TESIS
NAMA : RUCIANAWATI
NPM : 0706182406
UNIVERSITAS INDONESIA
FAKULTAS ILMU PENGETAHUAN BUDAYA
PROGRAM PASCASARJANA PROGRAM STUDI SEJARAH
DEPOK
JANUARI 2011
TESIS
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Humaniora
NAMA : RUCIANAWATI
NPM : 0706182406
UNIVERSITAS INDONESIA
FAKULTAS ILMU PENGETAHUAN BUDAYA
PROGRAM PASCASARJANA PROGRAM STUDI SEJARAH
DEPOK
JANUARI 2011
i
KATA PENGANTAR
Puji syukur saya panjatkan ke hadirat Allah Yang Maha Kuasa, yang telah
melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga saya dapat menyelesaikan tesis
ini. Hanya atas kehendak-Nya, saya diberi ketabahan dan kekuatan untuk
menyelesaikan tesis ini. Penulisan tesis ini dilakukan dalam rangka memenuhi
salah satu syarat untuk menyelesaikan Program Pascasarjana Ilmu Sejarah pada
Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia. Dengan segala
hambatan dan keterbatasan, saya menyadari bahwa tanpa bantuan dan bimbingan
dari berbagai pihak sangat sulit bagi saya untuk menyelesaikan tesis ini. Oleh
karena itu, saya mengucapkan terimakasih yang sedalam-dalamnya kepada:
(1) Prof. Dr. Susanto Zuhdi, selaku dosen pembimbing yang telah
menyediakan waktu, tenaga, dan pikiran untuk mengarahkan saya dalam
penyusunan tesis ini.
(2) Prof. Dr. I Ketut Surajaya, selaku Penasehat Akademik yang selalu
mengarahkan dan memberikan jalan keluar yang sangat bijaksana atas
segala persoalan yang saya alami selama masa studi.
(3) Dr. Priyanto Wibowo, selaku Ketua Departemen Sejarah UI atas segala
kebijakannya dalam membantu menyelesaikan persoalan saya.
(4) Tri Wahyuning Mudaryanti, M.Si, selaku Sekretaris Departemen Sejarah
UI yang selalu ramah dan sangat bersahabat dalam memberikan nasehat
kepada saya.
(5) Prof. Dr. M.I. Djoko Marihandono sebagai penguji yang telah memberikan
banyak sekali masukan dan inspirasi, sehingga sangat membantu saya
dalam proses penyelesaian tesis ini.
(6) Dr. Mohammad Iskandar sebagai penguji yang sangat obyektif dalam
memberikan kritik dan saran.
(7) Dr. Erwiza Erman, yang telah meluangkan waktu di sela-sela
kesibukannya yang luar biasa, untuk berdiskusi dan memberikan masukan
untuk perbaikan tesis ini.
(8) Suribidari, teman diskusi yang selalu memberikan semangat dan dorongan.
v
Akhir kata, semoga Allah Yang Maha Esa berkenan membalas segala
kebaikan semua pihak yang telah membantu saya. Saya berharap, semoga tesis ini
dapat bermanfaat untuk pengembangan ilmu pengetahuan.
Penulis
vi
ABSTRAK
Nama
: Rucianawati
Program Studi : Sejarah
Judul
: Pasukan Gerilya Rakyat Sarawak/Pasukan Rakyat Kalimantan
Utara (PGRS/PARAKU): Kemunculan dan Penumpasannya
1963-1970
Tesis ini membahas tentang kemunculan dan penumpasan gerakan
PGRS/PARAKU di daerah perbatasan Kalimantan Barat dan Sarawak pada
periode 1963 - 1970. Secara deskriptif naratif, tesis ini memaparkan awal mula
proses pembentukan PGRS/PARAKU di daerah perbatasan, apa saja aktivitasnya,
dan bagaimana sikap dan tindakan pemerintah, maupun dampaknya terhadap
masyarakat. Dari hasil penelitian dalam tesis ini dapat diketahui bahwa gerakan
PGRS/PARAKU semula mendapat dukungan dari pemerintah Indonesia dan
membantu Indonesia ketika konfrontasi dengan Malaysia. Namun demikian,
ketika terjadi pergantian rezim penguasa dari Orde Lama ke Orde Baru gerakan
PGRS/PARAKU yang berhaluan komunis kemudian ditumpas.
Kata Kunci:
PGRS/PARAKU, konfrontasi, perbatasan
viii
ABSTRACT
Name
: Rucianawati
Study Program : History
Title
: Pasukan Gerilya Rakyat Sarawak/Pasukan Rakyat Kalimantan
Utara (PGRS/PARAKU): Kemunculan dan Penumpasannya
1963-1970
This thesis discusses the emergence and extermination of PGRS/PARAKU in
border areas of West Kalimantan and Sarawak in the period 1963 to 1970.
Chronologically, this thesis describes the beginning of the formation of
PGRS/PARAKU on the border and their activities. Beside that, it also describes
the government actions and policies in facing PGRS/PARAKU, and the impact of
this movement to the society. From the results of this research, it can be seen that
the Indonesian government (Old Order) support PGRS/PARAKU. However,
when the regime changes from the Old Order to the New Order, PGRS/PARAKU,
as a communists movement was crushed.
Keywords:
PGRS/PARAKU, confrontation, border
ix
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ................................................................................................i
SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME ..............................................ii
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS ..................................................iii
HALAMAN PENGESAHAN ...............................................................................iv
KATA PENGANTAR ............................................................................................v
LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH .............................vii
ABSTRAK ...........................................................................................................viii
DAFTAR ISI ..........................................................................................................x
DAFTAR SINGKATAN .......................................................................................xi
Bab 1
Pendahuluan .................................................................................1
1.1 Latar Belakang Masalah ...........................................................1
1.2 Permasalahan ............................................................................4
1.3 Tujuan Penelitian ......................................................................5
1.4 Kerangka Konseptual................................................................6
1.5 Tinjauan Pustaka ......................................................................9
1.6 Metode dan Sumber Penelitian ...............................................12
1.7 Sistematika Penulisan .............................................................14
Bab 2
Bab 3
Gerakan PGRS/PARAKU...........................................................37
3.1 Kemunculan PGRS/PARAKU dan aktivitasnya.....................37
3.2 Sikap dan Tindakan Pemerintah .............................................47
3.3 Sikap Masyarakat: Demonstrasi Masyarakat Dayak...............51
Bab 4
Bab 5
Kesimpulan ..................................................................................81
DAFTAR SINGKATAN
ABRI
BARJASA
BIM
DIKB
GAM
GTK
KOGA
KOLAGA
Kosatgas
MCA
MIC
NKU
OPM
PANAS
PARAKU
Permesta
PESAKA
PGRS
PKI
PKS
PRRI
SABER
SAYA
SCA
SCIO
SNAP
SUPP
TC
TNKU
UMNO
xi
Bab 1
Pendahuluan
Dalam sejarah hubungan Malaysia dan Indonesia, sepanjang tahun 1950an sampai 1970-an merupakan periode yang penuh dengan gejolak politik.
Malaysia memperoleh kemerdekaan dari pemerintah kolonial Inggris pada tahun
1957. Proses untuk merdeka tersebut didahului dengan diadakannya pemilihan
umum pada tahun 1955. Dalam pemilihan umum ini, aliansi dari United Malay
National Organization (UMNO), Malayan Chinese Association (MCA), dan
Malayan Indian Congress (MIC) memenangkan pemilihan itu. Mereka kemudian
meminta kepada pihak pemerintah kolonial Inggris untuk memberikan
kemerdekaan kepada Malaya secepatnya. Pada tanggal 31 Agustus 1957, Negara
Federasi Malaya resmi berdiri sebagai negara yang merdeka. 1 Negara federal
tersebut adalah gabungan dari tiga model pemerintahan Inggris di tanah
Semenanjung, yaitu Federated Malay State, Unfederated Malay State, dan Strait
Settlement. 2
Selama proses perjuangan Negara Federasi Malaya sampai memperoleh
kemerdekaan, North Borneo (Sabah), Sarawak, dan Brunei merupakan kawasan
yang berdiri di luar Negara Malaya. Wilayah tersebut berada di bawah protektorat
Inggris. Kawasan ini mulai bergolak ketika Perdana Menteri Negara Federasi
Malaya, Tengku Abdurachman, mencetuskan gagasan untuk membentuk Negara
Federasi Malaysia Raya, dengan menggabungkan Negara Federasi Malaya dengan
1
Negara Federasi Malaya sebenarnya telah dibentuk oleh pemerintah kolonial Inggris
pada tahun 1948, yang terdiri dari sembilan negara bagian, yaitu Perak, Selangor, Negeri
Sembilan, Pahang, Johor, Terengganu, Kelantan, Kedah, dan Perlis. (Fauziah Syaffie dan Ruslan
Zainuddin. (2001). Sejarah Malaysia. Selangor: Fajar Baki Sdn. Bhd., hlm 429-430).
2
Federated Malay State yang terdiri atas Perak, Selangor, Pahang dan Negeri Sembilan
disyahkan pada bulan Juli 1896, dengan pusat di Kuala Lumpur. Unfederated Malay State terdiri
atas empat negeri di bagian utara yaitu Perlis, Kedah, Kelantan, dan Terengganu, serta ditambah
Johor, sedangkan yang disebut sebagai Strait Settlement terdiri atas Penang, Melaka, dan
Singapura. (Barbara Watson Andaya dan Leonard Andaya. (1982). A History of Malaysia.
London: Macmillan Press Ltd., hlm. 182-183 dan 200).
Universitas Indonesia
Willard A. Hanna. (1964). The Formation of Malaysia: New Factor in World Politics.
New York: American Universities Field Staff, Inc., hlm. 126.
4
Barbara Watson Andaya and Leonard Y. Andaya. Op.Cit., hlm. 274.
Universitas Indonesia
Dwikora dicetuskan oleh Presiden Sukarno pada tanggal 3 Mei 1964 yang berisi: 1)
Pertinggi ketahanan revolusi Indonesia, 2) Bantu perjuangan revolusioner rakyat Malaya,
Singapura, Sarawak, dan Sabah, untuk menggugurkan negara boneka Malaysia. (Iman Toto K.
Rahardjo dan Suko Sudarso (eds.). (2010). Bung Karno: Masalah Pertahanan Keamanan.
Jakarta: Grasindo, hlm. 63).
6
Larangan terhadap organisasi komunis tertuang dalam Tap MPRS No, XV/MPRS/1966
tentang pembubaran PKI, pernyataan sebagai organisasi terlarang di seluruh wilayah negara
Republik Indonesia bagi PKI, dan larangan setiap kegiatan untuk menyebarkan atau
mengembangkan faham atau ajaran komunisme/Marxisme-Leninisme.
7
Angkatan Bersendjata, 19 Oktober 1967.
Universitas Indonesia
1.2 Permasalahan
Noboru Ishikawa. (2010). Between Frontiers: Nation and Identity in a Southeast Asian
Borderland. Singapura: NUS Press, hlm. 90.
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Wilayah perbatasan adalah wilayah yang rawan dari segi politik dan
ekonomi, karena perbatasan adalah tempat yang aman dan nyaman dari berbagai
kegiatan yang illegal, seperti penyelundupan, migrasi illegal, dan menjadi basis
kelompok separatis. Untuk memahami peristiwa-peristiwa yang terjadi di daerah
perbatasan, perlu untuk memaparkan apa yang dimaksud dengan perbatasan dan
kapan perbatasan itu ditetapkan.
Konsep tentang perbatasan, tak dapat dilepaskan dari istilah garis batas
(border) dan batas wilayah (boundary). Ketika perbatasan dilihat sebagai sebuah
zona, maka muncul istilah wilayah perbatasan (borderland). Perbatasan kemudian
diartikan sebagai entitas fisik, dengan perwujudan relasi timbal balik dan saling
ketergantungan sosial yang cukup intens antara anggota masyarakat yang tinggal
kedua wilayah yang berbatasan. Dalam konteks pembangunan sosial dan
ekonomi, adanya hubungan timbal balik dan saling ketergantungan berarti
mengakui eksistensi dari kelompok masyarakat yang berada dalam satu wilayah
dan di wilayah atau negara tetangga, sehingga wilayah perbatasan dapat bermakna
dalam batas-batas teritorial dan hak-hak warga masing-masing negara tetangga. 9
Perbatasan suatu negara (states border), muncul bersamaan dengan
lahirnya negara itu sendiri. Pada awalnya, perbatasan negara dilihat sebagai
sebuah ruang geografis yang sejak awal telah menjadi wilayah perebutan
kekuasaan antarnegara. Perebutan kekuasaan tersebut ditandai dengan adanya
pertarungan untuk memperluas batas-batas antarnegara. Dalam perkembangannya,
perbatasan dapat dipahami dari dua perspektif, yaitu dari perspektif geografis, dan
perspektif sosial. Dari sudut pandang geografis, permasalahan perbatasan akan
selesai ketika negara yang berbatasan telah mencapai kesepakatan tentang batas
wilayah negaranya masing-masing. Dari perspektif sosial, perbatasan bukan hanya
dilihat dari dua wilayah yang dipisahkan, dan memilki peraturan atau
pemerintahan yang berbeda. Perbatasan mempunyai makna baru sebagai
Universitas Indonesia
konstruksi sosial dan kultural yang tidak terikat pada pengertian yang bersifat
teritorial. 10
Indonesia, sebagai negara kepulauan memiliki batas wilayah daratan,
perairan, dan wilayah ruang udara. Wilayah daratan adalah bagian dari daratan
yang merupakan tempat kediaman penduduk negara yang bersangkutan. Wilayah
perairan adalah bagian perairan yang menjadi wilayah dari suatu negara,
sedangkan wilayah ruang udara merupakan ruang udara yang terletak di atas
permukaan wilayah daratan dan perairan suatu negara. Di Indonesia, batas
wilayah daratan terdapat di perbatasan Kalimantan dengan Malaysia (Sabah dan
Sarawak), Papua dengan Papua Nugini, dan Timor dengan Timor Leste. 11
Daerah perbatasan Kalimantan Barat dan Sarawak telah ditentukan sejak
masa kolonial, yaitu melalui perjanjian antara pemerintah kolonial Inggris dan
Belanda, yang disebut Anglo-Dutch Treaty (1824). 12 Pada masa pemerintahan
kolonial Belanda, daerah perbatasan Borneo Barat dan Sarawak kurang mendapat
perhatian dari pemerintah, sehingga sarana dan prasarana sosial maupun
ekonominya sangat terbatas. Kondisi geografis daerah perbatasan yang
didominasi hutan yang lebat menjadi salah satu alasan kurangnya kontrol
pemerintah. Selain itu, keberadaan penduduk perbatasan yang tinggal di
pedalaman dengan budaya headhunter, yaitu berburu kepala manusia, juga
menjadi alasan para pejabat pemerintah (kolonial) untuk tidak datang ke daerah
tersebut.
Setelah merdeka, wilayah Indonesia mengikuti daerah yang pernah
menjadi kekuasaan pemerintah kolonial Belanda. Wilayah Kalimantan (Indonesia)
10
Universitas Indonesia
wilayah,
13
Universitas Indonesia
Gerilya berakar dari rakyat, oleh karena itu untuk mengalahkannya harus
menggunakan strategi anti-gerilya dengan menghilangkan akar-akar gerilya itu
dari rakyat. Jadi perang anti-gerilya bertujuan untuk memisah gerilya dari rakyat
sebagai pangkalannya. Gerakan anti gerilya ini mengutamakan gerakan politik,
psikologis dan ekonomis. 14
Gerakan PGRS/PARAKU menerapkan strategi perang gerilya dalam
melakukan perlawanan terhadap pemerintah Indonesia. Kegiatannya dipusatkan di
daerah perbatasan Kalimantan Barat dan Sarawak, dengan ruang geografi yang
sangat luas, sehingga pergerakan mereka lebih leluasa. Basis gerakannya adalah
masyarakat, terutama dari etnis Cina, di mana mereka bisa mendapatkan pasokan
logistik dan merekrut kader-kader baru. Anggota PGRS/PARAKU, yang sebagian
besar adalah etnis Cina, dapat dengan mudah menyamar atau berbaur dengan
masyarakat yang juga didominasi oleh etnis Cina.
Untuk menumpas kegiatan gerilya PGRS/PARAKU, pemerintah Indonesia
melakukan tindakan militer militer dengan operasi-operasi militer di tempattempat yang menjadi basis gerakan mereka. Selain itu juga diterapkan anti-gerilya
dengan usaha untuk memisahkan kaum gerilya dari masyarakat yang mendukung
gerakannya. Dengan tindakan anti-gerilya ini akhirnya kekuatan gerilya
PGRS/PARAKU dapat dilemahkan.
Ibid.
Universitas Indonesia
10
yang dilakukan oleh Ardhana, dkk. (2006) tentang Dinamika Etnisitas dan
Hubungan Ekonomi pada Wilayah Perbatasan di Kalimantan Timur - Sabah:
Studi Kasus di Wilayah Krayan dan Long Pasia (Jakarta: PSDR-LIPI). Buku ini
antara lain membahas tentang dinamika historis masyarakat di perbatasan
Indonesia Malaysia, kondisi kependudukan, serta interaksi etnisitas dan
perdagangan yang terjadi di wilayah tersebut. Berdasarkan hasil penelitian
disebutkan bahwa sejak lama telah muncul keinginan yang kuat dari penduduk
lokal di daerah perbatasan untuk meningkatkan hubungan dengan negara tetangga.
Mereka terpisah dalam dua negara yang berbeda, sehingga memiliki identitas
nasional yang berbeda, akan tetapi sebagian besar dari mereka memiliki kesamaan
etnik. Mobilitas penduduk di kawasan perbatasan ini semakin cepat sebagai
dampak dari proses globalisasi.
Hasil penelitian tersebut juga menjelaskan bahwa telah ada upaya
pemerintah (Indonesia) utuk membangun potensi yang ada di wilayah perbatasan.
Pembangunan dilakukan dengan tujuan untuk menjaga keutuhan wilayah NKRI
dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat dengan menggali potensi
sosial, budaya, ekonomi, dan keuntungan lokasi geografis untuk berhubungan
langsung dengan negara tetangga. Masyarakat di perbatasan Kalimantan
sebenarnya memiliki potensi untuk mengelola sumberdaya alam di wilayahnya,
akan tetapi mereka menghadapi kendala dengan keterbatasan sarana dan prasarana
untuk lebih meningkatkan potensi yang dimiliki. Dalam memenuhi kebutuhan
sehari-hari mereka sangat tergantung pada negara tetangga.
Studi lain dilakukan oleh Tirtosudarmo dan John Haba (eds.) (2005), Dari
Entikong Sampai Nunukan: Dinamika Daerah Perbatasan Kalimantan
Malaysia Timur (Serawak dan Sabah). Hasil kajian yang memuat kompilasi
tulisan dari beberapa peneliti ini membahas persoalan-persoalan yang cukup luas
di daerah perbatasan, antara lain tentang karakteristik historis, demografi politik,
permasalahan ekonomi, hubungan etnis, masalah kehutanan, dan potensi konflik.
Dari beberapa aspek yang dibahas dalam studi ini, aspek ekonomi
kelihatan lebih menonjol, karena dinamika ekonomi sangat berperan dalam
hubungan kedua wilayah yang saling berbatasan. Dinamika ekonomi berkaitan
erat dengan pembangunan sarana dan prasarana misalnya pembangunan jalan
Universitas Indonesia
11
lintas yang menghubungkan kedua negara. Hal ini berarti bahwa ekonomi sangat
berpengaruh dalam proses migrasi penduduk di wilayah perbatasan.
Masalah daerah perbatasan Indonesia Malaysia juga pernah diangkat
dalam tesis Suryansyah (1994), Masalah Daerah Perbatasan Indonesia
Malaysia di Kalimantan Barat: antara Pertimbangan Ekonomi dan Keamanan.
Dalam tesis ini Suryansyah mengulas kondisi-kondisi yang mempengaruhi
perkembangan masyarakat perbatasan, antara lain kondisi geografi dan demografi,
sosial-ekonomi, serta sosial-politik. Dijelaskan bahwa pembangunan wilayah
perbatasan menemui berbagai hambatan, misalnya migrasi tenaga kerja musiman
ke negara tetangga, penyelundupan, keterbatsan informasi, keterbatasan jalan
darat, keterbatasan pendidikan, dan masalah kesehatan. Selain itu, tesis ini juga
membahas kebijakan pemerintah, serta kerjasama sosial-ekonomi
antara
Universitas Indonesia
12
Universitas Indonesia
13
pandang yang berbeda. Untuk memahami suatu kisah atau peristiwa, perlu kiranya
untuk melihat dari berbagai sudut pandang. Dari sudut pandang pusat, pinggiran
seringkali tampak sebagai daerah yang memiliki pandangan yang sempit dan
kurang maju. Pusat hampir selalu melihat pinggiran dengan menekankan pada apa
yang hilang atau kurang, sedangkan dari sudut pandang pinggiran itu sendiri apa
yang bisa dilihat adalah suatu proses kreatif dari akomodasi, asimilasi, dan
sinkretisme. 16 Gerakan PGRS/PARAKU terjadi di daerah perbatasan kalimantan
Barat dan Sarawak, maka perlu kiranya untuk mendapatkan data-data yang
menggambarkan hubungan perbatasan sebagai daerah pinggiran, dan pusat
kekuasaan sebagai penentu kebijakan.
Setelah mendapatkan data-data yang relevan dengan dengan peristiwa
gerakan PGRS/PARAKU, seperti Dokumen Operasi PGRS/PARAKU, laporan
perkembangan tentang situasi daerah perbatasan, Risalah Serah Terima Kodam
XII/Tandjungpura, koran-koran sejaman yang memuat berita tentang gerakan
PGRS/PARAKU, serta artikel dan buku-buku penunjang, dilakukan seleksi data
atau sumber sejarah, sehingga dapat diketahui sumber yang otentik dan sumber
yang kurang otentik. Data-data dari militer tentunya memposisikan tentara atau
pemerintah sebagai pihak yang benar, dan PGRS/PARAKU menjadi pihak yang
salah dan harus ditumpas. Oleh karena itu perlu kehati-hatian untuk memilah
sumber dan membandingkan dengan sumber lain, untuk menjaga netralitas
penulisan.
Penulisan sejarah tidak hanya membutuhkan dokumen apa, di mana dan
bagaimana, tetapi memerlukan kecermatan untuk memilih dokumen yang mana. 17
Dokumen atau data yang ditemukan bisa jadi hanya dari satu sumber sehingga
diperlukan data pembanding, atau setidak-tidaknya data pelengkap untuk
memahami kondisi yang melatarbelakangi terjadinya suatu peristiwa. Oleh karena
itu perlu usaha untuk memahami peristiwa yang terjadi, dengan membandingkan
sumber dan berita yang ditemukan, kemudian menganalis untuk membuat
rekonstruksi sejarah secara kronologis.
16
Peter Burke. (1998). The European Renaissnce: centres and peripheries. Oxford:
Blackwell Publishers Ltd., hlm. 13
17
Sartono Kartodirdjo, Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah. (Jakarta:
PT.Gramedia, 1992), hlm. 31
Universitas Indonesia
14
Tesis ini disusun dalam lima bab, yang pertama adalah pendahuluan.
Bagian ini berisi latar belakang masalah, permasalahan, tujuan penelitian,
kerangka konseptual, tinjauan pustaka, metode dan sumber penelitian, serta
sistematika penulisan.
Bagian kedua akan membahas tentang kondisi daerah perbatasan dan
masalahnya, dengan melihat kondisi alam dan penduduknya, kondisi dan
hubungan masyarakat, kondisi pemerintahan, serta perkembangan komunis di
perbatasan. Bagian ini diharapkan dapat memberikan gambaran yang akan
menghantar pada terjadinya suatu peristiwa.
Bagian ketiga akan membahas gerakan PGRS/PARAKU. Bagian awal dari
bab tiga ini memaparkan munculnya gerakan PGRS/PARAKU dan aktivitasnya,
kemudian melihat sikap dan tindakan pemerintah, dan yang terakhir sikap
masyarakat terhadap gerakan PGRS/PARAKU, terutama sikap masyarakat
Dayak.
Bagian keempat memaparkan penumpasan dan dampaknya. Disini akan
dijelaskan peranan ABRI dan masyarakat dalam penumpasan gerakan
PGRS/PARAKU, kerjasama antara pemerintah Indonesia dan Malaysia dalam
menangani masalah PGRS/PARAKU, dan dampak dari gerakan PGRS/PARAKU
dan penumpasannya terhadap keadaan sosial dan ekonomi.
Bagian kelima adalah kesimpulan yang menjawab pertanyaan-pertanyaan
dalam penelitian.
Universitas Indonesia
15
Bab 2
Kondisi Daerah Perbatasan dan Masalahnya
Kondisi suatu daerah dapat berpengaruh terhadap munculnya berbagai
masalah atau peristiwa di daerah tersebut. Sebagai contoh misalnya kondisi
daerah perbatasan yang jauh dari pusat kekuasaan, maka daerah tersebut menjadi
tempat yang aman untuk berbagai kegiatan illegal. Daerah pinggiran ini juga bisa
menjadi tempat berkembangnya suatu gerakan separatis yang melawan
pemerintah pusat.
Bagian kedua ini membahas kondisi alam dan penduduk di daerah
perbatasan Kalimantan Barat dan Sarawak, kondisi dan hubungan masyarakat,
serta kondisi pemerintahan. Kondisi perbatasan sebagai daerah yang marginal
karena kurang mendapat perhatian dari pemerintah pusat, menjadi salah satu
faktor pendukung munculnya gerakan separatis yang ingin melepaskan diri dari
pemerintah pusat. Oleh karena itu pada bagian ini juga dijelaskan perkembangan
komunis di perbatasan yang kemudian menjadi dasar ideologi gerakan
PGRS/PARAKU.
Universitas Indonesia
16
muara sungai merupakan daerah dataran rendah yang kurang subur karena sering
tergenang air laut. Kalimantan Barat memiliki karakteristik khusus dengan
banyaknya sungai yang mengalir di daerah tersebut, antara lain Sungai Kapuas,
Sungai Landak, Sungai Sekayam, dan Sungai Sambas, yang sebagian besar
berfungsi sebagai sarana transportasi.
Penduduk daerah Kalimantan Barat didominasi oleh etnis Dayak yang
merupakan penduduk asli. Kelompok etnis lain seperti etnis Cina dan Melayu
merupakan kelompok etnis pendatang. Kelompok-kelompok etnis lain, misalnya
Jawa, Bugis, Minang, biasanya termasuk dalam kelompok etnis Melayu. Berikut
ini akan diuraikan kelompok etnis Dayak, Melayu, dan Cina. Kelompok etnis
Cina diuraikan lebih banyak mengingat gerakan PGRS/PARAKU dilakukan oleh
etnis Cina komunis.
Victor T. King. (1993). The Peoples of Borneo. Oxford: Blackwell Publisher, hal. 31.
PSDR-LIPI. (2002). Pariwisata Etnik/Budaya dan identitas Komunitas Lokal di
Malaysia. Jakarta: Pusat Penelitian Sumberdaya Regional LIPI, hal. 17.
2
Universitas Indonesia
17
berburu, nelayan, dan mencari hasil hutan. Mereka yang tinggal di sepanjang
perbatasan Kalimantan Barat dan Sarawak biasanya menjual hasil hutan ke
Sarawak, sekaligus berbelanja bahan-bahan kebutuhan sehari-hari. 3
Kehidupan sosial masyarakat Dayak pada pertengahan abad ke-20, masih
banyak bertumpu pada ikatan-ikatan adat yang kuat. Mereka akan lebih mengikuti
perintah kepala suku. Orang-orang Dayak mempunyai hubungan yang relatif baik
dengan kelompok etnis lain, bahkan banyak terjadi perkawinan campuran,
misalnya antara etnis Dayak dengan orang Cina. Hubungan perdagangan orang
Dayak dengan orang Cina telah berjalan ratusan tahun. Orang Dayak merupakan
kelompok etnis yang terbuka, mereka mudah menerima dan bersosialisasi dengan
kelompok etnis pendatang lain.
Lampiran Risalah Serah Terima Kodam XII/Tandjungpura 30 Juni 1967, hal. 45-46.
Universitas Indonesia
18
Universitas Indonesia
19
Tobing, K. (1955). Kalimantan-Barat. Bandung: Penerbit N.V. Masa Baru, hal 66.
Semdan XII/Tandjungpura (1970)., Loc.cit..
8
Ibid., hal. 128-129.
7
Universitas Indonesia
20
dan
pemanfaatannya
kepada
Dinas
Pendidikan
dan
Kebudayaan.
-
10
Universitas Indonesia
21
dan Cina. Mereka memiliki hubungan yang baik, dengan spesialisasi masingmasing, misalnya orang Cina sebagai pedagang atau pengusaha perkebunan,
orang Melayu yang mengusahakan pertanian, dan orang Dayak sebagai
pengumpul hasil hutan. Hubungan sosial dan ekonomi tidak hanya terbatas di
wilayah Kalimantan Barat, tetapi juga terjalin dengan penduduk di wilayah
Sarawak.
Kegiatan penduduk melintasi perbatasan ini telah berjalan sejak ratusan
tahun lalu, bahkan sebelum perbatasan itu sendiri terbentuk ketika terjadi
perjanjian Anglo-Dutch Treaty antara pemerintah kolonial Inggris dan Belanda,
pada tahun 1824. Pada masa kekuasaan James Brooke di Sarawak (1841-1868),
tidak ada kontrol yang ketat di daerah perbatasan Sarawak dan Kalimantan Barat.
Brooke kurang memperhatikan masalah perbatasan, dan lebih mementingkan
hubungan dengan suku-suku lokal serta mengontrol pembayaran pajak. Ia
memberikan kekuasaan dan kebebasan kepada ketua-ketua adat dalam mengatur
warganya, termasuk dalam aktivitas lintas batas Kalimantan Barat dan Sarawak.
Sementara itu pemerintah kolonial Belanda yang menguasai Kalimantan lebih
mengkonsentrasikan kekuasaaannya di Jawa, sehingga kurang memperhatikan
wilayah perbatasan. 11
Permasalahan mulai muncul ketika ada pos-pos penjagaan yang
mensyaratkan surat-surat identitas atau paspor bagi siapapun yang akan melewati
perbatasan, misalnya dengan penjagaan pintu perbatasan di Tebedu. Sebagai
akibatnya, muncul jalan-jalan tidak resmi (illegal) yang menghubungkan kedua
wilayah yang berbatasan. Penduduk memilih untuk melintasi jalan yang tidak
resmi karena terbebas dari pemeriksaan, dan tidak harus mengurus surat-surat
identitas/paspor. Biasanya jalan-jalan tersebut hanya dapat dilalui dengan berjalan
kaki. Sebagai daerah yang bersebelahan, hubungan penduduk di Kalimantan Barat
dan Sarawak berjalan dengan baik, karena batas wilayah bukan menjadi
penghalang untuk kegiatan sosial dan ekonomi yang sudah berjalan lama.
Pada masa awal kemerdekaan Indonesia, daerah perbatasan Kalimantan
Barat dan Sarawak tidak dijaga secara ketat oleh pihak Indonesia, karena
keterbatasan sumberdaya manusia. Pos penjagaan hanya ada di bagian Sarawak.
11
Universitas Indonesia
22
Kondisi ini tentunya memudahkan siapa saja untuk melintasi perbatasan. Lalu
lintas perbatasan pada masa ini lebih banyak dilakukan oleh orang Indonesia
terutama untuk kegiatan ekonomi, mengingat kondisi Sarawak yang lebih maju
dibandingkan dengan Kalimantan Barat.
Pada tahun 1950-an, perdagangan lintas perbatasan ini cukup ramai,
terutama
perdagangan
illegal
(penyelundupan).
Bahan
yang
banyak
1968
1969
1970
1971
1972
Karet
91.740
101.080
90.000
93.675
97.000
Kelapa
21.403
24.587
15.000
32.284
32.300
Kopi
750
800
800
695
700
940
950
539
540
Lada
Tebu
1.350
1.200
1.200
Universitas Indonesia
23
13
Universitas Indonesia
24
sendiri. 14 Hal inilah yang menyebabkan para pedagang mempercayakan
pengangkutan kepada mereka. Jadi jika terkena suatu kasus, para pedagang yang
sebagian besar orang Cina tidak ikut berurusan dengan pihak aparat.
Penyelundupan pada waktu itu tidak sulit dilakukan karena banyaknya
jalan illegal yang dapat ditempuh, yaitu melalui sungai-sungai atau berjalan
melalui hutan-hutan. Dari perbatasan, jalan-jalan raya di Sarawak hanya berjarak
sekitar dua sampai tiga kilometer. Setelah melewati perbatasan, barang yang
diselundupkan sudah dapat dijual kepada para pedagang Cina, yang memiliki
warung yang letaknya sekitar 100m dari perbatasan. Para pedagang Cina ini
kemudian membawa barang-barang selundupan ke Kuching dengan bus atau
truk. 15
Penjagaan wilayah perbatasan dari pihak Indonesia pada waktu itu masih
belum intensif karena terbatasnya jumlah aparat yang menjaga perbatasan.
Sebaliknya pemerintah Sarawak sejak berada di bawah kekuasaan Inggris sudah
mempunyai peraturan bahwa hanya mereka yang mempunyai Card of Identity
atau pas Kunjungan Pendek dari pemerintah Indonesia yang dapat masuk di
daerah Sarawak. Mereka yang akan memasuki daerah Sarawak harus memiliki
kartu kunjungan yang disebut Short-visit, yang berlaku untuk 14 hari. Orangorang Indonesia yang akan berkunjung ke Sarawak sebagian besar tidak mau
membuat kartu kunjungan dan memilih datang secara illegal melalui jalur yang
tidak resmi karena untuk mengurus kartu tersebut mereka harus datang ke
kecamatan Seluas yang terletak di bagian hulu Sungai Sambas, sekitar 30 km dari
perbatasan Bau. Hal ini dianggap memakan waktu dan merepotkan, serta memiliki
batas waktu kunjungan yang terbatas. Banyak diantara penduduk Indonesia yang
tinggal di perbatasan pada waktu itu mempunyai sumber penghidupan di Sarawak,
misalnya berdagang komoditi pertanian.
Penduduk perbatasan ini banyak yang memiliki dua identitas, yaitu
sebagai warga negara Indonesia sekaligus penduduk Sarawak. Semula hanya
orang-orang Cina pemilik perkebunan atau pedagang yang mempunyai dua kartu
identitas atau kewarganegaraan ganda. Namun demikian, pasca kerusuhan di
Sarawak tahun 1952, penjagaan di perbatasan diperketat oleh pemerintah jajahan
14
15
Ibid.
Ibid., hal. 74-76.
Universitas Indonesia
25
Inggris sehingga banyak orang dari suku Dayak yang sering melintas perbatasan
membuat dua tanda penduduk. Mereka menjadi penduduk Sarawak untuk
memperoleh kartu identitas (Card of Identity) sehingga bebas dari pemeriksaan di
pos pemeriksaan Inggris. Kartu tersebut secara langsung juga memberi hak
kepada mereka untuk membeli senjata, peluru, dan rabuk di Sarawak yang sangat
diperlukan untuk merawat ladang mereka. Tanaman di ladang pada masa itu
sering dirusak kera, babi hutan, atau binatang-binatang lain. 16
Kalimantan
Barat
dan
Sarawak,
merupakan
dua
daerah
yang
berdampingan, tetapi berada dalam dua kekuasaan yang berbeda. Oleh karena itu
kedua wilayah ini memiliki struktur pemerintahan yang berbeda. Kalimantan
semula merupakan daerah yang terbagi dalam kekuasaan kerajaan-kerajaan kecil.
Struktur kekuasaan kemudian berubah dengan hadirnya kaum kolonial. Pada
tahun 1839, Kalimantan terbagi dalam tiga kawasan ketatanegaraan, yaitu
kawasan pengaruh kekuasaan Belanda, kawasan kerajaan Brunei, dan kawasan
timur laut yang masuk lingkungan Kerajaan Sulu. Daerah yang berada di bawah
kekuasaan pemerintah Belanda secara administratif dibagi menjadi tiga afdeeling,
yaitu afdeeling Pantai Selatan dan Pantai Timur, afdeeling Sambas, dan afdeeling
Pontianak. Afdeeling Pantai Selatan dan Pantai Timur dipimpin oleh seorang
residen, sedangkan dua afdeeling lainnya dipimpim oleh asisten residen. Dalam
hierarkhi kekuasaan pemerintah kolonial Belanda, residen dan asisten residen di
Kalimantan ini langsung berada di bawah pemerintah tertinggi di Batavia. 17
Pada masa pendudukan Jepang, Kalimantan Barat berada di bawah
pemerintahan angkatan laut Jepang yang berpusat di Banjarmasin. Selepas
kekuasaan Jepang, Kalimantan berada di bawah pengawasan pemerintahan
pendudukan Belanda (NICA), dan berstatus sebagai karesidenan. Pada tahun 1948
statusnya berubah sebagai Daerah Istimewa Kalimantan Barat (DIKB). Selepas
pengakuan kedaulatan Indonesia oleh Belanda, tahun 1949, Kalimantan Barat
16
Universitas Indonesia
26
kemudian dibagi dalam tujuh daerah tingkat dua (6 kabupaten dan 1 kotamadya),
yaitu Kabupaten Pontianak dengan ibukota di Mempawah, Kabupaten Sambas
dengan ibukota di Singkawang, Kabupaten Ketapang dengan ibukota di Ketapang,
Kabupaten Sanggau dengan ibukota di Sanggau, Kabupaten Sintang dengan
ibukota di Sintang, Kabupaten Kapuas dengan ibukota di Patusibau, dan
Kotamadya Pontianak. 19 Kalimantan Barat berada di bawah koordinasi Gubernur
Kalimantan, dan dikepalai oleh seorang Residen yang berkedudukan di Pontianak.
Pada tahun 1957, Kalimantan Barat menjadi daerah propinsi otonom.
Sementara itu, Sarawak yang berbatasan dengan Kalimantan Barat,
memiliki sejarah pemerintahan yang unik, dan berbeda dengan negara-negara
bagian lain di Malaysia. Sarawak pernah dikuasai oleh Dinasti White Rajah (1841
1941), menjadi koloni Inggris, kemudian menjadi bagian dari Malaysia. Pada
masa Perang Dunia II, Sarawak juga menjadi daerah pendudukan Jepang. Selepas
dari kekuasaan Jepang, Sarawak kembali kepada kekuasaan Dinasti Brooke.
Vyner Brooke menyerahkan Sarawak untuk menjadi bagian dari protektorat
Inggris pada tahun 1946. Sejak itu, Sarawak bersama dengan Kesultanan Brunei
menjadi bagian dari koloni Inggris yang disebut Northern Borneo.
Selama menjadi Crown Colony dari Inggris, Sarawak diperintah oleh
seorang Gubernur dengan kabinetnya yang terdiri dari Chief-Secretary (setara
dengan direktur kabinet) dengan anggota-anggota kabinet yang disebut Secretary
atau direktur departemen. Pada umumnya jabatan sekretaris dipegang oleh orangorang Inggris, tetapi pada tahun 1954-1955 sekretaris untuk urusan soal-soal
dalam negeri dipegang oleh bangsawan Melayu, Datuk Hadji Abang Mustapa
18
Universitas Indonesia
27
(Datuk Bandar). Sarawak terbagi atas lima karesidenan yang disebut division,
yang masing-masing dikepalai oleh seorang residen berbangsa Inggris.
Karesidenan I dengan pusatnya di Kuching, karesidenan II ibukotanya di
Simanggang, Karesidenan III di Sibu, Karesidenan IV di Miri, dan yang ke V di
Limbang. Tiap-tiap karesidenan terbagi atas beberapa distrik yang dikepalai
District-Officer. Distrik terbagi dalam beberapa onder-distrik yang dikepalai SubDistrict Officer. District Officer dalam menjalankan kewajibannya didampingi
oleh dewan penasehat yang disebut District Advisory Council yang sewaktuwaktu dapat juga dibantu oleh Chinese Advisory Boards. Pejabat residen
didampingi oleh dewan penasehat yang anggotanya diambil dari dewan distrik
dan dari dewan penduduk Cina. Gubernur dalam menjalankan kekuasaan
eksekutif dibantu oleh Supreme Council (dewan pertimbangan agung), sedang
dalam kekuasaan legislatif dibantu oleh Council Negeri (dewan pertimbangan
negeri). 20
Pemerintah jajahan Inggris melakukan politik memecah belah antara
berbagai kelompok etnis yang tinggal di Sarawak. Sebagai contoh kebijakan
dalam pengangkatan pegawai, penarikan pajak, dan bahkan dalam pembagian
jalan. Jalan besar di kampung-kampung dibagi, sebelah kiri hanya boleh dilalui
etnis Cina, sedangkan di sebelah kanan untuk etnis Melayu. Untuk pembayaran
pajak, orang Cina harus membayar pajak tanah dan rumah 100-200 ringgit per
tahun, sedangkan orang Melayu hanya satu ringgit. Etnis Cina walaupun bukan
sebagai penduduk asli ataupun mayoritas, mendapat kedudukan yang istimewa
dalam pemerintahan di Sarawak. Di kantor-kantor pemerintahan ataupun
perusahaan, 97% pekerjanya adalah etnis Cina, sedangkan orang Melayu bekerja
sebagai pesuruh kantor, atau diperbantukan pada bagian yang tidak penting. 21
Dengan adanya politik pecah belah tersebut, hubungan antar etnis di Sarawak
seolah-olah dikondisikan untuk terkotak-kotak atau berjarak antara satu kelompok
etnis dengan kelompok etnis lainnya.
Sarawak berada di bawah protektorat Inggris sampai dengan tahun 1963,
ketika wilayah ini kemudian bergabung dengan Negara Federasi Malaysia.
Penggabungan Sarawak ke dalam negara federasi Malaysia mengalami proses
20
21
Ibid.
Pembangunan, 19 September 1952
Universitas Indonesia
28
yang cukup panjang, sejak munculnya isu pembentukan negara federasi tersebut
muncul pada tahun 1961. Pertarungan politik terjadi antara kelompok yang
mendukung dan menentang penggabungan Sarawak ke dalam negara federasi
Malaysia. Partai Negara Sarawak (PANAS) yang dipimpin Datu Bandar Abang
Mustapha mengalami perpecahan ketika ada kelompok yang mendukung dan
menentang pembentukan Malaysia. Kelompok yang menentang ide tersebut
kemudian mendirikan partai sendiri yang disebut Barisan Rakyat Jati Sarawak
(BARJASA). 22
Menjelang pemilihan umum yang dilaksanakan pada bulan April - Juli
1963, lima partai yang tergabung dalam Parti Perikatan Sarawak, yaitu PANAS,
BARJASA, Sarawak National Party (SNAP), Parti Pesaka Anak Sarawak
(PESAKA), dan Sarawak Chinese Association (SCA) mencapai kesepakatan
untuk mendukung pembentukan Malaysia, sedangkan Sarawak United Peoples
Party (SUPP) tetap pada pendiriannya untuk menentang pembentukan Malaysia.
Menjelang pemilihan umum, PANAS menarik diri dari aliansi karena tidak setuju
dalam pembagian kursi. Pada akhir pemilihan umum, partai aliansi mendapat 19
kursi, sedangkan PANAS dan SUPP masing-masing memperoleh lima kursi.23
SUPP yang mengalami kekalahan ini kemudian muncul sebagai oposisi, dan
bahkan kemudian ada diantara para anggotanya yang berpindah ke Kalimantan
Barat untuk bergabung dalam perjuangan PGRS/PARAKU.
Dengan kemenangan partai aliansi, berarti bahwa Sarawak masuk sebagai
bagian dari Negara Federasi Malaysia. Sejak menjadi bagian dari Malaysia,
Sarawak dikepalai oleh Ketua Negara (Yang Dipertuan Negeri), dan pemerintahan
dijalankan oleh Ketua Menteri (Chief Minister). 24 Selama masa transisi ini terjadi
berbagai gejolak politik di Sarawak, antara lain disebabkan oleh persaingan antar
partai, politik konfrontasi Indonesia, dan munculnya perlawanan kaum komunis.
Untuk itu dalam bagian selanjutnya akan dibahas perkembangan komunis di
perbatasan Kalimantan Barat dan Sarawak.
22
Universitas Indonesia
29
25
Ensiklopedi Indonesia Vol. 4. (1983). Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, hlm. 1845-
1846.
26
Universitas Indonesia
30
27
Universitas Indonesia
31
Universitas Indonesia
32
Barisan Bersatu (United Front) yang terdiri dari Ong Kee Hui (SUPP), A.M.
Azahari (Partai Rakyat Brunei), dan Donald Stephens. Mereka secara terangterangan menentang rencana pembentukan Federasi Malaysia. Untuk mengatasi
permasalahan ini, pada tanggal 23 Juli 1961 dibentuklah Malaysian Solidarity
Consultative
Committee
(MSCC)
yang beranggotakan
wakil-wakil
dari
Semenanjung Melayu, Singapura, Sarawak, Brunei, dan Sabah. Tugas dari komite
ini adalah untuk mengumpulkan dan membandingkan pendapat-pendapat yang
berkaitan dengan pembentukan Federasi Malaysia. MSCC mengadakan empat
kali pertemuan secara bergilir, yaitu di Jesselton (Kota Kinabalu), Kuching, Kuala
Lumpur, dan Singapura. Dari empat kali pertemuan yang diadakan, wakil dari
Brunei terlihat tidak berminat untuk masuk sebagai bagian dari Malaysia. 31 Oleh
karena itu tak mengherankan jika kemudian muncul pemberontakan dari Partai
Rakyat di Brunei yang menentang pembentukan Federasi Malaysia.
Pada tanggal 8 Desember 1962, muncul pemberontakan dari Partai Rakyat
di Brunei yang dipimpin oleh Sheik A.M. Azahari. Mereka memproklamirkan
berdirinya Negara Kalimantan Utara yang meliputi daerah Sabah, Sarawak, dan
Brunei dengan Sultan Brunei, Sir Omar Ali Saifuddin, diangkat sebagai Kepala
Negara, dan Azahari sebagai Perdana Menteri. Mereka juga membentuk Tentara
Nasional Kalimantan Utara (TNKU). Mereka memberikan ultimatum kepada
pemerintah Inggris untuk mengakui kemerdekaan Kalimantan Utara. Jika pihak
Inggris mengabaikan ultimatum tersebut, maka para pemberontak mengancam
akan menghancurkan instalasi penambangan minyak di Seria. 32
Perjuangan Azahari mendapat dukungan dari Partai Komunis Indonesia
(PKI). Namun demikian Negara Kalimantan Utara tersebut dinyatakan oleh
Azahari bersifat netral, tidak berideologi komunis. Para pemberontak mampu
menguasai beberapa kota di Brunei, Sabah, dan Sarawak. Sultan Brunei kemudian
meminta bantuan kepada pemerintah Inggris untuk menghentikan pemberontakan.
Setelah datang bantuan dari tentara Inggris di Singapura, pemberontakan dapat
diatasi dalam waktu kurang dari dua minggu. 33 Meskipun pemberontakan berhasil
31
Mohd. Noor Bin Abdullah, 1976. Kemasukan Sabah dan Sarawak ke Dalam
Persekutuan Malaysia. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka Kementerian Pelajaran
Malaysia. Hal. 41-45.
32
Suara Merdeka, 11 Desember 1962.
33
Mohd. Noor Bin Abdullahh, Op.Cit.., hal. 63-64.
Universitas Indonesia
33
34
Universitas Indonesia
34
politiknya,
Presiden
Sukarno
menyebut
Malaysia
sebagai
neo-
rakyat
Malaya,
Singapura,
40
Sarawak,
dan
Sabah,
untuk
Ibid.
Departemen Penerangan R.I. (1963). Politik Kita adalah Politik Konfrontasi. Salinan
Naskah Amanat Presiden Sukarno pada Rapat Raksasa Front Nasional Mengganjang Malaysia
di Istana Olahraga Gelora Bung Karno, Senayan, Jakarta, 27 Juli 1963
38
39
Universitas Indonesia
35
41
Universitas Indonesia
36
Jumlah etnis Cina yang cukup besar di Kalimantan Barat maupun Sarawak
(menurut perkiraan Kodam XII/Tandjungpura, terdapat 450 ribu etnis Cina
di Kalimantan Barat), yang memungkinkan mereka memiliki persatuan
yang lebih kuat, terlebih dalam menyebarkan komunisme;
Dengan
kondisi
yang
demikian,
maka
organisasi
komunis,
seperti
Universitas Indonesia
37
Bab 3
Gerakan PGRS/PARAKU
Sebagaimana yang telah dijelaskan dalam bab 2, bahwa kondisi alam dan
penduduk, hubungan masyarakat, dan kondisi pemerintahan telah menjadikan
wilayah perbatasan Kalimantan Barat dan Sarawak sebagai wilayah marjinal yang
jauh dari jangkauan pusat kekuasaan. Kondisi ini memungkinkan tumbuh
suburnya gerakan separatis yang melawan pemerintah pusat. Komunisme
berkembang di daerah perbatasan, yang akhirnya mendukung kemunculan
PGRS/PARAKU.
Bab tiga ini memaparkan munculnya gerakan PGRS/PARAKU, faktorfaktor apa saja yang mendukung kemunculan gerakan tersebut, dan apa aktivitas
dari PGRS/PARAKU. Bagian ini juga melihat sikap dan tindakan pemerintah
terhadap gerakan tersebut, dan yang terakhir sikap masyarakat, terutama sikap
masyarakat Dayak.
Mary Somers Heidhues. (2008). Penambang Emas, Petani, dan Pedagang di Distrik
Tionghoa Kalimantan Barat. Jakarta: Yayasan Nabil, hlm. 228-229.
Universitas Indonesia
38
orang Cina dimanapun mereka berada tetap diakui sebagai warga negara Cina.2
Bepedoman pada ide tersebut, maka masyarakat Cina yang tinggal di perantauan
biasanya membentuk komunitas sendiri dan bahkan berusaha membuat peraturan
sendiri yang terorganisir. Dalam prakteknya mereka seolah-olah membentuk
negara kecil dalam suatu negara. Hal ini pula yang terjadi pada etnis Cina di
Kalimantan Barat maupun di Sarawak. Mereka tetap merasa sebagai bagian dari
masyarakat Cina. Mereka membangun sekolah-sekolah sendiri yang juga menjadi
pusat kegiatan kebudayaan menurut tradisi leluhur mereka di daratan Cina.
Intensitas hubungan mereka dengan negeri Cina menjadikan mereka cepat
menyesuaikan diri dengan perkembangan sosial politik di negeri asalnya. 3
Setelah Perang Dunia II berakhir, dan Jepang mengalami kekalahan,
sebagian besar etnis Cina di Borneo Barat (Kalimantan Barat) merasa gembira
karena mereka akan terbebas dari penjajahan Jepang. Mereka kemudian
mengibarkan bendera nasional negeri Cina (Kuo Min Tang) dan berharap tentara
nasionalis Cina datang ke distrik Cina di Kalimantan Barat untuk membantu
mereka dan menyatukan distrik tersebut sebagai salah satu propinsi negeri Cina di
seberang lautan. 4 Ketika Indonesia berjuang melawan agresi Belanda, orangorang Cina di Kalimantan Barat seolah berada di luar pagar perjuangan, atau
bahkan lebih menunjukkan loyalitas terhadap Belanda. 5
Pasang surut kondisi politik Indonesia sejak meraih kemerdekaan, revolusi
fisik, hingga munculnya pemberontakan komunis tampaknya tidak mempengaruhi
keinginan kelompok etnis Cina di Kalimantan Barat untuk berdiri sendiri. Suasana
konfrontasi Indonesia-Malaysia digunakan sebagai jembatan untuk melancarkan
perlawanan. Posisi etnis Cina yang beraliran komunis ini cukup kuat karena
adanya kerjasama dengan kelompok mereka di Sarawak. Dari kerjasama dan
penggabungan kelompok komunis di Sarawak, Brunei dan Kalimantan Barat
inilah dapat dirunut asal mula munculnya Pasukan Gerilya Rakyat Sarawak dan
Pasukan Rakyat Kalimantan Utara (PGRS/PARAKU).
Universitas Indonesia
39
waktu
6
itu,
Soebandrio,
membawa
Azahari
ke
Kalimantan
dan
M. Panggabean. (1993). Berjuang dan Mengabdi. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, hlm.
282.
Universitas Indonesia
40
memperkenalkan kepada rakyat. 7 Hal ini dimaksudkan agar rakyat di Kalimantan
membantu perjuangan Azahari untuk membentuk Negara Kalmantan Utara.
Sementara itu di Sarawak, SUPP merupakan partai komunis yang
menentang pembentukan Federasi Malaysia. Setelah terjadinya pemberontakan
Partai Rakyat di Brunei, partai komunis di Sarawak ini mendapat tekanan dari
pemerintah. Sebagaimana para anggota TNKU, para pemimpin maupun anggota
komunis Sarawak, terutama yang tergabung dalam Sarawak Advance Youth
Association (SAYA) kemudian berpindah ke wilayah Kalimantan Barat yang
dirasa lebih
aman.
Pemerintah
Indonesia
yang tidak
sepakat
dengan
disebutkan
bahwa
pembentukan
Malaysia
adalah
wujud
dari
Universitas Indonesia
41
Indonesia maupun Malaysia tidak ada pernyataan perang secara resmi, sehingga
kontak militer yang terjadi disebut perang rahasia (secret war). 10
Sementara itu, pada awal masa konfrontasi tahun 1963, Pemerintah Cina
mengirimkan dua utusan ke Kalimantan Barat, yaitu Wen Min Tjuen dan Wong
Kee Chok. Keduanya semula merupakan tokoh-tokoh komunis di Malaya. Setelah
komunis mendapat perlawanan di Malaya, mereka kemudian diusir sehingga
kembali ke Peking. Kedatangan Wen Min Tjuen dan Wong Kee Chok ke
Kalimantan Barat bermaksud untuk menemui Yap Chung Ho, Wong Hon, Liem
Yen Hwa, dan Yacob, tokoh-tokoh organisasi komunis Sarawak yang telah
berpindah ke wilayah Indonesia. Maksud dari pertemuan tersebut adalah untuk
menjelaskan garis perjuangan Partai Komunis Sarawak (PKS). Dalam pertemuan
tersebut disepakati arah perjuangan mereka, yaitu:
-
Selain dengan tokoh-tokoh komunis dari Sarawak, Wen Min Tjuen dan
Wong Kee Chok juga mengadakan pertemuan dengan pemimpin pemberontakan
Partai Rakyat Brunei, Sheik A.M. Azahari, yang mendapat perlindungan politik
dari pemerintah Indonesia. Pertemuan diadakan di Sintang, dan dihadiri juga oleh
Yap, Wong Hon, Liem Yen Hwa, dan Yacob. Pertemuan ini juga menghasilkan
gagasan untuk membentuk PGRS dan PARAKU, dan TNKU akan mengusahakan
persenjataan untuk kedua gerakan tersebut. TNKU berusaha memperoleh senjata
dari sukarelawan-sukarelawan Indonesia yang membantu perjuangan mereka.
Pada masa ini perjuangan TNKU berakhir, kemudian diteruskan oleh PGRS dan
PARAKU. 12
10
Universitas Indonesia
42
Poros
Timur,
yang
meliputi
daerah
Senaning/Uwak,
Nanga
Poros Barat, yang meliputi daerah Liku, Aruk, Sadjingan, dan Djagoi
Babang. 15
13
14
1967.
15
Ibid.
Universitas Indonesia
43
oleh
S.A.
Sofyan.
Dari
dokumen
yang
ditemukan,
Sofyan
PKI
Kalimantan
Barat.
Setelah
selesai
masa
konfrontasi,
PGRS/PARAKU ditumpas oleh rezim Orde Baru, karena pada masa ini organisasi
komunis dinyatakan sebagai organisasi terlarang di Indonesia, sedangkan
PGRS/PARAKU adalah gerakan yang beraliran komunis. Larangan terhadap
organisasi komunis ini tertuang dalam Tap MPRS No. XV/MPRS/1966, yang
berisi kebijakan untuk pembubaran PKI, pernyataan PKI sebagai organisasi
terlarang di seluruh wilayah negara Republik Indonesia, dan larangan setiap
16
17
Universitas Indonesia
44
komunisme/Marxisme-Leninisme.
Dalam kegiatannya, PGRS/PARAKU mendapat bantuan dari Sarawak
Communist International Organization (SCIO), yang merupakan organisasi
komunis
18
Universitas Indonesia
45
mayoritas. Orang Cina yang tinggal di Kalimantan Barat sebagian besar adalah
WNA. Ideologi dan kehidupan politis mereka masih berkiblat pada negara Cina.
Jadi Kalimantan Barat hanyalah dijadikan sebagai tempat mencari penghidupan,
sedangkan dalam kehidupan politik mereka berkiblat pada negeri asalnya. Di
Kalimantan Barat etnis Cina banyak yang berhasil dalam bidang perekonomian,
misalnya dalam mengusahakan perkebunan, perdagangan, dan sarana transportasi.
Posisi perekonomian yang kuat menjadi basis yang kokoh untuk mendukung
gerakan PGRS/PARAKU, karena setidaknya pasokan logistik mereka akan
terjamin. Selain itu mereka juga mampu mengadakan atau membeli persenjataan
dan peralatan yang dibutuhkan.
Gerombolan PGRS/PARAKU berusaha untuk melakukan hubungan
dengan daerah Jawa. Dalam beberapa berita disebutkan bahwa unsur-unsur dari
PGRS/PARAKU ini telah membuka jaringan di daerah Sumatera. 22 Hal ini
disebabkan posisi mereka di wilayah perbatasan Kalimantan Barat dan Sarawak
yang semakin terdesak karena operasi militer dari pihak pemerintah Indonesia
maupun Malaysia. Beberapa anggota PGRS/PARAKU juga berhasil menyusup ke
Jakarta dengan maksud untuk menghubungi tokoh-tokoh gerakan illegal Cina
Komunis di Jakarta untuk mengadakan konsolidasi berkenaan dengan penutupan
Kedutaan Besar Cina di Jakarta. Pemutusan hubungan diplomatik dengan Cina
mengakibatkan hilangnya tempat berlindung dan berkumpul bagi gerakan Cina
komunis di ibu kota Jakarta. Dari tokoh-tokoh PGRS/PARAKU yang tertangkap
oleh pihak militer Indonesia dan dokumen-dokumen yang berhasil disita, dapat
diketahui bahwa kaum komunis ini berusaha untuk mengketatkan rencana dari
Cina komunis (Peking) bahwa pada tahun 1970 seluruh Asia Tenggara harus
sudah dikomuniskan, termasuk Indonesia. 23
Gerombolan PGRS/PARAKU mampu bertahan cukup lama untuk
melakukan perlawanan terhadap pemerintah Indonesia karena didukung oleh
beberapa faktor, antara lain:
-
Universitas Indonesia
46
Universitas Indonesia
47
Dengan berakhirnya konfrontasi Indonesia-Malaysia, maka pasukanpasukan tempur Indonesia mulai ditarik dari daerah perbatasan. Kondisi yang
demikian menyebabkan timbulnya masalah-masalah baru yang berkaitan dengan
keamanan. Beberapa kelompok atau kegiatan yang dikhawatirkan dapat
menimbulkan gangguan keamanan adalah:
-
Partisan Dwikora
Adanya
pemegang-pemegang
senjata
(non
militer)
yang
belum
dikembalikan
-
Lampiran Risalah Serah Terima Kodam XII/Tandjungpura, 30 Juni 1967, hal. 12-13.
Universitas Indonesia
48
26
Universitas Indonesia
49
Semula
mereka
membantu
Indonesia
dengan
harapan
dapat
29
Ibid.
Tim Penyusun Buku Sejarah Kodam VI/TPR. (1986). Tiga Puluh Enam Tahun
Komando Daerah Militer VI Tanjungpura, 20 Juli 1956 1986. Balikpapan: Tim Penyususn Buku
Sejarah Kodam VI/TPR, hal. 38.
30
Universitas Indonesia
50
Lampiran Risalah Serah Terima Kodam XII/Tandjungpura, 30 Juni 1967, hlm. 7-8
Angkatan Bersendjata, 18 Oktober 1967.
33
Muhlis Suhaeri, The Lost Generation ke-2, dimuat dalam koran Borneo Tribune, 11
Februari 2008. Diunduh dari http://muhlissuhaeri.blogspot.com/2008/02/lost-generations-2.html,
tanggal 15-12-2010, jam 21.30.
32
Universitas Indonesia
51
Universitas Indonesia
52
35
Universitas Indonesia
53
terlibat dengan kelompok Cina komunis ini dikabarkan telah mengungsi dari
daerah Sanggau Ledo ke Bengkayang. Mereka kurang lebih berjumlah 60 orang. 38
Berhembusnya kabar tersebut pada mulanya tidak mempengaruhi sikap
etnis Dayak terhadap etnis Cina. Sikap permusuhan masyarakat Dayak terhadap
etnis Cina mulai muncul ketika ada isu bahwa orang Dayak dan Jawa di
Kalimantan Barat dari umur enam tahun ke atas akan dibunuh semua apabila
mereka tidak membantu gerombolan Cina komunis. Pada awalnya, isu tersebut
tidak terlalu dirisaukan oleh masyarakat Dayak, sampai terjadinya peristiwa
pembunuhan terhadap beberapa orang Dayak. Pada bulan Maret 1967, terjadi
pembunuhan terhadap seorang guru Dayak di daerah Sungkung. Pada bulan
September juga terjadi penculikan dan pembunuhan terhadap sembilan orang
Dayak dari kampung Taum. Kemudian terjadi pembunuhan terhadap seorang
kepala adat Dayak di daerah Bengkayang. 39 Semua peristiwa tersebut dikaitkan
dengan isu sebelumnya, yaitu ancaman gerombolan Cina komunis, sehingga yang
dituduh sebagai pelaku penculikan dan pembunuhan adalah gerombolan Cina
tersebut.
Dalam kaitan ini sebenarnya penculikan dan pembunuhan yang terjadi
belum tentu dilakukan oleh kelompok Cina komunis. Kabar pembunuhan tersebut
bisa jadi secara sengaja dihembuskan sebagai bagian dari operasi intelejen
Indonesia untuk melakukan provokasi yang memicu keretakan hubungan
masyarakat Dayak dan Cina. Jika dikaitkan dengan konsep gerilya yang
dikemukakan oleh Jenderal A.H. Nasution (1984), tindakan ini merupakan antigerilya yang digunakan untuk melawan gerilya. Gerilya berakar dari rakyat, oleh
karena itu untuk mengalahkannya akar-akar gerilya dari rakyat tersebut harus
diputuskan. Jadi perang anti-gerilya yang dilakukan di sini bertujuan untuk
memisah PGRS/PARAKU dan penduduk Cina di daerah pedalaman yang menjadi
pangkalannya. 40
38
Universitas Indonesia
54
Hubungan yang terjalin baik antara kedua kelompok etnis itu menjadi
salah satu faktor yang mendukung suasana kondusif untuk perkembangan
kelompok Cina komunis di perbatasan. Masyarakat Dayak tidak akan
mengganggu kegiatan dari etnis Cina di pedalaman sepanjang kegiatan tersebut
tidak mengganggu mereka. Oleh karena itu untuk memudahkan penumpasan
PGRS/PARAKU, salah satu usaha yang dilakukan pihak militer Indonesia adalah
memisahkan atau memecah hubungan yang baik antara etnis Cina dan Dayak,
dengan cara memprovokasi dan menghembuskan isu-isu yang menyebabkan
permusuhan diantara kedua kelompok etnis tersebut.
Dengan terjadinya beberapa pembunuhan, muncul keresahan di antara
orang Dayak. Mereka mengkhawatirkan terjadinya penculikan dan pembunuhan
yang lebih banyak lagi. Beberapa pemuka adat suku Dayak kemudian
mengadakan pertemuan dengan mantan Gubernur Kalimantan Barat, J.C.
Oevaang Oeray, 41 yang merupakan salah satu tokoh Dayak di Pontianak.
Sebelumnya pihak tentara Indonesia telah meminta dukungan kepada Oevaang
Oeray, supaya orang Dayak membantu tentara. Oevaang Oeray adalah salah satu
tokoh masyarakat Dayak yang sangat disegani oleh orang Dayak, sehingga segala
ucapannya dipercaya dan dituruti perintahnya. 42
Pertemuan antara pemuka-pemuka adat suku Dayak dengan Oevaang
Oeray dimaksudkan untuk membahas peristiwa penculikan dan pembunuhan
terhadap orang Dayak. Sebagai hasil dari pertemuan tersebut, Oevaang Oeray
memberikan petunjuk dengan tiga pandangan, yaitu:
(1) PGRS/PARAKU adalah kelompok komunis, dan komunis tidak beragama,
sedangkan orang Dayak adalah orang yang beragama. Oleh karena itu
orang Dayak tidak bisa hidup bersama komunis. Jadi PGRS/PARAKU
harus diganyang.
(2) PGRS/PARAKU mengganggu keamanan, yang berakibat juga pada
terganggunya keamanan orang-orang Dayak dalam mencari penghidupan
41
Johanes Chrisostomus Oevaang Oeray adalah tokoh suku Dayak yang menjadi
Gubernur Kalimantan Barat pada tahun 1959 1966.
42
Muhlis Suhaeri.(2008). The Lost Generation - 9. Tulisan berseri dalam Borneo
Tribune,
dimuat
tanggal
18
Februari
2008,
diunduh
dari
http://muhlissuhaeri.blogspot.com/2008/02/lost-generations-9.html, pada tanggal 15-12-2010, jam
21.30.
Universitas Indonesia
55
perbuatannya,
sehingga
muncul
istilah
PGRS/PARAKU.
Hasil
pertemuan
tersebut
diikuti
dengan
43
44
Universitas Indonesia
56
terjadi
pertempuran
antara
tentara
dan
gerombolan
Muhlis Suhaeri.(2008). The Lost Generation - 10. Tulisan berseri dalam Borneo
Tribune,
dimuat
tanggal
19
Februari
2008,
diunduh
dari
http://muhlissuhaeri.blogspot.com/2008/02/lost-generations-10.html, pada tanggal 15-12-2010,
jam 21.30.
46
Ibid.
47
Semdam (1970). Op.Cit.., hal. 275-276.
48
Ibid, hal. 275-276.
Universitas Indonesia
57
49
Universitas Indonesia
58
51
Universitas Indonesia
59
orang Cina WNA dan WNI. Banyak di antara mereka yang menjadi korban tidak
tahu menahu dan tidak terlibat dalam gerombolan Cina komunis. 54
Dari munculnya gerakan PGRS-PARAKU dapat dilihat adanya kerjasama
atau hubungan yang erat antara etnis Cina yang tinggal di Sarawak dengan
golongan Cina di Kalimantan Barat. Mereka saling membantu dan mengadakan
kontak melewati daerah perbatasan, baik secara legal maupun illegal. Kelompok
etnis lain, seperti Melayu dan Dayak tidak begitu terpengaruh dengan kegiatan
mereka karena hubungan sosial-ekonomi yang sudah terjalin lama.
Orang Cina di Kalimantan Barat telah lama mempunyai hubungan sosialekonomi yang baik dengan orang Dayak. Kondisi yang demikian memudahkan
orang Cina (komunis) untuk mengembangkan gerakan di daerah Kalimantan
Barat. Orang-orang Dayak tidak akan menentang, bahkan kemungkinan akan
terpengaruh untuk membantu kegiatan gerombolan PGRS-PARAKU, sepanjang
hal tersebut tidak merugikan mereka. Perubahan sikap muncul ketika ada
pengaruh dari pihak lain yang mempunyai maksud dan tujuan tertentu. Dalam
kasus demonstrasi Orang Dayak terhadap etnis Cina, pihak militer memanfaatkan
untuk membantu penumpasan gerakan PGRS/PARAKU.
54
Universitas Indonesia
60
Bab 4
Penumpasan dan Dampaknya
Dalam bab tiga sudah dijelaskan bagaimana gerakan PGRS/PARAKU
muncul, apa saja aktivitasnya, bagaimana sikap dan tindakan pemerintah, serta
sikap masyarakat. Sebagai kelanjutan dari bagian sebelumnya, bagian ini akan
melihat bagaimana gerakan PGRS/PARAKU ditumpas. Penumpasan gerakan
tersebut dimulai sejak tahun 1966. Ini bersamaan waktunya dengan selesainya
konfrontasi antara Indonesia dan Malaysia yang ditandai dengan penandatanganan
perjanjian perdamaian Jakarta Accord, pada tanggal 11 Agustus 1966. 1 Pada saat
itu usaha-usaha untuk membentuk kerjasama bilateral dimulai. Proses ini juga
seiring dengan proses penguatan masing-masing negara. Malaysia sebagai negara
federasi yang baru terbentuk pada tahun 1963 terancam dengan munculnya
gerakan PGRS/PARAKU yang berhaluan komunis. Sementara itu di Indonesia
rezim Orde Baru yang baru saja menggantikan rezim Orde Lama melarang ajaran
komunis. Oleh karena itu kedua pihak kemudian menjalin kerjasama untuk
menghilangkan gerakan komunis yang muncul di daerah perbatasan.
Usaha-usaha pemerintah Orde Baru untuk membentuk negara yang kuat,
mendapat dukungan militer. Dalam proses penguatan rezim baru yang bersifat
sentralistik ini, kelompok-kelompok pemberontak atau separatis yang dipandang
mengancam keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia harus berhadapan
dengan militer dan ditumpas. Penumpasan menjadi satu kata yang menyiratkan
proses militerisasi pada masa Orde Baru yang sedang berlangsung. Kata ini sangat
biasa dipakai oleh rezim Orde Baru dalam usaha untuk menghadapi berbagai
kelompok yang menentang pemerintah, misalnya penumpasan G 30 S,
penumpasan Gerakan Aceh Merdeka (GAM), penumpasan Organisasi Papua
Merdeka (OPM), dan sebagainya.
1
Perjanjian perdamaian antara Indonesia dan Malaysia memuat tiga perkara penting,
yaitu : (1) Malaysia setuju untuk memberikan peluang kepada rakyat Sabah dan Sarawak untuk
memastikan keinginan mereka tetap menjadi bagian dari Malaysia atau tidak dengan mengadakan
satu pilihan raya yang bebas; (2) kedua pihak setuju untuk mengadakan hubungan diplomatik dan
mengadakan pertukaran perwakilan diplomatik dengan segera; (3)Malaysia dan Indonesia setuju
untuk menghentikan segala bentuk permusuhan diantara mereka. Kunaseelan Muniandy. (1996).
Hubungan Malaysia Indonesia 1957 1970. Kuala Lumpur : Dewan Bahasa dan Pustaka, hlm.
233.
Universitas Indonesia
61
Universitas Indonesia
62
penyusupan-penyusupan,
hingga
melakukan
pemberontakan
perlawanan
militer
konvensional
yang
dibarengi
dengan
perlawanan
secara
gerilya
dan
bersifat
sporadis.
Pusat-pusat
Universitas Indonesia
63
PGRS yang dipimpin oleh Lim a Lin, dengan jumlah lebih kurang 450
orang. Mereka berrmarkas di daerah Gunung Setawi dan Sempatung.
PGRS yang dipimpin oleh Lai Pa Xa, dengan jumlah sekitar 30 orang.
Pasukan ini beroperasi di daerah segitiga Kampung Enteruk.
Universitas Indonesia
64
Pasukan ini dipimpin oleh S.A. Sofyan dari PKI dan Hwang dari PGRS. Pusat
kegiatan pasukan ini berada di daerah Bukit Bara di Kabupaten Sambas. 5
Melihat perkembangan PGRS/PARAKU yang semakin kuat dengan
adanya
penggabungan
dari
PKI,
Kodam
XII/Tanjungpura,
sebagai
5
6
Universitas Indonesia
65
Martinus, dan Batu Beti. Karena medan pertempuran yang luas dan sulit untuk
dijangkau, maka jumlah pasukan militer Indonesia 1500 personil. 7
Pada
bulan
Juli
1967,
terjadi
pergantian
Panglima
Kodam
pihak
militer
Indonesia
untuk
membantu
keberhasilan
militer
dalam
menumpas
gerombolan
22.
Universitas Indonesia
66
8
9
Universitas Indonesia
67
yng dikerahkan dalam kegiatan ini keseluruhannya mencapai 6500 orang.10
Tujuan utama dalam operasi Saber III ini, adalah penghancuran PGRS/PARAKU,
dan penangkapan para pemimpinnya, seperti Sofyan alias Heru, Yap Chung Ho,
dan Huang. Selain itu operasi ini juga bertujuan untuk membersihkan masyarakat,
aparatur pemerintah, dan ABRI dari unsur-unsur PGRS/PARAKU, G/30 S/PKI,
dan kelompok-kelompok ekstrem lainnya di wilayah perbatasan. 11
Pada awal tahun 1969, menurut catatan Kodam XII/Tanjungpura, jumlah
anggota PGRS/PARAKU yang tersisa kurang lebih 148 orang. Mereka tersebar di
beberapa tempat sebagai berikut:
Lokasi
Pimpinan
Kekuatan
Batu Hitam
Bara-Bina
S.A. Sofjan
14 orang
Sungkung-Sempatung
12 orang
Sontas
16 orang
41 orang
Tekelan,
38 orang
Benua Martinus
10
11
Universitas Indonesia
68
tertembak
pada
tanggal
25
Maret
1969.
Sisa-sisa
gerombolan
mengadakan
pertempuran terbuka, kecuali jika bertemu dengan pasukan Indonesia yang kecil
pula. 13
Anggota-anggota PGRS/PARAKU mempunyai siasat dan taktik gerilya
yang baik, antara lain karena pelatihan-pelatihan yang telah mereka dapatkan dari
militer Indonesia pada masa konfrontasi. Mereka juga menguasai medan
pertempuran di perbatasan, sehingga tahu kapan dan dimana harus bersembunyi,
dan dimana bisa menyeberang ke wilayah Sarawak atau sebaliknya. Hal inilah
yang menyebabkan perjuangan mereka berjalan panjang, dan tidak bisa segera
ditumpas oleh pihak militer Indonesia. Mengingat kondisi yang demikian, maka
pihak militer Indonesia tidak hanya melakukan operasi militer dengan
pertempuran, namun juga menerapkan operasi teritorial, yaitu kegiatan
penaklukan tanpa peperangan. Operasi teritorial dilakukan dengan membuat suatu
pendekatan terhadap masyarakat, dan memberikan penerangan, misalnya PGRSPARAKU itu apa, datangnya dari mana, tujuannya apa, dan sebagainya. Pada
akhirnya ditekankan bahwa PGRS-PARAKU bukan warga negara Indonesia, jadi
tidak perlu dibantu. 14
12
Universitas Indonesia
69
Universitas Indonesia
70
mengirim warganya, bahkan setiap rumah harus ada satu orang menjadi wakil,
untuk membantu tugas tentara. Mereka bukan hanya bertugas sebagai kurir,
penunjuk jalan, atau pembawa barang, tetapi mereka juga harus ikut berperang
menumpas PGRS-PARAKU. Masyarakat ada yang dipersenjatai, namun ada juga
yang membawa senjata tradisional seperti tombak dan mandau. Dalam setiap
operasi militer yang dilakukan, biasanya satu regu tentara yang terdiri dari 11
personel didampingi oleh 8 penduduk lokal. Untuk satu Kompi tentara yang
terdiri dari 100 personel, didampingi sekitar 50 penduduk lokal. Selama masa
operasi militer ini di setiap kampung terdapat posko tentara yang diisi satu peleton
pasukan, yang terdiri dari 26 personel. 18
Tentara Indonesia memanfaatkan para pemuka adat suku Dayak dalam
menumpas PGRS/PARAKU. Para tokoh Dayak, seperti Panglima Burung di
Ketapang, Panglima Tukiman di Sungkung, Panglima Sopa di Bengkayang, dan
tujuh Panglima lainnya diberi pangkat kehormatan atau Pangkat Tituler, setingkat
Letnan. Hal ini ditujukan untuk kebanggaan dalam masyarakat. Mereka juga
mendapat persenjataan dari tentara, bahkan juga mendapatkan gaji. Para panglima
suku Dayak ini ditugaskan untuk merekrut, mengarahkan anak buahnya, dan
bersama tentara memberantas PGRS/PARAKU. Para Panglima direkrut dengan
alasan bahwa PGRS/PARAKU berusaha untuk menguasai wilayah Kalimantan
Barat. Jadi jika PGRS/PARAKU tidak diberantas maka suku Dayak akan berada
dibawah kekuasaan PGRS/PARAKU. 19
Walaupun telah memperoleh bantuan dari masyarakat lokal dalam
melakukan penumpasan terhadap PGRS/PARAKU, namun tentara belum
sepenuhnya bisa mematahkan perjuangan gerombolan tersebut. Anggota
PGRS/PARAKU berpindah-pindah tempat dan keluar masuk di wilayah
perbatasan Kalimantan Barat maupun Sarawak. Pemerintah Indonesia melakukan
tindakan militer untuk menangani masalah ini, demikian juga dari pihak Malaysia.
18
Universitas Indonesia
71
Universitas Indonesia
72
penyerangan-penyerangan,
pembunuhan,
perampasan
Universitas Indonesia
73
Universitas Indonesia
74
Universitas Indonesia
75
oleh
kelompok
pemberontak,
pengungsian,
dan
sebagainya.
Dalam peristiwa gerakan PGRS/PARAKU, masyarakat mengalami dua
akibat sekaligus, yaitu tekanan dari pemberontak maupun akibat dari kebijakan
pemerintah untuk menumpas gerakan PGRS/PARAKU melalui operasi-operasi
militer. Penduduk yang tinggal di daerah yang bergejolak berada dibawah
ancaman kaum pemberontak. Pihak gerombolan seringkali meminta bantuan
logistik secara paksa. Di sisi lain mereka takut terhadap pemerintah jika dicurigai
dan dianggap membantu gerombolan.
Masyarakat yang tinggal di lokasi pemberontakan menjadi rebutan untuk
dipengaruhi pihak pemberontak maupun pemerintah. Gerombolan Cina komunis
yang memberontak berpegang pada ajaran Mao yang menganggap masyarakat
sebagai basis sosial. Dukungan dari masyarakat akan sangat berpengaruh terhadap
keberhasilan pemberontakan. Masyarakat yang terpengaruh oleh kelompok
pemberontak dapat berfungsi sebagai pemasok logistik, sekaligus bersedia sebagai
kader milisi untuk bergabung dalam perjuangan.
Dalam peristiwa pemberontakan dan penumpasan PGRS/PARAKU,
masyarakat yang tinggal di wilayah perbatasan yang sedang bergolak ini banyak
mengalami kerugian dan menjadi korban. Dalam operasi penumpasan, para
penduduk yang membantu tentara sebagai penunjuk jalan harus berjalan di depan.
Oleh karena itu tak mengherankan jika terjadi pertempuran, masyarakat sipil ini
banyak yang menjadi korban karena posisi mereka yang berada di barisan depan.
Jika ada tentara yang tewas dalam pertempuran, jasadnya akan ditandu dan
dibawa ke lapangan yang bisa didarati helikopter, untuk dibawa ke Bengkayang
atau Singkawang. Tetapi jika ada penduduk lokal yang membantu tentara tewas
dalam peperangan, terkadang mayatnya ditinggal begitu saja di hutan. Hal inilah
yang menimbulkan trauma dan sakit hati penduduk terhadap tentara. Perasaan
sakit hati juga diperkuat dengan permintaan paksa yang dilakukan tentara untuk
mendapatkan beras, ayam, dan barang kebutuhan lainnya kepada penduduk
kampung yang mereka lewati. Perasaan trauma dan ketakutan terhadap tentara
Universitas Indonesia
76
sangat besar karena tak jarang penduduk yang tidak mau membantu dihukum atau
dipukuli oleh tentara. 30
Dampak
yang
lebih
besar
dari
gerakan
PGRS/PARAKU
dan
pedalaman
Kalimantan
Barat,
menuju
kota-kota
di
Pontianak,
Universitas Indonesia
77
Mary Somers Heidhues. (2008). Penambang Emas, Petani, dan Pedagang di Distrik
Tionghoa Kalimantan Barat. Jakarta: Yayasan Nabil, hlm. 277.
35
Suluh Marhaen, 1 Desember 1967
Universitas Indonesia
78
pedalaman yang terlibat dalam gerakan PGRS/PARAKU telah berubah arah. Para
demonstran seolah membabi buta dengan menyerang pusat-pusat kegiatan
perekonomian, misalnya di kota kecamatan Tebas, Kabupaten Sambas. Padahal
tempat tersebut merupakan kota pertanian utama dan gudang padi Kabupaten
Sambas. Daerah Singkawang dan sekitarnya yang menjadi penghasil karet juga
ditinggalkan oleh para penghuninya yang sebagian besar etnis Cina. Gudanggudang pengasapan karet dan penggilingan karet tidak beroperasi. Sebagai
akibatnya sektor perekonomian, terutama ekspor, mengalami hambatan yang
besar. 36
Dalam salah satu berita surat kabar pada waktu itu disebutkan bahwa
rakyat di Nanga Kantuk yang berdekatan dengan perbatasan Kalimantan Barat
dan Sarawak seolah-olah terkurung, sehingga mereka menemui kesulitan untuk
mendapatkan bahan-bahan pokok yang mereka perlukan, terutama garam, minyak
tanah dan tembakau. Kebutuhan beras masih bisa dipenuhi dari hasil tanaman padi
yang mereka usahakan. Selama berhari-hari ada diantara anggota masyarakat yang
tidak bisa makan nasi karena tidak warung yang buka. Karena tidak bisa
memperoleh beras, akhirnya mereka hanya makan ubi. 37
Melihat kondisi tersebut, pemerintah melalui Pangdam XII/Tandjungpura,
Brigjen Soemadi, memberikan modal kepada para panglima suku Dayak yang
dianggap berjasa, untuk mendistribusikan barang di pedalaman. Namun karena
tidak ada bakat dan keahlian untuk berdagang, usaha tersebut tidak berjalan.
Gubernur Kalimantan Barat pada waktu itu, Kadarusno, juga pernah melakukan
usaha untuk memberikan modal kepada para panglima, untuk menyuplai barang
di pedalaman, tetapi usaha tersebut tidak berhasil. 38
Untuk mengatasi masalah yang muncul, terutama masalah pengungsian
orang-orang Cina sebagai akibat dari demonstrasi masyarakat Dayak, pemerintah
mengadakan resettlement ke tempat-tempat pertanian yang baru. Resettlement
dilakukan dengan sistem berpencar untuk menghidari munculnya kekuatan36
Ibid
Api Pantjasila, 6 Nopember 1967.
38
Muhlis Suhaeri.(2008). The Lost Generation - 19. Tulisan berseri dalam Borneo
Tribune,
dimuat
tanggal
28
Februari
2008,
diunduh
dari
http://muhlissuhaeri.blogspot.com/2008/02/lost-generations-19.html, pada tanggal 15-12-2010,
jam 21.30.
37
Universitas Indonesia
79
Universitas Indonesia
80
Universitas Indonesia
81
Bab 5
Kesimpulan
Persoalan perbatasan bukan persoalan sejarah saja, tetapi menjadi
persoalan terus menerus antara dua negara yang saling berbatasan. Perbatasan
biasanya menjadi daerah yang kurang mendapat perhatian dari pihak penguasa,
sehingga perbatasan ini menjadi tempat yang relatif aman untuk berkembangnya
berbagai kegiatan illegal seperti penyelundupan, migrasi illegal, maupun sebagai
basis kegiatan kelompok yang menentang pemerintah pusat. Pada periode 1963
1970 di wilayah perbatasan Kalimantan Barat dan Sarawak terjadi gejolak, karena
terjadinya
konfrontasi
dan
gerakan
komunis.
Inilah
yang
kemudian
Universitas Indonesia
82
Di perbatasan Kalimantan Barat dan Sarawak, banyak terdapat tempattempat perlintasan yang illegal dan tanpa penjagaan, sehingga memudahkan
anggota PGRS/PARAKU untuk
berpindah-pindah
tempat,
dari
wilayah
Universitas Indonesia
83
masyarakat Dayak terhadap etnis Cina komunis, yang berarti retaknya hubungan
dari kedua kelompok etnis.
Kemunculan
gerakan
PGRS/PARAKU
dan
operasi-operasi
Universitas Indonesia
84
Daftar Pustaka
Arsip dan Dokumen:
Dokumen Operasi PGRS/PARAKU Pusjarah ABRI 1969
Dokumen Operasi PGRS/PARAKU Pusjarah ABRI 1974-1981
Departemen Penerangan R.I. (1963). Politik Kita adalah Politik Konfrontasi.
Salinan Naskah Amanat Presiden Sukarno pada Rapat Raksasa Front
Nasional Mengganjang Malaysia di Istana Olahraga Gelora Bung
Karno, Senayan, Jakarta, 27 Juli 1963.
Laporan Perkembangan tentang Situasi Daerah Serawak. Komando Wilayah
Pertahanan I Kodam XII/Tanjungpura, April 1978.
Risalah Serah Terima Kodam XII/Tandjungpura, 30 Juni 1967
Koran:
Angkatan Bersendjata, Oktober Desember 1967
Api Pantjasila, Oktober Deember 1967
Bintang Timur, 26 Desember 1962
Suara Merdeka, 11 Desember 1962
Suluh Marhaen, Oktober Desember 1967
Universitas Indonesia
85
Universitas Indonesia
86
Osman, Mohd. Taib dan Yusoff, Wan Kadir. (1987). Kajian Budaya dan
Masyarakat di Malaysia. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka
Kementerian Pelajaran Malaysia.
Osman, Sabihah. (2009). Pembangunan Politik Sarawak: Satu Penelusuran
Sejarah, dalam Nidzam Sulaiman dan Zaini Othman (eds.). Pilihan Raya
dan Pembangunan Politik Sarawak. Sabah: UMS.
Panggabean, M. (1993). Berjuang dan Mengabdi. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
PSDR-LIPI. (2002). Pariwisata Etnik/Budaya dan Identitas Komunitas Lokal di
Malaysia. Jakarta: Pusat Penelitian Sumberdaya Regional LIPI.
Rahardjo, Iman Toto K. dan Suko Sudarso (eds.). (2010). Bung Karno: Masalah
Pertahanan Keamanan. Jakarta: Grasindo.
Reduan Haji Asli, Mohd. (1993). Pemberontakan Bersenjata Komunis di
Malaysia. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka Kementerian
Pendidikan Malaysia.
Riwut, Tjilik. (1979). Kalimantan Membangun. Palangka Raya: Mendagri.
Semdan XII/Tandjungpura (1970). Tandjungpura Berdjuang: Sejarah Kodam
XII/Tandjungpura Kalimantan-Barat.
Soemadi. (1974). Peranan Kalimantan Barat dalam Menghadapi Subversi
Komunis Asia Tenggara. Pontianak: Yayasan Tanjungpura.
Suhaeri, Muhlis. (2008). The Lost Generation, seri 1 - 19. Tulisan berseri dalam
Borneo Tribune, dimuat tanggal 14 Februari 2008, diunduh dari
http://muhlissuhaeri.blogspot.com/2008/02/lost-generations.html,
pada
tanggal 15-12-2010, jam 21.30.
Suryansyah, Gst. (1994). Masalah Daerah Perbatasan Indonesia Malaysia di
Kalimantan Barat: antara Pertimbangan Ekonomi dan Keamanan.
Yogyakarta: Tesis Program Pasca Sarjana Universitas Gadjah Mada.
Syaffie, Fauziah dan Ruslan Zainuddin. (2001). Sejarah Malaysia. Selangor: Fajar
Baki Sdn. Bhd.
Tarling, Nicholas (ed.). (1999). The Cambridge History of Southeast Asia.
Volume three, from c. 1800 to the 1930s. Cambridge university Press.
Team Penyusun Monografi Daerah Kalimantan Barat. (1976). Monografi Daerah
Kalimantan Barat. Jakarta: Proyek Pengembangan Media Kebudayaan
Direktorat Jenderal Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
RI.
Universitas Indonesia
87
Tim Penyusun Buku Sejarah Kodam VI/TPR. (1986). Tiga Puluh Enam Tahun
Komando Daerah Militer VI Tanjungpura, 20 Juli 1956 1986.
Balikpapan.
Tirtosudarmo, Riwanto dan Haba, John (ed.). (2005). Dari Entikong Sampai
Nunukan: Dinamika Daerah Perbatasan Kalimantan Malaysia Timur
(Serawak dan Sabah). Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
Tobing, K. (1955). Kalimantan-Barat. Bandung: Penerbit N.V. Masa Baru.
Universitas Indonesia