Anda di halaman 1dari 12

Nama : Indriyati ika Permatasari

NPM : D2D022019
Mata Kuliah : Teori Kebijakan Publik
Program : Magister Administrasi Publik
Dosen : Dr. Achmad Aminudin, M.Si

UAS

1. Aliran Westminster sebagai European Model yang berkembang di Eropa dan


Inggris serta Aliran Reinventing yang merupakana American Model sebagai
kompetitif sari European Model.
A. Aliran Westminster sebagai Europan Model
Sistem Westminster adalah sebuah sistem parlementer pemerintah yang
dimodelkan setelah berkembang di Kerajaan Bersatu Britania Raya dan Irlandia Utara.
Istilah tersebut datang dari Istana Westminster, kursi dari parlemen Inggris.
Sistem tersebut merupakan serangkaian prosedur untuk pengoperasian
sebuah legislatur. Sistem tersebut digunakan, atau sesekali digunakan, dalam legislatur
nasional dan legislatur subnasional dari kebanyakan negara Persemakmuran dan eks-
Persemakmuran setelah meraih pemerintahan bertanggung jawab, mula-mula
pada provinsi-provinsi Kanada pada 1848 dan enam koloni Australia antara 1855 dan
1890.
Demokrasi Model Westminster atau Mayoritarian yang ditulis Lijphart adalah
Demokrasi yang sehari-hari dijalankan di sebagian negara Demokrasi. Demokrasi
sendiri adalah pemerintahan oleh rakyat, dengan diasumsikan rakyat tidak bisa
langsung memerintah akibat sejumlah keterbatasan. Rakyat, di era moderen di mana
negara memiliki penduduk dan wilayah luas, tidak bisa memerintah secara langsung.
Rakyat harus memerintah secara tidak langsung melalui wakil-wakil mereka. Wakil-
wakil ini dipilih secara bebas dan setara. Sebab itu, Demokrasi, dalam makna kekinian,
adalah setara dengan Demokrasi Perwakilan. Pemerintahan yang dilakukan oleh para
wakil yang dipilih rakyat secara bebas.
Demokrasi juga berarti pemerintahan untuk rakyat. Jadi, pemerintahan yang
terbentuk harus memiliki kecocokan dengan pilihan-pilihan rakyat. Sebab itu,
pemerintahan yang dihasilkan melalui Demokrasi perwakilan harus responsif terhadap
pilihan rakyat, kendati di alam kenyataan hal tersebut sulit terjadi. Demokrasi Model
Westminster yang ditulis Lijphart tidak bicara tentang Demokrasi ideal, melainkan
Demokrasi yang dipraktekkan sehari-hari atau seperti yang disebut Robert Dahl sebagai
Poliarki. Poliarki ini untuk membedakan antara Demokrasi ideal dengan Demokrasi
aktual.
Demokrasi yang dibicarakan Lijphart tidaklah responsif secara maksimal
dengan kemauan rakyat, melainkan sekadar relatif berkorespondensi dengan keinginan
banyak warganegara di dalam suatu periode pemerintahan. [1] Bagi Robert Dahl,
Demokrasi yang responsif secara lebih masuk akal, yaitu apabila ada 8 jaminan
kelembagaan sebagai berikut: (1) kebebasan membentuk dan ikut serta dalam
organisasi; (2) Kebebasan berekspresi; (3) Hak pilih; (4) Kemungkin dipilih ke dalam
jabatan publik; (5) hak politik pimpinan politik untuk bersaing dalam memperoleh
dukungan suara; (6) Sumber-sumber informasi alternatif; (7) Pemilu yang adil dan
bebas; dan (8) Lembaga-lembaga pembuat kebijakan pemerintah bergantung pada
suara dan pilihan ekspresi lainnya.
Teori Kebijakan Model Westminster dapat di buktikan melalui 9 karakteristik
berikut:
(1) Konsentrasi kekuasaan eksekutif, yaitu satu partai pemerintah dan kabinet mayoritas
nyata;
(2) Fusi kekuasaan dan dominasi kabinet;
(3) Bikameralisme asimetris;
(4) Sistem dua partai;
(5) Sistem kepartaian satu dimensi;
(6) Sistem Pemilu pluralitas;
(7) Pemerintahan sentral dan kesatuan;
(8) Konstitusi tak terlulis dan kedaulatan parlemen; dan
(9) Demokrasi perwakilan yang eksklusif. Pernjelasan dari ke-9 karakteristik model
Westminster ada di dalam paragraf berikut.
Adapun Pembahasan dari Ciri-ciri nya sebagai berikut:
a. Pembahasan Ciri Pertama
Dalam model Westminster, terjadi konsentrasi kekuasaan eksekutif karena yang
memegang kekuasaan adalah satu partai dan kabinetnya adalah terdiri atas mayoritas yang
nyata. Organ politik yang paling berkuasa di Inggris adalah kabinet. Kabinet terdiri atas
anggota partai mayoritas di House of Commons. Minoritas tidak diikutsertakan ke dalam
kabinet, sehingga sangat jarang terjadi kabinet koalisi. Inggris diwarnai oleh persaingan setara
antara 2 partai, dan biasanya partai pemenang Pemilu merupakan mayoritas ‘tipis’ dan
minoritasnya relatif ‘besar.’ Namun, dengan adanya kemayoritasan tersebut, kekuasaan partai
pemenang pemilu relatif besar. Partai yang kalah Pemilu dipaksa untuk menjadi oposisi.
b. Pembahasan Ciri Kedua
Walter Bagehot dalam bukunya The English Constitution (1867) menulis “kesatuan
yang dekat, fusi yang hampir komplet antara kuasa legislatif dan eksekutif” adalah penjelasan
kunci atas efisiensi pemerintahan Inggris. Inggris memiliki sistem pemerintahan parlementer,
yang artinya kabinet bergantung pada keyakinan Parlemen. Kebalikannya adalah pemerintahan
presidensial, di mana eksekutif tidak bisa dibubarkan oleh parlemen (legislatif). Secara
teoretis, House of Commons (di Inggris) dapat membubarkan kabinet (eksekutif). House of
Commons mengendalikan kabinet. Secara praktis, hubungan tersebut berkebalikan, karena
kabinet berisikan pimpinan partai mayoritas yang kohesif di House of Commons, mereka
(kabinet) yakin bahwa mereka akan tetap memegang jabatan dan proposal legislasi mereka
disetujui. Sebab itu, kabinet lebih dominan ketimbang parlemen.
c. Pembahasan Ciri Ketiga
Model Westminster mengandung konsep bikameralisme asimetris. Parlemen Inggris
terdiri atas 2 kamar: House of Lords dan House of Commons. Anggota House of
Commons dipilih melalui Pemilu, sementara anggota House of Lords terdiri atas kaum
bangsawan turun-temurun. Hubungan kedua kamar tersebut asimetris karena kuasa legislatif
hanya dimiliki House of Commons saja. Satu-satunya kekuasaan yang dimiliki House of Lords
adalah melakukan penundaan legislasi. Legislasi keuangan ditunda 1 bulan, dan legislasi
lainnya 1 tahun. Sebab itu, dalam Westminter yang lebih murni, adalah bersifat unikameral,
karena satu kamar didominasi oleh partai mayoritas dan kabinet mayoritas adalah manifestasi
sempurta dari pemerintahan oleh mayoritas. Inggris semakin mendekat ke arah
Unikameralisme ini.
d. Pembahasan Ciri Keempat
Politik Inggris diwarnai oleh adanya 2 partai besar yaitu Partai Konservatif dan Partai
Buruh. Kendati begitu, ada pula partai lain, misalnya Partai Liberal, yang kerap ikut Pemilu
dan mampu duduk di parlemen. Namun, Partai Liberal ini tidak pernah jadi mayoritas.
Kursi House of Commons didominasi oleh 2 partai besar secara bergantian. Partai Buruh di
Pemilu 1945 – 1951, 1964 – 1970, dan 1974 – 1979. Partai Konservatif berkuasa di Pemilu
1951 – 1964, 1970 – 1974, dan dari 1979 hingga saat ini (tulisan Lijphart dibuat tahun 1984).
e. Pembahasan Ciri Kelima
Model Westminster dicirikan sistem kepartaian satu dimensi, karena isu utama dalam
politik kepartaian Inggris adalah masalah sosial-ekonomi. Spektrum politik Inggris bergerak
dari kiri ke kanan. Partai Buruh mencerminkan spektrum kiri ke tengah, sementara Partai
Konservatif dari kanan ke tengah. Spektrum ini merupakan refleksi atas pola suara
warganegaranya. Pemilih dari kelas pekerja cenderung memiliki Partai Buruh, sementara
kalangan kelas menengah cenderung memilih Partai Konservatif. Pola suara berdasarkan
spektrum ini tercermin dalam House of Commons. Memang ada isu lain seperti agama
(Protestan dan Katolik), etnis (Skot, Wales, Inggris), dan regional, tetapi tidak signifikan dalam
membelah pemilih seperti isu sosial ekonomi. Sebab itu, Inggris disebut sebagai masyarakat
yang cenderung homogen.
f. Pembahasan Ciri Keenam
Model Mayoritarian Inggris terdiri atas 650 anggota House of Commons, yang dipilih
berdasarkan satu orang wakil dari setiap distrik (pluratitas). Di Inggris sistem pemilihan
semacam ini disebut first-past-the-post di mana kandidat dengan suara mayoritas, atau
minoritas terbesar, memenangkan suara.
g. Pembahasan Ciri Ketujuh
Model Westminster ditandai oleh peran pemerintah nasional (pusat) yang besar.
Pemerintahan lokal ada, tetapi mereka sekadar menjalankan kebijakan pemerintah pusat. Kuasa
pemerintah lokal juga tidak memiliki jaminan di dalam konstitusi, seperti di negara Federal.
Pemerintahan lokal Inggris bergantung secara keuangan terhadap pemerintah pusat.
h. Pembahasan Ciri Kedelapan
Model Majoritarian Inggris tidak punya konstitusi tertulis, sementara parlemen
berdaulat. Inggris punya konstitusi ‘tidak tertulis.’ Penjelasannya adalah, tidak ada satu
dokumen khusus yang berisikan rincian kuasa dan komposisi lembaga pemerintahan, juga hak-
hak warganegara. Rincian ini tersebar di serangkaian hukum dasar (basic laws), kebiasaan, dan
konvensi. Parlemen biasa patuh pada konstitusi ‘gaya’ ini, tetapi tidak secara formal
mengantungkan dirinya ke sana. Aneka ‘konstitusi’ tersebut kerap diubah oleh Parlemen,
layaknya undang-undang biasa. Pengadilan (yudikatif) tidak punya kuasa melalukan judicial
review. Sebab itu parlemen memiliki kedaulatan tertinggi. Kedaulatan parlemen ini merupakan
bahan baku penting dalam model Westminster, karena tidak ada batasan formal atas kekuasaan
mayoritas di tubuh House of Commons.
i. Pembahasan Ciri Kesembilan
Model Mayoritarian memiliki prinsip Demokrasi perwakilan yang eksklusif. Ini akibat
kekuasan terkonsentrasi di House of Commons maka mereka bertindak selaku perwakilan
rakyat yang paling berdaulat. Hampir tidak ada ruang untuk diadakannya referendum.
Referendum adalah asing bagi praktek konstitusional Inggris, sebab kedaulatan parlemen tidak
cocok dengan kedaulatan popular, maka Demokrasi Inggris adalah bentuk Demokrasi
perwakilan yang eksklusif.

Contoh Penyimpangan atas Model Westminster


Lijphart menekankan bahwa model Westminster tidak lantas mendorong munculnya
tirani mayoritas, kendati tidak atas batasan formal atas kuasa parlemen. Lijphart menyebutkan
bahwa ada kebiasaan informal yang cukup kuat dalam melakukan pembatasan kuasa mayoritas.
[16] Hak dan kebebasan rakyat tidak dilanggar dan minoritas tidak disupresi.
Di House of Commons minoritas diperlakukan secara terhormat dan juga menjadi
kebiasaan, pimpinan oposisi diajak konsultasi oleh kabinet dalam hal sejumlah isu sensitif atau
penting. Demokrasi Inggris, kendati mayoritarian, adalah toleran dan beradab. Namun, sejak
tahun 1970 terdapat sejumlah penyimpangan yang dilakukan Inggris atas model Westminster.
Penyimpangan tersebut dirangkum ke dalam 9 penyimpangan berikut:
1. Dalam hal Konsentrasi kekuasaan eksekutif
Yaitu satu partai pemerintah dan kabinet mayoritas nyata. Kenyataannya, kabinet mayoritas
satu partai hanya terjadi di 60% Pemilu dalam rentang 1918 – 1980. Pernah terjadi koalisi dua
atau lebih partai di Pemilu 1918 hingga 1945. Penyimpangan paling nyata terjadi dari tahun
1940 – 1945, yaitu dalam periode perang, di mana terjadi koalisi antara Partai Konservatif
(mayoritas) dengan Partai Buruh dan Partai Liberal di bawah Winston Churchill (sebagai
perdana menteri). Juga, pernah terjadi kabinet berisikan 2 anggota Partai Buruh yang minoritas
tahun 1970-an. Di dalam Pemilu 1974, Partai Buruh menang secara pluralitas tetapi tidak
mencapai posisi mayoritas di House of Commons. Hal ini kembali terjadi di tahun 1977,
kabinet minoritas Partai Buruh menegosiasikan pakta formal dengan 13 anggota Partai Liberal
di House of Commons dalam rangka memperoleh mayoritas parlemen. Partai Liberal setuju
mendukung kabinet dengan menukarnya dengan konsultasi proposal legislasi. Namun, tidak
ada kaum Liberal yang masuk kabinet, dan fenomena ini disebut pakta Lab-Lib yang baru
berakhir tahun 1978.
2. Dalam hal fusi kekuasaan dan dominasi kabinet
Kepemimpinan kabinet yang kuat bergantung pada dukungan mayoritas di House of Commons
dan kekohesivan partai mayoritas. Saat salah satu dari dua kondisi ini tidak ada, kabinet
kehilangan posisi dominannya. Sejak 1970 terjadi peningkatan jumlah kekalahan parlemen,
baik dalam hal proposal legislasi yang diajukan kabinet mayoritas maupun minoritas. Setelah
aneka kekalahan ini, sebuah aturan tidak tertulis disepakati, yaitu bahwa hanya suara eksplisit
atas ‘tidak percaya’ dibutuhkan untuk membubarkan kabinet dan mengadakan Pemilu baru.
James Callaghan, perdana menteri dan kabinet minoritas Partai Buruh adalah contoh dari
jatuhnya kabinet akibat suara tidak percaya ini tahun 1979.
3. Dalam hal Bikameralisme asimetris
Ada batas waktu 1 tahun kekuasaan House of Lords untuk menunda pemberlakuan undang-
undang non keuangan diberlakukan tahun 1949. Namun, dalam periode 1911 hingga 1949,
House of Lords bahkan melakukan penundaan tersebut selama 2 tahun. Bahkan, kerap terjadi
di era lemahnya kekuasaan Partai Buruh di tahun 1970an. Ini mendorong sentimen di kalangan
Partai Buruh untuk menghapuskan House of Lords dan mendorong berlakunya unikameralisme
murni.
4. Dalam hal Sistem dua partai
Masa perang dunia adalah masa transisi di mana Partai Buruh digantikan oleh Partai Liberal
sebagai satu dari 2 partai besar. Dalam Pemilu 1945, Partai Buruh dan Konservatif, secara total,
memenangi 85% suara dan 92,5% kursi di House of Commons. Hegemoni dua partai ini
semakin jelas di 7 Pemilu dari 1950 hingga 1970, yang apabila digabung, suara mereka
minimal 87,5% dan penguasaan kursi parlemen 98%. Tren ini menurun sejak 1970, kendati
kursi parlemen (secara bersama) total dikuasi 85%, tetapi suara dalam Pemilu hanya berkisar
75% di Pemilu 1974 dan 81% di Pemilu 1979. Pada sisi lain, Partai Liberal memperoleh 19%
suara di Pemilu 1974 dan 14% di Pemilu 1979. Di tahun 1980an muncul Partai Sosial
Demokrat, yang anggotanya banyak berasal dari pelarian Partai Buruh. Partai Sosial Demokrat
ini berpotensi membayangi dua partai besar Inggris saat melakukan koalisi dengan Partai
Liberal.
5. Dalam hal Sistem kepartaian satu dimensi
Sejak tahun 1970, sulit untuk menganggap Inggris sebagai masyarakat homogen. Ini dalam
konteks region non Inggris (Wales, Skotlandia, dan Irlandia Utara). Tiga wilayah ini
menunjukkan kecenderungan perbedaan perilaku pemilih, di mana kondisi multinasional
menggejala. Faktor etnis menguat di Skotlandia, dengan indikasi Partai Nasional Skot beroleh
30% suara dan 11 kursi di House of Commons, hampir sebanyak kursi yang dimiliki Partai
Liberal. Gejala serupa juga terjadi di Wales. Faktor agama juga masih mengentara, terutama
posisi Protestan-Katolik di Irlandia Utara.
6. Dalam hal Sistem Pemilu pluralitas
Kendati hampir tidak ada perubahan dalam sistem Pemilu, ada kejadian menarik di tahun 1970.
Saat itu, Partai Buruh memenangkan mayoritas parlemen (319 dari 635 kursi), tetapi hanya
39,3% total suara dalam Pemilu 1974. Di sisi lain, Partai Liberal memenangi 13 kursi parlemen
dengan 18,6% suara Pemilu (hampir setengah suara Partai Buruh). Partai Liberal terkesan siap
untuk memperkenalkan sistem proporsional, tetapi dua partai besar (Konservatif dan Buruh)
tetap mempertahankan pluralitas. Namun, dalam konteks Irlandia Utara, sistem proporsional
diberlakukan pasca meletusnya konflik Protestan-Katolik, dan perselisihan dalam tubuh Partai
Konservatif di awal 1970an. Kabinet Partai Buruh meneruskan kebijakan ini. Dengan
demikian, secara keseluruhan Inggris tidak didominasi oleh sistem Pemilu pluralitas saja.
7. Dalam hal Pemerintahan sentral dan kesatuan
Inggris memang dapat disebut menganut sistem negara kesatuan yang terpusat. Namun, ada
dua pengecualian. Pertama, Irlandia Utara diperintah oleh parlemennya sendiri sejak 1921
(sejak Irlandia lepas dari Inggris), di samping kabinetnya punya derajat otonomi yang lebih
tinggi ketimbang kabinet federal negara federasi. Ini terus terjadi hingga 1972, dengan
pemberlakuan pemerintahan langsung dari Inggris. Kedua, pengecualian gerakan gradual
untuk memperoleh otonomi yang lebih besar di Skotlandia dan Wales.
8. Dalam hal Konstitusi tak tertulis dan kedaulatan parlemen
Masuknya Inggris ke dalam Komunitas Ekonomi Eropa, lembaga supranasional, pada tahun
1973 menyebabkan ia harus mengadopsi lembaga dan hukum Komunitas Eropa sebagai
otoritas yang lebih tinggi ketimbang parlemen nasionalnya, di dalam sejumlah area kebijakan.
Sebab itu, parlemen Inggris tidak lagi bisa disebut sebagai berdaulat penuh. Komunitas Eropa
juga memperkenalkan hak potensial judicial review baik untuk Pengadilan Komunitas maupun
pengadilan Inggris.
9. Dalam hal Demokrasi perwakilan yang eksklusif
Tahun 1975 terjadi referendum mengenai apakah Inggris akan bergabung ke dalam Komunitas
Eropa. Ini merupakan referendum pertama kali yang dilakukan Inggris. Inggris, seperti juga
negara Demokrasi lainnya, tidak semata-mata menyandarkan mandatnya dari pemilih saja.
Terdapat sejumlah kelompok terorganisir yang mencari pengaruh. Kelompok ini bertindak
layaknya pengimbang bagi kekuasaan pemerintah dan partai-partai politik. Di Inggris juga
berkembang apa yang disebut sebagai corporate pluralist, yaitu kondisi di mana kelompok
kepentingan besar di bidang ekonomi terlibat dalam pembuatan keputusan. Contohnya adalah,
manakala Partai Konservatif berkuasa, kelompok pekerja tambang dapat mengalahkan
dominasi partai tersebut dan menuntut diadakannya Pemilu ulang.
Penerapan Model Westminster di Selandia Baru
Model Westminster Inggris juga diterapkan di Austalia, Kanada, dan Selandia Baru. Namun,
Kanada dan Australia adalah negara Federasi. Sementara Selandia Baru sama dengan Inggris,
menganut pemerintahan negara Kesatuan.
1. Konsentrasi kekuasaan eksekutif
Yaitu satu partai pemerintah dan kabinet mayoritas nyata. Selandia Baru juga memiliki kabinet
masa perang, dari 1915 sampai 1919 dan 1931 – 1935. Sejak 1935, Selandia Baru didominasi
oleh dua partai besar yaitu Partai Buruh dan Partai Nasional. Sejak 1935 pula, kabinet adalah
kabinet satu partai, kendati di parlemen kemayoritasan ini tidak paralel. Jumlah kursi yang
dimenangkan partai mayoritas biasanya antara 50 – 60%, dan sejak 1938 tidak pernah lebih
dari 2/3 jumlah kursi di parlemen.
2. Fusi kekuasaan dan dominasi kabinet
Selandia Baru adalah contoh sempurna dari model Westminster di luar Inggris. Kabinetnya
bergantung pada kepercayaan parlemen. Namun, terdapat suatu fenomena kekinian bahwa
disiplin kaku sistem dua partai berkontribusi atas konsentrasi kekuasaan di dalam kabinet, yang
dibentuk dari anggota parlemen yang merupakan partai mayoritas.
3. Unikameralisme
Selandia Baru memiliki dua kamar, yaitu upper house dan lower house. Upper house
anggotanya ditunjuk sementara lower house anggotanya dipilih lewat Pemilu. Lambat laun,
upper house ini kehilangan kekuasaannya. Tahun 1950 upper house dihapuskan dan Selandia
Baru menerapkan unikameral secara murni.
4. Sistem kepartaian
Sejak 1935, hanya dua partai besar Selandia Baru yang memegang kekuasaan. Partai Buruh
tahun 1935 – 49, 1957 – 160, dan 1972 – 175. Partai Nasional tahun 1949 – 57, 1960 – 72, dan
sejak 1975. Sejak masa pasca perang, hanya satu partai lain yang mampu menduduki kursi
parlemen, yaitu Partai Kredit Sosial tahun 1966 dan 1978 (satu kursi) dan 1981 (dua kursi). [
5. Sistem kepartaian satu dimensi
Perpecahan etnis antara kulit putih dan Maori membuat sulit untuk menganggap Selandia Baru
sebagai masyarakat homogen. Namun, jumlah Maori cukup kecil sehingga populasi
keseluruhan cukup homogen. Sebab itu, isu-isu partai politik berkisar pada masalah sosial-
ekonomi, ketimbang etnis. Partai Buruh mereprentasikan spektrum kiri ke tengah, sementara
Partai Nasional merepresentasikan spektrum kanan ke tengah.
6. Sistem Pemilu pluralitas
Parlemen unikameral Selandia Baru dipilih berdasarkan metode pluralitas dengan single
member district. Namun, ada 4 distrik khusus yang luasnya, secara geografis melampaui distrik
lain yang lebih kecil, dan diperuntukkan bagi Maori.
7. Pemerintahan sentral dan kesatuan
Inggris memberikan hak Konstitusi Representatif kepada Selandia Baru tahun 1852. Selandia
Baru dibagi menjadi 6 provinsi dengan sejumlah kekuasaan dan fungsi relatif otonom terhadap
pemerintah pusat. Namun, sejak 1975 keenam provinsi tersebut dihapuskan dan pemerintahan
Selandia Baru didasarkan atas kesatuan dan tersentralisasi.
8. Konstitusi tak tertulis dan kedaulatan parlemen
Seperti halnya Inggris, Selandia Baru tidak memiliki satu dokumen tertulis mengenai
konstitusinya. Konstitusi ‘tak tertulis’ Selandia Baru terdiri atas Constitution Act 1952 dan
undang-undang mendasar lain, aneka konvensi dan kebiasaan. Parlemen Selandia Baru adalah
berdaulat, sama halnya dengan Inggris.
9. Demokrasi perwakilan yang eksklusif
Kendati Demokrasi Selandia Baru sifatnya perwakilan, tetapi ada sejumlah fakta Demokrasi
langsung (referendum). Referendum ini berkenaan dengan perizinan minuman keras, tahun
1949 ada referendum tentang wajib militer, dan tahun 1967 tentang masa jabatan parlemen 3
tahun ataukah 4 tahun.

B. Aliran Reinventing sebagai American Model


a. Reinventing Government: Meningkatkan Pelayanan Publik
Reinventing government adalah salah satu cara pemerintah di seluruh penjuru dunia
untuk memajukan kesejahteraan masyarakatnya. Pentingnya sektor publik dan layanan umum
yang baik adalah alasan untuk dilakukannya reinventing government. Terdapat banyak instansi
pemerintah di berbagai negara di dunia yang menerapkan reinventing government. Dengan
reinventing government, diharapkan kepercayaan masyarakat kepada pemerintah dapat
meningkat
b. Reinventing Government:
Reinventing government merupakan perubahan sistem dan organisasi pemerintah
secara fundamental untuk meningkatkan efektivitas, efisiensi, dan kemampuan instansi
pemerintah dalam melakukan inovasi. Perubahan ini dicapai dengan mengubah tujuan, sistem
insentif (remunerasi), pertanggungjawaban (transparansi dan akuntabilitas), struktur kekuasaan
dan budaya, sistem, serta organisasi pemerintahan (Osborne, 1993).
Quasi Autonomous Non Governmental Organization (QUANGOs) merupakan salah
satu bentuk penerapan konsep reinventing government yang banyak digunakan di negara maju.
QUANGOs merupakan badan yang menjadi perpanjangan tangan pemerintah, didanai oleh
pemerintah -tetapi tidak dijalankan oleh pemerintah tersebut-, serta mengutamakan pelayanan
publik, efisiensi, transparansi, dan akuntabilitas.
QUANGOs mulai berkembang sejak 1940-an di Amerika Serikat (Pifer, 1967). Pada
awalnya, QUANGOs di Amerika Serikat dibentuk untuk merespon tantangan dari teknologi
dan ilmu pengetahuan yang berkembang. Pada saat itu, ada dua pilihan, yakni membeli dari
pihak swasta atau mengembangkan di dalam pemerintahan itu sendiri. Dengan alasan tersebut,
Pemerintah Amerika Serikat membuat organisasi swasta di bawah pengawasan pemerintah
untuk tujuan-tujuan yang sudah ditentukan.
Organisasi-organisasi tersebut dibiayai oleh pemerintah. Oleh karena itu, organisasi
tersebut harus dapat memenuhi kebutuhan nasional/masyarakat. Kebutuhan tersebut termasuk
menemukan penyebab kemiskinan dan mencari cara untuk memberantas kemiskinan bagi
seluruh masyarakat.
Tujuan QUANGOs ada tiga. Pertama, memenuhi kebutuhan pemerintah terhadap
pelayanan kepada masyarakat yang tidak terdapat pada organisasi pemerintah lainnya. Kedua,
menyediakan penilaian yang independen. Ketiga, menawarkan fleksibilitas pelayanan untuk
menyelesaikan berbagai masalah dalam masyarakat.
Pada tahun 1980-an, QUANGOs berkembang pesat di hampir seluruh negara barat
(western countries). Perkembangan QUANGOs banyak didasari oleh keinginan pemerintah
yang berkuasa untuk memajukan kesejahteraan rakyatnya.
Pada tahun 2015, Pemerintah Inggris melakukan program reformasi lembaga
pemerintah. Reformasi itu memiliki empat tujuan utama:
• Meningkatkan efisiensi, termasuk mengurangi biaya dan meningkatkan nilai uang;
• Meningkatkan transparansi melalui keterbukaan dan penyederhanaan lembaga
pemerintah;
• Meningkatkan akuntabilitas; dan
• Meningkatkan nilai guna, layanan umum, kepercayaan, dan partisipasi masyarakat.
Keberadaan organisasi NDPB pada Pemerintah Inggris sangat penting. Hal ini ditunjukkan
dengan total anggaran lebih dari £30 miliar –sekitar Rp590 triliun. Ditambah lagi, jumlah
NDPB di Inggris mencapai 303 organisasi (BBC, 2010).
Berdasarkan fungsinya, NDPB dapat diklasifikasikan ke dalam empat jenis, yakni:
✓ Executive NDPB
NDPB jenis ini dibentuk berdasarkan undangundang dengan karakteristik melakukan kegiatan
administratif, mempekerjakan pegawainya sendiri, dan mengalokasikan anggaran secara
mandiri.
✓ Advisory NDPB
NDPB jenis ini menyediakan saran dan pendapat ahli yang independen, biasanya tidak
memiliki anggaran, serta dana yang dikeluarkan menjadi tanggungan oleh departemen yang
membawahinya.
✓ Tribunal NDPB
NDPB jenis ini memiliki yurisdiksi di bidang hukum khusus, memiliki pegawai yang berasal
dari departemen yang membawahinya, dan tidak memiliki anggaran.
Independent Monitoring Boards
NDPB jenis ini merupakan pengawas dan pengelola administrasi sistem penjara dan layanan
pada tahanan penjara. Dana yang dikeluarkan ditanggung penuh oleh departemen yang
membawahinya.
Pemerintah Inggris memiliki tiga sasaran pembentukan NDPB, yaitu memaksimalkan
outcome positif, mempromosikan good governance dan akuntabilitas pemerintah, serta
memberikan pemahaman kepada masyarakat tentang layanan pemerintah melalui NDPB.
Sasaran tersebut dapat membantu Pemerintah Inggris untuk mencapai tujuan penyederhanaan,
pengutamaan kebutuhan masyarakat, dan efektivitas layanan publik.
Konsep QUANGOs dalam pemerintahan juga diterapkan di Irlandia Utara. Di Irlandia
Utara, QUANGOs juga dikenal sebagai NDPB seperti di Inggris. Pada tahun 2003, Pemerintah
Irlandia Utara mengeluarkan dana sebesar £7,32 miliar -sekitar Rp144 triliun- yang
dialokasikan untuk NDPB sektor layanan publik. Organisasi-organisasi NDPB -dengan jumlah
pegawai sebanyak 29.500 pegawai negeri- dipersiapkan untuk melaksanakan fungsi
perpanjangan tangan pemerintah untuk menjadi eksekutif dan penasihat dalam layanan publik.
(Office of the First Minister and Deputy First Minister, dalam van Thiel, 2004).
Transformasi dan modernisasi layanan umum merupakan prioritas dasar terbentuknya
NDPB di Irlandia Utara. Reformasi tersebut memiliki tiga fokus utama, yaitu melakukan
investasi pada infrastruktur yang dibutuhkan oleh masyarakat, meningkatkan layanan publik,
dan mengevaluasi administrasi publik untuk melihat pihak yang mampu menyediakan layanan,
dan efektif dalam memenuhi kebutuhan masyarakat.
NDPB di Irlandia Utara mempunyai tujuh prinsip utama yang berpedoman pada
pelayanan publik. Prinsip-prinsip tersebut yaitu pertanggungjawaban kementerian terhadap
masyarakat, kelayakan, penelitian yang independen, kesempatan yang setara, kejujuran,
keterbukaan, dan transparansi (Central Appointments Unit, dalam van Thiel, 2004).
c. Reinventing Government di Indonesia
Indonesia merupakan salah satu negara yang telah melakukan reinventing government.
Mewirausahakan pemerintah merupakan salah satu cara untuk menjawab permasalahan yang
sering terjadi di berbagai negara di dunia, termasuk di Indonesia. Cara tersebut dibutuhkan
dalam rangka untuk meningkatkan layanan dan produktivitas dengan kondisi dana yang
terbatas.
Badan Layanan Umum (BLU) adalah salah satu contoh dari reinventing government.
BLU merupakan bentuk dari pelayanan pemerintah kepada masyarakat, melalui Kementerian
Keuangan, Direktorat Jenderal Perbendaharaan c.q. Direktorat Pembinaan Pengelolaan
Keuangan Badan Layanan Umum (Dit. PPK BLU).
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara,
BLU adalah instansi di lingkungan pemerintah yang dibentuk untuk memberikan pelayanan
kepada masyarakat berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang dijual tanpa mengutamakan
mencari keuntungan dan dalam melakukan kegiatannya didasarkan pada prinsip efisiensi dan
produktivitas. Pendanaan BLU berasal dari APBN/APBD yang dapat dikelola secara penuh
oleh instansi BLU tersebut.
BLU memiliki karakteristik sebagai berikut:
➢ Berkedudukan sebagai lembaga pemerintah (bukan kekayaan negara yang dipisahkan);
➢ Menghasilkan barang/jasa yang seluruhnya/sebagian dijual kepada publik;
➢ Tidak mengutamakan mencari keuntungan;
➢ Dikelola secara fleksibel dengan prinsip efisiensi dan produktivitas ala korporasi;
➢ Rencana kerja/anggaran dan pertanggungjawaban dikonsolidasikan pada instansi
induk;
➢ Pendapatan dan hibah dapat digunakan langsung;
➢ Pegawai dapat terdiri dari PNS dan non-PNS; dan 8) Bukan sebagai subjek pajak.
Konsep reinventing government yang diterapkan di Indonesia memiliki perbedaan
dibandingkan dengan yang diterapkan negara-negara tersebut di Amerika Serikat, Inggris, dan
Irlandia Utara. Perbedaan tersebut terlihat pada karakteristik BLU yang berkedudukan di
bawah lembaga pemerintah dan bukan merupakan instansi independen.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2005 tentang Pengelolaan
Keuangan Badan Layanan Umum, BLU bertujuan untuk meningkatkan pelayanan kepada
masyarakat dalam rangka memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan
bangsa dengan memberikan fleksibilitas dalam pengelolaan keuangan berdasarkan prinsip
ekonomi dan produktivitas, dan penerapan praktik bisnis yang sehat. Tujuan tersebut sejalan
dengan cita-cita luhur bangsa Indonesia yang tertuang pada alinea ke-4 Pembukaan Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.Tidak mengutamakan mencari
keuntungan merupakan salah satu karakteristik BLU. Namun, imbalan barang/jasa BLU tetap
diberlakukan dalam bentuk tarif untuk setiap layanan yang diberikan. Kewenangan dalam
menentukan tarif layanan ditentukan oleh Menteri Keuangan. Tarif yang akan diusulkan harus
mempertimbangkan: keberlanjutan dan pengembangan layanan, daya beli masyarakat, asas
keadilan dan kepatutan, serta kompetisi yang sehat. Tarif merupakan bagian dalam menentukan
remunerasi yang didapat. Remunerasi yang didapat disesuaikan dengan kinerja instansi BLU
yang bersangkutan.
Tarif layanan yang diatur oleh pemerintah didasarkan pada aspek-aspek yang
memihak pada seluruh lapisan masyarakat sehingga seluruh lapisan masyarakat Indonesia
dapat menggunakan layanan BLU tanpa dibedakan. Dengan demikian, tarif layanan tersebut
dapat membantu pemerintah untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat Indonesia.
Surplus yang diperoleh BLU dapat dipakai langsung untuk biaya operasional ataupun dapat
dimanfaatkan melalui investasi jangka pendek pada instrumen keuangan berisiko rendah
(deposito) atau investasi jangka panjang dengan persetujuan Menteri Keuangan. Investasi yang
dilakukan wajib mengikuti Standard Operational Procedure (SOP) dan tidak menguntungkan
salah satu pihak atau merugikan pihak-pihak yang terlibat dalam investasi tersebut. BLU dibagi
menjadi dua jenis yakni BLU Pemerintah Pusat yang berada di bawah Kementerian
Negara/Lembaga (K/L) dan BLU Pemerintah Daerah (BLUD) yang berada di bawah
Pemerintah Daerah. Penetapan/pencabutan status BLU bagi suatu instansi merupakan
wewenang Menteri Keuangan/ gubernur/bupati/walikota yang menerima usulan dari
Menteri/pimpinan lembaga/kepala Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) atas instansi
pemerintah yang telah/tidak memenuhi persyaratan substantif, teknis dan adminsitratif.
Berdasarkan data Dit. PPK BLU, saat ini terdapat 202 instansi BLU dan 815 BLUD
yang dibagi berdasarkan lima sektor, yakni kesehatan, pendidikan, kawasan, dana, serta
barang/jasa lainnya. Instansi BLU didominasi oleh sektor kesehatan dan pendidikan. 845 BLU
dan BLUD di sektor kesehatan serta 105 BLU dan BLUD di sektor pendidikan. Lebih dari 93%
BLU tergolong dalam sektor kesehatan dan pendidikan. Kedua sektor tersebut berhubungan
langsung dengan mutu dan kualitas sumber daya manusia serta dapat meningkatkan peringkat
Human Development Index (HDI) Indonesia. Pada tahun 2015 Indonesia menduduki peringkat
113 dari 188 negara, tergolong dalam Medium Human Development (United Nation
Development Programme, 2016).
Keleluasaan BLU untuk menggunakan pendapatan berdampak langsung dalam
peningkatan mutu dan kualitas SDM Indonesia. Selain itu, pendapatan BLU juga dapat
langsung digunakan untuk meningkatkan sarana dan prasarana BLU yang pada akhirnya dapat
meningkatkan pelayanan terhadap seluruh lapisan masyarakat. Namun demikian, keleluasaan
tersebut harus disertai dengan pembinaan dan pengawasan langsung dari Pemerintah Pusat
maupun Pemerintah Daerah.
Laporan keuangan merupakan suatu hal yang penting di dalam suatu organisasi,
termasuk BLU. Laporan keuangan diperlukan untuk mengetahui kinerja BLU. Pelaporan
keuangan BLU mengikuti pelaporan keuangan Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP), serta
diaudit dan diberikan opini oleh auditor ekternal. Hal ini sebagai bentuk transparansi dan
pertanggungjawaban instansi BLU kepada pemerintah, terlebih lagi kepada masyarakat.
Dengan demikian, tujuan dari reinventing government yaitu meningkatkan kinerja sektor
publik dan kualitas.

Anda mungkin juga menyukai