Pendahuluan
Sejak perintisan awalnya pada abad pertengahan di Eropa, faham demokrasi
sesungguhnya telah mengandung sejumlah “cacat bawaan” berupa paradoks dan dilematika
konseptual didalamnya. Para pemikir, baik dari elemen pengkritik maupun pendukungnya,
kemudian berupaya mengelaborasi problematika ini dengan menawarkan berbagai pilihan
konsep sebagai alternatif (antitesa) atau sebagai ikhtiar untuk menyempurnakannya.
Salah satu “cacat bawaan” yang kemudian melahirkan paradoks dilematis dalam
praktek penyelenggaraan kekuasaan pemerintahan adalah menyangkut soal isu mayoritas
sebagai prinsip klasik dalam demokrasi. Buku Arend Lijphart, Democracies : Patterns of
Majoritarian and Concensus Government in Twenty-One Century yang diterbitkan untuk pertama
kalinya pada tahun 1984 oleh Yale University Press ini merupakan salah satu dari banyak
karya pemikir politik yang mengkaji secara luas dan mendalam mengenai isu mayoritas
dalam faham demokrasi ini.
Paradoks dilematis ini misalnya dapat dibaca secara implisit dari apa yang pernah
dikemukakan oleh Hans Kelsen (General Theory Of Law And State, 1961). Bahwa demokrasi
yang sepenuhnya menjadi kekuasaan milik mayoritas tanpa memperhatikan hak-hak
minoritas adalah diktator mayoritas atas minoritas. Sebaliknya, bukan merupakan
demokrasi jika pemerintahan bertentangan dengan kehendak mayoritas. Kehendak
masyarakat dalam sistem demokrasi terbentuk melalui diskusi yang berkelanjutan antara
mayoritas dan minoritas yang menghasilkan kompromi sebagai bagian yang alami dari
demokrasi. Karena itu kompromi adalah jalan keluar dari konflik oleh sebuah norma bahwa
tidak seluruhnya sesuai dengan kepentingan satu pihak dan tidak seluruhnya pula
bertentangan dengan pihak lain.
Dalam konteks diskursus inilah, Arend Lijphart mempromosikan gagasannya
tentang dua model demokrasi yang didasarkan pada hasil kajiannya di 21 negara. Kedua
model demokrasi itu disebutnya sebagai Model Demokrasi Westminster (Westminster Model
of Democracy) atau Majoritarian dan Model Demokrasi Konsensus (Consensus Model of
Democracy) atau Model Proporsional.
Tinjauan Kritis
Di samping beberapa segi positifnya, kedua model demokrasi ini juga memiliki sisi
lemahnya. Model Westminster praktis membuat terpinggirkannya kelompok-kelompok
minoritas dari proses-proses politik dan pembuatan keputusan-keputusan pemerintah
dimana mereka juga akan terdampak oleh keputusan itu. Dalam jangka panjang
marjinalisasi ini juga bisa menjadi ancaman bagi keberadaan minoritas.
Sementara kelemahan model Konsensus adalah menyangkut proses pengambilan
keputusan politik yang bisa berlangsung lambat, panjang dan bertele-tele mengingat tidak
mudahnya mengakomodir berbagai kepentingan untuk mencapai kesepakatan bersama.
Seringkali terjadi, bahwa sebuah keputusan strategis dan mendesak tidak dapat diambil,
setidaknya sulit diambi karena adanya boikot dari kelompok minoritas. Ringkasnya, dilihat
dari proses pengambilan keputusan atau pembuatan kebijakan, model Konsensus jauh dari
efesien.
AGUS SUTISNA, NPM : 14670015006