Anda di halaman 1dari 35

“Generasi Yang Terus Resah Di Tengah Sistem Kapitalisme”

(Sejarah Gerakan Mahasiswa Kerakyatan)

Betul, kalian yang melahirkan kami, wahai kapitalisme. Akan tetapi, kami tidak akan
membiarkan sistemmu yang semakin lama semakin lapuk itu terus menghisap yang lemah.
Betul, bahwa sebagian besar dari kami adalah kelas borjuis kecil, tetapi kami telah
menambatkan pilihan: bahwa kami memihak mereka yang telah kau hisap selama berabad-
abad karena lambat laun, kami pun akan sama dengan kelas proletariat yang tidak
mempunyai apa kecuali peninadasan yang merantai kami. Kalian catat, kami bersama kaum
buruh dan tani akan membalik sistem dunia yang menindas ini. Kami, gerakan mahasiswa
akan terus berada ditengah deyut nadi kaum buruh dan kaum-kaum lain yang kau tindas,
bersama bergerak, melahirkan sistem baru yang manusiawi.
***

I.Sistem Pendidikan Kapitalisme:

Melahirkan “Proletarisasi” dan Perlawanan

Setelah kejatuhan feodalisme akibat tidak kuat menanggung “beban sejarah” perkembangan
umat manusia, lahirlah sistem kapitalisme yang lebih modern. Slogan kapitalisme –
sebagaimana yang diteriakkan dalam Revolusi Prancis, libertey (kebebasan), egality
(persamaan), faternity (persaudaraan) – berhasil menyapu sistem feodalisme yang telah
ketinggalan jaman. Inilah bukti bahwa sejarah selalu bergerak maju. Sederhanya selalu
berdialektika. Revolusi Prancis merupakan tonggak munculnya suatu tahapan baru dari
peradapan manusia. Memang berbeda dengan feodalisme, dimana raja adalah wakil Tuhan,
kapitalisme berteriak dengan lantang, semua manusia adalah sama. Kapitalisme
“mengibarkan” tinggi-tinggi “bendera” kebebasan individu. Berkembangnya kapitalisme ini
juga ditandai dengan revolusi tehnologi/ilmu pengetahuan. Berawal ditemukanya mesin uap
dan listrik, industri berkembang secara cepat. Pusat-pusat industri seperti tekstil mulai
berkembang, mulai terjadi mobilisasi dari desa menuju perkotaan. Begitu juga dalam bidang
filsafat, eksitensialisme mewakili periode ini. "Segala "paham tua" yang ada harus
dihancurkan", begitu teriakan yang muncul dari kaum borjuasi.

Setiap perubahan dari suatu sistem ke sistem lainya, secara otomatis disertai perubahan
corak produksi. Begitu juga perubahan dari sistem feodalisme ke sistem kapitalisme. Corak
produksi feodalisme -- tuan tanah dan petani miskin sebagai kelas utama -- digantikan oleh
kaum borjuasi dan buruh sebagai kelas utama dalam corak produksi kapitalisme. Ini otomatis
mempengaruhi semua tatanan masyarakat yang ada, budaya, politik, iptek,dll.

Seperti yang disinggung diatas, perkembangan kapitalisme ditandai dengan industrialisasi


disegala sektor, terjadi mobilisasi dari desa ke pusat-pusat industri di perkotaan. Corak
produksi lama – corak agraris – mulai ditinggalkan, mulailah muncul buruh-buruh industri. Kita
ambil contoh ini seperti yang terjadi di Rusia, dimana fase perpindahan corak produksi dari
feodalisme ke kapitalisme terlihat dengan jelas. Sebagaimana yang ditulis Paul Le Blanc:

1
Pada masa alih abad, dari abad ke 19 ke abad 20, Rusia adalah sebuah negeri yang luas
dengan keadaan yang terus menerus berubah dan bergolak, yang diserang oleh berbagai
kontradiksi yang mendalam. Sebagian besar masyarakat Rusia adalah petani, dengan pemilikan
tanah sedang atau tidak sama sekali, yang baru dilepaskan dan muncul dari perbudakan,
namun tetap ditindas oleh kaum bangsawan yang berkuasa. Pada saat yang bersamaan,
sebuah proses dramatis dari industrialisasi dan urbanisasi telah menciptakan kelas pekerja yang
signifikan tetapi rapuh, yang menghadapi kehidupan dan kerja yang buruk sekali. Kaum kapitalis
baru yang meningkat jumlahnya, sementara hanya memperolehkan peran dari patner-patner
yunior di antara penguasa setengah (quasi) feodal di Rusia.1

Masih dalam contoh perkembangan Rusia, disamping perubahan-perubahan “fisik” diatas,


juga terjadi perubahan dalam tingkatan ideologis. N Olesich dan V Privatov mengambarkan
sebagai berikut:

Sementara dalam kebijaksanaan ekonominya, Tsar mendorong peningkatan kepentingan kaum


pemilik modal dalam lapangan ideologi, khususnya dalam pendidikan tinggi, meskipun
pendidikan tinggi tersebut mempunyai cara yang konservatif. Akhirnya dibawah dampak dari
kapitalisme, sistem kasta yang picik dari pendidikan tinggi, yang hanya memberikan
kesempatan pada para bangsawan telah didorong untuk memberikan jalan pada semua strata
masyarakat.

Pada awal abad ke 20, jumlah kaum terpelajar bertambah denga cepat. Pada awal 1903 telah
terdapat 85 lembaga pendidikan tinggi di Rusia dengan menampung 42.884 siswa. Kira-kira
sepuluh tahun kemudian, pada tahun ajaran 1914/1915 telah berdiri 105 pendidikan tinggi
dengan daya tampung 127.400 siswa2.

Apa yang terjadi Rusia, juga terjadi dinegara-negara lain yang memasuki fase corak produksi
baru – corak produksi kapitalis. Begitu juga di Indonesia. Bedanya sistem kapitalisme di
Indonesia bukan lahir dari perjuangan borjuasi "pribumi", tapi dicangkokkan oleh kalonialisme
Belanda. Pada awalnyapun, kolonialisme Belanda kurang memperhatikan sektor pendidikan,
berbeda dengan negara-negara lain yang mengalami fase “normal” 3 dari perpindahan corak
produksi ini. Kolonialisme Belanda pada awalnya hanya memeras fisik, tanpa meningkatkan
kecerdasan rakyat Indonesia4. Tidak heran kalau di antara negara jajahan di Asia, Indonesia
paling terbelakang, dibanding Malaysia, Brunai, Singapura, yang menjadi jajahan Inggris.

Baru sejak diterapkanya politik Etis oleh Belanda – setelah kemenangan kelompok liberal,
dengan slogan irigasi, edukasi dan transmigrasi -- terhadap tanah jajahan seperti Indonesia,
terjadi perubahan yang mendasar di berbagai sektor. Perkembangan kapitalisme di Belanda,
dimana jumlah produk meningkat, sementara pasar terbatas, memaksa mencari tempat lain
sebagai pasar dan membuka industri baru di negeri jajahan. Mau tidak mau Belanda harus
1
Paul Le Blang, Lenin dan Partai Revolusioner terjemahan halaman 15 - 68
2
Membangun Kontak Mahasiswa Dengan Kelas Pekerja, diterjemahkan dari teks aslinya yang berjudul “ Establising Contacs
With the Working Class” dalam Lenin Student in Revolution, Moscow ;1982
3
Seperti halnya yang terjadi pada revolusi Prancis dan Inggris, feodalisme dihancurkan sehancur-hancurnya. Tapi beda yang
terjadi di Indonesia, sisa-sisa feodalisme masih dipertahankan. Memang yang kemudian kita dapatkan adalah dobel kekuasaan.
Ditingkat atas dikuasasi oleh Belanda, ditingkat bawah para Adipati masih berkuasa. Struktur feodal masih dimanfaatkan oleh
Belanda untuk kepentingan ekonomi ataupun politik. Hal ini dapat kita lihat sistem upeti dan peranan para "raja-raja" lokal
untuk mengawasi sistem tanam paksa, misalnya. Akibatnya, kapitalisasi yang terjadi di Indonesia tersendat-sendat.
4
Kita dapat melihat bagaiman sistem tanam paksa diterapkan oleh Belanda. Segala potensi penduduk yang ada hanya
difokuskan untuk memenuhi kebutuhan barang tanah jajahan. Kerja-kerja rodi yang diterapkan Belanda telah menguras
seluruh tenaga rakyat.

2
“mendidik” penduduk daerah jajahan, baik untuk kepentingan industrialisasi maupun staf
adminitrasi rendahan. Dalam laporan Semaoen menggambarkan kondisi Indonesia setelah
diberlakukanya politik etis:

Tahun 1900 menyaksikan perubahan besar: pertumbuhan kapitalisme telah menimbulkan


penghisapan terhadap bumiputra, dan juga proletarisasi. Para kapitalis, untuk memperoleh staff
juru tulis dan pegawai kecil, membuka kesempatan pendidikan bagi bumiputera. Pemerintah
mulai menerapkan “Politik Etis”, yang dengan alasan meningkatkan “standar hidup” orang
bumi putera …” 5.

Sekolah-sekolah baru kemudian didirikan, baik oleh pemerintah Belanda atau oleh kaum
bumi putera, kesempatan pendidikan bagi rakyat bertambah luas – dimana sebelumnya
hanya golongan priyayi yang dapat menikmati pendidikan. Sekolah-sekolah yang didirikan
oleh kaum bumi putera tidak hanya bertujuan “komersial”, akan tetapi sudah bertujuan sosial
politik. Dapat kita ambil contoh tujuan didirikan sekolah menurut Serikat Islam:

1. Memberi sendjata tjoekoep, boet mentjari penghidoepan dalam doenia kemodalan 6


(berhitoeng, menoelis, ilmoe bumi, bahasa Belanda, Djawa, Melajoe, d.sb).
2. Memberi haknja moerid-moerid, ja’ni kesoekaan hidoep dengan djalan pergaoelan 7
(vereeniging).
3. Menoendjoekkan kewadjipannja kelak, terhadap berjoeta-djoeta Kaeom Kromo 8.9

Dari sini kita dapat melihat, paling tidak kapitalisme telah memberikan “sumbangkan” yang
berarti -- kesempatan pendidikan, melahirkan intelegensia-intelegensia baru. Dengan begitu
telah muncul “kelas” baru yang mempunyai “keistimewaan” dalam memperoleh akses-akses
baik informasi, teori-teori ilmiah dibandingkan kelas lainya.”Kelas” ini bisa berdiskusi,
membicarakan situasi yang ada, membandingkan kondisi yang mereka alami dengan teori-
teori yang mereka pelajari. Maka tidak heran kalau mereka menjadi kritis terhadap keadaan,
kemudian muncul kesadaran untuk mengubah keadaan, mendorong sektor lain untuk ikut
bergerak. Inilah sebanya banyak tokoh-tokoh yang mendorong perubahan dunia berasal dari
“kelas” ini, tokoh-tokoh seperti Hegel, Marx, Adam Smid, Lenin, Gandhi, Soekarno,dll –
merupakan intelegensia, lahir dari universitas-universitas.

Apa yang terjadi selajutnya, “kebaikan” kapitalisme ini telah “melahirkan anak haram” yang
melawan “ibu kandungnya sendiri”. Kelas “baru”, yaitu mahasiswa, dalam fakta-fakta sejarah
malah mempelopori untuk melawan sistem kapitalisme yang menghisap. Ini bukan terjadi
begitu saja, bahwa ternyata sistem pendidikan kapitalisme menciptakan “proletarisasi” baru.

Marilah kita kupas lebih mendalam. Kapitalisme membutuhkan banyak tenaga kerja terlatih
untuk memenuhi kebutuhan pasar industri yang berkembang sangat pesat. Dengan demikian,
lembaga-lembaga pendidikan dipacu untuk “melahirkan” tenaga-tenaga kerja ahli sesuai
dengan kebutuhan pasar kapitalis. Apa yang terjadi kemudian, jurusan-jurusan tertentu yang
banyak dibutuhkan ekonomi kapitalis dipacu hasilnya, sedangkan jurusan-jurusan yang tidak
ada hubungannya dengan ekonomi kapitalis “dinomer duakan”. Disadari atau tidak,
universitas menjadi sub-ordinasi terhadap kebutuhan langsung terhadap ekonomi kapitalis.
Ernest Mandel mengambarkan kondisi ini sebagai berikut:

5
Gerakan Indonesia di Hindia Belanda, laporan oleh kawan Semaoen.
6
Untuk mengganti kata kapitalisme.
7
Yang dimaksud sebenarnya adalah berorganisasi.
8
Yang dimaksud adalah rakyat jelata.
9
Tan Malaka, SI Semarang Dan Onderwijs (Drukk Minahasa, Semarang, 1921 dikeluarkan oleh School)

3
Mereka bahkan tidak diizijinkan memilih karir, bidang, studi dan disiplin ilmu yang mereka
kehendaki dan berhubungan dengan keahlian dan kebutuhan mereka. Mereka akan dipaksa
menerima pekerjaan, disiplin ilmu dan bidang studi yang berhubungan dengan kepentingan
penguasa masyarakat kapitalis, dan tidak berhubungan dengan kebutuhan mereka sebagai
manusia 10.

Dengan kondisi diatas, mahasiswa hanya dijadikan “komoditi”, tidak diberi hak untuk
menentukan pilihan-pilihan, kebebasan ini telah dirampas oleh kebutuhan pasar kapitalis.
Mahasiswa yang mencoba “menentang” kehendak pasar kapitalis, mengambil jurusan yang
tidak dibutuhkan oleh kebutuhan kapitalis, maka akan menjadi penganggur-penganggur baru.
Adalah tepat yang digambarkan Ernest Mandels tentang kondisi ini, mengutip dari kuliah
umum seoang pendidik yang terkenal di Kanada:

Beberapa hari yang lalu, ketika di Toronto, salah satu pendidik Kanada yang terkenal
memberikan kuliah umum tentang sebab-sebab perlawanan mahasiswa. Menurutnya, alasan-
alasan perlawanan itu “secara mendasar bersifat material”. Bukan karena kondisi hidup mereka
tidak memuaskan;bukan karena mereka diperlakukan seperti buruh abad XIX. Tapi karena
secara sosial kita menciptakan sejenis proletariat11 di universitas yang tidak berhak
berpartisipasi dalam menentukan kurikulum, tidak berhak, setidaknya untuk ikut menentukan
kehidupan mereka sendiri selama empat, lima atau enam tahun yang mereka habiskan di
universitas.12

Dari sini jelaslah, mahasiswa menjadi terasing dengan “kehidupanya” di universitas. Mereka
menjalani kehidupan di universitas dengan keterpaksaan, bukanlah kehendak dari hati
nurani. Apa yang didapatkan adalah kondisi universitas yang “otoriter”, tidak memberi
peluang kepada mahasiswa untuk mengembangkan kemampuan mereka. Tuntutan-tuntutan
kapitalis yang tidak berhubungan dengan bakat perorangan dan kebutuhan manusia, itulah
yang ada.

Makin terasingnya tenaga kerja intelektual ini sedikit banyak menggerakkan perlawanan
mahasiswa. Memang perlawanan ini bukan pelopor dari perlawan kelas buruh, tapi dapat
menjadi picu ledak bagi perlawanan sektor lain yang lebih luas. Awalnya perlawanan
mahasiswa adalah untuk menghadapi birokrasi kampus yang otoriter, yang mengekang
kebebasan indiviudal mereka. Mereka berusaha mengubah tatanan kampus agar bisa lebih
“memanusiakan”. Ernest Mandels menyatakan dalam tulisanya:

Mereka (mahasiswa-pen) pertama-tama berhadapan dengan wewenang para dosen dan


lembaga-lembaga universitas yang paling tidak dalam bidang ilmu sosialnya tidak berhubungan
dengan realitas. Pelajaran yang mereka peroleh tidak memberikan analisa ilmiah yang obyektif
tentang apa yang sedang terjadi di dunia atau negara-negara barat lainya. Tantangan terhadap
wewenang akademis dari lembaga inilah yang kemudian cepat bergeser menjadi tantangan
terhadap isi pendidikan.13

Hal ini kemudian diperparah oleh situasi kehidupan mahasiswa yang makin memburuk, baik
akibat dikuranginya subsidi pendidikan, dikuranginya beasiswa, ataupun akibat orang tua
mereka yang semakin melemah ekonominya akibat krisis yang ada. Banyaknya subsidi bagi
sektor pendidikan dianggap tidak efisien. Banyak anggaran negara yang harus dikuluarkan
untuk kebutuhan ini, itulah alasannya. Pendidikan kemudian dikomersialkan, mahasiswa
harus memenuhi kebutuhannya sendiri – baik untuk pemenuhan literatur-literatur, penelitian
ilmiah – dengan membayar mahal biaya pendidikan. Akibatnya banyak mahasiswa yang
harus berhenti kuliah, hanya mahasiswa kaya yang mampu melanjutkan kuliah. Ada baiknya
kita melihat keadaan mahasiswa di Rusia awal abad 20:

10
Gerakan Mahasiswa Revolusioner: Teori dan Pratek, Ernest Mandels
11
Makna proletariat disini bukan makna sesungguhnya. Makna proletariat sesuguhnya adalah suatu kelas yang tidak memiliki
alat produksi, menghasilkan nilai lebih dan tidak bisa mengakumulasi modal. Proletariat yang dimaksud disini adalah
keterasingan mahasiswa dengan apa yang ada di universitas, seperti halnya kaum buruh yang “terasing” dengan proses produksi
yang ada di pabrik
12
Gerakan Mahasiswa Revolusioner: Teori dan Pratek, Ernest Mandels
13
Ibid

4
Pada tahun ajaran 1899/1900, 5,3% dari mahasiswa di universitas Moskow nyaris tidak
dapat melanjutkan kuliahnya. Pada tahun 1901 jumlah siswa yang sangat
membutuhkan bantuan keuangan melonjak di Universitas Moskow; 62,27% di Jurusan
Filologi, 50,21% di Jurusan Matematika, dan 60,73% di Jurusan Kedokteran. Jumlah
siswa yang butuh bantuan keuwangan sangat melonjak di kedokteran hewan, institut
pertanian, sekolah guru dan sekolah asisten dosen….

…. Sementara pemerintah secara reguler selalu menaikkan bayaran sekolah. Cara ini
telah membuat terdepaknya para mahasiswa yang tidak kaya dari universitas. Dari
periode 1887 hingga 1898 uang bayaran meningkat dari 10 rubel menjadi 50 rubel.
Pada masa revolusi (gagal-pen) 1905 uang bayaran telah mencapai 100 rubel pertahun.

Setiap tahun uang dana beasiswa terus dikurangi. Pada tahun 1899 hanya 6,1% siswa di
Universitas Kazan menerima beasiswa. Pada tahun 1904 jumlahnya semakin menurun
mencapai 4,3%. Seringkali dalam mendistribusikan beasiswa para birokrat pendidikan tinggi
lebih menekankan pada loyalitas politik ketimbang kondisi material .14

Dari gambaran-gambaran diatas, jelaslah kapitalisme telah melahirkan “anak” yang salah
urus sehingga melawan “orang tuanya sendiri”. Sistem pendidikan kapitalisme ternyata telah
memelihara “harimau” yang akan menerkam dan membinasakan sistem yang telah
membesarkan.

II. Perlawanan Mahasiswa : Dari Kampus Menuju “Jalan Raya”;


Antara Gerakan Moral dan Gerakan Politik

Apa bila kita telusuri, perlawanan-perlawanan memang berasal dari dalam kampus, dari
persoalan-persoalan interen kampus. Segala kebijaksanaan yang mencoba mengekang
aktivitas mahasiswa, terus menerus didobrak oleh mahasiswa sendiri. Kondisi pendidikan
yang tidak memadai, profesor-profesor yang “kolot”, kurikulum-kurikulum yang tidak
memenuhi harapan mahasiswa – kondisi inilah yang pada mulanya mendorong perlawanan
mahasiswa. Kita dapat melihat fakta-fakta yang ada selama ini tentang “tahap awal”
perlawanan mahasiswa yang dimulai dari dalam kampus. Kejadian ini dapat dilihat ketika
perlawanan mahasiswa di Rusia tanggal 8 Februari 1889 di Univeristas Petersburg ketika
mahasiswa mengejek rektor mereka yang reaksioner 15.

Apa yang terjadi di Universitas yang ada di Italia, “pemberontakan” mahasiswa sebetulnya
hanya berasal dari persoalan yang “sepele”. Berawal dari tradisi staf pengajar yang otoriter,
para profesor hanya memberikan pelajaran sesuai yang ada dalam diktat, begitu juga materi
ujian juga hanya diambil dalam diktat 16. Kurikulum yang adapun juga tidak memadai lagi,
sudah ketinggalan jaman. Kondisi inilah yang kemudian mendorong mahasiswa untuk
mengadakan perlawanan. Tuntutan mahasiswa yang pada awalnya hanya tuntutan di satu
universitas menjadi meluas ke seluruh universitas yang ada di Italia.

Kondisi Spayol dibawah pemerintahan Franco yang fasis seddang mengalami krisis – baik
politik maupun ekonomi – membawa akibat langsung pada bidang pendidikan. Biaya
pendidikan yang mahal dan minimnya subsidi mengakibatkan banyak mahasiswa yang harus
droup out, 40 sampai 50 persen mahasiswa mengundurkan diri sebelum ujian akhir 17. Kondisi
ini diperparah dengan tidak adanya kebebasan dari mahasiswa untuk berorganisasi, hanya
ada satu organ mahasiswa yang diakui oleh pemerintah. Kondisi inilah yang kemudian
memacu mahasiswa untuk mengadakan perlawanan. Mereka mengorganisir diri, membentuk
wadah perlawanan, dimana perlawanan kemudian meluas, tidak hanya menentang kondisi
dan sistem pendidikan, tapi juga melawan rejim Franco yang fasis.

14
15
Membangun Kontak Mahasiswa Dengan Kelas Pekerja, diterjemahkan dari teks aslinya yang berjudul “ Establising Contacs
With the Working Class” dalam Lenin Student in Revolution, Moscow ;1982

16
Lihat Mahasiswa Bergerak, Alex Supartono, hal 23, YLBHI, 1999
17
Ibid, hal 28

5
Kita beralih ke Prancis. Setelah gerakan mahasiswa mencapai puncaknya ketika memprotes
invansi imperialis ke Aljasair (1961), dapat dikatakan gerakan melemah. Ini disebabkan oleh
persoalan subyektif dari serikat mahasiswa waktu itu, UNEF (Union Nation des Etudiants de
France). Hampir 7 tahun dapat dikatakan gerakan mahasiswa di Prancis mengalami titik
jenuh, baru memasuki tahun 1968 gerakan menguat, bukan karena situasi politik tapi karena
situasi lingkungan mahasiswa sendiri. Selama ini mahasiswa harus melawan disiplin asrama
yang kolot, mahasiswa laki-laki dilarang datang ke asrama perempuan, propaganda politik
dilarang, dapat dikatakan asrama seperti halnya penjara. Inilah gambaranya:

… Di tahun 1968, 72% mahasiswi dan 58% mahasiswa tinggal di asrama. Peraturan disiplin di
Asrama sangat represif dan kuno;pertemuan dan propaganda politik dilarang dan mahasiswa
tidak diijinkan masuk ke asrama mahasiswi. Mereka dilarang mendekorasi kamar dan
menancapkan apapun di dinding; dibanyak asrama mereka hanya boleh menerima tamu
diruang tamu…18

Kondisi seperti diatas yang kemudian memancing mahasiswa yang sebelumnya “tertidur”
untuk bangkit kembali. Kampaye anti peraturan yang kolot kemudian dilancarkan oleh
mahasiswa di beberapa universitas. Aksi-aksi mahasiswa mulai bermunculan lagi, kondisi ini
kian memanas dengan adanya kondisi universitas yang makin tidak memadai; beasiswa yang
tidak mencukupi, fasilitas pendidikan yang minim, tidak ada café, bioskop, diskotik.

Begitu juga dengan perlawanan mahasiswa di Korea Selatan. Awalnya perlawanan


mahasiswa di Korea Selatan adalah adanya pengekangan terhadap kehidupan mahasiswa di
universitas mereka berada. Gerakan ini dimulai dengan adanya, pertama kebijaksanaan
otonomi kampus dalam artian kampus adalah lembaga akademis yang harus terbebaskan
dari kepentingan politik diluar dunia akademis seperti politik praktis, organisasi massa, parpol,
juga organisasi buruh dan tani. Kedua, adanya kebijaksanaan wajib militer. Kebijaksanaan ini
bertujuan sebagai alat cuci ideologi bagi negara dan menanamkan nasionalisme sempit.

Ketiga, tidak diakuinya organisasi kampus selain Dewan Perwakilan Mahasiswa yang
dibentuk oleh universitas. Di dalam suatu universitas hanya ada satu organ mahasiswa yang
diakui yang tentu saja telah dikooptasi peran dan keberadaannya. Keempat, dibentuknya
Komite Disiplin Akademis. Komite ini dibuat dengan kuasa penuh untuk memberikan sanksi-
sanksi disiplin pada mahasiswa, dosen dan profesor yang memberikan dukungan terhadap
gerakan demokratis. Aktivis mahasiswa diancam dengan droup out dan skorsing. Akibat
adanya komite ini, sekitar 1.600 mahasiswa dipecat dari universitas, puluhan lainya dipenjara
dengan masa hukuman 1-10 tahun.

Hal serupa juga terjadi di Indonesia awal-awal tahun 90-an. Kebijaksanaan NKK/BKK --yang
diterapkan pada akhir tahun 78-an untuk “mematikan perlawanan” mahasiswa --mulai
dipertayakan. Mahasiswa mulai menuntut otonomi kampus, dihapuskanya depolitasasi
kampus, diberikanya kebebasan untuk mendirikan lembaga-lembaga mahasiswa alternatif.
Memang berbeda strategi yang diterapkan gerakan mahasiswa Indonesia dengan strategi
gerakan di negara-negara lain. Gerakan mahasiswa Indonesia mengambil strategi
“melingkar” ,untuk membuka ruang yang tertutup rapat di universitas, mahasiswa melakukan
aksi-aksi advokasi. Maka kasus-kasus Kedung Ombo, Kaca Piring, Belanguan, diangkat oleh
gerakan mahasiswa.

Memang dalam satu sisi strategi “melingkar” ini menguntungkan karena langsung menohok
isyu-isyu politik, akan tetapi juga membawa akibat lain. Aktivis-aktivis yang mempunyai
kesadaran politis ini tetap minoritas jumlahnya, sementara mayoritas mahasiswa di dalam
“penjara” universitas tidak mempunyai kesadaran politis, kesadaran ‘ekonomispun”
jumlahnya masih amat terbatas jumlahnya. “Liberalisasi” universitas yang seperti di Barat
tidak terjadi di Indonesia, sehingga persoalan ini – dimana mahasiswa apolitis, terbelakang
dalam tradisi ilmiah -- sampai saat masih menjadi masalah yang harus dipecahkan oleh
gerakan mahasiswa dewasa ini.

Marilah kita melangkah lebih jauh. Gerakan mahasiswa yang berawal dari kampus tersebut
bersamaan dengan proses dialektika yang terjadi, kemudian merambah ke “jalan raya”,
18
Mahasiswa Bergerak, Alex Supartono, hal 42, YLBHI, 1999

6
mengugat sistem negara yang otoriter. Gerakan mahasiswa sadar bahwa sistem otoriter di
kampus adalah akibat langsung dari sistem negara yang juga otoriter. “Slogan” perjuangan
gerakan mahasiswa harus menjadi bagian dari gerakan demokratik yang menyeluruh
melawan rejim otoriter. “Tidak mungkin ada demokrasi di kampus sebelum masyarakat
menjadi demokratis”. Ernest Mandels menuliskan:

Dalam garis besar, gerakan mahasiswa dimulai dari isyu-isyu kampus dan dengan cepat mulai
bergerak keluar batas-batas universitas. Gerakan ini mulai menanggapi masalah-masalah sosial
dan politik yang tidak langsung berhubungan dengan apa yang terjadi di dalam universitas.19

Selanjutnya kita ambil contoh lagi apa yang terjadi di Rusia akhir abad 19 untuk memperkuat
fakta-fakta diatas, memperlihatkan perlawanan mahasiswa yang awalnya bersifat “ekonomis”
menjadi gerakan yang politis, menentang kekuasaan yang ada. Sebagai mana digambarkan
oleh N Olesich dan V Privalov:

Peristiwa dapat dimulai pada tanggal 8 Februari 1899. Pada sebuah perayaan di Universitas
Petersburg para mahasiswa mengejeki rektornya, yang selalu reaksioner, dan aksi berkembang
lebih jauh menjadi kebencian terhadap Tsar. Lalu mahasiswa memutuskan untuk mengadakan
gerak jalan menuju Nevsky Prospekt. Pemerintah memutuskan untuk menghukum mereka.
Polisi secara brutal membubarkan barisan. Beberapa hari kemudian peristiwa tersebut menjadi
perhatian umum di St Petersburg dan keseluruh negeri. Semua lembaga pendidikan di Rusia
menyatakan mogok dibawah slogan kebebasan individu dan kenbebasan bicara didalam
lingkungan ilmu pengetahuan.20

Lebih lanjut digambarkan bahwa tuntutan tersebut tidak mungkin bisa tercapai dalam sistem
pemerintahan Tsar yang otoriter:

Sementara itu pada tahun 1899, para mahasiswa tetap melangkah jauh dengan tuntutan
abstrak kebebasan individu dan hak-hak perseorangan, yang tidak mungkin di bawah otokrasi
Tsar. Pada tahun 1901-1902, slogan para mahasiswa menjadi lebih politik kongkrit dan
mendalam, seperti misalnya, “gulingkan otokrasi !” dan “kami menginginkan kebebasan bicara,
dewan mahasiswa dan pers!”. Leaflet para mahasiswa menekankan lebih jauh lagi dari tuntutan
akademik pada tuntutan politik, dan pentingnya aksi mahasiswa dengan kelas pekerja.

Meskipun dalam tujuan gerakan secara keseluruhan masih akademis dalam tahun 1901-1902,
tapi gerakan ini sudah siap mengadopsi alat-alat politik. Para mahasiswa meninggalkan rumus-
rumus universitas dan turun ke jalan, melakukan demostrasi, sebuah perjuangan politik. Dengan
bekerja sama dengan kelas pekerja dalam demostrasi, para mahasiswa, semakin sadar, dan
membawanya menuju revolusi.21

Gerakan politik mahasiswa Korea Selatan berawal dari tuntutan kebebasan berorganisasi,
kebebasan demonstrasi, mogok dan kebebasan pers, yang merupakan tuntutan demokratik
gerakan di negeri itu melawan rejim militer. Kemudian tuntutan ini berkembang menjadi
tuntutan anti AS (anti imperialisme). Gerakan mahasiswa ini semakin membesar ketika bulan
juli 1989, Rim Sun Gyong ditangkap karena menghadari Festival Pemuda dan Mahasiswa
Dunia ke 13 di Pyongyang, Korea Utara, dia kemudian dihukum 10 tahun.

Peristiwa ini telah menyulut aksi mahasiswa di seluruh Korea Selatan dan menyeret seluruh
sektor rakyat. Aksi-aksi mahasiswa kemudian berkembang lebih jauh menjadi aksi anti
kekerasan militer. Tragedi Kwangju 1980, dimana tentara membunuh para demostran, sekitar
1000 orang mahasiswa mati. Tahun 1982 tiga mahasiswa diculik oleh Dinas Intelejen Korea,
ketiganya disiksa dan dibunuh oleh dinas intelejen tersebut. Peristiwa-peristiwa ini mulai
mengubah strategi perjuangan mahasiswa, dari aksi “damai” menuju taktik “kekerasan”. Mulai
digunakan bambu, tongkat, pipa besi dan bom molotov untuk melawan tentara.

Ternyata gerakan mahasiswa tidak hanya menggugat sistem kapitalis di negara mereka
sendiri, tapi juga menggugat sistem yang sama di negara-negara lain. Beberapa aksi dari

19
Gerakan Mahasiswa Revolusioner: Teori dan Pratek, Ernest Mandels
20
Membangun Kontak Mahasiswa Dengan Kelas Pekerja, diterjemahkan dari teks aslinya yang berjudul “ Establising Contacs
With the Working Class” dalam Lenin Student in Revolution, Moscow ;1982
21
Ibid

7
imperialis untuk mengkolonialisasi negara-negara lain. Ernet Mandels memberikan contoh-
contoh gerakan mahasiswa yang terjadi Kolumbia, dan negara-negara Eropa Barat,:

Apa yang terjadi di Kolumbia di mana masalah penindasan komunitas kulit hitam diangkat oleh
sejumlah mahasiswa pemberontak mirip dengan apa yang terjadi dalam gerakan mahasiswa
Eropa Barat, paling tidak dielemen paling maju, yang paling peka terhadap masalah-masalah
yang dihadapi orang-orang paling tertindas dalam sistem kapitalis dunia.

Mereka terlibat dalam berbagai aksi solidaritas dengan perjuangan pembebasan revolusioner di
negara-negara berkembang seperti Kuba, Vietnam dan bagian-bagian tertindas lainya dunia
ketiga. Identifikasi bagian-bagian yang paling sadar dalam gerakan mahasiswa Prancis dengan
revolusi Aljasair, dan perjuangan Aljasair dari imperialisme….. Kalangan mahasiswa yang sama
kemudian akan mengambil tempat di depan dalam perjuangan mempertahankan revolusi
Vietnam melawan perang agresi imperialisme Amerika.22

Pergeseran perlawanan mahasiswa -- dari isyu-isyu kampus ke isyu-isyu politik -- ini tidak
terjadi begitu saja. Perkembangan sistem kapitalisme baik di negara maju atau di negara
dunia ketiga secara langsung mempengaruhi hal ini. Seperti yang sudah dijelaskan diatas,
alienasi mahasiswa terhadap lingkungannya menyebabkan mahasiswa kritis terhadap sistem
yang ada. Selama sistem kapitalisme masih ada, berarti masih ada tenga kerja yang terasing,
baik itu kerja manual maupun kerja intelektual. Dan karena itu akan tetap ada mahasiswa
yang terasing, berarti perlawanan mahasiswa akan tetap ada.

Setidaknya ada dua ciri pokok perlawanan mahasiswa – dari pergeseran isyu-isyu kampus ke
isyu politik – sebagai pelajaran bagi gerkan mahasiswa. Pertama, dari “menyerang” sistem
otoriterian di dalam kampus, gerakan bergeser dengan menyerang sistem kapitalisme. Ini
tentunya merupakan kesadaran maju, bahwa sistem di kampus yang “mempenjarakan” tidak
akan berubah tanpa merubah sistem negara yang menindas. Tumbuhnya kesadaran
ideologis ini merupakan “kunci” bagi gerakan mahasiswa untuk “membuka” ruang yang telah
mengukung mahasiswa selama ini, “ruang” yang menyebabkan mahasiswa terasing baik
dengan lingkungan atau dirinya sendiri.

Kedua, tumbuhnya kesadaran internasionalis. Apabila kita saksikan, gerakan mahasiswa


tidak hanya memperhatikan kepentingan mereka sindiri, tapi juga memperhatikan nasib
rakyat dibelahan bumi lain yang ditindas sistem yang sama. Dapat kita saksikan aksi
mahasiswa yang mendukung perjungan rakyat Aljasair, Vietnam, mendukung perjungan
kaum kulit hitam di Afrika. Ini menunjukkan kesadaran yang lebih maju lagi, dimana gerakan
mahasiswa mulai sadar bahwa perjungan mereka tidak cukup di perjuangkan di negara
dimana mereka berada, tapi harus dilakukan diseluruh dunia. Hal ini didasari kesadaran,
bahwa ternyata terjadi di dalam kampus mereka, juga terjadi di kampus-kampus lain di
negara lain, dan berarti sistem kapitalis yang menindas tidak hanya terjadi di satu negara tapi
telah meluas ke negara-negara lain. Bahwa ternyata “racun’ kapitalis telah disebarakan ke
seluruh penjuru dunia, maka “penawarnyapun” harus diberikan ke seluruh penjuru dunia pula.

Pergeseran dari isyu lokal di dalam kampus menjadi isyu politik yang kemudian menyerang
sistem kapitalis, sekaligus untuk membahas apakah gerakan mahasiswa tetap berkutat pada
gerakan moral atau melangkah ke gerakan politik. Perdebatan ini sampai saat ini tetap
menghangat, baik di negara-negara kapitalis maju maupun negara dunia ketiga seperti
Indonesia.

III. Gerakan Moral VS Gerakan Politik

Ada sebagian pendukung gerakan morol garakan mahasiswa yang berperdapat, bahwa
peran mahasiswa cukup mengkrititsi dan maksimal mempelopori perubahan tapi tidak akan
pernah menuntaskan perubahan itu sendiri. Menurut pendapat ini, pada tahap
“penyelesaian”, kekuatan sosial dan politik non mahasiswa yang akan mengambil alihnya.
Setelah serah tugas berlangsung, mahasiswa kembali ke kampus untuk “belajar” kembali.
Atau dalam bahasa Soe Hok Gie, mahasiswa berperan seperti halnya “cow boy”, datang

22
Gerakan Mahasiswa Revolusioner: Teori dan Pratek, Ernest Mandels

8
pada saat ada penjahat, setelah penjahat berhasil ditumpas sang cow boy kembali ke
tempatnya. Argumen seperti ini dapat kita lihat dalam tulisan Arbi Sanit tentang gerakan
mahasiswa:

Perlu dicatat bahwa mahasiswa memang tidak menuntaskan koreksi dan perubahan sosial itu
sendiri. Juga perlu diingat bahwa cetusan koreksi serta perubahan, dimasyarakatkan oleh
mahasiswa bersama kekuatan masyarakat lainya. Terdapat kerjasama di antara mahasiswa dan
kekuatan sosial lainnya, sejak awal mahasiswa menerima peranannya dalam suatu masalah,
sampai pada penyelesainnya. Justru pada tahap penyelesaiannya, kekuatan sosial dan politik
non mahasiswa beserta lembaga-lembaga masyarakat yang ada, mengambil alih dan
menyelesaikan kegitan yang dirintis oleh mahasiswa tersebut.

Dalam hal proses serah tugas seperti itu telah berlangsung, mahasiswa kembali ketugas
utamanya yaitu studi dan mempersiapkan diri untuk memasuki berbagai bidang profesi. Dan
berkenaan dengan posisi serta perannya sebagai bagian kaum intelektual, mahasiswa kembali
kekegiatan analisa dalam rangka memahami kelanjutan proses kehidupan dan menentukan
sikap terhadap proses tersebut.23

Sementara pendapat yang menyatakan bahwa gerakan mahasiswa tidak cukup hanya
dengan gerakan “moral fosce” harus menjadi gerakan “political fosce”, beragumentasi bahwa
mahasiswa tidak hanya cukup mengkritisi dan mempelopori perubahan, tapi juga harus
bereperan aktif untuk menuntaskanya. Tujuan apa? Dengan berperan aktif dalam penuntasan
perubahan akan dapat “mengawal” perubahan itu sendiri, sehinga segala idelaisme yang
ada dapat diwujudkan. Karena bagaimanapun antara kesadaran mahasiswa dan massa
rakyat tetaplah berbeda, harus diakui bahwa kesadaran mahasiswa lebih maju sehingga
inisiatif-inisiatif bagi perubahan dan kemenangan yang telah direbut tetaplah diperlukan. Dan
bahkan mahasiswa perlu “mencerdaskan” sektor rakyat lainya dengan memberikan
pendidikan ideologi, politik, organisasi, taktik dan strategi perjuangan.

Sebetulnya perdebatan ini akan berakhir ketika kita berangkat dari analisa apa itu negara
dimana kita berada saat ini? Negara inilah yang nota bene membentuk satu sistem yang ada
saat ini. Dengan analisa ini diharapkan kita tahu apa yang harus kita kerjakan, apakah
perjuangan cukup dengan perjuangan moral atau harus dengan perjuangan politik?!

Negara memang telah berkembang dari bentuk yang paling sederhana sampai yang modern
sampai saat ini, dan perkembangan ini akan terus berlanjut. Pada tahap awal perkembangan
manusia, negara tidaklah dikenal. Segala fungsi kerja dalam kehidupan sosial dijalankan
secara kolektif oleh seluruh anggota masyarakat. Tentang hal ini kita bisa mengambil contoh
yang terjadi pada suku Bushmen (suku Afrika yang tinggal dibelukar):

Sehubungan dengan Bushmen (suku Afrika yang tinggal di belukar, pentj.), Pastur Viktor
Ellenberger menuliskan suku ini tidak mengenal kepemilikan pribadi ataupun pengadilan-
pengadilan, ataupun otoritas sentral dan lembaga khusus seperti itu. (La fin tragique des
Bushmen, hal 70-73; Paris, Amiot-Dumont,1953). Pengarang lain menulis tentang suku yang
sama: “Gerombolan, bukan sukunya, adalah lembaga politik yang sebenarnya pada suku
Bushmen. Setiap gerombolan memiliki otonomi, menjalankan hidupnya mandiri dari yang lain.
Segala urusannya adalah hukum yang diatur oleh pemburu terlatih dan orang tua, orang yang
lebih berpengalaman secara umum.” (I. Shapera, The Khoisan Peoples of South Africa, hal 76,
George Routledge and Sons, Ltd., 1930.).24

Hal serupa juga kita lihat dalam masyarakat Mesopotamia kuno, dimana fungsi aktif dan pasif
dijalankan secara kolektif rejim klan totem:

Hal yang sama juga terjadi pada rakyat Mesir dan Mesopotamia kuno: “Saat itu keluarga
patriarkis dengan otoritas paternal tidak lebih matang daripada pengelompokkan politik
tersentral… Kewajiban aktif dan pasif dilakukan secara kolektif dalam rejim klan totem.
Kekuasaan dan tanggung jawab dalam masyarakat ini masih memiliki ciri yang tak dapat
dipisahkan. Di sini kita melihat masyarakat komunal dan egaliter, partisipasi dalam totem yang
sama, esensi utama dan dasar dari setiap individu untuk menyatukan semuanya, menempatkan

23
Mahasiswa, Kekuasaan dan Bangsa, Arbi Sanit, Lingkaran Studi Indonesia, hal. 9
24
Teori Negara Marxis, Ernest Mandels, diterjemahkan dari tulisan asli berbahasa Inggris

9
semua anggota klan pada dasar yang sama.” (A. Moret dan G. Davy, Des Clans aux Empires,
hal 17, La Renaissance du Livre, 1923.).25

Kemudian dalam perkembanganya, kerja sosial berkembang dan masyarakat terbagi menjadi
kelas-kelas. Saat itulah negara pertama kali muncul, ketika terjadi pembagian kerja dalam
kehidupan sosial masyarakat. Dengan terbentuknya negara, sejumlah kecil minoritas dari
masyarakat mengambil alih peran sosial yang ada. Perkembangan ini makin lama makin
rumit sejalan dengan corak perkembangan masyarakat. Dalam sistem kapitalisme seperti
saat ini, negara tidak lebih adalah alat kontrol dari pemilik modal (borjuasi) terhadap kelas-
kelas lain. Karena merupakan alat kontrol, maka dibentuklah intitusi-intusi seperti birokrasi,
tentara, parlemen, lembaga peradilan, yang semuaanya dipilih dari kelas mereka, dapat
dikatakan semua lembaga yang ada sudah dikuasai kaum borjuasi.

Jika kita sedikit memikirkan masalah itu tersebut, kita lihat semua orang yang menjalankan
peran negara, semua orang yang menjadi bagian aparatur negara, adalah – bagaimanapun juga
– anjing penjaga. Polisi khusus dan polisi biasa adalah anjing penjaga, tetapi begitu juga
dengan pengumpul pajak, hakim, pesuruh dalam kantor pemerintahan, kernet bus kota, dan
lain-lain. Secara garis besar, semua peran dari negara dapat disimpulkan menjadi: pengawasan
dan pengontrolan kehidupan masyarakat demi kepentingan kelas penguasa.26

Dengan kondisi seperti ini, apa bila kita hubungan dengan perjuangan mahasiswa, dengan
perjuangan yang bersifat “moralis”, menyerukan kepada borjuasi yang telah mendominasi
segala sektor yang ada akan menjadi absurd belaka. Karena apa? Secara “naluriah” borjuasi
akan tetap mempertahankan keistimewaan yang telah mereka peroleh, mereka akan tetap
mempertahankan posisi kelas mereka agar tetap bisa mengontrol semua sendi-sendi
kehidupan dalam masyarakat.

Kalaupun para borjuasi terdesak misalnya dengan tuntutan-tuntutan mahasiswa, perubahan


yang ada akan hanya bersifat reformis belaka. Bagaimanapun juga hanya perubahan sistem
yang akan dapat mengubah “wajah” negara yang menindas saat ini. Dan ini tentunya harus
diperjuangkan secara politik, tidak cukup dengan tuntutan politis tapi diperjuangkan secara
moral.

Tujuan gerakan politik adalah jelas, mengganti sistem yang terbukti menindas untuk
kemudian digantikan sistem lain. Target perjuangan politik adalah kekuasaan, mengambil alih
kontrol negara yang selama ini dipegang penindas. Sedangkan perjungan moral hanyalah
meminta “belas kasihan” dari kekuasaan yang menindas agar sadar dengan apa yang
dilakukan.

IV
Sejarah Gerakan Mahasiswa Indonesia:
Gerakan Mahasiswa, Kelahirannya Di Tengah Sistem Kapitalisme Yang Cacat

I.1. Tumbuhnya Organisasi-organisasi Modern di Indonesia.


Setelah patahnya dominasi VOC27 yang datang ke Nusantara dibawah pimpinan Jan P.
Coen, kekuasaan kolonial Belanda diambil alih oleh pemerintah Belanda. Adalah Deandels--
seorang penggagum Nopeloen yang menjajah negerinya—kemudian diangkat menjadi
Gubernur Jendral di Hindia Belanda, dan kemudian membuat terpaan pertama dengan
membangun “Jalan Raya Pos” dari Anyer –di ujung Barat pulau Jawa—sampai Panarukan—
di ujung Timur P. Jawa—dengan tumbal tetetasan darah rakyat Nusantara yang membasuhi
setiap incin jalan tersebut. Sejak “Jalan Raya Pos” membentang dengan kokoh laksana ular
yang menjulur, P. Jawa telah disatukan dalam kekuasaan ekonomi-politik pemerintah
25
Ibid
26
Teori Negara Marxis, Ernest Mandels, diterjemahkan dari tulisan asli berbahasa Inggris
27
VOC merupakan persekutuan antara pedangan-pedang Belanda yang berasal dari 17 Propinsi yang ada di Belanda.

10
Belanda. Sejak saat inilah, berbarengan dengan kemenangan kaum borjuasi di Prancis,
corak produksi kapitalisme mulai dirintis, KAPITALISME CANGKOKAN ! BUKAN
KAPITALISME YANG DILAHIRKAN OLEH BORJUASI NUSANTARA SENDIRI, TETAPI
KAPITALISME YANG DIHASILKAN DARI PERSETUBUAN KOLONIALISME YANG
MENGHISAP DENGAN FEODALISME YANG TELAH MEMBUSUK, SEHINGGA LAHIR
MENJADI KAPITALISME YANG CACAT, BAHKAN SUDAH CACAT SEJAK DALAM
KANDUNGANNYA.
Kapitalisme ini membutuhkan selain tenaga-tenaga rakyat yang dihisap, juga tenega-
tenaga ahli untuk memaksimalkan penindasan mereka agar mereka bisa meneguk kekayaan
alam sampai dasar-dasarnya. Maka kemudian dibangunlah sekolah-sekolah yang akan
menjadi sekrup-sekrup dari sistem kapitalisme. Sekolah Militer yang mereka bangun di
Semarang pada tahun 1819—Belanda membutuhkan militer untuk alat meninadas—baru
kemudian dibuka sekolah-sekolah umum seperti Sekolah Tinggi Leiden (1826), Institut
Bahasa Jawa Surakarta (1832), Sekolah Pegawai Hindia-Belanda di Delft (1842), Sekolah
Guru Bumiputra di Surakarta (1852). 28Sekolah-sekolah ini jelas-jelas dibuka untuk tangan-
tangan pemerintah kolonial Belanda di Hindia Belanda, dan sekolah-sekolah ini tentu saja
hanya diperuntukkan bagi anak-anak Belanda dan pegawai Tinggi Pribumi. Selain membuka
sekolah-sekolah tinggi, di Hindia mulai dibangun sekolah dasar—tetapi sekali lagi khusus
untuk golongan Belanda—dengan membuka sekolah dasar yang sekuler di Weltervreden
pada 24 Februari 1817. 29 Dan baru 1871—bersamaan dengan liberalisme di Hindia Belanda
—dikeluarkan UU Pendidikan pertama, pendidikan dan pengajaran semakin diarahkan bagi
kepentingan Bumiputra.30
Seiring dengan pekembangan liberalisme di Hindia Belanda—yang ditandai dengan
disahkan UU Pokok Agraria yang memberikan keleluasaan kepada modal swasta Belanda
masuk ke Hindia Belanda—mau tidak mau pendidikan menjadi salah satu factor penting
dalam pembangunan sistem kapitalisme. Dengan kedok Politik Etis, dibukalah sekolah-
sekolah dasar sampai sekolah tinggi bagi pribumi yang tujuan pokoknya adalah sebagai
tenaga-tenaga bagi industrailisasi modal-modal swasta Belanda di tanah jajahan. Ini seiring
dengan prinsip liberalisme dimana koloni bukan hanya sebagai penghasil produk-produk
yang menguntungkan seperti kopi, teh, gula, tembakau, tetapi juga sumber suplai bahan
mentah seperi baja, minyak, batu bara, dll bagi industrialisasi di Belanda. 31 Sumber-sumber
bahan mentah tersebut sebagian besar ada diluar Jawa sehingga banyak membutuhkan
tenaga-tenaga kerja baru, maka bergandenganlah program politik etis—edukasi, irigrasi dan
emigrasi—untuk mengekploitasi sumber bahan mentah tersebut.
Dibuknya sekolah-sekolah tersebut memberikan pengaruh bagai kesadaran
kebangsaan bangsa Indonesia. Ilmu pengetahuan dari Utara yang rasional berpadu dengan
pengalaman-pengalaman bangsa lain yang sedang bergolak di Selatan dalam
memperjungkan demokratisasi—khususnya di Tiongkok—telah membuka sel-sel otak bangsa
pribumi tentang arti nasionalisme. Ditengah situasi seperti inilah, gerakan mahasiswa di
Indonesia mulai tumbuh. Adalah Tirto Adisuryo Sang Pemula itu, setelah jebol dari Stovia—
sekolah kedokteran pada masa Belanda—merintis organisasi modern pertama bagi pribumi
yaitu Sarekat Prijaji (1905). Organisasi ini memang didasari semangat kebangsaan, tetapi
salah menentukan materi sebagai unsur perubahannya yaitu kaum priyanyi. Golongan
priyanyi ini merupakan golongan yang beku, yang hanya mengharapkan kedudukan dari
gubermen, impian-impian mereka hanya sebatas pada kenaikan gaji dan kenaikan pangkat 32,
yang dunia pikirannya berlindung di bawah kewibawaan gubermen 33, tanpa kewibawan,
mereka tidak ada artinya34. Sehingga ketika mereka diharapkan sebagai pelopran perubahan
dalam melawan kolonialisme, kegagalanlah yang terjadi karena kebekuan mereka 35.
Sedangkan sifatnya yang paling progresif adalah gonta-ganti istri, sebelum kawin
‘sesungguhnya’, sebagai latihan, para priyanyi-prinyanyi ini melakukan ‘gladi bersih’ dengan
menikahi perempuan dari keturunan orang kebanyakan. 36 Kegagalan ini kemudian diulangi
oleh Boedi Oetomo (1908)—yang dalam sejarah resmi dianggap sebagai organisasi modern
28
Parakitri T Simbolon, Menjadi Indonesia, Penerbit Kompas, Jakarta, Hal.185.
29
ibid.hal.188
30
ibid.hal.186.
31
W.F Wertheim, Masyarakat Indonesia Dalam Transisi Studi Perubahan Sosial, Tiara Wacana, Yogyakarta, hlm.71.
32
Pramodya Ananta Toer, Rumah Kaca, Hasta Mitra, Jakarta, hal.264
33
ibid, hal.300
34
Pramodya Ananta Toer, Nyayi Sunyi Seorang Bisu, Hasta Mitra, Jakarta, hal. 169
35
op.cit.hal. 274
36
Pramodya Ananta Toer, Gadis Pantai, Hasta Mitra, Jakarta, hal.62.

11
yang pertama-- yang juga didirikan oleh mahasisa-masiswa Stovia—dipelopori oleh Soetomo.
Boedi Oetomo juga mendasarkan materi yang membangunnya kaum prinyayi, walaupun
dapat bertahan hidup sampai tahun 1920 tetapi tumbuh menjadi organisasi yang lumpuh dan
kerdil dalam cita-cita nasionalisme.
Setelah dua organisasi di atas, mulai menjamurlah organisasi-organisasi modern di
Indonesia. Serekat Prijaji setelah bubar berubah menjadi Serikat Dagang Islamiah (SDI)
dengan basis utamnya kaum pedagang—yang kemudian berkembang menjadi SI dan dalam
perkembangan selanjutnya sebagai embrio dari PKI. Sementara itu, di Bandung pada 6
September 1912 dua mahasiswa lulusan Stovia, Tjipto Mangoenkoesoemo dan Soewardi
Soerjaningrat serta seorang Indo, E.F.E. Douwes Dekker, mendirikan Partai Hindia atau
Indishe Partij (IP).37 Maka semakin maraklah organisasi-organisasi kebangsaan yang
dipelopori oleh mahasiswa. Tidak ketinggal, mahasiswa-mahasiswa Indonesia di negeri
Belanda antara bulan Januari-Pebruari 1925 didirikan organisasi yaitu Perhimpunan
Indonesia (PI)—oragnisasi ini merupakan kelanjutan dari Indsche Vereeniging 38. PI sangat
dipengaruhi oleh ideologi marxisme yang sedang naik daun di Eropa dan juga banyak
melakukan diskusi-diskusi dengan tokoh-tokoh komunis Indonesia seperti Semaun. 39 Dalam
program perjuangannya, PI menyatakan:
1. Hanya suatu kesatuan Indonesia yang mengesampingkan perbedaan-
perbedaan sempit dapat menghancurkan kekuasaan penjajah. Tujuan
bersama untuk membentuk suatu Indonesia yang merdeka menuntut
pembinaan tasa kebangsaan yang didasarkan kepada suatu aksi-massa
yang sadar dan percaya diri.
2. Syarat mutlak untuk mencapai tujuan itu ialah adanya partisipasi seluruh
lapisan rakyat Indonesia dalam suatu perjuangan yang terpadu untuk
mencapai kemerdekaan.
3. Unsur yang pokok dan dominan dalam setiap masalah politik dan
penjajahan ialah konflik kepentingan antara penguasa dan yang dijajah.
Kecenderungan pihak penguasa untuk mengaburkan dan menutupi
masalah ini harus dilawan dengan mempertajam dan mempertegas
konflik kepentingan tersebut.
4. melihat adanya dislokasi dan demoralisasi sebagai akibat pengaruh
pemerintah kolonial terhadap kesehatan fisis dan psikologis dari
kehidupan orang Indonesia, diperlukan sujumplah besar usaha untuk
memulihkan kondisi rohani dan kondisi material menjadi normal. 40
Selain organisasi-organisasi ini, di Indonesia juga berkembang study-study club
misalnya yang terdapat di Surabaya dan di Bandung. Study Club yang ada di Bandung
kemudian berkembang menjadi Partai Nasionalis Indonesia (PNI) yang dipimpin oleh
Soekarno.
Apabila kita amati, oraganisasi-organisasi yang dipelopori oleh mahasiswa di atas
condong kepada ideology kebangsaan. Kerangka organisasi yang dibuat oleh gerakan
mahasiswa ketika itu tidak semata-mata hanya melibatkan mahasiswa, tetapi berusaha
melibatkan massa rakyat secara luas untuk kepentingan kemerdekaan, bahkan sudah
sampai pada pendirian partai politik. Dalam kerangka gerakan, konsep yang dibangun oleh
mahasiswa-masiswa ketika itu untuk membangun format gerakan adalah tepat, bahwa tulang
punggung dari gerakan adalah massa rakyat yang terlibat aktif dalam organisasi modern.
Sikap sektarian, dalam artian hanya melibatkan mahasiswa dalam gerakan pembebasan
nasional tidak terjadi, tetapi yang tumbuh adalah sikap kebangsaan untuk mencapai
Indonesia Merdeka.
Kemudian tentang metode, gerakan yang dipelopori oleh mahasiswa yang muncul
sebelum revolusi nasional adalah melalui rapat-rapat akbar (vergadering) yang dilakukan
dipangan terbuka. Metode ini melibatkan mobilisasi rakyat yang besar untuk kemudian
mendengarkan pidato-pidato politik. Rakyat dari seluruh penjuru yang masih bisa terjangkau
dalam vergadering dimobilisasi, sehingga acara-acara seperti ini selalu ramai dikunjungi oleh
banyak orang. Veragadering ternyata sangat efektif bagi pendidikan politik kepada rakyat,
karena dalam setiap pidato-pidatonya, orator-orator selalu menjelaskan kepada Indonesia
terjajah. Selain itu, rakayat dari berbagai golongan—petani, buruh, pegawai rendahan, dll—
37
Parakitri T Simbolon, Menjadi Indonesia, Penerbit Kompas, Jakarta, hal 246-7.
38
John Ingleson, Jalan Ke Pengasingan, Pergerakan Nasionalis Indonesia Tahun 1927-1938, LP3S, Jalarta, hal. 2.
39
Harry A. Poeze, Tan Malaka, Pergulatan Menuju Republik, Grafiti, Jakarta. Hal. 368.
40
Op.cit, hal.6-7.

12
bisa berbaur sehingga mereka menyadari bahwa penindasan yang dilakukan oleh penjajah
menimpa banyak golongan sehingga hal ini akan menumbuhkan semangat keberanian dan
kebersamaan—embrio dari semangat persatuan.

I.2. Pers Sebagai Alat Perjuangan


Setiap perjuangan tentu membutuhkan senjata politiknya. Apa senjata itu? Dalam
gelombang nasionalisme abad ke 19, senjata politik dari gerakan kebangsaan adalah Surat
Kabar. Bahasa yang digunakan dalam surat kabar pribuni adalah bahasa Melayu Rendah.
Bahasai ini, apabila kita telusuri pada awalnya merupakan bahasa penghubung, baik antara
golongan Tionghoa dengan masyarakat luas maupun dengan sesama golongan Tionghoa
sendiri—ini terjadi karena golongan Tionghoa yang ada di Indonesia berasal dari macam-
macam suku Tiongkok, antara satu dengan lainya mempunyai bahasa yang berbeda 41
(Pramoedya.1999:202)
Perkembangan selanjutnya menunjukkan bahwa bahasa Melayu Tionghoa –
pemerintah kolonial Belanda sering menyebutnya bahasa Melayu Rendah—kemudian
banyak digunakan wartawan dan pemgarang pribumi. Banyak penulis yang nasionalis dan
beridologi kiri menggunakan bahasa Melayau Tionghoa—Pram menyebutnya bahasa kerja –
antara lain Raden Mas Tirto Adhi Soerjo, Mas Marco, Semaun, yang mana buah karya
mereka ini tidak disenangi oleh pemerinatah kolonial Belanda yang mengunakan bahasa
Melayu Tinggi.42
Surat kabar pribumi yang pertama kali mengunakan bahasa Melayu Rendah adalah
Medan Prijaji (1907) yang dirintis oleh Raden Mas Tirto Adhi Soerjo. Surat kabar ini pada
awalnya mingguan dan kemudian berkembang menjadi surat kabar harian dengan berita-
berita utama menyangkut persoalan rakyat yang ditindas oleh penguasa kolonial. Dalam
perkembangan selanjutnya, masing-masing organisasi politik yang berkembang ketika itu
mempunyai surat kabar sendiri-sendiri. Partai Komunis Indonesia mempunyai jumlah surat
kabar terbanyak, baik di Jawa, Semarang, Surabaya, Surakarta, Batavia, Pekalongan
maupun yang terbit di luar Jawa seperti di Padang Panjang, Bukit Tinggi, Medan, Makasar,
Pontianak dan Ternate. Organisasi lain seperti Perhimpunan Indonesia juga mempunyai surat
kabar sendiri yaitu Indonesia Merdeka, sedangkan Serikat Islam dengan surat kabarnya Sinar
Djawa, Indische Partij dengan terbitannya De Express dan Het Tijdscrift.
Bagaimana bahasa mereka dalam mengugah semangat kebangsaan dapat kita lihat
sebagai berikut. Dalam memberikan semangat kepada rakyat Indonesia, Marco menulis
dalam Sinar Djawa edisi Kamis, 11 April 1918 No. 82, dengan judul Djangan Takoet sebagi
berikut:

--------------------------------------------------------------------------------------------------------

Sekarang kami hendak membitjarakan tentang peperangan soeara ditanah kita


Hindia jang seperti djemeroetini. Apakah peperangan mentjari makan di Hindia sini
achirnja djoega seperti peperangan mentjari makan di Zuid Afrika? Inilah misih djadi
pertanjaan jang tidak moedah didjawab! Kami tahoe ada djoega bangsa kita anak
Hindia jang lebih soeka memehak kaoem oeang dari pada memehak bangsanja jang
soedah tertindas setengah mati, maar … djangan poetoes pengharapan pembatja!
Disini ada banjak sekali anak-anak moeda jang berani membela kepada rajat, dan
kalau perloe sampe berbatas jang penghabisan. Dari itoe kita orang tidak oesah
takoet dengan bangsa kita makhloek jang lidahnja pandjang, lidah mana jang hanja,
perloe diboeat mendjilat makanan jang tidak banjak, dan dia bekerdja diboeat masin
melawan bangsanja sensiri jang ini waktoe masih djadi indjak-indjakan. Bangsa
apakah orang sematjam ini?! Itoelah toean pembatja bisa kasih nama sendiri!
Sekarang ada lagi pertanjaan, jaitoe tidak saban orang bisa mendjawab itoe
pertanjaan: Apakah di Hindia sini ada soerat kabar jang dibantoe oleh kaoem oeang,
soepaja itoe soerat kabar bisa melawan soerat kabarnja rajat? Ada! Tetapi nama
soerat kabar itoe pembatja bisa mentjari sendiri.

Dari itoe saudara-saudara dan sekalian pembatja, soenggoehpoen berat sekali kita
bertandingan boeat menghela bangsa kita jang amat tertindas, sebab ketjoeali kita
mesti berani bertanding dengan kaoem oeang, dengan bangsa kita sendiri jang
41
Pramoedya Ananta Toer, Hoakiau di Indonesia, Garba Budaya, Jakarta, hal. 202
42
Leo Suryadinata, Prisma, hal. 48

13
lidahnja pandjang. Djadi sesoenggoehnja pada ini waktoe kita orang tidak bisa
tjoema memegangi kebangsa'an (nationalisme sadja, sebab bangsa kita masih ada
jang djadi berkakas, melawan kepad kita sendiri. Djadi seharoesnja kita djoega mesti
mempoenjai hati kemanoesia'an (socialisme). Ingatlah siapa jang menindas kita?
…………….. tetapi ………………

Lain dari itoe, kita memberi ingat kepada saudara-saudara, djanganlah soeka
membatja sembarang soerat kabar, pilihlah soerat kabar jang betoel-betoel memihak
kepada kamoeorang, tetapi jang tidak memihak kepada kaoem oeang Sebab kalau
tidak begitoe, soedah boleh ditentoekan, achirnja kita orang Hindia tentoe akan
terdjeroemoes di dalam lobang kesengsara'an jang amat hina sekali.

Achir kalam, kami berkata; NGANDEL, KENDEL, BANDEL, itoelah gambar hatinja
manoesia jang tidak memandjangkan lidahnja, tetapi menoendjoekkan giginja jang
amat tadjam, dan kalau perloe ………43

Selain untuk membangkitkan semangat, surat kabar pergerakan juga berusaha meblejeti sistem
kapitalisme yang ada di Indonesia. Sebagai contoh dapat kita lihat isi surat kabar berikut ini:

-------------------------------

Tjaranja pabrik goela hendak menjewa sawah orang-orang desa itoe jang soedah
kedjadian lantaran dari politie desa: Loerah, Tjarik enz, enz, djadi pabrik tidak oesah
rewel-rewel masoek keloear di romah-romah orang desa jang sawahnja hendak
disewa pabrik. Apakah perkara ini soedah mestinja penggawai desa atau
Goepermen: Asistent Wedono Wedono dan Regent mesti menoeloeng kaperloean
pabrik boeat mentjari tanah jang akan ditanami teboe? Kaloek menoeroet adilnja,
seharoesnja pabrik mesti datang di romah masing-masing orang desa dan lain-
lainnja sama sekali tidak boleh toeroet tjampoer tentang perkara sewa menjewa itoe
soedah kedjadian dan hendak teeken perdjandjian. Banjak orang-orang desa
bilangan pabrik Tjepiring dan Gemoeh afdeling Kendal, Semarang, bahwa marika
itoe merasa terlaloe menesal sekali, karena sawahnja disewa oleh pabrik, sebab
oeang sewaan tanahnja dari pabrik, itoe lebih sedikit dari pada hasil kalau itoe
tanahnja dikerdjakan sendiri. Apakah sebabnja itoe pabrik bisa menjewa tanah orang
desa dengan harga moerah sekali? Tida lalu tentoe dari roepa-roepa akal jang tidak
baik boeat orang desa itoe, tetapi baik boeat loerahnja enz enz. Begitoe orang
memberi kabar kepada kami. Kalau kabar itoe njata, kami berseroe kepada
pemerentah haroes menjelidiki, apakah prijaji-prijaji dan loerah jang memegang
peperentahan dipabrik sitoe tidak terima presen dari pabrik, soedah tentoe akalnja
pabrik menjewa tanah orang-orang desa dengan lakoe jang tidak baik. Hal ini kami
telah mendapat keterangan dari beberapa orang desa jang sawahnja disewa pabrik.
Dibawah ini kami bisa kasih keterangan dengan pendek, soepaja djadi timbangan
sekalian orang jang sehat pikirannja: "Sebahoe sawah oleh pabrik tidak lebih f66,-
(enam poeloeh enam roepiah) didalam 18 boelan, jaitoe seoemoernja teboe; sawah
sebahoe kalau ditanami padi bisa tiga dalam 18 boelan, dan itoe padi kalau didjoeal
tidak koerang dari f300 (tiga ratoes roepiah), djadi tiap-tiap sebahoe sawah jang
disewa pabrik, orang desa roegi f234,- (doea ratoes tiga poeloeh empat roepiah).
Tjobalah pembatja pikir sendiri boekankah soedah terang sekali kalau menoeroet
keterangan di atas itoe, semoea orang desa jang sawahnja disewakan pabrik tjoema
f66,- (enam poeloeh enam roepiah) sebahoe dalam 18 boelan lamanja, dia orang
mendapat keroegian f234,- (doea ratoes tiga poeloeh empat roepiah). Lagi poela
semoea sawah jang loeas ditanami teboe itoe tidak bisa baik lagi ditanami padi.
Kalau menilik hal itoe terang sekali orang-orang desa jang sawahnja disewakan
pabrik itoe tentoe dengan akalan jang tidak baik, sebab kalau tidak begitoe, kami
berani berkata, tentoe orang desa tidak nanti sawahnja boleh disewa pabrik teboe.

Apakah tidak lebih baik pemerentah menentoekan harga tanah jang sama disewa
pabrik teboe, misalnja: pabrik tidak bolih menjewa tanah orang desa korang dari
f.200,- sebahoe didalam 18 boelan. Kalau hal ini dilakoekan, tentoe bangsa kita
orang desa tida bakal sengsara lantaran adanja pabrik-pabrik goela.

43
Marco, Djangan Takoet, Sinar Djawa, Kamis, 11 April 1918 No. 82

14
Keterangan-keterangan ini misih pendek sekali, sebab hanja kami ambil jang perloe
sadja, tetapi kalau ini oesikan tidak bergoena, jaitoe tidak bisa merobah haloean
pabrik tentang sewa menjewa tanah kepada orang-orang desa, dibelakang hari
henda kami terangkan dengan pandjang lebar, djoega semoea perkara jang gelap
gelap, soepaja bangsa kita orang desa tidak menderita kesoesahan. Ingatlah ini
waktoe mahal makanan, seharoesnja pemerentah berdaja oepaja soepaja semoea
sawah ditanami padi, tetapi tidak ditanami teboe seperti sekarang.44

Dalam kesempatan lain, surat kabar pergerakan juga memberikan advokasi kepada pemimpin-
pemimpin pergerakan yang ditangkap. Sebagai contohnya dapat kita lihat dibawah ini:

Seperti jang telah kita kabarkan kemaren, bahwa saudara Sneevliet betoel djadi di
boeang.

Sesoenggoehnja tidak nama djarang kalau saja mesti memberhentikan diri tidak
toeroet di dalam pergerakan Hindia, teroetama Sarekat Islam. Sebab kalau saja
hitoeng, adalah 8 tahoen lamanja saja bergerak dilapangan Journalistiek, jaitoe
moelai tahoen 1914 nama saja soedah tertjitak dihalaman soerat kabar Medan Prijaji
di Bandoeng, soerat kabar mana jang saja djadi Mede Redacteurnja. Waktoe
Sarekat Islam beloem lahir didoenia saja soedah bertereak ada di Medan Prijaji
tentang tidak adilnja Pemerintah di Hindia sini dan rendahnja bangsa kita. Tereakan
tereakan itoe sekarang soedah mendjadi oemoem, dan asal orang jang mempoenjai
kemanoesia'an dan tidak djilat-djilat kepada orang jang koeat tentoe berani
bertereak!

Waktoe djaman De Indische Party dan orang-orang jang memimpin sama di boeang,
hanja seorang doea orang sadja jang berani membela kepada Douwes Dekker,
Tjipto dan Soewardi, tetapi sebagian besar dari bangsa kita sama takoet tjampoer
hal itoe, karena mareka itoe dikatakan oleh fehaknja pemerentah orang jang
meroesak keamanan negeri! Tiga orang itoe jang doeloe dikatakan berbahaja oleh
pemerintah sekarang soedah tidak dipandang begitoe lagi, tandanja soedah sama
diidinkan poelang kembali ditanah airnja, Hindia.

Sekarang djaman I.S.D.V., djaman mana jang kita haroes berkata teroes terang
kepada publiek, mengertinja: bangsa bangsat haroes kita katakan bangsat djoega,
dan bangsa baik poen kita katakan baik. Tetapi! ... ja pembatja, selaloe ada tetapinja
sadja, tetapi berapa orang bangsa kitakah jang berani membela kepada bangsa kita
seperti Sneevliet jang diboeang lantaran membela kita orang itoe? Ja! Tidak! Boeat
saja sendiri, hati saja tidak berobah lantaran Sneevliet diboeang itoe, mengertinja
tidak senang dan tidak soesah, tjoema sadja kita mesti memikirkan kesoesahannja
Sneevliet. Lantaran Sneevliet diboeang itoe ... barangkali semoea pemerentahan ...
ada didalam perentahnja kapitalisme. Sneevliet berani sampai diboeang! Apakah
pemimpin pergerakan kita djoega berani diboeang djoega berani diboeang di Ambon
atau Menado atau kalu perloe djoega dipoelau jang tidak ada orangnja sama sekali?
Bangsa apakah jang tertindas di Hindia sini? Jaitoe bangsa kita. Mengapakah
seorang Belanda seperti Sneevliet jang mesti membela tindasan tindasan itoe, dan
sampai dia berani diboeang, sedang bangsa kita jang mengakoe djadi pemimpin
roepa-roepanja djarang jang berani bergerak seperti Sneevliet. Apakah orang Hindia
boekan manoesia seperti Sneevliet. Sesoenggoehnja keadaan itoe, keadaan jang
terbaik! Kalau menilik kasoesahannja bangsa kita pada ini waktoe, seharoesnja kita
sendiri mesti bergerak doea kali lebih keras dari pada pergerakannja Sneevliet dan
kontjo kontjonja. Orang tidak oesah takoet apa jang akan menjerang badan kita ....
Ingat! Kita tidak bisa hidoep lebih dari seratoes tahoen! Apakah mengertinja
pemboeangan dan pemboealan jang diadakan oleh peperentahan seperti sekarang
ini? Kalau saja ada kekoeatan dan ada bekakas boeat memboenoeh manoesia,
soedah tentoe saja bisa mengadakan pemboealan dan pemboeangan. Siapa orang
jang tidak menoeroet kehendaknja tentoe saja masoekan boei dan kalau perloe saja
boeang. Walaupoen semoea kelakoean saja itoe meroegikan orang orang itoe.
Pendeknja kalau saja koeat, saja bisa merampok memboenoeh sesoeka saja, dan
orang banjak djoega tidak mengatakan perboeatan saja itoe: rampok rampokan,
grajak grajakan dan boenoeh boenoehan. Sebab .... ja! Sebab saja poenja

44
Marco, Apakah Pabrik Goela Itoe Ratjoen Boeat Bangsa Kita?!, Sinar Djawa, Hari Selasa 26 Maart 1918, no.71, tahoen ke-19.

15
kekoeatan! Tetapi apakah perboeatan saja sematjam itoe tida dikatakan
BADJINGAN oleh orang jang poenja pikiran waras? Tida taoe!

Pembatja tentoe soedah tahoe, bahwa ini waktoe di Europa tengah banjak radja
jang sama NGRONTOKK, radja radja mana jang doeloe amat mashoer namanja itoe
radja radja sebabnja NGRONTOKK! Tidak lain dari sebab lakoenja jang sawenang
wenang dan tidak mengerti permintaannja orang banjak. Pendeknja perkara orang
boleh melakoekan sesoekanja asal sadja berani, tetapi keberanian jang dilakoekan
dengan tipoean jang digoenakan menjenangkan diri sendiri, itoe kelakoean
djahanam!!

Apakah kalau Sneevliet diboeang lantas pergerakan Hindia mendjadi padam?


Sabeloemnja Sneevliet datang ditanah Djawa sini, saja soedah menerbitkan soerat
kabar DOENIA BERGERAK, soerat kabar mana jang haloeannja tida beda dengan
Het Vreij Woord. Djadi sebeloemnja Sneevliet ada ditanah Djawa, di Hindia bidji
revollutionnair soedah mengembang di mana mana!

Djadi iktiar pemerentah jang lantaran kemaoean kapitalisten menjoeroeh


memboeang Sneevliet dari tanah Djawa itoe malah membikin kerasnja pergerakan
Hindia. Bagoes45

Surat Kabar pergerakan juga dijadikan ajang perdebatan diantara tokoh-tokoh


pergerakan sendiri dalam menentukan format gerakan yang tepat:

------------------------------------------------------------------------------------------------------

SIKAPNJA D.D

Sebagai telah dikabarkan, koetika hari Minggoe jang telah laloe di stadtuin di
Samarang telah dibikin satoe vergadering oleh perhimpoenan Insulinde, dalam
mana toean Dr. E.F.E. Douwes Dekeker telah berpidato, njatanja ia poenja sikap
dalam pergerakan di Hindia ini.

Di sini kita tiada toetoerkan fatsal sikapnja Insulinde pada Semarangsche


lesvereeniging, karena ada tiada begitoe perloe lagi dikata di sini, jaitoe fatsal empat
dalam Gemeente jang di boeat reboetan oleh antara kaoem kapitalist dan kaoem
miskin, jang mana pembatja soedah mengetahoei.

Tapi jang kita toelis di sini jalah sikapnja D.D. pada perhimpoenan-perhimpoenan di
Hindia, sebab cita rasa ada perloe djoega dikatahoei oleh pembatja kita. Fatsal-
fatsal jang tiada perloe poen kita boeang, kata Pew Soer

Sikapnja pada orang Tionghoa:

Ia bilang, bahwa Tiong Hoa Hwee Koanschool vereeniging tiada mempoenjai dasar
politiek, tapi ia kasih tahoe, bahwa orang Tionghoa tiada betjidra pada Indische Partij
Maksoednja persama'an dari kaperloeannja pekerdja'an djoega. Spreker tahoe
betoel bahwa orang Tionghoa bisa ditarik ke perhimpoenan Insulinde dan marilah
kita moesti adjak marika, meskipoen kita ditoedoeh bahwa kita tjoema pemboeroe
oeangnja orang Tionghoa sadja, tapi keperloeannjaa tiada diperhatikan.

--------------------------------------------------------------------------------------------------------

Sikapnja pada Sarekat Islam:

Spreker bilang, Sarekat Islam adalah perhimpoenan jang paling penting dan
Insulinde moesti bekerdja bersama-sama. Ini perhimpoenan berhaloean democraat
djoega, tapi dengan dasar Igama. Meskipoen di negeri Olanda toch ada gerakan
kaoem democraat dengan beralasan igama.

Atas parlement spreker njatakan, bahwa ia poenja advies telah di minta oleh minister
oeroesan djadjahan, jaitoe ketika maoe diadakan Volksraad. Ia tiada kira, jang
45
Marco, Sneevliet Diboeang, Sinar Hindia, 10 Desember 1918.

16
Volksraad ada seperti sekarang dimana fihak jang lemah kalah soearanja. Tetapi kita
moesti berdjalan teroes dan tiada akan merasa tjapai, kalau maksoed kita beloem
kesampaian.46

Surat kabar sebagai alat perjuangan ini ternyata cukup efektif dalam
menumbuhkan semangat perlawanan dan kebangsaan bangsa Indonesia yang ketika
masih terpecah-pecah.

V
Gerakan Mahasiswa Setelah Revolusi Nasional 17 Agustus 1945 Yang Kandas sampai
Tahun 1965

Proklamasi kemerdekaan telah berkumandang dimana-mana sejak 17 Agustus 1945.


Selamat datang kemerdekaan!!! Tetapi bukan kemerdekaan yang utuh karena hanya
merdeka secara politik tetapi belum merdeka secara ekonomi. Sitauasi setelah kemerdekaan
semakin menunjukkan kemunduran. Perjalan Revolusi Indonesia menunjukkan bahwa para
ideolog, para brahmana pemimpin revolusi tidak serevolusioner ajaranya sendiri, mereka
tertinggal jauh dari krisis revolusioner yang terjadi. Revolusi ternyata tidak menghasilkan apa-
apa selain kondisi lama dalam situasi baru, kaum priyanyi yang kembali mengambil alih
kendali.47 Akibatnya:
“Para satria lunturan, kaum priyanyi ini, yang sejak bayi tidak dalam tradisi bekerja
produktif atau kreatif, cita-citanya sebelum bisa baca tulis sudah digadaikan pada
kekuasaan yang berlaku, begitu mendapat tempat dalam sistem kekuasaan bukan
saja telah jadi arrivee, dengan sedikit kekuasaan yang dipercayakan oleh sisitem
padanya, mulai ia mengunakannya untuk menghisap keuntungan pribadi. Dalam
dinas apa saja, ditempat geografis mana pun”48.

Setelah mengangkangi kekuasaan politik dan ekonomi, saudaranya sendiri kemudian


dibantai. Senjata-senjata pasukan sudra dilucuti oleh golongan satria, alasan mereka senjata
tidak boleh ditangan rakyat. akibatnya, banyak korban yang bergelimpangan, bukan demi
kemerdekaan tapi demi kemapanan golongan satria. 49 Sebagai puncaknya adalah
pembantaian terhadap kaum komunis di Madiun.
Revolusi semakin mundur, para pemimpin tumbuh sebagai koruptor-koruptor yang
meredupkan api revolusi, sebelum terjadi apa-apa telah mengkibarkan kain kafan tanda
menyerah .50 Para pemimpin-pimpin revolusi telah menjurumuskan revolusi, hanya besar
dalam omongan.51 Akibatnya, satu demi satu kota-kota yang dikuasai oleh Republik runtuh,
sampai Yogya sebagai pusat kekuasaan juga runtuh 52, para pemimpin revolusi semakin tidak
percaya diri sehingga menyandarkan revolusi pada loby dan Coctail . 53 Hasilnya pun serba
setengah-setengah, termasuk demokrasinya dipungut dari barat, juga setengah-setengah
yang, demokrasi untuk kaum yang mempunyai uang saja:
“ Demokrasi sunguh suatu sisitim yang indah. Engkau boleh menjadi presiden.
Engkau boleh memilih pekerjaan yang engkau sukai. Engkau mempunyai hak sama
dengan orang-orang lainya. Dan demokrasi itu membuat aku tak perlu menyembah
dan menundukkan kepala pada presiden atau menteri atau paduka-paduka lainya.
Sunguh—ini suatu kemenangan demokrasi. Dan engkau boleh berbuat sekehendak
hatimu bisa saja masih berada dalam lingkungan batas hukum. Tapi kalau engkau
tak punya uang, engkau akan lumpuh tak bisa bergerak. Di negara demokrasi
engkau boleh membeli barang yang engkau sukai. Tapi kalau engkau tak punya
uang, engkau hanya boleh menonton barang yang engkau ingini itu. Ini juga
semacam kemenangan demokrasi”.54

Dalam situasi seperti inilah gerakan mahasiswa mulai bangkit kembali. Gerakan
mahasiswa yang timbul paska revolusi didasari pada ideologi yang berbeda-beda. Pada
46
Marco, Douwes Dekker Tidak Berobah Haloeannja, Sinar Hindia, 17 Agustus 1918, tahoen ke 19.
47
Pramodya Ananta Toer, Nyanyi Sunyi Seorang Bisu I, Hasta Mitra, Jakarta, hal.178
48
ibid, hal.178-9
49
Ibid, hal.178
50
Pramodya Ananta Toer, Larasati, Hasta Mitra, Jakarta, hal. 131
51
ibid, hal. 132
52
ibid, hal. 135
53
Op.cit, hal. 182
54
Pramoedya Ananta Toer, Bukan Pasar Malam, Bara Budaya, Yogyakarta, hal.5

17
tanggal 5 februari 1947 diresmikan terbentuknya Himpunan Mahasiswa Islam (HMI),
kemudian diikuti berdirinya Perhimpunan Mahasiswa Kristen Indonesia (PMKI) pada tanggal
25 Maret 1947 dan kemudian disusul dengan pendirian Perhimpunan Mahasiswa Katolik
Republik Indonesia (PMKRI).55 Oragnisasi-organisasi mahasiswa ini mengunakan ideologi
agama—Islam atau Katolik/Kristen. Kemunculan organisasi-organisasi yang berideologi
agama ini sebetulnya mengikuti kemunculan partai politik yang seideologi yaitu Masyumi ( 7
Nopember 1945)—yang berideologi Islam dan Partai Katolik ( 8 Desember 1945)—yang
berideologi Katolik.56 Sementara itu partai besar lainya yaitu Partai Nasional Indonesia (PNI)
mempunyai ormas mahasiswa Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) yang berdiri
pada tanggal 23 Maret 1954, sedngkan Partai Komunis Indonesia (PKI) membangun ormas
mahasiswa yaitu Central Gerakan Mahasiswa Indonesia (CGMI). 57
Selaian organisasi yang didasarkan pada ideologi tertentu, juga banyak bermunculan
organisasi mahasiswa yang berdasarkan profesi dan komunitas. Dalam katagori ini, kita
dapat mengambil contoh Perhimpunan Mahasiswa Kedokteran Hewan (PMKH) di Bogor,
Perhimpunan Mahasiswa Djakarta (PMD), Perhimpunan Mahasiswa Jogyakarta (PMJ),
Masyarakat Mahasiswa Malang (MMM).58 Kemudian di UGM pada tanggal 11 Januari 1950
terbentuk Dewan Mahasiswa (DM) yang merupalan lembaga mahasiswa tingkat universitas,
dan kemudian diikuti dengan berdirinya Dewan Mahasiswa di UI pada 20 Nopember 1955. 59
Dalam perkembangan selanjutnya, yaitu pada masa demokrasi terpimpin, organisasi-
organisasi yang berafiliasi dengan partai politiklah yang banyak meramaikan panggung
perpolitikan. Mereka salaing berlomba-lomba, adu program untuk mendapatkan masa yang
besar. Pertarungan semakin ramai ketika Soekarno lebih dekat pada organisasi-organisasi
yang berideologi komunis dan nasionalis radikal. Organisasi-organisasi mahasiswa yang
berbasiskan agama—HMI, PMKRI—semakin terpinggirkan. Pada tahun 1963, ketegangan
politik di dalam kampus semakin memanas setelah GMNI, CGMI, Germindo, Permi semakin
mendominasi senat fakultas dan dewan mahsiswa universitas di perguruan-pergurun tinggi
yang ada.60Konflik yang terjadi misalnya ketika kongres nasional keempat Majelis Mahasiswa
Indonesia (MMI) pada bulan April 1964 di Malino, dalam kongres ini GMMI memenangkan 18
dari 24 kursi esekutif. Sementara itu, kelompaok mahasiswa dari UI dan ITB yang non-GMNI
tidak mendapatkan posisi yang menyebabkan mereka menolak hasil kongres, dan akibatnya
dewan mahasiswa dari kedua universitas ini dikeluarkan dari MMI. 61 Pertentangan-
pertentangan terus terjadi sampai tahun 1965. Sebuah pertarungan di tingkat fakultas
misalnya terjadi di fakultas sastra UI ketika GMNI dan sekutu-sekutunya menuntut agar senat
yang baru terbentuk dibubarkan karena terdapat unsur-unsur kontra-revolusioner seperti
HMI.62
Mahasiswa yang semakin tersingkir semakin membenci konsepsi Soekarno sendiri
tentang demokrasi terpimpin, yang mereka anggap sebagai biang keladi semakin
tersingkirnya posisi mereka. Mahasiswa-mahasiswa ini, yang telah mendapatkan pendidikan
tentang demokrasi liberal, yang sayup-sayup mereka peroleh dari barat, merasakan bahwa
demokrasi tepimpin sangat merantai kebebasan mereka, tidak sesuai dengan teori yang
pernah mereka dapatkan. Apalagi kedekatan pemerintahan Soekarno dengan Soviet maupun
Cina Komunis yang membuat gerah banyak kalangan—termasuk mahasiswa. Ruang-ruang
bagi golongan non komunis dan non nasionalisme radikal seakan-akan telah tertutup.
Golongan-golongan mahasiswa yang merasa senasib sepenanggungan ini kemudian
bersatu, mengorganisasikan di dalam kesatuan-kesatuan aksi.
Sementara itu, situasi tahun 1960-an semakin memanas dengan adanya konfontrasi
dengan Malaysia yang menyebabkan hubungan dengan negara-negara barat—khusunya
Amerika dan Inggris—semakin memburuk. Amerika yang melihat Indonesia sebagai tempat
yang strategis karena letaknya pada jalur perdagangan internasional dan mempunyai jumlah
penduduk yang besar sangat potensial bagi pasar produk-produk Amerika. Namun, situasi
yang semakin berkembang semakin menunjukkan Indonesia semakin jatuh dalam
genggaman komunis yang selalu mengusung isu-isu anti imperialisme. Dan apabila

55
Arbi Sanit, Mahasiswa, Kekuasaan dan Bangsa, Lingkar Studi Indonesia, hal.84.
56
ibid, hal.84
57
ibid, hal. 85
58
ibid, hal.84
59
ibid, hal.85
60
John Maxwell, Soe Hok-Gie, Pergulatan Intelektual Muda Melawan Tirani, Grafiti, Jakarta, hal. 140.
61
Ibid, hal.143.
62
ibid, hal.147.

18
Indonesia sampai jatuh ke tangan kaum komunis, maka semakin sulitlah bagi bangsa-bangsa
barat untuk mendominasi ekonomi di negara-negara Asia Tenggara.
Kekuatan lain yang merasa terdesak pada masa demokrasi terpimpin ini adalah
tentara. Mereka yang sejak demokrasi parlementer merasa disingkirkan, dalam beberapa hal
memang mendukung demokrasi terpimpin yang menguntungkan mereka. Namun, karena
kedekatan Soelatno dengan kelompok komunis, menyebabkan tentara semakin gerah karena
secara ideologi mereka sangat berseberangan dengan ideologi komunis, apalagi setelah
kaum komunis mengusulakan dibentuknya angkatan kelima dengan mempersenjatai kaum
tani.
Akhirnya, ketiga kekuatan di atas—mahasiswa yang berideologi liberal, Amerika dan
tentara—bersatu ketika pecah peristiwa 30 September 1965—yang dianggap sebagai
pemberontakan PKI. Histeria anti komunis kemudian ditiupkan keseluruh pelosok negeri,
dibentuklah Kesatuan Aksi Penggayangan Gestapu (KAP-Gestapu). Badan ini dipimpin oleh
politikus NU Subchan dan aktivis katolik Harry Tjan dengan dukungan penuh dari
tentara.63Dalam perkembangan selanjutnya, setelah pertemuan terakhir dirumah Menteri
Pendidikan Tinggi, Brigjen. Syarief Thayep, tepatnya pada tanggal 25 Oktober 1965
dibentuklah Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI). Organisasi ini didominasi oleh
organisasi seperti PMKRI, SOMAL, Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), dan
Mahasiswa Pancasila (Mapancas)—organisasi ini dekat dengan tentara, ketuanya David
Napitupulu dekat dengan Brigjen Sukendro dan Jendral Nasution. 64 Maka, sejak saan ini,
pemburuan terhadap orang-orang komunis atau simpatisanya dimulai. Inilah prestasi dari
Gerakan Mahasiswa 1966, bersama tentara dan Amarika, berhasil menggulingkan kekuasaan
Soekarno dan menaikkan Soeharto dengan tumbal jutaan rakyat yang tidak berdosa. Salah
satu pimpinan GM ’66, Soe Hok-Gie merasa ngeri sendiri setelah melihat dari demostrasi-
demontrasi pengganyangan terhadap komunis selama delapan belas bulan:
“Tetapi bagi yang ikut-ikutan PKI karena pertimbangan-pertimbangan ekonomi
keadaan ini sangat sulit. Banyak ex-SOBSI tidak tahu-menahu tentang komunisme.
Mereka masuk SOBSI karena kalau tidak masuk mandor mereka (yang komunis)
akan mempersulitnya. Demikian pula BTI-nya. Pernah seorang petani hampir
dibunuh di Bali minta-minta ampun dan bersumpah bahwa ia bukan PKI. “Organisasi
saya adalah BTI,” katanya dengan berlinang air mata.

Mereka tidak bisa mengerti mengapa tiba-tiba mereka dipecat, dibunuh, diasingkan
masyarakat dan diusir dari pergaulan. Dan hampir tak ada yang mau memberikan
kerja baru untuk mereka karena mereka ex SOBSI. Lowongan yang tersedia untuk
mereka adalah (yang tak perlu tanda tidak terlibat Gestapu) tukang beca, kuli harian,
pedagang kecil (tukang loak) dan untuk wanita babu atau pelacur (bagi yang masih
muda dan lumayan wajahnya).

Di desa di aman kesempatan kerja lebih sulit biasanya mereka menjadi pedagang
kecil atau lari ke kota. Saya pernah menjumpai di sebuah desa di Jawa tengah
seorang istri “Gestapu” yang membuka warung kopi mulai jam 3 pagi untuk
memberikan makan 9 orang anaknya. Kehidupan mereka sangat berat. Anak-
anaknya juga “punya inferiority complex” karena ayahnya ada di penajara.
Kesembilan anak ini tidak berani bermain-main disawah atau jalan-jalan karena
“malu” diejek oleh kawan-awan sebayanya. Mereka bermain-main sesama saudara
di rumah mereka sendiri. Anak-anak kecil ini telah belajar betap “pahitnya” politik.

Bagi yang keluarganya yang dibunuh keadaanya lebih parah. Mereka diam dan tak
banyak berkata. Tetapi dalam hati kecilnya tumbuh dendam kebencian terhadap
golongan yang telah membunuh sanak mereka. Dan saat kebencian ini kebencian
akan mengambil bentuknya. Kita tidak tahu berapa jumlah mereka. Tetapi kalau kita
ambil angka 300 ribu orang mati terbunuh selama masa-masa tersebut dan
pembunuhan ini menimbulkan bekas pada 3 atau 4 orang sanaknya yang terdekat
(istri-anak-saudara kandung, ayah) maka dewasa ini terdapat kira-kira satu juta
orang yang hidup menyimpan dendam untuk masa kemudian”.65

Tragis, itulah kata yang tepat, sebuah rejim baru didirikan di atas bangkai jutaan
rakyatnya sendiri. INILAH AKIBAT FATAL DARI SEBUAH GERAKAN TANPA KONSEP YANG
63
ibid, hal.154.
64
ibid, hal 159.
65
Ibid, hal.273.

19
JELAS, YANG AKHIRNYA HANYA MENGHASILKAN SEBUAH KEDIKTORAN BARU. Inilah
akhir, bangsa yang lunak ini menurut orang-orang barat, mampu melakukan pembunuhan
yang korbanya dalam beberapa bulan melebihi korban dari seluruh perang vietnam. 66
Akhirnya, golongan satria—Soeharto cs—yang naik kepanggung kekuasaan dan keadaannya
menjadi seperti saat ini.

VI.

GM Dari 1966 sampai 1978—Ingin Perubahan Tanpa Merubah Sistem

III.1. Setelah ’65 Sampai NKK/BKK


Peristiwa G 30 S menunjukkan bahwa gerakan mahasiswa memang berperan dalam
kejatuhan Soekarno dan sekaligus berperan melahirkan rejim Soeharto yang kelak
digulingkan oleh gerakan mahasiswa periode lain. Dan dengan demikian gerakan mahasiwa
juga berperan dalam pembantaian terhadap 3,5 juta rakyat Indonesia setelah meletusnya
peristiwa September 1965. Kemudian, setelah periode ini konsep gerakan mahasiswa
ditetapkan sebagai gerakan moral (moral force), seperti yang dilontarkan oleh Soe Hok Gie.
Konsep moral force inilah kemudian mempengaruhi gerakan-gerakan mahasiswa
67
selanjutnya . Dalam konsepnsi ini, bahwa mahasiswa seharusnya lebih bertindak sebagai
kekuatan moral ketimbang sebagai kekuatan politik, dengan artian mahasiswa muncul
sebagai aktor politik ketika situasi bangsa sedang krisis, setelah krisis berlalu kembali ke
kampus dengan tugas utamanya adalah belajar. 68
Baiklah, kita lanjutkan proses sejarah gerakan mahasiswa Indonesia. Setelah
menikmati kemenangan bersama naiknya rejim Orde Baru – dimana banyak tokoh-tokoh
gerakan duduk didalam birokrasi Orba, bisa kita sebut nama-nama Sarwono, Siswono, Akbar
Tanjung, Marie Muhammad – banyak ttokoh-tokoh KAMI yang muncul dalam foto-foto media
massa memakai jas dan dasi sedang bercakap-cakap dengan penjabat-pejabat negara ketika
sedang tur ke lauar negeri 69. Masa-masa antara 1966-1971 merupakan masa-masa “bulan
madu” gerakan mahasiswa dengan Orba. Dilain pihak, pada periode ini sebetulnya sudah
banyak muncul keraguan dari tokoh gerakan ’66 terhadap kemampuan rejim baru
(baca:Orde Baru) dalam mengubah situasi yang ada. Banyaknya pelanggaran ham yang
terjadi diberbagi tempat, usaha dari rejim baru untuk membangun aliansi dengan tokoh politik
dan pengusaha besar yang mempunyai koneksi pada era Soekarno, serta munculnya
kembali slogan-slogan politik yang kosong dalam kehidupan masyarakat, merupakan bukti-
bukti bahwa rejim baru ini tidak ada bedanya dengan rejim sebelumnya dan mungkin lebih
buruk.70 Nasib 80.000 tahanan yang belum diputuskan, pembantaian massal setelah
peristiwa ’6571, penangkapan-penangkapan terhadap aktivis demokrasi yang konsisten terjadi
kembali yaitu penangkapan terhadap Yap Thiam Hien –seorang pembela Dr. Subandrio. Ia
ditangkap dengan tuduhan palsu bahwa telah menyuap seorang komandan polisi senior dan
jaksa penuntut ini. Penangkapan terhadap Yap ini kemudian menimbulkan reaksi dari
berbagai pihak baik itu rekan sesama pengacara, intelektual, editor surat kabar, dll. 72lewat
Harian KAMI dan Mahasiswa Indonesia, Soe Hok Gie menggambarkan keadaan paska
runtuhnya Soekarno sebagai berikut:
“ Dewasa ini Pj. Presiden Soeharto masih tetap meruapakan tokoh yang popular di
kampus-kampus, baik dikalangan mahasiswa maupun dalam kalangan sarjana.

Tetapi frustasi sudah mulai tampak menyelimuti kampus-kampus. Terutama melihat


pembantu-pembantu dan menteri-menteri kabinet Ampera.

66
Pramoedya Ananta Toer, Nyanyi Sunyi Seorang Bisu I, Hasta Mitra, Jakarta, hal. 184
67
Lihat tulisan Edwad Aspinal ,The Indonesia Student Uprising of 1998
68
John Maxwell, Soe Hok-Gie, Pergulatan Intelektual Muda Melawan Tirani, Grafiti, Jakarta, hal. 298-9
69
ibid, hal. 301
70
ibid, hal. 283
71
ibid, hal.339
72
ibid, hal.309-10.

20
Cerita-cerita tentang menteri-menteri kabinet Ampera yang menambah koleksi
istrinya mulai muncul. Tokoh-tokoh Ibnu Sutowo, Alamsjah (yang sedang diserang
oleh majalah mahasiswa Mimbar Demokrasi dan ditempel di kampus UI),
suhardiman, B.M. Diah. Achmad Tirtosudiro dengan BUL-nya dan tokoh-tokoh kecil-
kecilan lain menambah frustasi yang ada. “Apakah Pak Harto tidak tahu? Dan jika
beliau telah tahu mengapa dibiarkan terus?”73

Melihat perkembangan di atas, seklompok mahasiswa kembali bergerak untuk


mengkritisi situasi yang ada. Masa “bulan madu” ini mulai retak ketika Arief Budiman—kakak
Soe Hok-Gie, dkk, mulai memprotes kebijaksanaan Orde Baru, misalnya dalam kasus
pembangunan Taman Mini Indonesia Indah (TMII) tahun 1973. Pembangunan ini menurut
kelompok Arief Budiman tidak sesuai dengan situasi Indonesia. Bagi mereka ini hanya
merupakan proyek ambisius belaka. Akibat “pembangkangan” ini, Arief Budiman dijebloskan
ke dalam bui oleh rejim Orba. Sebelumnya Arief Budiman terkenal sebagai tokoh yang
memproklamasikan “golongan putih”. Kemudian, pada bulan Oktober 1973 para mahasiswa
mengadakan aksi ke gedung DPR/MPR menyampaikan “Petisi 24 Oktober” 74. Isi petisi ini
mengkritisi kebijaksanaan pembangunan yang dianggap tidak populis, kebijaksaan
pembangunan yang dijalankan pemerintah hanya menguntungkan yang kaya. Perlawanan
gerakan mahasiswa periode ini memang tidak meluas seperti halnya gerakan penumbangan
Soekarno, perlawanan hanya berpusat di Jakarta dan tidak didukung dengan aksi masa yang
massif. Konsepsi gerakan Moral masih dipakai dalam periode ini dimana kekuatan
mahasiswa hanya terbatas memberikan kritik yang loyal kepada pemerintahan yang ada 75.
Setelah peristiwa diatas, gerakan mahasiswa baru bangkit kembali awal tahun 1974.
Ketika itu mahasiswa memprotes masuknya modal Jepang ke Indonesia. Kunjungan PM
Jepang, Tanaka, di boikot dengan melakukan aksi massa besar-besaran di Jakarta. Hal inilah
yang mengakibatkan ibu kota lumpuh total. Saat itu gerakan mahasiswa melakukan rally dari
kampus UI Salemba menuju kampus Trisakti. Sementara rakyat “asyik” dengan aksinya
sendiri, melakukan pembakaran terhadap mobil-mobil produk Jepang. Peristiwa ini yang
kemudian terkenal dengan Malapetaka 15 Januari “Malari”, kemudian muncullah nama-nama
Hariman Siregar, Sjahrir, dll. Dari data sejarah yang ada, gerakan mahasiswa yang
membesar ini tidak lepas dari konflik elit waktu itu, ketika faksi jendral Soemitro dan Ali
Moertopo saling berebut kekuasaan.
Ada tiga pelajaran yang dapat kita ambil dari gerakan mahasiswa periode 1974.
Pertama, gerakan ini kelihatan jelas melakukan kolaborasi dengan militer, paling tidak pada
detik-detik akhir menjelang meletusnya Malari. Soemitro, seorang jendral yang saat itu
menjabat Pangkokamtib, terlihat jelas aktif dalam aksi-aksi tersebut. Akibat peristiwa ini,
gerakan mengalami kehancuran bersamaan dengan hancurnya militer yang diajak
berkolaborasi.
Kedua, gerakan mahasiswa masih elitis. Mahasiswa tidak mau bergabung bersama
rakyat. Akibat gerakan yang elitis ini gerakan tidak bisa memimpin massa-rakyat yang terlibat
dalam gerakan tersebut, rakyat akhirnya melakukan kerusuhan. Ini selanjutnya yang dijadikan
legitimasi bagi rejim untuk menghentikan aksi-aksi mahsiswa dengan alasan telah
mengganggu ketertiban umum, menciptakan kekacauan.
Ketiga, secara geografis gerakan tidak meluas. Gerakan yang hanya membesar disatu
titik mengakibatkan gerakan mudah untuk dipatahkan. Kita lihat sendiri, ketika gerakan di
Jakarta “dilumpuhkan”, perlawanan terhenti karena daerah-daerah lain tidak melakukan
perlawanan sama sekali.
Setelah 4 tahun peristiwa Malari, baru gerakan mahasiswa “bangun” kembali dari
masa istirahat. Pada tahun 1978 ini aksi-aksi mahasiswa terjadi di kota-kota besar seperti
Jakarta, Bandung, Yogya dan Surabaya. Aksi-aksi ini menolak pencalonan Soeharto menjadi
presiden kembali. Karena aksi-aksi semakin membesar dan mengancam kekuasan Soeharto,
maka militer diperintahkan untuk menghentikan aksi-aksi mahasiswa.
Kampus Istitut Teknologi Bandung (ITB) di kepung panser, mahasiswa membuat
barikade dengan melakukan tidur di sepanjang jalan Ganesa, aksi ini mampu bertahan
beberapa minggu sebelum berhasil dibubarkan militer. Sementara di Yogyakarta, militer
menembaki aksi mahasiswa di Universitas Gajah Mada, mahasiswa di kejar-kejar sampai ke
dalam kampus, peristiwa ini kemudian terulang 20 tahun kemudian.
73
Ibid, hal. 313.
74
Lihat Bonar Tigor N, Prisma, Juli 1996.
75
Op.cit

21
Memang akhirnya perlawanan mahasiswa dapat dilumpuhkan oleh rejim Orba, namun
perlawanan ini setidaknya telah memberikan pelajaran berharga bagi sejarah perlawanan di
Indonesia. Apabila kita simak ada dua hal penting dalam gerakan mahasiswa periode ini.
Pertama, Gerakan periode ini setidaknya lebih maju dalam tuntutan politik – menolak
pencalonan Soeharto – walaupun belum sampai ke tahap mengkritisi sistem yang ada. Para
mahasiswa saat itu melihat bahwa sosok Soehartolah yang menyebabkan Indonesia kacau
balau, maka solusinya Soeharto harus ditolak menjadi presiden.
….."hingga hanya 4 tahun kemudian, 1978, ada gerakan yang bisa dikatakan
lebih maju programnya ketimbang sebelumnya: gerakan mahasiswa yang tak
mengerti sistim, namun cukup mengerti makna menolak kekuasaan
Suharto"…76
Gerakan waktu itu belum sadar, bahwa Soeharto telah membangun sistem birokrasi
yang didukung oleh militer, sehingga ketika posisi dia (Soeharto) terancam, Soeharto dapat
mengerahkan orang-orang yang mengelilingnya. Dan ini benar terjadi. Secara birokrasi,
Soeharto menghancurkan kehidupan mahasiswa di kampus. Dia juga membuat peraturan
yang mengekang kehidupan mahasiswa di kampus. Soeharto juga mengerahkan militer untuk
merepresi gerakan mahasiswa.
Kedua, gerakan ’78 memang membesar di kota-kota seperti Bandung, Yogyakarta, tapi
lemah di pusat ekonomi politik, Jakarta. Hal ini memang berbeda dengan gerakan mahasiswa
’74 – di mana gerakan membesar di Jakarta tapi lemah di daerah-daerah – tapi yang terjadi
kemudian sama dengan gerakan ’74, gerakan tetap mudah dipatahkan.
Setelah “kemenangan tertunda” dari gerakan mahasiswa ‘78, pemerintahan Soeharto
mengambil pelajaran dari peristiwa ini. Rejim Soeharto berusaha “memenjarakan” mahasiswa
agar tidak keluar dari kampus. Ketika Mendikbud dijabat oleh Doed Joesoef dikeluarkan
kebijaksanaan Normalisasi Kehidupan Kampus (NKK)/ Badan Koordinasi Kampus (BKK).
Organisasi mahasiswa semacam Dewan Mahasiswa dibubarkan, seluruh kegiatan
mahasiswa dilarang berhubungan dengan kehidupan politik praktis.

VII
GM Dari Tahun 1978 Sampai Tahun 1997: Mencari Format Ideologi Baru.

Praktis sejak diberlakukan NKK/BKK, gerakan mahasiswa “tertidur”. Kebijaksanaan


NKK/BKK ini kemudian lebih diperketat lagi. Ketika Mendikbud dijabat oleh Nugroho
Notosusanto, pemerintah memberlakukan transpolitisasi yaitu ketika mahasiswa ingin
berpolitik, mahasiswa harus disalurkan melalui organisasi politik resmi macam Senat, BEM,
dll, diluar itu dianggap ilegal. Dalam kurun waktu ini juga diberlakukan Sistem Kredit
Semester (SKS), sehingga aktivitas mahasiswa dipacu hanya untuk cepat selesai
studi/kuliah dan meraih IP yang tinggi. Inilah hal-hal yang membuat mahasiswa semakin
mengalami depolitisasi dan semakin terasing dari lingkungannya.
Demoralisasi. Bisa dikatakan demikian. Kembali ke dunia akademik --
mengajar, berbangku kuliah lagi, belajar ke luar negeri, -- membentuk NGOs (perlu
diketahui saja pada tahun 1982 sudah ada ribuan NGO), berbisnis, berkolaborasi
dengan rejim dan sebagainya. Lahirlah bayi-bayi kiri yang dicampakkan ibunya pada
usia muda: NGO menjajakan kemanusiaan borjuis-kecil --mengemis reformasi
ekonomi-politik pada rejim diktator/korup, bahkan ada yang masih bermimpi
membangun pulau impian di tengah modal raksasa-- kaum sekolahan yang baru
pulang belajar dari luar negeri mengajarkan --di tengah kemampuan bahasa Inggris
kaum muda yang menyedihkan-- teori-teori baru sosial-demokrasi, neo-marxis, new-
left….77

Ada dua kecenderungan yang muncul kemudian. Pertama, kembali kepada gerakan
awal 1900: munculnya kembali kelompok-kelopok diskusi. Kehadiran kelompok-kelompok
diskusi inipun dilakukan dengan sembunyi-sembunyi, karena apabila diketahui oleh rejim
bisa berakibat fatal. Kita dapat melihat nasib yang menimpa Bonar Tigor Naipospos,
Bambang Isti Nugroho78 dari kelompok diskusi Palagan yang dipenjara hanya karena
memperjualbelikan buku Pramoedya Ananta Toer. Rejim memang tidak ambil peduli kepada

76
Wawancara Marlin, Link
77
ibid
78
Bambang Isti Nugroho, seorang droup-out kelas 3 SMA, yang kemudian bekerja di fakultas MIPA UGM. Dia diadili karena
memperdagangkan buku-buku Pramoedya Ananta Toer dan menyimpan buku-buku Pram, Marxim Gorky, Frans Magnis Suseno.

22
siapapun yang akan kembali mengusik ketenangannya. Marlin menggambarkan sebagai
berikut:
…. (kebanyakan mahasiswa) mencerahkan sel-sel otaknya dalam kelompok-
kelompok studi untuk menemukan makna demokrasi (walau sering tak bisa
menerima sifat blak-blakannya), makna egalitarian (walau tak bisa menerima
radikalisme dalam mewujudkannya). Semua nilai-nilai budaya baru itu diserap dan
dimuntahkan dalam dunia bacaan --betapa militannya mereka (yang bisa berbahasa
Ingris) mencari buku-buku langka yang baru…..79

Kedua, mereka yang “melarikan” ke luar negeri setelah represi 1978 membawa ide-ide
kiri baru (New Left). Teori-teori yang sebetulnya sudah usang ini diterapkan dengan apa
adanya, “seperti halnya anak kecil yang baru melihat hal yang baru, ditiru begitu saja”.
Ditengah rasa demoralisasi, mereka mengatakan metode perjuangan harus diubah,
perjungan harus melalui “pemberdayaan” rakyat. Maka dalam kurun waktu itu beratus-ratus
LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) didirikan. Tapi dalam kenyataanya, LSM ini hanya
dijadikan kedok untuk memperoleh kekayaan pribadi dengan membuat proposal dengan
kata-kata indah, “memperjuangkan” rakyat miskin.
Ada baiknya kita bahas secara singkat kemunculan organisasi LSM karena
bagaimanapun berpengaruh kepada gerakan mahasiswa sampai saat ini. Berbarengan
dengan terjadinya represi terhadap gerakan mahasiswa 1978, Barat yang merupakan pusat
dari kapitalisme mulai menyadari bahwa kebijaksanaan mereka mulai menimbulkan
keresahan sosial. Keadaan ini tentunya tidak dapat dibiarkan karena apabila dibiarkan bisa
menjadi picu ledak bagi perlawanan rakyat. Maka mulailah disiapkan dana untuk membangun
organisasi-organisasi yang seolah-olah anti negara, berasal dari arus bawah, 80. Organisasi
inilah yang dipakai untuk masuk ke daerah-daerah “api” dan kemudian digunakan untuk
menjaga “api” tersebut supaya tidak membesar. Organisasi ini juga digunakan untuk
mendemoralisasi perlawanan rakyat. Lembaga-Lembaga Swadaya Masyarakat ini
mempunyai hubungan simbiosis mutualisme dengan kapitalis internasional. Kapitalis butuh
LSM untuk mencegah terjadinya konflik sosial, sedangkan LSM butuh dana kapitalis untuk
memperbesar “perut” mereka. Sampai saat ini menjadi anggota LSM adalah kecenderungan
mantan aktivis mahasiswa yang sudah selesai kuliah. Ini terjadi karena perspektif ideologi
mereka lemah – setelah selesai studi di universitas berarti sudah tidak pantas lagi terlibat
aktif dalam gerakan mahasiswa – padahal apabila mereka mempunyai kesadaran ideologis,
tentu akan bergabung dengan organisasi revolusioner.
Baiklah kita lanjutkan perjalanan gerakan mahasiswa periode ini. Walau
bagaimanapun ketatnya rejim berusaha “memagari” gerak mahasiswa, lambat laun
mahasiswa bisa lepas juga dari kungkungan yang ada. Perlahan namun pasti, mahasiswa
yang mempunyai kesadaran politis, keluar dari “ruang-ruang” diskusi dan kembali mulai turun
ke jalan. Seperti yang dijelaskan diatas, gerakan mahasiswa mengambil strategi “melingkar”,
melakukan aksi-aksi advoksi terhadap kasus-kasus rakyat, hal ini mengingat depolitisasi
kampus yang amat kronis. Gerakan mahasiswa mencoba menyadarkan mayoritas
mahasiswa yang terkena trauma dan mengalami depolitisasi dengan menunjukkan realitas-
realitas yang ada di masyarakat, bahwa penindasan, pelanggaran HAM, kesewenang-
wenangan dilakukan oleh penguasa. Memang dalam kurun waktu ini banyak kasus-kasus
seperti penghapusan becak dan angling darmo, pengusuran tanah, masalah perburuhan,
pem-PHK-an yang kesemuanya tanpa perlawanan pihak yang ditindas.
Strategi “melingkar” ini memang berhasil – walupun tidak maksimal, seperti yang
dijelaskan diatas, kampus tidak mampu untuk diliberalisasikan -- mengusik hati para
mahasiswa yang masih ada di dalam kampus untuk kembali terlibat dalam gerakan-gerakan
mengkritisi, menentang kebijaksanaan penguasa. Awal-awal 1990 mulai muncullah
organisasi mahasiswa “ilegal” bagi rejim. Ini merupakan perkembangan dari organisasi-
organisasi bentukan gerakan mahasiswa akhir 1986–1990, yang berupa komite-komite aksi.
Gerakan mahasiswa mencoba melakukan konsolidasi ditingkat nasional dan mulai
mempermanenkan organ yang ada. Di Yogyakarta muncul Forum Komunikasi Mahasiswa
Yogyakarta (FKMY), di Surabaya muncul Forum Komunikasi Mahasiswa Surabaya (FKMS),
di Manado lahir Forum Komunikasi Mahasiswa Manado (FKMM), dan organ-organ lain di
Jakarta, Bandung, Solo, Semarang.

79
Wawancara Marlin, LINK
80
Lihat James Petras, Kritik Terhadap Kaum Post Marxis, LINK.

23
Dalam priode di atasi, pers mahasiswa juga memberikan sumbangan yang cukup
besar dalam menumbuhkan semangat demokratisasi. Ditengah membeonya pers-pers
umum, pers mahasiswa berani muncul sebagai pers alternatif dalam melihat kondisi yang
terjadi di Indonesia. Kritik-kritik pedas dan bahkan dilakukan secara terus terang terhadap
rejim Soeharto seringkali membuat gerah pengguasa, sehingga banyak pers-pers mahasiswa
yang ditutup oleh penguasa lewat tangan rektorat.
Sejak munculnya organisasi-organisasi diatas, gerakan mahasiswa semakin menguat.
Aksi-aksi mahasiswa mulai membesar kembali, energi perlawanan mahasiswa timbul
kembali. Di Yogyakarta pertengahan tahun 1992, 12 ribu mahasiswa Universitas Gajah Mada
dan universitas lain di Yogya didampingi rektor UGM -- Prof. Koesnadi Harjosoemantri --
melakukan rally dari kampus UGM menuju DPRD I Yogyakarta, memprotes diberlakukanya
Undang-undang Lalu Lintas No. 14/1992. Tahun 1993 ribuan mahasiswa – mayoritas
mahasiswa Islam – menduduki Gedung DPR/MPR, menuntut SDSB dihapuskan. Menteri
Sosial waktu itu, Inten Soeweno, dengan menitikkan air mata mencabut pemberlakuan SDSB
di depan anggota DPR sementara diluar gedung, ribuan mahasiswa terus menjalankan
aksinya.
Satu tahun kemudian, mahasiswa diberbagai daerah memprotes dibredelnya Tempo,
Detik, dan Editor. Beberapa aksi direpresif oleh militer, seperti yang terjadi di Jakarta. Namun
demikian aksi-aksi mahasiswa terus berlanjut. Tahun 1996, tepatnya bulan April, di Ujung
Pandang, mahasiswa yang memprotes kebijaksanaan kenaikan tarif transportasi ditembaki
oleh militer, sekitar 7 mahasiswa tewas dalam insiden tersebut. Aksi ini telah menimbulkan
solidaritas di kalangan mahasiswa lain di berbagai daerah, seperti Jakarta, Surabaya,
Lampung, Yogyakarta, Solo, Semarang, bahkan di Yogyakarta sempat terjadi bentrokan
dengan militer.
Secara organisasi, gerakan mahasiswa juga mengalami proses kemajuan, konsolidasi
didalam dan diluar kampus mulai dilakukan dan dibentuk organ mahasiswa nasional. Pada
bulan Agustus 1994, dideklarasikan organ mahasiswa nasional, Solidaritas Mahasiswa
Indonesia untuk Demokrasi (SMID). Sejak berdirinya, organ ini merupakan momentum bagi
gerakan mahasiswa Indonesia untuk kembali menjadi gerakan politik. Ini dapat kita lihat dari
program-program SMID seperti menuntut di cabutnya Dwi Fungsi ABRI dan paket 5 UU
Politik 1985, yang merupakan pondasi dari rejim Soeharto 81. Dan sejak saat ini aksi massa
“dikukuhkan” menjadi metode perjuangan gerakan mahasiswa. Dalam perkembanganya
SMID kemudian berafiliasi dengan Partai Rakyat Demokratik (PRD). Periode 1994 dapat
dikatakan merupakan masa keterbukaan politik dan merupakan kemajuan penting dalam
gerakan perlawanan rakyat. Kemajuan-kemajuan tersebut dapat diuraikan sebagai berikut:

1. Sentimen anti kediktoran rejim Orde Baru Soeharto mulai meluas.


2. Keberanian rakyat untuk mempertahankan hak-haknya semakin tumbuh.
3. Jaringan dan wadah-wadah perlawanan mulai dibentuk diberbagai tempat
dan sektor masyarakat.
4. Watak kerakyatan dalam perlawanan demokratik mulai muncul sebagai
pendorong utama untuk memaksakan keterbukaan dengan mulai
terangkatnya isu perburuhan dan tani (pertanahan).
5. Unsur-unsur demokratik dan kerakyatan dalam perlawanan telah mampu
berkembang dan berdiri di garda depan, baik dalam skala sektoral
maupun wilayah tertentu.82
Sementara di dalam kampus mulai dibentuk organ mahasiswa sektor kampus.
Sebelumnya selama kurun waktu 1979-1995 hanya ada lembaga mahasiswa formal yang
diakui oleh pemerintah, yaitu Senat Mahasiswa Perguruan Tinggi (SMPT). Tahun 1995 mulai
dirintis berdirnya kembali Dewan Mahasiswa (Dema), yang sejak diberlakukannya NKK/BKK
dimatikan keberadaannya. Maka muncullah Dema UGM, Dema UI, Dema USD. Namun
sebelum konsolidasi ini selesai, meletuslah peristiwa 27 Juli 1996. Setelah “Peristiwa
Sabtu Kelabu”, rejim Soeharto memburu-buru aktivis mahasiswa radikal dan aktivis PRD
yang difitnah sebagai dalang peristiwa tersebut. Dalam kurun waktu 1996-akhir 1997, dapat
dikatakan gerakan mahasiswa tiarap. Kalaupun ada aksi, hanya sebatas dilakukan oleh
kelompok-kelompok mahasiswa radikal dengan kembali memakai komite aksi yang bersifat
“musiman” untuk terus melakukan perlawanan.

81
Demi Demokrasi, Partai Rakyat Demokratik Menolak Takluk, PRD, 1999.
82
Ibid

24
VIII

Gerakan Mahasiswa 1998—Mereka yang Merobohkan Simbol Kediktatoran

V.1. Keberhasilan Menggulingkan Simbol Keditatoran


Sejak September 1997 krisis ekonomi global ikut menyapu Indonesia, nilai rupiah
melemah terhadap dolar AS, harga-harga barang kebutuhan pokok mulai merangkak naik,
banyak perusahaan yang gulung tikar akibatnya banyak buruh yang ter-PHK. Dampak ini
secara langsung juga menimpa mahasiswa, terutama mahasiswa perantauan, harga
makanan melonjak, kertas naik, belum lagi orang tuanya yang di PHK atau perusahaan
mereka yang bangkrut.
Dari kondisi seperti ini, aksi-aksi mahasiswa mulai marak kembali, dengan tuntutan-
tuntutan ekonomis, seperti turunkan harga. Akan tetapi kelompok mahasiswa radikal yang
masih minoritas secara kuantitatif tetap melancarkan tuntutan politik, seperti suksesi
kepemimpinan nasional, pencabutan Dwi Fungsi ABRI. Secara perlahan, bersamaan dengan
krisis ekonomi yang semakin memuncak, usaha-usaha kelompok radikal untuk menarik dari
kesadaran “ekonomis” menjadi kesadaran politik mulai berhasil. Aksi-aksi mahasiswa yang
semakin membesar mulai meneriakkan tuntutan politik, meminta Soeharto turun. Ini
merupakan sejarah maju dalam gerakan mahasiswa di Indonesia. Tuntutan yang selama ini
“diharamkan” tidak ditabukan lagi. Seperti halnya dalam tulisan Aspinal tentang tuntutan
mahasiswa yang semakin politis:
Tipe demostrasi mahasiswa merupakan reduksi dari naiknya harga barang, menuntut
dihapuskannya korupsi, kolusi dan nepostisme, dan menuntut reformasi. Dari awal
kebanyakan protes secara ekplisit menuntut Soeharto turun dari jabatan sebagai presiden
( sebuah ekpresi dari sentimen ini dapat dilihat pembakaran gambar Soeharto pada
sebuah aksi di Universitas Gadjah Mada pada tanggal 11 Maret).83

Dalam kurun waktu awal Februari sampai Mei 1998, secara kuantitatif dan kualitatif
gerakan mahasiswa naik secara dratis, dengan tuntutan yang sudah politis. Di kampus UI,
Depok, dari tanggal 19-26 Maret terjadi aksi besar yang hampir menyamai aksi di tahun 1966
84
. Pada hari terakhir Sidang Umum MPR 1998, di Yogyakarta, sebuah patung raksasa
berwajah Soeharto dibakar oleh para demonstran, sekitar 50 ribu mahasiswa memenuhi
Balairung UGM dalam aksi tersebut. Pada hari yang sama juga terjadi aksi-aksi di Solo,
Surabaya, Malang, Manado, Ujung Pandang, Denpasar, Padang, Purwokerto, Kudus 85.
Dalam perkembangannya aksi-aksi mahasiswa semakin radikal. Diberbagai wilayah
terjadi bentrokan antara demostran dengan militer. Di Universitas Sebelas Maret Surakarta
dan di kampus Universitas Lampung, pada tanggal 17 Maret 1998 terjadi bentrokan antara
mahasiswa-- yang ingin melanjutkan rally keluar kampus-- dengan militer. Sementara di
Yogyakarta, tanggal 2 - 3 April bentrokan terjadi di Boulevard UGM dan bentrokan berulang
pada tanggal 13 April ketika demonstran dikejar-kejar dan ditembaki oleh militer sampai ke
dalam kampus. Hampir 8 jam kampus UGM dikusai oleh militer. Di Medan juga terjadi
bentrokan serupa, dalam aksi tanggal 24 April demosntran melempari militer dengan molotov,
akibatnya kampus Universitas Sumatera Utara (USU) diliburkan beberapa hari. Pada bulan
Mei aksi-aksi mahsiswa semakin bertambah banyak, kampus-kampus yang selama ini
apolitis ikut terlibat dalam aksi-aksi. Peristiwa paling tragis terjadi tanggal 12 Mei ketika terjadi
aksi di Universitas Trisakti, Jakarta, 6 mahasiswa gugur diterjang peluru militer. Peristiwa ini
kemudian menyulut perlawanan dari sektor rakyat lain, tanggal 13-14 Mei Jakarta lumpuh
total dengan adanya kerusuhan masal. Sementara pada peringatan Hari Pendidikan
Nasional, tanggal 2 Mei, terjadi bentrokan di Jakarta, Medan, Yogyakarta, Jember, Malang
dan beberapa kota lain86. Antara tanggal 1 Maret sampai 2 Mei tercatat 14 bentrokan antara
mahasiswa dan militer yang terjadi di Jawa, Sumatera, Bali dan Lombok 87. Ketika hari-hari
terakhir Soeharto akan “lengser”, gedung DPR/MPR dikuasai mahasiswa, ratusan ribu
mahasiswa menggelar mimbar bebas di gedung tersebut. Sementara di Yogyakarta, sehari

83
The Indonesia Student Uprising of 1998, Edwad Aspinal .
84
Ibid
85
Ibid
86
Ibid
87
Ibid

25
sebelum Soeharto turun, sekitar satu juta rakyat – yang dipelopori mahasiswa Yogyakarta --
memenuhi alun-alun Utara, menuntut Soeharto mundur.
Masa-masa ini merupakan masa-masa yang revolusioner bagi gerakan mahasiswa.
Aksi-aksi mahasiswa dibeberapa tempat bahkan sudah menguasai RRI seperti yang terjadi di
Surabaya, Semarang, Padang. Sementara di Medan, mahasiswa menguasai bandar udara.
Dapat dikatakan aktivitas penerbangan, terutama penerbangan internasional, lumpuh total.
Dalam kurun waktu ini juga bermunculan beratus-ratus komite mahasiswa, besar maupun
kecil. Namun sayangnya gerakan yang sudah membesar ini hanya mampu menghasilkan
pengalihan jabatan presiden dari Soeharto ke Habibie. Kelemahan-kelemahan apa yang
menyebabkan gerakan mahasiswa gagal melakukan perubahan total, nanti akan kita bahas
lebih lanjut.
Kita lanjutkan proses sejarah gerakan mahasiswa ’98. Setelah berhasil
“melengserkan” Soeharto, secara kualitatif dan kuantitatif gerakan mahasiswa menurun,
hampir 6 bulan gerakan seperti tenggelam tertelan tanah. Gerakan kembali bangkit
mendekati Sidang Istimewa MPR, pertengahan Nopember. Pada tanggal 13-14 Nopember
1998 aksi besar-besaran terjadi di Jakarta. Sekitar satu juta mahasiswa dan rakyat
berkumpul didepan kampus Universitas Atmajaya, Jakarta. Mereka akan melakukan rally ke
gedung DPR/MPR. Kemudian meletuslah insiden Semanggi, ketika mahasiswa yang akan
meninggalkan Universitas Atma Jaya ditembaki oleh militer, korban kembali berjatuhan.
Gerakan kali ini disokong penuh oleh rakyat – disamping rakyat terlibat aktif dalam aksi-aksi,
ikut membuat barikade, mengejar pamswakarsa, juga memberikan bantuan logistik --,
kerusuhan seperti Mei tidak terjadi karena mahasiswa berhasil memimpin. Gerakan tidak
hanya terjadi di Jakarta, dibeberapa daerah seperti Yogyakarta, markas militer seperti Korem
sempat dikuasai mahasiswa selama beberapa jam, sementara di tempat lain mahasiswa
berhasil memaksa RRI menyiarkan tuntutan-tuntutan mereka. Represi memang hanya terjadi
di Jakarta, sedangkan gerakan di daerah tidak mengalami represi, secara kualitatif dan
kuantitatif gerakan di daerah juga tidak membesar seperti di bulan Mei ’98. Kembali tuntutan
mahasiswa seperti cabut Dwi Fungsi ABRI, Tolak SI dan pemerintahan transisi belum
berhasil digolkan.

V.2. Massa Habibie

2.1. Menguatnya Kesadaran Anti Militerisme


Sejak Nopember 1998 sampai Juli 1999 praktis gerakan mahasiswa mati, bahkan
momentum pemilu dilewatkan dengan “manis”. Memasuki akhir Juli, tepatnya ketika
peringatan 27 Juli, gerakan mahasiswa mulai bangkit kembali. Kota-kota seperti Jakarta,
Surabaya, Solo, Yogyakarta, Bandung, Tasik, Purwokerto juga melakukan aksi, dan di
beberapa daerah bisa membangun front yang luas. Aksi besar kembali muncul ketika
peringatan 17 Agustus. Aksi-aksi kembali terjadi diberbagai kota.
Aksi ini semakin membesar ketika militer kembali ingin menancapkan kekuasaannya
dengan mengajukan RUU PKB. RUU yang jelas antidemokratis ini disambut dengan aksi-
aksi penolakan yang hebat. Aksi-aksi ini dilakukan bukan hanya oleh mahasiswa dan LSM-
LSM, tapi juga rakyat . Terbukti aksi tanggal 23 September berhasil menggerakkan kaum
miskin kota untuk melawan militerisme dengan melakukan aksi penyerangan terhadap
tentara yang sedang menghadang aksi mahasiswa. Mereka melempari tentara dengan
molotov dan membuat barikade-barikade. Mahasiswa , disisi lain, hanya dapat bertahan di
kampus Atma Jaya dan tidak dapat memimpin massa. Sementara aksi penolakan terhadap
RUU PKB tidak hanya berlangsung di Jakarta, takpi juga di daerah-daerah. Bahkan di
Palembang dan Lampung, aksi ini meminta korban nyawa 3 mahasiswa. Aksi anti militerisme
ini diikuti aksi-aksi yang lebih hebat seiring diadakannya Sidang Umum MPR pada bulan
Oktober ini. Aksi-aksi mahasiswa dan rakyat membawa isu penolakan pertanggungjawaban
Habibie dan pencabutan Dwi Fungsi TNI. Kembali terjadi bentrokan dengan militer pada hari
Jumat, 15 Oktober.
Ada pelajaran yang dapat diambil dari gerakan mahasiswa 1998 sehingga gagal
menuntaskan revolusi demokratik. Pertama, lemah dalam ideologi. Dari basis historis,
gerakan mahasiswa ’98 muncul karena adanya krisis ekonomi. Mahasiswa bergerak karena
harga kebutuhan pokok naik, kost-kostsan menjadi mahal, orang tua mereka terkena PHK.
Keadaan ini secara langsung berdampak bagi mahasiswa. Maka tidak heran kalau sebagian
besar mahasiswa “baik-baik”, mahasiswa generasi “dingdong” ini ikut turun kejalan.
26
Kesadaran “ekonomis” ini kemudian berhasil dibawa ke kesadaran politik. Injeksi kesadaran
ini dilakukan oleh beberapa kelompok radikal – kelompok ini sejak tragedi 27 Juli 1996 tetap
melakukan perlawanan dan mengangkat isyu-isyu politik – tapi injeksi inipun tidak tuntas.
Karena tidak didukung oleh kesadaran ideologis. Ketika “trend” gerakan menurun maka
aktivitas gerakanpun juga menurun. Hal ini terjadi seiring dengan menurunnya kuantitas
mahasiswa yang terlibat dalam demonstrasi-demonstrasi .
Ini berbeda dengan gerakan ‘90-an, dimana gerakan berawal dari kelompok-kelompok
diskusi. Dari diskusi-diskusi yang mereka lakukan, mahasiswa menjadi sadar tentang apa
yang harus dilakukan, bahwa sistem korup inilah yang menyebabkan negara berada dalam
puncak krisis. Karena didukung kesadaran ideologis maka kontinuitas gerakan lebih bisa
terjaga. Disamping itu perdebatan-perdebatan teoritikpun terjadi secara dinamis, sehingga
selalu timbul perspektif-perspektif dan inisiatif-inisiatif baru.
Kedua, akibat kelemahan ideologi-teori juga berakibat kelemahan strategi taktik.
Gerakan menjadi kaku dalam menghadapi gerak sejarah, tidak luwes dalam
menghadapi perubahan situasi nasional. Akibatnya banyak momentum-momentum
yang seharusnya dimanfaatkan dilewatkan begitu saja. Momentum pemilu yang
seharusnya merupakan kesempatan “berbicara kepada rakyat”, kesempatan untuk
menyadarkan rakyat yang terilusi, terlewat begitu saja.. Akibat kekakuan dalam
menerapkan stratag dan “ketidakcerdasan” dalam memanfaatkan setiap celah yang
ada, lama kelaman gerakan menjadi mati, aksi-aksi tidak ada lagi dengan begitu
konsolidasi menjadi lemah.
Ketiga, sektarianisme gerakan. Dapat kita lihat sendiri gerakan masih terpecah-pecah
sampai saat ini. Walupun gerakan bisa membesar, hal ini lebih disebabkan oleh momentum
dan isu yang sama. Ini akan jelas apabila kita melihat data aksi mahasiswa 28 Oktober 1998
berikut ini.

Daerah Jumlah Tuntutan


Jakarta 14.000 orang  Tolak SI
 Cabut Dwi Fungsi ABRI
 Ganti Habibie dengan presidium
pemerintahan transisi
 Adili Soeharto
Bandung 3.500 orang  Tolak SI
 Cabut Dwi Fungsi ABRI
 Ganti Habibie dengan presidium
pemerintahan transisi
 Adili Soeharto
Yogyakarta 1.300 orang  Tolak SI
 Cabut Dwi Fungsi ABRI
 Ganti Habibie dengan presidium
pemerintahan transisi
 Adili Soeharto
Semarang 2.000 orang  Cabut Dwi Fungsi ABRI
 Percepat Pemilu
 Adili Soeharto c.s
 Cabut Tap. Soeharto/Habibie
sebagai presiden dan wapres
Surabaya 1.100 orang  Tolak SI
 Cabut Dwi Fungsi ABRI
 Pertagungjawaban Soeharto
Bandar Lampung 300 orang  Tolak SI
 Cabut Dwi Fungsi ABRI
 Adili Soeharto c.s
Palembang 700 orang  SI untuk ganti Habibie dengan
presidium pemerintahan transisi
 Percepat Pemilu
 Cabut Dwi Fungsi ABRI

27
 Adili Soeharto c.s
Manado 500 orang  Cabut Dwi Fungsi ABRI
 Adili Soeharto c.s

Tabel : Jumlah mahasiswa yang berlawan

Dari data diatas jelas adanya tuntutan yang sama – tolak SI, cabut Dwi Fungsi ABRI,
adili Soeharto – dan adanya satu momentum – hari Sumpah Pemuda, 28 Okotober –yang
menyebabkan gerakan membesar dan meluas. Bukan pula karena adanya front diantara
organisasi gerakan mahasiswa. Gerakan mahasiswa tetaplah terpecah-pecah. Memang telah
dilakukan usaha untuk membangun front, misalnya Rembuk Mahasiswa Nasional Indonesia
(RMNI) di Bali dan Surabaya, tapi ini tidak lebih sebagai ajang romantisme dan saling
mengklaim bahwa kelompok merekalah yang paling berjasa. Mungkin kelahiran Liga
Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi (LMND) dapat menghilangkan watak sektarianisme
dan bisa membangun front yang sesungguhnya.
Sektarianisme juga menyebabkan gerakan menjadi elitis, tidak mau bergabung dengan
sektor rakyat lainya. Akibatnya, pertama, rakyat yang berperan aktif dalam demonstrasi-
demonstrasi tidak terpimpin, tidak heran kalau massa-rakyat melakukan pengrusakan toko-
toko etnis minoritas, jalan tol dan fasilitas umum lainya. Kedua, kekuatan mahasiswa dan
massa rakyat yang seharusnya bersatu menjadi terpecah belah. Banyak diantara organisasi
mahasiswa yang masih termakan propaganda militer, apabila aksi mahasiswa bergabung
dengan sektor rakyat lainnya akan menimbulkan kerusuhan. Kesalahan-kesalahan seperti ini
tetap terulang dan terjadi juga pada gerakan-gerakan mahasiswa sebelumnya.
Keempat, tidak adanya organ nasional. Apa yang ada saat ini, semisal FPPI (Front
Perjuangan Pemuda Indonesia) atau LMND (Liga Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi) 88,
hanyalah sebatas jaringan antar organ-organ mahasiswa di kota-kota atau sebatas front.
Dapat dikatakan setelah SMID (Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi)
“dihancurkan” setelah peristiwa 27 Juli 1999, belum ada organ nasional yang terbentuk.
Akibat tidak adanya organ nasional ini, berdampak pada tidak adanya kesatuan aksi
diantara gerakan mahasiswa yang ada. Masing-masing gerakan berjalan sendiri-sendiri –
baik tuntutan maupun strategi taktik. Tidak adanya kesatuan aksi, jelas sekali mengakibatkan
gerakan menjadi terfragmentasi, tidak jelas apa yang sebenarnya akan dituju. Akibat
selanjutnya, disamping gerakan menjadi lemah juga membingungkan massa rakyat sendiri.
Kita ambil contoh sikap gerakan mahasiswa yang terpecah-pecah dalam menghadapi
momentum pemilu 1999.
Dalam menghadapi pemilu ini, gerakan mahasiswa terbagi menjadi dua kelompok yang
kesemuanya mempunyai argumen masing-masing. Kelompok pertama menerima pemilu.
Pemilu, menurut mereka, merupakan jalan terbaik untuk memperbaiki situasi yang telah
ada. Kelompok mahasiswa ini kemudian bergabung dengan pemantau pemilu yang
menjamur menjelang Pemilu bulan Juni 1999, seperti Unfrel, Forum Rektor, KIPP. Kelompok
kedua, tidak setuju dengan proses pemilu. Pemilu tidak akan menyelesaikan masalah dan
pasti tidak berjalan dengan jurdil karena masih dilaksanakan oleh sisa-sisa rejim Orba. Maka
pemilu harus ditolak. Kelompok ini kemudian terbelah menjadi dua, membiarkan momentum
88
Sejarah kelahiran LMND, dimabil dari pamflet yang dikeluarkan organisasi ini:
“Sejak jatuhnya suharto, beberapa komite aksi menyadari kebutuhan sebuah organisasi perjuangan yang bergerak
secara nasional menyatukan perlawanan mahasiswa bersama rakyat secara sistematis dan terprogram. Komite-
komite aksi tersebut, terdiri dari 11 buah termasuk dari Timor Leste, kemudian mendirikan Front Nasional untuk
Reformasi Total (FNRT) di pertengahan Mei 1998. Namun usia Front tidaklah panjang. Dii pertengahan 1998
FNRT bubar ditengah Kelesuan dan kebimbangan gerakan, meski komite-komite yang bergabung didalamnya
mencoba membentuk lagi sebuah organisasi nasional bernama Alansi Demokratik (ALDEM) pada Agustus 1998.
Mereka juga telah berhasil menerbitkan sebuah majalah “ALDEM”satu kali dan menggalang sebuah aksi nasional
pada tanggal 14 September 1998 dengan isu Cabut Dwi Fungsi ABRI. Namun nasibnya tak jauh berbeda dengan
FNRT, tenggelam di tengah hiruk pikuk gerakan menjelang Sidang Istimewa MPR 1998.
Upaya berikutnya adalah pembentukan Front Nasional untuk Demokrasi (FONDASI) pada pertengahan
Februari1999. Buntunya RMNI II di Surabaya dalam persoalan pengambilan momentum Pemilu Juni 1999,
memaksa Fondasi untuk mengundang berbagai komirte aksi untuk hadir dalam Konggres Mahasiswa di Bogor
pada 9-12 Juli 1999.Dari 20 komite aksi yang berasal dari berbagai kota di Indonesia, 19 diantaranya sepakat
untuk mendirikan sebuah organisasi nasional demi terwujudnya kesatuan perjuangan gerakan secara nasional.
Organisasi tersebut bernama Liga Mahasiswa Nasional Untuk Demokrasi disingkat LMND. Kongres I tersebut
juga menyatakan bahwa Perjuangan LMND adalah bagian dari Perjuangan rakyat Indonesia dalam rangka
menghancurkan sistem yang anti demokrasi dan mewujudkan masyarakat yang demokratis dan berkeadilan sosial.
Tujuan itu juga dinyatakan dalam ideologi organisasi yang disebut demokrasi kerakyatan, yang secara teori dan
praktek berpihak kepada mayoritas raakyat, yaitu kaum buruh ,tani dan kaum miskin kota”.

28
pemilu berjalan begitu saja, karena apabila terlibat dalam momentum pemilu dianggap ikut
melegitimasi pelaksanaannya. Sementara kelompok lain yang tidak percaya pemilu,
melakukan aksi-aksi massa untuk menolak pemilu yang diselenggarakan rejim Habibie.
Rakyat sendiri menghendaki mahasiswa paling tidak menfokuskan tuntutannya. Berdasarkan
“jajak pendapat” yang dilakukan majalah Tempo, 65% menghendaki hal itu dan 60%
menghendaki mahasiswa berkoalisi dengan kelompok lain .
Kelima, lemah dalam basis massa. Seperti yang sudah dibahas diatas, sebagian
besar mahasiswa yang bergabung dalam gerakan mahasiswa ’98 adalah akibat
“trend” yang ada. Tidak heran kalau massa yang ada bukanlah massa yang
terorganisir melainkan massa yang termobilisasi. Hal ini berakibat melemahnya basis
massa sejalan dengan dengan melemahnya trend gerakan. Sementara itu organ-organ
mahasiswa yang ada tidak mengantisipasi hal ini, tidak cepat melakukan konsolidasi
terhadap massa yang masih cair, dan tidak segara mengadakan pendidikan-
pendidikan ideologi teori. Aktivitas aktivis mahasiswa hanya berkutat di sekitar aksi
dan pergi ke kota satu ke kota lain dengan alasan konsolidasi. Sementara kampus
yang “melahirkan” mereka dan disanalah sebetulnya basis mereka, ditinggal begitu
saja. Akibatnya, gerakan menjadi tidak populis diantara mahasiswa sendiri. Tidak
heran kalau sampai saat ini banyak sekali organisasi mahasiswa yang hanya papan
nama belaka.
Keenam, ini sebetulnya bukan kesalahan gerakan mahasiswa semata, tapi kesalahan
kekuatan radikal secara umum, yaitu tidak adanya partai pelopor yang sanggup memimpin.
Situasi periode Februari sampai Mei adalah situasi yang “revolusioner”, keadaan ini bisa
berubah setiap detik – orang sebelumnya apolitik saat itu berbicara politik, ratusan komite-
komite perlawanan terbangun. Tapi karena tidak ada satu kekuatanpun yang mampu
memimpin, situasi ini dapat dikatakan tidak menghasilkan apa-apa. Pada saat-saat seperti ini
dibutuhkan satu peranan dari partai pelopor untuk memimpin pengambilalihan kekuasaan. Ini
sekali lagi hanya bisa dilakukan oleh partai pelopor, tidak oleh komite-komite aksi.
Kita dapat melihat kelemahan ini dalam peristiwa Mei ’68 di Prancis. Situasi Mei ’98 di
Indonesia mirip dengan situasi di Prancis pada bulan yang sama tahun 1968. Ketika itu di
Prancis ratusan mahasiswa turun ke jalan-jalan dan gerakan ini kemudian mampu
memobilisasi kelas pekerja untuk melakukan pemogokan, bahkan sekitar 15 pabrik sudah
berhasil direbut. Puncak dari “revolusi” ini: kampus-kampus bisa dikuasai mahasiswa, sekitar
10 juta buruh melancarkan aksi pemogokan nasional. Presiden De Gaulle sudah melarikan
diri ke Jerman Barat. Kesempatan ini ternyata disia-siakan oleh kekuatan radikal. Bedanya
kalau di Indonesia belum ada partai pelopor – kalaupun ada belum bisa bergerak bebas --
akan tetapi di Prancis partai pelopor itu sudah ada, tapi mereka malah “bersembunyi” ketika
situasi sedang revolusioner.
Disamping kelemahan-kelemahan diatas, ada juga kelebihan-kelebihan gerakan
mahasiswa ’98 dibanding gerakan mahasiswa sebelumnya. Pertama, sikap tegas terhadap
militerisme. Sikap gerakan mahasiswa '98 terhadap militer tidak ada kompromi, sejak awal
mahasiswa menuntut pencabutan Dwi Fungsi ABRI. Sikap tegas ini membawa gerakan
mengambil sikap tegas dan tidak melakukan kolaborasi dengan militer. Ini tentunya berbeda
dengan gerakan mahasiswa sebelumnya. Gerakan mahasiswa ’66 jelas melakukan
kerjasama dengan militer, begitu juga gerakan mahasiswa ’74. Gerakan mahasiswa ’78
walaupun tidak melakukan kolaborasi dengan militer tapi mengambil sikap tidak tegas
terhadap militerisme. Rupanya gerakan mahasiswa ’98 telah belajar dari kesalahan para
pendahulu mereka. Ini tidak lepas dari pengaruh gerakan anti militerisme yang sudah
dilontarkan kelompok-kelompok radikal sejak ‘90-an.
Kedua, gerakan mahasiswa ’98 – pada tahap awalnya -- bisa menyebar hampir ke
seluruh kota-kota di Indonesia. Dapat dikatakan, gerakan ’98 merupakan gerakan terbesar
setelah gerakan mahasiswa ’66. Adanya perlawanan yang meluas ini bisa membuat
penguasa kalang kabut, daya resitensipun menjadi semakin kuat dan akhirnya tuntutan
mereka untuk memaksa Soeharto lengserpun bisa berhasil. Ini merupakan pengalaman
berharga untuk gerakan mahasiswa ke depan. Dua momentum gerakan mahasiswa
membuktikan bahwa hanya dengan gerakan yang meluas, gerakan mahasiswa dapat
berhasil memperjuangkan tuntutan-tuntutan. Adanya gerakan yang membesar disemua kota
juga akan menaikkan moral perlawanan mahasiswa sendiri dan bisa memobilisasi rakyat
dalam jumlah yang lebih besar

29
Secara garis besar, dalam periode ini juga dapat disimpulkan dua konsepsi ideologis
dari GM. Pertama, yaitu pandangan yang menyatakan bahwa gerakan mahasiswa diarahkan
pada pengkritisan sistem yang dibangun Soeharto. Dalam pandangan ini, GM harus
mengkritisi siapa saja yang memerintah paska Soeharto, sedangkan sistem yang dibangun
Soeharto sendiri tidaklah bermasalah. Kedua, yaitu pandangan yang menyatakan GM harus
diarahkan pada pengantian sistem yang dibangun oleh Soeharto. Dalam pandangan
kelompok GM ini, bahwa sistem yang dibangun Soeharto sudah bobrok dan harus diganti
oleh sistem yang baru.

V.3. Massa Gus Dur89

3.1. Tumbuhnya Kesadaran Menghancurkan Sisa-sisa Orde Baru Yang Setengah Hati
Polari gerakan pada masa Abdulrahman Wahid terus terjadi. Dapat dikatakan pada
masa Ini gerakan mahasiswa sudah menjadi bagian dari gerakan politik yang berkembang
ketika itu. Gerakan mahasiswa—walau dengan malu-malu—mendukung Gus Dur atau
berhadapan denganya.
Gerakan yang mendukung Gus Dur memakai bungkus penghancuran sisa-sisa Orde
Baru. Ini bukan kesadaran yang mereka miliki, tapi dipasokkan oleh gerakan kiri (PRD).
Pemahaman yang setengah-tengah dari program penghancuran sisa-sisa OrBa ini dapat
dilihat dari sikap politik yang berkembang. Mereka bisa menerima pengadilan GOLKAR dan
Pembubaran Parlemen, tetapi sangat sulit menerima Perceptan Pemilu—alasan mereka
guna melihat watak indepensi. Akibatnya, dalam startegi taktik penghancuran sisa-sisa Orba
juga tanggung.

Bulan/Th.2000 Jumlah
Aksi
Januari 4
Februari 9
Maret 7
April 6
Mei 6
Juni 1
Juli 12
Agustus 6
September 10
Oktober 24
Nopember 14
Desember -

Tabel 17 : Aksi Mahasiswa Di Jakarta

Sedangkan yang berhadapan dengan Gus Dur banyak dimotori oleh sayap politik dari
Partai Keadilan—KAMMI—dan Golkar—BEM. Tuntutan mereka menuntut Gus Dur mundur
karena telah melakukan KKN. Dalam jumlah massa karena didukung logistik yang banyak,
mereka bisa memobilisasi massa dalam jumlah yang besar. Bahkan pada tahap walnya
mereka bisa mendominasi opini yang muncul dimedia massa. Namun, ketiak Gus Dur
semakin mendekati kejatuhannya—ketika massa NU bergerak—mereka tidak lagi mengelar
aksi-aksi massa lagi.

89
Diambil dari tulisan penulis, Jalan Kemenangan, Dokumen Kongres Ke IV PRD, tidak dipublikasikan

30
IX

GM Masa Mega-Hamzah:

Bersama Massa Rakyat Membangun Pemerintahan Rakyat Miskin

Naiknya Megawati ke singgasana kekuasaan merupakan hasil dari alinsi jahat


antara PDIP, Golkar, Reformis Gadungan, militer dan kapitalis internasional. akibatnya,
ruang demokrasi kembali ditarik mundur oleh megawati dengan mengunakan tentara
sebagai penopang kekuasaannya. Kasus-kasus pelanggarahan HAM berat yang terjadi
selama ini tidak ada satupun yang diungkap secara tuntas, yang terjadi malah
memperluas keterlibatan tentara dalam setiap penyelesaian konflik—misalnya di Aceh,
Papua, Maluku, dll. Dan yang terakhir, setelah medaknya Bom dibali kemudian
ditetepkan Perpu Anti Teroris yang pada intinya sama dengan UU Suversib. Situasi ini
terjadi karena dua hal:
“Pertama, Megawati naik ke kekuasaan menggantikan Gus Dur adalah hasil
dari aliansi reaksioner antara PDIP-Golkar-TNI/Polri-Poros Tengah di parlemen.
Tentu saja Mega harus membayar harga itu semua. Dan bayaran tersebut antara
lain, tidak mengusut tuntas kasus-kasus pelanggaran HAM, memberikan porsi
kekuasaan yang lebih besar kepada sisa Orde Baru, tidak mengusut tuntas korupsi
Akbar Tanjung dan Partai Golkar dalam kasus Bulogate II dan korupsi pejabat serta
konglomerat Orde baru lainnya. Sejak awal Megawati telah diberi pilihan, apakah ia
mau bersama rakyat menghancurkan sisa-sisa Orde Baru; atau menindas rakyat
sebagai konsekwensi bersekutu dengan mereka. Dan Mega telah mengambil
pilihan: bersekutu dengan sisa-sisa Orde Baru.
Kedua, situasi krisis ekonomi yang semakin parah itu tak mungkin sanggup
diatasi dengan memberikan konsesi (sogokan) ekonomi maupun sogokan politik
kepada rakyat. Tekanan krisis dan watak politik Mega yang konservatif tak
memungkinkan konsesi ekonomi maupun demokrasi. Megawati lebih menyukai
memangkas subsidi rakyat yang telah mendorong kenaikkan harga TDL, BBM, tarif
transportasi, tarif telpon dan lain sebagainya; menambah Kodam, serta
meningkatkan represi untuk meredam protes-protes rakyat. Seperti biasanya, dalam
krisis kapitalisme, bagi negara yang tidak sanggup memberikan sogokan ekonomi
(karena krisis yang sangat dalam) akan cenderung memilih merepresi perlawanan
rakyat dan merampas hak-hak demokrasi rakyat”.90

Sementara dalam kebijaksanaan ekonomi, pemerintahan Mega-Hamzah sangat pro


kapitalis internasional sehingga mengeluarkan kebijaksanaan ekonomi yang banyak
merugikan rakyat—seperti pemotongan subsidi pendidikan, kenaikan harga BBM. Kebijakan
ekonomi pemerinatahan Mega-Hamzah saat ini yang panyak sekali dilakukan adalah
memangkas subsisi, menjual aset-aset rakyat tingkat kesejahteraan rakyat yang makin
merosot (lihat, idem). Sementara itu tak ada satupun fakta yang bisa ditemukan bahwa
indikator-indikator perekonomian makro bergerak ke arah positif. Penguatan rupiah
belakangan ini semata-mata karena faktor psikologis pasar (suksesnya beberapa privatisasi
BUMN, kucuran hutang dari IMF, penjadwalan pembayaran hutang). Jadi tak ada satupun
fakta bahwa penguatan rupiah itu terjadi karena fundamental perekonomian secara makro
semakin membaik: misalnya dilihat dari kinerja ekspor, investasi produksi yang baru, beban
hutang, tingkat pengangguran dll Mengenai indikator-indikator akumulasi krisis dan
merosotnya kesejahteraan rakyat.

90
Pembebasan, Edisi III September-Oktober 2002

31
Gelombang represifitas dan penyempitan ruang demokrasi dapat kita lihat dari
table dibawah ini—DAN BAHKAN, KETUA BIRO PERS MAHASISWA FILSAFAT UGM
“PIJAR”, IGNAS KLERUK MAU JUGA DIPENJARAKAN OLEH REJIM MEGAWATI-
HAMZAH HAZ.

Tabel Repersifitas Rejim Megawati Tahun 2001 91


NAMA TAPOL/NAPOL TGL TEMPAT KETERANGAN
DITANGKAP
1 Muhamad Nazar (Ketua SIRA) Desember Banda Aceh Ditangkap ketika mengorganisir
2000 SIRA RAKAN II, pasal penghasutan.
Masih ditahan.
2 Kautsar (Ketua FPDRA) 11 Juli 2001 Banda Aceh Ketua Front Perjuangan Demokratik
Rakyat Aceh, ditangkap ketika
membawa statment Koalisi Rakyat
Aceh seruan pembangkangan sipil
sebagai respon atas pelanggaran
Ham di Aceh
3 Rufriadi , Ari Maulana, Bakhtiar 20 Juli 2001 Banda Aceh Korban penangkapan polisi yang
(Direktur dan staf LBH B. Aceh); dengan brutal menangkapi peserta
T. Ananda, Amrie Saldien, Pekan Kampanye Anti Militerisme di
Hendra—FPDRA; Zamzani, Faza, halaman LBH Banda Aceh.
Mahmudal—SMUR; Jakfar
(SKKPHAM Aceh), Banta
(KARMA), Hospi, Dede,
Iskandar—KOMPOS; Adi (warga
biasa), Seorang pemuda belum
teridentifikasi. Jml 20 orang
4 Yovie Wijaya, Sri Darwantie, 17 Juni 2001 Bandung Ditangkap ketika membagikan
Didien Suherman, Asep Ruhiat, selebaran PRD tentang penolakan
Andi Hartono, Anton Jauhari, kenaikan BBM. Status penangguhan
Dony Danudirjo. Jml 7 orang penahanan sejak tanggal 3 Agustus
kader KPW PRD Jawa Barat 2001. Tuduhan penghasutan.
5 F.X. Farneubun (PRD), 14 Juni 2001 Bandung Ditangkap saat ssat meredam
Normalinda (LMND), George kemarahan buruh dalam aksi
(LMND ITB); Hiskia Hartono, menolak Kepmenakertrans 78
Maraden Sinaga—Mhs; Kahfi, tanggal 14 Juni. Saat dan setelah
Albertus Budi, L.V. Mardiono, penangkapan dianiaya. Belum
Edy Irwansyah, Wirya W., Deni dibebaskan. Tuduhan pasal
Kusmarna—buruh; Deni penghasutan.
Nugraha (pedagang). Jml 12
orang.
5 Mustawiayanto (Ketua Fraksi 1 Agustus Bondowoso Ditangkap ketika mendistribusikan
PKB Bondowoso), M. Rozak 2001 undangan Konggres Rakyat
(anggota Fraksi PKB DPRD Bondhowoso oleh DPKR (Dewan
Bondowoso), Rudi Asiko (Ketua Penyelamat Kedaulatan Rakyat).
KPK PRD Jember), Febrianto Tuduhan makar. Masih ditahan.
(staf KPW PRD Jatim), Joni,
Hamka, Noval—sekrettaris dan
anggota IPPNU Bondowoso,
Hadi (PMII Banyuwangi).
6 Mixil (Forkot) dan dua rekannya 6 Juni 2001 Jakarta Ditangkap ketika ikut aksi dan
mendistribusikan selebaran
menentang kenaikan BBM 6 Juni.
Belum dibebaskan.
7 Nanang, Fachruddin, Guminto 25 Juli 2001 Malang Ditangkap dan disertai tindakan
(Mhs Unisma). kekerasan sewaktu mengadakan aksi
mimbar bebas anti Orde Baru.
Dikenakan tuduhan tindak pidana
ringan. Sudah dibebaskan.

Situasi di atas masih ditambah adanya krisis kapitalisme, seperti kata Marx:
KAPITALISME SEDANG MENGGALI LIANG KUBURNYA SENDIRI. Kebobrokan dalam
sistem kapitalisme tidak dapat ditutup-tutpi lagi, dimana perekonomian terus bergerak kerah
krisi yang semakin mendalam. Badai yang menerjang sistem kapitalisme ditandai dengan
keruntuhan lembaga-lembaga kapital finans yang mengelola pasar modal-pasar modal (yang
tumbuh marak sejak boom ekonomi tahun 90-an) semacam Nasdaq, Atriax (pasar modal
milik Citybank), JP Morgan-Chase, Deutchse Bank yang mengarah kepada kebangkrutan –
sebelumnya Bondbook telah ditutup. Situasi ini terus berlanjut dengan meningkatnya naiknya
hutang rumah tangga meningkat hingga 107% di Amerika, 115% di Jerman, 132% di Jepang
dan 118% di Inggris –dibandingkan pendapatan disposabel (setelah dipotong pajak). Menurut
Boris Kagarlitsky, ekonom kiri dari Rusia, pertumbuhan hutang ini bisa dilihat, misalnya di
Amerika saja hutang beragunan di tahun 2000 telah mencapai US$ 6,8 triliun, hutang negara
sebesar US$ 6,6 triliun, dan total utang negera dan swasta sebesar US$ 13,5 triliun. 92
Jadi sebetulnya krisis sudah terjadi sebelum serangan teroris terhadap WTC terjadi,
dunia dalam keadaan sedang dilanda krisis—juga melanda AS. Kepada Federal Bank Sentral
AS, Alan Greenspon dalam setahun harus menurunkan suku bunga sanpai tujuh kali. Kalau
sektor perbangkan dilanda kepanikan, maka kejadian ini akan mengulang tragedi depresi

91
“Tugas Kita” Harian Perjuangan Rakyat, terbitan PRD, edisi 2 Agustus 2001
92
Op.cit.

32
besar (The Great Depression) tahun 1930-an. 93. Sementara itu, menurut laporan majalah
ekonomi Economist bursa-bursa saham efek AS, Jepang dan Eropa dicekap rasa nervous
yang luar biasa. Di bursa New York, Down Jones Industrial Averege (DJIA) runtuh 14,3%--
kejadian terburuk yang pernah terjadi sejak resisi 1933 94
Guna mengatasi krisi ini salah satunya adalah dengan perang. Serangan Amerika
terhadap Afganistan ini dapat dipahami dalam kerangka mengatsi krisi kapitalisme, selain
bahwa ciri pemerintahan Partai Republik Presiden Bush ini merupakan koalisi dari para
pengusaha minyak (seperti Bush dan Wapres Dick Cheney) dan senjata, serta masyarakat
defence yang terdiri dari penjabat dan ilmuwan seperti Wolfowitz 95. Bagi Gedung Putih,
runtuhnya pemerintahan Taliban akan membuka kembali peluang untuk membangun pipa
migas yang selama ini diinginkan 96. Masih pendapat serupa, Direktur Eksekutif Cebtre for
Islamic Reseach and Studies (CIRES), Muhammad Niam, memandang perang AS-Afganistan
lebih bermotif ekonomis daripada ideologi. Dalam ksus ini Osama hanya dijadikan sasaran
antara untuk menguasai ekonomi dikawasan Asia Selatan dan tengah, dengan cara
mengulingkan Taliban yang berkuasa di Afganistan. Niam menunjuk pengalaman buruk AS
pada tahun 1990-an , ketika pembangunan pipa minyak yang direncanakan melalui Asia
Tengah, Asia Selatan (Afganistan) hingga Karachi (Pakistan) gagal, padahal membutuhkan
dana yang besar97.
Kekacauan-kekacauan ekonomi di negeri-negeri imperialis utama membawa
konsekwensi-konsekwensi ekonomi dan politik, tak hanya bagi situasi domestik masing-
masing negeri imperialis utama, namun juga bagi kondisi stabilitas ekonomi politik global dan
bagi negeri-negeri terbelakang. Dampak tersebut:
“Pertama, kemerosotan ekonomi domestik diatasi dengan pemotongan
kapasitas produksi yang mendorong PHK-PHK; juga privatisasi di negeri imperialis
utama telah membawa kekacauan energi listrik di California, meningkatnya
kecelakaan kereta api di Inggris, dan penurunan subsidi pendidikan dan kesehatan
diberbagai negeri imperialis utama.
Kedua, untuk meredam keresahan rakyat pekerja, para politisi borjuis
mendorong mood politik massa ke arah kanan. Misalnya kampanye anti imigran
sebagai biang kesulitan mendapatkan lapangan pekerjaan, ditambah sentimen anti
Islam/Asia dsb adalah latarbelakang ideologis berkembangnya kekuatan-kekuatan
fasis di Eropa, Amerika dan Australia. Pembunuhan Pim Fortuyn di Belanda
mengangkat solidaritas kanan, demikian juga meningkatnya popolaritas Le Penn
dijadikan pembenaran kebijakan neoliberalisme-nya Chiraq.
Ketiga, walaupun belum dalam tingkat yang berbahaya persaingan antar
negeri-negeri imperialis utama terus meningkat. Hal ini bisa dilihat dalam kejadian-
kejadian seperti perang tarif baja, tekstil, hasil pertanian, kayu dll antar negeri-negeri
imperialis utama.
Keempat, melalui lembaga-lembaga keuangan internasional mendorong
percepatan implementasi kebijakan-kebijakan neoliberalisme di negeri-negeri
berkembang dan terbelakang, untuk mendapatkan pasar-pasar baru (tak terkecuali
di Indonesia), walau tanpa demokrasi sekalipun –agak berbeda dengan kampanye
liberalisasi modal di awal tahun 1980-an yang sedikit banyak masih membawa isu
demokratisasi, penegakan HAM dsb dengan cara yang moderat. Pergeseran ini
nampak jelas dalam kasus naiknya Musharaf di Pakistan, dukungan AS atas kudeta
di Venezuela dsb—dalam kasus Indonesia misalnya tekanan imperilaisme untuk
menyikat Islam fundamentalis seperti penangkapan Jakfar Umar Thalib, penghentian
embargo senjata dan normalisasi hubungan dengan TNI/Polri. Bahkan untuk
mengantisipasi gerakan perlawanan terhadap imperialisme, dengan
neoliberalismenya, sejak setengah tahun yang lalu telah diperhebat kampanye anti
terorisme. Tak lain dan tak bukan “Perang Melawan Terorisme” ditujukan untuk
menghantam negeri-negeri yang tak mau patuh dengan dominasi AS (termasuk
dengan skenario neoliberalismenya) seperti Kuba, Irak, Korea Utara, Libia,
Venezuela dsb”.98

Maka, situasi di atas, dapat disimpulkan sebagai berikut:

93
A. Tony Prasetiantono, Kompas 17 September 2001
94
A. Tony Prasentiantono, Kompas 16 Oktober 2001
95
Budiarto Shambuzy, Kompas, 16 September 2001
96
Maruli Tobing, Kompas 10 Nopember 2001
97
Kompas, 26 Oktober 2001
98
Pembebasan, Edisi III Agustus-September 2002

33
“Dengan meningkatnya intensitas kebijakan ekonomi anti rakyat miskin,
cenderung pula meningkat perampasan hak-hak demokrasi. Dengan latar belakang
borjuasi kecil konservatif, Mega—bersama Hamzah Haz, Amien Rais, Yusril Ihza
Mahendra, dan reformis gadungan lainnya, termasuk orang-orang yang menanti-
nantikan kesempatan untuk berkuasa —sejak Suharto dijatuhkan, cenderung
memajukan kepentingan faksi borjuasi terdekatnya. Padahal, dalam perjuangan
menumbangkan kediktatoran Orde Baru, gerombolan burjuis tersebut adalah orang-
orang yang paling pengecut. Sekarang Megawati telah merepresentasikan
kepentingan kaum borjuasi yang sesungguhnya. Dan penerapan kebijakan-
kebijakan yang diarahkan oleh IMF menemui kegagalan. Megawati telah gagal,
hasil-hasil yang bisa dilihat hanya lah bertambahnya kemiskinan, pengangguran,
angka putus sekolah, banjir dan dampak-dampaknya, serta represi. Entah harus
berapa lama lagi rakyat Indonesia berada dalam horor kemiskinan jika pemerintahan
Megawati tetap dipertahankan. Tak benar alasan bahwa pemerintahan Mega masih
belum diberikan cukup waktu karena, seberapa pun ia diberi waktu, konsep-konsep
pembangunannya memang anti rakyat dan tak bisa dipertanggungjawabkan secara
teoritik. Jadi, tak ada jalan lain kecuali PEMERINTAHAN MEGAWATI HARUS
DIGANTI!!”99

Melihat perkembangan situasi nasional di atas, maka fokus gerakan mahasiswa


adalah MENGULINGKAN REJIM MEGA-HAMZAH dan menggantinya dengan
pemerintahan yang memihak rakyat miskin. Dengan kata lain, bahwa program
perjuangan yang harsu dilakukan adalah merebut kekuasaan negara.

Konsepsi-konsepsi di atas, maka kemudian menghasilkan program-program kongkrit


menuju pembentukan pemerintahan rakyat miskin. Program-program ini dapat kita lihat dari
program salah satu organ mahasiswa yang dapat mewakili—dapat mewakili karena
organisasi ini mempunyai jaringan nasional dan internasional-- yaitu program LMND yang
dapat kita lihat sebagai berikut:
“Buruh: Naikan upah,Stop sistem buruh kontrak,Tolak buruh anak, Perlindungan
buruh migran, 32 jam kerja,Tolak PHK sewenang-wenang,Tolak politik perburuhan
ORBA. Kaum Miskin Kota:Tolak penggusuran,Lapangan pekerjaan bagi
KMK,Kebutuhan pokok gratis bagi rakyat,Tolak kebijakan City Without Slum (Kota
Tanpa Kekumuhan). Tani: Tanah , modal , teknologi murah untuk pertanian
kolektif,Perlindungan harga komoditas pertanian nasional. Perempuan: Tolak
diskriminasi terhadap perempuan,Tolak ekploitasi perempuan, Legalkan aborsi,
Penyediaan fasilitas reproduksi gratis, Penyediaan fasilitas pengasuhan anak gratis.
Pendidikan:Pendidikan gratis , ilmiah , dan demokratis,Tolak privatisasi dunia
pendidikan, Lawan premanisme kampus,Tolak DO dan skorsing,Bentuk Dewan
Mahasiswa, Sejahterakan tenaga pengajar dan karyawan, Cabut sistem SKS.
EKONOMI:Tolak pasar bebas.Tolak privatisasi, Hapus hutang dan tolak hutang luar
negeri,Tolak pencabutan subsidi, Tolak kenaikan BBM, Turunkan harga.
INTERNASIONAL: Tolak RUU anti teroris,Tolak invasi Israel ke Palestina,Hapus
hutang dunia ketiga,Tolak kebijakan rasisme internasional,Kemerdekaan Palestina,
Bangun front solidaritas anti imperialisme, Tolak perang, Tolak semua bentuk
terorisme, Bubarkan lembaga keuangan dan moneter. POLITIK: Adili pelanggar
HAM di Mahkamah Internasional,Hancurkan sisa-sisa ORBA dan reformis
gadungan,Cabut dwi fungsi TNI\POLRI,Adili dan sita kekayaan harta koruptor,Adili
suharto, Gulingkan Rejim Mega-Hamzah, Bubarkan parlemen dan bentuk Dewan
Rakyat. RESOLUSI ACEH: Referendum,kemerdekaan,Tarik Militer non Organik.
RESOLUSI PAPUA: Hak menentukan nasib sendiri bagi bangsa
Papua.Program:Tarik Militer non Organik,Hentikan eksploitasi alam di
Papua,Kesejahteraan bagi bangsa Papua.”100

Akhirnya, hanya dengan program perjuangan yang jelas, program ideologi yang tepat,
program ekonomi-politik yang dapat menjawab persoalan rakyat dan program organisasi
yang dapat mewadahi gerak kondisi obyektif-LAH, yang akan mampu mengarahkan sebuah
gerakan dalamt memimpin perubahan.***

99
Ibid.
100
Pamflet LMND.

34
35

Anda mungkin juga menyukai