawahnja boleh disewa pabrik teboe.

Apakah tidak lebih baik pemerentah menentoekan harga tanah jang sama disewa pabrik teboe,
misalnja: pabrik tidak bolih menjewa tanah orang desa korang dari f.200,- sebahoe didalam 18
boelan. Kalau hal ini dilakoekan, tentoe bangsa kita orang desa tida bakal sengsara lantaran
adanja pabrik-pabrik goela.

Keterangan-keterangan ini misih pendek sekali, sebab hanja kami ambil jang perloe sadja,
tetapi kalau ini oesikan tidak bergoena, jaitoe tidak bisa merobah haloean pabrik tentang sewa
menjewa tanah kepada orang-orang desa, dibelakang hari henda kami terangkan dengan
pandjang lebar, djoega semoea perkara jang gelap gelap, soepaja bangsa kita orang desa tidak
menderita kesoesahan. Ingatlah ini waktoe mahal makanan, seharoesnja pemerentah berdaja
oepaja soepaja semoea sawah ditanami padi, tetapi tidak ditanami teboe seperti sekarang. 44

Dalam kesempatan lain, surat kabar pergerakan juga memberikan advokasi kepada pemimpin-pemimpin
pergerakan yang ditangkap. Sebagai contohnya dapat kita lihat dibawah ini:

Seperti jang telah kita kabarkan kemaren, bahwa saudara Sneevliet betoel djadi di boeang.

Sesoenggoehnja tidak nama djarang kalau saja mesti memberhentikan diri tidak toeroet di
dalam pergerakan Hindia, teroetama Sarekat Islam. Sebab kalau saja hitoeng, adalah 8 tahoen
lamanja saja bergerak dilapangan Journalistiek, jaitoe moelai tahoen 1914 nama saja soedah
tertjitak dihalaman soerat kabar Medan Prijaji di Bandoeng, soerat kabar mana jang saja djadi
Mede Redacteurnja. Waktoe Sarekat Islam beloem lahir didoenia saja soedah bertereak ada di
Medan Prijaji tentang tidak adilnja Pemerintah di Hindia sini dan rendahnja bangsa kita.
Tereakan tereakan itoe sekarang soedah mendjadi oemoem, dan asal orang jang mempoenjai
kemanoesia'an dan tidak djilat-djilat kepada orang jang koeat tentoe berani bertereak!

Waktoe djaman De Indische Party dan orang-orang jang memimpin sama di boeang, hanja
seorang doea orang sadja jang berani membela kepada Douwes Dekker, Tjipto dan Soewardi,
tetapi sebagian besar dari bangsa kita sama takoet tjampoer hal itoe, karena mareka itoe
dikatakan oleh fehaknja pemerentah orang jang meroesak keamanan negeri! Tiga orang itoe
jang doeloe dikatakan berbahaja oleh pemerintah sekarang soedah tidak dipandang begitoe
lagi, tandanja soedah sama diidinkan poelang kembali ditanah airnja, Hindia.

Sekarang djaman I.S.D.V., djaman mana jang kita haroes berkata teroes terang kepada publiek,
mengertinja: bangsa bangsat haroes kita katakan bangsat djoega, dan bangsa baik poen kita
katakan baik. Tetapi! ... ja pembatja, selaloe ada tetapinja sadja, tetapi berapa orang bangsa
kitakah jang berani membela kepada bangsa kita seperti Sneevliet jang diboeang lantaran
membela kita orang itoe? Ja! Tidak! Boeat saja sendiri, hati saja tidak berobah lantaran
Sneevliet diboeang itoe, mengertinja tidak senang dan tidak soesah, tjoema sadja kita mesti
memikirkan kesoesahannja Sneevliet. Lantaran Sneevliet diboeang itoe ... barangkali semoea
pemerentahan ... ada didalam perentahnja kapitalisme. Sneevliet berani sampai diboeang!
Apakah pemimpin pergerakan kita djoega berani diboeang djoega berani diboeang di Ambon
atau Menado atau kalu perloe djoega dipoelau jang tidak ada orangnja sama sekali? Bangsa
apakah jang tertindas di Hindia sini? Jaitoe bangsa kita. Mengapakah seorang Belanda seperti

44 Marco, Apakah Pabrik Goela Itoe Ratjoen Boeat Bangsa Kita?!, Sinar Djawa, Hari Selasa 26 Maart 1918, no.71, tahoen ke-19.

13
Sneevliet jang mesti membela tindasan tindasan itoe, dan sampai dia berani diboeang, sedang
bangsa kita jang mengakoe djadi pemimpin roepa-roepanja djarang jang berani bergerak
seperti Sneevliet. Apakah orang Hindia boekan manoesia seperti Sneevliet. Sesoenggoehnja
keadaan itoe, keadaan jang terbaik! Kalau menilik kasoesahannja bangsa kita pada ini waktoe,
seharoesnja kita sendiri mesti bergerak doea kali lebih keras dari pada pergerakannja Sneevliet
dan kontjo kontjonja. Orang tidak oesah takoet apa jang akan menjerang badan kita .... Ingat!
Kita tidak bisa hidoep lebih dari seratoes tahoen! Apakah mengertinja pemboeangan dan
pemboealan jang diadakan oleh peperentahan seperti sekarang ini? Kalau saja ada kekoeatan
dan ada bekakas boeat memboenoeh manoesia, soedah tentoe saja bisa mengadakan
pemboealan dan pemboeangan. Siapa orang jang tidak menoeroet kehendaknja tentoe saja
masoekan boei dan kalau perloe saja boeang. Walaupoen semoea kelakoean saja itoe
meroegikan orang orang itoe. Pendeknja kalau saja koeat, saja bisa merampok memboenoeh
sesoeka saja, dan orang banjak djoega tidak mengatakan perboeatan saja itoe: rampok
rampokan, grajak grajakan dan boenoeh boenoehan. Sebab .... ja! Sebab saja poenja kekoeatan!
Tetapi apakah perboeatan saja sematjam itoe tida dikatakan BADJINGAN oleh orang jang
poenja pikiran waras? Tida taoe!

Pembatja tentoe soedah tahoe, bahwa ini waktoe di Europa tengah banjak radja jang sama
NGRONTOKK, radja radja mana jang doeloe amat mashoer namanja itoe radja radja sebabnja
NGRONTOKK! Tidak lain dari sebab lakoenja jang sawenang wenang dan tidak mengerti
permintaannja orang banjak. Pendeknja perkara orang boleh melakoekan sesoekanja asal sadja
berani, tetapi keberanian jang dilakoekan dengan tipoean jang digoenakan menjenangkan diri
sendiri, itoe kelakoean djahanam!!

Apakah kalau Sneevliet diboeang lantas pergerakan Hindia mendjadi padam? Sabeloemnja
Sneevliet datang ditanah Djawa sini, saja soedah menerbitkan soerat kabar DOENIA
BERGERAK, soerat kabar mana jang haloeannja tida beda dengan Het Vreij Woord. Djadi
sebeloemnja Sneevliet ada ditanah Djawa, di Hindia bidji revollutionnair soedah mengembang
di mana mana!

Djadi iktiar pemerentah jang lantaran kemaoean kapitalisten menjoeroeh memboeang


Sneevliet dari tanah Djawa itoe malah membikin kerasnja pergerakan Hindia. Bagoes 45

Surat Kabar pergerakan juga dijadikan ajang perdebatan diantara tokoh-tokoh pergerakan sendiri
dalam menentukan format gerakan yang tepat:

------------------------------------------------------------------------------------------------------

SIKAPNJA D.D

Sebagai telah dikabarkan, koetika hari Minggoe jang telah laloe di stadtuin di Samarang telah
dibikin satoe vergadering oleh perhimpoenan Insulinde, dalam mana toean Dr. E.F.E. Douwes
Dekeker telah berpidato, njatanja ia poenja sikap dalam pergerakan di Hindia ini.

Di sini kita tiada toetoerkan fatsal sikapnja Insulinde pada Semarangsche lesvereeniging,
karena ada tiada begitoe perloe lagi dikata di sini, jaitoe fatsal empat dalam Gemeente jang di
boeat reboetan oleh antara kaoem kapitalist dan kaoem miskin, jang mana pembatja soedah
mengetahoei.

Tapi jang kita toelis di sini jalah sikapnja D.D. pada perhimpoenan-perhimpoenan di Hindia,
sebab cita rasa ada perloe djoega dikatahoei oleh pembatja kita. Fatsal-fatsal jang tiada perloe
poen kita boeang, kata Pew Soer

Sikapnja pada orang Tionghoa:

Ia bilang, bahwa Tiong Hoa Hwee Koanschool vereeniging tiada mempoenjai dasar politiek,
tapi ia kasih tahoe, bahwa orang Tionghoa tiada betjidra pada Indische Partij Maksoednja
persama'an dari kaperloeannja pekerdja'an djoega. Spreker tahoe betoel bahwa orang Tionghoa
bisa ditarik ke perhimpoenan Insulinde dan marilah kita moesti adjak marika, meskipoen kita

45 Marco, Sneevliet Diboeang, Sinar Hindia, 10 Desember 1918.

14
ditoedoeh bahwa kita tjoema pemboeroe oeangnja orang Tionghoa sadja, tapi keperloeannjaa
tiada diperhatikan.

--------------------------------------------------------------------------------------------------------

Sikapnja pada Sarekat Islam:

Spreker bilang, Sarekat Islam adalah perhimpoenan jang paling penting dan Insulinde moesti
bekerdja bersama-sama. Ini perhimpoenan berhaloean democraat djoega, tapi dengan dasar
Igama. Meskipoen di negeri Olanda toch ada gerakan kaoem democraat dengan beralasan
igama.

Atas parlement spreker njatakan, bahwa ia poenja advies telah di minta oleh minister oeroesan
djadjahan, jaitoe ketika maoe diadakan Volksraad. Ia tiada kira, jang Volksraad ada seperti
sekarang dimana fihak jang lemah kalah soearanja. Tetapi kita moesti berdjalan teroes dan
tiada akan merasa tjapai, kalau maksoed kita beloem kesampaian. 46

Surat kabar sebagai alat perjuangan ini ternyata cukup efektif dalam menumbuhkan
semangat perlawanan dan kebangsaan bangsa Indonesia yang ketika masih terpecah-pecah.

V
Gerakan Mahasiswa Setelah Revolusi Nasional 17 Agustus 1945 Yang Kandas sampai Tahun
1965

Proklamasi kemerdekaan telah berkumandang dimana-mana sejak 17 Agustus 1945. Selamat


datang kemerdekaan!!! Tetapi bukan kemerdekaan yang utuh karena hanya merdeka secara politik tetapi
belum merdeka secara ekonomi. Sitauasi setelah kemerdekaan semakin menunjukkan kemunduran.
Perjalan Revolusi Indonesia menunjukkan bahwa para ideolog, para brahmana pemimpin revolusi tidak
serevolusioner ajaranya sendiri, mereka tertinggal jauh dari krisis revolusioner yang terjadi. Revolusi
ternyata tidak menghasilkan apa-apa selain kondisi lama dalam situasi baru, kaum priyanyi yang kembali
mengambil alih kendali. 47 Akibatnya:
“Para satria lunturan, kaum priyanyi ini, yang sejak bayi tidak dalam tradisi bekerja produktif
atau kreatif, cita-citanya sebelum bisa baca tulis sudah digadaikan pada kekuasaan yang
berlaku, begitu mendapat tempat dalam sistem kekuasaan bukan saja telah jadi arrivee, dengan
sedikit kekuasaan yang dipercayakan oleh sisitem padanya, mulai ia mengunakannya untuk
menghisap keuntungan pribadi. Dalam dinas apa saja, ditempat geografis mana pun” 48.

Setelah mengangkangi kekuasaan politik dan ekonomi, saudaranya sendiri kemudian dibantai.
Senjata-senjata pasukan sudra dilucuti oleh golongan satria, alasan mereka senjata tidak boleh ditangan
rakyat. akibatnya, banyak korban yang bergelimpangan, bukan demi kemerdekaan tapi demi kemapanan
golongan satria.49 Sebagai puncaknya adalah pembantaian terhadap kaum komunis di Madiun.
Revolusi semakin mundur, para pemimpin tumbuh sebagai koruptor-koruptor yang meredupkan
api revolusi, sebelum terjadi apa-apa telah mengkibarkan kain kafan tanda menyerah . 50 Para pemimpin-
pimpin revolusi telah menjurumuskan revolusi, hanya besar dalam omongan. 51 Akibatnya, satu demi satu
kota-kota yang dikuasai oleh Republik runtuh, sampai Yogya sebagai pusat kekuasaan juga runtuh 52,
para pemimpin revolusi semakin tidak percaya diri sehingga menyandarkan revolusi pada loby dan
Coctail .53 Hasilnya pun serba setengah-setengah, termasuk demokrasinya dipungut dari barat, juga
setengah-setengah yang, demokrasi untuk kaum yang mempunyai uang saja:
“ Demokrasi sunguh suatu sisitim yang indah. Engkau boleh menjadi presiden. Engkau boleh
memilih pekerjaan yang engkau sukai. Engkau mempunyai hak sama dengan orang-orang
lainya. Dan demokrasi itu membuat aku tak perlu menyembah dan menundukkan kepala pada
presiden atau menteri atau paduka-paduka lainya. Sunguh—ini suatu kemenangan demokrasi.
Dan engkau boleh berbuat sekehendak hatimu bisa saja masih berada dalam lingkungan batas
hukum. Tapi kalau engkau tak punya uang, engkau akan lumpuh tak bisa bergerak. Di negara

46
Marco, Douwes Dekker Tidak Berobah Haloeannja, Sinar Hindia, 17 Agustus 1918, tahoen ke 19.
47 Pramodya Ananta Toer, Nyanyi Sunyi Seorang Bisu I, Hasta Mitra, Jakarta, hal.178
48
ibid, hal.178-9
49 Ibid, hal.178
50 Pramodya Ananta Toer, Larasati, Hasta Mitra, Jakarta, hal. 131
51 ibid, hal. 132
52 ibid, hal. 135
53 Op.cit, hal. 182

15
demokrasi engkau boleh membeli barang yang engkau sukai. Tapi kalau engkau tak punya
uang, engkau hanya boleh menonton barang yang engkau ingini itu. Ini juga semacam
kemenangan demokrasi”.54

Dalam situasi seperti inilah gerakan mahasiswa mulai bangkit kembali. Gerakan mahasiswa yang
timbul paska revolusi didasari pada ideologi yang berbeda-beda. Pada tanggal 5 februari 1947 diresmikan
terbentuknya Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), kemudian diikuti berdirinya Perhimpunan Mahasiswa
Kristen Indonesia (PMKI) pada tanggal 25 Maret 1947 dan kemudian disusul dengan pendirian
Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI). 55 Oragnisasi-organisasi mahasiswa ini
mengunakan ideologi agama—Islam atau Katolik/Kristen. Kemunculan organisasi-organisasi yang
berideologi agama ini sebetulnya mengikuti kemunculan partai politik yang seideologi yaitu Masyumi (
7 Nopember 1945)—yang berideologi Islam dan Partai Katolik ( 8 Desember 1945)—yang berideologi
Katolik.56 Sementara itu partai besar lainya yaitu Partai Nasional Indonesia (PNI) mempunyai ormas
mahasiswa Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) yang berdiri pada tanggal 23 Maret 1954,
sedngkan Partai Komunis Indonesia (PKI) membangun ormas mahasiswa yaitu Central Gerakan
Mahasiswa Indonesia (CGMI). 57
Selaian organisasi yang didasarkan pada ideologi tertentu, juga banyak bermunculan organisasi
mahasiswa yang berdasarkan profesi dan komunitas. Dalam katagori ini, kita dapat mengambil contoh
Perhimpunan Mahasiswa Kedokteran Hewan (PMKH) di Bogor, Perhimpunan Mahasiswa Djakarta
(PMD), Perhimpunan Mahasiswa Jogyakarta (PMJ), Masyarakat Mahasiswa Malang (MMM). 58
Kemudian di UGM pada tanggal 11 Januari 1950 terbentuk Dewan Mahasiswa (DM) yang merupalan
lembaga mahasiswa tingkat universitas, dan kemudian diikuti dengan berdirinya Dewan Mahasiswa di
UI pada 20 Nopember 1955. 59
Dalam perkembangan selanjutnya, yaitu pada masa demokrasi terpimpin, organisasi-organisasi
yang berafiliasi dengan partai politiklah yang banyak meramaikan panggung perpolitikan. Mereka
salaing berlomba-lomba, adu program untuk mendapatkan masa yang besar. Pertarungan semakin ramai
ketika Soekarno lebih dekat pada organisasi-organisasi yang berideologi komunis dan nasionalis radikal.
Organisasi-organisasi mahasiswa yang berbasiskan agama—HMI, PMKRI—semakin terpinggirkan.
Pada tahun 1963, ketegangan politik di dalam kampus semakin memanas setelah GMNI, CGMI,
Germindo, Permi semakin mendominasi senat fakultas dan dewan mahsiswa universitas di perguruan-
pergurun tinggi yang ada. 60Konflik yang terjadi misalnya ketika kongres nasional keempat Majelis
Mahasiswa Indonesia (MMI) pada bulan April 1964 di Malino, dalam kongres ini GMMI memenangkan
18 dari 24 kursi esekutif. Sementara itu, kelompaok mahasiswa dari UI dan ITB yang non-GMNI tidak
mendapatkan posisi yang menyebabkan mereka menolak hasil kongres, dan akibatnya dewan mahasiswa
dari kedua universitas ini dikeluarkan dari MMI. 61 Pertentangan-pertentangan terus terjadi sampai tahun
1965. Sebuah pertarungan di tingkat fakultas misalnya terjadi di fakultas sastra UI ketika GMNI dan
sekutu-sekutunya menuntut agar senat yang baru terbentuk dibubarkan karena terdapat unsur-unsur
kontra-revolusioner seperti HMI. 62
Mahasiswa yang semakin tersingkir semakin membenci konsepsi Soekarno sendiri tentang
demokrasi terpimpin, yang mereka anggap sebagai biang keladi semakin tersingkirnya posisi mereka.
Mahasiswa-mahasiswa ini, yang telah mendapatkan pendidikan tentang demokrasi liberal, yang sayup-
sayup mereka peroleh dari barat, merasakan bahwa demokrasi tepimpin sangat merantai kebebasan
mereka, tidak sesuai dengan teori yang pernah mereka dapatkan. Apalagi kedekatan pemerintahan
Soekarno dengan Soviet maupun Cina Komunis yang membuat gerah banyak kalangan—termasuk
mahasiswa. Ruang-ruang bagi golongan non komunis dan non nasionalisme radikal seakan-akan telah
tertutup. Golongan-golongan mahasiswa yang merasa senasib sepenanggungan ini kemudian bersatu,
mengorganisasikan di dalam kesatuan-kesatuan aksi.
Sementara itu, situasi tahun 1960-an semakin memanas dengan adanya konfontrasi dengan
Malaysia yang menyebabkan hubungan dengan negara-negara barat—khusunya Amerika dan Inggris—
semakin memburuk. Amerika yang melihat Indonesia sebagai tempat yang strategis karena letaknya pada
jalur perdagangan internasional dan mempunyai jumlah penduduk yang besar sangat potensial bagi pasar
produk-produk Amerika. Namun, situasi yang semakin berkembang semakin menunjukkan Indonesia

54 Pramoedya Ananta Toer, Bukan Pasar Malam, Bara Budaya, Yogyakarta, hal.5
55
Arbi Sanit, Mahasiswa, Kekuasaan dan Bangsa, Lingkar Studi Indonesia, hal.84.
56 ibid, hal.84
57
ibid, hal. 85
58 ibid, hal.84
59 ibid, hal.85
60 John Maxwell, Soe Hok-Gie, Pergulatan Intelektual Muda Melawan Tirani, Grafiti, Jakarta, hal. 140.
61 Ibid, hal.143.
62 ibid, hal.147.

16
semakin jatuh dalam genggaman komunis yang selalu mengusung isu-isu anti imperialisme. Dan apabila
Indonesia sampai jatuh ke tangan kaum komunis, maka semakin sulitlah bagi bangsa-bangsa barat untuk
mendominasi ekonomi di negara-negara Asia Tenggara.
Kekuatan lain yang merasa terdesak pada masa demokrasi terpimpin ini adalah tentara. Mereka
yang sejak demokrasi parlementer merasa disingkirkan, dalam beberapa hal memang mendukung
demokrasi terpimpin yang menguntungkan mereka. Namun, karena kedekatan Soelatno dengan
kelompok komunis, menyebabkan tentara semakin gerah karena secara ideologi mereka sangat
berseberangan dengan ideologi komunis, apalagi setelah kaum komunis mengusulakan dibentuknya
angkatan kelima dengan mempersenjatai kaum tani.
Akhirnya, ketiga kekuatan di atas—mahasiswa yang berideologi liberal, Amerika dan tentara—
bersatu ketika pecah peristiwa 30 September 1965—yang dianggap sebagai pemberontakan PKI. Histeria
anti komunis kemudian ditiupkan keseluruh pelosok negeri, dibentuklah Kesatuan Aksi Penggayangan
Gestapu (KAP-Gestapu). Badan ini dipimpin oleh politikus NU Subchan dan aktivis katolik Harry Tjan
dengan dukungan penuh dari tentara. 63Dalam perkembangan selanjutnya, setelah pertemuan terakhir
dirumah Menteri Pendidikan Tinggi, Brigjen. Syarief Thayep, tepatnya pada tanggal 25 Oktober 1965
dibentuklah Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI). Organisasi ini didominasi oleh organisasi
seperti PMKRI, SOMAL, Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), dan Mahasiswa Pancasila
(Mapancas)—organisasi ini dekat dengan tentara, ketuanya David Napitupulu dekat dengan Brigjen
Sukendro dan Jendral Nasution. 64 Maka, sejak saan ini, pemburuan terhadap orang-orang komunis atau
simpatisanya dimulai. Inilah prestasi dari Gerakan Mahasiswa 1966, bersama tentara dan Amarika,
berhasil menggulingkan kekuasaan Soekarno dan menaikkan Soeharto dengan tumbal jutaan rakyat yang
tidak berdosa. Salah satu pimpinan GM ’66, Soe Hok-Gie merasa ngeri sendiri setelah melihat dari
demostrasi-demontrasi pengganyangan terhadap komunis selama delapan belas bulan:
“Tetapi bagi yang ikut-ikutan PKI karena pertimbangan-pertimbangan ekonomi keadaan ini
sangat sulit. Banyak ex-SOBSI tidak tahu-menahu tentang komunisme. Mereka masuk SOBSI
karena kalau tidak masuk mandor mereka (yang komunis) akan mempersulitnya. Demikian
pula BTI-nya. Pernah seorang petani hampir dibunuh di Bali minta-minta ampun dan
bersumpah bahwa ia bukan PKI. “Organisasi saya adalah BTI,” katanya dengan berlinang air
mata.

Mereka tidak bisa mengerti mengapa tiba-tiba mereka dipecat, dibunuh, diasingkan masyarakat
dan diusir dari pergaulan. Dan hampir tak ada yang mau memberikan kerja baru untuk mereka
karena mereka ex SOBSI. Lowongan yang tersedia untuk mereka adalah (yang tak perlu tanda
tidak terlibat Gestapu) tukang beca, kuli harian, pedagang kecil (tukang loak) dan untuk wanita
babu atau pelacur (bagi yang masih muda dan lumayan wajahnya).

Di desa di aman kesempatan kerja lebih sulit biasanya mereka menjadi pedagang kecil atau lari
ke kota. Saya pernah menjumpai di sebuah desa di Jawa tengah seorang istri “Gestapu” yang
membuka warung kopi mulai jam 3 pagi untuk memberikan makan 9 orang anaknya.
Kehidupan mereka sangat berat. Anak-anaknya juga “punya inferiority complex” karena
ayahnya ada di penajara. Kesembilan anak ini tidak berani bermain-main disawah atau jalan-
jalan karena “malu” diejek oleh kawan-awan sebayanya. Mereka bermain-main sesama
saudara di rumah mereka sendiri. Anak-anak kecil ini telah belajar betap “pahitnya” politik.

Bagi yang keluarganya yang dibunuh keadaanya lebih parah. Mereka diam dan tak banyak
berkata. Tetapi dalam hati kecilnya tumbuh dendam kebencian terhadap golongan yang telah
membunuh sanak mereka. Dan saat kebencian ini kebencian akan mengambil bentuknya. Kita
tidak tahu berapa jumlah mereka. Tetapi kalau kita ambil angka 300 ribu orang mati terbunuh
selama masa-masa tersebut dan pembunuhan ini menimbulkan bekas pada 3 atau 4 orang
sanaknya yang terdekat (istri-anak-saudara kandung, ayah) maka dewasa ini terdapat kira-kira
satu juta orang yang hidup menyimpan dendam untuk masa kemudian”. 65

Tragis, itulah kata yang tepat, sebuah rejim baru didirikan di atas bangkai jutaan rakyatnya
sendiri. INILAH AKIBAT FATAL DARI SEBUAH GERAKAN TANPA KONSEP YANG JELAS,
YANG AKHIRNYA HANYA MENGHASILKAN SEBUAH KEDIKTORAN BARU. Inilah akhir,
bangsa yang lunak ini menurut orang-orang barat, mampu melakukan pembunuhan yang korbanya dalam
beberapa bulan melebihi korban dari seluruh perang vietnam. 66 Akhirnya, golongan satria—Soeharto
cs—yang naik kepanggung kekuasaan dan keadaannya menjadi seperti saat ini.

63 ibid, hal.154.
64 ibid, hal 159.
65 Ibid, hal.273.
66 Pramoedya Ananta Toer, Nyanyi Sunyi Seorang Bisu I, Hasta Mitra, Jakarta, hal. 184

17
VI.
GM Dari 1966 sampai 1978—Ingin Perubahan Tanpa Merubah Sistem

III.1. Setelah ’65 Sampai NKK/BKK


Peristiwa G 30 S menunjukkan bahwa gerakan mahasiswa memang berperan dalam kejatuhan
Soekarno dan sekaligus berperan melahirkan rejim Soeharto yang kelak digulingkan oleh gerakan
mahasiswa periode lain. Dan dengan demikian gerakan mahasiwa juga berperan dalam pembantaian
terhadap 3,5 juta rakyat Indonesia setelah meletusnya peristiwa September 1965. Kemudian, setelah
periode ini konsep gerakan mahasiswa ditetapkan sebagai gerakan moral (moral force), seperti yang
dilontarkan oleh Soe Hok Gie. Konsep moral force inilah kemudian mempengaruhi gerakan-gerakan
mahasiswa selanjutnya 67. Dalam konsepnsi ini, bahwa mahasiswa seharusnya lebih bertindak sebagai
kekuatan moral ketimbang sebagai kekuatan politik, dengan artian mahasiswa muncul sebagai aktor
politik ketika situasi bangsa sedang krisis, setelah krisis berlalu kembali ke kampus dengan tugas
utamanya adalah belajar. 68
Baiklah, kita lanjutkan proses sejarah gerakan mahasiswa Indonesia. Setelah menikmati
kemenangan bersama naiknya rejim Orde Baru – dimana banyak tokoh-tokoh gerakan duduk didalam
birokrasi Orba, bisa kita sebut nama-nama Sarwono, Siswono, Akbar Tanjung, Marie Muhammad –
banyak ttokoh-tokoh KAMI yang muncul dalam foto-foto media massa memakai jas dan dasi sedang
bercakap-cakap dengan penjabat-pejabat negara ketika sedang tur ke lauar negeri69. Masa-masa antara
1966-1971 merupakan masa-masa “bulan madu” gerakan mahasiswa dengan Orba. Dilain pihak, pada
periode ini sebetulnya sudah banyak muncul keraguan dari tokoh gerakan ’66 terhadap kemampuan
rejim baru (baca:Orde Baru) dalam mengubah situasi yang ada. Banyaknya pelanggaran ham yang terjadi
diberbagi tempat, usaha dari rejim baru untuk membangun aliansi dengan tokoh politik dan pengusaha
besar yang mempunyai koneksi pada era Soekarno, serta munculnya kembali slogan-slogan politik yang
kosong dalam kehidupan masyarakat, merupakan bukti-bukti bahwa rejim baru ini tidak ada bedanya
dengan rejim sebelumnya dan mungkin lebih buruk.70 Nasib 80.000 tahanan yang belum diputuskan,
pembantaian massal setelah peristiwa ’65 71, penangkapan-penangkapan terhadap aktivis demokrasi yang
konsisten terjadi kembali yaitu penangkapan terhadap Yap Thiam Hien –seorang pembela Dr. Subandrio.
Ia ditangkap dengan tuduhan palsu bahwa telah menyuap seorang komandan polisi senior dan jaksa
penuntut ini. Penangkapan terhadap Yap ini kemudian menimbulkan reaksi dari berbagai pihak baik itu
rekan sesama pengacara, intelektual, editor surat kabar, dll. 72lewat Harian KAMI dan Mahasiswa
Indonesia, Soe Hok Gie menggambarkan keadaan paska runtuhnya Soekarno sebagai berikut:
“ Dewasa ini Pj. Presiden Soeharto masih tetap meruapakan tokoh yang popular di kampus-
kampus, baik dikalangan mahasiswa maupun dalam kalangan sarjana.

Tetapi frustasi sudah mulai tampak menyelimuti kampus-kampus. Terutama melihat


pembantu-pembantu dan menteri-menteri kabinet Ampera.

Cerita-cerita tentang menteri-menteri kabinet Ampera yang menambah koleksi istrinya mulai
muncul. Tokoh-tokoh Ibnu Sutowo, Alamsjah (yang sedang diserang oleh majalah mahasiswa
Mimbar Demokrasi dan ditempel di kampus UI), suhardiman, B.M. Diah. Achmad Tirtosudiro
dengan BUL-nya dan tokoh-tokoh kecil-kecilan lain menambah frustasi yang ada. “Apakah
Pak Harto tidak tahu? Dan jika beliau telah tahu mengapa dibiarkan terus?” 73

Melihat perkembangan di atas, seklompok mahasiswa kembali bergerak untuk mengkritisi situasi
yang ada. Masa “bulan madu” ini mulai retak ketika Arief Budiman—kakak Soe Hok-Gie, dkk, mulai
memprotes kebijaksanaan Orde Baru, misalnya dalam kasus pembangunan Taman Mini Indonesia Indah
(TMII) tahun 1973. Pembangunan ini menurut kelompok Arief Budiman tidak sesuai dengan situasi
Indonesia. Bagi mereka ini hanya merupakan proyek ambisius belaka. Akibat “pembangkangan” ini,
Arief Budiman dijebloskan ke dalam bui oleh rejim Orba. Sebelumnya Arief Budiman terkenal sebagai
tokoh yang memproklamasikan “golongan putih”. Kemudian, pada bulan Oktober 1973 para mahasiswa

67 Lihat tulisan Edwad Aspinal ,The Indonesia Student Uprising of 1998


68
John Maxwell, Soe Hok-Gie, Pergulatan Intelektual Muda Melawan Tirani, Grafiti, Jakarta, hal. 298-9
69 ibid, hal. 301
70 ibid, hal. 283
71 ibid, hal.339
72 ibid, hal.309-10.
73 Ibid, hal. 313.

18
mengadakan aksi ke gedung DPR/MPR menyampaikan “Petisi 24 Oktober” 74. Isi petisi ini mengkritisi
kebijaksanaan pembangunan yang dianggap tidak populis, kebijaksaan pembangunan yang dijalankan
pemerintah hanya menguntungkan yang kaya. Perlawanan gerakan mahasiswa periode ini memang tidak
meluas seperti halnya gerakan penumbangan Soekarno, perlawanan hanya berpusat di Jakarta dan tidak
didukung dengan aksi masa yang massif. Konsepsi gerakan Moral masih dipakai dalam periode ini
dimana kekuatan mahasiswa hanya terbatas memberikan kritik yang loyal kepada pemerintahan yang
ada75.
Setelah peristiwa diatas, gerakan mahasiswa baru bangkit kembali awal tahun 1974. Ketika itu
mahasiswa memprotes masuknya modal Jepang ke Indonesia. Kunjungan PM Jepang, Tanaka, di boikot
dengan melakukan aksi massa besar-besaran di Jakarta. Hal inilah yang mengakibatkan ibu kota lumpuh
total. Saat itu gerakan mahasiswa melakukan rally dari kampus UI Salemba menuju kampus Trisakti.
Sementara rakyat “asyik” dengan aksinya sendiri, melakukan pembakaran terhadap mobil-mobil produk
Jepang. Peristiwa ini yang kemudian terkenal dengan Malapetaka 15 Januari “Malari”, kemudian
muncullah nama-nama Hariman Siregar, Sjahrir, dll. Dari data sejarah yang ada, gerakan mahasiswa
yang membesar ini tidak lepas dari konflik elit waktu itu, ketika faksi jendral Soemitro dan Ali Moertopo
saling berebut kekuasaan.
Ada tiga pelajaran yang dapat kita ambil dari gerakan mahasiswa periode 1974. Pertama, gerakan
ini kelihatan jelas melakukan kolaborasi dengan militer, paling tidak pada detik-detik akhir menjelang
meletusnya Malari. Soemitro, seorang jendral yang saat itu menjabat Pangkokamtib, terlihat jelas aktif
dalam aksi-aksi tersebut. Akibat peristiwa ini, gerakan mengalami kehancuran bersamaan dengan
hancurnya militer yang diajak berkolaborasi.
Kedua, gerakan mahasiswa masih elitis. Mahasiswa tidak mau bergabung bersama rakyat. Akibat
gerakan yang elitis ini gerakan tidak bisa memimpin massa-rakyat yang terlibat dalam gerakan tersebut,
rakyat akhirnya melakukan kerusuhan. Ini selanjutnya yang dijadikan legitimasi bagi rejim untuk
menghentikan aksi-aksi mahsiswa dengan alasan telah mengganggu ketertiban umum, menciptakan
kekacauan.
Ketiga, secara geografis gerakan tidak meluas. Gerakan yang hanya membesar disatu titik
mengakibatkan gerakan mudah untuk dipatahkan. Kita lihat sendiri, ketika gerakan di Jakarta
“dilumpuhkan”, perlawanan terhenti karena daerah-daerah lain tidak melakukan perlawanan sama sekali.
Setelah 4 tahun peristiwa Malari, baru gerakan mahasiswa “bangun” kembali dari masa istirahat.
Pada tahun 1978 ini aksi-aksi mahasiswa terjadi di kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung, Yogya dan
Surabaya. Aksi-aksi ini menolak pencalonan Soeharto menjadi presiden kembali. Karena aksi-aksi
semakin membesar dan mengancam kekuasan Soeharto, maka militer diperintahkan untuk menghentikan
aksi-aksi mahasiswa.
Kampus Istitut Teknologi Bandung (ITB) di kepung panser, mahasiswa membuat barikade
dengan melakukan tidur di sepanjang jalan Ganesa, aksi ini mampu bertahan beberapa minggu sebelum
berhasil dibubarkan militer. Sementara di Yogyakarta, militer menembaki aksi mahasiswa di Universitas
Gajah Mada, mahasiswa di kejar-kejar sampai ke dalam kampus, peristiwa ini kemudian terulang 20
tahun kemudian.
Memang akhirnya perlawanan mahasiswa dapat dilumpuhkan oleh rejim Orba, namun
perlawanan ini setidaknya telah memberikan pelajaran berharga bagi sejarah perlawanan di Indonesia.
Apabila kita simak ada dua hal penting dalam gerakan mahasiswa periode ini. Pertama, Gerakan periode
ini setidaknya lebih maju dalam tuntutan politik – menolak pencalonan Soeharto – walaupun belum
sampai ke tahap mengkritisi sistem yang ada. Para mahasiswa saat itu melihat bahwa sosok Soehartolah
yang menyebabkan Indonesia kacau balau, maka solusinya Soeharto harus ditolak menjadi presiden.
….."hingga hanya 4 tahun kemudian, 1978, ada gerakan yang bisa dikatakan lebih maju
programnya ketimbang sebelumnya: gerakan mahasiswa yang tak mengerti sistim,
namun cukup mengerti makna menolak kekuasaan Suharto"… 76
Gerakan waktu itu belum sadar, bahwa Soeharto telah membangun sistem birokrasi yang
didukung oleh militer, sehingga ketika posisi dia (Soeharto) terancam, Soeharto dapat mengerahkan
orang-orang yang mengelilingnya. Dan ini benar terjadi. Secara birokrasi, Soeharto menghancurkan
kehidupan mahasiswa di kampus. Dia juga membuat peraturan yang mengekang kehidupan mahasiswa
di kampus. Soeharto juga mengerahkan militer untuk merepresi gerakan mahasiswa.
Kedua, gerakan ’78 memang membesar di kota-kota seperti Bandung, Yogyakarta, tapi lemah di
pusat ekonomi politik, Jakarta. Hal ini memang berbeda dengan gerakan mahasiswa ’74 – di mana

74 Lihat Bonar Tigor N, Prisma, Juli 1996.


75 Op.cit
76 Wawancara Marlin, Link

19
gerakan membesar di Jakarta tapi lemah di daerah-daerah – tapi yang terjadi kemudian sama dengan
gerakan ’74, gerakan tetap mudah dipatahkan.
Setelah “kemenangan tertunda” dari gerakan mahasiswa ‘78, pemerintahan Soeharto mengambil
pelajaran dari peristiwa ini. Rejim Soeharto berusaha “memenjarakan” mahasiswa agar tidak keluar dari
kampus. Ketika Mendikbud dijabat oleh Doed Joesoef dikeluarkan kebijaksanaan Normalisasi
Kehidupan Kampus (NKK)/ Badan Koordinasi Kampus (BKK). Organisasi mahasiswa semacam Dewan
Mahasiswa dibubarkan, seluruh kegiatan mahasiswa dilarang berhubungan dengan kehidupan politik
praktis.

VII
GM Dari Tahun 1978 Sampai Tahun 1997: Mencari Format Ideologi Baru.

Praktis sejak diberlakukan NKK/BKK, gerakan mahasiswa “tertidur”. Kebijaksanaan NKK/BKK


ini kemudian lebih diperketat lagi. Ketika Mendikbud dijabat oleh Nugroho Notosusanto, pemerintah
memberlakukan transpolitisasi yaitu ketika mahasiswa ingin berpolitik, mahasiswa harus disalurkan
melalui organisasi politik resmi macam Senat, BEM, dll, diluar itu dianggap ilegal. Dalam kurun waktu
ini juga diberlakukan Sistem Kredit Semester (SKS), sehingga aktivitas mahasiswa dipacu hanya untuk
cepat selesai studi/kuliah dan meraih IP yang tinggi. Inilah hal-hal yang membuat mahasiswa semakin
mengalami depolitisasi dan semakin terasing dari lingkungannya.
Demoralisasi. Bisa dikatakan demikian. Kembali ke dunia akademik --mengajar,
berbangku kuliah lagi, belajar ke luar negeri, -- membentuk NGOs (perlu diketahui saja pada
tahun 1982 sudah ada ribuan NGO), berbisnis, berkolaborasi dengan rejim dan sebagainya.
Lahirlah bayi-bayi kiri yang dicampakkan ibunya pada usia muda: NGO menjajakan
kemanusiaan borjuis-kecil --mengemis reformasi ekonomi-politik pada rejim diktator/korup,
bahkan ada yang masih bermimpi membangun pulau impian di tengah modal raksasa-- kaum
sekolahan yang baru pulang belajar dari luar negeri mengajarkan --di tengah kemampuan
bahasa Inggris kaum muda yang menyedihkan-- teori-teori baru sosial-demokrasi, neo-marxis,
new-left….77

Ada dua kecenderungan yang muncul kemudian. Pertama, kembali kepada gerakan awal 1900:
munculnya kembali kelompok-kelopok diskusi. Kehadiran kelompok-kelompok diskusi inipun
dilakukan dengan sembunyi-sembunyi, karena apabila diketahui oleh rejim bisa berakibat fatal. Kita
dapat melihat nasib yang menimpa Bonar Tigor Naipospos, Bambang Isti Nugroho78 dari kelompok
diskusi Palagan yang dipenjara hanya karena memperjualbelikan buku Pramoedya Ananta Toer. Rejim
memang tidak ambil peduli kepada siapapun yang akan kembali mengusik ketenangannya. Marlin
menggambarkan sebagai berikut:
…. (kebanyakan mahasiswa) mencerahkan sel-sel otaknya dalam kelompok-kelompok studi
untuk menemukan makna demokrasi (walau sering tak bisa menerima sifat blak-blakannya),
makna egalitarian (walau tak bisa menerima radikalisme dalam mewujudkannya). Semua nilai-
nilai budaya baru itu diserap dan dimuntahkan dalam dunia bacaan --betapa militannya mereka
(yang bisa berbahasa Ingris) mencari buku-buku langka yang baru….. 79

Kedua, mereka yang “melarikan” ke luar negeri setelah represi 1978 membawa ide-ide kiri baru
(New Left). Teori-teori yang sebetulnya sudah usang ini diterapkan dengan apa adanya, “seperti halnya
anak kecil yang baru melihat hal yang baru, ditiru begitu saja”. Ditengah rasa demoralisasi, mereka
mengatakan metode perjuangan harus diubah, perjungan harus melalui “pemberdayaan” rakyat. Maka
dalam kurun waktu itu beratus-ratus LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) didirikan. Tapi dalam
kenyataanya, LSM ini hanya dijadikan kedok untuk memperoleh kekayaan pribadi dengan membuat
proposal dengan kata-kata indah, “memperjuangkan” rakyat miskin.
Ada baiknya kita bahas secara singkat kemunculan organisasi LSM karena bagaimanapun
berpengaruh kepada gerakan mahasiswa sampai saat ini. Berbarengan dengan terjadinya represi terhadap
gerakan mahasiswa 1978, Barat yang merupakan pusat dari kapitalisme mulai menyadari bahwa
kebijaksanaan mereka mulai menimbulkan keresahan sosial. Keadaan ini tentunya tidak dapat dibiarkan
karena apabila dibiarkan bisa menjadi picu ledak bagi perlawanan rakyat. Maka mulailah disiapkan dana
untuk membangun organisasi-organisasi yang seolah-olah anti negara, berasal dari arus bawah, 80.
Organisasi inilah yang dipakai untuk masuk ke daerah-daerah “api” dan kemudian digunakan untuk

77 ibid
78 Bambang Isti Nugroho, seorang droup-out kelas 3 SMA, yang kemudian bekerja di fakultas MIPA UGM. Dia diadili karena
memperdagangkan buku-buku Pramoedya Ananta Toer dan menyimpan buku-buku Pram, Marxim Gorky, Frans Magnis Suseno.
79 Wawancara Marlin, LINK
80 Lihat James Petras, Kritik Terhadap Kaum Post Marxis, LINK.

20
menjaga “api” tersebut supaya tidak membesar. Organisasi ini juga digunakan untuk mendemoralisasi
perlawanan rakyat. Lembaga-Lembaga Swadaya Masyarakat ini mempunyai hubungan simbiosis
mutualisme dengan kapitalis internasional. Kapitalis butuh LSM untuk mencegah terjadinya konflik
sosial, sedangkan LSM butuh dana kapitalis untuk memperbesar “perut” mereka. Sampai saat ini menjadi
anggota LSM adalah kecenderungan mantan aktivis mahasiswa yang sudah selesai kuliah. Ini terjadi
karena perspektif ideologi mereka lemah – setelah selesai studi di universitas berarti sudah tidak pantas
lagi terlibat aktif dalam gerakan mahasiswa – padahal apabila mereka mempunyai kesadaran ideologis,
tentu akan bergabung dengan organisasi revolusioner.
Baiklah kita lanjutkan perjalanan gerakan mahasiswa periode ini. Walau bagaimanapun ketatnya
rejim berusaha “memagari” gerak mahasiswa, lambat laun mahasiswa bisa lepas juga dari kungkungan
yang ada. Perlahan namun pasti, mahasiswa yang mempunyai kesadaran politis, keluar dari “ruang-
ruang” diskusi dan kembali mulai turun ke jalan. Seperti yang dijelaskan diatas, gerakan mahasiswa
mengambil strategi “melingkar”, melakukan aksi-aksi advoksi terhadap kasus-kasus rakyat, hal ini
mengingat depolitisasi kampus yang amat kronis. Gerakan mahasiswa mencoba menyadarkan mayoritas
mahasiswa yang terkena trauma dan mengalami depolitisasi dengan menunjukkan realitas-realitas yang
ada di masyarakat, bahwa penindasan, pelanggaran HAM, kesewenang-wenangan dilakukan oleh
penguasa. Memang dalam kurun waktu ini banyak kasus-kasus seperti penghapusan becak dan angling
darmo, pengusuran tanah, masalah perburuhan, pem-PHK-an yang kesemuanya tanpa perlawanan pihak
yang ditindas.
Strategi “melingkar” ini memang berhasil – walupun tidak maksimal, seperti yang dijelaskan
diatas, kampus tidak mampu untuk diliberalisasikan -- mengusik hati para mahasiswa yang masih ada di
dalam kampus untuk kembali terlibat dalam gerakan-gerakan mengkritisi, menentang kebijaksanaan
penguasa. Awal-awal 1990 mulai muncullah organisasi mahasiswa “ilegal” bagi rejim. Ini merupakan
perkembangan dari organisasi-organisasi bentukan gerakan mahasiswa akhir 1986–1990, yang berupa
komite-komite aksi. Gerakan mahasiswa mencoba melakukan konsolidasi ditingkat nasional dan mulai
mempermanenkan organ yang ada. Di Yogyakarta muncul Forum Komunikasi Mahasiswa Yogyakarta
(FKMY), di Surabaya muncul Forum Komunikasi Mahasiswa Surabaya (FKMS), di Manado lahir Forum
Komunikasi Mahasiswa Manado (FKMM), dan organ-organ lain di Jakarta, Bandung, Solo, Semarang.
Dalam priode di atasi, pers mahasiswa juga memberikan sumbangan yang cukup besar dalam
menumbuhkan semangat demokratisasi. Ditengah membeonya pers-pers umum, pers mahasiswa berani
muncul sebagai pers alternatif dalam melihat kondisi yang terjadi di Indonesia. Kritik-kritik pedas dan
bahkan dilakukan secara terus terang terhadap rejim Soeharto seringkali membuat gerah pengguasa,
sehingga banyak pers-pers mahasiswa yang ditutup oleh penguasa lewat tangan rektorat.
Sejak munculnya organisasi-organisasi diatas, gerakan mahasiswa semakin menguat. Aksi-aksi
mahasiswa mulai membesar kembali, energi perlawanan mahasiswa timbul kembali. Di Yogyakarta
pertengahan tahun 1992, 12 ribu mahasiswa Universitas Gajah Mada dan universitas lain di Yogya
didampingi rektor UGM -- Prof. Koesnadi Harjosoemantri -- melakukan rally dari kampus UGM menuju
DPRD I Yogyakarta, memprotes diberlakukanya Undang-undang Lalu Lintas No. 14/1992. Tahun 1993
ribuan mahasiswa – mayoritas mahasiswa Islam – menduduki Gedung DPR/MPR, menuntut SDSB
dihapuskan. Menteri Sosial waktu itu, Inten Soeweno, dengan menitikkan air mata mencabut
pemberlakuan SDSB di depan anggota DPR sementara diluar gedung, ribuan mahasiswa terus
menjalankan aksinya.
Satu tahun kemudian, mahasiswa diberbagai daerah memprotes dibredelnya Tempo, Detik, dan
Editor. Beberapa aksi direpresif oleh militer, seperti yang terjadi di Jakarta. Namun demikian aksi-aksi
mahasiswa terus berlanjut. Tahun 1996, tepatnya bulan April, di Ujung Pandang, mahasiswa yang
memprotes kebijaksanaan kenaikan tarif transportasi ditembaki oleh militer, sekitar 7 mahasiswa tewas
dalam insiden tersebut. Aksi ini telah menimbulkan solidaritas di kalangan mahasiswa lain di berbagai
daerah, seperti Jakarta, Surabaya, Lampung, Yogyakarta, Solo, Semarang, bahkan di Yogyakarta sempat
terjadi bentrokan dengan militer.
Secara organisasi, gerakan mahasiswa juga mengalami proses kemajuan, konsolidasi didalam dan
diluar kampus mulai dilakukan dan dibentuk organ mahasiswa nasional. Pada bulan Agustus 1994,
dideklarasikan organ mahasiswa nasional, Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi (SMID).
Sejak berdirinya, organ ini merupakan momentum bagi gerakan mahasiswa Indonesia untuk kembali
menjadi gerakan politik. Ini dapat kita lihat dari program-program SMID seperti menuntut di cabutnya
Dwi Fungsi ABRI dan paket 5 UU Politik 1985, yang merupakan pondasi dari rejim Soeharto 81. Dan
sejak saat ini aksi massa “dikukuhkan” menjadi metode perjuangan gerakan mahasiswa. Dalam
perkembanganya SMID kemudian berafiliasi dengan Partai Rakyat Demokratik (PRD). Periode 1994

81 Demi Demokrasi, Partai Rakyat Demokratik Menolak Takluk, PRD, 1999.

21
dapat dikatakan merupakan masa keterbukaan politik dan merupakan kemajuan penting dalam gerakan
perlawanan rakyat. Kemajuan-kemajuan tersebut dapat diuraikan sebagai berikut:

1. Sentimen anti kediktoran rejim Orde Baru Soeharto mulai meluas.


2. Keberanian rakyat untuk mempertahankan hak-haknya semakin tumbuh.
3. Jaringan dan wadah-wadah perlawanan mulai dibentuk diberbagai tempat dan
sektor masyarakat.
4. Watak kerakyatan dalam perlawanan demokratik mulai muncul sebagai pendorong
utama untuk memaksakan keterbukaan dengan mulai terangkatnya isu perburuhan
dan tani (pertanahan).
5. Unsur-unsur demokratik dan kerakyatan dalam perlawanan telah mampu
berkembang dan berdiri di garda depan, baik dalam skala sektoral maupun wilayah
tertentu.82
Sementara di dalam kampus mulai dibentuk organ mahasiswa sektor kampus. Sebelumnya
selama kurun waktu 1979-1995 hanya ada lembaga mahasiswa formal yang diakui oleh pemerintah, yaitu
Senat Mahasiswa Perguruan Tinggi (SMPT). Tahun 1995 mulai dirintis berdirnya kembali Dewan
Mahasiswa (Dema), yang sejak diberlakukannya NKK/BKK dimatikan keberadaannya. Maka
muncullah Dema UGM, Dema UI, Dema USD. Namun sebelum konsolidasi ini selesai, meletuslah
peristiwa 27 Juli 1996. Setelah “Peristiwa Sabtu Kelabu”, rejim Soeharto memburu-buru aktivis
mahasiswa radikal dan aktivis PRD yang difitnah sebagai dalang peristiwa tersebut. Dalam kurun waktu
1996-akhir 1997, dapat dikatakan gerakan mahasiswa tiarap. Kalaupun ada aksi, hanya sebatas
dilakukan oleh kelompok-kelompok mahasiswa radikal dengan kembali memakai komite aksi yang
bersifat “musiman” untuk terus melakukan perlawanan.

VIII
Gerakan Mahasiswa 1998—Mereka yang Merobohkan Simbol Kediktatoran

V.1. Keberhasilan Menggulingkan Simbol Keditatoran


Sejak September 1997 krisis ekonomi global ikut menyapu Indonesia, nilai rupiah melemah
terhadap dolar AS, harga-harga barang kebutuhan pokok mulai merangkak naik, banyak perusahaan yang
gulung tikar akibatnya banyak buruh yang ter-PHK. Dampak ini secara langsung juga menimpa
mahasiswa, terutama mahasiswa perantauan, harga makanan melonjak, kertas naik, belum lagi orang
tuanya yang di PHK atau perusahaan mereka yang bangkrut.
Dari kondisi seperti ini, aksi-aksi mahasiswa mulai marak kembali, dengan tuntutan-tuntutan
ekonomis, seperti turunkan harga. Akan tetapi kelompok mahasiswa radikal yang masih minoritas secara
kuantitatif tetap melancarkan tuntutan politik, seperti suksesi kepemimpinan nasional, pencabutan Dwi
Fungsi ABRI. Secara perlahan, bersamaan dengan krisis ekonomi yang semakin memuncak, usaha-
usaha kelompok radikal untuk menarik dari kesadaran “ekonomis” menjadi kesadaran politik mulai
berhasil. Aksi-aksi mahasiswa yang semakin membesar mulai meneriakkan tuntutan politik, meminta
Soeharto turun. Ini merupakan sejarah maju dalam gerakan mahasiswa di Indonesia. Tuntutan yang
selama ini “diharamkan” tidak ditabukan lagi. Seperti halnya dalam tulisan Aspinal tentang tuntutan
mahasiswa yang semakin politis:
Tipe demostrasi mahasiswa merupakan reduksi dari naiknya harga barang, menuntut dihapuskannya
korupsi, kolusi dan nepostisme, dan menuntut reformasi. Dari awal kebanyakan protes secara ekplisit
menuntut Soeharto turun dari jabatan sebagai presiden ( sebuah ekpresi dari sentimen ini dapat dilihat
pembakaran gambar Soeharto pada sebuah aksi di Universitas Gadjah Mada pada tanggal 11 Maret).83

Dalam kurun waktu awal Februari sampai Mei 1998, secara kuantitatif dan kualitatif gerakan
mahasiswa naik secara dratis, dengan tuntutan yang sudah politis. Di kampus UI, Depok, dari tanggal
19-26 Maret terjadi aksi besar yang hampir menyamai aksi di tahun 1966 84. Pada hari terakhir Sidang
Umum MPR 1998, di Yogyakarta, sebuah patung raksasa berwajah Soeharto dibakar oleh para
demonstran, sekitar 50 ribu mahasiswa memenuhi Balairung UGM dalam aksi tersebut. Pada hari yang
sama juga terjadi aksi-aksi di Solo, Surabaya, Malang, Manado, Ujung Pandang, Denpasar, Padang,
Purwokerto, Kudus 85.
Dalam perkembangannya aksi-aksi mahasiswa semakin radikal. Diberbagai wilayah terjadi
bentrokan antara demostran dengan militer. Di Universitas Sebelas Maret Surakarta dan di kampus

82 Ibid
83
The Indonesia Student Uprising of 1998, Edwad Aspinal .
84 Ibid
85 Ibid

22
Universitas Lampung, pada tanggal 17 Maret 1998 terjadi bentrokan antara mahasiswa-- yang ingin
melanjutkan rally keluar kampus-- dengan militer. Sementara di Yogyakarta, tanggal 2 - 3 April
bentrokan terjadi di Boulevard UGM dan bentrokan berulang pada tanggal 13 April ketika demonstran
dikejar-kejar dan ditembaki oleh militer sampai ke dalam kampus. Hampir 8 jam kampus UGM dikusai
oleh militer. Di Medan juga terjadi bentrokan serupa, dalam aksi tanggal 24 April demosntran melempari
militer dengan molotov, akibatnya kampus Universitas Sumatera Utara (USU) diliburkan beberapa hari.
Pada bulan Mei aksi-aksi mahsiswa semakin bertambah banyak, kampus-kampus yang selama ini apolitis
ikut terlibat dalam aksi-aksi. Peristiwa paling tragis terjadi tanggal 12 Mei ketika terjadi aksi di
Universitas Trisakti, Jakarta, 6 mahasiswa gugur diterjang peluru militer. Peristiwa ini kemudian
menyulut perlawanan dari sektor rakyat lain, tanggal 13-14 Mei Jakarta lumpuh total dengan adanya
kerusuhan masal. Sementara pada peringatan Hari Pendidikan Nasional, tanggal 2 Mei, terjadi bentrokan
di Jakarta, Medan, Yogyakarta, Jember, Malang dan beberapa kota lain 86. Antara tanggal 1 Maret sampai
2 Mei tercatat 14 bentrokan antara mahasiswa dan militer yang terjadi di Jawa, Sumatera, Bali dan
Lombok 87. Ketika hari-hari terakhir Soeharto akan “lengser”, gedung DPR/MPR dikuasai mahasiswa,
ratusan ribu mahasiswa menggelar mimbar bebas di gedung tersebut. Sementara di Yogyakarta, sehari
sebelum Soeharto turun, sekitar satu juta rakyat – yang dipelopori mahasiswa Yogyakarta -- memenuhi
alun-alun Utara, menuntut Soeharto mundur.
Masa-masa ini merupakan masa-masa yang revolusioner bagi gerakan mahasiswa. Aksi-aksi
mahasiswa dibeberapa tempat bahkan sudah menguasai RRI seperti yang terjadi di Surabaya, Semarang,
Padang. Sementara di Medan, mahasiswa menguasai bandar udara. Dapat dikatakan aktivitas
penerbangan, terutama penerbangan internasional, lumpuh total. Dalam kurun waktu ini juga
bermunculan beratus-ratus komite mahasiswa, besar maupun kecil. Namun sayangnya gerakan yang
sudah membesar ini hanya mampu menghasilkan pengalihan jabatan presiden dari Soeharto ke Habibie.
Kelemahan-kelemahan apa yang menyebabkan gerakan mahasiswa gagal melakukan perubahan total,
nanti akan kita bahas lebih lanjut.
Kita lanjutkan proses sejarah gerakan mahasiswa ’98. Setelah berhasil “melengserkan” Soeharto,
secara kualitatif dan kuantitatif gerakan mahasiswa menurun, hampir 6 bulan gerakan seperti tenggelam
tertelan tanah. Gerakan kembali bangkit mendekati Sidang Istimewa MPR, pertengahan Nopember. Pada
tanggal 13-14 Nopember 1998 aksi besar-besaran terjadi di Jakarta. Sekitar satu juta mahasiswa dan
rakyat berkumpul didepan kampus Universitas Atmajaya, Jakarta. Mereka akan melakukan rally ke
gedung DPR/MPR. Kemudian meletuslah insiden Semanggi, ketika mahasiswa yang akan meninggalkan
Universitas Atma Jaya ditembaki oleh militer, korban kembali berjatuhan. Gerakan kali ini disokong
penuh oleh rakyat – disamping rakyat terlibat aktif dalam aksi-aksi, ikut membuat barikade, mengejar
pamswakarsa, juga memberikan bantuan logistik --, kerusuhan seperti Mei tidak terjadi karena
mahasiswa berhasil memimpin. Gerakan tidak hanya terjadi di Jakarta, dibeberapa daerah seperti
Yogyakarta, markas militer seperti Korem sempat dikuasai mahasiswa selama beberapa jam, sementara
di tempat lain mahasiswa berhasil memaksa RRI menyiarkan tuntutan-tuntutan mereka. Represi memang
hanya terjadi di Jakarta, sedangkan gerakan di daerah tidak mengalami represi, secara kualitatif dan
kuantitatif gerakan di daerah juga tidak membesar seperti di bulan Mei ’98. Kembali tuntutan mahasiswa
seperti cabut Dwi Fungsi ABRI, Tolak SI dan pemerintahan transisi belum berhasil digolkan.

V.2. Massa Habibie


2.1. Menguatnya Kesadaran Anti Militerisme
Sejak Nopember 1998 sampai Juli 1999 praktis gerakan mahasiswa mati, bahkan momentum
pemilu dilewatkan dengan “manis”. Memasuki akhir Juli, tepatnya ketika peringatan 27 Juli, gerakan
mahasiswa mulai bangkit kembali. Kota-kota seperti Jakarta, Surabaya, Solo, Yogyakarta, Bandung,
Tasik, Purwokerto juga melakukan aksi, dan di beberapa daerah bisa membangun front yang luas. Aksi
besar kembali muncul ketika peringatan 17 Agustus. Aksi-aksi kembali terjadi diberbagai kota.
Aksi ini semakin membesar ketika militer kembali ingin menancapkan kekuasaannya dengan
mengajukan RUU PKB. RUU yang jelas antidemokratis ini disambut dengan aksi-aksi penolakan yang
hebat. Aksi-aksi ini dilakukan bukan hanya oleh mahasiswa dan LSM-LSM, tapi juga rakyat . Terbukti
aksi tanggal 23 September berhasil menggerakkan kaum miskin kota untuk melawan militerisme dengan
melakukan aksi penyerangan terhadap tentara yang sedang menghadang aksi mahasiswa. Mereka
melempari tentara dengan molotov dan membuat barikade-barikade. Mahasiswa , disisi lain, hanya dapat
bertahan di kampus Atma Jaya dan tidak dapat memimpin massa. Sementara aksi penolakan terhadap
RUU PKB tidak hanya berlangsung di Jakarta, takpi juga di daerah-daerah. Bahkan di Palembang dan
Lampung, aksi ini meminta korban nyawa 3 mahasiswa. Aksi anti militerisme ini diikuti aksi-aksi yang

86 Ibid
87 Ibid

23
lebih hebat seiring diadakannya Sidang Umum MPR pada bulan Oktober ini. Aksi-aksi mahasiswa dan
rakyat membawa isu penolakan pertanggungjawaban Habibie dan pencabutan Dwi Fungsi TNI.
Kembali terjadi bentrokan dengan militer pada hari Jumat, 15 Oktober.
Ada pelajaran yang dapat diambil dari gerakan mahasiswa 1998 sehingga gagal menuntaskan
revolusi demokratik. Pertama, lemah dalam ideologi. Dari basis historis, gerakan mahasiswa ’98 muncul
karena adanya krisis ekonomi. Mahasiswa bergerak karena harga kebutuhan pokok naik, kost-kostsan
menjadi mahal, orang tua mereka terkena PHK. Keadaan ini secara langsung berdampak bagi
mahasiswa. Maka tidak heran kalau sebagian besar mahasiswa “baik-baik”, mahasiswa generasi
“dingdong” ini ikut turun kejalan. Kesadaran “ekonomis” ini kemudian berhasil dibawa ke kesadaran
politik. Injeksi kesadaran ini dilakukan oleh beberapa kelompok radikal – kelompok ini sejak tragedi
27 Juli 1996 tetap melakukan perlawanan dan mengangkat isyu-isyu politik – tapi injeksi inipun tidak
tuntas. Karena tidak didukung oleh kesadaran ideologis. Ketika “trend” gerakan menurun maka aktivitas
gerakanpun juga menurun. Hal ini terjadi seiring dengan menurunnya kuantitas mahasiswa yang terlibat
dalam demonstrasi-demonstrasi .
Ini berbeda dengan gerakan ‘90-an, dimana gerakan berawal dari kelompok-kelompok diskusi.
Dari diskusi-diskusi yang mereka lakukan, mahasiswa menjadi sadar tentang apa yang harus dilakukan,
bahwa sistem korup inilah yang menyebabkan negara berada dalam puncak krisis. Karena didukung
kesadaran ideologis maka kontinuitas gerakan lebih bisa terjaga. Disamping itu perdebatan-perdebatan
teoritikpun terjadi secara dinamis, sehingga selalu timbul perspektif-perspektif dan inisiatif-inisiatif baru.
Kedua, akibat kelemahan ideologi-teori juga berakibat kelemahan strategi taktik. Gerakan
menjadi kaku dalam menghadapi gerak sejarah, tidak luwes dalam menghadapi perubahan situasi
nasional. Akibatnya banyak momentum-momentum yang seharusnya dimanfaatkan dilewatkan
begitu saja. Momentum pemilu yang seharusnya merupakan kesempatan “berbicara kepada
rakyat”, kesempatan untuk menyadarkan rakyat yang terilusi, terlewat begitu saja.. Akibat
kekakuan dalam menerapkan stratag dan “ketidakcerdasan” dalam memanfaatkan setiap celah
yang ada, lama kelaman gerakan menjadi mati, aksi-aksi tidak ada lagi dengan begitu konsolidasi
menjadi lemah.
Ketiga, sektarianisme gerakan. Dapat kita lihat sendiri gerakan masih terpecah-pecah sampai saat
ini. Walupun gerakan bisa membesar, hal ini lebih disebabkan oleh momentum dan isu yang sama. Ini
akan jelas apabila kita melihat data aksi mahasiswa 28 Oktober 1998 berikut ini.

Daerah Jumlah Tuntutan


Jakarta 14.000 orang ➢ Tolak SI
➢ Cabut Dwi Fungsi ABRI
➢ Ganti Habibie dengan presidium
pemerintahan transisi
➢ Adili Soeharto
Bandung 3.500 orang ➢ Tolak SI
➢ Cabut Dwi Fungsi ABRI
➢ Ganti Habibie dengan presidium
pemerintahan transisi
➢ Adili Soeharto
Yogyakarta 1.300 orang ➢ Tolak SI
➢ Cabut Dwi Fungsi ABRI
➢ Ganti Habibie dengan presidium
pemerintahan transisi
➢ Adili Soeharto
Semarang 2.000 orang ➢ Cabut Dwi Fungsi ABRI
➢ Percepat Pemilu
➢ Adili Soeharto c.s
➢ Cabut Tap. Soeharto/Habibie sebagai
presiden dan wapres
Surabaya 1.100 orang ➢ Tolak SI
➢ Cabut Dwi Fungsi ABRI
➢ Pertagungjawaban Soeharto
Bandar Lampung 300 orang ➢ Tolak SI
➢ Cabut Dwi Fungsi ABRI

24
➢ Adili Soeharto c.s

Palembang 700 orang ➢ SI untuk ganti Habibie dengan


presidium pemerintahan transisi
➢ Percepat Pemilu
➢ Cabut Dwi Fungsi ABRI
➢ Adili Soeharto c.s
Manado 500 orang ➢ Cabut Dwi Fungsi ABRI
➢ Adili Soeharto c.s
Tabel : Jumlah mahasiswa yang berlawan

Dari data diatas jelas adanya tuntutan yang sama – tolak SI, cabut Dwi Fungsi ABRI, adili
Soeharto – dan adanya satu momentum – hari Sumpah Pemuda, 28 Okotober –yang menyebabkan
gerakan membesar dan meluas. Bukan pula karena adanya front diantara organisasi gerakan mahasiswa.
Gerakan mahasiswa tetaplah terpecah-pecah. Memang telah dilakukan usaha untuk membangun front,
misalnya Rembuk Mahasiswa Nasional Indonesia (RMNI) di Bali dan Surabaya, tapi ini tidak lebih
sebagai ajang romantisme dan saling mengklaim bahwa kelompok merekalah yang paling berjasa.
Mungkin kelahiran Liga Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi (LMND) dapat menghilangkan watak
sektarianisme dan bisa membangun front yang sesungguhnya.
Sektarianisme juga menyebabkan gerakan menjadi elitis, tidak mau bergabung dengan sektor
rakyat lainya. Akibatnya, pertama, rakyat yang berperan aktif dalam demonstrasi-demonstrasi tidak
terpimpin, tidak heran kalau massa-rakyat melakukan pengrusakan toko-toko etnis minoritas, jalan tol
dan fasilitas umum lainya. Kedua, kekuatan mahasiswa dan massa rakyat yang seharusnya bersatu
menjadi terpecah belah. Banyak diantara organisasi mahasiswa yang masih termakan propaganda
militer, apabila aksi mahasiswa bergabung dengan sektor rakyat lainnya akan menimbulkan kerusuhan.
Kesalahan-kesalahan seperti ini tetap terulang dan terjadi juga pada gerakan-gerakan mahasiswa
sebelumnya.
Keempat, tidak adanya organ nasional. Apa yang ada saat ini, semisal FPPI (Front Perjuangan
Pemuda Indonesia) atau LMND (Liga Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi) 88, hanyalah sebatas
jaringan antar organ-organ mahasiswa di kota-kota atau sebatas front. Dapat dikatakan setelah SMID
(Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi) “dihancurkan” setelah peristiwa 27 Juli 1999, belum
ada organ nasional yang terbentuk.
Akibat tidak adanya organ nasional ini, berdampak pada tidak adanya kesatuan aksi diantara
gerakan mahasiswa yang ada. Masing-masing gerakan berjalan sendiri-sendiri – baik tuntutan maupun
strategi taktik. Tidak adanya kesatuan aksi, jelas sekali mengakibatkan gerakan menjadi terfragmentasi,
tidak jelas apa yang sebenarnya akan dituju. Akibat selanjutnya, disamping gerakan menjadi lemah juga
membingungkan massa rakyat sendiri. Kita ambil contoh sikap gerakan mahasiswa yang terpecah-pecah
dalam menghadapi momentum pemilu 1999.
Dalam menghadapi pemilu ini, gerakan mahasiswa terbagi menjadi dua kelompok yang
kesemuanya mempunyai argumen masing-masing. Kelompok pertama menerima pemilu. Pemilu,
menurut mereka, merupakan jalan terbaik untuk memperbaiki situasi yang telah ada. Kelompok
mahasiswa ini kemudian bergabung dengan pemantau pemilu yang menjamur menjelang Pemilu bulan

88 Sejarah kelahiran LMND, dimabil dari pamflet yang dikeluarkan organisasi ini:
“Sejak jatuhnya suharto, beberapa komite aksi menyadari kebutuhan sebuah organisasi perjuangan yang bergerak
secara nasional menyatukan perlawanan mahasiswa bersama rakyat secara sistematis dan terprogram. Komite-
komite aksi tersebut, terdiri dari 11 buah termasuk dari Timor Leste, kemudian mendirikan Front Nasional untuk
Reformasi Total (FNRT) di pertengahan Mei 1998. Namun usia Front tidaklah panjang. Dii pertengahan 1998 FNRT
bubar ditengah Kelesuan dan kebimbangan gerakan, meski komite-komite yang bergabung didalamnya mencoba
membentuk lagi sebuah organisasi nasional bernama Alansi Demokratik (ALDEM) pada Agustus 1998. Mereka
juga telah berhasil menerbitkan sebuah majalah “ALDEM”satu kali dan menggalang sebuah aksi nasional pada
tanggal 14 September 1998 dengan isu Cabut Dwi Fungsi ABRI. Namun nasibnya tak jauh berbeda dengan FNRT,
tenggelam di tengah hiruk pikuk gerakan menjelang Sidang Istimewa MPR 1998.
Upaya berikutnya adalah pembentukan Front Nasional untuk Demokrasi (FONDASI) pada pertengahan
Februari1999. Buntunya RMNI II di Surabaya dalam persoalan pengambilan momentum Pemilu Juni 1999,
memaksa Fondasi untuk mengundang berbagai komirte aksi untuk hadir dalam Konggres Mahasiswa di Bogor pada
9-12 Juli 1999.Dari 20 komite aksi yang berasal dari berbagai kota di Indonesia, 19 diantaranya sepakat untuk
mendirikan sebuah organisasi nasional demi terwujudnya kesatuan perjuangan gerakan secara nasional. Organisasi
tersebut bernama Liga Mahasiswa Nasional Untuk Demokrasi disingkat LMND. Kongres I tersebut juga
menyatakan bahwa Perjuangan LMND adalah bagian dari Perjuangan rakyat Indonesia dalam rangka
menghancurkan sistem yang anti demokrasi dan mewujudkan masyarakat yang demokratis dan berkeadilan sosial.
Tujuan itu juga dinyatakan dalam ideologi organisasi yang disebut demokrasi kerakyatan, yang secara teori dan
praktek berpihak kepada mayoritas raakyat, yaitu kaum buruh ,tani dan kaum miskin kota”.

25
Juni 1999, seperti Unfrel, Forum Rektor, KIPP. Kelompok kedua, tidak setuju dengan proses pemilu.
Pemilu tidak akan menyelesaikan masalah dan pasti tidak berjalan dengan jurdil karena masih
dilaksanakan oleh sisa-sisa rejim Orba. Maka pemilu harus ditolak. Kelompok ini kemudian terbelah
menjadi dua, membiarkan momentum pemilu berjalan begitu saja, karena apabila terlibat dalam
momentum pemilu dianggap ikut melegitimasi pelaksanaannya. Sementara kelompok lain yang tidak
percaya pemilu, melakukan aksi-aksi massa untuk menolak pemilu yang diselenggarakan rejim Habibie.
Rakyat sendiri menghendaki mahasiswa paling tidak menfokuskan tuntutannya. Berdasarkan “jajak
pendapat” yang dilakukan majalah Tempo, 65% menghendaki hal itu dan 60% menghendaki mahasiswa
berkoalisi dengan kelompok lain .
Kelima, lemah dalam basis massa. Seperti yang sudah dibahas diatas, sebagian besar
mahasiswa yang bergabung dalam gerakan mahasiswa ’98 adalah akibat “trend” yang ada. Tidak
heran kalau massa yang ada bukanlah massa yang terorganisir melainkan massa yang
termobilisasi. Hal ini berakibat melemahnya basis massa sejalan dengan dengan melemahnya
trend gerakan. Sementara itu organ-organ mahasiswa yang ada tidak mengantisipasi hal ini, tidak
cepat melakukan konsolidasi terhadap massa yang masih cair, dan tidak segara mengadakan
pendidikan-pendidikan ideologi teori. Aktivitas aktivis mahasiswa hanya berkutat di sekitar aksi
dan pergi ke kota satu ke kota lain dengan alasan konsolidasi. Sementara kampus yang
“melahirkan” mereka dan disanalah sebetulnya basis mereka, ditinggal begitu saja. Akibatnya,
gerakan menjadi tidak populis diantara mahasiswa sendiri. Tidak heran kalau sampai saat ini
banyak sekali organisasi mahasiswa yang hanya papan nama belaka.
Keenam, ini sebetulnya bukan kesalahan gerakan mahasiswa semata, tapi kesalahan kekuatan
radikal secara umum, yaitu tidak adanya partai pelopor yang sanggup memimpin. Situasi periode
Februari sampai Mei adalah situasi yang “revolusioner”, keadaan ini bisa berubah setiap detik – orang
sebelumnya apolitik saat itu berbicara politik, ratusan komite-komite perlawanan terbangun. Tapi karena
tidak ada satu kekuatanpun yang mampu memimpin, situasi ini dapat dikatakan tidak menghasilkan
apa-apa. Pada saat-saat seperti ini dibutuhkan satu peranan dari partai pelopor untuk memimpin
pengambilalihan kekuasaan. Ini sekali lagi hanya bisa dilakukan oleh partai pelopor, tidak oleh komite-
komite aksi.
Kita dapat melihat kelemahan ini dalam peristiwa Mei ’68 di Prancis. Situasi Mei ’98 di Indonesia
mirip dengan situasi di Prancis pada bulan yang sama tahun 1968. Ketika itu di Prancis ratusan
mahasiswa turun ke jalan-jalan dan gerakan ini kemudian mampu memobilisasi kelas pekerja untuk
melakukan pemogokan, bahkan sekitar 15 pabrik sudah berhasil direbut. Puncak dari “revolusi” ini:
kampus-kampus bisa dikuasai mahasiswa, sekitar 10 juta buruh melancarkan aksi pemogokan nasional.
Presiden De Gaulle sudah melarikan diri ke Jerman Barat. Kesempatan ini ternyata disia-siakan oleh
kekuatan radikal. Bedanya kalau di Indonesia belum ada partai pelopor – kalaupun ada belum bisa
bergerak bebas -- akan tetapi di Prancis partai pelopor itu sudah ada, tapi mereka malah “bersembunyi”
ketika situasi sedang revolusioner.
Disamping kelemahan-kelemahan diatas, ada juga kelebihan-kelebihan gerakan mahasiswa ’98
dibanding gerakan mahasiswa sebelumnya. Pertama, sikap tegas terhadap militerisme. Sikap gerakan
mahasiswa '98 terhadap militer tidak ada kompromi, sejak awal mahasiswa menuntut pencabutan Dwi
Fungsi ABRI. Sikap tegas ini membawa gerakan mengambil sikap tegas dan tidak melakukan kolaborasi
dengan militer. Ini tentunya berbeda dengan gerakan mahasiswa sebelumnya. Gerakan mahasiswa ’66
jelas melakukan kerjasama dengan militer, begitu juga gerakan mahasiswa ’74. Gerakan mahasiswa ’78
walaupun tidak melakukan kolaborasi dengan militer tapi mengambil sikap tidak tegas terhadap
militerisme. Rupanya gerakan mahasiswa ’98 telah belajar dari kesalahan para pendahulu mereka. Ini
tidak lepas dari pengaruh gerakan anti militerisme yang sudah dilontarkan kelompok-kelompok radikal
sejak ‘90-an.
Kedua, gerakan mahasiswa ’98 – pada tahap awalnya -- bisa menyebar hampir ke seluruh kota-
kota di Indonesia. Dapat dikatakan, gerakan ’98 merupakan gerakan terbesar setelah gerakan mahasiswa
’66. Adanya perlawanan yang meluas ini bisa membuat penguasa kalang kabut, daya resitensipun
menjadi semakin kuat dan akhirnya tuntutan mereka untuk memaksa Soeharto lengserpun bisa berhasil.
Ini merupakan pengalaman berharga untuk gerakan mahasiswa ke depan. Dua momentum gerakan
mahasiswa membuktikan bahwa hanya dengan gerakan yang meluas, gerakan mahasiswa dapat berhasil
memperjuangkan tuntutan-tuntutan. Adanya gerakan yang membesar disemua kota juga akan menaikkan
moral perlawanan mahasiswa sendiri dan bisa memobilisasi rakyat dalam jumlah yang lebih besar
Secara garis besar, dalam periode ini juga dapat disimpulkan dua konsepsi ideologis dari GM.
Pertama, yaitu pandangan yang menyatakan bahwa gerakan mahasiswa diarahkan pada pengkritisan
sistem yang dibangun Soeharto. Dalam pandangan ini, GM harus mengkritisi siapa saja yang memerintah
paska Soeharto, sedangkan sistem yang dibangun Soeharto sendiri tidaklah bermasalah. Kedua, yaitu

26
pandangan yang menyatakan GM harus diarahkan pada pengantian sistem yang dibangun oleh Soeharto.
Dalam pandangan kelompok GM ini, bahwa sistem yang dibangun Soeharto sudah bobrok dan harus
diganti oleh sistem yang baru.

V.3. Massa Gus Dur89


3.1. Tumbuhnya Kesadaran Menghancurkan Sisa-sisa Orde Baru Yang Setengah Hati
Polari gerakan pada masa Abdulrahman Wahid terus terjadi. Dapat dikatakan pada masa Ini
gerakan mahasiswa sudah menjadi bagian dari gerakan politik yang berkembang ketika itu. Gerakan
mahasiswa—walau dengan malu-malu—mendukung Gus Dur atau berhadapan denganya.
Gerakan yang mendukung Gus Dur memakai bungkus penghancuran sisa-sisa Orde Baru. Ini
bukan kesadaran yang mereka miliki, tapi dipasokkan oleh gerakan kiri (PRD). Pemahaman yang
setengah-tengah dari program penghancuran sisa-sisa OrBa ini dapat dilihat dari sikap politik yang
berkembang. Mereka bisa menerima pengadilan GOLKAR dan Pembubaran Parlemen, tetapi sangat sulit
menerima Perceptan Pemilu—alasan mereka guna melihat watak indepensi. Akibatnya, dalam startegi
taktik penghancuran sisa-sisa Orba juga tanggung.

Bulan/Th.2000 Jumlah
Aksi
Januari 4
Februari 9
Maret 7
April 6
Mei 6
Juni 1
Juli 12
Agustus 6
September 10
Oktober 24
Nopember 14
Desember -
Tabel 17 : Aksi Mahasiswa Di Jakarta

Sedangkan yang berhadapan dengan Gus Dur banyak dimotori oleh sayap politik dari Partai
Keadilan—KAMMI—dan Golkar—BEM. Tuntutan mereka menuntut Gus Dur mundur karena telah
melakukan KKN. Dalam jumlah massa karena didukung logistik yang banyak, mereka bisa memobilisasi
massa dalam jumlah yang besar. Bahkan pada tahap walnya mereka bisa mendominasi opini yang
muncul dimedia massa. Namun, ketiak Gus Dur semakin mendekati kejatuhannya—ketika massa NU
bergerak—mereka tidak lagi mengelar aksi-aksi massa lagi.

IX
GM Masa Mega-Hamzah:
Bersama Massa Rakyat Membangun Pemerintahan Rakyat Miskin

Naiknya Megawati ke singgasana kekuasaan merupakan hasil dari alinsi jahat antara PDIP,
Golkar, Reformis Gadungan, militer dan kapitalis internasional. akibatnya, ruang demokrasi kembali
ditarik mundur oleh megawati dengan mengunakan tentara sebagai penopang kekuasaannya. Kasus-
kasus pelanggarahan HAM berat yang terjadi selama ini tidak ada satupun yang diungkap secara tuntas,
yang terjadi malah memperluas keterlibatan tentara dalam setiap penyelesaian konflik—misalnya di
Aceh, Papua, Maluku, dll. Dan yang terakhir, setelah medaknya Bom dibali kemudian ditetepkan Perpu
Anti Teroris yang pada intinya sama dengan UU Suversib. Situasi ini terjadi karena dua hal:
“Pertama, Megawati naik ke kekuasaan menggantikan Gus Dur adalah hasil dari
aliansi reaksioner antara PDIP-Golkar-TNI/Polri-Poros Tengah di parlemen. Tentu saja Mega
harus membayar harga itu semua. Dan bayaran tersebut antara lain, tidak mengusut tuntas
kasus-kasus pelanggaran HAM, memberikan porsi kekuasaan yang lebih besar kepada sisa
Orde Baru, tidak mengusut tuntas korupsi Akbar Tanjung dan Partai Golkar dalam kasus
Bulogate II dan korupsi pejabat serta konglomerat Orde baru lainnya. Sejak awal Megawati
telah diberi pilihan, apakah ia mau bersama rakyat menghancurkan sisa-sisa Orde Baru; atau

89 Diambil dari tulisan penulis, Jalan Kemenangan, Dokumen Kongres Ke IV PRD, tidak dipublikasikan

27
menindas rakyat sebagai konsekwensi bersekutu dengan mereka. Dan Mega telah mengambil
pilihan: bersekutu dengan sisa-sisa Orde Baru.
Kedua, situasi krisis ekonomi yang semakin parah itu tak mungkin sanggup diatasi
dengan memberikan konsesi (sogokan) ekonomi maupun sogokan politik kepada rakyat.
Tekanan krisis dan watak politik Mega yang konservatif tak memungkinkan konsesi ekonomi
maupun demokrasi. Megawati lebih menyukai memangkas subsidi rakyat yang telah
mendorong kenaikkan harga TDL, BBM, tarif transportasi, tarif telpon dan lain sebagainya;
menambah Kodam, serta meningkatkan represi untuk meredam protes-protes rakyat. Seperti
biasanya, dalam krisis kapitalisme, bagi negara yang tidak sanggup memberikan sogokan
ekonomi (karena krisis yang sangat dalam) akan cenderung memilih merepresi perlawanan
rakyat dan merampas hak-hak demokrasi rakyat”. 90

Sementara dalam kebijaksanaan ekonomi, pemerintahan Mega-Hamzah sangat pro kapitalis


internasional sehingga mengeluarkan kebijaksanaan ekonomi yang banyak merugikan rakyat—seperti
pemotongan subsidi pendidikan, kenaikan harga BBM. Kebijakan ekonomi pemerinatahan Mega-
Hamzah saat ini yang panyak sekali dilakukan adalah memangkas subsisi, menjual aset-aset rakyat
tingkat kesejahteraan rakyat yang makin merosot (lihat, idem). Sementara itu tak ada satupun fakta yang
bisa ditemukan bahwa indikator-indikator perekonomian makro bergerak ke arah positif. Penguatan
rupiah belakangan ini semata-mata karena faktor psikologis pasar (suksesnya beberapa privatisasi
BUMN, kucuran hutang dari IMF, penjadwalan pembayaran hutang). Jadi tak ada satupun fakta bahwa
penguatan rupiah itu terjadi karena fundamental perekonomian secara makro semakin membaik:
misalnya dilihat dari kinerja ekspor, investasi produksi yang baru, beban hutang, tingkat pengangguran
dll Mengenai indikator-indikator akumulasi krisis dan merosotnya kesejahteraan rakyat.
Gelombang represifitas dan penyempitan ruang demokrasi dapat kita lihat dari table dibawah
ini—DAN BAHKAN, KETUA BIRO PERS MAHASISWA FILSAFAT UGM “PIJAR”, IGNAS
KLERUK MAU JUGA DIPENJARAKAN OLEH REJIM MEGAWATI-HAMZAH HAZ.

Tabel Repersifitas Rejim Megawati Tahun 2001 91


NAMA TAPOL/NAPOL TGL TEMPAT KETERANGAN
DITANGKAP
1 Muhamad Nazar (Ketua SIRA) Desember Banda Aceh Ditangkap ketika mengorganisir
2000 SIRA RAKAN II, pasal penghasutan.
Masih ditahan.
2 Kautsar (Ketua FPDRA) 11 Juli 2001 Banda Aceh Ketua Front Perjuangan Demokratik
Rakyat Aceh, ditangkap ketika
membawa statment Koalisi Rakyat
Aceh seruan pembangkangan sipil
sebagai respon atas pelanggaran
Ham di Aceh
3 Rufriadi , Ari Maulana, Bakhtiar 20 Juli 2001 Banda Aceh Korban penangkapan polisi yang
(Direktur dan staf LBH B. Aceh); dengan brutal menangkapi peserta
T. Ananda, Amrie Saldien, Pekan Kampanye Anti Militerisme di
Hendra—FPDRA; Zamzani, Faza, halaman LBH Banda Aceh.
Mahmudal—SMUR; Jakfar
(SKKPHAM Aceh), Banta
(KARMA), Hospi, Dede,
Iskandar—KOMPOS; Adi (warga
biasa), Seorang pemuda belum
teridentifikasi. Jml 20 orang
4 Yovie Wijaya, Sri Darwantie, 17 Juni 2001 Bandung Ditangkap ketika membagikan
Didien Suherman, Asep Ruhiat, selebaran PRD tentang penolakan
Andi Hartono, Anton Jauhari, kenaikan BBM. Status penangguhan
Dony Danudirjo. Jml 7 orang penahanan sejak tanggal 3 Agustus
kader KPW PRD Jawa Barat 2001. Tuduhan penghasutan.
5 F.X. Farneubun (PRD), 14 Juni 2001 Bandung Ditangkap saat ssat meredam
Normalinda (LMND), George kemarahan buruh dalam aksi
(LMND ITB); Hiskia Hartono, menolak Kepmenakertrans 78
Maraden Sinaga—Mhs; Kahfi, tanggal 14 Juni. Saat dan setelah
Albertus Budi, L.V. Mardiono, penangkapan dianiaya. Belum
Edy Irwansyah, Wirya W., Deni dibebaskan. Tuduhan pasal
Kusmarna—buruh; Deni penghasutan.
Nugraha (pedagang). Jml 12
orang.
5 Mustawiayanto (Ketua Fraksi 1 Agustus Bondowoso Ditangkap ketika mendistribusikan
PKB Bondowoso), M. Rozak 2001 undangan Konggres Rakyat
(anggota Fraksi PKB DPRD Bondhowoso oleh DPKR (Dewan
Bondowoso), Rudi Asiko (Ketua Penyelamat Kedaulatan Rakyat).
KPK PRD Jember), Febrianto Tuduhan makar. Masih ditahan.
(staf KPW PRD Jatim), Joni,
Hamka, Noval—sekrettaris dan
anggota IPPNU Bondowoso,
Hadi (PMII Banyuwangi).
6 Mixil (Forkot) dan dua rekannya 6 Juni 2001 Jakarta Ditangkap ketika ikut aksi dan
mendistribusikan selebaran
menentang kenaikan BBM 6 Juni.
Belum dibebaskan.
7 Nanang, Fachruddin, Guminto 25 Juli 2001 Malang Ditangkap dan disertai tindakan
(Mhs Unisma). kekerasan sewaktu mengadakan aksi
mimbar bebas anti Orde Baru.
Dikenakan tuduhan tindak pidana
ringan. Sudah dibebaskan.

90 Pembebasan, Edisi III September-Oktober 2002


91 “Tugas Kita” Harian Perjuangan Rakyat, terbitan PRD, edisi 2 Agustus 2001

28
Situasi di atas masih ditambah adanya krisis kapitalisme, seperti kata Marx: KAPITALISME
SEDANG MENGGALI LIANG KUBURNYA SENDIRI. Kebobrokan dalam sistem kapitalisme tidak
dapat ditutup-tutpi lagi, dimana perekonomian terus bergerak kerah krisi yang semakin mendalam. Badai
yang menerjang sistem kapitalisme ditandai dengan keruntuhan lembaga-lembaga kapital finans yang
mengelola pasar modal-pasar modal (yang tumbuh marak sejak boom ekonomi tahun 90-an) semacam
Nasdaq, Atriax (pasar modal milik Citybank), JP Morgan-Chase, Deutchse Bank yang mengarah kepada
kebangkrutan –sebelumnya Bondbook telah ditutup. Situasi ini terus berlanjut dengan meningkatnya
naiknya hutang rumah tangga meningkat hingga 107% di Amerika, 115% di Jerman, 132% di Jepang
dan 118% di Inggris –dibandingkan pendapatan disposabel (setelah dipotong pajak). Menurut Boris
Kagarlitsky, ekonom kiri dari Rusia, pertumbuhan hutang ini bisa dilihat, misalnya di Amerika saja
hutang beragunan di tahun 2000 telah mencapai US$ 6,8 triliun, hutang negara sebesar US$ 6,6 triliun,
dan total utang negera dan swasta sebesar US$ 13,5 triliun.92
Jadi sebetulnya krisis sudah terjadi sebelum serangan teroris terhadap WTC terjadi, dunia dalam
keadaan sedang dilanda krisis—juga melanda AS. Kepada Federal Bank Sentral AS, Alan Greenspon
dalam setahun harus menurunkan suku bunga sanpai tujuh kali. Kalau sektor perbangkan dilanda
kepanikan, maka kejadian ini akan mengulang tragedi depresi besar (The Great Depression) tahun 1930-
an.93. Sementara itu, menurut laporan majalah ekonomi Economist bursa-bursa saham efek AS, Jepang
dan Eropa dicekap rasa nervous yang luar biasa. Di bursa New York, Down Jones Industrial Averege
(DJIA) runtuh 14,3%--kejadian terburuk yang pernah terjadi sejak resisi 1933 94
Guna mengatasi krisi ini salah satunya adalah dengan perang. Serangan Amerika terhadap
Afganistan ini dapat dipahami dalam kerangka mengatsi krisi kapitalisme, selain bahwa ciri
pemerintahan Partai Republik Presiden Bush ini merupakan koalisi dari para pengusaha minyak (seperti
Bush dan Wapres Dick Cheney) dan senjata, serta masyarakat defence yang terdiri dari penjabat dan
ilmuwan seperti Wolfowitz95. Bagi Gedung Putih, runtuhnya pemerintahan Taliban akan membuka
kembali peluang untuk membangun pipa migas yang selama ini diinginkan 96. Masih pendapat serupa,
Direktur Eksekutif Cebtre for Islamic Reseach and Studies (CIRES), Muhammad Niam, memandang
perang AS-Afganistan lebih bermotif ekonomis daripada ideologi. Dalam ksus ini Osama hanya
dijadikan sasaran antara untuk menguasai ekonomi dikawasan Asia Selatan dan tengah, dengan cara
mengulingkan Taliban yang berkuasa di Afganistan. Niam menunjuk pengalaman buruk AS pada tahun
1990-an , ketika pembangunan pipa minyak yang direncanakan melalui Asia Tengah, Asia Selatan
(Afganistan) hingga Karachi (Pakistan) gagal, padahal membutuhkan dana yang besar 97.
Kekacauan-kekacauan ekonomi di negeri-negeri imperialis utama membawa konsekwensi-
konsekwensi ekonomi dan politik, tak hanya bagi situasi domestik masing-masing negeri imperialis
utama, namun juga bagi kondisi stabilitas ekonomi politik global dan bagi negeri-negeri terbelakang.
Dampak tersebut:
“Pertama, kemerosotan ekonomi domestik diatasi dengan pemotongan kapasitas
produksi yang mendorong PHK-PHK; juga privatisasi di negeri imperialis utama telah
membawa kekacauan energi listrik di California, meningkatnya kecelakaan kereta api di
Inggris, dan penurunan subsidi pendidikan dan kesehatan diberbagai negeri imperialis utama.
Kedua, untuk meredam keresahan rakyat pekerja, para politisi borjuis mendorong
mood politik massa ke arah kanan. Misalnya kampanye anti imigran sebagai biang kesulitan
mendapatkan lapangan pekerjaan, ditambah sentimen anti Islam/Asia dsb adalah latarbelakang
ideologis berkembangnya kekuatan-kekuatan fasis di Eropa, Amerika dan Australia.
Pembunuhan Pim Fortuyn di Belanda mengangkat solidaritas kanan, demikian juga
meningkatnya popolaritas Le Penn dijadikan pembenaran kebijakan neoliberalisme-nya
Chiraq.
Ketiga, walaupun belum dalam tingkat yang berbahaya persaingan antar negeri-negeri
imperialis utama terus meningkat. Hal ini bisa dilihat dalam kejadian-kejadian seperti perang
tarif baja, tekstil, hasil pertanian, kayu dll antar negeri-negeri imperialis utama.
Keempat, melalui lembaga-lembaga keuangan internasional mendorong percepatan
implementasi kebijakan-kebijakan neoliberalisme di negeri-negeri berkembang dan
terbelakang, untuk mendapatkan pasar-pasar baru (tak terkecuali di Indonesia), walau tanpa
demokrasi sekalipun –agak berbeda dengan kampanye liberalisasi modal di awal tahun 1980-
an yang sedikit banyak masih membawa isu demokratisasi, penegakan HAM dsb dengan cara
yang moderat. Pergeseran ini nampak jelas dalam kasus naiknya Musharaf di Pakistan,
dukungan AS atas kudeta di Venezuela dsb—dalam kasus Indonesia misalnya tekanan

92
Op.cit.
93 A. Tony Prasetiantono, Kompas 17 September 2001
94 A. Tony Prasentiantono, Kompas 16 Oktober 2001
95 Budiarto Shambuzy, Kompas, 16 September 2001
96 Maruli Tobing, Kompas 10 Nopember 2001
97 Kompas, 26 Oktober 2001

29
imperilaisme untuk menyikat Islam fundamentalis seperti penangkapan Jakfar Umar Thalib,
penghentian embargo senjata dan normalisasi hubungan dengan TNI/Polri. Bahkan untuk
mengantisipasi gerakan perlawanan terhadap imperialisme, dengan neoliberalismenya, sejak
setengah tahun yang lalu telah diperhebat kampanye anti terorisme. Tak lain dan tak bukan
“Perang Melawan Terorisme” ditujukan untuk menghantam negeri-negeri yang tak mau patuh
dengan dominasi AS (termasuk dengan skenario neoliberalismenya) seperti Kuba, Irak, Korea
Utara, Libia, Venezuela dsb”. 98

Maka, situasi di atas, dapat disimpulkan sebagai berikut:


“Dengan meningkatnya intensitas kebijakan ekonomi anti rakyat miskin, cenderung
pula meningkat perampasan hak-hak demokrasi. Dengan latar belakang borjuasi kecil
konservatif, Mega—bersama Hamzah Haz, Amien Rais, Yusril Ihza Mahendra, dan reformis
gadungan lainnya, termasuk orang-orang yang menanti-nantikan kesempatan untuk berkuasa
—sejak Suharto dijatuhkan, cenderung memajukan kepentingan faksi borjuasi terdekatnya.
Padahal, dalam perjuangan menumbangkan kediktatoran Orde Baru, gerombolan burjuis
tersebut adalah orang-orang yang paling pengecut. Sekarang Megawati telah
merepresentasikan kepentingan kaum borjuasi yang sesungguhnya. Dan penerapan kebijakan-
kebijakan yang diarahkan oleh IMF menemui kegagalan. Megawati telah gagal, hasil-hasil
yang bisa dilihat hanya lah bertambahnya kemiskinan, pengangguran, angka putus sekolah,
banjir dan dampak-dampaknya, serta represi. Entah harus berapa lama lagi rakyat Indonesia
berada dalam horor kemiskinan jika pemerintahan Megawati tetap dipertahankan. Tak benar
alasan bahwa pemerintahan Mega masih belum diberikan cukup waktu karena, seberapa pun
ia diberi waktu, konsep-konsep pembangunannya memang anti rakyat dan tak bisa
dipertanggungjawabkan secara teoritik. Jadi, tak ada jalan lain kecuali PEMERINTAHAN
MEGAWATI HARUS DIGANTI!!” 99

Melihat perkembangan situasi nasional di atas, maka fokus gerakan mahasiswa adalah
MENGULINGKAN REJIM MEGA-HAMZAH dan menggantinya dengan pemerintahan yang
memihak rakyat miskin. Dengan kata lain, bahwa program perjuangan yang harsu dilakukan
adalah merebut kekuasaan negara.

Konsepsi-konsepsi di atas, maka kemudian menghasilkan program-program kongkrit menuju


pembentukan pemerintahan rakyat miskin. Program-program ini dapat kita lihat dari program salah satu
organ mahasiswa yang dapat mewakili—dapat mewakili karena organisasi ini mempunyai jaringan
nasional dan internasional-- yaitu program LMND yang dapat kita lihat sebagai berikut:
“Buruh: Naikan upah,Stop sistem buruh kontrak,Tolak buruh anak, Perlindungan buruh
migran, 32 jam kerja,Tolak PHK sewenang-wenang,Tolak politik perburuhan ORBA. Kaum
Miskin Kota:Tolak penggusuran,Lapangan pekerjaan bagi KMK,Kebutuhan pokok gratis bagi
rakyat,Tolak kebijakan City Without Slum (Kota Tanpa Kekumuhan). Tani: Tanah , modal ,
teknologi murah untuk pertanian kolektif,Perlindungan harga komoditas pertanian nasional.
Perempuan: Tolak diskriminasi terhadap perempuan,Tolak ekploitasi perempuan, Legalkan
aborsi, Penyediaan fasilitas reproduksi gratis, Penyediaan fasilitas pengasuhan anak gratis.
Pendidikan:Pendidikan gratis , ilmiah , dan demokratis,Tolak privatisasi dunia pendidikan,
Lawan premanisme kampus,Tolak DO dan skorsing,Bentuk Dewan Mahasiswa, Sejahterakan
tenaga pengajar dan karyawan, Cabut sistem SKS. EKONOMI:Tolak pasar bebas.Tolak
privatisasi, Hapus hutang dan tolak hutang luar negeri,Tolak pencabutan subsidi, Tolak
kenaikan BBM, Turunkan harga. INTERNASIONAL: Tolak RUU anti teroris,Tolak invasi
Israel ke Palestina,Hapus hutang dunia ketiga,Tolak kebijakan rasisme
internasional,Kemerdekaan Palestina, Bangun front solidaritas anti imperialisme, Tolak
perang, Tolak semua bentuk terorisme, Bubarkan lembaga keuangan dan moneter. POLITIK:
Adili pelanggar HAM di Mahkamah Internasional,Hancurkan sisa-sisa ORBA dan reformis
gadungan,Cabut dwi fungsi TNI\POLRI,Adili dan sita kekayaan harta koruptor,Adili suharto,
Gulingkan Rejim Mega-Hamzah, Bubarkan parlemen dan bentuk Dewan Rakyat. RESOLUSI
ACEH: Referendum,kemerdekaan,Tarik Militer non Organik. RESOLUSI PAPUA: Hak
menentukan nasib sendiri bagi bangsa Papua.Program:Tarik Militer non Organik,Hentikan
eksploitasi alam di Papua,Kesejahteraan bagi bangsa Papua.” 100

Akhirnya, hanya dengan program perjuangan yang jelas, program ideologi yang tepat, program
ekonomi-politik yang dapat menjawab persoalan rakyat dan program organisasi yang dapat mewadahi
gerak kondisi obyektif-LAH, yang akan mampu mengarahkan sebuah gerakan dalamt memimpin
98 Pembebasan, Edisi III Agustus-September 2002
99 Ibid.
100 Pamflet LMND.

30
perubahan.***

31

Anda mungkin juga menyukai