Anda di halaman 1dari 6

1

Sejarah Front Mahasiswa Nasional (FMN)


Kelahiran Front Mahasiswa Nasional (FMN) tidak terlepas dari penindasan dan penghisapan yang dilakukan rezim fasis boneka imperialis Soeharto terhadap rakyat dan juga pemuda/mahasiswa di Indonesia. Setelah dikeluarkan kebijakan Normalisasi Kebijakan Kampus/Badan Koordinasi Kampus (NKK/BKK) sebagai buntut dari protes besar-besaran mahasiswa dalam peristiwa Malari 1974 dan penolakan terhadap pencalonan kembali Soeharto pada tahun 1978 yang melahirkan tragedi berdarah di ITB, gerakan pemuda dan mahasiswa dipaksa tiarap selama hampir sepuluh tahun (akhir 70-an sampai akhir 80-an) dari aktifitas politik di kampus dan pentas politik nasional. Meskipun dipaksa tiarap, oleh tangan besi rezim Soeharto tetap tidak bisa membungkam semangat perlawanan rakyat dan pemuda/mahasiswa. Dari konsolidasi kecil-kecilan ini, gerakan pemuda/mahasiswa mulai kembali ke ranah kampus dengan mendirikan forum-forum komunikasi mahasiswa, seperti Forum Komunikasi Mahasiswa Yogyakarta (FKMY), Forum Komunikasi Mahasiswa Bandung dan Forum Komunikasi Mahasiswa Surabaya (FKMS). Kentalnya perbedaan cara pandang dalam menganalisa situasi konkret masyarakat Indonesia, monopoli kepemimpinan organisasi oleh individu atau segelintir orang ditambah dengan lemahnya upaya mensolidkan organisasi, akhirnya memaksa membubarkan diri. forum-forum komunikasi mahasiswa tersebut Pasca bubarnya konsolidasi forum-forum komunikasi mahasiswa, konsolidasi lebih lanjut dilakukan dengan dibentuknya Forum Aksi Mahasiswa Indonesia (FAMI) dan Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi (SMID) dalam kurun waktu 1991-1994. Lahirnya FAMI dan SMID tidak terlepas dari historis dialektika FMN, karena awalnya memang satu barisan, yang mendasari tidak bertemunya para pioner FMN dengan FAMI dan SMID adalah masalah analisis terhadap situasi obyektif negara maupun rakyat yang berpengaruh terhadap metode perjuangan (tampak di kemudian hari adalah FAMI berubah menjadi FPPI yang mayoritas didalamnya adalah aktivis 80-an yang banyak terlibat di LSM dan SMID yang kemudian berubah menjadi PRD yang merambah pada jalan parlementariat). Disisi lain memang harus kita akui bahwa belum ada teori maju dan benar dalam pemahaman kita saat itu, tentang bagaimana organisasi yang akan kita bangun (pra tahun 1995). Awal pembentukan jaringan FMN adalah pada tahun 1995 dan berlanjut pada tahun 1996 saat diadakannya Podium Demokrasi di Batu dan pada tahun 1997 di Ponorogo. Isu yang membuat mahasiswa bersatu waktu itu adalah sikap anti Jakarta, terutama pasca Tragedi 27 Juli 1996 (move-nya PRD) yang membuat semuanya saling menuduh dan melepas tanggungjawab. Kawan-kawan Jakarta menganggap daerah tidak cukup berani untuk lebih frontal dalam melakukan aksi, kawan-kawan selain Jakarta pun menganggap bahwa tindakan kawan-kawan Jakarta akan menganggu proses konsolidasi nasional dengan adanya move-move politik. Hal inilah yang membuat penangkapan dan penculikan besar-besaran terhadap aktivis-aktivis mahasiswa, termasuk juga beberapa pioner dari FMN. Ini adalah awal mula keinginan untuk membangun sebuah organisasi nasional secara lebih serius. Hal ini mendorong pertemuan di ponorogo tahun 1997, kemudian berlanjut di Bandung pada awal tahun 1998 (cikal bakal kolektif awal dari FMN). Hasil dari pertemuan ini diantaranya adalah:

2
1. 2. advokasi terhadap kawan-kawan yang tertangkap (dari bandung tercatat kawan Juwandi), dan akan diadakan pertemuan lanjutan di Malang pada bulan November tahun 1998. hasil pendidikan, berangkat dari penerapan kurikulum yang sama walaupun masih ada kompromi terhadap beberapa materi (disesuaikan kondisi obyektif basis pengorganisiran) yang kemudian kita kenal dengan muatan lokal. Dari penerapan modul ini, sebenarnya kita telah mengubah langgam dari kelompok studi menjadi gerakan mahasiswa. Tahun 1999 konsolidasi telah menggunakan nama Forum Mahasiswa Nasional dengan fokus pembangunan organisasi tingkat kota yang menghimpun organisasi tingkat kampus. Ketika itu masih bernama Kelompok Kerja Nasional Forum Mahasiswa Nasional (Pokja FMN). Kemudian disusul dengan pembangunan organisasi tingkat kota yang terdiri dari Serikat Mahasiswa Kedaulatan Rakyat (SMKR) Yogyakarta, Front Indonesia MudaBandung (FIM-B), Serikat Mahasiswa untuk Demokrasi Rakyat (Samudra) Malang, Komite Aksi Mahasiswa untuk Perubahan Rakyat (KMPR) Jombang, Solidaritas Mahasiswa untuk Perjuangan Rakyat (SMPR) Surabaya, Forum Komunikasi Mahasiswa Mataram (FKMM), Serikat Mahasiswa Bandar Lampung (SMBL) dan Forum Mahasiswa untuk Kedaulatan Rakyat (FMKR) Palembang. Pada akhir tahun 1999 terjadi beberapa perpecahan (secara organisasi) pasca diadakannya Lokakarya Pendidikan di UGM Yogyakarta. Awalnya adalah SMKR kemudian disusul oleh AMIPRO RAkyat. Walaupun disisi lain kita telah berhasil merumuskan Kurikulum Pendidikan Bersama yang diadakan di Rode, pasca Lokakarya tersebut (Mataram hadir). Isu yang mengemuka pada waktu itu adalah tentang persoalan siapa yang harus memimpin nasional karena memang saat itu persoalan eksistensi antar kota memang masih sangat tinggi yang mengakibatkan krisis kepercayaan sehingga pemicu utama pecahnya konsolidasi tersebut adalah terjebaknya pimpinan-pimpinan organisasi dalam subjektifsme yang tinggi dan kepemimpinan organisasi yang sangat tergantung pada sosok individu atau segelintir orang, hingga ketika muncul perdebatan yang mengemuka, tidak coba diselesaikan secara prinsipil atas dasar Kritik-persatuan-kritik, tetapi dengan cara-cara liberal dengan menggeret massa dalam konflik yang tidak sepenuhnya dipahami oleh mereka. Kabut gelap yang menyelimuti FMN diantara 1999-2000 tersebut, mendorong sebagian pimpinan organisasi yang masih konsisten akan perjuangan massa untuk mengambil langkah-langkah penyelamatan organisasi dengan mengkonsolidasikan organisasi-organisasi tingkat kota dan kampus. Dengan melakukakan Pergantian kepemimpinan dari Azwar Zulkarnaen ke Adul di Pokja FMN terjadi pada tahun 2000 pasca diadakannya Workshop Pendidikan di Lembang, Bandung. Banyak organisasi mahasiswa yang hadir pada waktu itu (selain yang lama, tercatat ada KAMJAK Jakarta, Dema UGM dan beberapa lainnya yang tidak terlibat di

Pertemuan di Malang bulan November 1998 (dihadiri Bandung (FIMB, kawan Azwar Zulkarnaen), Malang (FORSTEP, Forum Studi Ekonomi Politik, kawan Subhan, Nuryahya, Agus, Nikmah), Yogya (SMKR, Yoko, Batman, Toni), Surabaya (Cikals, kawan Aven) dan Jombang (KMPR, kawan Jaliteng)) menghasilkan beberapa rekomendasi-rekomendasi penting karena dalam pertemuan juga dibentuk komisi-komisi yang membahas: 1. 2. platform, dan pendidikan.

Hasilnya adalah: 1. Politik :

Aksi-aksi politik terbuka mulai dilakukan dengan menggunakan komite-komite aksi setiap kali menggelar unjuk rasa. Isu-isu yang diangkat masih seputar HAM dan Demokrasi baik di sektor mahasiswa dan masyarakat secara umum, namun tetap mengarah pada perlawanan terhadap rezim Soeharto. Mensepakati Aksi bersama pada tangga 28 Oktober 1998 dengan isu bersama yaitu Pendidikan Murah dan isu-isu populis rakyat (Landreform, Saham untuk Buruh, dan sebagainya). 2. Tentang Organisasi :

Seluruh kota bersepakat untuk segera membangun organisasi tingkat kota dengan catatan apabila prasyaratnya belum terpenuhi maka kota dianggap sebagai klaim politik, disamping juga melakukan ekspansi dan perluasan jaringan, hasil dari kesepakatan ini adalah FORSTEP berubah menjadi AMIPRO Rakyat (Aliansi Mahasiswa pro Rakyat), CIKALS menjadi SMPR (Solidaritas Mahasiswa untuk Pembebasan Rakyat) 3. Tentang Pendidikan:

Disepakatinya kurikulum pendidikan bersama serta metode Pendidikan (dikenalnya metode outclass). Yang harus kita garis bawahi dari pertemuan ini adalah bagaimana membangun organisasi kota (tentang prasyarat dari sebuah organisasi kota), keinginan untuk menyamaratakan

3
konsolidasinya LMND, FPPI dan RNMI. Selain beberapa penambahan secara kuantitas, disisi lain juga terjadi pengurangan sebagai akibat dari Perpecahan yang terjadi di Yogya (Lampung tidak hadir di Workshop ini). Pasca Workshop ini juga kita kenal sistem pembagian tanggung jawab atas ekspansi wilayah (Kodam-kodam). Namun pada fase ini, terjadi stagnasi yang sangat terasa karena tingginya faktor subyektivisme, namun gelora untuk tetap berkonsolidasi dan menjaga komunikasi tetap terjaga hingga akhirnya pada bulan Juli tahun 2001 di Jombang yang akhirnya dipindah ke Batu, Malang karena alasan keamanan diadakan konsolidasi yang didalamnya terdapat agenda: Evaluasi dan Suksesi. Pertemuan ini sebenarnya diawali oleh konsolidasi Pemuda di Yogyakarta yang kemudian bentukan dari pertemuan ini adalah dikenalnya organisasi-organisasi macam SPJ (Jombang), SPL (Lampung), BAR (Bandung), SPY (Yogyakarta), dan lain-lain, yang pada intinya adalah mengorganisasikan organisasi-organisasi yang orientasinya bekerja pada pengorganisiran sektor selain mahasiswa. Pertemuan ini yang pada akhirnya merekomendasikan keterlibatan kawan-kawan Dema UGM untuk ikut terlibat di konsolidasi nasional mahasiswa. Artinya, perlu di ingat bahwa kita secara langsung mempunyai ikatan historis yang cukup panjang tentang organisasi Pemuda. Bahkan kalau ditinjau dari sisi historis, Gerakan kaum muda di Indonesia sejak tahun 1928 dipelopori oleh kawan-kawan Pemuda tanpa embel-embel mahasiswa. Pertanyaannya sekarang adalah, apakah kita akan melupakan historis tersebut? Pada akhir tahun 2001, kembali diadakan konsolidasi di Yogyakarta (dihadiri oleh seluruh kolektif Pokja FMN pada masa kepemimpinan kawan Adul dan utusan-utusan kota) yang lebih banyak diinisiatifi oleh kawankawan pemuda setelah terjadinya masa kevakuman yang cukup lama di dalam Pokja FMN inilah kemudian ditunjuk kawan Willy Aditya (perwakilan KIBLAT-Komite Bersama untuk kedaulatan Rakyat-Yogyakarta) sebagai koordinator Pokja FMN yang mempunyai kolektif diantaranya Nimah (Samudra Malang), M.Taufik (FIM Bandung). untuk menyusun ulang kurikulum pendidikan nasional FMN. Kemudian penyamaan langgam kerja organisasi dengan menghidupkan kembali organisasi tingkat kota dan tingkat kampus dengan melakukan pengorganisasian massa dan perjuangan massa baik di tingkat kampus dan di tingkat kota. Kawan-kawan pokja FMN melakukan revisi atas Modul Pendidikan yang diadakan di Jetis Yogyakarta (dihadiri oleh Lampung, Mataram, Palembang, Solo, Malang, Yogya, Bandung, Jombang, Surabaya). Tahun ini juga dikenal koordinatorkoordinator Wilayah. Sementara dalam menganalisa masyarakat masih berdasarkan kesimpulan masyarakat Indonesia adalah masyarakat kapitalis. Namun mulai muncul perdebatan tentang analisa masyarakat Indonesia apakah berkarakter kapitalis atau berkarakter setengah jajahan-setengah feodal. Platform yang diusung adalah Deorbaisasi dan demiliterisasi serta anti imperialisme dengan mengusung tuntutan hak-hak demokratis rakyat, pelanggaran HAM dan kebijakan-kebijakan yang anti rakyat dari rezim. Kemudian mulai melakukan trasformasi secara bertahap dari organisasi kader berbasis massa menuju organisasi massa. Namun prinsip-prinsip organisasi seperti Sentralisme Demokrasi, Kepemimpinan Kolektif, Sistem Komite dan Garis massa belum mampu diterapkan secara tepat. Selanjutnya di kota yang sama, pada November 2002, diadakan Workshop Pembangunan Organisasi Nasional yang dihadiri oleh perwakilanperwakilan kota FMN, yaitu Padang, Palembang, Lampung, Bandung, Yogyakarta, Purwokerto, Malang, Surabaya, Jombang, dan Mataram. Workshop diadakan di tengah keinginan yang semakin kuat untuk membangun organisasi massa berskala nasional yang memiliki kepemimpinan dan garis perjuangan yang tegas. Diadakan untuk menyampaikan kegelisahan-kegelisahan dari kader-kader di semua kota atas praktek berorganisasi dan berjuang yang telah dijalankan. Di sinilah wacana mempersiapkan FMN menjadi sebuah organisasi massa (ormas) berskala nasional, yang menjadi alat perjuangan legalnya mahasiswa mengemuka. Selanjutnya, berpegang pada hasil workshop, sedikit demi sedikit dilakukan penyamaan langgam kerja dan standar pembangunan organisasi. Hasil workshop menjadi rujukan bagi pembangunan organisasi di kota-kota. Mulai tahun 2002 pula, pengenalan identitas Forum Mahasiswa Nasional di seluruh jaringan kota-kota dilakukan. Pengenalan simbol dan identitas ini memang tidak terjadi secara merata, namun secara bertahap dimulai dari organisasi tingkat Kota dengan nama Komite Kota. Tetapi, ditengah semangat untuk merapatkan barisan dalam satu kepemimpinan, ternyata ide-ide maju tersebut masih mendapatkan ganjalan. Di Bandung, terjadi perpecahan organisasi tingkat kampus, yaitu KA-Unpad. Mereka yang memilih berada dalam barisan maju FMN menyatakan keluar dan menyatakan membubarkan KA-Unpad (walaupun tidak berhasil), dan sisanya adalah yang merasa bahwa KA-Unpad adalah organisasi yang harus tetap eksis. Kasus ini tidaklah terlepas dari campur tangan alumni yang merasa dengan adanya FMN maka kepentingan Politiknya akan terganggu (Artinya KA-Unpad memandang bahwa masyarakat Indonesia berada dalam fase kapitalisme semu dan masih dominannya pandangan bahwa KA-Unpad menjadi centrum dari gerakan yand dibangun oleh FMN). Berbagai macam alasan dikemukakan diantaranya bahwa FMN berideologi MarxismeLeninisme, prinsip Sendem yang diterapkan adalah Sentralisme Diem-diem, dan hubungannya didominasi Pandangan group Pemuda. Perpecahan ini

4
menyadarkan kita pada suatu teori, bahwa persatuan adalah relatif dan perjuangan adalah mutlak! Pada tanggal 18 Mei 2003, bertempat di Balai Rakyat, Utan Kayu, Jakarta, Forum Mahasiswa Nasional secara resmi berganti menjadi Front Mahasiswa Nasional melalui acara yang dikenal sebagai Kongres Pendirian Front Mahasiswa Nasional atau Founding Congress FMN. Sejak itu pula, resmi dideklarasikan FMN sebagai organisasi massa (ormass) pemuda-mahasiswa. Dalam mukadimah Kongres Pendirian juga disebutkan bahwa garis politik atau garis perjuangan FMN adalah mewakili pandangan perjuangan Demokrasi Nasional yang anti imperialisme, anti feodalisme dan anti kapitalisme birokrasi (Walaupun belum ada ketetapan tentang Azas Demokrasi Nasional). Dari segi organisasi, kepemimpinan organisasi dari tingkat pusat hingga basis juga sudah terbentuk. Inilah sumbangsih terbesar Pengurus Komite Pusat FMN saat itu yang harus dihargai. Kita angkat topi untuk keberhasilan tersebut. Kolektif Komite Pusat FMN yang dipimpin kawan Wily Aditya telah mengakhiri sekian banyak konsolidasi organisasi menjadi satu klimaks, yaitu dideklarasikanya FMN sebagai organisasi massa mahasiswa yang bersifat terbuka bagi seluruh massa mahasiswa Indonesia. Terlepas dari proses yang dilakukan memang belum secara demokratis tapi kepeloporan ide dan kepemimpinan yang dibentuk waktu itu, mampu menangkap satu keresahan dikalangan anggota. 700 anggota FMN dari berbagai kota hadir dalam Kongres Pendirian organisasinya dan kemudian 740 orang anggota mengikuti aksi Nasional perdana FMN di Jakarta, di tempat pimpinan pusatnya berada. Seluruh energi, pikiran serta dana dicurahkan oleh anggota-anggota FMN. Bahu-membahu dari hampir semua kota mereka datang langsung untuk mewujudkan satu keinginan membangun organisasi massa mahasiswa berskala nasional. Betapa progresif dan patriotiknya anggota dan kesadaran yang bergelora mendapatkan kepemimpinan yang mereka tunggu. Pada Founding Kongres itulah, semua level organisasi dilebur dalam satu identitas Front Mahasiswa Nasional, tidak ada lagi Forum Mahasiswa Nasional, tidak ada lagi FMKR Palembang, SMBL di Lampung, FIM Bandung, KIBLAT Yogya, KMPR Jombang, SMPR Surabaya, SAMUDRA Malang, maupun FKMM di Mataram. Semua menggunakan satu identitas organbisasi yang sama. Dibawah kepemimpinan yang sama, yaitu Komite Pusat FMN. Dalam setengah tahun perjalanan pasca Kongres Pendirian FMN, muncul persoalan dalam masalah garis politik, muncul ide dari segelintir pimpinan di tingkat nasional untuk merubah garis politik dari demokrasi nasional menjadi sosialisme (Yang dimotori oleh Willy Aditya, Arfi bambani dan Selly Woyla). Sementara dalam lapangan organisasi, kepemimpinan individu atau segelintir orang masih begitu mengental, terutama di tingkat nasional dan mulai melemahnya pengorganisasian solid di kalangan massa dan anggota yang sangat berpengaruh pada kosolidasi di internal organisasi. Puncak dari permasalah yang terjadi ini mengemuka ketika Rapat Kerja Nasional (Rakernas) II di Purwokerto, Desember 2003, yang kemudian mendemisionerkan kepengurusan nasional Komite Pusat FMN dan digantikan dengan Badan Persiapan Kongres FMN (BPK FMN) yang terbentuk pada Januari 2004. Pasca Kongres semua anggota bersemangat, bergairah dan bangga terhadap organisasinya. Semangat ini dirasakan diseluruh Kota FMN. Hanya saja memang ada kelalaian dari kalangan pimpinan FMN saat itu dalam kerangka bagaimana langkah selanjutnya agar semangat yang mulai muncul ini segera diartikulasikan lewat aturan-aturan berorganisasi yang baik. Rakernas I FMN pasca Founding Kongres lebih banyak ditekankan pada perbaikan-perbaikan organisasi paska Kongres. Ada memang beberapa mekanisme yang mulai diterapkan seperti penggunaan nama Konferensi, instruksi bahwasanya pengurus harus tinggal disekretariat organisasi, dll. Beberapa seruan nasional juga berjalan dengan mulus ini sebenarnya pertanda bahwasanya organisasi mulai mengarah pada kemajuan. Setiap materi pasti pasti akan mengalami kontradiksi-kontradiksi. Begitu juga dengan FMN. Pasca Founding Congress, ternyata masih banyak kontradiksi kontradiksi internal yang mengarah pada hal yang antagonistik, yaitu perpecahan. Hal ini terjadi di beberapa kota. Di Bandung, 19 anggota FMN Komite Kampus IAIN SGD akhirnya keluar dari FMN setelah sebelumnya mengadakan Kongres Luar Biasa (KLB) Kampus. Dalam KLB tersebut dihasilkan sebuah keputusan pembubaran organisasi FMN di kampus IAIN, kembali kepada organisasi lama yaitu ALAM-IAIN, 19 orang anggota menyatakan mengundurkan diri, dan mengganti koordinator Kampus (saat ini, hanya tersisa dua orang anggota di IAIN). Suatu hal yang sangat mengejutkan dan menyesakkan dada untuk kehilangan kawan-kawan yang telah sama-sama berjuang membangun organisasi ini. Pada saat itu, ketidaksepakatan dengan mekanisme FMN yang dinilai terlalu sentralistik dan menegasikan segi demokratisnya menjadi faktor pemicu keluarnya mereka. Alasan tentang orientasi juga mengemuka, yaitu bahwa FMN diarahkan pada satu cara berpandang yang sama, pada satu ideologi yang sama, yaitu Marxisme-Leninisme. Faktor eksternal juga ternyata berperan dalam kasus ini. Beberapa alumni kampus ini juga turut bermain dan memprovokasi anggota. Walaupun demikian harus dengan bijak kita akui, ini adalah buah dari belum adanya mekanisme yang baku dan pasti di dalam FMN, serta pemahaman tentang ormas yang berbeda-beda, sehingga masih mengalami kesalahan yang sama. FMN Komite Kota Bandung juga belum secara tegas

5
dan mengakar menancapkan kepemimpinannya terhadap anggota anggotanya di kampus. Permasalahan juga terjadi dalam internal Komite Pusat sendiri saat itu, seperti beberapa pengurus Komite Pusat yang sering tidak berada disekretariat sehingga praktis konsolidasi dan koordinasi organsiasi menjadi tidak berjalan. Banyak program yang terbengakalai, Sekretaris Jenderal KP yang menyatakan mengundurkan diri serta berbagai masalah lainya yang menyebabkan kepercayaan antara satu sama lain diinternal pengurus menjadi memudar. Pekerjaan dilakukan sendiri-dendiri sesuai dengan bidang kerjanya. Prinsip kerja dan kontrol kolektif praktis tidak berjalan, kecurigaan satu sama lain tidak termediasi dalam ruang organisasi. Gunjang-ganjing perpecahan mulai terasa. Sampai terakhir menjelang Rakernas II FMN sempat terjadi konsolidasi akhir Komite Pusat yang tidak juga menemui titik temu. Semua berkeras pada pendirianya masing-masing. Persoalan ini muncul akibat tidak adanya mekanisme dan juga pimpinan yang mampu memberikan keteladanan bagi seluruh komponen organisasi. Kerja-kerja politik menjadi tidak sinergis dengan kerja organisasi. Rakernas (Rapat kerja Nasional) II FMN yang merupakan media (sementara dalam aturan organisasi yang lama) bertemunya pimpinanpimpinan kota FMN dengan pimpinan pusat FMN untuk melakukan evaluasi atas Kinerja Program di setiap level organisasi. Namun ternyata Rakernas II FMN menjadi klimaks dan berubah fungsinya. Beberapa keputusan penting dilahirkan dalam Rakernasi II FMN yaitu Pendemisioneran Komite Pusat FMN dan Membentuk Badan persiapan Kongres untuk mempersiapkan Kongres Nasional I. Beberapa akar persoalan yang melatarbelakangi munculnya keputusan penting itu adalah : 1. Kepemimpinan KP FMN dianggap tidak mampu lagi memimpin keberlangsungan FMN secara kolektif Program-program yang dirumuskan organisasi pada Rakernas I banyak yang tidak berjalan. Disamping itu juga friksi muncul di kalangan pimpinan FMN. Friksi antara Ketua dan Sekjend (yang saat itu pernah menyatakan mundur dari organisasi secara sepihak, kemudian kembali lagi), juga antar departemen yang begitu jelas dilihat sangat tidak solid oleh pimpinan-pimpinan kota yang hadir saat itu. Sampai ada salah satu pimpinan kota berucap bagaimana bisa memimpin organisasi secara nasional memimpin kolektifnya (pengurus KP) saja tidak mampu. Hal diatas mencerminkan kesemrawutan FMN yang didasari pada persoalan mekanisme/konstitusi yang harusnya segera dibentuk setelah Kongers Pendirian FMN. FMN secara organisasi memang belum memiliki mekanisme organisasi yang komprehensif. Semua mekanisme dibagun atas dasar kesepakatan. Pendemisioneran KP FMN jika dilihat dari logika kebiasaan organisasi memang kontroversial. Secara logika organisasi ada beberapa kekeliruan tentang tafsir pendemisioneran KP FMN dalam Rakernas, karena bukan wewenang Rakernas melakukan hal tersebut. Jika pertanyaan itu muncul maka kami BPK menjawab, Ya, itu adalah benar sebuah kekeliruan, tapi sah kemudain jika hal tersebut diputuskan oleh mayoritas perwakilan kota yang hadir di Rakernas II. Keliru jika dilihat dalam medianya (Rakernas dalam hal ini). Dikatakan Sah karena selama ini Mekanisme dalam FMN lebih banyak mengutamakan kesepakatan-kesepakatan (termasuk juga jika kita lihat jujur bagaimana mekanisme KP dibentuk dan dikukuhkan bukan melalui mekanisme atau forum yang demokratis) dibandingkan dengan penerapan mekanisme yang ajeg. Dua sisi tersebut harus menjadi refleksi bagi kita semua agar tidak terulang lagi dikemudian hari. Maka itulah letak signifikansi Kongres Nasional. Fase Bertahan Menghadapi Terpaan Organisasi (Pasca Rakernas II FMN sampai dengan hari ini) Persoalanya ternyata tidak selesai sampai disitu, Pasca Rakernas kembali terjadi ketegangan, kebingungan dari banyak anggota tentang beberapa putusan penting Rakernas. Di lain sisi organisasi-organisasi sekawan juga mulai mempertanyakan tentang beberapa persolan yang dialami FMN. BPK yang saat itu dipercaya menjadi pimpinan kolektif FMN (Komite tertinggi organisasi menuju Kongres Nasional) kemudian berinisiatif untuk menjawab berbagai keresahan anggota yang muncul (baik murni bingung ataupun penjelasan yang berbeda dari pihak-pihak lain). Karena faktanya memang beberapa Pengurus KP yang didemisioner terbukti melakukan provokasi terhadap pimpinan-pimpinan FMN di kota-kota dan basis-basis FMN lewat argumentasi yang menyesatkan tanpa bersedia melakukan OTOKRITIK atas kepemimpinanya secara OBYEKTIF, KOMPEREHENSIF ATAS DASAR PERSATUAN. Tulisan yang diedarkan oleh Kawan Wily Aditya disatu sisi mengandung beberapa hal yang benar adanya, tapi yang dijadikan landasan melakukan kritik adalah berdasar pada subyektifisme (perasaan suka, tidak suka) dan tidak melibatkan seluruh pengurus KP yang lama. Ini berdasar ada pengakuan beberapa eks pengurus KP yang menyayangkan sikap tersebut. Ditambah lagi beberapa upaya yang dilakukan oleh Pengurus KP Demisioner mulai mengarah pada tindakan antagonistik yang mengarah pada perpecahan organisasi seperti : 1. Penyebaran kritik dilakukan tidak lewat media resmi organisasi dalam hal ini tidak disampaikan kepada BPK FMN ataupun milis organisasi sehingga kebingungan terjadi hampir diseluruh levelan organisasi.

2.

6
2. Beberapa pengurus KP demisioner tidak bersedia dikonsolidasikan dikota asalnya yang artinya melawan keputusan Rakernas ke II FMN yang menyatakan bahwasanya Pengurus KP Demisioner kembali dikonsolidasikan oleh Pimpinan Kota asalnya. 3. Menolak undangan-undangan resmi dari BPK FMN untuk mencoba mengklarifikasikan beberapa hal dalam forum/media resmi organisasi untuk mencegah meluasnya persoalan yang sesungguhnya berbeda dari persoalan asalnya. 4. Menyebarkan berbagai intrik, fitnah yang tidak dapat dibuktikan kebenaranya kepada anggota-anggota FMN untuk melahirkan perasaan saling curiga, ketidakpercayaan, sikap bermusuhan satu sama lain dikalangan FMN. Hal ini mengakibatkan berbagi kerusakan dalam organisasi akibat ketegangan dan sikap saling curiga dikalangan internal organisasi. Di beberapa kota nuansa ini amat terlihat dan dirasakan dan mengganggu jalanya kerja-kerja organisasi. 5. Meluaskan pengaruh ketidakpuasanya, pesimisme dan tendensi untuk bertentangan dengan BPK dikalangan basis-basis organisasi dengan membangun sikap ketidakpercayaan terhadap kepemimpinan BPK FMN Imbas dari praktek yang dilakukan oleh beberapa mantan KP FMN demisioner, telah membuat FMN harus kehilangan satu komite kampus. FMN Komite Kampus UGM Yogyakarta, pada tanggal 3 Mei 2004 secara organisasi menyatakan keluar FMN. Kenyataan yang sebenarnya sangat disayangkan. Untuk semua mantan anggota FMN di UGM sana, berusahalah untuk terus berada di garis perjuangan massa. Suatu saat, jika garis perjuangan, garis organisasi dan program organisasi kita sama, pastilah kita akan bertemu kembali. Beban besar berada di pundak BPK FMN yang bertujuan bukan saja untuk menyelenggarakan Kongres, tetapi tetap menegakkan kepemimpinan organisasional FMN secara nasional dari pusat hingga basis. Memang, anasiranasir dari eks pimpinan nasional KP FMN yang menentang garis politik Demokrasi Nasional masih dirasakan di tubuh BPK FMN. Itu terjadi ketika muncul perdebatan yang mengemuka di BPK FMN tentang garis politik. Di tambah lagi di BPK sendiri, masih muncul subjektifisme yang tinggi di antara sesama kawan. Namun atas dasar persatuan, hal tersebut sementara dinomor duakan dengan alasan untuk mengoptimalkan konsolidasi menuju Kongres I FMN.(ini yang secara terang kompromisme di dalam menjalakan roda kepemimpinan BPK bukan perjuangan yang menyatukan, tetapi berjuang untuk bersatu) Akhirnya Kongres I FMN terselenggara pada 18 Mei-23 Mei di Bandar Lampung dan Metro, Lampung. Perdebatan yang sangat mengemuka ketika Kongres I adalah tentang garis politik. Namun lagi-lagi atas dasar persatuan, secara tegas Kongres I tidak menetapkan bahwa garis politik FMN adalah Demokrasi Nasional. Upaya untuk membangun kepemimpianan kolektif juga setidaknya telah dilakukan dengan dibentuknya Dewan Pimpinan Pusat FMN sebagai pimpinan tertinggi organisasi di antara dua kongres. Secara umum Kongres I FMN telah menunjukkan beberapa kemajuan dengan adanya Garis Dasar Perjuangan (GDP), Konstitusi organisasi, Program umum dan Program Perjuangan organisasi dan pembentukan DPP FMN. Tentang Gerakan Pembetulan Pasca Kongres I, secara perlahan-lahan FMN mulai membenahi dirinya. Dalam perjalanannya, persoalan garis politik ternyata masih menjadi persoalan yang belum mampu diselesaikan secara mendasar. Kemudian persoalan tentang lemahnya tingkat konsolidasi organisasi. Salah satu belum terselesaikannya masalah garis politik ini adalah ketika keluarnya FMN UI dari FMN dan mendirikan FMN-R dan secara nyata menyatakan afiliasi politiknya kepada Perhimpunan Rakyat Pekerja (PRP) yang didirikan juga oleh eks KP FMN yang menentang garis politik Demokrasi Nasional. Akhirnya pada Konferensi Pendidikan Nasional FMN dan Rapat Pleno III DPP FMN di Indralaya, Sumatra Selatan, 2005, ditegaskan kembali bahwa garis politik FMN adalah Demokrasi Nasional. Selanjutnya dalam rapat Pleno III DPP FMN juga telah diputuskan untuk melancarkan Gerakan Pembetulan secara politik dan organisasi. Kemudian pada Rapat Pleno IV DPP FMN di Jakarta, Desember 2005, juga telah diputuskan untuk tetap melanjutkan Gerakan Pembetulan

Anda mungkin juga menyukai