Anda di halaman 1dari 9

RESUME

PARLEMEN DAN LEGISLASI

NAMA :

SALSA NATA

( 191516 )

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS KRISTEN PALANGKA RAYA

2022
A. PARLEMEN
Dalam sebuah sistem politik yang demokratis, Parlemen adalah salah satu
lembaga politik yang penting untuk memastika’’apa yang dikatakan oleh rakyat
adalah apa yang menjadi kebijakan pemerintah’’. Dengan kata lain, adalah parlemen
adalah lembaga politik yang sangat penting dalam relasi antara rakyat dengan
pemerintah. Dalam konteksyang lebih luas, sistem demokratis moderen tidak
langsung saat ini telah menempatkan parlemen sebagai salah satu lembaga
perwakilan formal yang memliki peran sangat penting dalam pembuatan kebijakan
publik. Namun demikian tidak sedikit yang menganggao bahwa kinerja parlemen
sejauh ini masih jauh dari bentuknya ideal, sehingga mengahasilkan kebijakan yang
justru berlawanan dengan kepentingan masyarakat. Pentingnya peran dan fungsi
parlemen dalam sebuah sistem politik yang demokratis pada suatu sisi, dan masih
belum optimalnya kinerja parlemenn pada sisi yang lain, menjadi dsar bagi
departemen politik dan pemerintahan untuk mengajarkan mata kuliah parlemen.
a. Pengertian parlemen

Parlemen adalah sebuah badan legislatif, khususnya di negara-negara sistem


pemerintahannya berdasarkan sistem Westminster dari Britania Raya.Istilah
bahasa Inggris berasal dari Anglo-Norman dan berasal dari abad ke-14, berasal
dari Parlemen Prancis abad ke-11, dari "parler", yang berarti "untuk berbicara".
Makna ini berkembang dari waktu ke waktu, awalnya mengacu pada setiap
diskusi, percakapan,atau negosiasi melalui berbagai jenis kelompok deliberatif
atau yudisial, sering kali dipanggil oleh seorang raja. Pada abad ke-15, di Inggris,
itu secara khusus berarti badan legislatif.Badan legislatif yang disebut parlemen
dilaksanakan oleh sebuah pemerintah dengan sistem parlementer di
mana eksekutif secara konstitusional bertanggungjawab kepada parlemen. Hal ini
dapat dibandingkan dengan sistem presidensial di mana legislatif tidak dapat
memilih atau memecat kepala pemerintahan dan sebaliknya eksekutif tidak dapat
memilih atau memecat kepala pemerintahan dan sebaliknya eksekutif tidak dapat
membubarkan parlemen. Beberapa negara mengembngkan sistem
semipresidensial yang menggabungkan seorang presiden yang kuat dan seorang
eksekutif yang bertanggungjawab kepada parlemen. Parlemen dapat terdiri dari
atas beberapa kamar atau majelis, dan biasanya berbentuk unukameral atau
bikameral meskipun terdapat beberapa model yang lebih rumit seorang perdana
menteri adalah hampir selalu seorang pemimpin partai yang memiliki posisi
mayoritas di majelis rendah pada parlemen, tetapi hanya menduduki jabatan
tersebut selama parlemen masih mempercayainya. Jika anggota majelis rendah
kehilangan kepercayaan dengan alasan apapun, maka mereka dapat mengajukan
mosi tidak percaya dan memaksa PM untuk mengundurkan diri. Hal ini dapat
sangat berbahaya bagi kestabilan pemerintahan jika jumlah posisi suara relatif
seimbang.

b. Sistem parlemen

Dalam sistem parlementer, fungsi eksekutif sebagai kepala pemerintahan dan kepala
negara dijalankan oleh dua lembaga yang berbeda. Kepala pemerintahan dijalankan
oleh perdana menteri yang memimpin kabinet dan bertanggung jawab terhadap
penyelenggaraan pemerintahan. Ia biasanya adalah pimpinan partai politik pemenang
pemilihan umum. Sementara fungsi kepala negara dijalankan oleh presiden atau di
negara monarki oleh raja/ratu. Kekuasaan kepala negara cenderung bersifat simbolis
dan tidak menjalankan kekuasaan yang nyata dalam kehidupan politik sehari-hari
sehingga ia tidak dapat dimintakan pertanggungjawaban atas penyelenggaraan
pemerintahan. (Lijphart, 1995: 37−38) Prinsip dasar pemerintahan di Inggris, Jepang,
India, negara-negara Eropa Barat dan Skandinavia, negara-negara persemakmuran,
dan negaranegara lain yang menggunakan sistem pemerintahan parlementer adalah
fusi kekuasaan yang mengkonsentrasikan semua kekuasaan di tangan parlemen.
Prinsip tersebut diwujudkan, antara lain dengan adanya tumpang-tindih personel, di
mana dengan sedikit pengecualian, konstitusi di negara-negara dengan sistem
parlementer mengharuskan jabatan-jabatan puncak lembaga eksekutif diisi oleh
anggota parlemen. Selain itu, terdapat supremasi formal parlemen, di mana kekuasaan
para menteri untuk menjalankan pemerintahan adalah kekuasaan yang diberikan oleh
parlemen. Karena itu, para menteri dalam sistem parlementer bertanggung jawab
kepada parlemen. Parlemen bisa mengganti menteri tertentu atau bahkan kabinet
kapan saja dengan mosi tidak percaya yang dilakukan melalui pemungutan suara. Jika
mosi tidak percaya didukung oleh mayoritas anggota parlemen maka perdana menteri
atau anggota kabinet harus berhenti. Dalam konflik dengan parlemen, perdana menteri
biasanya mempunyai kewenangan untuk membubarkan parlemen. Pembubaran ini
harus disertai penyelenggaraan pemilu untuk memilih anggota parlemen yang baru
yang akan memilih kabinet baru. (Ranney, 1993: 241−242) Sistem ini merupakan
sistem pemerintahan yang paling banyak digunakan di negara-negara demokratis
dewasa ini.

c. Fungsi parlemen

Menurut Rod Hague, dkk. parlemen modern menjalankan beberapa fungsi pokok,
yaitu fungsi perwakilan, fungsi deliberasi, dan fungsi legislasi. Selain itu, beberapa
parlemen mempunyai fungsi yang lain, yaitu membentuk pemerintahan, mengesahkan
anggaran, melakukan pengawasan terhadap eksekutif, dan menyediakan sarana bagi
rekrutmen elit dan sosialisasi. Pertama, fungsi perwakilan. Parlemen secara sederhana
dipahami sebagai sebuah mikrokosmos dari masyarakat. Ia dianggap mewakili
kepentingan yang berbeda-beda di dalam masyarakat. Akan tetapi, sering kali ilustrasi
ini dianggap terlalu utopis. Kenyataannya anggota parlemen berada di simpang jalan
antara kepentingan partai, konstituen di daerah pemilihan, dan kepentingan penduduk
secara nasional. Dalam hal ini, sistem pemilihan dan sistem kepartaian adalah dua hal
penting yang banyak menentukan kecenderungan loyalitas seorang wakil. (Hague,
dkk: 190)

Kedua, fungsi deliberasi. Inti dari fungsi ini adalah penyebaran informasi melalui
diskusi publik menyangkut isu-isu nasional yang terjadi di dalam parlemen. Fungsi ini
tidak dapat dilepaskan dari fungsi perwakilan. (Hague, dkk: 190) Akan tetapi,
sebagian dari proses deliberasi ini lebih bersifat teatrikal. Pentingnya partisipasi
masyarakat setidaknya didasarkan ‘keterbatasan’ demokrasi perwakilan dewasa ini.
Di hampir semua negara yang menjalankan pemerintahan berdasarkan sistem
demokrasi perwakilan ada kecenderungan bahwa orang yang terpilih sebagai wakil
adalah kelompok elit yang sering kali tidak memiliki hubungan langsung dengan
konstituennya.

Ketiga, fungsi legislasi. Sebagian besar konstitusi di dunia secara eksplisit


menegaskan fungsi legislasi yang dimiliki oleh parlemen. Demokrasi liberal yang
menolak kekuasaan absolut lembaga eksekutif memberikan kekuasaan untuk
membentuk undang-undang. Di negara-negara dengan sistem presidensial otonomi
parlemen dalam pembuatan undangundang relatif lebih besar dibanding di negara-
negara dengan sistem parlementer. (Hague, dkk: 191) Namun, fungsi parlemen dalam
hal legislasi saat ini semakin mengecil karena dalam praktiknya proses legislasi
didominasi oleh lembaga eksekutif, terutama dalam hal penyusunan rancangan
undang-undang.

Keempat, fungsi budgeting. Fungsi anggaran merupakan salah satu fungsi paling
pertama yang dimiliki oleh parlemen, khususnya majelis rendah. Seperti dibahas pada
bagian awal tulisan ini, kehadiran parlemen di Eropa bermula dari kebutuhan kerajaan
terhadap dukungan dana dari kalangan bangsawan. Mereka mengajukan tuntutan-
tuntutan kepada raja sebelum mereka memberikan apa yang diminta oleh raja. Akan
tetapi, seperti halnya fungsi legislasi, rancangan anggaran yang akan disahkan
umumnya juga datang dari lembaga eksekutif. (Hague, dkk: 193) Meskipun demikian,
biasanya rancangan anggaran mengharuskan adanya persetujuan parlemen terhadap
rancangan yang diajukan eksekutif.

Kelima, fungsi pengawasan. Fungsi ini merupakan salah satu fungsi yang paling
berguna dari parlemen modern. Fungsi ini memungkinkan parlemen memantau
aktivitas-aktivitas pemerintah dan mengawasi kualitas jalannya pemerintahan.

Keenam, fungsi membentuk pemerintahan. Di dalam sistem parlementer terbentuknya


atau jatuhnya pemerintah ditentukan melalui dinamika politik di parlemen.

Ketujuh, fungsi rekrutmen elit dan sosialisasi. Parlemen merupakan tempat di mana
bakat-bakat calon pengambil keputusan dibentuk. Fungsi ini terlihat jelas di negara
dengan sistem pemerintahan parlementer, di mana jabatan menteri dan kedudukan
penting lain di lembaga eksekutif harus diisi oleh anggota parlemen.

Prof. Miriam Budiardjo berpendapat bahwa ada dua fungsi pokok dari lembaga
legislatif. Pertama, menentukan kebijakan dan membuat perundangundangan (fungsi
legislasi). Untuk melaksanakan fungsi ini lembaga legislatif diberi hak inisiatif, hak
untuk mengamandemen rancangan undangundang yang diajukan pemerintah,
terutama dalam soal budget atau anggaran. Kedua, mengontrol lembaga eksekutif.
Untuk menjalankan kewenangannya ini lembaga legislatif dilengkapi dengan
sejumlah hak, antara lain hak bertanya, hak interpelasi atau hak untuk meminta
keterangan, hak angket atau hak untuk melakukan penyelidikan, dan hak mosi.
(Budiardjo, 2008: 322−323)

B. LEGISLASI

Undang-undang atau legislasi adalah hukum yang telah disahkan oleh


badan legislatif atau unsur ketahanan yang lainnya. Sebelum disahkan, undang-undang
disebut sebagai rancangan Undang-Undang. Undang-undang berfungsi untuk digunakan
sebagai otoritas, untuk mengatur, untuk menganjurkan, untuk menyediakan (dana), untuk
menghukum, untuk memberikan, untuk mendeklarasikan, atau untuk membatasi sesuatu.
Suatu undang-undang biasanya diusulkan oleh anggota badan legislatif (misalnya
anggota DPR), eksekutif (misalnya presiden), dan selanjutnya dibahas di antara
anggota legislatif. Undang-undang sering kali diamendemen (diubah) sebelum akhirnya
disahkan atau mungkin juga ditolak.Undang-undang dipandang sebagai salah satu dari tiga
fungsi utama pemerintahan yang berasal dari doktrin pemisahan kekuasaan. Kelompok yang
memiliki kekuasaan formal untuk membuat legislasi disebut sebagai legislator (pembuat
undang-undang), sedangkan badan yudikatif pemerintah memiliki kekuasaan formal untuk
menafsirkan legislasi, dan badan eksekutif pemerintahan hanya dapat bertindak dalam batas-
batas kekuasaan yang telah ditetapkan oleh hukum perundang-undangan.

Proses Pembentukan Undang-Undang di Indonesia

Dalam proses pembentukan undang-undang, terdapat transformasi visi, misi dan nilai yang
diinginkan oleh lembaga pembentuk undang-undang dengan masyarakat dalam suatu bentuk
aturan hukum

Proses pembentukan undang-undang diatur dalam Pasal 162 – 173 UU MD3 beserta
perubahannya.

Selain diatur dalam UU MD3, proses pembentukan undang-undang juga dapat Anda temukan
dalam UU 12/2011 beserta perubahannya yang terbagi menjadi beberapa tahap antara lain:

1. Perencanaan, diatur dalam Pasal 16 sampai Pasal 42 UU 12/2011;


2. Penyusunan, diatur dalam Pasal 43 sampai Pasal 64 12/2011;
3. Pembahasan, diatur dalam Pasal 65 sampai Pasal 71 12/2011;
4. Pengesahan, diatur dalam Pasal 72 sampai Pasal 74 12/2011;
5. Pengundangan, diatur dalam Pasal 81 sampai Pasal 87 12/2011.

Lebih detail, Anda juga dapat menyimak dalam Perpres 87/2014 dan Perpres 76/2021 dengan
tahapan:

1. Perencanaan RUU (Bab II Bagian Kedua Perpres 87/2014);


2. Penyusunan RUU (Bab III Bagian Kesatu Perpres 87/2014);
3. Pembahasan RUU (Bab IV Bagian Kesatu Perpres 87/2014);
4. Pengesahan/penetapan RUU menjadi UU (Bab V Bagian Kesatu Perpres 87/2014);
5. Pengundangan UU (Bab VI Bagian Kesatu Perpres 87/2014).

Berdasarkan informasi yang dilansir dari laman DPR tentang Proses Lahirnya Undang-
Undang Republik Indonesia, berikut adalah intisari proses pembentukan undang-undang di
Indonesia:

1. Tahap Perencanaan

a. Badan legislatif menyusun Program Legislasi Nasional (“Prolegnas”) di


lingkungan DPR. Pada tahap ini, badan legislatif dapat mengundang pimpinan
fraksi, pimpinan komisi, dan/atau masyarakat;
b. Badan legislatif berkoordinasi dengan DPD dan Menteri Hukum dan HAM
untuk menyusun dan menetapkan Prolegnas;
c. Prolegnas jangka menengah (5 tahun) dan Prolegnas tahunan ditetapkan
dengan keputusan DPR.
2. Tahap Penyusunan

a. Penyusunan naskah akademik oleh anggota/komisi/gabungan komisi;


b. Penyusunan draft awal RUU oleh anggota/komisi/gabungan komisi;
c. Pengharmonisasian, pembulatan, pemantapan, konsepsi RUU yang paling
lama 20 hari masa sidang, sejak RUU diterima badan legislatif. Kemudian
tahap ini dikoordinasi kembali oleh badan legislatif;
d. RUU hasil harmonisasi badan legislatif diajukan pengusul ke pimpinan DPR;
e. Rapat paripurna untuk memutuskan RUU usul inisiatif DPR, dengan
keputusan:
i. Persetujuan tanpa perubahan
ii. Persetujuan dengan perubahan
iii. Penolakan
f. Penyempurnaan RUU jika keputusan adalah “persetujuan dengan perubahan”
yang paling lambat 30 hari masa sidang dan diperpanjang 20 hari masa sidang;
g. RUU hasil penyempurnaan disampaikan kepada Presiden melalui surat
pimpinan DPR;
h. Presiden menunjuk Menteri untuk membahas RUU bersama DPR, yang paling
lama 60 hari sejak surat pimpinan DPR diterima Presiden.
3. Pembahasan

a. Pembicaraan tingkat 1 oleh DPR dan Menteri yang ditunjuk Presiden, yang
dilakukan dalam rapat komisi/gabungan komisi/badan legislatif/badan
anggaran/pansus;
b. Pembicaraan tingkat 2, yakni pengambilan keputusan dalam rapat paripurna.

4. Pengesahan

RUU disampaikan dari pimpinan DPR kepada Presiden untuk disahkan.

5. Pengundangan

RUU yang telah disahkan diundangkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA

PARLEMEN & PROSES LEGISLASI.pdf

Lijphart, Arend. (1995). Sistem Pemerintahan Parlementer dan Presidensial. Jakarta: RajaGrafindo
Persada.

Anda mungkin juga menyukai