Anda di halaman 1dari 99

PASUKAN GERILYA RAKYAT SARAWAK/PASUKAN

RAKYAT KALIMANTAN UTARA (PGRS/PARAKU):


KEMUNCULAN DAN PENUMPASANNYA
1963-1970

TESIS

NAMA : RUCIANAWATI
NPM : 0706182406

UNIVERSITAS INDONESIA
FAKULTAS ILMU PENGETAHUAN BUDAYA
PROGRAM PASCASARJANA PROGRAM STUDI SEJARAH
DEPOK
JANUARI 2011

Pasukan gerilya..., Rucianawati, FIB UI, 2011.

PASUKAN GERILYA RAKYAT SARAWAK/PASUKAN


RAKYAT KALIMANTAN UTARA (PGRS/PARAKU):
KEMUNCULAN DAN PENUMPASANNYA
1963-1970

TESIS
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Humaniora

NAMA : RUCIANAWATI
NPM : 0706182406

UNIVERSITAS INDONESIA
FAKULTAS ILMU PENGETAHUAN BUDAYA
PROGRAM PASCASARJANA PROGRAM STUDI SEJARAH
DEPOK
JANUARI 2011
i

Pasukan gerilya..., Rucianawati, FIB UI, 2011.

Pasukan gerilya..., Rucianawati, FIB UI, 2011.

Pasukan gerilya..., Rucianawati, FIB UI, 2011.

Pasukan gerilya..., Rucianawati, FIB UI, 2011.

KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan ke hadirat Allah Yang Maha Kuasa, yang telah
melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga saya dapat menyelesaikan tesis
ini. Hanya atas kehendak-Nya, saya diberi ketabahan dan kekuatan untuk
menyelesaikan tesis ini. Penulisan tesis ini dilakukan dalam rangka memenuhi
salah satu syarat untuk menyelesaikan Program Pascasarjana Ilmu Sejarah pada
Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia. Dengan segala
hambatan dan keterbatasan, saya menyadari bahwa tanpa bantuan dan bimbingan
dari berbagai pihak sangat sulit bagi saya untuk menyelesaikan tesis ini. Oleh
karena itu, saya mengucapkan terimakasih yang sedalam-dalamnya kepada:
(1) Prof. Dr. Susanto Zuhdi, selaku dosen pembimbing yang telah
menyediakan waktu, tenaga, dan pikiran untuk mengarahkan saya dalam
penyusunan tesis ini.
(2) Prof. Dr. I Ketut Surajaya, selaku Penasehat Akademik yang selalu
mengarahkan dan memberikan jalan keluar yang sangat bijaksana atas
segala persoalan yang saya alami selama masa studi.
(3) Dr. Priyanto Wibowo, selaku Ketua Departemen Sejarah UI atas segala
kebijakannya dalam membantu menyelesaikan persoalan saya.
(4) Tri Wahyuning Mudaryanti, M.Si, selaku Sekretaris Departemen Sejarah
UI yang selalu ramah dan sangat bersahabat dalam memberikan nasehat
kepada saya.
(5) Prof. Dr. M.I. Djoko Marihandono sebagai penguji yang telah memberikan
banyak sekali masukan dan inspirasi, sehingga sangat membantu saya
dalam proses penyelesaian tesis ini.
(6) Dr. Mohammad Iskandar sebagai penguji yang sangat obyektif dalam
memberikan kritik dan saran.
(7) Dr. Erwiza Erman, yang telah meluangkan waktu di sela-sela
kesibukannya yang luar biasa, untuk berdiskusi dan memberikan masukan
untuk perbaikan tesis ini.
(8) Suribidari, teman diskusi yang selalu memberikan semangat dan dorongan.
v

Pasukan gerilya..., Rucianawati, FIB UI, 2011.

(9) Keluarga tercinta, yang selalu memberikan dukungan penuh, khususnya


untuk suamiku Heri Wibowo yang selalu setia mendampingi di saat
senang maupun susah. Juga untuk buah hatiku Danish dan Nadhiif, dua
malaikat kecil yang menjadi semangat hidupku.
(10) Sahabat dan semua pihak yang telah banyak membantu kelancaran
penulisan tesis ini.

Akhir kata, semoga Allah Yang Maha Esa berkenan membalas segala
kebaikan semua pihak yang telah membantu saya. Saya berharap, semoga tesis ini
dapat bermanfaat untuk pengembangan ilmu pengetahuan.

Depok, 13 Januari 2011

Penulis

vi

Pasukan gerilya..., Rucianawati, FIB UI, 2011.

Pasukan gerilya..., Rucianawati, FIB UI, 2011.

ABSTRAK
Nama
: Rucianawati
Program Studi : Sejarah
Judul
: Pasukan Gerilya Rakyat Sarawak/Pasukan Rakyat Kalimantan
Utara (PGRS/PARAKU): Kemunculan dan Penumpasannya
1963-1970
Tesis ini membahas tentang kemunculan dan penumpasan gerakan
PGRS/PARAKU di daerah perbatasan Kalimantan Barat dan Sarawak pada
periode 1963 - 1970. Secara deskriptif naratif, tesis ini memaparkan awal mula
proses pembentukan PGRS/PARAKU di daerah perbatasan, apa saja aktivitasnya,
dan bagaimana sikap dan tindakan pemerintah, maupun dampaknya terhadap
masyarakat. Dari hasil penelitian dalam tesis ini dapat diketahui bahwa gerakan
PGRS/PARAKU semula mendapat dukungan dari pemerintah Indonesia dan
membantu Indonesia ketika konfrontasi dengan Malaysia. Namun demikian,
ketika terjadi pergantian rezim penguasa dari Orde Lama ke Orde Baru gerakan
PGRS/PARAKU yang berhaluan komunis kemudian ditumpas.

Kata Kunci:
PGRS/PARAKU, konfrontasi, perbatasan

viii

Pasukan gerilya..., Rucianawati, FIB UI, 2011.

ABSTRACT
Name
: Rucianawati
Study Program : History
Title
: Pasukan Gerilya Rakyat Sarawak/Pasukan Rakyat Kalimantan
Utara (PGRS/PARAKU): Kemunculan dan Penumpasannya
1963-1970
This thesis discusses the emergence and extermination of PGRS/PARAKU in
border areas of West Kalimantan and Sarawak in the period 1963 to 1970.
Chronologically, this thesis describes the beginning of the formation of
PGRS/PARAKU on the border and their activities. Beside that, it also describes
the government actions and policies in facing PGRS/PARAKU, and the impact of
this movement to the society. From the results of this research, it can be seen that
the Indonesian government (Old Order) support PGRS/PARAKU. However,
when the regime changes from the Old Order to the New Order, PGRS/PARAKU,
as a communists movement was crushed.

Keywords:
PGRS/PARAKU, confrontation, border

ix

Pasukan gerilya..., Rucianawati, FIB UI, 2011.

DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ................................................................................................i
SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME ..............................................ii
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS ..................................................iii
HALAMAN PENGESAHAN ...............................................................................iv
KATA PENGANTAR ............................................................................................v
LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH .............................vii
ABSTRAK ...........................................................................................................viii
DAFTAR ISI ..........................................................................................................x
DAFTAR SINGKATAN .......................................................................................xi
Bab 1
Pendahuluan .................................................................................1
1.1 Latar Belakang Masalah ...........................................................1
1.2 Permasalahan ............................................................................4
1.3 Tujuan Penelitian ......................................................................5
1.4 Kerangka Konseptual................................................................6
1.5 Tinjauan Pustaka ......................................................................9
1.6 Metode dan Sumber Penelitian ...............................................12
1.7 Sistematika Penulisan .............................................................14
Bab 2

Kondisi Daerah Perbatasan dan Masalahnya ..........................15


2.1 Kondidi Alam dan penduduknya.............................................15
2.1.1 Etnis Dayak ..............................................................16
2.1.2 Etnis Melayu ............................................................17
2.1.3 Etnis Cina... .............................................................18
2.2 Kondisi dan Hubungan Masyarakat.........................................20
2.3 Kondisi Pemerintahan .............................................................25
2.4 Perkembangan Komunis di Perbatasan ........................ ..........29

Bab 3

Gerakan PGRS/PARAKU...........................................................37
3.1 Kemunculan PGRS/PARAKU dan aktivitasnya.....................37
3.2 Sikap dan Tindakan Pemerintah .............................................47
3.3 Sikap Masyarakat: Demonstrasi Masyarakat Dayak...............51

Bab 4

Penumpasan dan Dampaknya....................................................60


4.1 ABRI dan Masyarakat dalam penumpasan ............................61
4.2 Kerjasama Pemerintah Indonesia-Malaysia............................71
4.3 Dampak terhadap Kondisi Sosial dan Ekonomi......................74

Bab 5

Kesimpulan ..................................................................................81

Daftar Pustaka .....................................................................................................84


Lampiran ............................................................................................................ 88

Pasukan gerilya..., Rucianawati, FIB UI, 2011.

DAFTAR SINGKATAN

ABRI
BARJASA
BIM
DIKB
GAM
GTK
KOGA
KOLAGA
Kosatgas
MCA
MIC
NKU
OPM
PANAS
PARAKU
Permesta
PESAKA
PGRS
PKI
PKS
PRRI
SABER
SAYA
SCA
SCIO
SNAP
SUPP
TC
TNKU
UMNO

: Angkatan Bersenjata Republik Indonesia


: Barisan Rakyat Jati Sarawak
: Briged Infanteri Malaysia
: Daerah Istimewa Kalimantan Barat
: Gerakan Aceh Merdeka
: Gerakan Tjina Komunis
: Komando Siaga
: Komando Mandala Siaga
: Komando Satuan Tugas
: Malayan Chinese Association
: Malayan Indian Congress
: Negara Kalimantan Utara
: Organisasi Papua Merdeka
: Partai Negara Sarawak
: Pasukan Rakyat Kalimantan Utara
: Perjuangan Rakyat Semesta
: Parti Pesaka Anak Sarawak
: Pasukan Gerilya Rakyat Sarawak
: Partai Komunis Indonesia
: Partai Komunis Sarawak
: Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia
: Sapu Bersih
: Sarawak Advance Youths Association
: Sarawak Chinese Association
: Sarawak Communist International Organization
: Sarawak National Party
: Sarawak United People Party
: Training Centre
: Tentara Nasional Kalimantan Utara
: United Malay National Organization

xi

Pasukan gerilya..., Rucianawati, FIB UI, 2011.

Bab 1
Pendahuluan

1.1 Latar Belakang Masalah

Dalam sejarah hubungan Malaysia dan Indonesia, sepanjang tahun 1950an sampai 1970-an merupakan periode yang penuh dengan gejolak politik.
Malaysia memperoleh kemerdekaan dari pemerintah kolonial Inggris pada tahun
1957. Proses untuk merdeka tersebut didahului dengan diadakannya pemilihan
umum pada tahun 1955. Dalam pemilihan umum ini, aliansi dari United Malay
National Organization (UMNO), Malayan Chinese Association (MCA), dan
Malayan Indian Congress (MIC) memenangkan pemilihan itu. Mereka kemudian
meminta kepada pihak pemerintah kolonial Inggris untuk memberikan
kemerdekaan kepada Malaya secepatnya. Pada tanggal 31 Agustus 1957, Negara
Federasi Malaya resmi berdiri sebagai negara yang merdeka. 1 Negara federal
tersebut adalah gabungan dari tiga model pemerintahan Inggris di tanah
Semenanjung, yaitu Federated Malay State, Unfederated Malay State, dan Strait
Settlement. 2
Selama proses perjuangan Negara Federasi Malaya sampai memperoleh
kemerdekaan, North Borneo (Sabah), Sarawak, dan Brunei merupakan kawasan
yang berdiri di luar Negara Malaya. Wilayah tersebut berada di bawah protektorat
Inggris. Kawasan ini mulai bergolak ketika Perdana Menteri Negara Federasi
Malaya, Tengku Abdurachman, mencetuskan gagasan untuk membentuk Negara
Federasi Malaysia Raya, dengan menggabungkan Negara Federasi Malaya dengan
1

Negara Federasi Malaya sebenarnya telah dibentuk oleh pemerintah kolonial Inggris
pada tahun 1948, yang terdiri dari sembilan negara bagian, yaitu Perak, Selangor, Negeri
Sembilan, Pahang, Johor, Terengganu, Kelantan, Kedah, dan Perlis. (Fauziah Syaffie dan Ruslan
Zainuddin. (2001). Sejarah Malaysia. Selangor: Fajar Baki Sdn. Bhd., hlm 429-430).
2

Federated Malay State yang terdiri atas Perak, Selangor, Pahang dan Negeri Sembilan
disyahkan pada bulan Juli 1896, dengan pusat di Kuala Lumpur. Unfederated Malay State terdiri
atas empat negeri di bagian utara yaitu Perlis, Kedah, Kelantan, dan Terengganu, serta ditambah
Johor, sedangkan yang disebut sebagai Strait Settlement terdiri atas Penang, Melaka, dan
Singapura. (Barbara Watson Andaya dan Leonard Andaya. (1982). A History of Malaysia.
London: Macmillan Press Ltd., hlm. 182-183 dan 200).

Universitas Indonesia

Pasukan gerilya..., Rucianawati, FIB UI, 2011.

Singapura, Sabah, Sarawak, dan Brunei. Gagasan tersebut mendapat dukungan


dari beberapa kelompok, tetapi juga ada tentangan dari kelompok yang lain.
Kelompok-kelompok yang tidak menyetujui ide penggabungan tersebut,
kemudian melakukan pemberontakan atau perlawanan seperti yang terjadi di
Brunei, dengan munculnya pemberontakan dari Partai Rakyat Brunei pada tanggal
8 Desember 1962. 3
Gagasan untuk membentuk Negara Federasi Malaysia Raya tersebut tidak
hanya mendapat tentangan dari kelompok-kelompok yang berada di wilayah
Borneo Utara atau di Semenanjung, akan tetapi juga dari negara tetangga seperti
Indonesia dan Filipina. Pihak Filipina tidak menyetujui penggabungan tersebut
karena mempermasalahkan Sabah yang semula berada di bawah Sulu, sedangkan
pihak Indonesia tidak setuju dengan ide pembentukan Negara Federasi Malaysia
Raya karena hal tersebut dianggap sebagai bentuk neokolonialisme yang harus
dilawan. Meskipun demikian, pembentukan negara federal tersebut terus berjalan
hingga resmi berdiri pada tanggal 16 September 1963. 4
Dalam periode yang sama, Indonesia mengalami gejolak politik, yang
diwarnai dengan terjadinya transisi politik dari demokrasi parlementer ke
demokrasi terpimpin. Periode ini ditandai dengan semakin menguatnya peran
militer, dan meluasnya pengaruh Partai Komunis Indonesia (PKI) terhadap
perkembangan politik. Sementara itu di daerah-daerah juga mengalami gejolak,
sebagai contoh pemberontakan DI/TII di Jawa Barat sekitar tahun 1949 1962,
PRRI/Permesta di Sulawesi dan Sumatera pada tahun 1957 - 1961, pembentukan
Republik Maluku Selatan (RMS) sekitar tahun 1950, dan sebagainya. Semua
gerakan itu pada dasarnya bertujuan untuk mendirikan pemerintahan sendiri dan
melepaskan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Disamping itu pada
periode ini proses dekolonisasi sedang berlangsung yang ditandai dengan
nasionalisasi perusahaan-perusahaan asing, dan keluarnya peraturan yang
mengharuskan orang Cina untuk memilih warga negara.
Masing-masing negara di kawasan Asia Tenggara ini mengalami gejolak
politik di dalam negeri, tetapi terjadi juga gejolak politik antar-negara, misalnya
3

Willard A. Hanna. (1964). The Formation of Malaysia: New Factor in World Politics.
New York: American Universities Field Staff, Inc., hlm. 126.
4
Barbara Watson Andaya and Leonard Y. Andaya. Op.Cit., hlm. 274.

Universitas Indonesia

Pasukan gerilya..., Rucianawati, FIB UI, 2011.

Malaysia dengan Filipina, yang menentang masuknya Sabah dalam Negara


Federasi Malaysia. Hubungan Indonesia dan Malaysia juga bergolak hingga
berujung pada konfrontasi. Pada masa inilah terjadi gelombang pengungsian para
pemberontak atau orang-orang yang menentang pembentukan Negara Federasi
Malaysia dari Sarawak maupun Brunei ke wilayah Kalimantan Barat. Pangkal
dari semua peristiwa tersebut adalah ide pembentukan Negara Federasi Malaysia.
Para pemberontak dari Brunei yang mendukung Negara Kalimantan Utara
(NKU), dan orang-orang Cina komunis dari Sarawak, terutama dari Sarawak
Advance Youths Association (SAYA) di Kalimantan Barat kemudian bergabung
dan membentuk Pasukan Gerilya Rakyat Sarawak (PGRS) dan Pasukan Rakyat
Kalimantan Utara (PARAKU). Kondisi ini dimanfaatkan oleh Presiden Sukarno
dengan proyek penghancuran neokolonialisme, hingga tercetus Dwi Komando
Rakyat (Dwikora). 5
PGRS/PARAKU yang mendapat latihan dari pihak militer Indonesia
semula bergabung dengan sukarelawan Dwikora untuk melawan Malaysia.
Setelah selesai masa konfrontasi gerakan ini kemudian ditumpas seiring dengan
terjadinya perubahan rezim pemerintahan di Indonesia dari Orde Lama ke Orde
Baru. Pergantian rezim ini diikuti dengan pergantian kebijakan terhadap
organisasi komunis. Sejak 12 Maret 1966, organisasi komunis dinyatakan sebagai
organisasi terlarang di Indonesia. Oleh karena itu PGRS/PARAKU yang beraliran
komunis diberantas oleh pemerintah Orde Baru. 6
Dalam kaitan ini agaknya penting untuk menyimak pernyataan Menteri
Penerangan B.M. Diah, yang menyatakan bahwa Kalimantan Barat telah mewarisi
dua kawan dan dua musuh, yaitu PGRS dan PARAKU. 7 Pernyataan ini
menyiratkan makna bahwa gerakan ini dulu membantu Indonesia pada saat
berkonfrontasi dengan Malaysia, tetapi setelah itu menjadi musuh.
5

Dwikora dicetuskan oleh Presiden Sukarno pada tanggal 3 Mei 1964 yang berisi: 1)
Pertinggi ketahanan revolusi Indonesia, 2) Bantu perjuangan revolusioner rakyat Malaya,
Singapura, Sarawak, dan Sabah, untuk menggugurkan negara boneka Malaysia. (Iman Toto K.
Rahardjo dan Suko Sudarso (eds.). (2010). Bung Karno: Masalah Pertahanan Keamanan.
Jakarta: Grasindo, hlm. 63).
6
Larangan terhadap organisasi komunis tertuang dalam Tap MPRS No, XV/MPRS/1966
tentang pembubaran PKI, pernyataan sebagai organisasi terlarang di seluruh wilayah negara
Republik Indonesia bagi PKI, dan larangan setiap kegiatan untuk menyebarkan atau
mengembangkan faham atau ajaran komunisme/Marxisme-Leninisme.
7
Angkatan Bersendjata, 19 Oktober 1967.

Universitas Indonesia

Pasukan gerilya..., Rucianawati, FIB UI, 2011.

Anggota-anggota PGRS/PARAKU kemudian melakukan perlawanan


dengan bergerilya di hutan-hutan wilayah perbatasan. Peristiwa tersebut
menunjukkan posisi perbatasan sebagai wilayah yang jauh dari jangkauan
pemerintah pusat dan kurang diperhatikan sehingga menjadi tempat yang relatif
aman untuk berkembangnya kelompok yang melawan pemerintah. Sebelum
terjadinya konfrontasi dan kemunculan gerakan komunis, daerah perbatasan ini
cenderung terisolasi dari perhatian pemerintah pusat. Di distrik Lundu, di wilayah
perbatasan Sarawak-Kalimantan Barat sebagai contoh, terjadi hubungan simbiosis
antara masyarakat yang tinggal di kedua sisi perbatasan. Mereka telah
membangun hubungan sosial dan ekonomi, melalui pergerakan manusia dan
barang yang sebenarnya bersifat transnasional. Jaringan transnasional di
perbatasan yang sudah berjalan lama ini runtuh ketika terjadi konfrontasi
Indonesia dan Malaysiapada tahun 1963. Daerah perbatasan ini berubah mennjadi
arena pertarungan politik dan militer, dan kemudian berlanjut sebagai ajang
gerilya dari PGRS/PARAKU. 8
Karena munculnya berbagai persoalan yang menyangkut ideologi dan
keamanan, perbatasan kemudian banyak dilihat dari sudut pandang pertahanan
dan keamanan. Namun demikian, sebenarnya aspek-aspek lain seperti ekonomi,
sosial, dan budaya juga menarik untuk dikaji, karena masing-masing aspek
tersebut dapat saling mempengaruhi. Beranjak dari sini, tesis ini mencoba untuk
memaparkan kemunculan gerakan PGRS/PARAKU dan penumpasannya, yang
dimulai pada tahun 1963, ketika unsur-unsur PGRS/PARAKU terbentuk di
Kalimantan Barat, sampai dengan tahun 1970 ketika berakhirnya penumpasan,
oleh pihak militer Indonesia. Persoalan PGRS/PARAKU ini sangat menarik
karena pada masa Orde Lama mereka didukung oleh pemerintah dan dilatih oleh
militer Indonesia, tetapi pada masa Orde Baru mereka ditumpas oleh militer.

1.2 Permasalahan

Tesis tentang kemunculan dan penumpasan gerakan PGRS/PARAKU di


perbatasan Indonesia dan Malaysia pada tahun 1963-1974 ini akan mengangkat
8

Noboru Ishikawa. (2010). Between Frontiers: Nation and Identity in a Southeast Asian
Borderland. Singapura: NUS Press, hlm. 90.

Universitas Indonesia

Pasukan gerilya..., Rucianawati, FIB UI, 2011.

permasalahan yang cukup menarik, yaitu bagaimana munculnya gerakan


PGRS/PARAKU di perbatasan Indonesia-Malaysia? Apa faktor-faktor yang
menyebabkan munculnya gerakan tersebut?
PGRS/PARAKU semula mendapat dukungan dari pememerintah Orde
Lama, tetapi pada masa Orde Baru gerakan tersebut ditumpas oleh pemerintah.
Yang menjadi pertanyaan disini, mengapa gerakan PGRS/PARAKU yang semula
didukung kemudian ditumpas oleh pemerintah? Bagaimana penumpasannya?
Ruang lingkup yang diambil dalam tesis ini yaitu tahun 1963-1970.
Periode awal diambil pada tahun 1963 karena pada masa ini muncul gagasan
untuk membentuk PGRS dan PARAKU. Ide untuk membentuk PGRS dan
PARAKU tersebut muncul setelah ada pertemuan-pertemuan antara tokoh-tokoh
Partai Rakyat Brunei, Sarawak Advance Youth Association (SAYA), dan
didukung oleh Partai Komunis Indonesia. Periode akhir diambil tahun 1970
karena pada masa ini baik pemerintah Indonesia telah menghentikan operasioperasi militer untuk menumpas gerakan PGRS/PARAKU.
Batas spasial tesis ini adalah wilayah perbatasan Kalimantan Barat dan
Sarawak. Pembahasan akan dititikberatkan di wilayah Kalimantan Barat, karena
PGRS/PARAKU lebih banyak melakukan kegiatan di wilayah Kalimantan Barat
daaripada di wilayah Sarawak. Tema yang diangkat dalam tesis ini dibatasi pada
masalah kemunculan gerakan PGRS/PARAKU, penumpasan yang dilakukan
pemerintah, terutama dari pemerintah Indonesia, dan dampak dari peristiwa
tersebut terhadap kehidupan sosial dan ekonomi.

1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan pada latar belakang dan permasalahan di atas, tesis ini


memiliki tujuan untuk mengungkap dan memaparkan proses kemunculan dan
penumpasan gerakan PGRS/PARAKU di daerah perbatasan Kalimantan Barat dan
Sarawak, Malaysia Timur pada tahun 1963 1974. Selain itu tesis ini juga
bertujuan untuk melihat pentingnya wilayah perbatasan bagi Negara Kesatuan
Republik Indonesia.

Universitas Indonesia

Pasukan gerilya..., Rucianawati, FIB UI, 2011.

1.4 Kerangka Konseptual

Wilayah perbatasan adalah wilayah yang rawan dari segi politik dan
ekonomi, karena perbatasan adalah tempat yang aman dan nyaman dari berbagai
kegiatan yang illegal, seperti penyelundupan, migrasi illegal, dan menjadi basis
kelompok separatis. Untuk memahami peristiwa-peristiwa yang terjadi di daerah
perbatasan, perlu untuk memaparkan apa yang dimaksud dengan perbatasan dan
kapan perbatasan itu ditetapkan.
Konsep tentang perbatasan, tak dapat dilepaskan dari istilah garis batas
(border) dan batas wilayah (boundary). Ketika perbatasan dilihat sebagai sebuah
zona, maka muncul istilah wilayah perbatasan (borderland). Perbatasan kemudian
diartikan sebagai entitas fisik, dengan perwujudan relasi timbal balik dan saling
ketergantungan sosial yang cukup intens antara anggota masyarakat yang tinggal
kedua wilayah yang berbatasan. Dalam konteks pembangunan sosial dan
ekonomi, adanya hubungan timbal balik dan saling ketergantungan berarti
mengakui eksistensi dari kelompok masyarakat yang berada dalam satu wilayah
dan di wilayah atau negara tetangga, sehingga wilayah perbatasan dapat bermakna
dalam batas-batas teritorial dan hak-hak warga masing-masing negara tetangga. 9
Perbatasan suatu negara (states border), muncul bersamaan dengan
lahirnya negara itu sendiri. Pada awalnya, perbatasan negara dilihat sebagai
sebuah ruang geografis yang sejak awal telah menjadi wilayah perebutan
kekuasaan antarnegara. Perebutan kekuasaan tersebut ditandai dengan adanya
pertarungan untuk memperluas batas-batas antarnegara. Dalam perkembangannya,
perbatasan dapat dipahami dari dua perspektif, yaitu dari perspektif geografis, dan
perspektif sosial. Dari sudut pandang geografis, permasalahan perbatasan akan
selesai ketika negara yang berbatasan telah mencapai kesepakatan tentang batas
wilayah negaranya masing-masing. Dari perspektif sosial, perbatasan bukan hanya
dilihat dari dua wilayah yang dipisahkan, dan memilki peraturan atau
pemerintahan yang berbeda. Perbatasan mempunyai makna baru sebagai

Johanis Haba.(2010). Etnisitas, Identitas, dan Nasionalisme di Wilayah Perbatasan


Indonesia. Orasi Pengukuhan Profesor Riset Bidang Antropologi. Jakarta: LIPI, hlm. 5-6.

Universitas Indonesia

Pasukan gerilya..., Rucianawati, FIB UI, 2011.

konstruksi sosial dan kultural yang tidak terikat pada pengertian yang bersifat
teritorial. 10
Indonesia, sebagai negara kepulauan memiliki batas wilayah daratan,
perairan, dan wilayah ruang udara. Wilayah daratan adalah bagian dari daratan
yang merupakan tempat kediaman penduduk negara yang bersangkutan. Wilayah
perairan adalah bagian perairan yang menjadi wilayah dari suatu negara,
sedangkan wilayah ruang udara merupakan ruang udara yang terletak di atas
permukaan wilayah daratan dan perairan suatu negara. Di Indonesia, batas
wilayah daratan terdapat di perbatasan Kalimantan dengan Malaysia (Sabah dan
Sarawak), Papua dengan Papua Nugini, dan Timor dengan Timor Leste. 11
Daerah perbatasan Kalimantan Barat dan Sarawak telah ditentukan sejak
masa kolonial, yaitu melalui perjanjian antara pemerintah kolonial Inggris dan
Belanda, yang disebut Anglo-Dutch Treaty (1824). 12 Pada masa pemerintahan
kolonial Belanda, daerah perbatasan Borneo Barat dan Sarawak kurang mendapat
perhatian dari pemerintah, sehingga sarana dan prasarana sosial maupun
ekonominya sangat terbatas. Kondisi geografis daerah perbatasan yang
didominasi hutan yang lebat menjadi salah satu alasan kurangnya kontrol
pemerintah. Selain itu, keberadaan penduduk perbatasan yang tinggal di
pedalaman dengan budaya headhunter, yaitu berburu kepala manusia, juga
menjadi alasan para pejabat pemerintah (kolonial) untuk tidak datang ke daerah
tersebut.
Setelah merdeka, wilayah Indonesia mengikuti daerah yang pernah
menjadi kekuasaan pemerintah kolonial Belanda. Wilayah Kalimantan (Indonesia)
10

Riwanto Tirtosudarmo.(2005). Wilayah Perbatasan dan Tantangan Indonesia Abad 21:


Sebuah Pengantar, dalam Riwanto Tirtosudarmo dan John Haba (eds.). Dari Entikong Sampai
Nunukan: Dinamika Daerah Perbatasan Kalimantan Malaysia Timur (Sarawak dan Sabah).
Jakarta: Pustaka Sinar Harapan., hlm. 1-2.
11
Simela Victor Muhamad. (2004). Batas Wilayah Negara dalam Perspektif Hukum
Internasional, dalam Poltak Partogi Nainggolan (ed.). Batas Wilayah dan Situasi Perbatasan
Indonesia: Ancaman terhadap Integritas Teritorial. Jakarta: Tiga Putra Utama, hlm. 20-27.
12
Perjanjian tersebut antara lain berisi kesepakatan pembagian wilayah pengaruh
kekuasaan pemerintah kolonial Belanda dan Inggris. Dalam kesepakatan yang dibuat, Belanda
menerima penguasaan Inggris atas Singapura. Belanda menyerahkan Melaka kepada Inggris, dan
Inggris meninggalkan Sumatera (Bengkulu) untuk diserahkan kepada Belanda. Selain itu juga ada
kesepakatan untuk bekerjasama dalam menjaga keamanan, khususnya dalam menghadapi
perompak di kawasan kepulauan Melayu. (Nicholas Tarling (ed.). (1999). The Cambridge History
of Southeast Asia. Volume three, from c. 1800 to the 1930s. Cambridge university Press, hal. 1314 dan 53).

Universitas Indonesia

Pasukan gerilya..., Rucianawati, FIB UI, 2011.

berbatasan dengan Kalimantan Utara yang masih berada dibawah pengaruh


kekuasaan Inggris. Pada masa awal kemerdekaan, pembangunan terfokus di Jawa
sebagai pusat kekuasaan. Masalah perbatasan kemudian menjadi persoalan
penting ketika muncul berbagai isu seperti perebutan batas

wilayah,

penyelundupan, migrasi, maupun pengaruh ideologi. Komunisme menjadi salah


satu isu penting yang muncul sejak berakhirnya kolonialisme. Perbatasan sebagai
wilayah yang kurang diperhatikan dengan mudah dapat menjadi tempat
berkembang (base camp) dari kelompok atau aliran terlarang, dijadikan sebagai
tempat persembunyian para pemberontak atau kelompok-kelompok yang
menentang pemerintah.
Gerakan PGRS/PARAKU adalah salah satu contoh gerakan perlawanan
terhadap pemerintah pusat yang terjadi di daerah perbatasan Kalimantan Barat dan
Sarawak. Semula mereka menjadi bagian dari sukarelawan Dwikora yang dilatih
oleh militer Indonesia pada jaman Orde Lama. Dalam perkembangannya mereka
menjadi musuh yang diperangi oleh militer pada jaman Orde Baru. Gerombolan
PGRS/PARAKU melakukan perang secara bergerilya ke hutan-hutan di daerah
perbatasan. Untuk memahami perjuangan mereka, perlu dipaparkan apa yang
dimaksud dengan perang gerilya.
Perang gerilya merupakan salah satu strategi perang yang biasanya
dilakukan oleh pasukan-pasukan kecil untuk melawan pasukan yang lebih besar.
Menurut Jenderal A.H. Nasution, dalam bukunya tentang pokok-pokok gerilya,
perang gerilya disebut sebagai perang si kecil/si lemah melawan si besar/si kuat.
Perang gerilya biasanya merupakan perang ideologi, yang melibatkan rakyat.
Oleh karena itu perang gerilya ini disebut juga sebagai perang rakyat semesta,
walaupun tidak berarti bahwa seluruh rakyat ikut bertempur. Rakyat, yang
menjadi tempat pangkalan gerilya, sangat berperan dalam membantu merawat dan
menyembunyikan atau membantu penyamaran kaum gerilya, serta menyelidiki
situasi untuk keperluan kaum gerilya. Adanya bantuan dari rakyat ini merupakan
salah satu syarat pokok perang gerilya, di samping tersedianya ruang geografis
yang cukup dan waktu perang yang lama. 13

13

A.H. Nasution. (1984). Pokok-pokok Gerilya: dan Pertahanan Republik Indonesia di


Masa yang lalu dan yang akan datang. Bandung: Angkasa. , hlm. 4-50.

Universitas Indonesia

Pasukan gerilya..., Rucianawati, FIB UI, 2011.

Gerilya berakar dari rakyat, oleh karena itu untuk mengalahkannya harus
menggunakan strategi anti-gerilya dengan menghilangkan akar-akar gerilya itu
dari rakyat. Jadi perang anti-gerilya bertujuan untuk memisah gerilya dari rakyat
sebagai pangkalannya. Gerakan anti gerilya ini mengutamakan gerakan politik,
psikologis dan ekonomis. 14
Gerakan PGRS/PARAKU menerapkan strategi perang gerilya dalam
melakukan perlawanan terhadap pemerintah Indonesia. Kegiatannya dipusatkan di
daerah perbatasan Kalimantan Barat dan Sarawak, dengan ruang geografi yang
sangat luas, sehingga pergerakan mereka lebih leluasa. Basis gerakannya adalah
masyarakat, terutama dari etnis Cina, di mana mereka bisa mendapatkan pasokan
logistik dan merekrut kader-kader baru. Anggota PGRS/PARAKU, yang sebagian
besar adalah etnis Cina, dapat dengan mudah menyamar atau berbaur dengan
masyarakat yang juga didominasi oleh etnis Cina.
Untuk menumpas kegiatan gerilya PGRS/PARAKU, pemerintah Indonesia
melakukan tindakan militer militer dengan operasi-operasi militer di tempattempat yang menjadi basis gerakan mereka. Selain itu juga diterapkan anti-gerilya
dengan usaha untuk memisahkan kaum gerilya dari masyarakat yang mendukung
gerakannya. Dengan tindakan anti-gerilya ini akhirnya kekuatan gerilya
PGRS/PARAKU dapat dilemahkan.

1.5 Tinjauan Pustaka

Masalah perbatasan merupakan masalah yang menarik untuk dikaji dari


berbagai sudut ilmu. Sejauh ini perbatasan cenderung dikaitkan dengan masalah
politik, keamanan dan keutuhan negara. Sebagai contoh adalah persengketaan
perbatasan Indonesia-Malaysia yang memperebutkan Pulau Sipadan dan Ligitan,
serta Blok Ambalat, yang lebih dilihat dari sudut pandang politik dan keamanan.
Di sisi lain aspek ekonomi, sosial, dan budaya di daerah perbatasan sebenarnya
tidak kalah menarik untuk dikaji.
Mengenai perbatasan Indonesia-Malaysia, khususnya di perbatasan
Kalimantan dan Malaysia Timur, telah dilakukan beberapa penelitian, antara lain
14

Ibid.

Universitas Indonesia

Pasukan gerilya..., Rucianawati, FIB UI, 2011.

10

yang dilakukan oleh Ardhana, dkk. (2006) tentang Dinamika Etnisitas dan
Hubungan Ekonomi pada Wilayah Perbatasan di Kalimantan Timur - Sabah:
Studi Kasus di Wilayah Krayan dan Long Pasia (Jakarta: PSDR-LIPI). Buku ini
antara lain membahas tentang dinamika historis masyarakat di perbatasan
Indonesia Malaysia, kondisi kependudukan, serta interaksi etnisitas dan
perdagangan yang terjadi di wilayah tersebut. Berdasarkan hasil penelitian
disebutkan bahwa sejak lama telah muncul keinginan yang kuat dari penduduk
lokal di daerah perbatasan untuk meningkatkan hubungan dengan negara tetangga.
Mereka terpisah dalam dua negara yang berbeda, sehingga memiliki identitas
nasional yang berbeda, akan tetapi sebagian besar dari mereka memiliki kesamaan
etnik. Mobilitas penduduk di kawasan perbatasan ini semakin cepat sebagai
dampak dari proses globalisasi.
Hasil penelitian tersebut juga menjelaskan bahwa telah ada upaya
pemerintah (Indonesia) utuk membangun potensi yang ada di wilayah perbatasan.
Pembangunan dilakukan dengan tujuan untuk menjaga keutuhan wilayah NKRI
dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat dengan menggali potensi
sosial, budaya, ekonomi, dan keuntungan lokasi geografis untuk berhubungan
langsung dengan negara tetangga. Masyarakat di perbatasan Kalimantan
sebenarnya memiliki potensi untuk mengelola sumberdaya alam di wilayahnya,
akan tetapi mereka menghadapi kendala dengan keterbatasan sarana dan prasarana
untuk lebih meningkatkan potensi yang dimiliki. Dalam memenuhi kebutuhan
sehari-hari mereka sangat tergantung pada negara tetangga.
Studi lain dilakukan oleh Tirtosudarmo dan John Haba (eds.) (2005), Dari
Entikong Sampai Nunukan: Dinamika Daerah Perbatasan Kalimantan
Malaysia Timur (Serawak dan Sabah). Hasil kajian yang memuat kompilasi
tulisan dari beberapa peneliti ini membahas persoalan-persoalan yang cukup luas
di daerah perbatasan, antara lain tentang karakteristik historis, demografi politik,
permasalahan ekonomi, hubungan etnis, masalah kehutanan, dan potensi konflik.
Dari beberapa aspek yang dibahas dalam studi ini, aspek ekonomi
kelihatan lebih menonjol, karena dinamika ekonomi sangat berperan dalam
hubungan kedua wilayah yang saling berbatasan. Dinamika ekonomi berkaitan
erat dengan pembangunan sarana dan prasarana misalnya pembangunan jalan

Universitas Indonesia

Pasukan gerilya..., Rucianawati, FIB UI, 2011.

11

lintas yang menghubungkan kedua negara. Hal ini berarti bahwa ekonomi sangat
berpengaruh dalam proses migrasi penduduk di wilayah perbatasan.
Masalah daerah perbatasan Indonesia Malaysia juga pernah diangkat
dalam tesis Suryansyah (1994), Masalah Daerah Perbatasan Indonesia
Malaysia di Kalimantan Barat: antara Pertimbangan Ekonomi dan Keamanan.
Dalam tesis ini Suryansyah mengulas kondisi-kondisi yang mempengaruhi
perkembangan masyarakat perbatasan, antara lain kondisi geografi dan demografi,
sosial-ekonomi, serta sosial-politik. Dijelaskan bahwa pembangunan wilayah
perbatasan menemui berbagai hambatan, misalnya migrasi tenaga kerja musiman
ke negara tetangga, penyelundupan, keterbatsan informasi, keterbatasan jalan
darat, keterbatasan pendidikan, dan masalah kesehatan. Selain itu, tesis ini juga
membahas kebijakan pemerintah, serta kerjasama sosial-ekonomi

antara

pemerintah Malaysia dan Indonesia dalam pembangunan daerah perbatasan.


Pembangunan yang dilakukan terfokus pada usaha untuk merangsang kegiatan
produksi, terutama pertanian, usaha pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya,
dan usaha yang dapat mendorong dan meningkatkan mutu pemukiman dan
lingkungan hidup. Sementara itu kerjasama pemerintah Indonesia dan Malaysia
terwujud melalui Kelompok Kerja Sosial Ekonomi Malaysia-Indonesia (Pokja
Sosek Malindo).
Berbeda dengan tulisan-tulisan yang telah ada sebelumnya, tesis ini
mencoba untuk mengangkat masalah di perbatasan Kalimantan Barat dan
Sarawak, yang berkaitan dengan kemunculan dan penumpasan PGRS/PARAKU.
Masalah PGRS/PARAKU ini sebelumnya pernah dibahas dalam tulisan-tulisan
yang bersifat militer, antara lain dalam buku Tandjungpura Berdjuang: Sejarah
Kodam XII/Tandjungpura Kalimantan-Barat yang dikeluarkan oleh Semdan
XII/Tandjungpura (1970). Selain itu, Soemadi, yang pernah menjabat sebagai
Pangdam XII/Tanjungpura pada periode 1969 1973, juga membahas masalah
PGRS/PARAKU dalam bukunya Peranan Kalimantan Barat dalam Menghadapi
Subversi Komunis Asia Tenggara (Pontianak: Yayasan Tanjungpura, 1974).
Kedua buku itu membahas PGRS/PARAKU dari sudut pandang militer, sehingga
kurang melihat apa yang terjadi atau apa yang dirasakan oleh masyarakat. Oleh
karena itu tesis ini berusaha untuk melengkapi tulisan-tulisan sebelumnya, dengan

Universitas Indonesia

Pasukan gerilya..., Rucianawati, FIB UI, 2011.

12

melihat kemunculan dan penumpasan gerakan PGRS/PARAKU, serta sikap


masyarakat dan dampak yang dirasakan dengan terjadinya peristiwa tersebut.

1.6 Metode dan Sumber Penelitian

Untuk melakukan rekonstruksi sejarah, maka diperlukan data selengkap


mungkin. Oleh karena itu perlu pngumpulan data yang sebanyak-banyaknya,
dengan melacak sumber sejarah yang relevan dengan tema yang diangkat dalam
tesis ini. Pengumpulan data primer maupun sekunder dilakukan terutama melalui
studi pustaka (library research) di Perpustakaan Nasional, Disdok Pusjarah
ABRI, Perpustakaan Negeri Malaysia, Perpustakaan University Malaysia Sabah,
Arkib Negeri Malaysia, serta penelusuran data melalui internet.
Dari penelusuran data yang dilakukan, ditemukan sumber primer, antara
lain dokumen dan koran sezaman. Sumber primer banyak ditemukan di Indonesia,
sedangkan di Malaysia sumber primer yang berupa arsip sulit ditemukan, karena
adanya larangan bagi orang luar untuk melihat arsip atau koran dan majalah yang
telah masuk dalam Arkib Negara. Hal ini kemungkinan besar karena hubungan
kedua negara sedang memanas ketika terjadi penangkapan terhadap tiga petugas
Dinas Kelautan dan Perikanan Indonesia oleh Tentara Diraja Malaysia pada bulan
Agustus 2010. Di Malaysia lebih banyak ditemukan sumber-sumber sekunder,
antara lain buku-buku yang membahas tentang gerakan komunis di Sarawak,
sejarah pembentukan Negara Federasi Malaysia, dan sejarah Sarawak.
Tesis ini berusaha untuk menerapkan metode sejarah kritis melalui empat
kegiatan pokok, yaitu pengumpulan bahan-bahan yang relevan, menyingkirkan
bagian-bagian yang tidak otentik, menyimpulkan kesaksian yang dapat dipercaya
mengenai bahan-bahan yang otentik, kemudian menyusunnya menjadi suatu kisah
sejarah yang berarti. 15
Karena tesis ini mengangkat suatu permasalahan yang terjadi di daerah
perbatasan, maka dalam pemaparannya selalu dikaitkan dengan konsep hubungan
pusat dan pinggiran (centre dan periphery). Dua wilayah itu memiliki sudut
15

Louis Gottschalk, Mengerti Sejarah. Terj. Nugroho Notosusanto (Jakarta: UI-Press,


1985), hlm. 18.

Universitas Indonesia

Pasukan gerilya..., Rucianawati, FIB UI, 2011.

13

pandang yang berbeda. Untuk memahami suatu kisah atau peristiwa, perlu kiranya
untuk melihat dari berbagai sudut pandang. Dari sudut pandang pusat, pinggiran
seringkali tampak sebagai daerah yang memiliki pandangan yang sempit dan
kurang maju. Pusat hampir selalu melihat pinggiran dengan menekankan pada apa
yang hilang atau kurang, sedangkan dari sudut pandang pinggiran itu sendiri apa
yang bisa dilihat adalah suatu proses kreatif dari akomodasi, asimilasi, dan
sinkretisme. 16 Gerakan PGRS/PARAKU terjadi di daerah perbatasan kalimantan
Barat dan Sarawak, maka perlu kiranya untuk mendapatkan data-data yang
menggambarkan hubungan perbatasan sebagai daerah pinggiran, dan pusat
kekuasaan sebagai penentu kebijakan.
Setelah mendapatkan data-data yang relevan dengan dengan peristiwa
gerakan PGRS/PARAKU, seperti Dokumen Operasi PGRS/PARAKU, laporan
perkembangan tentang situasi daerah perbatasan, Risalah Serah Terima Kodam
XII/Tandjungpura, koran-koran sejaman yang memuat berita tentang gerakan
PGRS/PARAKU, serta artikel dan buku-buku penunjang, dilakukan seleksi data
atau sumber sejarah, sehingga dapat diketahui sumber yang otentik dan sumber
yang kurang otentik. Data-data dari militer tentunya memposisikan tentara atau
pemerintah sebagai pihak yang benar, dan PGRS/PARAKU menjadi pihak yang
salah dan harus ditumpas. Oleh karena itu perlu kehati-hatian untuk memilah
sumber dan membandingkan dengan sumber lain, untuk menjaga netralitas
penulisan.
Penulisan sejarah tidak hanya membutuhkan dokumen apa, di mana dan
bagaimana, tetapi memerlukan kecermatan untuk memilih dokumen yang mana. 17
Dokumen atau data yang ditemukan bisa jadi hanya dari satu sumber sehingga
diperlukan data pembanding, atau setidak-tidaknya data pelengkap untuk
memahami kondisi yang melatarbelakangi terjadinya suatu peristiwa. Oleh karena
itu perlu usaha untuk memahami peristiwa yang terjadi, dengan membandingkan
sumber dan berita yang ditemukan, kemudian menganalis untuk membuat
rekonstruksi sejarah secara kronologis.

16

Peter Burke. (1998). The European Renaissnce: centres and peripheries. Oxford:
Blackwell Publishers Ltd., hlm. 13
17
Sartono Kartodirdjo, Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah. (Jakarta:
PT.Gramedia, 1992), hlm. 31

Universitas Indonesia

Pasukan gerilya..., Rucianawati, FIB UI, 2011.

14

1.7 Sistematika Penulisan

Tesis ini disusun dalam lima bab, yang pertama adalah pendahuluan.
Bagian ini berisi latar belakang masalah, permasalahan, tujuan penelitian,
kerangka konseptual, tinjauan pustaka, metode dan sumber penelitian, serta
sistematika penulisan.
Bagian kedua akan membahas tentang kondisi daerah perbatasan dan
masalahnya, dengan melihat kondisi alam dan penduduknya, kondisi dan
hubungan masyarakat, kondisi pemerintahan, serta perkembangan komunis di
perbatasan. Bagian ini diharapkan dapat memberikan gambaran yang akan
menghantar pada terjadinya suatu peristiwa.
Bagian ketiga akan membahas gerakan PGRS/PARAKU. Bagian awal dari
bab tiga ini memaparkan munculnya gerakan PGRS/PARAKU dan aktivitasnya,
kemudian melihat sikap dan tindakan pemerintah, dan yang terakhir sikap
masyarakat terhadap gerakan PGRS/PARAKU, terutama sikap masyarakat
Dayak.
Bagian keempat memaparkan penumpasan dan dampaknya. Disini akan
dijelaskan peranan ABRI dan masyarakat dalam penumpasan gerakan
PGRS/PARAKU, kerjasama antara pemerintah Indonesia dan Malaysia dalam
menangani masalah PGRS/PARAKU, dan dampak dari gerakan PGRS/PARAKU
dan penumpasannya terhadap keadaan sosial dan ekonomi.
Bagian kelima adalah kesimpulan yang menjawab pertanyaan-pertanyaan
dalam penelitian.

Universitas Indonesia

Pasukan gerilya..., Rucianawati, FIB UI, 2011.

15

Bab 2
Kondisi Daerah Perbatasan dan Masalahnya
Kondisi suatu daerah dapat berpengaruh terhadap munculnya berbagai
masalah atau peristiwa di daerah tersebut. Sebagai contoh misalnya kondisi
daerah perbatasan yang jauh dari pusat kekuasaan, maka daerah tersebut menjadi
tempat yang aman untuk berbagai kegiatan illegal. Daerah pinggiran ini juga bisa
menjadi tempat berkembangnya suatu gerakan separatis yang melawan
pemerintah pusat.
Bagian kedua ini membahas kondisi alam dan penduduk di daerah
perbatasan Kalimantan Barat dan Sarawak, kondisi dan hubungan masyarakat,
serta kondisi pemerintahan. Kondisi perbatasan sebagai daerah yang marginal
karena kurang mendapat perhatian dari pemerintah pusat, menjadi salah satu
faktor pendukung munculnya gerakan separatis yang ingin melepaskan diri dari
pemerintah pusat. Oleh karena itu pada bagian ini juga dijelaskan perkembangan
komunis di perbatasan yang kemudian menjadi dasar ideologi gerakan
PGRS/PARAKU.

2.1 Kondisi Alam dan Penduduknya

Wilayah perbatasan Kalimantan Barat dan Sarawak memiliki kondisi


geografis yang hampir sama, sebagai wilayah hutan tropis, serta memiliki
kesamaan kelompok etnis, misalnya suku Dayak, Melayu, dan Cina. Kalimantan
Barat berbatasan dengan Sarawak di sebelah utara sepanjang lebih kurang 440
km, di sebelah timur berbatasan dengan Kalimantan Timur dan Kalimantan
Tengah, di sebelah selatan berbatasan dengan Laut Jawa, dan di sebelah barat
berbatasan dengan Laut Cina Selatan.
Luas daerah Kalimantan Barat mencakup 146.760 km2. Dari luas wilayah
tersebut, hampir setengahnya merupakan daerah air dan rawa. Karakteristik
wilayah Kalimantan Barat secara umum merupakan daerah yang landai. Di
kawasan ini terdapat sedikit daerah pegunungan yang terletak di sekitar wilayah
perbatasan Sarawak dan di perbatasan Kalimantan Timur. Daerah pesisir dan

Universitas Indonesia

Pasukan gerilya..., Rucianawati, FIB UI, 2011.

16

muara sungai merupakan daerah dataran rendah yang kurang subur karena sering
tergenang air laut. Kalimantan Barat memiliki karakteristik khusus dengan
banyaknya sungai yang mengalir di daerah tersebut, antara lain Sungai Kapuas,
Sungai Landak, Sungai Sekayam, dan Sungai Sambas, yang sebagian besar
berfungsi sebagai sarana transportasi.
Penduduk daerah Kalimantan Barat didominasi oleh etnis Dayak yang
merupakan penduduk asli. Kelompok etnis lain seperti etnis Cina dan Melayu
merupakan kelompok etnis pendatang. Kelompok-kelompok etnis lain, misalnya
Jawa, Bugis, Minang, biasanya termasuk dalam kelompok etnis Melayu. Berikut
ini akan diuraikan kelompok etnis Dayak, Melayu, dan Cina. Kelompok etnis
Cina diuraikan lebih banyak mengingat gerakan PGRS/PARAKU dilakukan oleh
etnis Cina komunis.

2.2.1 Etnis Dayak


Etnis Dayak, adalah kelompok etnis yang diakui sebagai penduduk asli
(Indigenous people) pulau Kalimantan. Etnis Dayak ini terbagi dalam kelompokkelompok sub etnis, antara lain Iban, Bidayuh, Punan, dan Kayan. Jumlah sub-sub
etnis Dayak bisa mencapai ratusan, karena setiap kelompok penduduk pribumi
non-muslim biasanya dimasukkan dalam suku Dayak, termasuk mereka yang
hidup secara nomaden di hutan-hutan. 1
Dayak Iban merupakan etnis pribumi dengan jumlah terbesar, yang tinggal
di Kalimantan Barat maupun di Sarawak. Asal usul orang Iban sendiri menurut
beberapa sumber adalah dari pedalaman Kalimantan, yaitu di sekitar Sungai
Kapuas. Mereka terkenal sebagai peladang berpindah. Suku Iban ini telah
melakukan migrasi ke Sarawak sejak ratusan tahun yang lalu, diperkirakan sejak
pertengahan abad ke-16. Migrasi massal yang kedua terjadi pada tahun 1800-an,
dan gelombang yang ketiga terjadi pada awal abad ke-20. 2
Sebagian besar dari orang Dayak Iban bertempat tinggal di daerah
pedalaman, dan di lembah-lembah sungai. Mata pencahariannya adalah berladang,

Victor T. King. (1993). The Peoples of Borneo. Oxford: Blackwell Publisher, hal. 31.
PSDR-LIPI. (2002). Pariwisata Etnik/Budaya dan identitas Komunitas Lokal di
Malaysia. Jakarta: Pusat Penelitian Sumberdaya Regional LIPI, hal. 17.
2

Universitas Indonesia

Pasukan gerilya..., Rucianawati, FIB UI, 2011.

17

berburu, nelayan, dan mencari hasil hutan. Mereka yang tinggal di sepanjang
perbatasan Kalimantan Barat dan Sarawak biasanya menjual hasil hutan ke
Sarawak, sekaligus berbelanja bahan-bahan kebutuhan sehari-hari. 3
Kehidupan sosial masyarakat Dayak pada pertengahan abad ke-20, masih
banyak bertumpu pada ikatan-ikatan adat yang kuat. Mereka akan lebih mengikuti
perintah kepala suku. Orang-orang Dayak mempunyai hubungan yang relatif baik
dengan kelompok etnis lain, bahkan banyak terjadi perkawinan campuran,
misalnya antara etnis Dayak dengan orang Cina. Hubungan perdagangan orang
Dayak dengan orang Cina telah berjalan ratusan tahun. Orang Dayak merupakan
kelompok etnis yang terbuka, mereka mudah menerima dan bersosialisasi dengan
kelompok etnis pendatang lain.

2.2.2 Etnis Melayu


Etnis Melayu merupakan salah satu kelompok etnis terbesar di Malaysia
maupun di wilayah Indonesia. Sebagian besar dari mereka hidup sebagai nelayan
atau petani. Pola hidup mereka tersebar, ada yang tinggal di pedalaman
(umumnya yang bekerja sebagai petani), dan ada pula yang tinggal di daerah
pesisir. Di Sarawak maupun di Kalimantan Barat, etnis Melayu ini tidak
digolongkan sebagai kelompok etnis pribumi atau bumiputera. Kelompok etnis
Melayu, ini merupakan pendatang, terutama dari Semenanjung dan berbagai
daerah di nusantara. Dalam pengelompokan etnis di Malaysia, etnis Melayu
merupakan kelompok etnis terbesar dibanding dua kelompok etnis lainnya, yaitu
Cina dan India. Kelompok etnis yang dianggap pribumi Malaysia (Semenanjung)
ini sebenarnya terdiri dari berbagai macam kelompok etnis, termasuk pendatang
dari Jawa dan Bugis.
Di Kalimantan Barat, proporsi orang Melayu hampir sama dengan orang
Dayak, yaitu sekitat 40% dari jumlah penduduk. Orang Melayu sering
diidentikkan dengan orang Islam. Jadi orang yang berkomunikasi dengan bahasa
Melayu dan beragama Islam termasuk dalam kategori orang Melayu. Sebagian
besar orang Melayu hidup sebagai pedagang, nelayan, dan petani. Mereka hidup

Lampiran Risalah Serah Terima Kodam XII/Tandjungpura 30 Juni 1967, hal. 45-46.

Universitas Indonesia

Pasukan gerilya..., Rucianawati, FIB UI, 2011.

18

di sekitar daerah pantai, di sepanjang sungai-sungai besar, dan di pusat-pusat


perdagangan. 4

2.2.3 Etnis Cina


Etnis Cina merupakan salah satu kelompok etnis pendatang yang
jumlahnya cukup dominan di Kalimantan Barat maupun di Sarawak. Kedatangan
mereka di daerah ini dapat dirunut dari ratusan bahkan ribuan tahun yang lalu.
Pada awal abad ke-12 orang-orang Cina datang ke Kalimantan dengan membawa
barang-barang dagangan untuk ditukar dengan hasil mentah misalnya lada dan
rotan. Dalam perkembangannya mereka kemudian banyak yang menetap di
Kalimantan. Mereka hidup dari perdagangan, pertanian atau perkebunan.
Ketika pertambangan emas mulai ramai dibuka di daerah Kalimantan
Barat pada abad ke-19, tenaga kerja dari etnis Cina mulai ramai berdatangan
untuk bekerja di sektor ini. Sebagai contoh adalah raja Mempawah yang
mengundang pekerja Cina dari Brunei untuk bekerja di pertambangan emas. Raja
Sambas mengikuti langkah raja Mempawah untuk mengundang pekerja-pekerja
Cina untuk bekerja di pertambangan emas. Sebagai akibatnya semakin banyak
etnis Cina yang datang dan bermukim di daerah Kalimantan Barat.
Posisi etnis Cina menjadi kuat dengan pembentukan kongsi-kongsi.
Mereka segera menjadi golongan eksklusif dengan peraturan atau semacam
pemerintahan sendiri. Perubahan politik di Cina pada tahun 1896 juga semakin
memperkuat posisi orang Cina. Pada waktu itu pemerintah Cina mengeluarkan
pernyataan bahwa seluruh orang-orang Cina dimanapun mereka berada tetap
diakui sebagai warga negara Cina. Kebijakan tersebut menjadikan etnis Cina yang
tinggal di Kalimantan Barat menganggap daerah tersebut sebagai Small China. 5
Kedatangan kaum kolonial Belanda di Kalimantan Barat pada abad ke-19
menggeser posisi orang Cina dalam monopoli perdagangan. Orang-orang Cina
kemudian menjadi pedagang perantara dan pengumpul bahan-bahan mentah di
Kalimantan. Posisi ini sebelumnya berada di tangan orang-orang Melayu. Orang

Victor T.King. (1993). Op.Cit., hal. 32.


Semdam XII/Tandjungpura. (1970), Tandjungpura Berdjuang: Sejarah Kodam
XII/Tandjungpura Kalimantan-Barat, hlm. 230-231.
5

Universitas Indonesia

Pasukan gerilya..., Rucianawati, FIB UI, 2011.

19

Melayu kemudian menjadi pengumpul/pengambil hasil hutan. Kondisi ini


menyebabkan orang Dayak semakin terdesak ke daerah pedalaman.
Di bawah pemerintah kolonial Belanda, etnis Cina mendapat posisi yang
lebih baik daripada etnis pribumi, yaitu sebagai golongan Timur Asing yang
berada diantara bangsa Eropa dan pribumi. Sampai dengan masa akhir
pemerintahan kolonial Belanda, orang-orang Cina di Kalimantan Barat sebagian
besar merupakan petani dan pedagang perantara. Mereka tinggal di daerah pesisir
atau pinggir sungai, karena daerahnya yang subur dan mudah dalam perhubungan,
yaitu melalui laut atau sungai. 6
Peran orang-orang Cina kembali mencuat setelah Perang Dunia II, ketika
mereka berusaha merebut kekuasaan dari tangan Jepang. Mereka sudah memiliki
persenjataan dan organisasi yang teratur. Markas pergerakan dan aktivitasnya
dipusatkan di Montrado, yang letaknya sekitar 100 km di sebelah utara Pontianak.
Ketika Indonesia memproklamasikan kemerdekaan, etnis Cina di Kalimantan
Barat tidak begitu merespon karena telah keinginan mereka untuk membuat
pemerintahan sendiri langsung di bawah RRC. 7
Setelah memperoleh kemerdekaan, pemerintah Indonesia tampaknya
kurang memperhatikan pembangunan di wilayah perbatasan Kalimantan BaratSarawak. Program pembangunan difokuskan di Jawa sebagai pusat kekuasaan.
Dengan kondisi yang serba terbatas, para pejabat pemerintah di Kalimantan Barat
dalam melaksanakan tugasnya sering mendapat bantuan dari orang-orang Cina,
misalnya oli untuk motor, perlengkapan, penginapan, menyediakan kapal dan
sebagainya, karena keterbatasan dana dari pemerintah. Oleh karena itu kedudukan
orang Cina menjadi kuat dan mereka memiliki pengaruh yang besar di desa-desa. 8
Keberadaan orang-orang Cina di Kalimantan Barat, terutama yang masih
menjadi warga negara asing (RRC), dan kekuatan jaringan serta perekonomian
mereka menimbulkan keresahan bagi pemerintah. Karena ideologi yang berbeda,
orang-orang Cina ini dikhawatirkan dapat mempengaruhi masyarakat. Untuk
mengatasi permasalahan yang timbul, pada tahun 1966 pemerintah membentuk
Badan Penertiban Warga Negara Asing Cina yang bertujuan untuk membina dan
6

Tobing, K. (1955). Kalimantan-Barat. Bandung: Penerbit N.V. Masa Baru, hal 66.
Semdan XII/Tandjungpura (1970)., Loc.cit..
8
Ibid., hal. 128-129.
7

Universitas Indonesia

Pasukan gerilya..., Rucianawati, FIB UI, 2011.

20

membatasi dominasi kelompok WNA-Cina dalam perekonomian. Selain itu juga


dikeluarkan peraturan-peraturan yang berisi:
-

Invetarisasi sekolah-sekolah milik WNA-Cina dan kemudian diserahkan


pelaksanaan

dan

pemanfaatannya

kepada

Dinas

Pendidikan

dan

Kebudayaan.
-

Melarang pemindahan hak milik dalam bentuk apapun terhadap WNACina.

Membatasi ruang gerak WNA-Cina. Jika meraka hendak bepergian harus


mendapat ijin dari Pepelda. 9

Keberadaan peraturan-peraturan tersebut membatasi perkembangan etnis Cina di


Kalimantan Barat. Namun demikian, disisi lain pembatasan tersebut dapat
dimengerti sebagai bentuk antisipasi pemerintah akan berkembangnya aliran
komunis, dan penguasaan sektor-sektor perekonomian oleh orang asing.
Diantara ketiga kelompok etnis yang telah diuraikan di atas, terdapat
hubungan sosial dan ekonomi yang telah berjalan lama. Mereka hidup dengan
spesialisasi profesi masing-masing, dan dalam hubungan yang saling melengkapi.
Etnis Cina biasanya memegang peranan dalam perdagangan, juga mengusahakan
pertanian dan perkebunan. Etnis Melayu sebagian besar berprofesi sebagai petani,
sedangkan etnis Dayak biasanya hidup dari hasil hutan, misalnya rotan dan damar.
Dalam hubungan sosial, etnis Cina tampaknya memiliki posisi yang lebih
fleksibel. Orang Cina di daerah Kalimantan Barat mempunyai hubungan yang
baik dengan etnis Dayak atau Melayu. Seringkali terjadi perkawinan campuran
antara orang Cina dan orang Dayak, atau orang-orang kampung yang biasa
dikunjungi oleh para pedagang Cina. Hal ini bertujuan untuk meningkatkan
persaudaraan yang menjadi ikatan yang sangat penting. Orang Cina banyak juga
yang menikah dengan anggota kelompok penguasa Melayu. 10

2.2 Kondisi dan Hubungan Masyarakat

Sebagaimana yang telah dijelaskan pada bagian sebelumnya, di


Kalimantan Barat setidaknya terdapat tiga kelompok etnis, yaitu Dayak, Melayu,
9

Risalah Serah Terima Jabatan Kodam Tandjungpura, 30 Juni 1967.


Tobing, K. (1955). Op.Cit., hlm. 8-9 dan 115.

10

Universitas Indonesia

Pasukan gerilya..., Rucianawati, FIB UI, 2011.

21

dan Cina. Mereka memiliki hubungan yang baik, dengan spesialisasi masingmasing, misalnya orang Cina sebagai pedagang atau pengusaha perkebunan,
orang Melayu yang mengusahakan pertanian, dan orang Dayak sebagai
pengumpul hasil hutan. Hubungan sosial dan ekonomi tidak hanya terbatas di
wilayah Kalimantan Barat, tetapi juga terjalin dengan penduduk di wilayah
Sarawak.
Kegiatan penduduk melintasi perbatasan ini telah berjalan sejak ratusan
tahun lalu, bahkan sebelum perbatasan itu sendiri terbentuk ketika terjadi
perjanjian Anglo-Dutch Treaty antara pemerintah kolonial Inggris dan Belanda,
pada tahun 1824. Pada masa kekuasaan James Brooke di Sarawak (1841-1868),
tidak ada kontrol yang ketat di daerah perbatasan Sarawak dan Kalimantan Barat.
Brooke kurang memperhatikan masalah perbatasan, dan lebih mementingkan
hubungan dengan suku-suku lokal serta mengontrol pembayaran pajak. Ia
memberikan kekuasaan dan kebebasan kepada ketua-ketua adat dalam mengatur
warganya, termasuk dalam aktivitas lintas batas Kalimantan Barat dan Sarawak.
Sementara itu pemerintah kolonial Belanda yang menguasai Kalimantan lebih
mengkonsentrasikan kekuasaaannya di Jawa, sehingga kurang memperhatikan
wilayah perbatasan. 11
Permasalahan mulai muncul ketika ada pos-pos penjagaan yang
mensyaratkan surat-surat identitas atau paspor bagi siapapun yang akan melewati
perbatasan, misalnya dengan penjagaan pintu perbatasan di Tebedu. Sebagai
akibatnya, muncul jalan-jalan tidak resmi (illegal) yang menghubungkan kedua
wilayah yang berbatasan. Penduduk memilih untuk melintasi jalan yang tidak
resmi karena terbebas dari pemeriksaan, dan tidak harus mengurus surat-surat
identitas/paspor. Biasanya jalan-jalan tersebut hanya dapat dilalui dengan berjalan
kaki. Sebagai daerah yang bersebelahan, hubungan penduduk di Kalimantan Barat
dan Sarawak berjalan dengan baik, karena batas wilayah bukan menjadi
penghalang untuk kegiatan sosial dan ekonomi yang sudah berjalan lama.
Pada masa awal kemerdekaan Indonesia, daerah perbatasan Kalimantan
Barat dan Sarawak tidak dijaga secara ketat oleh pihak Indonesia, karena
keterbatasan sumberdaya manusia. Pos penjagaan hanya ada di bagian Sarawak.
11

Karim, Mulyawan. Di Bawah Dua Bangsa Penjajah. Kompas, 14 Agustus 2009.

Universitas Indonesia

Pasukan gerilya..., Rucianawati, FIB UI, 2011.

22

Kondisi ini tentunya memudahkan siapa saja untuk melintasi perbatasan. Lalu
lintas perbatasan pada masa ini lebih banyak dilakukan oleh orang Indonesia
terutama untuk kegiatan ekonomi, mengingat kondisi Sarawak yang lebih maju
dibandingkan dengan Kalimantan Barat.
Pada tahun 1950-an, perdagangan lintas perbatasan ini cukup ramai,
terutama

perdagangan

illegal

(penyelundupan).

Bahan

yang

banyak

diselundupkan dari Kalimantan Barat ke Sarawak adalah lada dan karet,


sebaliknya barang yang dibawa dari Sarawak adalah barang-barang mewah seperti
radio, rokok, emas, dan sebagainya. Pada masa ini penduduk Kalimantan Barat
sebagian besar menggantungkan hidup dari hasil karet, kopra, dan hasil-hasil
hutan. Daerah-daerah subur yang menjadi penghasil kopra, karet, dan padi antara
lain adalah Pontianak, Sambas, dan Ketapang. Daerah pedalaman seperti
Sanggau, Kapuas Hulu dan Sintang menjadi penghasil karet dan hasil-hasil hutan
seperti rotan, damar, gambir dan kayu. 12 Secara umum, karet dan rotan dapat
dikatakan sebagai produk unggulan di Kalimantan Barat.
Lada merupakan komoditas terbanyak yang diselundupkan karena
perbedaan harga yang cukup tinggi antara harga jual di Kalimantan Barat dan
Sarawak, di mana harga di Kalimantan sekitar dari harga lada di Sarawak.
Penyelundupan terus berjalan dan sulit untuk diatasi. Hal tersebut dapat
dibuktikan dengan minimnya atau tidak ada laporan produksi lada seperti tabel di
bawah ini:

Produksi Perkebunan Rakyat di Kalimantan Barat 1968 1972


(ton)
Jenis Tanaman

1968

1969

1970

1971

1972

Karet

91.740

101.080

90.000

93.675

97.000

Kelapa

21.403

24.587

15.000

32.284

32.300

Kopi

750

800

800

695

700

940

950

539

540

Lada
Tebu

1.350

1.200

1.200

Sumber: Monografi Daerah kalimantan Barat, 1974.


12

Tobing, Op.Cit., hal. 39 dan 75.

Universitas Indonesia

Pasukan gerilya..., Rucianawati, FIB UI, 2011.

23

Di Kalimantan Barat, banyak terdapat perkebunan lada, terutama di daerah


perbatasan. Akan tetapi dalam tabel tersebut produksi lada tahun 1968 1970
tidak tercatat. Tidak adanya catatan produksi lada tersebut bukan karena tidak ada
produksi, akan tetapi hasil panen lada dijual di daerah Sarawak.
Petani lada di Kalimantan Barat menjual hasil ladanya ke Sarawak karena
dua alasan, yaitu masalah perbedaan harga dan kemudahan transportasi.
Perkebunan-perkebunan lada sebagian besar terletak dekat dengan perbatasan.
Dari perkebunan lada di sekitar perbatasan tersebut, diperlukan waktu empat
sampai enam jam dengan berjalan kaki untuk menuju ke perkampungan di
Sarawak. Di kampung tersebut sudah terdapat jalan raya yang menghubungkan ke
Kuching dan kota-kota lain di Sarawak seperti Simanggang dan Sibu. Jika lada
yang dihasilkan dijual ke wilayah Indonesia, setidaknya diperlukan waktu enam
sampai delapan jam dengan berjalan kaki untuk sampai ke perkampungan
terdekat. Sarana transportasi yang menghubungkan dari perkampungan tersebut
ke kota terdekat juga belum berjalan secara teratur. Transportasi banyak dilakukan
dengan sampan atau perahu menyusuri sungai selama dua sampai tiga hari untuk
sampai di kota yang agak besar seperti Sambas, Bengkayang, atau Sekadau. 13
Kesulitan transportasi tersebut disebabkan pula oleh keberadaan jalan-jalan raya
yang sangat terbatas jumlahnya. Jalan-jalan raya yang ada sebagian besar
merupakan peninggalan masa penjajahan Belanda dan Jepang, dan sudah banyak
yang rusak.
Dalam usaha perkebunan dan perdagangan lada di perbatasan, peran utama
dipegang oleh kelompok Cina. Sebagian besar dari perkebunan lada dimiliki oleh
orang Cina. Selain sebagai pemilik perkebunan, orang-orang Cina juga berperan
sebagai pedagang perantara. Dalam bisnis ini, orang Dayak biasanya berperan
sebagai kuli borongan yang membawa lada ke Sarawak. Mereka senang
melakukan pekerjaan ini karena penghasilan mereka lebih besar daripada bekerja
di ladang atau menoreh karet. Jika tertangkap dan ditahan oleh pihak yang
berwenang, biasanya mereka mengakui barang tersebut sebagai miliknya

13

Ibid., hal. 77-78

Universitas Indonesia

Pasukan gerilya..., Rucianawati, FIB UI, 2011.

24
sendiri. 14 Hal inilah yang menyebabkan para pedagang mempercayakan
pengangkutan kepada mereka. Jadi jika terkena suatu kasus, para pedagang yang
sebagian besar orang Cina tidak ikut berurusan dengan pihak aparat.
Penyelundupan pada waktu itu tidak sulit dilakukan karena banyaknya
jalan illegal yang dapat ditempuh, yaitu melalui sungai-sungai atau berjalan
melalui hutan-hutan. Dari perbatasan, jalan-jalan raya di Sarawak hanya berjarak
sekitar dua sampai tiga kilometer. Setelah melewati perbatasan, barang yang
diselundupkan sudah dapat dijual kepada para pedagang Cina, yang memiliki
warung yang letaknya sekitar 100m dari perbatasan. Para pedagang Cina ini
kemudian membawa barang-barang selundupan ke Kuching dengan bus atau
truk. 15
Penjagaan wilayah perbatasan dari pihak Indonesia pada waktu itu masih
belum intensif karena terbatasnya jumlah aparat yang menjaga perbatasan.
Sebaliknya pemerintah Sarawak sejak berada di bawah kekuasaan Inggris sudah
mempunyai peraturan bahwa hanya mereka yang mempunyai Card of Identity
atau pas Kunjungan Pendek dari pemerintah Indonesia yang dapat masuk di
daerah Sarawak. Mereka yang akan memasuki daerah Sarawak harus memiliki
kartu kunjungan yang disebut Short-visit, yang berlaku untuk 14 hari. Orangorang Indonesia yang akan berkunjung ke Sarawak sebagian besar tidak mau
membuat kartu kunjungan dan memilih datang secara illegal melalui jalur yang
tidak resmi karena untuk mengurus kartu tersebut mereka harus datang ke
kecamatan Seluas yang terletak di bagian hulu Sungai Sambas, sekitar 30 km dari
perbatasan Bau. Hal ini dianggap memakan waktu dan merepotkan, serta memiliki
batas waktu kunjungan yang terbatas. Banyak diantara penduduk Indonesia yang
tinggal di perbatasan pada waktu itu mempunyai sumber penghidupan di Sarawak,
misalnya berdagang komoditi pertanian.
Penduduk perbatasan ini banyak yang memiliki dua identitas, yaitu
sebagai warga negara Indonesia sekaligus penduduk Sarawak. Semula hanya
orang-orang Cina pemilik perkebunan atau pedagang yang mempunyai dua kartu
identitas atau kewarganegaraan ganda. Namun demikian, pasca kerusuhan di
Sarawak tahun 1952, penjagaan di perbatasan diperketat oleh pemerintah jajahan
14
15

Ibid.
Ibid., hal. 74-76.

Universitas Indonesia

Pasukan gerilya..., Rucianawati, FIB UI, 2011.

25

Inggris sehingga banyak orang dari suku Dayak yang sering melintas perbatasan
membuat dua tanda penduduk. Mereka menjadi penduduk Sarawak untuk
memperoleh kartu identitas (Card of Identity) sehingga bebas dari pemeriksaan di
pos pemeriksaan Inggris. Kartu tersebut secara langsung juga memberi hak
kepada mereka untuk membeli senjata, peluru, dan rabuk di Sarawak yang sangat
diperlukan untuk merawat ladang mereka. Tanaman di ladang pada masa itu
sering dirusak kera, babi hutan, atau binatang-binatang lain. 16

2.3 Kondisi Pemerintahan

Kalimantan

Barat

dan

Sarawak,

merupakan

dua

daerah

yang

berdampingan, tetapi berada dalam dua kekuasaan yang berbeda. Oleh karena itu
kedua wilayah ini memiliki struktur pemerintahan yang berbeda. Kalimantan
semula merupakan daerah yang terbagi dalam kekuasaan kerajaan-kerajaan kecil.
Struktur kekuasaan kemudian berubah dengan hadirnya kaum kolonial. Pada
tahun 1839, Kalimantan terbagi dalam tiga kawasan ketatanegaraan, yaitu
kawasan pengaruh kekuasaan Belanda, kawasan kerajaan Brunei, dan kawasan
timur laut yang masuk lingkungan Kerajaan Sulu. Daerah yang berada di bawah
kekuasaan pemerintah Belanda secara administratif dibagi menjadi tiga afdeeling,
yaitu afdeeling Pantai Selatan dan Pantai Timur, afdeeling Sambas, dan afdeeling
Pontianak. Afdeeling Pantai Selatan dan Pantai Timur dipimpin oleh seorang
residen, sedangkan dua afdeeling lainnya dipimpim oleh asisten residen. Dalam
hierarkhi kekuasaan pemerintah kolonial Belanda, residen dan asisten residen di
Kalimantan ini langsung berada di bawah pemerintah tertinggi di Batavia. 17
Pada masa pendudukan Jepang, Kalimantan Barat berada di bawah
pemerintahan angkatan laut Jepang yang berpusat di Banjarmasin. Selepas
kekuasaan Jepang, Kalimantan berada di bawah pengawasan pemerintahan
pendudukan Belanda (NICA), dan berstatus sebagai karesidenan. Pada tahun 1948
statusnya berubah sebagai Daerah Istimewa Kalimantan Barat (DIKB). Selepas
pengakuan kedaulatan Indonesia oleh Belanda, tahun 1949, Kalimantan Barat
16

Ibid., hal. 78-79.


ANRI.(1973). Ikhtisar Keadaan Politik Hindia-Belanda tahun 1839 1848. Jakarta:
Arsip Nasional Republik Indonesia, hal. LXXXIX.
17

Universitas Indonesia

Pasukan gerilya..., Rucianawati, FIB UI, 2011.

26

berada dalam status Karesidenan Administratif yang merupakan bagian dari


Propinsi Kalimantan. 18
Pada tahun 1951, berdasarkan Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri RI
tanggal 8 September 1951 No. Pem. 20/6/10, segala ketentuan tentang pembagian
administratif daerah Kalimantan Barat yang semula dikenal dengan nama
Residentie Westerafdeeling van Borneo

telah dicabut. Kalimantan Barat

kemudian dibagi dalam tujuh daerah tingkat dua (6 kabupaten dan 1 kotamadya),
yaitu Kabupaten Pontianak dengan ibukota di Mempawah, Kabupaten Sambas
dengan ibukota di Singkawang, Kabupaten Ketapang dengan ibukota di Ketapang,
Kabupaten Sanggau dengan ibukota di Sanggau, Kabupaten Sintang dengan
ibukota di Sintang, Kabupaten Kapuas dengan ibukota di Patusibau, dan
Kotamadya Pontianak. 19 Kalimantan Barat berada di bawah koordinasi Gubernur
Kalimantan, dan dikepalai oleh seorang Residen yang berkedudukan di Pontianak.
Pada tahun 1957, Kalimantan Barat menjadi daerah propinsi otonom.
Sementara itu, Sarawak yang berbatasan dengan Kalimantan Barat,
memiliki sejarah pemerintahan yang unik, dan berbeda dengan negara-negara
bagian lain di Malaysia. Sarawak pernah dikuasai oleh Dinasti White Rajah (1841
1941), menjadi koloni Inggris, kemudian menjadi bagian dari Malaysia. Pada
masa Perang Dunia II, Sarawak juga menjadi daerah pendudukan Jepang. Selepas
dari kekuasaan Jepang, Sarawak kembali kepada kekuasaan Dinasti Brooke.
Vyner Brooke menyerahkan Sarawak untuk menjadi bagian dari protektorat
Inggris pada tahun 1946. Sejak itu, Sarawak bersama dengan Kesultanan Brunei
menjadi bagian dari koloni Inggris yang disebut Northern Borneo.
Selama menjadi Crown Colony dari Inggris, Sarawak diperintah oleh
seorang Gubernur dengan kabinetnya yang terdiri dari Chief-Secretary (setara
dengan direktur kabinet) dengan anggota-anggota kabinet yang disebut Secretary
atau direktur departemen. Pada umumnya jabatan sekretaris dipegang oleh orangorang Inggris, tetapi pada tahun 1954-1955 sekretaris untuk urusan soal-soal
dalam negeri dipegang oleh bangsawan Melayu, Datuk Hadji Abang Mustapa

18

Team Penyusun Monografi Daerah Kalimantan Barat. (1976). Monografi Daerah


Kalimantan Barat. Jakarta: Direktorat Jenderal Kebudayaan, Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan, hal. 23.
19
Tjilik Riwut. (1979). Kalimantan Membangun. Palangka Raya: Mendagri, hal. 35.

Universitas Indonesia

Pasukan gerilya..., Rucianawati, FIB UI, 2011.

27

(Datuk Bandar). Sarawak terbagi atas lima karesidenan yang disebut division,
yang masing-masing dikepalai oleh seorang residen berbangsa Inggris.
Karesidenan I dengan pusatnya di Kuching, karesidenan II ibukotanya di
Simanggang, Karesidenan III di Sibu, Karesidenan IV di Miri, dan yang ke V di
Limbang. Tiap-tiap karesidenan terbagi atas beberapa distrik yang dikepalai
District-Officer. Distrik terbagi dalam beberapa onder-distrik yang dikepalai SubDistrict Officer. District Officer dalam menjalankan kewajibannya didampingi
oleh dewan penasehat yang disebut District Advisory Council yang sewaktuwaktu dapat juga dibantu oleh Chinese Advisory Boards. Pejabat residen
didampingi oleh dewan penasehat yang anggotanya diambil dari dewan distrik
dan dari dewan penduduk Cina. Gubernur dalam menjalankan kekuasaan
eksekutif dibantu oleh Supreme Council (dewan pertimbangan agung), sedang
dalam kekuasaan legislatif dibantu oleh Council Negeri (dewan pertimbangan
negeri). 20
Pemerintah jajahan Inggris melakukan politik memecah belah antara
berbagai kelompok etnis yang tinggal di Sarawak. Sebagai contoh kebijakan
dalam pengangkatan pegawai, penarikan pajak, dan bahkan dalam pembagian
jalan. Jalan besar di kampung-kampung dibagi, sebelah kiri hanya boleh dilalui
etnis Cina, sedangkan di sebelah kanan untuk etnis Melayu. Untuk pembayaran
pajak, orang Cina harus membayar pajak tanah dan rumah 100-200 ringgit per
tahun, sedangkan orang Melayu hanya satu ringgit. Etnis Cina walaupun bukan
sebagai penduduk asli ataupun mayoritas, mendapat kedudukan yang istimewa
dalam pemerintahan di Sarawak. Di kantor-kantor pemerintahan ataupun
perusahaan, 97% pekerjanya adalah etnis Cina, sedangkan orang Melayu bekerja
sebagai pesuruh kantor, atau diperbantukan pada bagian yang tidak penting. 21
Dengan adanya politik pecah belah tersebut, hubungan antar etnis di Sarawak
seolah-olah dikondisikan untuk terkotak-kotak atau berjarak antara satu kelompok
etnis dengan kelompok etnis lainnya.
Sarawak berada di bawah protektorat Inggris sampai dengan tahun 1963,
ketika wilayah ini kemudian bergabung dengan Negara Federasi Malaysia.
Penggabungan Sarawak ke dalam negara federasi Malaysia mengalami proses
20
21

Ibid.
Pembangunan, 19 September 1952

Universitas Indonesia

Pasukan gerilya..., Rucianawati, FIB UI, 2011.

28

yang cukup panjang, sejak munculnya isu pembentukan negara federasi tersebut
muncul pada tahun 1961. Pertarungan politik terjadi antara kelompok yang
mendukung dan menentang penggabungan Sarawak ke dalam negara federasi
Malaysia. Partai Negara Sarawak (PANAS) yang dipimpin Datu Bandar Abang
Mustapha mengalami perpecahan ketika ada kelompok yang mendukung dan
menentang pembentukan Malaysia. Kelompok yang menentang ide tersebut
kemudian mendirikan partai sendiri yang disebut Barisan Rakyat Jati Sarawak
(BARJASA). 22
Menjelang pemilihan umum yang dilaksanakan pada bulan April - Juli
1963, lima partai yang tergabung dalam Parti Perikatan Sarawak, yaitu PANAS,
BARJASA, Sarawak National Party (SNAP), Parti Pesaka Anak Sarawak
(PESAKA), dan Sarawak Chinese Association (SCA) mencapai kesepakatan
untuk mendukung pembentukan Malaysia, sedangkan Sarawak United Peoples
Party (SUPP) tetap pada pendiriannya untuk menentang pembentukan Malaysia.
Menjelang pemilihan umum, PANAS menarik diri dari aliansi karena tidak setuju
dalam pembagian kursi. Pada akhir pemilihan umum, partai aliansi mendapat 19
kursi, sedangkan PANAS dan SUPP masing-masing memperoleh lima kursi.23
SUPP yang mengalami kekalahan ini kemudian muncul sebagai oposisi, dan
bahkan kemudian ada diantara para anggotanya yang berpindah ke Kalimantan
Barat untuk bergabung dalam perjuangan PGRS/PARAKU.
Dengan kemenangan partai aliansi, berarti bahwa Sarawak masuk sebagai
bagian dari Negara Federasi Malaysia. Sejak menjadi bagian dari Malaysia,
Sarawak dikepalai oleh Ketua Negara (Yang Dipertuan Negeri), dan pemerintahan
dijalankan oleh Ketua Menteri (Chief Minister). 24 Selama masa transisi ini terjadi
berbagai gejolak politik di Sarawak, antara lain disebabkan oleh persaingan antar
partai, politik konfrontasi Indonesia, dan munculnya perlawanan kaum komunis.
Untuk itu dalam bagian selanjutnya akan dibahas perkembangan komunis di
perbatasan Kalimantan Barat dan Sarawak.

22

Sabihah Osman. (2009). Pembangunan Politik Sarawak: Satu Penelusuran Sejarah,


dalam Nidzam Sulaiman dan Zaini Othman (eds.). Pilihan Raya dan Pembangunan Politik
Sarawak. Sabah: UMS, hlm. 13-14.
23
Ibid.
24
Haji Buyong Adil. (1981). Sejarah Sarawak. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan
Pustaka Kementerian Pelajaran Malaysia, hlm. 118.

Universitas Indonesia

Pasukan gerilya..., Rucianawati, FIB UI, 2011.

29

2.4 Perkembangan Komunis di Perbatasan

Komunisme merupakan suatu ideologi yang mencita-citakan sistem


masyarakat yang memiliki sarana-sarana produksi secara bersama-sama, dan
mendasarkan pembagian produksi dengan asas bahwa setiap anggota masyarakat
dapat memperoleh hasil pembagian sesuai dengan kebutuhannya. 25 Faham
komunisme secara internasional sebenarnya telah muncul sejak tahun 1919, yang
bersumber pada konsepsi Lenin, dengan dasar alasan bahwa:
-

Komunis Rusia bisa gagal dan jatuh apabila gerakan-gerakan komunis


tidak berhasil di negara-negara lain di dunia, terutama di Eropa.

Mengajak dan melahirkan aks-aksi revolusioner di seluruh dunia


sangat tergantung para anggota organisasi yang semuanya terikat oleh
kepercayaan dan keyakinan yang revolusioner. 26

Berdasarkan pada alasan diatas, komunisme terus disebarkan ke seluruh dunia


oleh para pengikutnya, termasuk ke Indonesia dan wilayah Asia Tenggara pada
umumnya.
Ideologi komunisme ini berkembang di Asia Tenggara, terutama pada
masa dekolonisasi, seiring dengan perang dingin antara blok Barat dan Timur,
yang juga merupakan perang ideologi antara komunisme dan liberalisme. Di
Indonesia, daerah perbatasan Kalimantan Barat dan Sarawak dapat dikatakan
sebagai daerah yang rawan dengan kemunculan kaum komunis karena banyaknya
etnis Cina yang tinggal di daerah tersebut. Etnis Cina di Kalimantan Barat
maupun di Sarawak, sebagian besar masih berkewarganegaraan RRT. Di
Kalimantan Barat menurut catatan Kodam XII/Tanjungpura jumlah orang Cina
pada awal tahun 1960-an diperkirakan 450 ribu orang. Dari jumlah tersebut, 350
ribu diantaranya masih berkewarganegaraan Cina. Mereka berkeinginan untuk
langsung berada di bawah kekuasaan Cina. Hal inilah yang mendorong etnis Cina
untuk membuat society sendiri, terlepas dari kekuasaan lokal. Etnis Cina ini

25

Ensiklopedi Indonesia Vol. 4. (1983). Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, hlm. 1845-

1846.
26

Soemadi. (1974). Peranan Kalimantan Barat dalam Menghadapi Subversi Komunis


Asia Tenggara. Pontianak: Yayasan Tanjungpura, hal. 21.

Universitas Indonesia

Pasukan gerilya..., Rucianawati, FIB UI, 2011.

30

mempunyai komunitas tersendiri, di mana biasanya mereka membentuk


perkampungan-perkampungan di suatu tempat, yang disebut sebagai Pecinan
atau China Town. Mereka mempertahankan adat istiadat leluhurnnya dan
mendirikan sekolah-sekolah sendiri sebagai salah satu sarana mempertahankan
budayanya. Dari komunitas yang terbatas ini komunisme berkembang seiring
dengan perkembangan komunisme di Cina.
Di Sarawak, Ideologi komunis berkembang sejak tahun 1927, yang dibawa
dan disebarkan oleh pengikut-pengikut aliran komunis yang melarikan diri ke
Sarawak karena diburu oleh pengikut Kuomintang. Gerakan komunis yang
terorganisasi muncul sejak tahun 1941, dengan terbentuknya Liga Anti-Fasis
Sarawak (Sarawak Anti-Fascist League - SAFL), yang bertujuan untuk menentang
pendudukan Jepang di Sarawak. Pada tahun 1942 organisasi ini berubah menjadi
Liga Pembebasan Bangsa (Race Liberation League - RLL). Organisasi ini
mempelopori pembentukan Persatuan Orang Muda Cina Seberang Laut (Overseas
Chinese Young Mens Association OCYMA). Pada tanggal 21 Oktober 1951
dibentuk Liga Belia Cina Seberang Laut Demokratik Sarawak (Sarawak Overseas
Chinese Democratic Youth League SOCDYL), yang merupakan organisasi
komunis pertama di Sarawak. 27
Komunisme di Sarawak semakin berkembang dengan berdirinya Liga
Pembebasan Sarawak (Sarawak Liberation League SLL), yang merupakan
gabungan dari beberapa organisasi komunis di Sarawak. Organisasi ini mampu
mempengaruhi kelompok pelajar, petani, dan buruh untuk bergabung dengan
mereka. Pada tahun 1956 organisasi ini berubah menjadi Persatuan Belia Maju
Sarawak (Sarawak Advanced Youths Association SAYA). Organisasi ini
mempunyai beberapa organisasi bawahan seperti Persatuan Petani Sarawak
(Sarawak Farmers Association SFA). 28 Ideologi komunis juga menyusup dalam
politik Cina di Sarawak, Sarawak United Peoples Party (SUPP). Partai yang
berdiri pada tanggal 12 Juni 1959 ini dipimpin oleh Stephen Yong dan Ong Kee
Hui.

27

Mohd. Reduan Haji Asli. Pemberontakan Bersenjata Komunis di Malaysia. Kuala


Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka Kementerian Pendidikan Malaysia, 1993, hal. 74
28
Ibid., hal. 75 76.

Universitas Indonesia

Pasukan gerilya..., Rucianawati, FIB UI, 2011.

31

Perjuangan kaum komunis di Sarawak terus berlanjut hingga memasuki


masa konfrontasi Indonesia Malaysia. Permasalahan yang terjadi antara
pemerintah Indonesia dan Malaysia yang berujung pada konfrontasi ini berawal
pada tanggal 27 Mei 1961, ketika Perdana Menteri Persekutuan Tanah Melayu
(Malaya), Tunku Abdurachman di depan Foreign Correspondents Association di
Singapura mencetuskan gagasan untuk membentuk Negara Federasi Malaysia.
Semula dia tidak menyetujui penggabungan Persekutuan Tanah Melayu dengan
Singapura dengan alasan: pertama, perbandingan yang tidak seimbang antara
orang-orang Melayu dan orang-orang asing lainnya, terutama etnis Cina; kedua,
dikhawatirkan terjadi dominasi ekonomi oleh etnis Cina; ketiga, kekhawatiran
akan meningkatnya ancaman gerakan komunis. Gagasan untuk membangun
Negara Federasi Malaysia Raya dengan menggabungkan Persekutuan Tanah
Melayu dengan Singapura, Sabah, Sarawak, dan Brunei kemudian muncul antara
lain dengan alasan: pertama, jumlah penduduk Melayu secara keseluruhan di
daerah tersebut akan melebihi etnis Cina; kedua, untuk melawan gerakan
komunis, antara lain dari Indonesia yang bekerjasama dengan RRT; ketiga, untuk
mencegah jatuhnya Singapura ke dalam pengaruh komunis. 29
Gagasan untuk menggabungkan Kalimantan Utara dan Singapura ke
dalam Federasi Malaysia didukung oleh sebagian besar penduduk Melayu, tetapi
tidak disetujui oleh sebagian besar etnis Cina di kawasan tersebut karena alasan
politik dan ekonomi. Pemerintah Indonesia tidak menyetujui gagasan tersebut,
karena negara federasi yang akan terbentuk dipandang sebagai neo-kolonialisme.
Filipina juga tidak menyetujui pembentukan federasi tersebut, dan kemudian
mengklaim Sabah sebagai bagian dari wilayahnya. Selain itu negara-negara yang
termasuk dalam kubu komunis, seperti RRT secara tegas menentang pembentukan
negara federasi Malaysia. 30
Kelompok-kelompok yang tidak setuju dengan pembentukan federasi,
terutama etnis Cina di Sabah, Sarawak maupun Brunei, akhirnya melakukan
perlawanan-perlawanan terhadap pemerintah Malaya. Sebagian besar dari mereka
menginginkan kemerdekaan negeri masing-masing, atau membentuk satu
kesatuan sebagai negeri Borneo yang merdeka. Pada bulan Juli 1961, dibentuklah
29
30

Soemadi, Op.Cit., hlm. 52.


Ibid., hlm. 52-53.

Universitas Indonesia

Pasukan gerilya..., Rucianawati, FIB UI, 2011.

32

Barisan Bersatu (United Front) yang terdiri dari Ong Kee Hui (SUPP), A.M.
Azahari (Partai Rakyat Brunei), dan Donald Stephens. Mereka secara terangterangan menentang rencana pembentukan Federasi Malaysia. Untuk mengatasi
permasalahan ini, pada tanggal 23 Juli 1961 dibentuklah Malaysian Solidarity
Consultative

Committee

(MSCC)

yang beranggotakan

wakil-wakil

dari

Semenanjung Melayu, Singapura, Sarawak, Brunei, dan Sabah. Tugas dari komite
ini adalah untuk mengumpulkan dan membandingkan pendapat-pendapat yang
berkaitan dengan pembentukan Federasi Malaysia. MSCC mengadakan empat
kali pertemuan secara bergilir, yaitu di Jesselton (Kota Kinabalu), Kuching, Kuala
Lumpur, dan Singapura. Dari empat kali pertemuan yang diadakan, wakil dari
Brunei terlihat tidak berminat untuk masuk sebagai bagian dari Malaysia. 31 Oleh
karena itu tak mengherankan jika kemudian muncul pemberontakan dari Partai
Rakyat di Brunei yang menentang pembentukan Federasi Malaysia.
Pada tanggal 8 Desember 1962, muncul pemberontakan dari Partai Rakyat
di Brunei yang dipimpin oleh Sheik A.M. Azahari. Mereka memproklamirkan
berdirinya Negara Kalimantan Utara yang meliputi daerah Sabah, Sarawak, dan
Brunei dengan Sultan Brunei, Sir Omar Ali Saifuddin, diangkat sebagai Kepala
Negara, dan Azahari sebagai Perdana Menteri. Mereka juga membentuk Tentara
Nasional Kalimantan Utara (TNKU). Mereka memberikan ultimatum kepada
pemerintah Inggris untuk mengakui kemerdekaan Kalimantan Utara. Jika pihak
Inggris mengabaikan ultimatum tersebut, maka para pemberontak mengancam
akan menghancurkan instalasi penambangan minyak di Seria. 32
Perjuangan Azahari mendapat dukungan dari Partai Komunis Indonesia
(PKI). Namun demikian Negara Kalimantan Utara tersebut dinyatakan oleh
Azahari bersifat netral, tidak berideologi komunis. Para pemberontak mampu
menguasai beberapa kota di Brunei, Sabah, dan Sarawak. Sultan Brunei kemudian
meminta bantuan kepada pemerintah Inggris untuk menghentikan pemberontakan.
Setelah datang bantuan dari tentara Inggris di Singapura, pemberontakan dapat
diatasi dalam waktu kurang dari dua minggu. 33 Meskipun pemberontakan berhasil
31

Mohd. Noor Bin Abdullah, 1976. Kemasukan Sabah dan Sarawak ke Dalam
Persekutuan Malaysia. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka Kementerian Pelajaran
Malaysia. Hal. 41-45.
32
Suara Merdeka, 11 Desember 1962.
33
Mohd. Noor Bin Abdullahh, Op.Cit.., hal. 63-64.

Universitas Indonesia

Pasukan gerilya..., Rucianawati, FIB UI, 2011.

33

ditumpas, tetapi TNKU terus melakukan perang gerilya dan bersembunyi di


kawasan hutan. Pemimpin mereka, Azahari melarikan diri ke Manila.
Di Sarawak, tentangan terhadap pembentukan Federasi Malaysia tidak
muncul sebagai bentuk pemberontakan bersenjata. Partai yang beraliran komunis
SUPP, menentang dimasukkannya Sarawak sebagai bagian dari Federasi
Malaysia, karena hal itu hanya dianggap sebagai pemindahan kekuasaan dari
pemerintah kolonial Inggris kepada kekuasaan asing lain. Mereka mengadakan
rapat-rapat umum untuk menarik dukungan massa. Clandestine Communist
Organization (CCO) juga menentang dengan menyebarkan poster-poster anti
Tunku dan Malaysia. 34
Setelah munculnya pemberontakan Azahari di Brunei, partai komunis di
Sarawak mendapat tekanan dari pemerintah. Para pemimpin partai komunis
Sarawak ini kemudian hijrah ke Kalimantan Barat. Dalam catatan Kodam
XII/Tanjungpura disebutkan bahwa selama masa konfrontasi, sekitar 850 orang
Cina dari Sarawak berpindah atau mengungsi ke wilayah Kalimantan Barat. Pada
umumnya mereka merupakan anggota organisasi pemuda yang bernaung di
bawah Serawak United People Party (SUPP). Mereka kemudian menggabungkan
diri dengan Sukarelawan Tempur Dwikora dengan membentuk Pasukan Gerilya
Rakyat Serawak (PGRS) dan Pasukan Rakyat Kalimantan Utara (PARAKU). 35
Perdana Menteri Malaya pada waktu itu, Tunku Abdurachman, dalam
pidatonya di depan para pemimpin pemuda UMNO menuduh Indonesia
memimpin pendurhakaan di Brunei (Revolusi Rakyat Kalimantan Utara). Ia
mengatakan bahwa Indonesia iri hati dengan kesuksesan Malaya untuk
mendorong rakyat Kalimantan Utara dan Singapura untuk bergabung dalam
Federasi Malaysia. Ia menyebut pihak Indonesia telah melakukan banyak
pengkhianatan untuk menggagalkan Malaysia. Tunku Abdurachman menyatakan
bahwa pemberontakan di Brunei itu sudah hampir dapat diatasi, tetapi pemerintah
dan pemimpin-pemimpin politik Indonesia terus mengucapkan pidato-pidato yang
berapi-api untuk mendukung pemberontakan tersebut. 36

34

Ibid.., hal. 46.


Risalah Serah Terima Kodam XII/Tandjungpura, 30 Juni 1967
36
Bintang Timur, 26 Desember 1962
35

Universitas Indonesia

Pasukan gerilya..., Rucianawati, FIB UI, 2011.

34

Pihak pemerintah Malaysia menuduh Indonesia telah bermaksud untuk


menghasut rakyat di Sarawak, Brunei, dan Sabah supaya memberontak dan
melawan pemerintah. Malaysia menyatakan bahwa rakyat di ketiga daerah telah
menyetujui penggabungan dalam federasi. Tunku Abdurachman menuduh PKI
secara terang-terangan mendukung pemberontakan di Brunei dan menunggangi
politikus-politikus tertentu di Malaya untuk melaksanakan maksud-maksudnya.
Beberapa pemimpin politik di Malaya dikatakan mempunyai hubungan erat
dengan partai-partai politik di Indonesia. 37
Perseteruan memuncak ketika Indonesia memutuskan untuk melakukan
politik konfrontasi. Malaya dianggap sebagai kaki tangan neokapitalisme dan
neoimperialisme yang menjalankan sikap permusuhan terhadap Indonesia. Dalam
pidato

politiknya,

Presiden

Sukarno

menyebut

Malaysia

sebagai

neo-

kolonialisme. Malaysia adalah proyek Inggris yang membahayakan revolusi


Indonesia. 38 Indonesia mendukung pemberontakan di Brunei karena merupakan
perjuangan untuk memperoleh kemerdekaan dan menentang neo-kolonialisme
Malaysia. 39
Pada tanggal 3 Mei 1964, Presiden Soekarno mendekritkan Dwikora, yang
berisi: 1) pertinggi ketahanan revolusi Indonesia, 2) bantu perjuangan
revolusioner

rakyat

Malaya,

Singapura,

menggugurkan negara boneka Malaysia.

40

Sarawak,

dan

Sabah,

untuk

Setelah ada dekrit tersebut, satuan

tempur dan intelijen ditempatkan di sepanjang perbatasan Kalimantan dan


Sarawak-Sabah untuk melakukan operasi Dwikora. Operasi tersebut berada di
bawah Komando Mandala Siaga (Kolaga), yang merupakan gabungan dari
beberapa kesatuan militer.
Suasana konfrontasi memberi kesempatan kepada kelompok komunis
untuk lebih berkembang. Pihak komunis Cina mendukung pendirian Indonesia
yang menentang neo-kolonialisme Malaysia. Hal ini memberikan angin segar bagi
37

Ibid.
Departemen Penerangan R.I. (1963). Politik Kita adalah Politik Konfrontasi. Salinan
Naskah Amanat Presiden Sukarno pada Rapat Raksasa Front Nasional Mengganjang Malaysia
di Istana Olahraga Gelora Bung Karno, Senayan, Jakarta, 27 Juli 1963
38

39

Mohd. Reduan Haji Asli, Op.Cit., hal. 96-97.


Iman Toto K. Rahardjo dan Suko Sudarso (eds.). (2010). Bung Karno: Masalah
Pertahanan Keamanan. Jakarta: Grasindo, hlm. 63).
40

Universitas Indonesia

Pasukan gerilya..., Rucianawati, FIB UI, 2011.

35

perkembangan komunis di Indonesia karena kedekatan Indonesia dengan negara


komunis Cina. Selama masa konfrontasi, banyak orang dari Sarawak, terutama
pengikut aliran komunis mengungsi ke Kalimantan Barat. Di Kalimantan Barat ini
mereka menyusun strategi untuk mengadakan perlawanan. Pemerintah Cina
memberikan dukungan kepada para pemimpin komunis dengan mengirimkan
utusan dan mengadakan pertemuan-pertemuan. Dengan dukungan dari pemerintah
Cina maupun Indonesia, kelompok komunis mampu bertahan di wilayah
Kalimantan Barat.
Dengan melihat kondisi alam dan masyarakat di daerah perbatasan
Kalimantan Barat dan Sarawak, pada akhirnya dapat dipahami jika kemudian
timbul berbagai permasalahan, baik yang bersifat horizontal antar-masyarakat,
maupun yang bersifat vertikal, antara masyarakat dengan penguasa. Masalahmasalah yang timbul di perbatasan ini antara lain adalah berlangsungnya lalu
lintas manusia dan barang secara illegal, yang disebabkan oleh rendahnya tingkat
kesadaran masyarakat tentang makna kewarganegaraan (citizenship). 41 Hal ini
menjadi salah satu resiko wilayah perbatasan yang bersifat terbuka, sehingga
menjadi melting point untuk berbagai kegiatan yang melibatkan masyarakat di
kedua wilayah yang berbatasan.
Sebagai wilayah marginal yang jauh dari pusat kekuasaan, perbatasan juga
bisa menjadi basis perkembangan kelompok-kelompok separatis. Dalam hal ini,
daerah perbatasan Kalimantan Barat dan Sarawak merupakan daerah yang sangat
rawan dengan berkembangnya kelompok atau organisasi terlarang seperti
komunis. Hal tersebut didukung oleh beberapa faktor, antara lain:
-

Letak geografis Kalimantan Barat dan Sarawak yang berhadapan langsung


dengan Laut Cina Selatan, sehingga memudahkan masuknya orang-orang
Cina (komunis) dari RRC;

Posisi daerah perbatasan jauh dari jangkauan pemerintah pusat, sehingga


pengawasan tidak ketat karena keterbatasan sarana dan personel;

41

Riwanto Tirtosudarmo.(2005). Wilayah Perbatasan dan Tantangan Indonesia Abad 21:


Sebuah Pengantar, dalam Riwanto Tirtosudarmo dan John Haba (eds.). Dari Entikong Sampai
Nunukan: Dinamika Daerah Perbatasan Kalimantan Malaysia Timur (Sarawak dan Sabah).
Jakarta: Pustaka Sinar Harapan., hlm. 1-2.

Universitas Indonesia

Pasukan gerilya..., Rucianawati, FIB UI, 2011.

36

Jumlah etnis Cina yang cukup besar di Kalimantan Barat maupun Sarawak
(menurut perkiraan Kodam XII/Tandjungpura, terdapat 450 ribu etnis Cina
di Kalimantan Barat), yang memungkinkan mereka memiliki persatuan
yang lebih kuat, terlebih dalam menyebarkan komunisme;

Banyaknya jalur (terutama illegal) yang menghubungkan Kalimantan


Barat dan Sarawak, yang memudahkan keluar masuknya kelompok
terlarang di kedua wilayah.

Dengan

kondisi

yang

demikian,

maka

organisasi

komunis,

seperti

PGRS/PARAKU memanfaatkan wilayah di mana mereka bisa merasa aman,


terkadang di wilayah Indonesia, dan terkadang di wilayah Sarawak. Kemunculan
dan aktivitas PGRS/PARAKU ini dibahas dalam bab selanjutnya.

Universitas Indonesia

Pasukan gerilya..., Rucianawati, FIB UI, 2011.

37

Bab 3
Gerakan PGRS/PARAKU
Sebagaimana yang telah dijelaskan dalam bab 2, bahwa kondisi alam dan
penduduk, hubungan masyarakat, dan kondisi pemerintahan telah menjadikan
wilayah perbatasan Kalimantan Barat dan Sarawak sebagai wilayah marjinal yang
jauh dari jangkauan pusat kekuasaan. Kondisi ini memungkinkan tumbuh
suburnya gerakan separatis yang melawan pemerintah pusat. Komunisme
berkembang di daerah perbatasan, yang akhirnya mendukung kemunculan
PGRS/PARAKU.
Bab tiga ini memaparkan munculnya gerakan PGRS/PARAKU, faktorfaktor apa saja yang mendukung kemunculan gerakan tersebut, dan apa aktivitas
dari PGRS/PARAKU. Bagian ini juga melihat sikap dan tindakan pemerintah
terhadap gerakan tersebut, dan yang terakhir sikap masyarakat, terutama sikap
masyarakat Dayak.

3.1 Kemunculan PGRS/PARAKU dan Aktivitasnya

Gerakan PGRS/PARAKU merupakan suatu gerakan kaum komunis Cina


di daerah perbatasan Kalimantan Barat dan Sarawak, yang ingin menyusun suatu
pemerintahan sendiri, dan berada langsung di bawah kepemimpinan Peking.
Gerakan ini muncul sebagai penggabungan dari kelompok-kelompok yang
menentang pembentukan Negara Federasi Malaysia. Anggota gerakan yang
didominasi oleh etnis Cina ini tidak mau berada di bawah etnis Melayu, karena
hak-hak mereka, terutama dalam penguasaan ekonomi menjadi terganggu. Oleh
karena itu mereka berjuang untuk membentuk pemerintahan sendiri atau berada
langsung di bawah pemerintahan di Peking. 1
Ide untuk berdiri sendiri di kalangan etnis Cina tersebut telah muncul sejak
tahun 1896, ketika pemerintah Cina mengeluarkan pernyataan bahwa seluruh

Mary Somers Heidhues. (2008). Penambang Emas, Petani, dan Pedagang di Distrik
Tionghoa Kalimantan Barat. Jakarta: Yayasan Nabil, hlm. 228-229.

Universitas Indonesia

Pasukan gerilya..., Rucianawati, FIB UI, 2011.

38
orang Cina dimanapun mereka berada tetap diakui sebagai warga negara Cina.2
Bepedoman pada ide tersebut, maka masyarakat Cina yang tinggal di perantauan
biasanya membentuk komunitas sendiri dan bahkan berusaha membuat peraturan
sendiri yang terorganisir. Dalam prakteknya mereka seolah-olah membentuk
negara kecil dalam suatu negara. Hal ini pula yang terjadi pada etnis Cina di
Kalimantan Barat maupun di Sarawak. Mereka tetap merasa sebagai bagian dari
masyarakat Cina. Mereka membangun sekolah-sekolah sendiri yang juga menjadi
pusat kegiatan kebudayaan menurut tradisi leluhur mereka di daratan Cina.
Intensitas hubungan mereka dengan negeri Cina menjadikan mereka cepat
menyesuaikan diri dengan perkembangan sosial politik di negeri asalnya. 3
Setelah Perang Dunia II berakhir, dan Jepang mengalami kekalahan,
sebagian besar etnis Cina di Borneo Barat (Kalimantan Barat) merasa gembira
karena mereka akan terbebas dari penjajahan Jepang. Mereka kemudian
mengibarkan bendera nasional negeri Cina (Kuo Min Tang) dan berharap tentara
nasionalis Cina datang ke distrik Cina di Kalimantan Barat untuk membantu
mereka dan menyatukan distrik tersebut sebagai salah satu propinsi negeri Cina di
seberang lautan. 4 Ketika Indonesia berjuang melawan agresi Belanda, orangorang Cina di Kalimantan Barat seolah berada di luar pagar perjuangan, atau
bahkan lebih menunjukkan loyalitas terhadap Belanda. 5
Pasang surut kondisi politik Indonesia sejak meraih kemerdekaan, revolusi
fisik, hingga munculnya pemberontakan komunis tampaknya tidak mempengaruhi
keinginan kelompok etnis Cina di Kalimantan Barat untuk berdiri sendiri. Suasana
konfrontasi Indonesia-Malaysia digunakan sebagai jembatan untuk melancarkan
perlawanan. Posisi etnis Cina yang beraliran komunis ini cukup kuat karena
adanya kerjasama dengan kelompok mereka di Sarawak. Dari kerjasama dan
penggabungan kelompok komunis di Sarawak, Brunei dan Kalimantan Barat
inilah dapat dirunut asal mula munculnya Pasukan Gerilya Rakyat Sarawak dan
Pasukan Rakyat Kalimantan Utara (PGRS/PARAKU).

Soemadi. (1974). Peranan Kalimantan Barat dalam Menghadapi Subversi Komunis


Asia Tenggara. Pontianak: Yayasan Tanjungpura, hlm.50-51.
3
Ibid.., hlm. 40-41.
4
Mary Somers Heidhues. (2008). Loc.Cit.
5
Soemadi., Op.Cit., hlm. 51.

Universitas Indonesia

Pasukan gerilya..., Rucianawati, FIB UI, 2011.

39

Kerjasama di antara kelompok komunis di wilayah Kalimantan Barat


maupun Kalimantan Utara mulai tampak ketika muncul gagasan dari Perdana
Menteri Persekutuan Tanah Melayu (Malaya), Tunku Abdurachman pada tahun
1961, untuk membentuk Negara Federasi Malaysia, dengan menggabungkan
wilayah Sabah, Sarawak, Brunei, dan Singapura dalam negara federasi. Etnis
Cina, terutama yang beraliran komunis tidak menyetujui ide tersebut karena
mereka tidak mau berada di bawah pemerintahan orang Melayu. Mereka ingin
membentuk pemerintahan sendiri atau menjadi bagian dari negeri Cina, Oleh
karena itu muncullah perlawanan-perlawanan, baik yang bersifat terbuka ataupun
sembunyi-sembunyi.
Di Brunei, Partai Rakyat yang dipimpin Sheik A.M. Azahari melakukan
pemberontakan pada tanggal 8 Desember 1962, dengan mengumumkan berdirinya
Negara Kalimantan Utara (NKU) yang meliputi daerah Sabah, Sarawak, dan
Brunei. Mereka juga membentuk Tentara Nasional Kalimantan Utara (TNKU).
Perjuangan Azahari dalam membentuk Negara Kalimantan Utara ini mendapat
dukungan dari Indonesia, terutama dari Partai Komunis Indonesia (PKI). Jika
wilayah Kalimantan Utara masuk sebagai bagian dari Negara Federasi Malaysia,
maka wilayah tersebut menjadi bagian dari neokolonialisme yang disponsori
Inggris. Kondisi tersebut dianggap berbahaya bagi perkembangan Negara
Indonesia. Oleh karena itu pemerintah Indonesia mendukung Negara Kalimantan
Utara, yang berarti mencegah neokolonialisme di wilayah Kalimantan Utara yang
berbatasan langsung dengan Kalimantan Barat dan Timur. Presiden Soekarno
menyatakan simpatinya kepada para pemberontak, dan menjanjikan bantuan
material maupun pelatihan militer. 6
Dalam waktu kurang dari dua minggu pemberontakan dapat ditumpas oleh
pemerintah kolonial Inggris. Meskipun demikian, sisa-sisa pasukan TNKU terus
melakukan gerilya di hutan-hutan, dan sebagian berpindah ke wilayah Kalimantan
Barat. Azahari berhasil meloloskan diri dan berlindung di wilayah Indonesia. Di
Jakarta, Azahari diterima sebagai pemimpin Kalimantan Utara yang menghadapi
neo-kolonialisme yang perlu mendapat bantuan. Menteri Luar Negeri Indonesia
pada

waktu
6

itu,

Soebandrio,

membawa

Azahari

ke

Kalimantan

dan

M. Panggabean. (1993). Berjuang dan Mengabdi. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, hlm.

282.

Universitas Indonesia

Pasukan gerilya..., Rucianawati, FIB UI, 2011.

40
memperkenalkan kepada rakyat. 7 Hal ini dimaksudkan agar rakyat di Kalimantan
membantu perjuangan Azahari untuk membentuk Negara Kalmantan Utara.
Sementara itu di Sarawak, SUPP merupakan partai komunis yang
menentang pembentukan Federasi Malaysia. Setelah terjadinya pemberontakan
Partai Rakyat di Brunei, partai komunis di Sarawak ini mendapat tekanan dari
pemerintah. Sebagaimana para anggota TNKU, para pemimpin maupun anggota
komunis Sarawak, terutama yang tergabung dalam Sarawak Advance Youth
Association (SAYA) kemudian berpindah ke wilayah Kalimantan Barat yang
dirasa lebih

aman.

Pemerintah

Indonesia

yang tidak

sepakat

dengan

pembentukaan Negara Federasi Malaysia menerima kedatangan mereka, dan


bahkan bekerja sama untuk mengganyang Malaysia.
Dalam pidato Presiden Sukarno di Senayan, Jakarta, pada tanggal 27 Juli
1963,

disebutkan

bahwa

pembentukan

Malaysia

adalah

wujud

dari

neokolonialisme yang membahayakan revolusi Indonesia. Oleh karena itu


pembentukan Negara Federasi Malaysia tersebut harus digagalkan baik dengan
jalan diplomasi, pengerahan tenaga rakyat, maupun konfrontasi di segala bidang. 8
Sebagai kelanjutan dari politik konfrontasi ini, pada tanggal 3 Mei 1964 Presiden
Soekarno mendekritkan Dwikora untuk membantu perjuangan revolusioner rakyat
Malaya, Singapura, dan Kalimantan Utara, untuk menghancurkan Malaysia.
Pencanangan Dwikora kemudian disusul dengan dekrit pembentukan Komando
Siaga (KOGA) pada tanggal 16 Mei 1964, yang mengkoordinasikan kegiatan
militer terhadap Malaysia. Untuk memperkuat pasukan, pada bulan September
1964 dibentuklah Komando Mandala Siaga (KOLAGA) yang bertujuan untuk
mengkoordinasikan dan mengarahkan semua kegiatan militer di Sumatera dan
Kalimantan terhadap Malaysia. 9
Setelah pembentukan Komando Mandala Siaga, dilakukan gerakangerakan militer yang terbatas pada gerakan gerilya di wilayah Kalimantan. Selain
itu juga dilakukan penyusupan ke wilayah Kalimantan Utara. Dari pihak

Ibid., hlm. 284.


Departemen Penerangan R.I. (1963). Politik Kita adalah Politik Konfrontasi. Salinan
Naskah Amanat Presiden Sukarno pada Rapat Raksasa Front Nasional Mengganjang Malaysia
di Istana Olahraga Gelora Bung Karno, Senayan, Jakarta, 27 Juli 1963
9
M. Panggabean, Op. Cit., hlm. 287.
8

Universitas Indonesia

Pasukan gerilya..., Rucianawati, FIB UI, 2011.

41

Indonesia maupun Malaysia tidak ada pernyataan perang secara resmi, sehingga
kontak militer yang terjadi disebut perang rahasia (secret war). 10
Sementara itu, pada awal masa konfrontasi tahun 1963, Pemerintah Cina
mengirimkan dua utusan ke Kalimantan Barat, yaitu Wen Min Tjuen dan Wong
Kee Chok. Keduanya semula merupakan tokoh-tokoh komunis di Malaya. Setelah
komunis mendapat perlawanan di Malaya, mereka kemudian diusir sehingga
kembali ke Peking. Kedatangan Wen Min Tjuen dan Wong Kee Chok ke
Kalimantan Barat bermaksud untuk menemui Yap Chung Ho, Wong Hon, Liem
Yen Hwa, dan Yacob, tokoh-tokoh organisasi komunis Sarawak yang telah
berpindah ke wilayah Indonesia. Maksud dari pertemuan tersebut adalah untuk
menjelaskan garis perjuangan Partai Komunis Sarawak (PKS). Dalam pertemuan
tersebut disepakati arah perjuangan mereka, yaitu:
-

Partai Komunis Sarawak bekerjasama dengan PKI, Pemerintah Indonesia,


dan Negara Nasionalis Kalimantan Utara.

Menghimpun kekuatan-kekuatan revolusioner yang terdiri dari buruh tani,


dan mempererat hubungan dagang dengan masyarakat Dayak.

Mendirikan basis di daerah perbatasan Sarawak dan Kalimantan Barat, dan


berjuang terus untuk mempertajam ajaran-ajaran Mao. 11

Selain dengan tokoh-tokoh komunis dari Sarawak, Wen Min Tjuen dan
Wong Kee Chok juga mengadakan pertemuan dengan pemimpin pemberontakan
Partai Rakyat Brunei, Sheik A.M. Azahari, yang mendapat perlindungan politik
dari pemerintah Indonesia. Pertemuan diadakan di Sintang, dan dihadiri juga oleh
Yap, Wong Hon, Liem Yen Hwa, dan Yacob. Pertemuan ini juga menghasilkan
gagasan untuk membentuk PGRS dan PARAKU, dan TNKU akan mengusahakan
persenjataan untuk kedua gerakan tersebut. TNKU berusaha memperoleh senjata
dari sukarelawan-sukarelawan Indonesia yang membantu perjuangan mereka.
Pada masa ini perjuangan TNKU berakhir, kemudian diteruskan oleh PGRS dan
PARAKU. 12

10

Ibid., hlm. 290.


Semdan XII/Tandjungpura (1970). Tandjungpura Berdjuang: Sejarah Kodam
XII/Tandjungpura Kalimantan-Barat, hal. 233.
12
Ibid.
11

Universitas Indonesia

Pasukan gerilya..., Rucianawati, FIB UI, 2011.

42

Setelah pertemuan di Sintang, diadakan lagi pertemuan lanjutan di Bogor


yang dihadiri oleh Azahari, Soebandrio, Njoto, Soeroto, Yap, Wong Hon, Liem
Yen Hwa, dan Yacob. Dalam kesempatan ini PGRS/PARAKU mendapat
dukungan dari pemerintah Indonesia dengan diberikan kesempatan untuk
mengikuti latihan militer dari Badan Pusat Intelligence (BPI) di Bogor. 13
Untuk menindaklanjuti hasil pertemuan-pertemuan yang telah dilakukan,
Yap melakukan pemanggilan terhadap pemuda-pemuda Cina dari Sarawak.
Jumlah mereka yang menyeberang dari Sarawak ke Kalimantan Barat pada masa
konfrontasi ini diperkirakan 850 orang. Mereka kemudian mengikuti latihan
militer dan bergabung dengan PGRS/PARAKU. Sebagai bagian dari sukarelawan
tempur Dwikora, mereka memperoleh pasokan senjata dan amunisi dari tentara
Indonesia. Dalam catatan Kodam XII/TDPR disebutkan bahwa pada masa
konfrontasi mereka telah memasok lebih kurang 450 pucuk senjata kepada
sukarelawan-sukarelawan Cina yang tersebar di sepanjang perbatasan. 14 Pasokan
persenjataan ini dimaksudkan sebagai persiapan untuk mengantisipasi terjadinya
pertempuran dengan Malaysia.
Di Kalimantan Barat, lokasi gerilya pasukan PGRS/PARAKU dibagi
dalam tiga area, yaitu:
-

Poros

Timur,

yang

meliputi

daerah

Senaning/Uwak,

Nanga

Kantuk/Merakai Panjang, Nanga Badau/Kapar, dan Malon;


-

Poros Tengah, yang meliputi daerah Mangkau, Sontas, Sekunyit/Pangah,


dan Bantan/Segomon;

Poros Barat, yang meliputi daerah Liku, Aruk, Sadjingan, dan Djagoi
Babang. 15

Dalam Risalah Serah Terima Kodam XII/Tandjungpura (1967) disebutkan bahwa


pasukan PGRS/PARAKU dalam masa konfrontasi ini berada di bawah binaan dan
pengendalian dari ABRI, yang komandannya bertanggungjawab kepada Pangdam
XII/TDPR selaku Panglima Komando Operasi Lintas Bebas.

13
14

Ibid., hal. 234.


Lampiran Risalah Serah Terima Pangdam XII/TDPR/Pang Handa Kalbar, 30 Juni

1967.
15

Ibid.

Universitas Indonesia

Pasukan gerilya..., Rucianawati, FIB UI, 2011.

43

Setelah selesai masa konfrontasi dan pasukan sukarekawan Dwikora


dibubarkan, pasukan PGRS/PARAKU tidak mau kembali ke Sarawak, dan tetap
berada di wilayah perbatasan. Mereka memilih wilayah Kalimantan Barat sebagai
basis perjuangannya, karena pengawasan di wilayah Indonesia ini tidak seketat di
wilayah Sarawak. Kondisi alam Kalimantan Barat juga mendukung perjuangan
gerilya yang mereka lakukan, misalnya hutan yang lebat, yang memudahkan
kaum gerilya untuk menyelinap atau bersembunyi. Wilayah berair dan berawa
juga mendukung kegiatan gerilya tersebut, karena dengan mudah mereka dapat
menghilangkan jejak.
PGRS/PARAKU telah melakukan indoktrinasi dengan menyebarkan
ideologi komunis terhadap penduduk, terutama etnis Cina di Kalimantan Barat.
Penduduk yang terpengaruh dengan provokasi atau indoktrinasi tersebut dengan
sukarela membantu PGRS/PARAKU. Posisi PGRS/PARAKU semakin kuat
ketika ada penggabungan dari bekas anggota-anggota PKI Kalimantan Barat yang
dipimpin

oleh

S.A.

Sofyan.

Dari

dokumen

yang

ditemukan,

Sofyan

menginstruksikan kepada bekas-bekas anggota PKI untuk berkonsolidasi dan


bergabung dengan PGRS/PARAKU. 16
Ketika masih bergabung dengan pasukan sukarelawan Dwikora,
PGRS/PARAKU pada intinya terdiri dari orang-orang Cina komunis dari Sarawak
(SAYA) dan Kalimantan Utara (TNKU), yang mendapat latihan militer dari
pemerintah Orde lama. Pasukan ini juga ditambah dengan kaum gerilya komunis
Malaya yang menyusup ke daerah Kalimantan Barat ketika Indonesia
berkonfrontasi dengan Malaysia. 17. PGRS/PARAKU juga diperkuat oleh eks
anggota

PKI

Kalimantan

Barat.

Setelah

selesai

masa

konfrontasi,

PGRS/PARAKU ditumpas oleh rezim Orde Baru, karena pada masa ini organisasi
komunis dinyatakan sebagai organisasi terlarang di Indonesia, sedangkan
PGRS/PARAKU adalah gerakan yang beraliran komunis. Larangan terhadap
organisasi komunis ini tertuang dalam Tap MPRS No. XV/MPRS/1966, yang
berisi kebijakan untuk pembubaran PKI, pernyataan PKI sebagai organisasi
terlarang di seluruh wilayah negara Republik Indonesia, dan larangan setiap

16
17

Angkatan Bersendjata, 19 Oktober 1967.


Api Pantjasila, 19 Oktober 1967.

Universitas Indonesia

Pasukan gerilya..., Rucianawati, FIB UI, 2011.

44

kegiatan untuk menyebarkan

atau mengembangkan faham atau ajaran

komunisme/Marxisme-Leninisme.
Dalam kegiatannya, PGRS/PARAKU mendapat bantuan dari Sarawak
Communist International Organization (SCIO), yang merupakan organisasi
komunis

illegal di Sarawak. SCIO mempunyai hubungan langsung dengan

komunis di Cina. Organisasi ini turut mengatur dan mengarahkan aktifitas


kelompok PGRS/PARAKU, termasuk dalam mengurus masalah logistik serta
bantuan dari Cina. Adanya bantuan dari pihak luar ini terbukti dari persenjataan
dan perbekalan yang berhasil disita oleh pihak militer Indonesia dalam operasi
penumpasan yang dilakukan. Beras yang disita berasal dari luar negeri karena
jenis beras tersebut tidak ada di Indonesia. 18
Gerombolan PGRS/PARAKU melakukan latihan-latihan di beberapa
tempat, antara lain di Semugun, Sungai Kapundung, dan Teluk Suak. Ketiga
daerah tersebut terletak di sepanjang jalan menuju Singkawang. 19 Dalam catatan
Kodam XII/Tandjungpura disebutkan setidaknya terdapat 20 Training Centre
(TC) di berbagai daerah di sepanjang perbatasan Sarawak Kalimantan Barat,
yang digunakan untuk melatih simpatisan dan kader-kader PGRS/PARAKU dari
kalangan penduduk Cina komunis yang berada di Kalimantan Barat. Setiap TC
berhasil melatih sekitar 100 150 kader baru. 20
Selama melakukan perlawanan gerilya, gerombolan PGRS/PARAKU
melakukan pencegatan-pencegatan, dan membuat kekacauan dalam masyarakat,
misalnya dengan perampasan dan perampokan. Pada akhir bulan September 1967,
mereka mencegat tujuh orang pegawai pemerintah Indonesia yang sedang dalam
perjalanan dari Pontianak ke Sanggau Ledo. Dalam pencegata itu seorang petugas
pamong praja dan seorang polisi tewas. 21
Keberhasilan gerombolan PGRS/PARAKU untuk berkembang dan
mencari pendukung di Kalimantan Barat antara lain disebabkan oleh faktor
kesamaan etnis, di mana anggota PGRS/PARAKU sebagian besar adalah etnis
Cina, dan di Kalimantan Barat etnis Cina merupakan kelompok pendatang

18

Angkatan Bersendjata, 19 Oktober 1967.


Ibid.
20
Semdan XII/Tandjungpura (1970). Op.Cit., hlm. 245-246.
21
Suluh Marhaen, 4 Oktober 1967.
19

Universitas Indonesia

Pasukan gerilya..., Rucianawati, FIB UI, 2011.

45

mayoritas. Orang Cina yang tinggal di Kalimantan Barat sebagian besar adalah
WNA. Ideologi dan kehidupan politis mereka masih berkiblat pada negara Cina.
Jadi Kalimantan Barat hanyalah dijadikan sebagai tempat mencari penghidupan,
sedangkan dalam kehidupan politik mereka berkiblat pada negeri asalnya. Di
Kalimantan Barat etnis Cina banyak yang berhasil dalam bidang perekonomian,
misalnya dalam mengusahakan perkebunan, perdagangan, dan sarana transportasi.
Posisi perekonomian yang kuat menjadi basis yang kokoh untuk mendukung
gerakan PGRS/PARAKU, karena setidaknya pasokan logistik mereka akan
terjamin. Selain itu mereka juga mampu mengadakan atau membeli persenjataan
dan peralatan yang dibutuhkan.
Gerombolan PGRS/PARAKU berusaha untuk melakukan hubungan
dengan daerah Jawa. Dalam beberapa berita disebutkan bahwa unsur-unsur dari
PGRS/PARAKU ini telah membuka jaringan di daerah Sumatera. 22 Hal ini
disebabkan posisi mereka di wilayah perbatasan Kalimantan Barat dan Sarawak
yang semakin terdesak karena operasi militer dari pihak pemerintah Indonesia
maupun Malaysia. Beberapa anggota PGRS/PARAKU juga berhasil menyusup ke
Jakarta dengan maksud untuk menghubungi tokoh-tokoh gerakan illegal Cina
Komunis di Jakarta untuk mengadakan konsolidasi berkenaan dengan penutupan
Kedutaan Besar Cina di Jakarta. Pemutusan hubungan diplomatik dengan Cina
mengakibatkan hilangnya tempat berlindung dan berkumpul bagi gerakan Cina
komunis di ibu kota Jakarta. Dari tokoh-tokoh PGRS/PARAKU yang tertangkap
oleh pihak militer Indonesia dan dokumen-dokumen yang berhasil disita, dapat
diketahui bahwa kaum komunis ini berusaha untuk mengketatkan rencana dari
Cina komunis (Peking) bahwa pada tahun 1970 seluruh Asia Tenggara harus
sudah dikomuniskan, termasuk Indonesia. 23
Gerombolan PGRS/PARAKU mampu bertahan cukup lama untuk
melakukan perlawanan terhadap pemerintah Indonesia karena didukung oleh
beberapa faktor, antara lain:
-

Faktor geografis. Daerah Kalimantan Barat luasnya kira-kira satu setengah


kali Pulau Jawa dan Madura, sehingga gerak pasukan PGRS/PARAKU
bisa lebih leluasa. Selain itu keadaan alamnya yang berawa-rawa serta
22
23

Angkatan Bersendjata, 19 Oktober 1967


Suluh Marhaen, 4 Nopember 1967.

Universitas Indonesia

Pasukan gerilya..., Rucianawati, FIB UI, 2011.

46

berhutan lebat merupakan kondisi yang baik bagi pelancaran perang


gerilya, karena dengan mudah kaum gerilya dapat menghilangkan jejak.
-

Di sebelah utara, Kalimantan Barat berbatasan langsung dengan Sarawak,


dan di sebalah barat seluruhnya berbatasan dengan Laut Cina dan Selat
Karimata. Letak geografis yang terbuka ini memudahkan PGRS/PARAKU
untuk mendapatkan bantuan dari luar daerah, misalnya dari kaum komunis
di negeri Cina.

Anggota PGRS/PARAKU yang hampir semuanya terdiri dari etnis Cina,


sangat sulit untuk dibedakan dengan etnis Cina yang sudah ada di
Kalimantan Barat itu sendiri.

Keadaan perekonomian di Kalimantan Barat yang masih terbelakang


memudahkan pihak PGRS/PARAKU untuk melakukan gerakan politik
mereka terhadap rakyat. Rakyat sedang kekurangan beras. Walaupun ada
dijual dengan harga yang sangat tinggi. Hasil produksi rakyat sulit untuk
dijual karena orang Cina yang menjadi tengkulak hampir tidak mau untuk
membelinya dengan alasan tidak ada uang kontan akibat peraturanperaturan pemerintah. 24 Hal ini digunakan sebagai alat provokasi pihak
PGRS/PARAKU untuk menghasut rakyat agar membantu perjuangan
mereka melawan pemerintah Indonesia, karena kondisi penduduk tidak
sejahtera ketika berada di bawah pemerintahan Indonesia.

Karena dukungan dari faktor-faktor tersebut, PGRS/PARAKU mampu bertahan


hingga lebih dari sepuluh tahun sejak masa kemunculannya. Mereka dengan
mudah dapat menyeberangi perbatasan melalui jalan-jalan illegal di hutan-hutan
sehingga menyulitkan pihak Malaysia maupun Indonesia dalam melakukan
penumpasan.
Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa pada mulanya gerakan
PGRS/PARAKU muncul sebagai perjuangan untuk menentang masuknya Sabah,
Sarawak, dan Brunei ke dalam wilayah Negara Federasi Malaysia. Mereka ingin
mendirikan negara sendiri-sendiri atau setidaknya tiga wilayah tersebut bergabung
dalam Negara Kalimantan Utara. Pada masa konfrontasi mereka bekerjasama
24

Angkatan Bersendjata, 14 Desember 1967.

Universitas Indonesia

Pasukan gerilya..., Rucianawati, FIB UI, 2011.

47

dengan pemerintah Orde Lama di Indonesia. Namun demikian, setelah selesai


masa konfrontasi, pemerintah Indonesia yang telah berganti rezim dan sedang
memperbaiki hubungan dengan Malaysia, berbalik untuk memberantas gerakan
PGRS/PARAKU. Kebijakan inilah yang memicu perlawanan PGRS/PARAKU
terhadap pemerintah Indonesia. Mereka yang semula membantu Indonesia seolaholah kemudian dicampakkan, sedangkan mereka masih punya keinginan untuk
membangun negara sendiri dan menyelesaikan perjuangannya.

3.2 Sikap dan Tindakan Pemerintah

Dengan berakhirnya konfrontasi Indonesia-Malaysia, maka pasukanpasukan tempur Indonesia mulai ditarik dari daerah perbatasan. Kondisi yang
demikian menyebabkan timbulnya masalah-masalah baru yang berkaitan dengan
keamanan. Beberapa kelompok atau kegiatan yang dikhawatirkan dapat
menimbulkan gangguan keamanan adalah:
-

Eks sukarelawan tempur yang diduga masih bersenjata

Eks Pejuang Kalimantan Utara / Sarawak (Cina SUPP) yang masuk


wilayah Indonesia dan aktif dalam kesatuan sukarelawan tempur yang
telah memegang senjata dan pernah mendapat latihan militer

Partisan Dwikora

Golongan pro komunis

Kegiatan penyelundupan melalui darat dan air di sepanjang perbatasan

Adanya

pemegang-pemegang

senjata

(non

militer)

yang

belum

dikembalikan
-

Kegiatan gerakan-gerakan kesatuan aksi terhadap sasarannya 25

Karena keberadaan berbagai kelompok tersebut di atas dianggap dapat


mengganggu keamanan penduduk, maka pihak pemerintah Indonesia melalui
Kodam XII/TDPR mengambil tindakan preventif, antara lain:
-

Diadakan penyaringan bagi eks sukarelawan Dwikora, bagi yang


memenuhi syarat dapat bergabung sebagai anggota TNI, sedangkan
25

Lampiran Risalah Serah Terima Kodam XII/Tandjungpura, 30 Juni 1967, hal. 12-13.

Universitas Indonesia

Pasukan gerilya..., Rucianawati, FIB UI, 2011.

48

sisanya kembali ke masyarakat. Pada tahun 1966 tercatat 120 orang


sukarelawan yang menjadi anggota TNI.
-

Menyelesaikan permasalahan melalui persetujuan dengan Malaysia,


khususnya dalam menangani masalah sukarelawan Cina pelarian dari
Sarawak. Akan tetapi sebelum perundingan dilaksanakan, mereka telah
melarikan diri ke hutan-hutan, baik secara perorangan maupun
berkelompok.

Melakukan pengawasan dan pembersihan terhadap eks anggota PKI


maupun simpatisannya.

Mengantisipasi dan menindak tegas penyelundupan di perbatasan. 26

Masalah penyelundupan menjadi salah satu agenda yang mendapat


perhatian dari pemerintah karena sepanjang masa konfrontasi banyak anggota
militer yang terlibat dalam penyelundupan di perbatasan. Dalam laporan Kodam
XII/Tanjungpura disebutkan bahwa setelah berhentinya konfrontasi dengan
Malaysia, beberapa anggota pasukan dari Yonif 511/Braw, Yonif 514/Braw, dan
Yon Brimob Alang-alang, terlibat dalam peristiwa penyelundupan. Setelah
pasukan-pasukan tersebut ditarik ke induk pasukannya, maka pengamanan
perbatasan diserakan kembali kepada Kodam XII/TDPR. Untuk mengatasi
masalah penyelundupan oleh oknnum prajurit, Panglima/Pepelda mengeluarkan
Keputusan No. Kep-883/PPD/3/1967, tanggal 30 Maret 1967 tentang pelarangan
penyelundupan. Selain itu Kodam XII/Tanjungpura berusaha untuk meningkatkan
kesejahteraan prajuritnya dengan pembentukan Komando Kesejahteraan Prajurit
Kodam XII/TDPR. 27
Sebagai wujud dari tindakan preventif untuk menjaga keamanan dan
ketertiban, Pangdam XII/TDPR telah mengeluarkan Surat Keputusan bahwa
terhitung mulai tanggal 1 April 1967 sukarelawan Dwikora dibubarkan, kecuali
bagi sukarelawan dokter dan guru yang berasal dari luar Kalimantan Barat. Bagi
mereka yang berasal dari jawatan, dikembalikan ke tempat dinas semula. 28

26

Ibid., hal. 13-14.


Risalah Serah Terima Kodam XII/Tandjungpura, 30 Juni 1967
28
Ibid.
27

Universitas Indonesia

Pasukan gerilya..., Rucianawati, FIB UI, 2011.

49

Konsolidasi pasukan bekas sukarelawan Dwikora tidak berhasil dlakukan


karena dalam perkembangannya banyak di antara pasukan sukarelawan Cina yang
melakukan pembangkangan terhadap pemerintah dan mengadakan indoktrinasi
komunis terhadap rakyat di daerah-daerah yang mereka lalui dan tempati. Pada
tahun 1965, jumlah sukarelawan Cina Sarawak tercatat lebih kurang 838 orang
yang dilengkapi dengan 538 pucuk senjata yang terdiri dari Bren, Sten, Senapan,
dan pistol. Mereka tersebar di Semakuan (200 orang), Kartiyasa dan Sajingan
Hulu (91 orang), Sungkung (150 orang), Entapai (199 orang), dan Benua Martinus
(198 orang). 29 Selain sukarelawan Cina, pasukan PGRS/PARAKU juga didukung
oleh penggabungan pasukan sisa-sisa Partai Komunis Indonesia (PKI) Kalimantan
Barat di bawah Sofyan, Pheng Tsen Nen, Tan Bun Hiap, dan lain-lain. 30
Pemerintah Indonesia menghimbau sukarelawan Cina yang tergabung
dalam pasukan PGRS/PARAKU untuk menyerahkan senjata. Berdasarkan data
yang tercatat dalam Risalah Serah Terima Kodam XII/Tandjungpura (1967),
disebutkan bahwa 99 orang anggota PGRS/PARAKU mentaati perintah tersebut,
sedangkan 739 orang terus membangkang. Mereka yang mentaati perintah
disebutkan sebagai sukarelawan Indonesia yang non-komunis, dan keterlibatan
mereka dalam perjuangan tersebut hanya untuk membantu perjuangan rakyat
Kalimantan Utara, sedangkan yang lainnya adalah pasukan yang berasal dari
Sarawak, serta orang-orang Cina yang berkewarganegaraan RRT. Mereka tidak
mau menyerahkan senjata dan tunduk kepada keputusan pemerintah Indonesia
karena keinginan mereka untuk membentuk negara Kalimantan Utara belum
berhasil.

Semula

mereka

membantu

Indonesia

dengan

harapan

dapat

menggagalkan pembentukan Negara Federasi Malaysia, sehingga nantinya


mereka dapat membuat pemerintahan sendiri. Jika kembali ke Sarawak atau
wilayah Kalimantan Utara berarti mereka harus tunduk dan mengakui Negara
Federasi Malaysia.
Gerombolan PGRS/PARAKU yang tidak mau berkoordinasi dengan
pemerintah Indonesia melarikan diri dan membuat markas di hutan-hutan di

29

Ibid.
Tim Penyusun Buku Sejarah Kodam VI/TPR. (1986). Tiga Puluh Enam Tahun
Komando Daerah Militer VI Tanjungpura, 20 Juli 1956 1986. Balikpapan: Tim Penyususn Buku
Sejarah Kodam VI/TPR, hal. 38.
30

Universitas Indonesia

Pasukan gerilya..., Rucianawati, FIB UI, 2011.

50

wilayah perbatasan. Mereka melakukan perlawanan melalui sistem gerilya


terhadap pemerintah Indonesia. Keberadaan mereka tersebar di sepanjang
perbatasan, sebagian di wilayah Indonesia, dan sebagian di wilayah Sarawak.
kekuatan mereka terpusat di sekitar Gunung Sentawi, Sempatung, Sanggau Ledo,
Seluas, Balai Karangan, Nangan Badau, Melantung, dan Batu Beti. 31
Menurut keterangan Komandan Brigade Infanteri ketiga Malaysia,
Brigadir Jenderal Tungku Nazaruddin, jumlah anggota PGRS/PARAKU yang
melakukan gerilya di hhutan-hutan di wilayah perbatasan diperkirakan sekitar 900
orang. Dari jumlah tersebut, menurut pihak pemerintah Malaysia, 100 orang
berasal dari wilayah Malaysia, sedangkan sisanya dari Indonesia. Posisi mereka
lebih banyak di wilayah Indonesia, tetapi mereka akan berpindah melintasi
perbatasan ke arah Sarawak ketika terdesak oleh tentara Indonesia. 32
Di Indonesia, PGRS/PARAKU mengalami dua perlakuan yang berbeda
dari dua rezim yang berkuasa. Pada masa Orde Lama, mereka diperlakukan
sebagai kawan yang bersama-sama menentang pembentukan Negara Federasi
Malaysia. Mereka mendapat perlindungan, bahkan pelatihan militer dan fasilitas
persenjataan. Para pengungsi yang datang dari Sarawak pada akhir Desember
1963 misalnya, mengaku mendapat persetujuan dari pemerintah Indonesia untuk
memerdekakan Sabah dan Sarawak. Pemerintah Indonesia bahkan menghimbau
etnis Cina, terutama yang tinggal di wilayah Kalimantan Barat, untuk membantu
perjuangan mereka. 33
Kondisi ini berbalik ketika rezim Orde Baru menggantikan Orde Lama.
Mereka bukan lagi dianggap sebagai kawan, tetapi kemudian menjadi lawan yang
harus ditumpas. Hal ini berkaitan dengan keluarnya ketetapan pemerintah pada
tanggal 12 Maret 1966, yang menyatakan organisasi komunis sebagai organissasi
yang terlarang, dan adanya larangan untuk menyebarkan faham komunisme.
Sebagai gerakan yang beraliran komunis mereka diberantas oleh pemerintah
31

Lampiran Risalah Serah Terima Kodam XII/Tandjungpura, 30 Juni 1967, hlm. 7-8
Angkatan Bersendjata, 18 Oktober 1967.
33
Muhlis Suhaeri, The Lost Generation ke-2, dimuat dalam koran Borneo Tribune, 11
Februari 2008. Diunduh dari http://muhlissuhaeri.blogspot.com/2008/02/lost-generations-2.html,
tanggal 15-12-2010, jam 21.30.
32

Universitas Indonesia

Pasukan gerilya..., Rucianawati, FIB UI, 2011.

51

Malaysia maupun Indonesia seiring dengan selesainya konfrontasi kedua negara.


Pembersihan dilakukan oleh masing-masing pihak, dan juga melalui kerjasama
karena komunis dianggap sebagai musuh bersama.
Wilayah-wilayah yang dikuasai atau terpengaruh oleh gerakan PGRSPARAKU antara lain adalah Tanjung Aju, Sei Balagan, Camar Bulan, Tanjung
Datuk, Gunung Puting, Gunung Kejantau, Gunung Pueh, dan Taidinibung.
Wilayah tersebut persis berada di perbatasan Kalimantan Barat dan Sarawak. Di
daerah ini pemerintah melancarkan Operasi Tertib dan Operasi Sapu Bersih
dengan maksud untuk menundukkan pasukan tersebut. 34

3.3 Sikap Masyarakat: Demonstrasi Masyarakat Dayak

Sebelum terjadinya gerakan PGRS/PARAKU di daerah perbatasan


Kalimantan Barat dan Sarawak, hubungan antara etnis Cina, Melayu, dan Dayak
terjalin dengan baik, terutama karena adanya hubungan sosial dan ekonomi.
Orang Cina yang berprofesi sebagai pedagang, pedagang perantara, atau
tengkulak, banyak yang menjelajah sampai ke daerah pemukiman etnis Dayak di
pedalaman. Di antara etnis Cina ini kemudian ada yang menikah dengan orang
Dayak atau Melayu. Kondisi yang demikian memudahkan orang Cina (komunis)
untuk mengembangkan gerakan di daerah Kalimantan Barat. Orang-orang Dayak
dan Melayu tidak akan menentang, bahkan ada yang terpengaruh untuk membantu
kegiatan gerombolan PGRS/PARAKU, sepanjang hal tersebut tidak merugikan
mereka.
Ketika terjadi pemberontakan PGRS/PARAKU yang kemudian diatasi
oleh pemerintah dengan tindakan militer, masyarakat mengalami kebingungan
dalam menentukan sikap. Mereka mendapat doktrinasi dari dua sisi, yaitu dari
gerombolan PGRS/PARAKU dan dari pemerintah, yang diwakili militer. Kondisi
yang paling sulit dialami oleh masyarakat Cina di perbatasan. Ketika para
gerilyawan PGRS/PARAKU datang untuk meminta makan dan berbagai
kebutuhan pangan, mau tak mau mereka harus memberikannya. Jika tidak mau
34
34

Risalah Serah Terima Kodam XII/Tandjungpura, 30 Juni 1967


Ibid.

Universitas Indonesia

Pasukan gerilya..., Rucianawati, FIB UI, 2011.

52

menyediakan kebutuhan kelompok pemberontak ini, nyawa mereka terancam. Di


sisi lain terjadi ketakutan, jika mereka memberikan makanan, maka mereka
dianggap membantu PGRS/PARAKU sehingga dimusuhi oleh tentara. 35
Namun demikian, penduduk Cina yang tinggal di pedalaman banyak juga
yang terpengaruh dengan provokasi gerombolan PGRS/PARAKU. Mereka
membantu gerakan PGRS/PARAKU dengan mensuplai bahan makanan dan
mengadakan pelatihan militer dan bela diri di kalangan masyarakat Cina di
pedalaman. 36 Adanya latihan militer ini mengindikasikan adanya kaderisasi atau
perekrutan anggota PGRS/PARAKU. Sementara itu, etnis Dayak dan Melayu
lebih bersifat netral, tidak mendukung pemerintah maupun gerombolan
PGRS/PARAKU.
Karena kekhawatiran meluasnya pengaruh gerombolan PGRS/PARAKU,
pihak tentara Indonesia mengambil simpati masyarakat melalui pembangunan dan
perbaikan sekolah-sekolah serta memperbantukan anggota tentara sebagai guru,
pembukaan perladangan/persawahan baru, pembangunan jalan, jembatan, dan
saluran air, dan pengiriman bantuan berupa alat-alat bangunan, alat-alat pertanian,
dan sebagainya. 37 Hal ini merupakan bagian dari operasi intelejen dan teritorial
yang dilakukan oleh ABRI.
Ketika masyarakat, terutama etnis Dayak sudah merasa dekat dengan
tentara, muncul isu-isu yang memicu keretakan hubungan dengan etnis Cina. Di
beberapa tempat diberitakan bahwa gerombolan PGRS merampok harta benda
rakyat. Di daerah Sekajang gerombolan Cina komunis memeras tiap kampung
yang ada di daerah tersebut. Tiap rumah dipaksa menyerahkan seekor babi, ayam
dan sejumlah hasil ladang. Bagi mereka yang menolak, maka semua harta
bendanya akan diambil secara paksa dan rumah mereka dibakar. Gerombolan
tersebut juga mengancam penduduk untuk tidak melaksanakan upacara adat,
terutama yang berkaitan dengan ritual keagamaan. Penduduk Cina yang tidak mau

35

Muhlis Suhaeri.(2008). The Lost Generation - 5. Tulisan berseri dalam Borneo


Tribune,
dimuat
tanggal
14
Februari
2008,
diunduh
dari
http://muhlissuhaeri.blogspot.com/2008/02/lost-generations-5.html, pada tanggal 15-12-2010, jam
21.30.
36
Semdan XII/Tandjungpura (1970). Op.Cit., hlm. 274.
37
Ibid., hlm. 320.

Universitas Indonesia

Pasukan gerilya..., Rucianawati, FIB UI, 2011.

53

terlibat dengan kelompok Cina komunis ini dikabarkan telah mengungsi dari
daerah Sanggau Ledo ke Bengkayang. Mereka kurang lebih berjumlah 60 orang. 38
Berhembusnya kabar tersebut pada mulanya tidak mempengaruhi sikap
etnis Dayak terhadap etnis Cina. Sikap permusuhan masyarakat Dayak terhadap
etnis Cina mulai muncul ketika ada isu bahwa orang Dayak dan Jawa di
Kalimantan Barat dari umur enam tahun ke atas akan dibunuh semua apabila
mereka tidak membantu gerombolan Cina komunis. Pada awalnya, isu tersebut
tidak terlalu dirisaukan oleh masyarakat Dayak, sampai terjadinya peristiwa
pembunuhan terhadap beberapa orang Dayak. Pada bulan Maret 1967, terjadi
pembunuhan terhadap seorang guru Dayak di daerah Sungkung. Pada bulan
September juga terjadi penculikan dan pembunuhan terhadap sembilan orang
Dayak dari kampung Taum. Kemudian terjadi pembunuhan terhadap seorang
kepala adat Dayak di daerah Bengkayang. 39 Semua peristiwa tersebut dikaitkan
dengan isu sebelumnya, yaitu ancaman gerombolan Cina komunis, sehingga yang
dituduh sebagai pelaku penculikan dan pembunuhan adalah gerombolan Cina
tersebut.
Dalam kaitan ini sebenarnya penculikan dan pembunuhan yang terjadi
belum tentu dilakukan oleh kelompok Cina komunis. Kabar pembunuhan tersebut
bisa jadi secara sengaja dihembuskan sebagai bagian dari operasi intelejen
Indonesia untuk melakukan provokasi yang memicu keretakan hubungan
masyarakat Dayak dan Cina. Jika dikaitkan dengan konsep gerilya yang
dikemukakan oleh Jenderal A.H. Nasution (1984), tindakan ini merupakan antigerilya yang digunakan untuk melawan gerilya. Gerilya berakar dari rakyat, oleh
karena itu untuk mengalahkannya akar-akar gerilya dari rakyat tersebut harus
diputuskan. Jadi perang anti-gerilya yang dilakukan di sini bertujuan untuk
memisah PGRS/PARAKU dan penduduk Cina di daerah pedalaman yang menjadi
pangkalannya. 40

38

Api Pantjasila, 5 Oktober 1967.


Semdam., Op.Cit., hal. 274.
40
A.H. Nasution. (1984). Pokok-pokok Gerilya: dan Pertahanan Republik Indonesia di
Masa yang lalu dan yang akan datang. Bandung: Angkasa. , hlm. 4-50.
39

Universitas Indonesia

Pasukan gerilya..., Rucianawati, FIB UI, 2011.

54

Hubungan yang terjalin baik antara kedua kelompok etnis itu menjadi
salah satu faktor yang mendukung suasana kondusif untuk perkembangan
kelompok Cina komunis di perbatasan. Masyarakat Dayak tidak akan
mengganggu kegiatan dari etnis Cina di pedalaman sepanjang kegiatan tersebut
tidak mengganggu mereka. Oleh karena itu untuk memudahkan penumpasan
PGRS/PARAKU, salah satu usaha yang dilakukan pihak militer Indonesia adalah
memisahkan atau memecah hubungan yang baik antara etnis Cina dan Dayak,
dengan cara memprovokasi dan menghembuskan isu-isu yang menyebabkan
permusuhan diantara kedua kelompok etnis tersebut.
Dengan terjadinya beberapa pembunuhan, muncul keresahan di antara
orang Dayak. Mereka mengkhawatirkan terjadinya penculikan dan pembunuhan
yang lebih banyak lagi. Beberapa pemuka adat suku Dayak kemudian
mengadakan pertemuan dengan mantan Gubernur Kalimantan Barat, J.C.
Oevaang Oeray, 41 yang merupakan salah satu tokoh Dayak di Pontianak.
Sebelumnya pihak tentara Indonesia telah meminta dukungan kepada Oevaang
Oeray, supaya orang Dayak membantu tentara. Oevaang Oeray adalah salah satu
tokoh masyarakat Dayak yang sangat disegani oleh orang Dayak, sehingga segala
ucapannya dipercaya dan dituruti perintahnya. 42
Pertemuan antara pemuka-pemuka adat suku Dayak dengan Oevaang
Oeray dimaksudkan untuk membahas peristiwa penculikan dan pembunuhan
terhadap orang Dayak. Sebagai hasil dari pertemuan tersebut, Oevaang Oeray
memberikan petunjuk dengan tiga pandangan, yaitu:
(1) PGRS/PARAKU adalah kelompok komunis, dan komunis tidak beragama,
sedangkan orang Dayak adalah orang yang beragama. Oleh karena itu
orang Dayak tidak bisa hidup bersama komunis. Jadi PGRS/PARAKU
harus diganyang.
(2) PGRS/PARAKU mengganggu keamanan, yang berakibat juga pada
terganggunya keamanan orang-orang Dayak dalam mencari penghidupan
41

Johanes Chrisostomus Oevaang Oeray adalah tokoh suku Dayak yang menjadi
Gubernur Kalimantan Barat pada tahun 1959 1966.
42
Muhlis Suhaeri.(2008). The Lost Generation - 9. Tulisan berseri dalam Borneo
Tribune,
dimuat
tanggal
18
Februari
2008,
diunduh
dari
http://muhlissuhaeri.blogspot.com/2008/02/lost-generations-9.html, pada tanggal 15-12-2010, jam
21.30.

Universitas Indonesia

Pasukan gerilya..., Rucianawati, FIB UI, 2011.

55

sehari-hari. Untuk mendapatkan kemajuan, diperlukan ketenangan dan


keamanan. Oleh karena itu PGRS/PARAKU harus diganyang.
(3) Dalam kaitan PGRS/PARAKU mengganggu keamanan orang Dayak,
maka lebih baik orang Dayak berkorban sewaktu aktif dan turut
mengganyang PGRS/PARAKU daripada mejadi korban waktu pasif.43
Dalam kalimat ini dimaksudkan bahwa orang Dayak lebih baik mati
menjadi korban ketika memerangi PGRS/PARAKU, daripada berdiam diri
dan kemudian menjadi korban atau dibunuh oleh PGRS/PARAKU.

Jika menyimak pandangan-pandangan yang diberikan oleh Oevaang Oeray,


terlihat muatan politik yang sangat kental dengan mendiskreditkan gerombolan
PGRS/PARAKU. Pandangan tersebut sebenarnya merupakan pesan titipan dari
pihak militer Indonesia, ketika mereka menemui pemuka-pemuka adat suku
Dayak. Pesan tersebut disampaikan oleh Brigjen Soemadi yang ketika itu
menjabat sebagai Panglima Kodam XII/Tandjungpura. 44
Dari pandangan tersebut tersirat makna bahwa PGRS/PARAKU dituduh
berada dibalik semua kejadian yang menimpa orang Dayak. Mereka harus
mempertanggungjawabkan

perbuatannya,

sehingga

muncul

istilah

PGRS/PARAKU harus diganyang. Sementara itu PGRS/PARAKU sendiri tidak


mempunyai kesempatan untuk menyangkal atau menjawab tuduhan yang belum
tentu kebenarannya.
Setelah terjadi pertemuan di antara tokoh-tokoh Dayak, hubungan
masyarakat Dayak dan Cina mulai merenggang, karena sebagian besar anggota
PGRS/PARAKU adalah orang Cina. Orang Dayak menaruh curiga terhadap
orang-orang Cina, walaupun mereka belum tentu sebagai anggota atau pendukung
gerombolan

PGRS/PARAKU.

Hasil

pertemuan

tersebut

diikuti

dengan

pengumuman di radio, yang menghimbau agar orang Dayak melakukan


pengusiran terhadap etnis Cina komunis. Oevaang menulis surat dan membacanya
di radio RRI Pontianak, yang berisi pengumuman bagi orang Cina yang tinggal di

43
44

Semdam., Op.Cit., hal. 275.


Muhlis Suhaeri, Ibid.

Universitas Indonesia

Pasukan gerilya..., Rucianawati, FIB UI, 2011.

56

pedalaman Kalimantan Barat, bahwa mereka harus meninggalkan wilayahnya dan


pindah ke kota kecamatan terdekat. 45
Suasana masyarakat, terutama yang berkaitan dengan hubungan antara
etnis Dayak dan Cina semakin memanas, setelah ada pertemuan pemuka-pemuka
adat Dayak, dan diikuti dengan pengumuman di radio. Selanjutnya ada surat
undangan bagi seluruh kepala kampung di wilayah Bengkayang untuk menghadiri
pertemuan besar pada tanggal 11 Oktober 1967di Samalantan. Pertemuan yang
dihadiri oleh Oevaang tersebut dijaga ketat oleh tentara. Dalam pertemuan itu,
Oevaang memerintahkan kepada seluruh kepala kampung untuk bersiap-siap
menunggu hari yang disebutnya Gerakan Demonstrasi. 46 Gerakan demonstrasi
orang Dayak untuk mengusir orang Cina akhirnya terjadi pada tanggal 14 Oktober
1967.
Untuk melihat peta dukungan terhadap gerombolan PGRS/PARAKU dan
untuk mencegah pengaruh yang lebih luas dari gerombolan tersebut, masyarakat
Dayak bersama penduduk Cina dan kelompok pendatang yang lain mengadakan
upacara adat Pemabang. Upacara tersebut dimaksudkan untuk mengambil
sumpah bersama untuk bersatu mencegah dan menghalau musuh atau perusuh
yang datang dari luar. Mereka yang melanggar sumpah dijatuhi hukuman adat
atau diusir dari kampung. 47
Ketika

terjadi

pertempuran

antara

tentara

dan

gerombolan

PGRS/PARAKU di sekitar Gunung Merebuk pada tanggal 13 Oktober 1967, 46


anggota gerombolan tewas, dan sebagian tertangkap. Sebagian dari korban yang
tewas maupun yang tertangkap dinyatakan pernah mengikuti sumpah dalam
upacara adat Pemabang. Oleh karena itu sumpah yang telah disepakati dianggap
telah putus karena pelanggaran oleh orang-orang Cina yang bergabung dengan
gerombolan PGRS/PARAKU. 48
Kepala-kepala adat dan masyarakat Dayak kemudian mengeluarkan
maklumat perang terhadap etnis Cina. Semangkuk darah diedarkan di setiap
45

Muhlis Suhaeri.(2008). The Lost Generation - 10. Tulisan berseri dalam Borneo
Tribune,
dimuat
tanggal
19
Februari
2008,
diunduh
dari
http://muhlissuhaeri.blogspot.com/2008/02/lost-generations-10.html, pada tanggal 15-12-2010,
jam 21.30.
46
Ibid.
47
Semdam (1970). Op.Cit.., hal. 275-276.
48
Ibid, hal. 275-276.

Universitas Indonesia

Pasukan gerilya..., Rucianawati, FIB UI, 2011.

57

perkampungan Dayak di pedalaman, sebagai simbol perang terhadap etnis Cina.


Mereka yang tidak mau menerima dan tidak ikut serta memerangi kelompok Cina
dianggap juga sebagai musuh. Bagi warga Dayak, Mangkok Merah merupakan
simbol ajakan dan memenuhi panggilan perang. Ketika Mangkok Merah sudah
berjalan dari satu kampung, maka harus dilanjutkan ke kampung di sebelahnya,
dan diedarkan secara berantai. Masyarakat yang dilewati jalur Mangkok Merah
tersebut harus memenuhi panggilan perang itu. 49
Sebagai kelanjutan dari beredarnya Mangkuk Merah, pada tanggal 14
Oktober 1967, masyarakat Dayak menyerang pemukiman orang-orang Cina di
kampung Taum, di sekitar gunung Merebuk. Penyerangan meluas ke berbagai
tempat, misalnya di Bengkayang di mana terdapat pemukiman orang-orang Cina.
Rumah-rumah orang Cina dibakar, dan penghuni yang tidak sempat melarikan diri
dibunuh. Kegaduhan suasana demonstrasi masyarakat Dayak ini digambarkan
dengan riuh rendahnya suara teriakan yang berasal dari ratusan orang, yang
mengenakan ikat kepala kain merah. Mereka memegang tombak, mandau, dan
senjata tajam lainnya. Rombongan itu mendatangi satu persatu rumah orang-orang
Cina. Sesampai di setiap rumah, mereka langsung mengambil berbagai perabot
rumah dan barang yang ditinggal pemiliknya. Mereka akan membunuh siapa saja
yang melawan dan menghalanginya. 50
Dalam peristiwa itu banyak penduduk Cina yang tidak bersalah dan tidak
terlibat dalam gerombolan PGRS/PARAKU turut menjadi korban. Orang Dayak
mengusir penduduk keturunan Cina di pedalaman yang dianggap sebagai pengikut
gerombolan PGRS/PARAKU. Demonstrasi dari masyarakat Dayak terhadap
kelompok Cina komunis terjadi selama satu bulan. Sebagai akibatnya penduduk
Cina di yang tinggal pedalaman melarikan diri dan mengungsi ke kota-kota di
sekitar Singkawang, Pontianak, Sambas, Pemangkat, Bengkayang, dan Sungai
Raya. Pada saat itu diperkirakan sekitar 60 ribu penduduk keturunan Cina di

49

Muhlis Suhaeri.(2008). Ibid.


Muhlis Suhaeri.(2008). The Lost Generation 11. Tulisan berseri dalam Borneo
Tribune,
dimuat
tanggal
20
Februari
2008,
diunduh
dari
http://muhlissuhaeri.blogspot.com/2008/02/lost-generations-11.html, pada tanggal 15-12-2010,
jam 21.30.
50

Universitas Indonesia

Pasukan gerilya..., Rucianawati, FIB UI, 2011.

58

pedalaman kabupaten Sambas, Pontianak, Sanggau, dan Ketapang mengungsi ke


kota-kota. Jumlah etnis Cina yang tewas diperkirakan lebih dari 250 orang. 51
Untuk mengendalikan keadaan, pemerintah mengadakan pengamanan dan
pengarahan terhadap aktivitas orang Dayak, agar tidak melakukan hal-hal yang
negatif. Pada akhir bulan Oktober 1967, di bawah koordinasi Pangkopkamtibda
dibentuklah Laskar Pangsuma, yang dipimpin oleh pemuka-pemuka suku
Dayak. Tujuan pembentukan laskar ini adalah untuk memimpin dan mengarahkan
spontanitas gerakan suku Dayak, sesuai dengan sasaran yang seharusnya. 52
Pihak pemerintah Indonesia menyatakan bahwa demonstrasi suku Dayak
di daerah Kabupaten Pontianak dan Sambas untuk membantu ABRI dalam
menumpas gerombolan PGRS telah ditunggangi oleh oknum-oknum ex PKI, BTI,
Partindo dan BPI, yang menyelewengkan spontanitas rakyat itu, sehingga terjadi
tindakan yang menjurus kepada rasialisme. Sebelumnya tidak ada masalah dalam
hubungan antara etnis Dayak dan Cina. Secara wajar tidak mungkin orang Dayak
tiba-tiba melakukan kekerasan terhadap etnis Cina. Setelah suatu suku Dayak di
daerah perbatasan kabupaten Sambas mengumumkan perang membantu ABRI
menumpas gerombolan pengacau Cina komunis, beberapa otak demonstrasi
rakyat disinyalir telah mengirimkan anggotanya untuk mengadakan kontak
dengan penduduk di daerah Bengkayang. Sebagai hasil dari kontak tersebut, dari
Bengkayang mulai beredar mangkok berisi darah yang menurut kepercayaan suku
Dayak merupakan suatu pernyataan perang, sehingga suku Dayak mengangkat
senjata. Pada umumnya mereka tidak mengetahui siapa sebenarnya yang harus
diperangi, akan tetapi perang tersebut dimaknai sebagai solidaritas dan kesetiaan
pada adat, bahwa menerima mangkok berisi darah berarti harus ikut berperang,
sedangkan kalau menolak dianggap sebagai musuh. 53
Ketaatan suku Dayak terhadap adat dijadikan kesempatan oleh oknumoknum ex PKI, BTI, Partindo, dan BPI untuk melakukan penyelewengan dan
keonaran, sehingga gerakan itu menjurus ke arah rasialisme. Mereka telah
melakukan perampasan, perampokan, dan bahkan pembunuhan terhadap orang-

51

Tim Penyususn Buku Sejarah Kodam VI/TPR. Op.Cit., hal. 39.


Semdan XII/Tandjungpura (1970). Op.Cit., hal. 278.
53
Angkatan Bersendjata, 30 November 1967
52

Universitas Indonesia

Pasukan gerilya..., Rucianawati, FIB UI, 2011.

59

orang Cina WNA dan WNI. Banyak di antara mereka yang menjadi korban tidak
tahu menahu dan tidak terlibat dalam gerombolan Cina komunis. 54
Dari munculnya gerakan PGRS-PARAKU dapat dilihat adanya kerjasama
atau hubungan yang erat antara etnis Cina yang tinggal di Sarawak dengan
golongan Cina di Kalimantan Barat. Mereka saling membantu dan mengadakan
kontak melewati daerah perbatasan, baik secara legal maupun illegal. Kelompok
etnis lain, seperti Melayu dan Dayak tidak begitu terpengaruh dengan kegiatan
mereka karena hubungan sosial-ekonomi yang sudah terjalin lama.
Orang Cina di Kalimantan Barat telah lama mempunyai hubungan sosialekonomi yang baik dengan orang Dayak. Kondisi yang demikian memudahkan
orang Cina (komunis) untuk mengembangkan gerakan di daerah Kalimantan
Barat. Orang-orang Dayak tidak akan menentang, bahkan kemungkinan akan
terpengaruh untuk membantu kegiatan gerombolan PGRS-PARAKU, sepanjang
hal tersebut tidak merugikan mereka. Perubahan sikap muncul ketika ada
pengaruh dari pihak lain yang mempunyai maksud dan tujuan tertentu. Dalam
kasus demonstrasi Orang Dayak terhadap etnis Cina, pihak militer memanfaatkan
untuk membantu penumpasan gerakan PGRS/PARAKU.

54

Angkatan Bersendjata, 30 November 1967.

Universitas Indonesia

Pasukan gerilya..., Rucianawati, FIB UI, 2011.

60

Bab 4
Penumpasan dan Dampaknya
Dalam bab tiga sudah dijelaskan bagaimana gerakan PGRS/PARAKU
muncul, apa saja aktivitasnya, bagaimana sikap dan tindakan pemerintah, serta
sikap masyarakat. Sebagai kelanjutan dari bagian sebelumnya, bagian ini akan
melihat bagaimana gerakan PGRS/PARAKU ditumpas. Penumpasan gerakan
tersebut dimulai sejak tahun 1966. Ini bersamaan waktunya dengan selesainya
konfrontasi antara Indonesia dan Malaysia yang ditandai dengan penandatanganan
perjanjian perdamaian Jakarta Accord, pada tanggal 11 Agustus 1966. 1 Pada saat
itu usaha-usaha untuk membentuk kerjasama bilateral dimulai. Proses ini juga
seiring dengan proses penguatan masing-masing negara. Malaysia sebagai negara
federasi yang baru terbentuk pada tahun 1963 terancam dengan munculnya
gerakan PGRS/PARAKU yang berhaluan komunis. Sementara itu di Indonesia
rezim Orde Baru yang baru saja menggantikan rezim Orde Lama melarang ajaran
komunis. Oleh karena itu kedua pihak kemudian menjalin kerjasama untuk
menghilangkan gerakan komunis yang muncul di daerah perbatasan.
Usaha-usaha pemerintah Orde Baru untuk membentuk negara yang kuat,
mendapat dukungan militer. Dalam proses penguatan rezim baru yang bersifat
sentralistik ini, kelompok-kelompok pemberontak atau separatis yang dipandang
mengancam keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia harus berhadapan
dengan militer dan ditumpas. Penumpasan menjadi satu kata yang menyiratkan
proses militerisasi pada masa Orde Baru yang sedang berlangsung. Kata ini sangat
biasa dipakai oleh rezim Orde Baru dalam usaha untuk menghadapi berbagai
kelompok yang menentang pemerintah, misalnya penumpasan G 30 S,
penumpasan Gerakan Aceh Merdeka (GAM), penumpasan Organisasi Papua
Merdeka (OPM), dan sebagainya.
1

Perjanjian perdamaian antara Indonesia dan Malaysia memuat tiga perkara penting,
yaitu : (1) Malaysia setuju untuk memberikan peluang kepada rakyat Sabah dan Sarawak untuk
memastikan keinginan mereka tetap menjadi bagian dari Malaysia atau tidak dengan mengadakan
satu pilihan raya yang bebas; (2) kedua pihak setuju untuk mengadakan hubungan diplomatik dan
mengadakan pertukaran perwakilan diplomatik dengan segera; (3)Malaysia dan Indonesia setuju
untuk menghentikan segala bentuk permusuhan diantara mereka. Kunaseelan Muniandy. (1996).
Hubungan Malaysia Indonesia 1957 1970. Kuala Lumpur : Dewan Bahasa dan Pustaka, hlm.
233.

Universitas Indonesia

Pasukan gerilya..., Rucianawati, FIB UI, 2011.

61

Bab empat ini mencoba untuk memaparkan peranan militer Indonesia


dalam menumpas gerakan PGRS/PARAKU. Selain itu juga dilihat kerjasama dari
pihak pemerintah Indonesia dan Malaysia dalam menumpas gerakan yang
dianggap sebagai musuh bersama. Pada bagian akhir dibahas dampak gerakan
serta penumpasan yang dilakukan terhadap masyarakat.

4.1 ABRI dan Masyarakat dalam Penumpasan

Penumpasan gerakan PGRS/PARAKU oleh pihak militer Indonesia


dimulai pada akhir tahun 1966. Ini adalah suatu periode dimana konfrontasi antara
Indonesia dan Malaysia telah selesai, komunis sudah runtuh, dan rezim Orde lama
telah digantikan oleh rezim Orde Baru yang mulai memperkuat kekuasaan dengan
bantuan militer. Pergantian rezim ini pula yang menandai perubahan sikap dan
kebijakan terhadap kelompok PGRS/PARAKU.
Setelah konfrontasi masing-masing negara, baik Indonesia maupun
Malaysia ingin memperkuat diri. Meskipun hubungan mulai baik, kekuasaan di
pusat makin memperlihatkan perhatian pada daerah peri-peri atau perbatasan
karena dianggap bisa melemahkan hegemoni. Dari pengalaman yang pernah
pernah dialami, terjadinya suatu peristiwa di daerah perbatasan, terutama yang
berkaitan dengan masalah politik dan keamanan, dapat berpengaruh pada
hubungan dua negara. Hal ini didasari oleh timbulnya rasa saling curiga, dimana
masing-masing pihak menuduh bahwa gangguan keamanan disebabkan oleh para
penyusup dari negara tetangga. Dalam peristiwa gerakan PGRS/PARAKU,
pemerintah Indonesia maupun Sarawak memberikan perhatian khusus dalam
rangka menangani masalah keamanan di perbatasan.
Pemerintah Indonesia pada masa Orde Lama membantu PGRS/PARAKU
dan bekerja sama ketika konfrontasi dengan Malaysia. Kerja sama tersebut terjadi
karena adanya kesamaan pendapat untuk menentang berdirinya Negara Federasi
Malaysia. Seiring dengan selesainya konfrontasi, kekalahan komunis, dan
berkuasanya rezim Orde Baru, PGRS/PARAKU ditumpas. PGRS/PARAKU yang
semula merupakan kawan, akhirnya menjadi lawan bagi pemerintah.

Universitas Indonesia

Pasukan gerilya..., Rucianawati, FIB UI, 2011.

62

PGRS/PARAKU merupakan gerakan yang berhaluan komunis. Kelompok


komunis biasanya memiliki berbagai cara dalam melakukan perlawanan, misalnya
dengan meyebarkan atau mendoktrin paham komunis terhadap masyarakat,
melakukan

penyusupan-penyusupan,

hingga

melakukan

pemberontakan

bersenjata secara terbuka. Menurut Soemadi, sistem perlawanan kaum komunis


dibagi atas tiga cara, yaitu:
(1)

perlawanan

militer

konvensional

yang

dibarengi

dengan

perlawanan rakyat, misalnya perlawanan komunis di Indocina;


(2)

perlawanan secara gerilya dan bersifat sporadis, dimana pusat-

pusat perlawanan juga ditempatkan di banyak titik, misalnya di Filipina,


Malaya, Thailand, Sarawak, dan Kalimantan Barat;
(3)

perlawanan dengan manuver politik, yang sejalan dengan intensitas

hubungan internasional, antara lain dengan diplomasi, propaganda, dan


spionase. 2

Perlawanan gerombolan komunis PGRS/PARAKU termasuk dalam


kategori

perlawanan

secara

gerilya

dan

bersifat

sporadis.

Pusat-pusat

perlawanannya terletak di berbagai tempat di sepanjang perbatasan Kalimantan


Barat dan Sarawak. Perbatasan ini dipilih sebagai basis perlawanan karena kondisi
perbatasan yang memudahkan relativitas gerak dari kelompok PGRS/PARAKU.
Mereka yang telah menguasai medan perbatasan dengan mudah dapat berpindah
melintasi perbatasan melalui jalan-jalan illegal, untuk mencari tempat yang aman.
Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya, PGRS/PARAKU semula
berkawan dengan pemerintah Orde Lama. Mereka memperkuat pasukan
sukarelawan Dwikora yang dipersiapkan untuk melawan negara federasi Malaya.
Ketika konfrontasi selesai dan pasukan sukarelawan Dwikora dibubarkan, muncul
masalah dengan PGRS/PARAKU. Sebagian besar anggota PGRS/PARAKU tidak
mau menyerahkan persenjataan yang semula mereka dapatkan dari militer
Indonesia. Mereka tetap berjuang untuk membentuk pemerintahan sendiri.
Dalam usaha untuk menangani gerombolan PGRS/PARAKU yang
melarikan diri dan bergerilya di hutan-hutan wilayah perbatasan, pemerintah
2

Soemadi, (1974). Peranan Kalimantan Barat dalam Menghadapi Subversi Komunis


Asia Tenggara. Pontianak: Yayasan Tanjungpura, hal. 42.

Universitas Indonesia

Pasukan gerilya..., Rucianawati, FIB UI, 2011.

63

Indonesia melakukan tindakan penertiban. Melalui Komando Tempur (Kopur)


IV/Mandau dilancarkan Operasi Tertib I dan II, dengan daerah sasaran Gunung
Sentawi, Sempatung, Songkong, Melancau, dan Benua Martinus. Operasi Tertib I
dilaksanakan pada bulan November Desember 1966, sedangkan Operasi Tertib
II dilaksanakan pada bulan Januari Maret 1967. 3 Dalam masa ini tidak ada
pertempuran, karena kegiatan lebih ditujukan untuk menghimbau anggota
PGRS/PARAKU untuk menyerahkan diri dan meletakkan senjata.
Setelah diadakan penertiban, kurang lebih hanya separoh dari anggotaanggota PGRS/PARAKU yang mau berkoordinasi dengan menyerahkan senjata
kepada tentara Indonesia. Selebihnya lagi tetap ingin melanjutkan perjuangan
untuk membentuk negara sendiri. Kekuatan mereka yang tersisa diperkirakan
sebagai berikut:
-

PGRS yang dipimpin oleh Lim a Lin, dengan jumlah lebih kurang 450
orang. Mereka berrmarkas di daerah Gunung Setawi dan Sempatung.

PGRS yang dipimpin oleh Lai Pa Xa, dengan jumlah sekitar 30 orang.
Pasukan ini beroperasi di daerah segitiga Kampung Enteruk.

PARAKU yang dipimpin oleh A Tjong (Jusuf Said), dengan jumlah


sekitar 45 orang, dan berkedudukan di daerah Melancau (Gunung
Toetoop).

PARAKU yang dipimpin oleh Lo Peng, dengan kekuatan lebih kurang 20


orang. Pasukan ini berada di daerah Benua Martinus (Batu Beti). 4

Tindakan pemerintah Indonesia untuk melakukan penertiban tidak


mencapai hasil yang maksimal. Ketika Operasi Tertib II selesai dan terjadi
penarikan Kopur IV/Mandau dari daerah perbatasan, terjadi kekosongan kekuatan
(vacuum of power). Kesempatan ini digunakan oleh PGRS/PARAKU untuk
memperluas pengaruh dan menyusun kembali kekuatan. Pada saat ini tokoh-tokoh
eks PKI Kalimantan Barat yang menjadi buronan pemerintah menggabungkan diri
dengan gerombolan Cina komunis PGRS/PARAKU. Mereka membentuk
pasukan BARA, yang terdiri dari 60 orang dari PGRS dan 90 orang dari PKI.
3

Semdan XII/Tandjungpura (1970). Tandjungpura Berdjuang: Sejarah Kodam


XII/Tandjungpura Kalimantan-Barat, hlm. 243.
4
Risalah Serah Terima Kodam XII/Tandjungpura, 30 Juni 1967.

Universitas Indonesia

Pasukan gerilya..., Rucianawati, FIB UI, 2011.

64

Pasukan ini dipimpin oleh S.A. Sofyan dari PKI dan Hwang dari PGRS. Pusat
kegiatan pasukan ini berada di daerah Bukit Bara di Kabupaten Sambas. 5
Melihat perkembangan PGRS/PARAKU yang semakin kuat dengan
adanya

penggabungan

dari

PKI,

Kodam

XII/Tanjungpura,

sebagai

penanggungjawab masalah keamanan di wilayah Kalimantan Barat mengeluarkan


Surat Keputusan No.Kep-001/02/1967, yang berisi pembentukan Komando
Operasi Sapu Bersih. 6 Selama periode 1967 1970, dilancarkan Operasi Sapu
Bersih (Saber) I, Operasi Saber II, dan Operasi Saber III.
Gerombolan PGRS/PARAKU melakukan perlawanan dengan sistem
gerilya di hutan-hutan. Kekuatan mereka sebenarnya tidak besar, termasuk
anggota dan persenjataannya. Kelebihan mereka adalah penguasaan atas medan di
hutan-hutan di wilayah perbatasan yang sulit dijangkau. Selain itu, kekuatan
mereka juga tidak terkonsentrasi dalam satu wilayah, tetapi terpencar dalam
pasukan-pasukan kecil yang memudahkan mereka untuk berpindah-pindah
tempat. Jadi markas yang mereka buat hanya bersifat sementara dan tidak
menetap.
PGRS/PARAKU mempengaruhi penduduk di daerah perbatasan, terutama
etnis Cina, agar mau membantu perjuangan mereka. Dari etnis-etnis Cina di
Kalimantan Barat inilah mereka memperoleh tambahan tambahan kader-kader
baru. Selain itu mereka juga mendapatkan pasokan logistik dari para
pendukungnya.
Untuk menumpas PGRS/PARAKU yang telah menguasai medan
pertempuran dan mendapat dukungan dari etnis Cina di perbatasan, pemerintah
Indonesia melakukan Operasi Sapu Bersih I, sejak 15 Maret 1967 Juni 1967.
Operasi dipimpin Brigjen Ryacudu sebagai Panglima Kodam XII/Tandjungpura.
Dalam operasi ini pemerintah Indonesia mengerahkan sekitar 1000 pasukan, yang
dibagi dalam beberapa wilayah penyerangan, antara lain di sekitar Gunung
Sentawi dan Sempatung, Kampung Enteruk, Songkong, Melancau, Benua

5
6

Semdan XII/Tandjungpura (1970). Op.Cit., hlm. 245.


Risalah Serah Terima Kodam XII/Tandjungpura, 30 Juni 1967.

Universitas Indonesia

Pasukan gerilya..., Rucianawati, FIB UI, 2011.

65

Martinus, dan Batu Beti. Karena medan pertempuran yang luas dan sulit untuk
dijangkau, maka jumlah pasukan militer Indonesia 1500 personil. 7
Pada

bulan

Juli

1967,

terjadi

pergantian

Panglima

Kodam

XII/Tandjungpura, dari Brigjen Ryacudu ke Brigjen Witono. Dalam menangani


gerakan PGRS/PARAKU, Brigjen Witono melanjutkan kebijakan panglima
sebelumnya, yaitu melakukan Operasi Sapu Bersih II, yang berlangssung sejak
bulan Agustus 1967 - Februari 1969. Operasi ini dibagi dalam tiga tahap, yaitu
Persiapan dan Pengintaian (Agustus - Desember 1967), Penghancuran (Januari
1968 Juni 1968), serta Konsolidasi dan Pembangunan (Juli 1968 Februari
1969).
Pada masa opersi Saber II ini dilakukan, terjadilah demonstrasi
masyarakat Dayak, tepatnya pada tanggal 14 Oktober 1967. Demonstrasi ini
bertujuan untuk mengusir penduduk Cina komunis dari daerah pedalaman.
Sebelumnya, hubungan antara orang Cina dan Dayak terjalin secara harmonis, dan
tidak terjadi konflik yang besar. Hubungan sosial dan ekonomi antara kedua
kelompok ini hancur ketika terjadi demonstrasi masyarakat Dayak, sebuah usaha
intelijen dari

pihak

militer

Indonesia

yang memang bertujuan

untuk

menghancurkan hubungan tersebut. Pihak militer Indonesia memperoleh banyak


keuntungan dengan terjadinya demonstrasi masyarakat Dayak. Peristiwa tersebut
sangat

membantu

keberhasilan

militer

dalam

menumpas

gerombolan

PGRS/PARAKU. Keuntungan-keuntungan yang diperoleh antara lain:


(1) Dihancurkannya basis supplai gerombolan Cina komunis, karena orang
Cina yang merupakan simpatisan atau pendukung PGRS/PARAKU
mengungsi atau menjadi korban dalam peristiwa tersebut.
(2) Hilangnya massa milisi Cina komunis di daerah pedalamam.
(3) Gerakan kelompok pemberontak menjadi lebih lamban karena adanya
penggabungan dari orang-orang Cina komunis yang melarikan diri ke
hutan. Sebagian dari orang-orang Cina yang terusir atau terkena imbas
dari demonstrasi Dayak mengungsi ke kota-kota di sekitar Pontianak,
atau mereka bergabung dengan PGRS/PARAKU. Jumlah pasukan
yang lebih banyak membuat gerombolan ini lebih lamban.
7

Lampiran Risalah Serah Terima Kodam XII/Tandjungpura, 30 Juni 1967, hal.

22.

Universitas Indonesia

Pasukan gerilya..., Rucianawati, FIB UI, 2011.

66

(4) Gerombolan pemberontak terkonsentrasi pada satu lokasi karena jika


berpencar takut menjadi sasaran suku Dayak. Kondisi ini memudahkan
mereka untuk diserang. 8

Walaupun gerombolan PGRS/PARAKU belum dapat dihancurkan, namun


operasi militer pada tahap II ini cukup melemahkan posisi gerombolan tersebut.
Hal ini lebih disebabkan oleh hancurnya jaringan mereka dengan para
pendukungnya di daerah pedalaman sebagai akibat dari demonstrasi masyarakat
Dayak. Demonstrasi ini dapat diartikan pula sebagai salah satu bentuk
keberhasilan militer Indonesia dalam operasi intelijen.
Di Kalimantan Barat ini terdapat dua kelompok etnis yang besar
jumlahnya, yaitu etnis Dayak dan etnis Cina. Baik kelompok PGRS/PARAKU
maupun pemerintah Indonesia menyadari bahwa penguasaan wilayah yang
mencakup masyarakatnya akan sangat mempengaruhi keberhasilan perjuangan
mereka. Setidaknya mereka dapat memperoleh dukungan logistik atau
mendapatkan kader-kader baru. Etnis Cina, sudah hampir dipastikan sebagian
besar mendukung PGRS/PARAKU. Oleh karena itu etnis Dayak kemudian
menjadi sasaran untuk perebutan pengaruh.
Operasi Saber II yang ditunjang dengan peristiwa demonstrasi masyarakat
Dayak, berhasil menghancurkan sebagian besar kekuatan gerombolan PGRSPARAKU. Pada masa ini banyak anggota gerombolan yang tewas atau
menyerahkan diri, termasuk beberapa tokoh atau pimpinan gerombolan, antara
lain Lay Pa Ka, Lay Choon, Liem A Liem, dan Lo Wie. Gerombolan
PGRS/PARAKU ini melemah karena kesulitan untuk mendapatkan bantuan dari
masyarakat di Kalimantan Barat. Sebagai solusinya, mereka melintasi perbatasan
untuk meminta bantuan dari masyarakat Cina di Sarawak, walaupun dengan
resiko harus berhadapan dengan pihak militer Malaysia. 9
Kebijakan pemerintah Indonesia dalam menghadapi PGRS/PARAKU
masih berlanjut dengan Operasi Saber III yang dipimpin oleh Brigjen Soemadi.
Operasi ini berlangsung sejak bulan Maret 1969 Januari 1970. Jumlah pesonel

8
9

Ibid., hal. 274.


Semdam XII/Tandjungpura. (1970). Op.Cit., hlm. 298 299.

Universitas Indonesia

Pasukan gerilya..., Rucianawati, FIB UI, 2011.

67
yng dikerahkan dalam kegiatan ini keseluruhannya mencapai 6500 orang.10
Tujuan utama dalam operasi Saber III ini, adalah penghancuran PGRS/PARAKU,
dan penangkapan para pemimpinnya, seperti Sofyan alias Heru, Yap Chung Ho,
dan Huang. Selain itu operasi ini juga bertujuan untuk membersihkan masyarakat,
aparatur pemerintah, dan ABRI dari unsur-unsur PGRS/PARAKU, G/30 S/PKI,
dan kelompok-kelompok ekstrem lainnya di wilayah perbatasan. 11
Pada awal tahun 1969, menurut catatan Kodam XII/Tanjungpura, jumlah
anggota PGRS/PARAKU yang tersisa kurang lebih 148 orang. Mereka tersebar di
beberapa tempat sebagai berikut:

Penyebaran PGRS/PARAKU pada tahun 1969

Lokasi

Pimpinan

Kekuatan

Batu Hitam

Tja Hwa Sa alias Usman dan 27 orang


Huang Han alias P. Lee

Bara-Bina

S.A. Sofjan

14 orang

Sungkung-Sempatung

Yap Chung Hoo dan Yacob

12 orang

Sontas

Tjong Tet Boon

16 orang

Nanga Badau, Senaning, Sun Fin Peng

41 orang

dan Nanga Kantuk


Engkilu,

Tekelan,

dan Shun Chik Wai alias Lo Peng

38 orang

Benua Martinus

Sisa-sisa gerombolan PGRS/PARAKU melakukan perlawanan dengan


megadakan penyusupan di dalam masyarakat sambil menyusun kekuatan baru.
Kegiatan mereka terpusat di daerah Patna, terutama di sepanjang perbatasan
Gunung Cermai, Sekuyu, Asuangsang. Daerah tersebut merupakan daerah
penebangan kayu dengan banyak pekerja, sehingga penyusupan ke daerah ini sulit

10
11

Dokumen Operasi PGRS/PARAKU Pusjarah ABRI 1969, hal. 2.


Ibid., hal. 4-5.

Universitas Indonesia

Pasukan gerilya..., Rucianawati, FIB UI, 2011.

68

untuk diketahui. Di bagian Sarawak, kegiatan kelompok Cina komunis terpusat di


sekitar komplek Gunung Gading. 12
Selama masa Operasi Saber III, dua pemimpin PGRS/PARAKU tewas.
Yap Chung Ho, Komisaris Politik PGRS, dan Yacob sebagai pimpinan militer
tewas

tertembak

pada

tanggal

25

Maret

1969.

Sisa-sisa

gerombolan

PGRS/PARAKU berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain untuk


menghindari kontak dengan Pasukan Keselamatan Malaysia ataupun dengan TNI.
Mereka memecah pasukan menjadi 3-4 orang untuk di Divisi I, atau 8-10 orang di
daerah Rascom untuk memudahkan pergerakan. Gerombolan PGRS/PARAKU
bergerak dalam unit-unit kecil untuk memudahkan pergerakan dan memudahkan
penyusupan dalam masyarakat. Pasukan PGRS/PARAKU tidak

mengadakan

pertempuran terbuka, kecuali jika bertemu dengan pasukan Indonesia yang kecil
pula. 13
Anggota-anggota PGRS/PARAKU mempunyai siasat dan taktik gerilya
yang baik, antara lain karena pelatihan-pelatihan yang telah mereka dapatkan dari
militer Indonesia pada masa konfrontasi. Mereka juga menguasai medan
pertempuran di perbatasan, sehingga tahu kapan dan dimana harus bersembunyi,
dan dimana bisa menyeberang ke wilayah Sarawak atau sebaliknya. Hal inilah
yang menyebabkan perjuangan mereka berjalan panjang, dan tidak bisa segera
ditumpas oleh pihak militer Indonesia. Mengingat kondisi yang demikian, maka
pihak militer Indonesia tidak hanya melakukan operasi militer dengan
pertempuran, namun juga menerapkan operasi teritorial, yaitu kegiatan
penaklukan tanpa peperangan. Operasi teritorial dilakukan dengan membuat suatu
pendekatan terhadap masyarakat, dan memberikan penerangan, misalnya PGRSPARAKU itu apa, datangnya dari mana, tujuannya apa, dan sebagainya. Pada
akhirnya ditekankan bahwa PGRS-PARAKU bukan warga negara Indonesia, jadi
tidak perlu dibantu. 14

12

Semdan XII/Tandjungpura (1970). Ibid, hal. 303-304.


Api Pantjasila, 19 Oktober 1967.
14
Muhlis Suhaeri.(2008). The Lost Generation - 5. Tulisan berseri dalam Borneo
Tribune,
dimuat
tanggal
14
Februari
2008,
diunduh
dari
http://muhlissuhaeri.blogspot.com/2008/02/lost-generations-5.html, pada tanggal 15-12-2010, jam
21.30.
13

Universitas Indonesia

Pasukan gerilya..., Rucianawati, FIB UI, 2011.

69

Operasi teritorial bertujuan untuk mencegah dan membatasi perluasan


pengaruh PGRS/PARAKU dalam masyarakat. Selain itu kegiatan ini juga
dimaksudkan untuk memisahkan gerombolan PGRS/PARAKU dari sumbersumber bantuan masyarakat. 15 Pihak militer Indonesia melakukan berbagai
pendekatan supaya masyarakat percaya dan membantu operasi yang dilakukan
tentara, dan akhirnya turut serta melawan PGRS/PARAKU. Pendekatan dilakukan
antara lain dengan menyediakan berbagai kebutuhan pokok penduduk, seperti
beras, gula, kopi, tembakau, dan sebagainya. Selain itu juga diadakan pasar
bulanan untuk penduduk. Bagi para pengusaha diberikan kesempatan untuk
menggelar dagangannya di lokasi tertentu secara berkala. 16 Pendekatanpendekatan seperti inilah yang akhirnya mampu merekatkan hubungan antara
masyarakat dan tentara, sehingga kemudian masyarakat membantu perjuangan
tentara dalam menumpas PGRS/PARAKU.
Operasi teritorial untuk menarik simpati masyarakat kepada tentara dalam
istilah militer dilakukan dengan lima P, yaitu pendekatan, pengenalan,
penyatuan, pembinaan, dan pemantapan. Langkah pertama adalah pendekatan.
Setelah ada pendekatan, kemudian ada perkenalan diri, negara, dan rakyat. Setelah
ada kesamaan pandangan melalui pendekatan dan pengenalan, maka dilakukan
integrasi antara tentara dan masyarakat dalam melawan musuh yang sama. Setelah
itu ada pembinaan agar masyarakat tetap berada dalam pengaruh tentara. Langkah
terakhir adalah pemantapan sikap yang sama antara tentara dan masyarakat, untuk
menghancurkan gerombolan PGRS/PARAKU. 17
Setelah ada kedekatan antara tentara dan masyarakat, maka masyarakat
selalu dilibatkan dalam setiap operasi militer yang dilakukan oleh tentara. Mereka
menjadi kurir, penunjuk jalan, mengangkut beras dan perbekalan, menggotong
tentara yang terluka, atau ditugaskan untuk membantu membawa persenjataan.
Mereka tidak memperoleh imbalan apa-apa kecuali makan. Keikutsertaaan
masyarakat dalam setiap operasi penumpasan sebenarnya tidak serta merta
merupakan kerelaan atau kesadaran masyarakat untuk membantu tentara. Pada
masa operasi penumpasan terhadap PGRS/PARAKU ini setiap desa diwajibkan
15

Risalah Serah Terima Kodam XII/Tandungpura, 30 Juni 1967.


Muhlis Suhaeri.(2008). Ibid.
17
Ibid.
16

Universitas Indonesia

Pasukan gerilya..., Rucianawati, FIB UI, 2011.

70

mengirim warganya, bahkan setiap rumah harus ada satu orang menjadi wakil,
untuk membantu tugas tentara. Mereka bukan hanya bertugas sebagai kurir,
penunjuk jalan, atau pembawa barang, tetapi mereka juga harus ikut berperang
menumpas PGRS-PARAKU. Masyarakat ada yang dipersenjatai, namun ada juga
yang membawa senjata tradisional seperti tombak dan mandau. Dalam setiap
operasi militer yang dilakukan, biasanya satu regu tentara yang terdiri dari 11
personel didampingi oleh 8 penduduk lokal. Untuk satu Kompi tentara yang
terdiri dari 100 personel, didampingi sekitar 50 penduduk lokal. Selama masa
operasi militer ini di setiap kampung terdapat posko tentara yang diisi satu peleton
pasukan, yang terdiri dari 26 personel. 18
Tentara Indonesia memanfaatkan para pemuka adat suku Dayak dalam
menumpas PGRS/PARAKU. Para tokoh Dayak, seperti Panglima Burung di
Ketapang, Panglima Tukiman di Sungkung, Panglima Sopa di Bengkayang, dan
tujuh Panglima lainnya diberi pangkat kehormatan atau Pangkat Tituler, setingkat
Letnan. Hal ini ditujukan untuk kebanggaan dalam masyarakat. Mereka juga
mendapat persenjataan dari tentara, bahkan juga mendapatkan gaji. Para panglima
suku Dayak ini ditugaskan untuk merekrut, mengarahkan anak buahnya, dan
bersama tentara memberantas PGRS/PARAKU. Para Panglima direkrut dengan
alasan bahwa PGRS/PARAKU berusaha untuk menguasai wilayah Kalimantan
Barat. Jadi jika PGRS/PARAKU tidak diberantas maka suku Dayak akan berada
dibawah kekuasaan PGRS/PARAKU. 19
Walaupun telah memperoleh bantuan dari masyarakat lokal dalam
melakukan penumpasan terhadap PGRS/PARAKU, namun tentara belum
sepenuhnya bisa mematahkan perjuangan gerombolan tersebut. Anggota
PGRS/PARAKU berpindah-pindah tempat dan keluar masuk di wilayah
perbatasan Kalimantan Barat maupun Sarawak. Pemerintah Indonesia melakukan
tindakan militer untuk menangani masalah ini, demikian juga dari pihak Malaysia.
18

Muhlis Suhaeri.(2008). The Lost Generation - 6. Tulisan berseri dalam Borneo


Tribune,
dimuat
tanggal
15
Februari
2008,
diunduh
dari
http://muhlissuhaeri.blogspot.com/2008/02/lost-generations-5.html, pada tanggal 15-12-2010, jam
21.30.
19
Muhlis Suhaeri.(2008). The Lost Generation - 9. Tulisan berseri dalam Borneo
Tribune,
dimuat
tanggal
18
Februari
2008,
diunduh
dari
http://muhlissuhaeri.blogspot.com/2008/02/lost-generations-9.html, pada tanggal 15-12-2010, jam
21.30.

Universitas Indonesia

Pasukan gerilya..., Rucianawati, FIB UI, 2011.

71

Oleh karena persoalan PGRS/PARAKU ini menjadi persoalan kedua negara,


maka diperlukan kerjasama antara pihak Indonesia dan Malaysia dalam
menumpas gerakan tersebut.

4.2 Kerjasama Pemerintah Indonesia-Malaysia

PGRS/PARAKU yang beraliran komunis menjadi musuh yang harus


ditumpas oleh pihak pemerintah Indonesia maupun Malaysia. Sejak akhir tahun
1966, pemerintah Indonesia telah melakukan tindakan-tindakan penertiban dengan
Operasi Tertib. Tindakan tersebut kemudian dilanjutkan dengan operasi militer
yang berakhir pada tahun 1970. Ketika di Indonesia gencar dilakukan operasioperasi militer, anggota pasukan pemberontak ini banyak yang menyeberang ke
wilayah Sarawak. Mereka ingin melanjutkan perjuangan untuk mendirikan sebuah
republik komunis di Sarawak. 20
Sementara itu pemerintah Malaysia melancarkan tindakan-tindakan militer
untuk menumpas pasukan PGRS/PARAKU yang berada di wilayah Malaysia.
Sejak tahun 1966, pasukan keselamatan Malaysia telah melancarkan operasi untuk
memburu kaum komunis, misalnya Operasi Fiasco di kawasan Lundu dan Lubuk
Antu, dan Operasi Commance. Ketika Indonesia telah menghentikan operasi
militer terhadap PGRS/PARAKU, Malaysia masih melaksanakan beberapa
operasi untuk menumpas kelompok komunis tersebut. Pada bulan Februari 1970
diadakan Operasi Jala Raja, yang berhasil menumpas lebih dari 100 anggota
komunis. Pada tanggal 8 Agustus 1971 juga dilancarkan Operasi Ngayau untuk
menghancurkan kelompok komunis yang berada di distrik ketiga wilayah
Sarawak. dalam operasi ini 85 anggota komunis tewas. 21
Di wilayah Sarawak, pasukan Cina komunis yang oleh pemerintah
setempat disebut sebagai Pertubuhan Komunis Sarawak (PKS) 22 melakukan
strategi perlawanan dengan tiga cara, yaitu:
20

Mohd. Reduan Haji Asli. (1993). Pemberontakan Bersenjata Komunis di Malaysia.


Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka Kementerian Pendidikn Malaysia, hlm. 175-176.
21
Ibid., hal. 189-190.
22
Organisasi komunis Sarawak disebut sebagai Pertubuhan Komunis Sarawak,
sedangkan PGRS/PARAKU merupakan pasukan gerilya dari PKS. (Mohd. Reduan Haji Asli.
Ibid., hlm. 172).

Universitas Indonesia

Pasukan gerilya..., Rucianawati, FIB UI, 2011.

72

Dasar ketentaraan yang agresif.


Dalam perjuangannya PKS lebih bersifat agresif, yaitu dengan
mengadakan

penyerangan-penyerangan,

pembunuhan,

perampasan

senjata, dan sebagainya.


-

Penggunaan barisan bawah tanah.


Barisan bawah tanah berperanan dalam membina dukungan rakyat,
terutama untuk mendapatkan bantuan logistik dan merekrut kader-kader
baru.

Menggerakkan barisan bersatu.


Barisan bersatu merupakan wadah dari organ-organ komunis di Sarawak
yang berperan dalam mempengaruhi atau mengambil hati masyarakat agar
membantu perjuangan mereka. 23

Karena keberadaan PGRS/PARAKU dianggap dapat membahayakan bagi


Malaysia maupun Indonesia, maka diadakan kerjasama untuk menangani masalah
keamanan di perbatasan, terutama yang disebabkan oleh munculnya gerakan
PGRS/PARAKU. Sebagaimana telah disebutkan dalam bagian terdahulu, bahwa
perbatasan merupakan daerah yang relatif aman sebagai basis persembunyian
kelompok pemberontak seperti PGRS/PARAKU, karena keterbatasan jangkauan
dari pemerintah pusat. Gerombolan PGRS/PARAKU dengan mudah dapat
menyeberang secara illegal melewati perbatasan tergantung di daerah mana
mereka merasa terancam, dan di daerah mana mereka merasa aman.
Dalam menumpas gerakan PGRS/PARAKU, pemerintah Indonesia
melakukan kerjasama dengan pemerintah Malaysia. Kerjasama dilakukan antara
Brigade Infanteri 3 Malaysia (3 Briged Infanteri Malaysia 3 BIM) dan Kodam
XII Tanjungpura sejak dilancarkan Operasi Sapu Bersih I (1967). Malaysia
menempatkan pasukannya di daerah Lundu, Sibu, Serian dan Sarawak untuk
mencegah masuknya gerombolan PGRS/PARAKU ke wilayah Malaysia Timur. 24
Untuk mengintensifkan kerjasama penanganan keamanan di daerah
perbatasan, setiap bulan diadakan rapat koordinasi secara bergilir di Sarawak dan
Kalimantan Barat. Pada awal bulan Nopember 1967, tim militer Indonesia yang
23
24

Ibid., hal. 177-184.


Tim Penyusun Buku Sejarah Kodam VI/TPR. (1986).Op.Cit, hal. 38.

Universitas Indonesia

Pasukan gerilya..., Rucianawati, FIB UI, 2011.

73

dipimpin oleh Pangdam XII/Tanjungpura, Brigjen. A.J.N. Witono berada di


Kuching untuk mengadakan pembicaraan dan koordinasi dengan pihak militer
Malaysia mengenai operasi-operasi militer yang sedang dilancarkan di daerah
perbatasan Sarawak dan Kalimantan Barat. Dalam pembicaraan yang dilakukan,
pihak Malaysia telah menyetujui untuk memberikan jatah makanan untuk
pasukan-pasukan Indonesia yang sedang mengadakan operasi di daerah
pedalaman. Selain itu pihak militer Malaysia juga telah menyetujui untuk
memberikan bantuan angkutan helikopter kepada pasukan-pasukan Indonesia di
daerah pedalaman Kalimantan Barat, karena daerah tersebut sulit untuk dimasuki
melalui jalan darat. 25
Selain mendapatkan bantuan bahan-bahan makanan, pihak pemerintah
Indonesia juga sepakat untuk membeli bahan makanan ke Malaysia, sebagai
perbekalan bagi pasukan yang sedang mengadakan operasi militer di perbatasan.
Dalam suatu berita disebutkan bahwa pada awal bulan Desember, pihak militer
Indonesia telah membeli bahan makanan dari Malaysia yang berjumlah 10 ton.
Persediaan bahan makanan tersebut cukup untuk 10.000 orang selama 2 hari.
Bahan makanan tersebut dikirim melalui udara dengan menggunakan payung.
Pasukan-pasukan Malaysia disebutkan telah membantu membungkus jatah-jatah
makanan tersebut. 26
Dari beberapa kali pembicaraan antara pihak militer Indonesia dan
Malaysia, juga terjadi kesepakatan bahwa pihak Malaysia akan memberikan
bantuan dalam evakuasi korban-korban pertempuran dari pasukan-pasukan
Indonesia. 27 Pengiriman bahan makanan maupun bantuan evakuasi korban lebih
mudah dilakukan ke Sarawak, karena sarana transportasinya yang lebih memadai,
dan adanya bantuan helikopter yang disediakan pemerintah Malaysia.
Pada bulan September 1969 diadakan Rapat Koordinasi Kodam XII/TDPR
dengan 3 BIM. Dari laporan polisi keamanan Malaysia Timur diketahui bahwa
suku Dayak (Iban) di Sarawak telah banyak yang terpengaruh komunis. Para
pemimpin masyarakat Iban, seperti Kalong Ningkam, pemimpin suku Iban di
Katibas, dan Djugah pemimpin suku Iban di Song, dipengaruhi oleh SUPP yang
25

Api Pantjasila, 10 Nopember 1967.


Api Pantjasila, 21 Desember 1967.
27
Angkatan Bersenjata, 18 Desember 1967.
26

Universitas Indonesia

Pasukan gerilya..., Rucianawati, FIB UI, 2011.

74

mempropagandakan ketidakpuasan dari suku Iban terhadap pemerintahan


Malaysia. 28
Dengan melaksanakan operasi militer maupun kerjasama menangani
masalah keamanan di perbatasan, sedikit demi sedikit kekuatan gerombolan
PGRS/PARAKU dapat dilemahkan. Selain karena operasi-operasi militer maupun
perlawanan dari masyarakat (suku Dayak), gerombolan PGRS/PARAKU
mengalami pelemahan karena pertentangan-pertentangan di dalam organisasi
tersebut. Pertentangan disebabkan oleh perbedaan pendapat maupun perebutan
komando. Pertentangan ini menyebabkan perpecahan diantara mereka dan
memperlemah posisi mereka sendiri.
Jika di Indonesia kelompok komunis PGRS/PARAKU melemah ketika
terjadi Operasi Sapu Bersih yang didukung oleh demonstrasi masyarakat Dayak,
maka di Sarawak, kelompok komunis ini terus melakukan gerilya dengan
penggabungan kekuatan kelompok mereka dari wilayah Kalimantan Barat.
Setelah pemerintah Malaysia mengadakan beberapa kali operasi militer yang
cukup besar untuk menumpas kelompok ini, maka akhirnya pada tahun 1973,
bersamaan dengan dilaksanakannya Operasi Sri Aman, pemimpin gerakan
PARAKU, Bong Kee Chok beserta 585 anggotanya menyerahkan diri. 29
Perjuangan PGRS/PARAKU dalam periode yang panjang, sejak
munculnya ide pembentukan Negara Federasi Malaysia (1961), pemberontakan
Partai Rakyat di Brunei (1962), konfrontasi Indonesia Malaysia (1963 1966),
dan tekanan-tekanan dari pemerintah Indonesia maupun Malaysia tentunya
membawa dampak yang besar dalam kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat
yang tinggal di kawasan yang bergolak. Bagaimana dampak pemberontakan dan
penumpasan PGRS/PARAKU dibahas pada bagian berikut ini.

4.3 Dampak terhadap Kondisi Sosial dan Ekonomi

Masyarakat yang tinggal di daerah perbatasan adalah kelompok yang


terkena dampak terjadinya suatu peristiwa, misalnya kerusuhan atau gerakan
perlawanan. Dampak peristiwa yang terjadi bisa bermacam-macam, antara lain
28
29

Semdan XII/Tandjungpura (1970).Op.Cit., hal. 320-321.


Ibid., hal. 192.

Universitas Indonesia

Pasukan gerilya..., Rucianawati, FIB UI, 2011.

75

hambataan dalam lalu lintas di perbatasan, gangguan dalam perdagangan,


pencurian/perampokan

oleh

kelompok

pemberontak,

pengungsian,

dan

sebagainya.
Dalam peristiwa gerakan PGRS/PARAKU, masyarakat mengalami dua
akibat sekaligus, yaitu tekanan dari pemberontak maupun akibat dari kebijakan
pemerintah untuk menumpas gerakan PGRS/PARAKU melalui operasi-operasi
militer. Penduduk yang tinggal di daerah yang bergejolak berada dibawah
ancaman kaum pemberontak. Pihak gerombolan seringkali meminta bantuan
logistik secara paksa. Di sisi lain mereka takut terhadap pemerintah jika dicurigai
dan dianggap membantu gerombolan.
Masyarakat yang tinggal di lokasi pemberontakan menjadi rebutan untuk
dipengaruhi pihak pemberontak maupun pemerintah. Gerombolan Cina komunis
yang memberontak berpegang pada ajaran Mao yang menganggap masyarakat
sebagai basis sosial. Dukungan dari masyarakat akan sangat berpengaruh terhadap
keberhasilan pemberontakan. Masyarakat yang terpengaruh oleh kelompok
pemberontak dapat berfungsi sebagai pemasok logistik, sekaligus bersedia sebagai
kader milisi untuk bergabung dalam perjuangan.
Dalam peristiwa pemberontakan dan penumpasan PGRS/PARAKU,
masyarakat yang tinggal di wilayah perbatasan yang sedang bergolak ini banyak
mengalami kerugian dan menjadi korban. Dalam operasi penumpasan, para
penduduk yang membantu tentara sebagai penunjuk jalan harus berjalan di depan.
Oleh karena itu tak mengherankan jika terjadi pertempuran, masyarakat sipil ini
banyak yang menjadi korban karena posisi mereka yang berada di barisan depan.
Jika ada tentara yang tewas dalam pertempuran, jasadnya akan ditandu dan
dibawa ke lapangan yang bisa didarati helikopter, untuk dibawa ke Bengkayang
atau Singkawang. Tetapi jika ada penduduk lokal yang membantu tentara tewas
dalam peperangan, terkadang mayatnya ditinggal begitu saja di hutan. Hal inilah
yang menimbulkan trauma dan sakit hati penduduk terhadap tentara. Perasaan
sakit hati juga diperkuat dengan permintaan paksa yang dilakukan tentara untuk
mendapatkan beras, ayam, dan barang kebutuhan lainnya kepada penduduk
kampung yang mereka lewati. Perasaan trauma dan ketakutan terhadap tentara

Universitas Indonesia

Pasukan gerilya..., Rucianawati, FIB UI, 2011.

76

sangat besar karena tak jarang penduduk yang tidak mau membantu dihukum atau
dipukuli oleh tentara. 30
Dampak

yang

lebih

besar

dari

gerakan

PGRS/PARAKU

dan

penumpasannya terlihat ketika terjadi demonstrasi masyarakat Dayak. Akibat dari


peristiwa tersebut adalah terjadinya pengungsian besar-besaran dari etnis Cina di
daerah

pedalaman

Kalimantan

Barat,

menuju

kota-kota

di

Pontianak,

Singkawang, dan sekitarnya. Dalam peristiwa ini banyak rumah-rumah orang


Cina yang dibakar, dan harta bendanya dirampas. Selain itu juga terjadi
pembunuhan-pembunuhan terhadap etnis Cina yang belum tentu terlibat dalam
gerakan PGRS/PARAKU. Dalam waktu kurang lebih satu bulan diperkirakan
lebih dari 60 ribu penduduk keturunan Cina di pedalaman kabupaten Sambas,
Pontianak, Sanggau, dan Ketapang mengungsi ke kota-kota, dan jumlah mereka
yang tewas diperkirakan lebih dari 250 orang. 31 Para pengungsi tidak hanya
tersebar di wilayah Kalimantan Barat, namun mereka juga tersebar di berbagai
tempat seperti di Jakarta, Singapura, Hongkong, Cina, dan sebagainya. 32
Beberapa daerah yang tidak tahu atau tidak menyangka akan mendapat
serangan dari para demonstran mengalami kerusakan yang parah, misalnya di
Menjalin, Tohok, dan Mandor. Serangan berlangsung dengan tiba-tiba dan sangat
cepat, sehingga menimbulkan banyak korban. Senakin merupakan daerah yang
paling parah, karena para demonstran menyerang dan membakar pasar Senakin.
Etnis Cina yang sebagian besar tinggal di sekitar pasar Senakin sempat melakukan
perlawanan, tetapi sebagian besar dari mereka akhirnya terbunuh. 33
Orang-orang Cina dari pedalaman Kalimantan Barat mengungsi ke
berbagai tempat. Mereka tinggal di tempat saudara, di sekolah-sekolah, di gereja,
30

Muhlis Suhaeri.(2008). The Lost Generation - 8. Tulisan berseri dalam Borneo


Tribune,
dimuat
tanggal
17
Februari
2008,
diunduh
dari
http://muhlissuhaeri.blogspot.com/2008/02/lost-generations-8.html, pada tanggal 15-12-2010, jam
21.30.
31
Tim Penyusun Buku Sejarah Kodam VI/TPR. Op.Cit., hal. 39.
32
Muhlis Suhaeri.(2008). The Lost Generation seri ke-19. Tulisan berseri dalam
Borneo
Tribune,
dimuat
tanggal
28
Februari
2008,
diunduh
dari
http://muhlissuhaeri.blogspot.com/2008/02/lost-generations-19.html, pada tanggal 15-12-2010,
jam 21.30.
33
Muhlis Suhaeri.(2008). The Lost Generation seri ke-11. Tulisan berseri dalam
Borneo
Tribune,
dimuat
tanggal
20
Februari
2008,
diunduh
dari
http://muhlissuhaeri.blogspot.com/2008/02/lost-generations-11.html, pada tanggal 15-12-2010,
jam 21.30.

Universitas Indonesia

Pasukan gerilya..., Rucianawati, FIB UI, 2011.

77

di tempat pengasapan karet, di gudang, atau di tempat yang disediakan oleh


berbagai yayasan atau pemerintah. Mereka tinggal di pengungsian rata-rata
selama 2-3 tahun sebelum direlokasi oleh pemerintah. Selama berada di
pengungsian mereka mengalami berbagai masalah, misalnya kekurangan
persediaan makanan, dan minimnya fasilitas kesehatan. Banyak diantara para
pengungsi yang meninggal selama di penampungan, bahkan jumlahnya mencapai
ribuan. Mereka meninggal karena kelaparan dan berbagai penyakit. Walaupun
telah ada perhatian dan bantuan dari Palang Merah Internasional, badan-badan
PBB, dan kelompok Kristen, kondisi para pengungsi tetap memprihatinkan.
Beberapa organisasi telah bekerjasama untuk mendirikan dapur umum dengan
bahan-bahan hasil sumbangan dari daerah setempat maupun dari luar negeri, dan
dengan dukungan dari isteri-issteri pejabat setempat. 34
Peristiwa pengungsian orang-orang Cina sebagai akibat demonstrasi
masyarakat Dayak ini membawa dampak yang panjang. Sebagian besar dari
penduduk Cina yang semula memegang kendali ekonomi di daerah pedalaman
kehilangan harta bendanya. Sebagai akibatnya banyak diantara mereka yang jatuh
miskin, bahkan menjadi pengemis. Pada masa ini juga banyak anak-anak dari para
pengungsi yang dijual, dititipkan, atau diberikan pada orang lain semasa orang
tuanya melakukan perjalanan untuk mengungsi. 35 Hal ini dapat dimengerti karena
jika mereka mengungsi dengan membawa anak kecil, maka akan merepotkan
dalam perjalanan. Selain itu para orang tua ini juga khawatir jika tidak mampu
merawat anak tersebut, sehingga akhirnya dijual atau diberikan kepada orang lain
agar bisa diselamatkan.
Kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat terutama di pedalaman
Kalimantan Barat sangat terganggu dengan demonstrasi orang Dayak dan
pengungsian orang-orang Cina. Banyak rumah-rumah orang Cina yang dibakar,
dan harta benda mereka dirampas. Pusat-pusat kegiatan ekonomi, seperti pasar
dan perkebunan-perkebunan lada yang semula digerakkan oleh orang Cina
terbengkalai karena terjadinya pengungsian orang-orang Cina. Demonstrasi
masyarakat Dayak yang semula ditujukan untuk mengusir etnis Cina di
34

Mary Somers Heidhues. (2008). Penambang Emas, Petani, dan Pedagang di Distrik
Tionghoa Kalimantan Barat. Jakarta: Yayasan Nabil, hlm. 277.
35
Suluh Marhaen, 1 Desember 1967

Universitas Indonesia

Pasukan gerilya..., Rucianawati, FIB UI, 2011.

78

pedalaman yang terlibat dalam gerakan PGRS/PARAKU telah berubah arah. Para
demonstran seolah membabi buta dengan menyerang pusat-pusat kegiatan
perekonomian, misalnya di kota kecamatan Tebas, Kabupaten Sambas. Padahal
tempat tersebut merupakan kota pertanian utama dan gudang padi Kabupaten
Sambas. Daerah Singkawang dan sekitarnya yang menjadi penghasil karet juga
ditinggalkan oleh para penghuninya yang sebagian besar etnis Cina. Gudanggudang pengasapan karet dan penggilingan karet tidak beroperasi. Sebagai
akibatnya sektor perekonomian, terutama ekspor, mengalami hambatan yang
besar. 36
Dalam salah satu berita surat kabar pada waktu itu disebutkan bahwa
rakyat di Nanga Kantuk yang berdekatan dengan perbatasan Kalimantan Barat
dan Sarawak seolah-olah terkurung, sehingga mereka menemui kesulitan untuk
mendapatkan bahan-bahan pokok yang mereka perlukan, terutama garam, minyak
tanah dan tembakau. Kebutuhan beras masih bisa dipenuhi dari hasil tanaman padi
yang mereka usahakan. Selama berhari-hari ada diantara anggota masyarakat yang
tidak bisa makan nasi karena tidak warung yang buka. Karena tidak bisa
memperoleh beras, akhirnya mereka hanya makan ubi. 37
Melihat kondisi tersebut, pemerintah melalui Pangdam XII/Tandjungpura,
Brigjen Soemadi, memberikan modal kepada para panglima suku Dayak yang
dianggap berjasa, untuk mendistribusikan barang di pedalaman. Namun karena
tidak ada bakat dan keahlian untuk berdagang, usaha tersebut tidak berjalan.
Gubernur Kalimantan Barat pada waktu itu, Kadarusno, juga pernah melakukan
usaha untuk memberikan modal kepada para panglima, untuk menyuplai barang
di pedalaman, tetapi usaha tersebut tidak berhasil. 38
Untuk mengatasi masalah yang muncul, terutama masalah pengungsian
orang-orang Cina sebagai akibat dari demonstrasi masyarakat Dayak, pemerintah
mengadakan resettlement ke tempat-tempat pertanian yang baru. Resettlement
dilakukan dengan sistem berpencar untuk menghidari munculnya kekuatan36

Ibid
Api Pantjasila, 6 Nopember 1967.
38
Muhlis Suhaeri.(2008). The Lost Generation - 19. Tulisan berseri dalam Borneo
Tribune,
dimuat
tanggal
28
Februari
2008,
diunduh
dari
http://muhlissuhaeri.blogspot.com/2008/02/lost-generations-19.html, pada tanggal 15-12-2010,
jam 21.30.
37

Universitas Indonesia

Pasukan gerilya..., Rucianawati, FIB UI, 2011.

79

kekuatan baru yang bisa merugikan pemerintah. Mereka ditempatkan di suatu


pulau delta dekat Pontianak. Selain itu, pemerintah pusat juga menginstruksikan
dibentuknya Task force atau tim khusus dari Departemen Perdagangan untuk
mengusahakan kegiatan ekonomi dan mengatasi persoalan ekonomi. 39 Hal ini
disebabkan tersendatnya kegiatan perekonomian di wilayah Kalimantan Barat,
karena terjadinya pengungsian orang-orang Cina dari daerah pedalaman.
Pembentukan tim khusus tersebut diharapkan dapat membantu memlihkan kondisi
perekonomian di Kalimantan Barat, karena wilayah ini mempunyai komoditaskomoditas penting, seperti karet dan lada, yang menunjang ekspor dalam negeri.
Untuk mengatasi masalah pengungsian, pada tahun 1969, pemerintah
mulai merelokasi para pengungsi ke tempat yang telah dipersiapkan, yaitu di
Kalimas, Punggur, Kabupaten Kubu Raya. Setiap pengungsi diberi lahan selebar
25 depa, 40 diberi rumah kayu berukuran 6 kali 4 meter, dan mendapatkan alat-alat
pertanian seperti cangkul, sabit, dan pupuk. Mereka juga mendapatkan jatah
makan selama setahun. Setiap orang mendapatkan secangkir beras per hari. Dalam
relokasi pertama di Kalimas ini dipindahkan 30 KK. Relokasi pertama diikuti
dengan relokasi-relokasi berikutnya. Selain di Kalimas, relokasi juga dilakukan di
Parit Baru, daerah Siantan Tengah. Di lokasi ini pemerintah membuat 500 rumah
untuk para pengungsi. 41
Para pengungsi yang jumlahnya diperkirakan lebih dari 60 ribu orang tidak
semuanya mengikuti program relokasi pemerintah. Sekitar setengah dari jumlah
pengungsi tersebut tersebar dan bermukim di kota-kota besar. Sebagian dari
mereka juga mendapat bantuan perumahan dari para pengusaha dan organisasi
masyarakat Cina. Selain itu, sejak tahun 1970 di Kalimantan Barat juga mulai
dibuka industri-industri besar yang dapat menampung tenaga kerja dari para
pengungsi, sebagai contoh industri perkayuan di Kubu. 42
Setelah selesainya masa konfrontasi, dan seiring dengan usaha untuk
membangun kerjasama antara pemerintah Indonesia dan Malaysia, setahap demi
39

Angkatan Bersendjata, 14 Desember 1967.


Satu depa setara dengan 1,5 meter.
41
Muhlis Suhaeri.(2008). The Lost Generation - 12. Tulisan berseri dalam Borneo
Tribune,
dimuat
tanggal
21
Februari
2008,
diunduh
dari
http://muhlissuhaeri.blogspot.com/2008/02/lost-generations-12.html, pada tanggal 15-12-2010,
jam 21.30.
42
Mary Somers Heidhues. (2008). Op.Cit., hlm. 278.
40

Universitas Indonesia

Pasukan gerilya..., Rucianawati, FIB UI, 2011.

80

setahap permasalahan PGRS/PARAKU dapat diatasi. Namun demikian,


pemberontakan dan penumpasan yang dilakukan masih menyisakan permasalahan
yang tidak mudah untuk segera diselesaikan. Dari peristiwa demonstrasi
masyarakat Dayak, puluhan ribu etnis Cina mengungsi dari daerah pedalaman
Kalimantan Barat. Berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun mereka hidup di
pengungsian dengan kondisi yang memprihatinkan. Hubungan antara etnis Cina
dan Dayak yang sebelumnya cukup harmonis menjadi renggang, dan perlu waktu
yang cukup lama untuk bisa saling memaafkan dan menghilangkan trauma yang
dirasakan. Selain itu roda perekonomian yang telah berjalan baik secara alamiah
menjadi tersendat, dan bahkan terhenti. Untuk menghidupkan kembali diperlukan
usaha keras dari berbagai pihak. Inilah dampak panjang dari sebuah peristiwa
pemberontakan dan penumpasan, yang menimbulkan kesengsaraan.

Universitas Indonesia

Pasukan gerilya..., Rucianawati, FIB UI, 2011.

81

Bab 5
Kesimpulan
Persoalan perbatasan bukan persoalan sejarah saja, tetapi menjadi
persoalan terus menerus antara dua negara yang saling berbatasan. Perbatasan
biasanya menjadi daerah yang kurang mendapat perhatian dari pihak penguasa,
sehingga perbatasan ini menjadi tempat yang relatif aman untuk berkembangnya
berbagai kegiatan illegal seperti penyelundupan, migrasi illegal, maupun sebagai
basis kegiatan kelompok yang menentang pemerintah pusat. Pada periode 1963
1970 di wilayah perbatasan Kalimantan Barat dan Sarawak terjadi gejolak, karena
terjadinya

konfrontasi

dan

gerakan

komunis.

Inilah

yang

kemudian

melatarbelakangi munculnya gerakan PGRS/PARAKU.


Gerakan PGRS/PARAKU muncul sebagai hasil pertemuan beberapa pihak
yang pada dasarnya menolak penggabungan Sabah, Sarawak, Brunei, dan
Singapura ke dalam Negara Persekutuan Malaysia. Tokoh-tokoh maupun anggota
TNKU dan SAYA, melarikan diri atau berpindah dari wilayah Brunei dan
Sarawak ke wilayah Kalimantan Barat karena tekanan pemerintah setempat. Di
Kalimantan Barat mereka mendapat bantuan dari pihak pemerintah Indonesia
yang sedang berkonfrontasi dengan Malaysia. Kelompok PGRS/PARAKU ini
membantu pihak Indonesia dalam menghadapi Malaysia dan bergabung sebagai
pasukan sukarelawan Dwikora
Seiring dengan selesainya masa konfrontasi dan pergantian rezim
pemerintahan di Indonesia dari Orde Lama ke Orde Baru, kelompok
PGRS/PARAKU yang beraliran komunis mendapat tekanan dari pemerntah
Indonesia maupun Malaysia. Rezim Orde Baru menyatakan organisasi komunis
sebagai organisasi terlarang, dan melarang penyebaran faham komunis. Hal inilah
yang memicu perlawanan PGRS/PARAKU di perbatasan Kalimantan Barat dan
Sarawak. Mereka memilih wilayah perbatasan sebagai basis operasinya karena
beberapa alasan. Jarak daerah perbatasan yang jauh dari pusat kekuasaan
menjadikan kawasan ini kurang mendapat perhatian dari pemerintah pusat.

Universitas Indonesia

Pasukan gerilya..., Rucianawati, FIB UI, 2011.

82

Di perbatasan Kalimantan Barat dan Sarawak, banyak terdapat tempattempat perlintasan yang illegal dan tanpa penjagaan, sehingga memudahkan
anggota PGRS/PARAKU untuk

berpindah-pindah

tempat,

dari

wilayah

Kalimantan Barat ke Sarawak dan sebaliknya, dimana mereka bisa menemukan


tempat yang dianggap lebih aman. Selain itu, banyaknya etnis Cina yang tinggal
di kawasan perbatasan baik di wilayah Sarawak maupun Kalimantan Barat
memudahkan gerak dari kelompok PGRS/PARAKU. Mereka dengan mudah
dapat berbaur dan mendapat bantuan dari etnis Cina di perbatasan. Faktor-faktor
tersebut telah mendukung gerakan PGRS/PARAKU untuk bisa bertahan lama.
Munculnya gerakan PGRS-PARAKU, melibatkan keberadaan kaum
komunis. Hal ini disebabkan banyaknya etnis Cina yang tinggal di perbatasan, dan
sebagian besar dari mereka masih berorientasi ke negara asalnya. Diantara etnis
Cina yang tinggal di kawasan Kalimantan Barat maupun di Sarawak, ada
kerjasama dan ikatan yang erat, apalagi setelah ada penyusupan dari kelompok
komunis.
Gerakan PGRS/PARAKU ditumpas oleh pemerintah Indonesia maupun
Malaysia melalui operasi-operasi militer. Masing-masing pihak melakukan
operasi militer di perbatasan untuk menumpas kelompok Cina komunis tersebut.
Selain itu juga ada kerjasama diantara kedua negara dalam menangani gerakan
komunis yang dianggap sebagai musuh bersama. Penumpasan gerombolan ini
memerlukan waktu yang cukup lama. Hal ini disebabkan oleh beberapa hal, antara
lain kondisi geografis sebagai daerah dengan hutan tropis yang lebat sehingga
mudah untuk menjadi tempat persembunyian kelompok pemberontak, adanya
bantuan dari etnis Cina yang tinggal di tinggal di Kalimantan Barat maupun
Sarawak, dan minimnya penjagaan di daerah perbatasan sehingga memudahkan
lalu lintas penduduk di kedua daerah.
Peristiwa pemberontakan PGRS-PARAKU membawa perubahan terhadap
sikap masyarakat yang tinggal di daerah yang bergejolak. Mereka berada dalam
posisi yang sulit, ketika harus berhadapan dengan pihak pemberontak maupun
pihak pemerintah (tentara). Kedua pihak terus memperebutkan dukungan
penduduk. Kebingungan sikap masyarakat berujung pada terjadinya demonstrasi

Universitas Indonesia

Pasukan gerilya..., Rucianawati, FIB UI, 2011.

83

masyarakat Dayak terhadap etnis Cina komunis, yang berarti retaknya hubungan
dari kedua kelompok etnis.
Kemunculan

gerakan

PGRS/PARAKU

dan

operasi-operasi

penumpasannya, serta peristiwa yang berkaitan seperti demonstrasi masyarakat


Dayak, membawa dampak yang luas terhadap masyarakat di perbatasan.
Hubungan etnis Dayak dan Cina yang telah lama berjalan dengan baik pada
akhirnya pecah dengan sikap permusuhan diantara keduaa kelompok etnis
tersebut. Demonstrasi ini sendiri membawa dampak panjang pada gelombang
pengungsian etnis-etnis Cina dari pedalaman ke daerah perkotaan. Perkebunanperkebunan dan usaha perdagangan yang mereka rintis di daerah pedalaman
akhirnya terbengkalai.
Dengan mengkaji kemunculan dan penumpasan gerakan PGRS/PARAKU
di daerah perbatasan Indonesia dan Malaysia ini diharapkan memberi manfaat
kepada para pengambil kebijakan bahwa persoalan batas negara secara
administratif, persamaan etnis dan budaya, merupakan persoalan yang tumpang
tindih, tidak bisa dipisahkan begitu saja. Persoalan perbatasan ini bukan hanya
menjadi persoalan sejarah, tetapi juga menjadi persoalan masa kini dan masa yang
akan datang.

Universitas Indonesia

Pasukan gerilya..., Rucianawati, FIB UI, 2011.

84

Daftar Pustaka
Arsip dan Dokumen:
Dokumen Operasi PGRS/PARAKU Pusjarah ABRI 1969
Dokumen Operasi PGRS/PARAKU Pusjarah ABRI 1974-1981
Departemen Penerangan R.I. (1963). Politik Kita adalah Politik Konfrontasi.
Salinan Naskah Amanat Presiden Sukarno pada Rapat Raksasa Front
Nasional Mengganjang Malaysia di Istana Olahraga Gelora Bung
Karno, Senayan, Jakarta, 27 Juli 1963.
Laporan Perkembangan tentang Situasi Daerah Serawak. Komando Wilayah
Pertahanan I Kodam XII/Tanjungpura, April 1978.
Risalah Serah Terima Kodam XII/Tandjungpura, 30 Juni 1967

Koran:
Angkatan Bersendjata, Oktober Desember 1967
Api Pantjasila, Oktober Deember 1967
Bintang Timur, 26 Desember 1962
Suara Merdeka, 11 Desember 1962
Suluh Marhaen, Oktober Desember 1967

Buku dan artikel:


Adil, Haji Buyong. (1981). Sejarah Sarawak. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan
Pustaka Kementerian Pelajaran Malaysia.
Andaya, Barbara Watson dan Leonard Andaya. (1982). A History of Malaysia.
London: Macmillan Press Ltd.
ANRI.(1973). Ikhtisar Keadaan Politik Hindia-Belanda tahun 1839 1848.
Jakarta: Arsip Nasional Republik Indonesia.
Ardhana, I Ketut; Maunati, Yekti; Zaenuddin, Dundin dan Purwaningsih, Sri
Sunarti. (2007). Dinamika Etnisitas dan Hubungan Ekonomi pada

Universitas Indonesia

Pasukan gerilya..., Rucianawati, FIB UI, 2011.

85

Wilayah Perbatasan di Kalimantan Timur: Studi Kasus di Wilayah


Krayan dan Long Pasia. Jakarta: Pusat Penelitian Sumberdaya Regional
(PSDR-LIPI).
Burke, Peter. (1998). The European Renaissnce: Centres and Peripheries.
Oxford: Blackwell Publishers Ltd.
Ensiklopedi Indonesia Vol. 4. (1983). Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve.
Gottschalk, Louis. (1985). Mengerti Sejarah. Terj. Nugroho Notosusanto. Jakarta:
UI-Press.
Haba, Johanis. (2010). Etnisitas, Identitas, dan Nasionalisme di Wilayah
Perbatasan Indonesia. Orasi Pengukuhan Profesor Riset Bidang
Antropologi. Jakarta: LIPI.
Hanna, Willard A. (1964). The Formation of Malaysia: New Factor in World
Politics. New York: American Universities Field Staff, Inc.
Heidhues, Mary Somers. (2008). Penambang Emas, Petani, dan Pedagang di
Distrik Tionghoa Kalimantan Barat. Jakarta: Yayasan Nabil.
Ishikawa, Noboru. (2010). Between Frontiers: Nation and Identity in a Southeast
Asian Borderland. Singapura: NUS Press.
Karim, Mulyawan. Di Bawah Dua Bangsa Penjajah. Kompas, 14 Agustus 2009.
Kartodirdjo, Sartono. (1992). Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah.
(Jakarta: PT.Gramedia).
King, Victor T. (1993). The Peoples of Borneo. Oxford: Blackwell Publisher.
Mullen, Vernon. The Story of Sarawak. Kuala Lumpur: Oxford University Press,
1960.
Muniandy, Kunaseelan. (1996). Hubungan Malaysia Indonesia 1957 1970.
Kuala Lumpur : Dewan Bahasa dan Pustaka.
Nainggolan, Poltak Partogi. (2004). Batas Wilayah dan Situasi Perbatasan
Indonesia: Ancaman terhadap Integritas Teritorial. Jakarta: Tiga Putra
Utama.
Nasution, A.H. (1984). Pokok-pokok Gerilya: dan Pertahanan Republik Indonesia
di Masa yang lalu dan yang akan datang. Bandung: Angkasa.
Noor Bin Abdullah, Mohd. (1976). Kemasukan Sabah dan Sarawak ke Dalam
Persekutuan Malaysia. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka
Kementerian Pelajaran Malaysia.

Universitas Indonesia

Pasukan gerilya..., Rucianawati, FIB UI, 2011.

86

Osman, Mohd. Taib dan Yusoff, Wan Kadir. (1987). Kajian Budaya dan
Masyarakat di Malaysia. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka
Kementerian Pelajaran Malaysia.
Osman, Sabihah. (2009). Pembangunan Politik Sarawak: Satu Penelusuran
Sejarah, dalam Nidzam Sulaiman dan Zaini Othman (eds.). Pilihan Raya
dan Pembangunan Politik Sarawak. Sabah: UMS.
Panggabean, M. (1993). Berjuang dan Mengabdi. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
PSDR-LIPI. (2002). Pariwisata Etnik/Budaya dan Identitas Komunitas Lokal di
Malaysia. Jakarta: Pusat Penelitian Sumberdaya Regional LIPI.
Rahardjo, Iman Toto K. dan Suko Sudarso (eds.). (2010). Bung Karno: Masalah
Pertahanan Keamanan. Jakarta: Grasindo.
Reduan Haji Asli, Mohd. (1993). Pemberontakan Bersenjata Komunis di
Malaysia. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka Kementerian
Pendidikan Malaysia.
Riwut, Tjilik. (1979). Kalimantan Membangun. Palangka Raya: Mendagri.
Semdan XII/Tandjungpura (1970). Tandjungpura Berdjuang: Sejarah Kodam
XII/Tandjungpura Kalimantan-Barat.
Soemadi. (1974). Peranan Kalimantan Barat dalam Menghadapi Subversi
Komunis Asia Tenggara. Pontianak: Yayasan Tanjungpura.
Suhaeri, Muhlis. (2008). The Lost Generation, seri 1 - 19. Tulisan berseri dalam
Borneo Tribune, dimuat tanggal 14 Februari 2008, diunduh dari
http://muhlissuhaeri.blogspot.com/2008/02/lost-generations.html,
pada
tanggal 15-12-2010, jam 21.30.
Suryansyah, Gst. (1994). Masalah Daerah Perbatasan Indonesia Malaysia di
Kalimantan Barat: antara Pertimbangan Ekonomi dan Keamanan.
Yogyakarta: Tesis Program Pasca Sarjana Universitas Gadjah Mada.
Syaffie, Fauziah dan Ruslan Zainuddin. (2001). Sejarah Malaysia. Selangor: Fajar
Baki Sdn. Bhd.
Tarling, Nicholas (ed.). (1999). The Cambridge History of Southeast Asia.
Volume three, from c. 1800 to the 1930s. Cambridge university Press.
Team Penyusun Monografi Daerah Kalimantan Barat. (1976). Monografi Daerah
Kalimantan Barat. Jakarta: Proyek Pengembangan Media Kebudayaan
Direktorat Jenderal Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
RI.

Universitas Indonesia

Pasukan gerilya..., Rucianawati, FIB UI, 2011.

87

Tim Penyusun Buku Sejarah Kodam VI/TPR. (1986). Tiga Puluh Enam Tahun
Komando Daerah Militer VI Tanjungpura, 20 Juli 1956 1986.
Balikpapan.
Tirtosudarmo, Riwanto dan Haba, John (ed.). (2005). Dari Entikong Sampai
Nunukan: Dinamika Daerah Perbatasan Kalimantan Malaysia Timur
(Serawak dan Sabah). Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
Tobing, K. (1955). Kalimantan-Barat. Bandung: Penerbit N.V. Masa Baru.

Victor Muhamad, Simela. (2004). Batas Wilayah Negara dalam Perspektif


Hukum Internasional, dalam Poltak Partogi Nainggolan (ed.). Batas
Wilayah dan Situasi Perbatasan Indonesia: Ancaman terhadap Integritas
Teritorial. Jakarta: Tiga Putra Utama.

Universitas Indonesia

Pasukan gerilya..., Rucianawati, FIB UI, 2011.

Anda mungkin juga menyukai