Anda di halaman 1dari 6

MODEL-MODEL DEMOKRASI

Critical Review atas Pemikiran Arend Lijphart dalam


Democracies : Patterns of Majoritarian and Concensus Government in Twenty-One Century, 1984
Agus Sutisna, tisna_1965@ymail.com

Pendahuluan
Sejak perintisan awalnya pada abad pertengahan di Eropa, faham demokrasi
sesungguhnya telah mengandung sejumlah “cacat bawaan” berupa paradoks dan dilematika
konseptual didalamnya. Para pemikir, baik dari elemen pengkritik maupun pendukungnya,
kemudian berupaya mengelaborasi problematika ini dengan menawarkan berbagai pilihan
konsep sebagai alternatif (antitesa) atau sebagai ikhtiar untuk menyempurnakannya.
Salah satu “cacat bawaan” yang kemudian melahirkan paradoks dilematis dalam
praktek penyelenggaraan kekuasaan pemerintahan adalah menyangkut soal isu mayoritas
sebagai prinsip klasik dalam demokrasi. Buku Arend Lijphart, Democracies : Patterns of
Majoritarian and Concensus Government in Twenty-One Century yang diterbitkan untuk pertama
kalinya pada tahun 1984 oleh Yale University Press ini merupakan salah satu dari banyak
karya pemikir politik yang mengkaji secara luas dan mendalam mengenai isu mayoritas
dalam faham demokrasi ini.
Paradoks dilematis ini misalnya dapat dibaca secara implisit dari apa yang pernah
dikemukakan oleh Hans Kelsen (General Theory Of Law And State, 1961). Bahwa demokrasi
yang sepenuhnya menjadi kekuasaan milik mayoritas tanpa memperhatikan hak-hak
minoritas adalah diktator mayoritas atas minoritas. Sebaliknya, bukan merupakan
demokrasi jika pemerintahan bertentangan dengan kehendak mayoritas. Kehendak
masyarakat dalam sistem demokrasi terbentuk melalui diskusi yang berkelanjutan antara
mayoritas dan minoritas yang menghasilkan kompromi sebagai bagian yang alami dari
demokrasi. Karena itu kompromi adalah jalan keluar dari konflik oleh sebuah norma bahwa
tidak seluruhnya sesuai dengan kepentingan satu pihak dan tidak seluruhnya pula
bertentangan dengan pihak lain.
Dalam konteks diskursus inilah, Arend Lijphart mempromosikan gagasannya
tentang dua model demokrasi yang didasarkan pada hasil kajiannya di 21 negara. Kedua
model demokrasi itu disebutnya sebagai Model Demokrasi Westminster (Westminster Model
of Democracy) atau Majoritarian dan Model Demokrasi Konsensus (Consensus Model of
Democracy) atau Model Proporsional.

Konsep Demokrasi Westminster


Gagasan dasar dari model Demokrasi Westminster adalah bahwa mayoritas yang
paling berhak memerintah. Model ini dapat dilihat saat menjawab permasalahan perihal
pihak mana yang akan melaksanakan pemerintahan dan kepentingan kelompok mana yang
akan lebih diutamakan apabila terjadi ketidaksepakatan. Jawaban atas pertanyaan
problematis tersebut adalah kelompok mayoritas dalam masyarakat. Maksudnya tentu saja
kelompok mayoritas yang memenangi kontestasi pemilihan umum yang, secara hipotesis
pada umumnya setara dengan basis sosio-kultural masyarakat (konstituen) yang
bersangkutan.
Perlu segera dikemukakan disini, bahwa model Demokrasi Westminster yang
dipromosikan oleh Lijphart ini sepenuhnya merupakan praktek dan tradisi yang
berlangsung di Inggris. Konsep “Westminster” sendiri diambil dari nama Istana di Inggris
yang biasa digunakan untuk menggelar persidangan-persidangan parlemen Inggris. Model
Demokrasi Westminster ini menurut Lijphart memiliki 9 elemen khas sebagai berikut :
Pertama, konsentrasi kekuasaan pada eksekutif, dimana terdapat satu partai yang
berkuasa dalam kabinet, dan koalisi jarang terjadi. Ini dimungkinkan oleh karena pemilu
menghasilkan satu partai pemenang dengan suara mayoritas mutlak.
Kedua, penggabungan kekuasaan dan dominasi oleh kabinet. Kekuasaan
sesungguhnya berada di tangan parlemen, dimana pembentukan dan kontrol terhadap
kabinet sangat bergantung pada mosi percaya atau mosi tidak percaya dari parlemen.
Ketiga, sistem bikameral yang asimetrik (tidak seimbang). Contoh kasus di Inggris,
bahwa dua kamar parlemen, yakni House of Commons dan House of Lords berada pada posisi
tanggungjawab dan kewenangan yang tidak seimbang.
Keempat, sistim dwi-partai, dimana secara tradisional di Inggris selalu didominasi
secara bergantian oleh 2 partai utama, yakni Partai Buruh dan Partai Konservatif.
Kelima, sistim satu dimensi partai. Bahwa di Inggris masing-masing partai memiliki
dimensi yang berbeda dan sekaligus membedakan dimensi masyarakat konstituennya.
Perbedaan dimensi ini menyangkut persoalan preferensi pada kebijakan sosial-ekonomi.
Kelas menengah biasanya memilih Partai Konservatif, sementara para pekerja biasanya
lebih memilih Partai Buruh.
Keenam, sistim pemilihan umum pluralitas. Bahwa 650 anggota House of Commons
dipilih melalui sistim pemilu pluralis, dimana para kandidat yang memperoleh suara
terbanyak akan menduduki kursi yang tersedia di tiap distrik, dan “mengambil” suara-suara
dari kandidat yang kalah (the winner take all).
Ketujuh, sistem pemerintahan kesatuan (unitaris) dan sentralistis. Di Inggris
meskipun pemerintah lokal memegang dan memainkan peranan yang penting, tetapi
mereka adalah bentukan pemerintah pusat dimana kekuasaanya tidak dijamin dalam
konstitusi (hukum dasar tertulis).
Kedelapan, konstitusi yang tidak tertulis dan kedaulatan parlemen. Dalam konstitusi
Inggris tidak disebutkan komposisi dan kewenangan dari institusi pemerintah dan hak-hak
warga negaranya. Semuanya hanya diatur dalam suatu konvensi.
Kesembilan, sistem demokrasi perwakilan yang eksklusif. House of Commons adalah
lembaga perwakilan rakyat, sehingga tidak ada ruang bagi elemen-elemen demokrasi
langsung seperti penyelenggaraan suatu referendum.
Kelebihan model Demokrasi Westminster, selain sudah disebutkan diatas bahwa
model ini merupakan jalan mudah untuk menjawab pertanyaan ketika terjadi problematika
perihal siapa yang berhak memerintah dan kelompok mana dalam masyarakat yang harus
diprioritaskan; model ini juga praktis lebih efisien dalam proses pengambilan keputusan
politik, bahkan kebulatan suara dengan mudah dapat dicapai dalam sistim politik.

Konsep Demokrasi Konsensus


Konsep yang secara diametral berhadap-hadapan dengan model Demokrasi
Westminster adalah model Demokrasi Konsensus atau model Proporsional. Pertimbangan
dasar model ini adalah bahwa mayoritas tidak boleh dibiarkan menjadi tirani atau diktatur
bagi kelompok minoritas; sebaliknya, minoritas perlu diakomodir aspirasi dan
kepentingannya dalam sistim politik agar mereka tidak menjadi semacam “duri dalam
daging” dalam kehidupan politik negara. Maka diperlukan mekanisme konsensus
(kesepakatan) dimana kelompok minoritas dapat diakomodir kepentingannya dalam
keputusan-keputusan politik.
Seperti dikemukakan oleh Sir Arthur Lewis, pemenang Nobel dalam bidang
ekonomi, "Semua orang yang terpengaruh oleh keputusan harus memiliki kesempatan untuk
berpartisipasi dalam pengambilan keputusan itu, baik secara langsung atau melalui wakil-wakil yang
dipilih”. Inilah gagasan dasar konsep model Demokrasi Konsensus. Selanjutnya, Lewis
menegaskan, bahwa : “to exclude the losing groups from participation in decision making clearly
violates the primary meaning of democracy”. Menegasikan kelompok yang kalah dari partisipasi
pembuatan keputusan jelas-jelas melanggar arti penting demokrasi.
Menurut Lijphart sedikitnya terdapat 8 elemen khas dalam model Demokrasi
Konsensus :
Pertama, adanya pembagian kekuasaan eksekutif : dibangun suatu koalisi besar.
Dalam hal ini prinsip konsensus adalah mengajak seluruh partai utama untuk saling berbagi
kekuasaan eksekutif dalam koalisi yang luas.
Kedua, pemisahan kekuasaan, secara formal maupun informal. Pemisahan
kekuasaan secara formal membuat kekuasaan eksekutif dan legislatif menjadi lebih mandiri,
dan hubungan diantara keduanya lebih seimbang daripada hubungan kabinet-parlemen
dalam sistim parlementer.
Ketiga, sistem bikameral yang seimbang dan perwakilan minoritas. Prinsip dasar
dalam membentuk suatu badan pembuat UU menjadi bikameral daripada unikameral
adalah untuk memberikan perwakilan yang bersifat khusus kepada kelompok minoritas
tertentu dalam suatu majelis kedua atau dewan tinggi. Dua kondisi harus dipenuhi jika
keterwakilan kelompok minoritas menjadi sangat penting. Dewan tinggi harus dipilih dari
basis yang berbeda dari dewan rendah, dan harus mempunyai kekuasaan yang sebenarnya.
Keempat, sistem multipartai, dimana pluralitas etnik dan aspek-aspek sosio-kultural
pemilih lainnya diakomodir dalam beragam partai politik.
Kelima, sistem partai yang multidimensional, dimana partai-partai dipersilahkan
mengambil pilihan-pilihan dimensi yang dianggap sesuai dan cocok oleh masing-masing
yang akan menjadi rujukan preferensi para pemilihnya.
Keenam, sistem perwakilan secara proporsional, dimana tujuan dasar dari perwakilan
proporsional adalah untuk membagi kursi di parlemen diantara partai-partai berdasarkan
proporsi perolehan suara masing-masing partai politik.
Ketujuh, federasi teritorial dan non teritorial serta desentralisasi. Federasi lebih
banyak dikenal, tetapi bukan satu-satunya metode dalam pemberian otonomi kepada
kelompok-kelompok yang berbeda dalam masyarakat. Dalam sistem federal semua
kelompok dibagi berdasarkan kesatuan wilayah: negara bagian, propinsi dan sebagainya.
Otonomi juga diberikan berdasarkan non-teritorial, dan ini digunakan dalam masyarakat
yang bersifat plural yang terdiri dari suku-suku/kaum yang tidak berkumpul dalam wilayah
geografis yang sama.
Kedelapan, konstitusi tertulis dan hak veto dari kelompok minoritas. Adanya satu
konstitusi yang tertulis dalam bentuk sebuah dokumen yang berisi aturan-aturan dasar
dalam menjalankan pemerintahan. Konstitusi tertulis ini hanya dapat diamandemen oleh
mayoritas khusus.
Keunggulan model Demokrasi Konsensus ini adalah memberi akses bagi kelompok-
kelompok minoritas untuk dapat berpartisipasi dalam pembuatan keputusan-keputusan
politik pemerintah, disamping dapat mencegah kemungkinan terjadinya diktatur atau tirani
mayoritas terhadap minoritas.

Tinjauan Kritis
Di samping beberapa segi positifnya, kedua model demokrasi ini juga memiliki sisi
lemahnya. Model Westminster praktis membuat terpinggirkannya kelompok-kelompok
minoritas dari proses-proses politik dan pembuatan keputusan-keputusan pemerintah
dimana mereka juga akan terdampak oleh keputusan itu. Dalam jangka panjang
marjinalisasi ini juga bisa menjadi ancaman bagi keberadaan minoritas.
Sementara kelemahan model Konsensus adalah menyangkut proses pengambilan
keputusan politik yang bisa berlangsung lambat, panjang dan bertele-tele mengingat tidak
mudahnya mengakomodir berbagai kepentingan untuk mencapai kesepakatan bersama.
Seringkali terjadi, bahwa sebuah keputusan strategis dan mendesak tidak dapat diambil,
setidaknya sulit diambi karena adanya boikot dari kelompok minoritas. Ringkasnya, dilihat
dari proses pengambilan keputusan atau pembuatan kebijakan, model Konsensus jauh dari
efesien.
AGUS SUTISNA, NPM : 14670015006

Anda mungkin juga menyukai