Anda di halaman 1dari 31

“Generasi Yang Terus Resah Di Tengah Sistem Kapitalisme”

(Sejarah Gerakan Mahasiswa Kerakyatan)

Betul, kalian yang melahirkan kami, wahai kapitalisme. Akan tetapi, kami tidak akan membiarkan
sistemmu yang semakin lama semakin lapuk itu terus menghisap yang lemah. Betul, bahwa sebagian
besar dari kami adalah kelas borjuis kecil, tetapi kami telah menambatkan pilihan: bahwa kami
memihak mereka yang telah kau hisap selama berabad-abad karena lambat laun, kami pun akan sama
dengan kelas proletariat yang tidak mempunyai apa kecuali peninadasan yang merantai kami. Kalian
catat, kami bersama kaum buruh dan tani akan membalik sistem dunia yang menindas ini. Kami,
gerakan mahasiswa akan terus berada ditengah deyut nadi kaum buruh dan kaum-kaum lain yang kau
tindas, bersama bergerak, melahirkan sistem baru yang manusiawi.
***

I.Sistem Pendidikan Kapitalisme:

Melahirkan “Proletarisasi” dan Perlawanan

Setelah kejatuhan feodalisme akibat tidak kuat menanggung “beban sejarah” perkembangan umat
manusia, lahirlah sistem kapitalisme yang lebih modern. Slogan kapitalisme – sebagaimana yang
diteriakkan dalam Revolusi Prancis, libertey (kebebasan), egality (persamaan), faternity (persaudaraan)
– berhasil menyapu sistem feodalisme yang telah ketinggalan jaman. Inilah bukti bahwa sejarah selalu
bergerak maju. Sederhanya selalu berdialektika. Revolusi Prancis merupakan tonggak munculnya suatu
tahapan baru dari peradapan manusia. Memang berbeda dengan feodalisme, dimana raja adalah wakil
Tuhan, kapitalisme berteriak dengan lantang, semua manusia adalah sama. Kapitalisme “mengibarkan”
tinggi-tinggi “bendera” kebebasan individu. Berkembangnya kapitalisme ini juga ditandai dengan
revolusi tehnologi/ilmu pengetahuan. Berawal ditemukanya mesin uap dan listrik, industri berkembang
secara cepat. Pusat-pusat industri seperti tekstil mulai berkembang, mulai terjadi mobilisasi dari desa
menuju perkotaan. Begitu juga dalam bidang filsafat, eksitensialisme mewakili periode ini. "Segala
"paham tua" yang ada harus dihancurkan", begitu teriakan yang muncul dari kaum borjuasi.

Setiap perubahan dari suatu sistem ke sistem lainya, secara otomatis disertai perubahan corak produksi.
Begitu juga perubahan dari sistem feodalisme ke sistem kapitalisme. Corak produksi feodalisme -- tuan
tanah dan petani miskin sebagai kelas utama -- digantikan oleh kaum borjuasi dan buruh sebagai kelas
utama dalam corak produksi kapitalisme. Ini otomatis mempengaruhi semua tatanan masyarakat yang
ada, budaya, politik, iptek,dll.

Seperti yang disinggung diatas, perkembangan kapitalisme ditandai dengan industrialisasi disegala
sektor, terjadi mobilisasi dari desa ke pusat-pusat industri di perkotaan. Corak produksi lama – corak
agraris – mulai ditinggalkan, mulailah muncul buruh-buruh industri. Kita ambil contoh ini seperti yang
terjadi di Rusia, dimana fase perpindahan corak produksi dari feodalisme ke kapitalisme terlihat dengan
jelas. Sebagaimana yang ditulis Paul Le Blanc:

Pada masa alih abad, dari abad ke 19 ke abad 20, Rusia adalah sebuah negeri yang luas dengan keadaan
yang terus menerus berubah dan bergolak, yang diserang oleh berbagai kontradiksi yang mendalam.
Sebagian besar masyarakat Rusia adalah petani, dengan pemilikan tanah sedang atau tidak sama sekali,
yang baru dilepaskan dan muncul dari perbudakan, namun tetap ditindas oleh kaum bangsawan yang
berkuasa. Pada saat yang bersamaan, sebuah proses dramatis dari industrialisasi dan urbanisasi telah
menciptakan kelas pekerja yang signifikan tetapi rapuh, yang menghadapi kehidupan dan kerja yang
buruk sekali. Kaum kapitalis baru yang meningkat jumlahnya, sementara hanya memperolehkan peran
dari patner-patner yunior di antara penguasa setengah (quasi) feodal di Rusia. 1

Masih dalam contoh perkembangan Rusia, disamping perubahan-perubahan “fisik” diatas, juga terjadi
perubahan dalam tingkatan ideologis. N Olesich dan V Privatov mengambarkan sebagai berikut:

Sementara dalam kebijaksanaan ekonominya, Tsar mendorong peningkatan kepentingan kaum pemilik
modal dalam lapangan ideologi, khususnya dalam pendidikan tinggi, meskipun pendidikan tinggi tersebut
mempunyai cara yang konservatif. Akhirnya dibawah dampak dari kapitalisme, sistem kasta yang picik
1
Paul Le Blang, Lenin dan Partai Revolusioner terjemahan halaman 15 - 68

1
dari pendidikan tinggi, yang hanya memberikan kesempatan pada para bangsawan telah didorong untuk
memberikan jalan pada semua strata masyarakat.

Pada awal abad ke 20, jumlah kaum terpelajar bertambah denga cepat. Pada awal 1903 telah terdapat 85
lembaga pendidikan tinggi di Rusia dengan menampung 42.884 siswa. Kira-kira sepuluh tahun kemudian,
pada tahun ajaran 1914/1915 telah berdiri 105 pendidikan tinggi dengan daya tampung 127.400 siswa 2.

Apa yang terjadi Rusia, juga terjadi dinegara-negara lain yang memasuki fase corak produksi baru –
corak produksi kapitalis. Begitu juga di Indonesia. Bedanya sistem kapitalisme di Indonesia bukan lahir
dari perjuangan borjuasi "pribumi", tapi dicangkokkan oleh kalonialisme Belanda. Pada awalnyapun,
kolonialisme Belanda kurang memperhatikan sektor pendidikan, berbeda dengan negara-negara lain
yang mengalami fase “normal”3 dari perpindahan corak produksi ini. Kolonialisme Belanda pada
awalnya hanya memeras fisik, tanpa meningkatkan kecerdasan rakyat Indonesia4. Tidak heran kalau di
antara negara jajahan di Asia, Indonesia paling terbelakang, dibanding Malaysia, Brunai, Singapura,
yang menjadi jajahan Inggris.

Baru sejak diterapkanya politik Etis oleh Belanda – setelah kemenangan kelompok liberal, dengan
slogan irigasi, edukasi dan transmigrasi -- terhadap tanah jajahan seperti Indonesia, terjadi perubahan
yang mendasar di berbagai sektor. Perkembangan kapitalisme di Belanda, dimana jumlah produk
meningkat, sementara pasar terbatas, memaksa mencari tempat lain sebagai pasar dan membuka
industri baru di negeri jajahan. Mau tidak mau Belanda harus “mendidik” penduduk daerah jajahan,
baik untuk kepentingan industrialisasi maupun staf adminitrasi rendahan. Dalam laporan Semaoen
menggambarkan kondisi Indonesia setelah diberlakukanya politik etis:

Tahun 1900 menyaksikan perubahan besar: pertumbuhan kapitalisme telah menimbulkan penghisapan
terhadap bumiputra, dan juga proletarisasi. Para kapitalis, untuk memperoleh staff juru tulis dan pegawai
kecil, membuka kesempatan pendidikan bagi bumiputera. Pemerintah mulai menerapkan “Politik Etis”,
yang dengan alasan meningkatkan “standar hidup” orang bumi putera …” 5.

Sekolah-sekolah baru kemudian didirikan, baik oleh pemerintah Belanda atau oleh kaum bumi putera,
kesempatan pendidikan bagi rakyat bertambah luas – dimana sebelumnya hanya golongan priyayi yang
dapat menikmati pendidikan. Sekolah-sekolah yang didirikan oleh kaum bumi putera tidak hanya
bertujuan “komersial”, akan tetapi sudah bertujuan sosial politik. Dapat kita ambil contoh tujuan
didirikan sekolah menurut Serikat Islam:

1. Memberi sendjata tjoekoep, boet mentjari penghidoepan dalam doenia kemodalan 6 (berhitoeng,
menoelis, ilmoe bumi, bahasa Belanda, Djawa, Melajoe, d.sb).
2. Memberi haknja moerid-moerid, ja’ni kesoekaan hidoep dengan djalan pergaoelan7 (vereeniging).
3. Menoendjoekkan kewadjipannja kelak, terhadap berjoeta-djoeta Kaeom Kromo8.9

Dari sini kita dapat melihat, paling tidak kapitalisme telah memberikan “sumbangkan” yang berarti --
kesempatan pendidikan, melahirkan intelegensia-intelegensia baru. Dengan begitu telah muncul
“kelas” baru yang mempunyai “keistimewaan” dalam memperoleh akses-akses baik informasi, teori-
teori ilmiah dibandingkan kelas lainya.”Kelas” ini bisa berdiskusi, membicarakan situasi yang ada,
membandingkan kondisi yang mereka alami dengan teori-teori yang mereka pelajari. Maka tidak heran
kalau mereka menjadi kritis terhadap keadaan, kemudian muncul kesadaran untuk mengubah keadaan,
mendorong sektor lain untuk ikut bergerak. Inilah sebanya banyak tokoh-tokoh yang mendorong

2
Membangun Kontak Mahasiswa Dengan Kelas Pekerja, diterjemahkan dari teks aslinya yang berjudul “ Establising Contacs
With the Working Class” dalam Lenin Student in Revolution, Moscow ;1982
3
Seperti halnya yang terjadi pada revolusi Prancis dan Inggris, feodalisme dihancurkan sehancur-hancurnya. Tapi beda yang
terjadi di Indonesia, sisa-sisa feodalisme masih dipertahankan. Memang yang kemudian kita dapatkan adalah dobel kekuasaan.
Ditingkat atas dikuasasi oleh Belanda, ditingkat bawah para Adipati masih berkuasa. Struktur feodal masih dimanfaatkan oleh
Belanda untuk kepentingan ekonomi ataupun politik. Hal ini dapat kita lihat sistem upeti dan peranan para "raja-raja" lokal
untuk mengawasi sistem tanam paksa, misalnya. Akibatnya, kapitalisasi yang terjadi di Indonesia tersendat-sendat.
4
Kita dapat melihat bagaiman sistem tanam paksa diterapkan oleh Belanda. Segala potensi penduduk yang ada hanya
difokuskan untuk memenuhi kebutuhan barang tanah jajahan. Kerja-kerja rodi yang diterapkan Belanda telah menguras
seluruh tenaga rakyat.
5
Gerakan Indonesia di Hindia Belanda, laporan oleh kawan Semaoen.
6
Untuk mengganti kata kapitalisme.
7
Yang dimaksud sebenarnya adalah berorganisasi.
8
Yang dimaksud adalah rakyat jelata.
9
Tan Malaka, SI Semarang Dan Onderwijs (Drukk Minahasa, Semarang, 1921 dikeluarkan oleh School)

2
perubahan dunia berasal dari “kelas” ini, tokoh-tokoh seperti Hegel, Marx, Adam Smid, Lenin, Gandhi,
Soekarno,dll – merupakan intelegensia, lahir dari universitas-universitas.

Apa yang terjadi selajutnya, “kebaikan” kapitalisme ini telah “melahirkan anak haram” yang melawan
“ibu kandungnya sendiri”. Kelas “baru”, yaitu mahasiswa, dalam fakta-fakta sejarah malah
mempelopori untuk melawan sistem kapitalisme yang menghisap. Ini bukan terjadi begitu saja, bahwa
ternyata sistem pendidikan kapitalisme menciptakan “proletarisasi” baru.

Marilah kita kupas lebih mendalam. Kapitalisme membutuhkan banyak tenaga kerja terlatih untuk
memenuhi kebutuhan pasar industri yang berkembang sangat pesat. Dengan demikian, lembaga-
lembaga pendidikan dipacu untuk “melahirkan” tenaga-tenaga kerja ahli sesuai dengan kebutuhan
pasar kapitalis. Apa yang terjadi kemudian, jurusan-jurusan tertentu yang banyak dibutuhkan ekonomi
kapitalis dipacu hasilnya, sedangkan jurusan-jurusan yang tidak ada hubungannya dengan ekonomi
kapitalis “dinomer duakan”. Disadari atau tidak, universitas menjadi sub-ordinasi terhadap kebutuhan
langsung terhadap ekonomi kapitalis. Ernest Mandel mengambarkan kondisi ini sebagai berikut:

Mereka bahkan tidak diizijinkan memilih karir, bidang, studi dan disiplin ilmu yang mereka kehendaki
dan berhubungan dengan keahlian dan kebutuhan mereka. Mereka akan dipaksa menerima pekerjaan,
disiplin ilmu dan bidang studi yang berhubungan dengan kepentingan penguasa masyarakat kapitalis, dan
tidak berhubungan dengan kebutuhan mereka sebagai manusia 10.

Dengan kondisi diatas, mahasiswa hanya dijadikan “komoditi”, tidak diberi hak untuk menentukan
pilihan-pilihan, kebebasan ini telah dirampas oleh kebutuhan pasar kapitalis. Mahasiswa yang mencoba
“menentang” kehendak pasar kapitalis, mengambil jurusan yang tidak dibutuhkan oleh kebutuhan
kapitalis, maka akan menjadi penganggur-penganggur baru. Adalah tepat yang digambarkan Ernest
Mandels tentang kondisi ini, mengutip dari kuliah umum seoang pendidik yang terkenal di Kanada:

Beberapa hari yang lalu, ketika di Toronto, salah satu pendidik Kanada yang terkenal memberikan kuliah
umum tentang sebab-sebab perlawanan mahasiswa. Menurutnya, alasan-alasan perlawanan itu “secara
mendasar bersifat material”. Bukan karena kondisi hidup mereka tidak memuaskan;bukan karena mereka
diperlakukan seperti buruh abad XIX. Tapi karena secara sosial kita menciptakan sejenis proletariat 11 di
universitas yang tidak berhak berpartisipasi dalam menentukan kurikulum, tidak berhak, setidaknya untuk
ikut menentukan kehidupan mereka sendiri selama empat, lima atau enam tahun yang mereka habiskan di
universitas.12

Dari sini jelaslah, mahasiswa menjadi terasing dengan “kehidupanya” di universitas. Mereka menjalani
kehidupan di universitas dengan keterpaksaan, bukanlah kehendak dari hati nurani. Apa yang
didapatkan adalah kondisi universitas yang “otoriter”, tidak memberi peluang kepada mahasiswa untuk
mengembangkan kemampuan mereka. Tuntutan-tuntutan kapitalis yang tidak berhubungan dengan
bakat perorangan dan kebutuhan manusia, itulah yang ada.

Makin terasingnya tenaga kerja intelektual ini sedikit banyak menggerakkan perlawanan mahasiswa.
Memang perlawanan ini bukan pelopor dari perlawan kelas buruh, tapi dapat menjadi picu ledak bagi
perlawanan sektor lain yang lebih luas. Awalnya perlawanan mahasiswa adalah untuk menghadapi
birokrasi kampus yang otoriter, yang mengekang kebebasan indiviudal mereka. Mereka berusaha
mengubah tatanan kampus agar bisa lebih “memanusiakan”. Ernest Mandels menyatakan dalam
tulisanya:

Mereka (mahasiswa-pen) pertama-tama berhadapan dengan wewenang para dosen dan lembaga-lembaga
universitas yang paling tidak dalam bidang ilmu sosialnya tidak berhubungan dengan realitas. Pelajaran
yang mereka peroleh tidak memberikan analisa ilmiah yang obyektif tentang apa yang sedang terjadi di
dunia atau negara-negara barat lainya. Tantangan terhadap wewenang akademis dari lembaga inilah yang
kemudian cepat bergeser menjadi tantangan terhadap isi pendidikan. 13

10
Gerakan Mahasiswa Revolusioner: Teori dan Pratek, Ernest Mandels
11
Makna proletariat disini bukan makna sesungguhnya. Makna proletariat sesuguhnya adalah suatu kelas yang tidak memiliki
alat produksi, menghasilkan nilai lebih dan tidak bisa mengakumulasi modal. Proletariat yang dimaksud disini adalah
keterasingan mahasiswa dengan apa yang ada di universitas, seperti halnya kaum buruh yang “terasing” dengan proses produksi
yang ada di pabrik
12
Gerakan Mahasiswa Revolusioner: Teori dan Pratek, Ernest Mandels
13
Ibid

3
Hal ini kemudian diperparah oleh situasi kehidupan mahasiswa yang makin memburuk, baik akibat
dikuranginya subsidi pendidikan, dikuranginya beasiswa, ataupun akibat orang tua mereka yang
semakin melemah ekonominya akibat krisis yang ada. Banyaknya subsidi bagi sektor pendidikan
dianggap tidak efisien. Banyak anggaran negara yang harus dikuluarkan untuk kebutuhan ini, itulah
alasannya. Pendidikan kemudian dikomersialkan, mahasiswa harus memenuhi kebutuhannya sendiri –
baik untuk pemenuhan literatur-literatur, penelitian ilmiah – dengan membayar mahal biaya
pendidikan. Akibatnya banyak mahasiswa yang harus berhenti kuliah, hanya mahasiswa kaya yang
mampu melanjutkan kuliah. Ada baiknya kita melihat keadaan mahasiswa di Rusia awal abad 20:

Pada tahun ajaran 1899/1900, 5,3% dari mahasiswa di universitas Moskow nyaris tidak dapat
melanjutkan kuliahnya. Pada tahun 1901 jumlah siswa yang sangat membutuhkan bantuan
keuangan melonjak di Universitas Moskow; 62,27% di Jurusan Filologi, 50,21% di Jurusan
Matematika, dan 60,73% di Jurusan Kedokteran. Jumlah siswa yang butuh bantuan keuwangan
sangat melonjak di kedokteran hewan, institut pertanian, sekolah guru dan sekolah asisten
dosen….

…. Sementara pemerintah secara reguler selalu menaikkan bayaran sekolah. Cara ini telah
membuat terdepaknya para mahasiswa yang tidak kaya dari universitas. Dari periode 1887
hingga 1898 uang bayaran meningkat dari 10 rubel menjadi 50 rubel. Pada masa revolusi (gagal-
pen) 1905 uang bayaran telah mencapai 100 rubel pertahun.

Setiap tahun uang dana beasiswa terus dikurangi. Pada tahun 1899 hanya 6,1% siswa di Universitas Kazan
menerima beasiswa. Pada tahun 1904 jumlahnya semakin menurun mencapai 4,3%. Seringkali dalam
mendistribusikan beasiswa para birokrat pendidikan tinggi lebih menekankan pada loyalitas politik
ketimbang kondisi material .14

Dari gambaran-gambaran diatas, jelaslah kapitalisme telah melahirkan “anak” yang salah urus sehingga
melawan “orang tuanya sendiri”. Sistem pendidikan kapitalisme ternyata telah memelihara “harimau”
yang akan menerkam dan membinasakan sistem yang telah membesarkan.

II. Perlawanan Mahasiswa : Dari Kampus Menuju “Jalan Raya”


Antara Gerakan Moral dan Gerakan Politik

Apa bila kita telusuri, perlawanan-perlawanan memang berasal dari dalam kampus, dari persoalan-
persoalan interen kampus. Segala kebijaksanaan yang mencoba mengekang aktivitas mahasiswa, terus
menerus didobrak oleh mahasiswa sendiri. Kondisi pendidikan yang tidak memadai, profesor-profesor
yang “kolot”, kurikulum-kurikulum yang tidak memenuhi harapan mahasiswa – kondisi inilah yang
pada mulanya mendorong perlawanan mahasiswa. Kita dapat melihat fakta-fakta yang ada selama ini
tentang “tahap awal” perlawanan mahasiswa yang dimulai dari dalam kampus. Kejadian ini dapat
dilihat ketika perlawanan mahasiswa di Rusia tanggal 8 Februari 1889 di Univeristas Petersburg ketika
mahasiswa mengejek rektor mereka yang reaksioner15.

Apa yang terjadi di Universitas yang ada di Italia, “pemberontakan” mahasiswa sebetulnya hanya
berasal dari persoalan yang “sepele”. Berawal dari tradisi staf pengajar yang otoriter, para profesor
hanya memberikan pelajaran sesuai yang ada dalam diktat, begitu juga materi ujian juga hanya diambil
dalam diktat16. Kurikulum yang adapun juga tidak memadai lagi, sudah ketinggalan jaman. Kondisi
inilah yang kemudian mendorong mahasiswa untuk mengadakan perlawanan. Tuntutan mahasiswa
yang pada awalnya hanya tuntutan di satu universitas menjadi meluas ke seluruh universitas yang ada
di Italia.

Kondisi Spayol dibawah pemerintahan Franco yang fasis seddang mengalami krisis – baik politik
maupun ekonomi – membawa akibat langsung pada bidang pendidikan. Biaya pendidikan yang mahal
dan minimnya subsidi mengakibatkan banyak mahasiswa yang harus droup out, 40 sampai 50 persen
mahasiswa mengundurkan diri sebelum ujian akhir17. Kondisi ini diperparah dengan tidak adanya

14
15
Membangun Kontak Mahasiswa Dengan Kelas Pekerja, diterjemahkan dari teks aslinya yang berjudul “ Establising Contacs
With the Working Class” dalam Lenin Student in Revolution, Moscow ;1982

16
Lihat Mahasiswa Bergerak, Alex Supartono, hal 23, YLBHI, 1999
17
Ibid, hal 28

4
kebebasan dari mahasiswa untuk berorganisasi, hanya ada satu organ mahasiswa yang diakui oleh
pemerintah. Kondisi inilah yang kemudian memacu mahasiswa untuk mengadakan perlawanan.
Mereka mengorganisir diri, membentuk wadah perlawanan, dimana perlawanan kemudian meluas,
tidak hanya menentang kondisi dan sistem pendidikan, tapi juga melawan rejim Franco yang fasis.

Kita beralih ke Prancis. Setelah gerakan mahasiswa mencapai puncaknya ketika memprotes invansi
imperialis ke Aljasair (1961), dapat dikatakan gerakan melemah. Ini disebabkan oleh persoalan
subyektif dari serikat mahasiswa waktu itu, UNEF (Union Nation des Etudiants de France). Hampir 7
tahun dapat dikatakan gerakan mahasiswa di Prancis mengalami titik jenuh, baru memasuki tahun 1968
gerakan menguat, bukan karena situasi politik tapi karena situasi lingkungan mahasiswa sendiri.
Selama ini mahasiswa harus melawan disiplin asrama yang kolot, mahasiswa laki-laki dilarang datang
ke asrama perempuan, propaganda politik dilarang, dapat dikatakan asrama seperti halnya penjara.
Inilah gambaranya:

… Di tahun 1968, 72% mahasiswi dan 58% mahasiswa tinggal di asrama. Peraturan disiplin di Asrama
sangat represif dan kuno;pertemuan dan propaganda politik dilarang dan mahasiswa tidak diijinkan masuk
ke asrama mahasiswi. Mereka dilarang mendekorasi kamar dan menancapkan apapun di dinding;
dibanyak asrama mereka hanya boleh menerima tamu diruang tamu… 18

Kondisi seperti diatas yang kemudian memancing mahasiswa yang sebelumnya “tertidur” untuk
bangkit kembali. Kampaye anti peraturan yang kolot kemudian dilancarkan oleh mahasiswa di
beberapa universitas. Aksi-aksi mahasiswa mulai bermunculan lagi, kondisi ini kian memanas dengan
adanya kondisi universitas yang makin tidak memadai; beasiswa yang tidak mencukupi, fasilitas
pendidikan yang minim, tidak ada café, bioskop, diskotik.

Begitu juga dengan perlawanan mahasiswa di Korea Selatan. Awalnya perlawanan mahasiswa di
Korea Selatan adalah adanya pengekangan terhadap kehidupan mahasiswa di universitas mereka
berada. Gerakan ini dimulai dengan adanya, pertama kebijaksanaan otonomi kampus dalam artian
kampus adalah lembaga akademis yang harus terbebaskan dari kepentingan politik diluar dunia
akademis seperti politik praktis, organisasi massa, parpol, juga organisasi buruh dan tani. Kedua,
adanya kebijaksanaan wajib militer. Kebijaksanaan ini bertujuan sebagai alat cuci ideologi bagi negara
dan menanamkan nasionalisme sempit.

Ketiga, tidak diakuinya organisasi kampus selain Dewan Perwakilan Mahasiswa yang dibentuk oleh
universitas. Di dalam suatu universitas hanya ada satu organ mahasiswa yang diakui yang tentu saja
telah dikooptasi peran dan keberadaannya. Keempat, dibentuknya Komite Disiplin Akademis. Komite
ini dibuat dengan kuasa penuh untuk memberikan sanksi-sanksi disiplin pada mahasiswa, dosen dan
profesor yang memberikan dukungan terhadap gerakan demokratis. Aktivis mahasiswa diancam
dengan droup out dan skorsing. Akibat adanya komite ini, sekitar 1.600 mahasiswa dipecat dari
universitas, puluhan lainya dipenjara dengan masa hukuman 1-10 tahun.

Hal serupa juga terjadi di Indonesia awal-awal tahun 90-an. Kebijaksanaan NKK/BKK --yang
diterapkan pada akhir tahun 78-an untuk “mematikan perlawanan” mahasiswa --mulai dipertayakan.
Mahasiswa mulai menuntut otonomi kampus, dihapuskanya depolitasasi kampus, diberikanya
kebebasan untuk mendirikan lembaga-lembaga mahasiswa alternatif. Memang berbeda strategi yang
diterapkan gerakan mahasiswa Indonesia dengan strategi gerakan di negara-negara lain. Gerakan
mahasiswa Indonesia mengambil strategi “melingkar” ,untuk membuka ruang yang tertutup rapat di
universitas, mahasiswa melakukan aksi-aksi advokasi. Maka kasus-kasus Kedung Ombo, Kaca Piring,
Belanguan, diangkat oleh gerakan mahasiswa.

Memang dalam satu sisi strategi “melingkar” ini menguntungkan karena langsung menohok isyu-isyu
politik, akan tetapi juga membawa akibat lain. Aktivis-aktivis yang mempunyai kesadaran politis ini
tetap minoritas jumlahnya, sementara mayoritas mahasiswa di dalam “penjara” universitas tidak
mempunyai kesadaran politis, kesadaran ‘ekonomispun” jumlahnya masih amat terbatas jumlahnya.
“Liberalisasi” universitas yang seperti di Barat tidak terjadi di Indonesia, sehingga persoalan ini –
dimana mahasiswa apolitis, terbelakang dalam tradisi ilmiah -- sampai saat masih menjadi masalah
yang harus dipecahkan oleh gerakan mahasiswa dewasa ini.

18
Mahasiswa Bergerak, Alex Supartono, hal 42, YLBHI, 1999

5
Marilah kita melangkah lebih jauh. Gerakan mahasiswa yang berawal dari kampus tersebut bersamaan
dengan proses dialektika yang terjadi, kemudian merambah ke “jalan raya”, mengugat sistem negara
yang otoriter. Gerakan mahasiswa sadar bahwa sistem otoriter di kampus adalah akibat langsung dari
sistem negara yang juga otoriter. “Slogan” perjuangan gerakan mahasiswa harus menjadi bagian dari
gerakan demokratik yang menyeluruh melawan rejim otoriter. “Tidak mungkin ada demokrasi di
kampus sebelum masyarakat menjadi demokratis”. Ernest Mandels menuliskan:

Dalam garis besar, gerakan mahasiswa dimulai dari isyu-isyu kampus dan dengan cepat mulai bergerak
keluar batas-batas universitas. Gerakan ini mulai menanggapi masalah-masalah sosial dan politik yang
tidak langsung berhubungan dengan apa yang terjadi di dalam universitas. 19

Selanjutnya kita ambil contoh lagi apa yang terjadi di Rusia akhir abad 19 untuk memperkuat fakta-
fakta diatas, memperlihatkan perlawanan mahasiswa yang awalnya bersifat “ekonomis” menjadi
gerakan yang politis, menentang kekuasaan yang ada. Sebagai mana digambarkan oleh N Olesich dan
V Privalov:

Peristiwa dapat dimulai pada tanggal 8 Februari 1899. Pada sebuah perayaan di Universitas Petersburg
para mahasiswa mengejeki rektornya, yang selalu reaksioner, dan aksi berkembang lebih jauh menjadi
kebencian terhadap Tsar. Lalu mahasiswa memutuskan untuk mengadakan gerak jalan menuju Nevsky
Prospekt. Pemerintah memutuskan untuk menghukum mereka. Polisi secara brutal membubarkan barisan.
Beberapa hari kemudian peristiwa tersebut menjadi perhatian umum di St Petersburg dan keseluruh
negeri. Semua lembaga pendidikan di Rusia menyatakan mogok dibawah slogan kebebasan individu dan
kenbebasan bicara didalam lingkungan ilmu pengetahuan. 20

Lebih lanjut digambarkan bahwa tuntutan tersebut tidak mungkin bisa tercapai dalam sistem
pemerintahan Tsar yang otoriter:

Sementara itu pada tahun 1899, para mahasiswa tetap melangkah jauh dengan tuntutan abstrak kebebasan
individu dan hak-hak perseorangan, yang tidak mungkin di bawah otokrasi Tsar. Pada tahun 1901-1902,
slogan para mahasiswa menjadi lebih politik kongkrit dan mendalam, seperti misalnya, “gulingkan
otokrasi !” dan “kami menginginkan kebebasan bicara, dewan mahasiswa dan pers!”. Leaflet para
mahasiswa menekankan lebih jauh lagi dari tuntutan akademik pada tuntutan politik, dan pentingnya aksi
mahasiswa dengan kelas pekerja.

Meskipun dalam tujuan gerakan secara keseluruhan masih akademis dalam tahun 1901-1902, tapi gerakan
ini sudah siap mengadopsi alat-alat politik. Para mahasiswa meninggalkan rumus-rumus universitas dan
turun ke jalan, melakukan demostrasi, sebuah perjuangan politik. Dengan bekerja sama dengan kelas
pekerja dalam demostrasi, para mahasiswa, semakin sadar, dan membawanya menuju revolusi. 21

Gerakan politik mahasiswa Korea Selatan berawal dari tuntutan kebebasan berorganisasi, kebebasan
demonstrasi, mogok dan kebebasan pers, yang merupakan tuntutan demokratik gerakan di negeri itu
melawan rejim militer. Kemudian tuntutan ini berkembang menjadi tuntutan anti AS (anti
imperialisme). Gerakan mahasiswa ini semakin membesar ketika bulan juli 1989, Rim Sun Gyong
ditangkap karena menghadari Festival Pemuda dan Mahasiswa Dunia ke 13 di Pyongyang, Korea
Utara, dia kemudian dihukum 10 tahun.

Peristiwa ini telah menyulut aksi mahasiswa di seluruh Korea Selatan dan menyeret seluruh sektor
rakyat. Aksi-aksi mahasiswa kemudian berkembang lebih jauh menjadi aksi anti kekerasan militer.
Tragedi Kwangju 1980, dimana tentara membunuh para demostran, sekitar 1000 orang mahasiswa
mati. Tahun 1982 tiga mahasiswa diculik oleh Dinas Intelejen Korea, ketiganya disiksa dan dibunuh
oleh dinas intelejen tersebut. Peristiwa-peristiwa ini mulai mengubah strategi perjuangan mahasiswa,
dari aksi “damai” menuju taktik “kekerasan”. Mulai digunakan bambu, tongkat, pipa besi dan bom
molotov untuk melawan tentara.

Ternyata gerakan mahasiswa tidak hanya menggugat sistem kapitalis di negara mereka sendiri, tapi
juga menggugat sistem yang sama di negara-negara lain. Beberapa aksi dari imperialis untuk
mengkolonialisasi negara-negara lain. Ernet Mandels memberikan contoh-contoh gerakan mahasiswa
yang terjadi Kolumbia, dan negara-negara Eropa Barat,:
19
Gerakan Mahasiswa Revolusioner: Teori dan Pratek, Ernest Mandels
20
Membangun Kontak Mahasiswa Dengan Kelas Pekerja, diterjemahkan dari teks aslinya yang berjudul “ Establising Contacs
With the Working Class” dalam Lenin Student in Revolution, Moscow ;1982
21
Ibid

6
Apa yang terjadi di Kolumbia di mana masalah penindasan komunitas kulit hitam diangkat oleh sejumlah
mahasiswa pemberontak mirip dengan apa yang terjadi dalam gerakan mahasiswa Eropa Barat, paling
tidak dielemen paling maju, yang paling peka terhadap masalah-masalah yang dihadapi orang-orang
paling tertindas dalam sistem kapitalis dunia.

Mereka terlibat dalam berbagai aksi solidaritas dengan perjuangan pembebasan revolusioner di negara-
negara berkembang seperti Kuba, Vietnam dan bagian-bagian tertindas lainya dunia ketiga. Identifikasi
bagian-bagian yang paling sadar dalam gerakan mahasiswa Prancis dengan revolusi Aljasair, dan
perjuangan Aljasair dari imperialisme….. Kalangan mahasiswa yang sama kemudian akan mengambil
tempat di depan dalam perjuangan mempertahankan revolusi Vietnam melawan perang agresi
imperialisme Amerika.22

Pergeseran perlawanan mahasiswa -- dari isyu-isyu kampus ke isyu-isyu politik -- ini tidak terjadi
begitu saja. Perkembangan sistem kapitalisme baik di negara maju atau di negara dunia ketiga secara
langsung mempengaruhi hal ini. Seperti yang sudah dijelaskan diatas, alienasi mahasiswa terhadap
lingkungannya menyebabkan mahasiswa kritis terhadap sistem yang ada. Selama sistem kapitalisme
masih ada, berarti masih ada tenga kerja yang terasing, baik itu kerja manual maupun kerja intelektual.
Dan karena itu akan tetap ada mahasiswa yang terasing, berarti perlawanan mahasiswa akan tetap ada.

Setidaknya ada dua ciri pokok perlawanan mahasiswa – dari pergeseran isyu-isyu kampus ke isyu
politik – sebagai pelajaran bagi gerkan mahasiswa. Pertama, dari “menyerang” sistem otoriterian di
dalam kampus, gerakan bergeser dengan menyerang sistem kapitalisme. Ini tentunya merupakan
kesadaran maju, bahwa sistem di kampus yang “mempenjarakan” tidak akan berubah tanpa merubah
sistem negara yang menindas. Tumbuhnya kesadaran ideologis ini merupakan “kunci” bagi gerakan
mahasiswa untuk “membuka” ruang yang telah mengukung mahasiswa selama ini, “ruang” yang
menyebabkan mahasiswa terasing baik dengan lingkungan atau dirinya sendiri.

Kedua, tumbuhnya kesadaran internasionalis. Apabila kita saksikan, gerakan mahasiswa tidak hanya
memperhatikan kepentingan mereka sindiri, tapi juga memperhatikan nasib rakyat dibelahan bumi lain
yang ditindas sistem yang sama. Dapat kita saksikan aksi mahasiswa yang mendukung perjungan
rakyat Aljasair, Vietnam, mendukung perjungan kaum kulit hitam di Afrika. Ini menunjukkan
kesadaran yang lebih maju lagi, dimana gerakan mahasiswa mulai sadar bahwa perjungan mereka tidak
cukup di perjuangkan di negara dimana mereka berada, tapi harus dilakukan diseluruh dunia. Hal ini
didasari kesadaran, bahwa ternyata terjadi di dalam kampus mereka, juga terjadi di kampus-kampus
lain di negara lain, dan berarti sistem kapitalis yang menindas tidak hanya terjadi di satu negara tapi
telah meluas ke negara-negara lain. Bahwa ternyata “racun’ kapitalis telah disebarakan ke seluruh
penjuru dunia, maka “penawarnyapun” harus diberikan ke seluruh penjuru dunia pula.

Pergeseran dari isyu lokal di dalam kampus menjadi isyu politik yang kemudian menyerang sistem
kapitalis, sekaligus untuk membahas apakah gerakan mahasiswa tetap berkutat pada gerakan moral
atau melangkah ke gerakan politik. Perdebatan ini sampai saat ini tetap menghangat, baik di negara-
negara kapitalis maju maupun negara dunia ketiga seperti Indonesia.

III. Gerakan Moral VS Gerakan Politik

Ada sebagian pendukung gerakan morol garakan mahasiswa yang berperdapat, bahwa peran
mahasiswa cukup mengkrititsi dan maksimal mempelopori perubahan tapi tidak akan pernah
menuntaskan perubahan itu sendiri. Menurut pendapat ini, pada tahap “penyelesaian”, kekuatan sosial
dan politik non mahasiswa yang akan mengambil alihnya. Setelah serah tugas berlangsung, mahasiswa
kembali ke kampus untuk “belajar” kembali. Atau dalam bahasa Soe Hok Gie, mahasiswa berperan
seperti halnya “cow boy”, datang pada saat ada penjahat, setelah penjahat berhasil ditumpas sang cow
boy kembali ke tempatnya. Argumen seperti ini dapat kita lihat dalam tulisan Arbi Sanit tentang
gerakan mahasiswa:

Perlu dicatat bahwa mahasiswa memang tidak menuntaskan koreksi dan perubahan sosial itu sendiri. Juga
perlu diingat bahwa cetusan koreksi serta perubahan, dimasyarakatkan oleh mahasiswa bersama kekuatan
masyarakat lainya. Terdapat kerjasama di antara mahasiswa dan kekuatan sosial lainnya, sejak awal
mahasiswa menerima peranannya dalam suatu masalah, sampai pada penyelesainnya. Justru pada tahap
22
Gerakan Mahasiswa Revolusioner: Teori dan Pratek, Ernest Mandels

7
penyelesaiannya, kekuatan sosial dan politik non mahasiswa beserta lembaga-lembaga masyarakat yang
ada, mengambil alih dan menyelesaikan kegitan yang dirintis oleh mahasiswa tersebut.

Dalam hal proses serah tugas seperti itu telah berlangsung, mahasiswa kembali ketugas utamanya yaitu
studi dan mempersiapkan diri untuk memasuki berbagai bidang profesi. Dan berkenaan dengan posisi
serta perannya sebagai bagian kaum intelektual, mahasiswa kembali kekegiatan analisa dalam rangka
memahami kelanjutan proses kehidupan dan menentukan sikap terhadap proses tersebut. 23

Sementara pendapat yang menyatakan bahwa gerakan mahasiswa tidak cukup hanya dengan gerakan
“moral fosce” harus menjadi gerakan “political fosce”, beragumentasi bahwa mahasiswa tidak hanya
cukup mengkritisi dan mempelopori perubahan, tapi juga harus bereperan aktif untuk menuntaskanya.
Tujuan apa? Dengan berperan aktif dalam penuntasan perubahan akan dapat “mengawal” perubahan
itu sendiri, sehinga segala idelaisme yang ada dapat diwujudkan. Karena bagaimanapun antara
kesadaran mahasiswa dan massa rakyat tetaplah berbeda, harus diakui bahwa kesadaran mahasiswa
lebih maju sehingga inisiatif-inisiatif bagi perubahan dan kemenangan yang telah direbut tetaplah
diperlukan. Dan bahkan mahasiswa perlu “mencerdaskan” sektor rakyat lainya dengan memberikan
pendidikan ideologi, politik, organisasi, taktik dan strategi perjuangan.

Sebetulnya perdebatan ini akan berakhir ketika kita berangkat dari analisa apa itu negara dimana kita
berada saat ini? Negara inilah yang nota bene membentuk satu sistem yang ada saat ini. Dengan analisa
ini diharapkan kita tahu apa yang harus kita kerjakan, apakah perjuangan cukup dengan perjuangan
moral atau harus dengan perjuangan politik?!

Negara memang telah berkembang dari bentuk yang paling sederhana sampai yang modern sampai saat
ini, dan perkembangan ini akan terus berlanjut. Pada tahap awal perkembangan manusia, negara
tidaklah dikenal. Segala fungsi kerja dalam kehidupan sosial dijalankan secara kolektif oleh seluruh
anggota masyarakat. Tentang hal ini kita bisa mengambil contoh yang terjadi pada suku Bushmen (suku
Afrika yang tinggal dibelukar):

Sehubungan dengan Bushmen (suku Afrika yang tinggal di belukar, pentj.), Pastur Viktor Ellenberger
menuliskan suku ini tidak mengenal kepemilikan pribadi ataupun pengadilan-pengadilan, ataupun otoritas
sentral dan lembaga khusus seperti itu. (La fin tragique des Bushmen, hal 70-73; Paris, Amiot-
Dumont,1953). Pengarang lain menulis tentang suku yang sama: “Gerombolan, bukan sukunya, adalah
lembaga politik yang sebenarnya pada suku Bushmen. Setiap gerombolan memiliki otonomi, menjalankan
hidupnya mandiri dari yang lain. Segala urusannya adalah hukum yang diatur oleh pemburu terlatih dan
orang tua, orang yang lebih berpengalaman secara umum.” (I. Shapera, The Khoisan Peoples of South
Africa, hal 76, George Routledge and Sons, Ltd., 1930.).24

Hal serupa juga kita lihat dalam masyarakat Mesopotamia kuno, dimana fungsi aktif dan pasif
dijalankan secara kolektif rejim klan totem:

Hal yang sama juga terjadi pada rakyat Mesir dan Mesopotamia kuno: “Saat itu keluarga patriarkis dengan
otoritas paternal tidak lebih matang daripada pengelompokkan politik tersentral… Kewajiban aktif dan
pasif dilakukan secara kolektif dalam rejim klan totem. Kekuasaan dan tanggung jawab dalam masyarakat
ini masih memiliki ciri yang tak dapat dipisahkan. Di sini kita melihat masyarakat komunal dan egaliter,
partisipasi dalam totem yang sama, esensi utama dan dasar dari setiap individu untuk menyatukan
semuanya, menempatkan semua anggota klan pada dasar yang sama.” (A. Moret dan G. Davy, Des Clans
aux Empires, hal 17, La Renaissance du Livre, 1923.). 25

Kemudian dalam perkembanganya, kerja sosial berkembang dan masyarakat terbagi menjadi kelas-
kelas. Saat itulah negara pertama kali muncul, ketika terjadi pembagian kerja dalam kehidupan sosial
masyarakat. Dengan terbentuknya negara, sejumlah kecil minoritas dari masyarakat mengambil alih
peran sosial yang ada. Perkembangan ini makin lama makin rumit sejalan dengan corak perkembangan
masyarakat. Dalam sistem kapitalisme seperti saat ini, negara tidak lebih adalah alat kontrol dari
pemilik modal (borjuasi) terhadap kelas-kelas lain. Karena merupakan alat kontrol, maka dibentuklah
intitusi-intusi seperti birokrasi, tentara, parlemen, lembaga peradilan, yang semuaanya dipilih dari kelas
mereka, dapat dikatakan semua lembaga yang ada sudah dikuasai kaum borjuasi.

23
Mahasiswa, Kekuasaan dan Bangsa, Arbi Sanit, Lingkaran Studi Indonesia, hal. 9
24
Teori Negara Marxis, Ernest Mandels, diterjemahkan dari tulisan asli berbahasa Inggris
25
Ibid

8
Jika kita sedikit memikirkan masalah itu tersebut, kita lihat semua orang yang menjalankan peran negara,
semua orang yang menjadi bagian aparatur negara, adalah – bagaimanapun juga – anjing penjaga. Polisi
khusus dan polisi biasa adalah anjing penjaga, tetapi begitu juga dengan pengumpul pajak, hakim, pesuruh
dalam kantor pemerintahan, kernet bus kota, dan lain-lain. Secara garis besar, semua peran dari negara
dapat disimpulkan menjadi: pengawasan dan pengontrolan kehidupan masyarakat demi kepentingan kelas
penguasa.26

Dengan kondisi seperti ini, apa bila kita hubungan dengan perjuangan mahasiswa, dengan perjuangan
yang bersifat “moralis”, menyerukan kepada borjuasi yang telah mendominasi segala sektor yang ada
akan menjadi absurd belaka. Karena apa? Secara “naluriah” borjuasi akan tetap mempertahankan
keistimewaan yang telah mereka peroleh, mereka akan tetap mempertahankan posisi kelas mereka agar
tetap bisa mengontrol semua sendi-sendi kehidupan dalam masyarakat.

Kalaupun para borjuasi terdesak misalnya dengan tuntutan-tuntutan mahasiswa, perubahan yang ada
akan hanya bersifat reformis belaka. Bagaimanapun juga hanya perubahan sistem yang akan dapat
mengubah “wajah” negara yang menindas saat ini. Dan ini tentunya harus diperjuangkan secara politik,
tidak cukup dengan tuntutan politis tapi diperjuangkan secara moral.

Tujuan gerakan politik adalah jelas, mengganti sistem yang terbukti menindas untuk kemudian
digantikan sistem lain. Target perjuangan politik adalah kekuasaan, mengambil alih kontrol negara
yang selama ini dipegang penindas. Sedangkan perjungan moral hanyalah meminta “belas kasihan”
dari kekuasaan yang menindas agar sadar dengan apa yang dilakukan.

IV
Sejarah Gerakan Mahasiswa Indonesia:
Gerakan Mahasiswa, Kelahirannya Di Tengah Sistem Kapitalisme Yang Cacat

I.1. Tumbuhnya Organisasi-organisasi Modern di Indonesia.


Setelah patahnya dominasi VOC27 yang datang ke Nusantara dibawah pimpinan Jan P. Coen,
kekuasaan kolonial Belanda diambil alih oleh pemerintah Belanda. Adalah Deandels--seorang
penggagum Nopeloen yang menjajah negerinya—kemudian diangkat menjadi Gubernur Jendral di
Hindia Belanda, dan kemudian membuat terpaan pertama dengan membangun “Jalan Raya Pos” dari
Anyer –di ujung Barat pulau Jawa—sampai Panarukan—di ujung Timur P. Jawa—dengan tumbal
tetetasan darah rakyat Nusantara yang membasuhi setiap incin jalan tersebut. Sejak “Jalan Raya Pos”
membentang dengan kokoh laksana ular yang menjulur, P. Jawa telah disatukan dalam kekuasaan
ekonomi-politik pemerintah Belanda. Sejak saat inilah, berbarengan dengan kemenangan kaum
borjuasi di Prancis, corak produksi kapitalisme mulai dirintis, KAPITALISME CANGKOKAN !
BUKAN KAPITALISME YANG DILAHIRKAN OLEH BORJUASI NUSANTARA SENDIRI,
TETAPI KAPITALISME YANG DIHASILKAN DARI PERSETUBUAN KOLONIALISME YANG
MENGHISAP DENGAN FEODALISME YANG TELAH MEMBUSUK, SEHINGGA LAHIR
MENJADI KAPITALISME YANG CACAT, BAHKAN SUDAH CACAT SEJAK DALAM
KANDUNGANNYA.
Kapitalisme ini membutuhkan selain tenaga-tenaga rakyat yang dihisap, juga tenega-tenaga ahli
untuk memaksimalkan penindasan mereka agar mereka bisa meneguk kekayaan alam sampai dasar-
dasarnya. Maka kemudian dibangunlah sekolah-sekolah yang akan menjadi sekrup-sekrup dari sistem
kapitalisme. Sekolah Militer yang mereka bangun di Semarang pada tahun 1819—Belanda
membutuhkan militer untuk alat meninadas—baru kemudian dibuka sekolah-sekolah umum seperti
Sekolah Tinggi Leiden (1826), Institut Bahasa Jawa Surakarta (1832), Sekolah Pegawai Hindia-
Belanda di Delft (1842), Sekolah Guru Bumiputra di Surakarta (1852).28Sekolah-sekolah ini jelas-jelas
dibuka untuk tangan-tangan pemerintah kolonial Belanda di Hindia Belanda, dan sekolah-sekolah ini
tentu saja hanya diperuntukkan bagi anak-anak Belanda dan pegawai Tinggi Pribumi. Selain membuka
sekolah-sekolah tinggi, di Hindia mulai dibangun sekolah dasar—tetapi sekali lagi khusus untuk
26
Teori Negara Marxis, Ernest Mandels, diterjemahkan dari tulisan asli berbahasa Inggris
27
VOC merupakan persekutuan antara pedangan-pedang Belanda yang berasal dari 17 Propinsi yang ada di Belanda.
28
Parakitri T Simbolon, Menjadi Indonesia, Penerbit Kompas, Jakarta, Hal.185.

9
golongan Belanda—dengan membuka sekolah dasar yang sekuler di Weltervreden pada 24 Februari
1817.29 Dan baru 1871—bersamaan dengan liberalisme di Hindia Belanda—dikeluarkan UU
Pendidikan pertama, pendidikan dan pengajaran semakin diarahkan bagi kepentingan Bumiputra.30
Seiring dengan pekembangan liberalisme di Hindia Belanda—yang ditandai dengan disahkan
UU Pokok Agraria yang memberikan keleluasaan kepada modal swasta Belanda masuk ke Hindia
Belanda—mau tidak mau pendidikan menjadi salah satu factor penting dalam pembangunan sistem
kapitalisme. Dengan kedok Politik Etis, dibukalah sekolah-sekolah dasar sampai sekolah tinggi bagi
pribumi yang tujuan pokoknya adalah sebagai tenaga-tenaga bagi industrailisasi modal-modal swasta
Belanda di tanah jajahan. Ini seiring dengan prinsip liberalisme dimana koloni bukan hanya sebagai
penghasil produk-produk yang menguntungkan seperti kopi, teh, gula, tembakau, tetapi juga sumber
suplai bahan mentah seperi baja, minyak, batu bara, dll bagi industrialisasi di Belanda. 31 Sumber-
sumber bahan mentah tersebut sebagian besar ada diluar Jawa sehingga banyak membutuhkan tenaga-
tenaga kerja baru, maka bergandenganlah program politik etis—edukasi, irigrasi dan emigrasi—untuk
mengekploitasi sumber bahan mentah tersebut.
Dibuknya sekolah-sekolah tersebut memberikan pengaruh bagai kesadaran kebangsaan bangsa
Indonesia. Ilmu pengetahuan dari Utara yang rasional berpadu dengan pengalaman-pengalaman bangsa
lain yang sedang bergolak di Selatan dalam memperjungkan demokratisasi—khususnya di Tiongkok—
telah membuka sel-sel otak bangsa pribumi tentang arti nasionalisme. Ditengah situasi seperti inilah,
gerakan mahasiswa di Indonesia mulai tumbuh. Adalah Tirto Adisuryo Sang Pemula itu, setelah jebol
dari Stovia—sekolah kedokteran pada masa Belanda—merintis organisasi modern pertama bagi
pribumi yaitu Sarekat Prijaji (1905). Organisasi ini memang didasari semangat kebangsaan, tetapi salah
menentukan materi sebagai unsur perubahannya yaitu kaum priyanyi. Golongan priyanyi ini
merupakan golongan yang beku, yang hanya mengharapkan kedudukan dari gubermen, impian-impian
mereka hanya sebatas pada kenaikan gaji dan kenaikan pangkat32, yang dunia pikirannya berlindung di
bawah kewibawaan gubermen33, tanpa kewibawan, mereka tidak ada artinya 34. Sehingga ketika mereka
diharapkan sebagai pelopran perubahan dalam melawan kolonialisme, kegagalanlah yang terjadi karena
kebekuan mereka35. Sedangkan sifatnya yang paling progresif adalah gonta-ganti istri, sebelum kawin
‘sesungguhnya’, sebagai latihan, para priyanyi-prinyanyi ini melakukan ‘gladi bersih’ dengan menikahi
perempuan dari keturunan orang kebanyakan.36 Kegagalan ini kemudian diulangi oleh Boedi Oetomo
(1908)—yang dalam sejarah resmi dianggap sebagai organisasi modern yang pertama-- yang juga
didirikan oleh mahasisa-masiswa Stovia—dipelopori oleh Soetomo. Boedi Oetomo juga mendasarkan
materi yang membangunnya kaum prinyayi, walaupun dapat bertahan hidup sampai tahun 1920 tetapi
tumbuh menjadi organisasi yang lumpuh dan kerdil dalam cita-cita nasionalisme.
Setelah dua organisasi di atas, mulai menjamurlah organisasi-organisasi modern di Indonesia.
Serekat Prijaji setelah bubar berubah menjadi Serikat Dagang Islamiah (SDI) dengan basis utamnya
kaum pedagang—yang kemudian berkembang menjadi SI dan dalam perkembangan selanjutnya
sebagai embrio dari PKI. Sementara itu, di Bandung pada 6 September 1912 dua mahasiswa lulusan
Stovia, Tjipto Mangoenkoesoemo dan Soewardi Soerjaningrat serta seorang Indo, E.F.E. Douwes
Dekker, mendirikan Partai Hindia atau Indishe Partij (IP).37 Maka semakin maraklah organisasi-
organisasi kebangsaan yang dipelopori oleh mahasiswa. Tidak ketinggal, mahasiswa-mahasiswa
Indonesia di negeri Belanda antara bulan Januari-Pebruari 1925 didirikan organisasi yaitu Perhimpunan
Indonesia (PI)—oragnisasi ini merupakan kelanjutan dari Indsche Vereeniging 38. PI sangat dipengaruhi
oleh ideologi marxisme yang sedang naik daun di Eropa dan juga banyak melakukan diskusi-diskusi
dengan tokoh-tokoh komunis Indonesia seperti Semaun. 39 Dalam program perjuangannya, PI
menyatakan:
1. Hanya suatu kesatuan Indonesia yang mengesampingkan perbedaan-perbedaan
sempit dapat menghancurkan kekuasaan penjajah. Tujuan bersama untuk
membentuk suatu Indonesia yang merdeka menuntut pembinaan tasa
kebangsaan yang didasarkan kepada suatu aksi-massa yang sadar dan percaya
diri.
29
ibid.hal.188
30
ibid.hal.186.
31
W.F Wertheim, Masyarakat Indonesia Dalam Transisi Studi Perubahan Sosial, Tiara Wacana, Yogyakarta, hlm.71.
32
Pramodya Ananta Toer, Rumah Kaca, Hasta Mitra, Jakarta, hal.264
33
ibid, hal.300
34
Pramodya Ananta Toer, Nyayi Sunyi Seorang Bisu, Hasta Mitra, Jakarta, hal. 169
35
op.cit.hal. 274
36
Pramodya Ananta Toer, Gadis Pantai, Hasta Mitra, Jakarta, hal.62.
37
Parakitri T Simbolon, Menjadi Indonesia, Penerbit Kompas, Jakarta, hal 246-7.
38
John Ingleson, Jalan Ke Pengasingan, Pergerakan Nasionalis Indonesia Tahun 1927-1938, LP3S, Jalarta, hal. 2.
39
Harry A. Poeze, Tan Malaka, Pergulatan Menuju Republik, Grafiti, Jakarta. Hal. 368.

10
2. Syarat mutlak untuk mencapai tujuan itu ialah adanya partisipasi seluruh lapisan
rakyat Indonesia dalam suatu perjuangan yang terpadu untuk mencapai
kemerdekaan.
3. Unsur yang pokok dan dominan dalam setiap masalah politik dan penjajahan
ialah konflik kepentingan antara penguasa dan yang dijajah. Kecenderungan
pihak penguasa untuk mengaburkan dan menutupi masalah ini harus dilawan
dengan mempertajam dan mempertegas konflik kepentingan tersebut.
4. melihat adanya dislokasi dan demoralisasi sebagai akibat pengaruh pemerintah
kolonial terhadap kesehatan fisis dan psikologis dari kehidupan orang Indonesia,
diperlukan sujumplah besar usaha untuk memulihkan kondisi rohani dan
kondisi material menjadi normal.40
Selain organisasi-organisasi ini, di Indonesia juga berkembang study-study club misalnya yang
terdapat di Surabaya dan di Bandung. Study Club yang ada di Bandung kemudian berkembang menjadi
Partai Nasionalis Indonesia (PNI) yang dipimpin oleh Soekarno.
Apabila kita amati, oraganisasi-organisasi yang dipelopori oleh mahasiswa di atas condong
kepada ideology kebangsaan. Kerangka organisasi yang dibuat oleh gerakan mahasiswa ketika itu tidak
semata-mata hanya melibatkan mahasiswa, tetapi berusaha melibatkan massa rakyat secara luas untuk
kepentingan kemerdekaan, bahkan sudah sampai pada pendirian partai politik. Dalam kerangka
gerakan, konsep yang dibangun oleh mahasiswa-masiswa ketika itu untuk membangun format gerakan
adalah tepat, bahwa tulang punggung dari gerakan adalah massa rakyat yang terlibat aktif dalam
organisasi modern. Sikap sektarian, dalam artian hanya melibatkan mahasiswa dalam gerakan
pembebasan nasional tidak terjadi, tetapi yang tumbuh adalah sikap kebangsaan untuk mencapai
Indonesia Merdeka.
Kemudian tentang metode, gerakan yang dipelopori oleh mahasiswa yang muncul sebelum
revolusi nasional adalah melalui rapat-rapat akbar (vergadering) yang dilakukan dipangan terbuka.
Metode ini melibatkan mobilisasi rakyat yang besar untuk kemudian mendengarkan pidato-pidato
politik. Rakyat dari seluruh penjuru yang masih bisa terjangkau dalam vergadering dimobilisasi,
sehingga acara-acara seperti ini selalu ramai dikunjungi oleh banyak orang. Veragadering ternyata
sangat efektif bagi pendidikan politik kepada rakyat, karena dalam setiap pidato-pidatonya, orator-
orator selalu menjelaskan kepada Indonesia terjajah. Selain itu, rakayat dari berbagai golongan—
petani, buruh, pegawai rendahan, dll—bisa berbaur sehingga mereka menyadari bahwa penindasan
yang dilakukan oleh penjajah menimpa banyak golongan sehingga hal ini akan menumbuhkan
semangat keberanian dan kebersamaan—embrio dari semangat persatuan.

I.2. Pers Sebagai Alat Perjuangan


Setiap perjuangan tentu membutuhkan senjata politiknya. Apa senjata itu? Dalam gelombang
nasionalisme abad ke 19, senjata politik dari gerakan kebangsaan adalah Surat Kabar. Bahasa yang
digunakan dalam surat kabar pribuni adalah bahasa Melayu Rendah. Bahasai ini, apabila kita telusuri
pada awalnya merupakan bahasa penghubung, baik antara golongan Tionghoa dengan masyarakat luas
maupun dengan sesama golongan Tionghoa sendiri—ini terjadi karena golongan Tionghoa yang ada di
Indonesia berasal dari macam-macam suku Tiongkok, antara satu dengan lainya mempunyai bahasa
yang berbeda41 (Pramoedya.1999:202)
Perkembangan selanjutnya menunjukkan bahwa bahasa Melayu Tionghoa – pemerintah
kolonial Belanda sering menyebutnya bahasa Melayu Rendah—kemudian banyak digunakan wartawan
dan pemgarang pribumi. Banyak penulis yang nasionalis dan beridologi kiri menggunakan bahasa
Melayau Tionghoa—Pram menyebutnya bahasa kerja –antara lain Raden Mas Tirto Adhi Soerjo, Mas
Marco, Semaun, yang mana buah karya mereka ini tidak disenangi oleh pemerinatah kolonial Belanda
yang mengunakan bahasa Melayu Tinggi.42
Surat kabar pribumi yang pertama kali mengunakan bahasa Melayu Rendah adalah Medan
Prijaji (1907) yang dirintis oleh Raden Mas Tirto Adhi Soerjo. Surat kabar ini pada awalnya mingguan
dan kemudian berkembang menjadi surat kabar harian dengan berita-berita utama menyangkut
persoalan rakyat yang ditindas oleh penguasa kolonial. Dalam perkembangan selanjutnya, masing-
masing organisasi politik yang berkembang ketika itu mempunyai surat kabar sendiri-sendiri. Partai
Komunis Indonesia mempunyai jumlah surat kabar terbanyak, baik di Jawa, Semarang, Surabaya,
Surakarta, Batavia, Pekalongan maupun yang terbit di luar Jawa seperti di Padang Panjang, Bukit

40
Op.cit, hal.6-7.
41
Pramoedya Ananta Toer, Hoakiau di Indonesia, Garba Budaya, Jakarta, hal. 202
42
Leo Suryadinata, Prisma, hal. 48

11
Tinggi, Medan, Makasar, Pontianak dan Ternate. Organisasi lain seperti Perhimpunan Indonesia juga
mempunyai surat kabar sendiri yaitu Indonesia Merdeka, sedangkan Serikat Islam dengan surat
kabarnya Sinar Djawa, Indische Partij dengan terbitannya De Express dan Het Tijdscrift.
Bagaimana bahasa mereka dalam mengugah semangat kebangsaan dapat kita lihat sebagai
berikut. Dalam memberikan semangat kepada rakyat Indonesia, Marco menulis dalam Sinar Djawa
edisi Kamis, 11 April 1918 No. 82, dengan judul Djangan Takoet sebagi berikut:

--------------------------------------------------------------------------------------------------------

Sekarang kami hendak membitjarakan tentang peperangan soeara ditanah kita Hindia jang
seperti djemeroetini. Apakah peperangan mentjari makan di Hindia sini achirnja djoega
seperti peperangan mentjari makan di Zuid Afrika? Inilah misih djadi pertanjaan jang tidak
moedah didjawab! Kami tahoe ada djoega bangsa kita anak Hindia jang lebih soeka
memehak kaoem oeang dari pada memehak bangsanja jang soedah tertindas setengah mati,
maar … djangan poetoes pengharapan pembatja! Disini ada banjak sekali anak-anak moeda
jang berani membela kepada rajat, dan kalau perloe sampe berbatas jang penghabisan. Dari
itoe kita orang tidak oesah takoet dengan bangsa kita makhloek jang lidahnja pandjang, lidah
mana jang hanja, perloe diboeat mendjilat makanan jang tidak banjak, dan dia bekerdja
diboeat masin melawan bangsanja sensiri jang ini waktoe masih djadi indjak-indjakan.
Bangsa apakah orang sematjam ini?! Itoelah toean pembatja bisa kasih nama sendiri!
Sekarang ada lagi pertanjaan, jaitoe tidak saban orang bisa mendjawab itoe pertanjaan:
Apakah di Hindia sini ada soerat kabar jang dibantoe oleh kaoem oeang, soepaja itoe soerat
kabar bisa melawan soerat kabarnja rajat? Ada! Tetapi nama soerat kabar itoe pembatja bisa
mentjari sendiri.

Dari itoe saudara-saudara dan sekalian pembatja, soenggoehpoen berat sekali kita
bertandingan boeat menghela bangsa kita jang amat tertindas, sebab ketjoeali kita mesti
berani bertanding dengan kaoem oeang, dengan bangsa kita sendiri jang lidahnja pandjang.
Djadi sesoenggoehnja pada ini waktoe kita orang tidak bisa tjoema memegangi kebangsa'an
(nationalisme sadja, sebab bangsa kita masih ada jang djadi berkakas, melawan kepad kita
sendiri. Djadi seharoesnja kita djoega mesti mempoenjai hati kemanoesia'an (socialisme).
Ingatlah siapa jang menindas kita? …………….. tetapi ………………

Lain dari itoe, kita memberi ingat kepada saudara-saudara, djanganlah soeka membatja
sembarang soerat kabar, pilihlah soerat kabar jang betoel-betoel memihak kepada
kamoeorang, tetapi jang tidak memihak kepada kaoem oeang Sebab kalau tidak begitoe,
soedah boleh ditentoekan, achirnja kita orang Hindia tentoe akan terdjeroemoes di dalam
lobang kesengsara'an jang amat hina sekali.

Achir kalam, kami berkata; NGANDEL, KENDEL, BANDEL, itoelah gambar hatinja
manoesia jang tidak memandjangkan lidahnja, tetapi menoendjoekkan giginja jang amat
tadjam, dan kalau perloe ………43

Selain untuk membangkitkan semangat, surat kabar pergerakan juga berusaha meblejeti sistem kapitalisme yang
ada di Indonesia. Sebagai contoh dapat kita lihat isi surat kabar berikut ini:

-------------------------------

Tjaranja pabrik goela hendak menjewa sawah orang-orang desa itoe jang soedah kedjadian
lantaran dari politie desa: Loerah, Tjarik enz, enz, djadi pabrik tidak oesah rewel-rewel
masoek keloear di romah-romah orang desa jang sawahnja hendak disewa pabrik. Apakah
perkara ini soedah mestinja penggawai desa atau Goepermen: Asistent Wedono Wedono dan
Regent mesti menoeloeng kaperloean pabrik boeat mentjari tanah jang akan ditanami teboe?
Kaloek menoeroet adilnja, seharoesnja pabrik mesti datang di romah masing-masing orang
desa dan lain-lainnja sama sekali tidak boleh toeroet tjampoer tentang perkara sewa menjewa
itoe soedah kedjadian dan hendak teeken perdjandjian. Banjak orang-orang desa bilangan
pabrik Tjepiring dan Gemoeh afdeling Kendal, Semarang, bahwa marika itoe merasa terlaloe
menesal sekali, karena sawahnja disewa oleh pabrik, sebab oeang sewaan tanahnja dari
pabrik, itoe lebih sedikit dari pada hasil kalau itoe tanahnja dikerdjakan sendiri. Apakah
sebabnja itoe pabrik bisa menjewa tanah orang desa dengan harga moerah sekali? Tida lalu
tentoe dari roepa-roepa akal jang tidak baik boeat orang desa itoe, tetapi baik boeat loerahnja
43
Marco, Djangan Takoet, Sinar Djawa, Kamis, 11 April 1918 No. 82

12
enz enz. Begitoe orang memberi kabar kepada kami. Kalau kabar itoe njata, kami berseroe
kepada pemerentah haroes menjelidiki, apakah prijaji-prijaji dan loerah jang memegang
peperentahan dipabrik sitoe tidak terima presen dari pabrik, soedah tentoe akalnja pabrik
menjewa tanah orang-orang desa dengan lakoe jang tidak baik. Hal ini kami telah mendapat
keterangan dari beberapa orang desa jang sawahnja disewa pabrik. Dibawah ini kami bisa
kasih keterangan dengan pendek, soepaja djadi timbangan sekalian orang jang sehat
pikirannja: "Sebahoe sawah oleh pabrik tidak lebih f66,- (enam poeloeh enam roepiah)
didalam 18 boelan, jaitoe seoemoernja teboe; sawah sebahoe kalau ditanami padi bisa tiga
dalam 18 boelan, dan itoe padi kalau didjoeal tidak koerang dari f300 (tiga ratoes roepiah),
djadi tiap-tiap sebahoe sawah jang disewa pabrik, orang desa roegi f234,- (doea ratoes tiga
poeloeh empat roepiah). Tjobalah pembatja pikir sendiri boekankah soedah terang sekali
kalau menoeroet keterangan di atas itoe, semoea orang desa jang sawahnja disewakan pabrik
tjoema f66,- (enam poeloeh enam roepiah) sebahoe dalam 18 boelan lamanja, dia orang
mendapat keroegian f234,- (doea ratoes tiga poeloeh empat roepiah). Lagi poela semoea
sawah jang loeas ditanami teboe itoe tidak bisa baik lagi ditanami padi. Kalau menilik hal
itoe terang sekali orang-orang desa jang sawahnja disewakan pabrik itoe tentoe dengan
akalan jang tidak baik, sebab kalau tidak begitoe, kami berani berkata, tentoe orang desa
tidak nanti sawahnja boleh disewa pabrik teboe.

Apakah tidak lebih baik pemerentah menentoekan harga tanah jang sama disewa pabrik
teboe, misalnja: pabrik tidak bolih menjewa tanah orang desa korang dari f.200,- sebahoe
didalam 18 boelan. Kalau hal ini dilakoekan, tentoe bangsa kita orang desa tida bakal
sengsara lantaran adanja pabrik-pabrik goela.

Keterangan-keterangan ini misih pendek sekali, sebab hanja kami ambil jang perloe sadja,
tetapi kalau ini oesikan tidak bergoena, jaitoe tidak bisa merobah haloean pabrik tentang sewa
menjewa tanah kepada orang-orang desa, dibelakang hari henda kami terangkan dengan
pandjang lebar, djoega semoea perkara jang gelap gelap, soepaja bangsa kita orang desa tidak
menderita kesoesahan. Ingatlah ini waktoe mahal makanan, seharoesnja pemerentah berdaja
oepaja soepaja semoea sawah ditanami padi, tetapi tidak ditanami teboe seperti sekarang. 44

Dalam kesempatan lain, surat kabar pergerakan juga memberikan advokasi kepada pemimpin-pemimpin
pergerakan yang ditangkap. Sebagai contohnya dapat kita lihat dibawah ini:

Seperti jang telah kita kabarkan kemaren, bahwa saudara Sneevliet betoel djadi di boeang.

Sesoenggoehnja tidak nama djarang kalau saja mesti memberhentikan diri tidak toeroet di
dalam pergerakan Hindia, teroetama Sarekat Islam. Sebab kalau saja hitoeng, adalah 8 tahoen
lamanja saja bergerak dilapangan Journalistiek, jaitoe moelai tahoen 1914 nama saja soedah
tertjitak dihalaman soerat kabar Medan Prijaji di Bandoeng, soerat kabar mana jang saja djadi
Mede Redacteurnja. Waktoe Sarekat Islam beloem lahir didoenia saja soedah bertereak ada di
Medan Prijaji tentang tidak adilnja Pemerintah di Hindia sini dan rendahnja bangsa kita.
Tereakan tereakan itoe sekarang soedah mendjadi oemoem, dan asal orang jang mempoenjai
kemanoesia'an dan tidak djilat-djilat kepada orang jang koeat tentoe berani bertereak!

Waktoe djaman De Indische Party dan orang-orang jang memimpin sama di boeang, hanja
seorang doea orang sadja jang berani membela kepada Douwes Dekker, Tjipto dan Soewardi,
tetapi sebagian besar dari bangsa kita sama takoet tjampoer hal itoe, karena mareka itoe
dikatakan oleh fehaknja pemerentah orang jang meroesak keamanan negeri! Tiga orang itoe
jang doeloe dikatakan berbahaja oleh pemerintah sekarang soedah tidak dipandang begitoe
lagi, tandanja soedah sama diidinkan poelang kembali ditanah airnja, Hindia.

Sekarang djaman I.S.D.V., djaman mana jang kita haroes berkata teroes terang kepada
publiek, mengertinja: bangsa bangsat haroes kita katakan bangsat djoega, dan bangsa baik
poen kita katakan baik. Tetapi! ... ja pembatja, selaloe ada tetapinja sadja, tetapi berapa orang
bangsa kitakah jang berani membela kepada bangsa kita seperti Sneevliet jang diboeang
lantaran membela kita orang itoe? Ja! Tidak! Boeat saja sendiri, hati saja tidak berobah
lantaran Sneevliet diboeang itoe, mengertinja tidak senang dan tidak soesah, tjoema sadja kita
mesti memikirkan kesoesahannja Sneevliet. Lantaran Sneevliet diboeang itoe ... barangkali
semoea pemerentahan ... ada didalam perentahnja kapitalisme. Sneevliet berani sampai
diboeang! Apakah pemimpin pergerakan kita djoega berani diboeang djoega berani diboeang
di Ambon atau Menado atau kalu perloe djoega dipoelau jang tidak ada orangnja sama
44
Marco, Apakah Pabrik Goela Itoe Ratjoen Boeat Bangsa Kita?!, Sinar Djawa, Hari Selasa 26 Maart 1918, no.71, tahoen ke-19.

13
sekali? Bangsa apakah jang tertindas di Hindia sini? Jaitoe bangsa kita. Mengapakah seorang
Belanda seperti Sneevliet jang mesti membela tindasan tindasan itoe, dan sampai dia berani
diboeang, sedang bangsa kita jang mengakoe djadi pemimpin roepa-roepanja djarang jang
berani bergerak seperti Sneevliet. Apakah orang Hindia boekan manoesia seperti Sneevliet.
Sesoenggoehnja keadaan itoe, keadaan jang terbaik! Kalau menilik kasoesahannja bangsa
kita pada ini waktoe, seharoesnja kita sendiri mesti bergerak doea kali lebih keras dari pada
pergerakannja Sneevliet dan kontjo kontjonja. Orang tidak oesah takoet apa jang akan
menjerang badan kita .... Ingat! Kita tidak bisa hidoep lebih dari seratoes tahoen! Apakah
mengertinja pemboeangan dan pemboealan jang diadakan oleh peperentahan seperti sekarang
ini? Kalau saja ada kekoeatan dan ada bekakas boeat memboenoeh manoesia, soedah tentoe
saja bisa mengadakan pemboealan dan pemboeangan. Siapa orang jang tidak menoeroet
kehendaknja tentoe saja masoekan boei dan kalau perloe saja boeang. Walaupoen semoea
kelakoean saja itoe meroegikan orang orang itoe. Pendeknja kalau saja koeat, saja bisa
merampok memboenoeh sesoeka saja, dan orang banjak djoega tidak mengatakan perboeatan
saja itoe: rampok rampokan, grajak grajakan dan boenoeh boenoehan. Sebab .... ja! Sebab
saja poenja kekoeatan! Tetapi apakah perboeatan saja sematjam itoe tida dikatakan
BADJINGAN oleh orang jang poenja pikiran waras? Tida taoe!

Pembatja tentoe soedah tahoe, bahwa ini waktoe di Europa tengah banjak radja jang sama
NGRONTOKK, radja radja mana jang doeloe amat mashoer namanja itoe radja radja
sebabnja NGRONTOKK! Tidak lain dari sebab lakoenja jang sawenang wenang dan tidak
mengerti permintaannja orang banjak. Pendeknja perkara orang boleh melakoekan sesoekanja
asal sadja berani, tetapi keberanian jang dilakoekan dengan tipoean jang digoenakan
menjenangkan diri sendiri, itoe kelakoean djahanam!!

Apakah kalau Sneevliet diboeang lantas pergerakan Hindia mendjadi padam? Sabeloemnja
Sneevliet datang ditanah Djawa sini, saja soedah menerbitkan soerat kabar DOENIA
BERGERAK, soerat kabar mana jang haloeannja tida beda dengan Het Vreij Woord. Djadi
sebeloemnja Sneevliet ada ditanah Djawa, di Hindia bidji revollutionnair soedah
mengembang di mana mana!

Djadi iktiar pemerentah jang lantaran kemaoean kapitalisten menjoeroeh memboeang


Sneevliet dari tanah Djawa itoe malah membikin kerasnja pergerakan Hindia. Bagoes 45

Surat Kabar pergerakan juga dijadikan ajang perdebatan diantara tokoh-tokoh pergerakan
sendiri dalam menentukan format gerakan yang tepat:

------------------------------------------------------------------------------------------------------

SIKAPNJA D.D

Sebagai telah dikabarkan, koetika hari Minggoe jang telah laloe di stadtuin di Samarang telah
dibikin satoe vergadering oleh perhimpoenan Insulinde, dalam mana toean Dr. E.F.E. Douwes
Dekeker telah berpidato, njatanja ia poenja sikap dalam pergerakan di Hindia ini.

Di sini kita tiada toetoerkan fatsal sikapnja Insulinde pada Semarangsche lesvereeniging,
karena ada tiada begitoe perloe lagi dikata di sini, jaitoe fatsal empat dalam Gemeente jang di
boeat reboetan oleh antara kaoem kapitalist dan kaoem miskin, jang mana pembatja soedah
mengetahoei.

Tapi jang kita toelis di sini jalah sikapnja D.D. pada perhimpoenan-perhimpoenan di Hindia,
sebab cita rasa ada perloe djoega dikatahoei oleh pembatja kita. Fatsal-fatsal jang tiada perloe
poen kita boeang, kata Pew Soer

Sikapnja pada orang Tionghoa:

Ia bilang, bahwa Tiong Hoa Hwee Koanschool vereeniging tiada mempoenjai dasar politiek,
tapi ia kasih tahoe, bahwa orang Tionghoa tiada betjidra pada Indische Partij Maksoednja
persama'an dari kaperloeannja pekerdja'an djoega. Spreker tahoe betoel bahwa orang
Tionghoa bisa ditarik ke perhimpoenan Insulinde dan marilah kita moesti adjak marika,
meskipoen kita ditoedoeh bahwa kita tjoema pemboeroe oeangnja orang Tionghoa sadja, tapi
keperloeannjaa tiada diperhatikan.
45
Marco, Sneevliet Diboeang, Sinar Hindia, 10 Desember 1918.

14
--------------------------------------------------------------------------------------------------------

Sikapnja pada Sarekat Islam:

Spreker bilang, Sarekat Islam adalah perhimpoenan jang paling penting dan Insulinde moesti
bekerdja bersama-sama. Ini perhimpoenan berhaloean democraat djoega, tapi dengan dasar
Igama. Meskipoen di negeri Olanda toch ada gerakan kaoem democraat dengan beralasan
igama.

Atas parlement spreker njatakan, bahwa ia poenja advies telah di minta oleh minister
oeroesan djadjahan, jaitoe ketika maoe diadakan Volksraad. Ia tiada kira, jang Volksraad ada
seperti sekarang dimana fihak jang lemah kalah soearanja. Tetapi kita moesti berdjalan teroes
dan tiada akan merasa tjapai, kalau maksoed kita beloem kesampaian. 46

Surat kabar sebagai alat perjuangan ini ternyata cukup efektif dalam menumbuhkan
semangat perlawanan dan kebangsaan bangsa Indonesia yang ketika masih terpecah-pecah.

V
Gerakan Mahasiswa Setelah Revolusi Nasional 17 Agustus 1945 Yang Kandas sampai Tahun
1965

Proklamasi kemerdekaan telah berkumandang dimana-mana sejak 17 Agustus 1945. Selamat


datang kemerdekaan!!! Tetapi bukan kemerdekaan yang utuh karena hanya merdeka secara politik
tetapi belum merdeka secara ekonomi. Sitauasi setelah kemerdekaan semakin menunjukkan
kemunduran. Perjalan Revolusi Indonesia menunjukkan bahwa para ideolog, para brahmana pemimpin
revolusi tidak serevolusioner ajaranya sendiri, mereka tertinggal jauh dari krisis revolusioner yang
terjadi. Revolusi ternyata tidak menghasilkan apa-apa selain kondisi lama dalam situasi baru, kaum
priyanyi yang kembali mengambil alih kendali.47 Akibatnya:
“Para satria lunturan, kaum priyanyi ini, yang sejak bayi tidak dalam tradisi bekerja produktif
atau kreatif, cita-citanya sebelum bisa baca tulis sudah digadaikan pada kekuasaan yang
berlaku, begitu mendapat tempat dalam sistem kekuasaan bukan saja telah jadi arrivee,
dengan sedikit kekuasaan yang dipercayakan oleh sisitem padanya, mulai ia mengunakannya
untuk menghisap keuntungan pribadi. Dalam dinas apa saja, ditempat geografis mana pun” 48.

Setelah mengangkangi kekuasaan politik dan ekonomi, saudaranya sendiri kemudian dibantai.
Senjata-senjata pasukan sudra dilucuti oleh golongan satria, alasan mereka senjata tidak boleh ditangan
rakyat. akibatnya, banyak korban yang bergelimpangan, bukan demi kemerdekaan tapi demi
kemapanan golongan satria.49 Sebagai puncaknya adalah pembantaian terhadap kaum komunis di
Madiun.
Revolusi semakin mundur, para pemimpin tumbuh sebagai koruptor-koruptor yang meredupkan
api revolusi, sebelum terjadi apa-apa telah mengkibarkan kain kafan tanda menyerah . 50 Para
pemimpin-pimpin revolusi telah menjurumuskan revolusi, hanya besar dalam omongan. 51 Akibatnya,
satu demi satu kota-kota yang dikuasai oleh Republik runtuh, sampai Yogya sebagai pusat kekuasaan
juga runtuh52, para pemimpin revolusi semakin tidak percaya diri sehingga menyandarkan revolusi pada
loby dan Coctail .53 Hasilnya pun serba setengah-setengah, termasuk demokrasinya dipungut dari
barat, juga setengah-setengah yang, demokrasi untuk kaum yang mempunyai uang saja:
“ Demokrasi sunguh suatu sisitim yang indah. Engkau boleh menjadi presiden. Engkau boleh
memilih pekerjaan yang engkau sukai. Engkau mempunyai hak sama dengan orang-orang
lainya. Dan demokrasi itu membuat aku tak perlu menyembah dan menundukkan kepala pada
presiden atau menteri atau paduka-paduka lainya. Sunguh—ini suatu kemenangan demokrasi.
Dan engkau boleh berbuat sekehendak hatimu bisa saja masih berada dalam lingkungan batas
hukum. Tapi kalau engkau tak punya uang, engkau akan lumpuh tak bisa bergerak. Di negara
demokrasi engkau boleh membeli barang yang engkau sukai. Tapi kalau engkau tak punya

46
Marco, Douwes Dekker Tidak Berobah Haloeannja, Sinar Hindia, 17 Agustus 1918, tahoen ke 19.
47
Pramodya Ananta Toer, Nyanyi Sunyi Seorang Bisu I, Hasta Mitra, Jakarta, hal.178
48
ibid, hal.178-9
49
Ibid, hal.178
50
Pramodya Ananta Toer, Larasati, Hasta Mitra, Jakarta, hal. 131
51
ibid, hal. 132
52
ibid, hal. 135
53
Op.cit, hal. 182

15
uang, engkau hanya boleh menonton barang yang engkau ingini itu. Ini juga semacam
kemenangan demokrasi”.54

Dalam situasi seperti inilah gerakan mahasiswa mulai bangkit kembali. Gerakan mahasiswa
yang timbul paska revolusi didasari pada ideologi yang berbeda-beda. Pada tanggal 5 februari 1947
diresmikan terbentuknya Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), kemudian diikuti berdirinya
Perhimpunan Mahasiswa Kristen Indonesia (PMKI) pada tanggal 25 Maret 1947 dan kemudian disusul
dengan pendirian Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI). 55 Oragnisasi-
organisasi mahasiswa ini mengunakan ideologi agama—Islam atau Katolik/Kristen. Kemunculan
organisasi-organisasi yang berideologi agama ini sebetulnya mengikuti kemunculan partai politik yang
seideologi yaitu Masyumi ( 7 Nopember 1945)—yang berideologi Islam dan Partai Katolik ( 8
Desember 1945)—yang berideologi Katolik.56 Sementara itu partai besar lainya yaitu Partai Nasional
Indonesia (PNI) mempunyai ormas mahasiswa Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) yang
berdiri pada tanggal 23 Maret 1954, sedngkan Partai Komunis Indonesia (PKI) membangun ormas
mahasiswa yaitu Central Gerakan Mahasiswa Indonesia (CGMI).57
Selaian organisasi yang didasarkan pada ideologi tertentu, juga banyak bermunculan organisasi
mahasiswa yang berdasarkan profesi dan komunitas. Dalam katagori ini, kita dapat mengambil contoh
Perhimpunan Mahasiswa Kedokteran Hewan (PMKH) di Bogor, Perhimpunan Mahasiswa Djakarta
(PMD), Perhimpunan Mahasiswa Jogyakarta (PMJ), Masyarakat Mahasiswa Malang (MMM). 58
Kemudian di UGM pada tanggal 11 Januari 1950 terbentuk Dewan Mahasiswa (DM) yang merupalan
lembaga mahasiswa tingkat universitas, dan kemudian diikuti dengan berdirinya Dewan Mahasiswa di
UI pada 20 Nopember 1955.59
Dalam perkembangan selanjutnya, yaitu pada masa demokrasi terpimpin, organisasi-organisasi
yang berafiliasi dengan partai politiklah yang banyak meramaikan panggung perpolitikan. Mereka
salaing berlomba-lomba, adu program untuk mendapatkan masa yang besar. Pertarungan semakin
ramai ketika Soekarno lebih dekat pada organisasi-organisasi yang berideologi komunis dan nasionalis
radikal. Organisasi-organisasi mahasiswa yang berbasiskan agama—HMI, PMKRI—semakin
terpinggirkan. Pada tahun 1963, ketegangan politik di dalam kampus semakin memanas setelah GMNI,
CGMI, Germindo, Permi semakin mendominasi senat fakultas dan dewan mahsiswa universitas di
perguruan-pergurun tinggi yang ada.60Konflik yang terjadi misalnya ketika kongres nasional keempat
Majelis Mahasiswa Indonesia (MMI) pada bulan April 1964 di Malino, dalam kongres ini GMMI
memenangkan 18 dari 24 kursi esekutif. Sementara itu, kelompaok mahasiswa dari UI dan ITB yang
non-GMNI tidak mendapatkan posisi yang menyebabkan mereka menolak hasil kongres, dan akibatnya
dewan mahasiswa dari kedua universitas ini dikeluarkan dari MMI.61 Pertentangan-pertentangan terus
terjadi sampai tahun 1965. Sebuah pertarungan di tingkat fakultas misalnya terjadi di fakultas sastra UI
ketika GMNI dan sekutu-sekutunya menuntut agar senat yang baru terbentuk dibubarkan karena
terdapat unsur-unsur kontra-revolusioner seperti HMI.62
Mahasiswa yang semakin tersingkir semakin membenci konsepsi Soekarno sendiri tentang
demokrasi terpimpin, yang mereka anggap sebagai biang keladi semakin tersingkirnya posisi mereka.
Mahasiswa-mahasiswa ini, yang telah mendapatkan pendidikan tentang demokrasi liberal, yang sayup-
sayup mereka peroleh dari barat, merasakan bahwa demokrasi tepimpin sangat merantai kebebasan
mereka, tidak sesuai dengan teori yang pernah mereka dapatkan. Apalagi kedekatan pemerintahan
Soekarno dengan Soviet maupun Cina Komunis yang membuat gerah banyak kalangan—termasuk
mahasiswa. Ruang-ruang bagi golongan non komunis dan non nasionalisme radikal seakan-akan telah
tertutup. Golongan-golongan mahasiswa yang merasa senasib sepenanggungan ini kemudian bersatu,
mengorganisasikan di dalam kesatuan-kesatuan aksi.
Sementara itu, situasi tahun 1960-an semakin memanas dengan adanya konfontrasi dengan
Malaysia yang menyebabkan hubungan dengan negara-negara barat—khusunya Amerika dan Inggris—
semakin memburuk. Amerika yang melihat Indonesia sebagai tempat yang strategis karena letaknya
pada jalur perdagangan internasional dan mempunyai jumlah penduduk yang besar sangat potensial
bagi pasar produk-produk Amerika. Namun, situasi yang semakin berkembang semakin menunjukkan
Indonesia semakin jatuh dalam genggaman komunis yang selalu mengusung isu-isu anti imperialisme.
54
Pramoedya Ananta Toer, Bukan Pasar Malam, Bara Budaya, Yogyakarta, hal.5
55
Arbi Sanit, Mahasiswa, Kekuasaan dan Bangsa, Lingkar Studi Indonesia, hal.84.
56
ibid, hal.84
57
ibid, hal. 85
58
ibid, hal.84
59
ibid, hal.85
60
John Maxwell, Soe Hok-Gie, Pergulatan Intelektual Muda Melawan Tirani, Grafiti, Jakarta, hal. 140.
61
Ibid, hal.143.
62
ibid, hal.147.

16
Dan apabila Indonesia sampai jatuh ke tangan kaum komunis, maka semakin sulitlah bagi bangsa-
bangsa barat untuk mendominasi ekonomi di negara-negara Asia Tenggara.
Kekuatan lain yang merasa terdesak pada masa demokrasi terpimpin ini adalah tentara. Mereka
yang sejak demokrasi parlementer merasa disingkirkan, dalam beberapa hal memang mendukung
demokrasi terpimpin yang menguntungkan mereka. Namun, karena kedekatan Soelatno dengan
kelompok komunis, menyebabkan tentara semakin gerah karena secara ideologi mereka sangat
berseberangan dengan ideologi komunis, apalagi setelah kaum komunis mengusulakan dibentuknya
angkatan kelima dengan mempersenjatai kaum tani.
Akhirnya, ketiga kekuatan di atas—mahasiswa yang berideologi liberal, Amerika dan tentara—
bersatu ketika pecah peristiwa 30 September 1965—yang dianggap sebagai pemberontakan PKI.
Histeria anti komunis kemudian ditiupkan keseluruh pelosok negeri, dibentuklah Kesatuan Aksi
Penggayangan Gestapu (KAP-Gestapu). Badan ini dipimpin oleh politikus NU Subchan dan aktivis
katolik Harry Tjan dengan dukungan penuh dari tentara. 63Dalam perkembangan selanjutnya, setelah
pertemuan terakhir dirumah Menteri Pendidikan Tinggi, Brigjen. Syarief Thayep, tepatnya pada tanggal
25 Oktober 1965 dibentuklah Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI). Organisasi ini didominasi
oleh organisasi seperti PMKRI, SOMAL, Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), dan
Mahasiswa Pancasila (Mapancas)—organisasi ini dekat dengan tentara, ketuanya David Napitupulu
dekat dengan Brigjen Sukendro dan Jendral Nasution. 64 Maka, sejak saan ini, pemburuan terhadap
orang-orang komunis atau simpatisanya dimulai. Inilah prestasi dari Gerakan Mahasiswa 1966,
bersama tentara dan Amarika, berhasil menggulingkan kekuasaan Soekarno dan menaikkan Soeharto
dengan tumbal jutaan rakyat yang tidak berdosa. Salah satu pimpinan GM ’66, Soe Hok-Gie merasa
ngeri sendiri setelah melihat dari demostrasi-demontrasi pengganyangan terhadap komunis selama
delapan belas bulan:
“Tetapi bagi yang ikut-ikutan PKI karena pertimbangan-pertimbangan ekonomi keadaan ini
sangat sulit. Banyak ex-SOBSI tidak tahu-menahu tentang komunisme. Mereka masuk
SOBSI karena kalau tidak masuk mandor mereka (yang komunis) akan mempersulitnya.
Demikian pula BTI-nya. Pernah seorang petani hampir dibunuh di Bali minta-minta ampun
dan bersumpah bahwa ia bukan PKI. “Organisasi saya adalah BTI,” katanya dengan
berlinang air mata.

Mereka tidak bisa mengerti mengapa tiba-tiba mereka dipecat, dibunuh, diasingkan
masyarakat dan diusir dari pergaulan. Dan hampir tak ada yang mau memberikan kerja baru
untuk mereka karena mereka ex SOBSI. Lowongan yang tersedia untuk mereka adalah (yang
tak perlu tanda tidak terlibat Gestapu) tukang beca, kuli harian, pedagang kecil (tukang loak)
dan untuk wanita babu atau pelacur (bagi yang masih muda dan lumayan wajahnya).

Di desa di aman kesempatan kerja lebih sulit biasanya mereka menjadi pedagang kecil atau
lari ke kota. Saya pernah menjumpai di sebuah desa di Jawa tengah seorang istri “Gestapu”
yang membuka warung kopi mulai jam 3 pagi untuk memberikan makan 9 orang anaknya.
Kehidupan mereka sangat berat. Anak-anaknya juga “punya inferiority complex” karena
ayahnya ada di penajara. Kesembilan anak ini tidak berani bermain-main disawah atau jalan-
jalan karena “malu” diejek oleh kawan-awan sebayanya. Mereka bermain-main sesama
saudara di rumah mereka sendiri. Anak-anak kecil ini telah belajar betap “pahitnya” politik.

Bagi yang keluarganya yang dibunuh keadaanya lebih parah. Mereka diam dan tak banyak
berkata. Tetapi dalam hati kecilnya tumbuh dendam kebencian terhadap golongan yang telah
membunuh sanak mereka. Dan saat kebencian ini kebencian akan mengambil bentuknya.
Kita tidak tahu berapa jumlah mereka. Tetapi kalau kita ambil angka 300 ribu orang mati
terbunuh selama masa-masa tersebut dan pembunuhan ini menimbulkan bekas pada 3 atau 4
orang sanaknya yang terdekat (istri-anak-saudara kandung, ayah) maka dewasa ini terdapat
kira-kira satu juta orang yang hidup menyimpan dendam untuk masa kemudian”. 65

Tragis, itulah kata yang tepat, sebuah rejim baru didirikan di atas bangkai jutaan rakyatnya
sendiri. INILAH AKIBAT FATAL DARI SEBUAH GERAKAN TANPA KONSEP YANG JELAS,
YANG AKHIRNYA HANYA MENGHASILKAN SEBUAH KEDIKTORAN BARU. Inilah akhir,
bangsa yang lunak ini menurut orang-orang barat, mampu melakukan pembunuhan yang korbanya
dalam beberapa bulan melebihi korban dari seluruh perang vietnam. 66 Akhirnya, golongan satria—
Soeharto cs—yang naik kepanggung kekuasaan dan keadaannya menjadi seperti saat ini.
63
ibid, hal.154.
64
ibid, hal 159.
65
Ibid, hal.273.
66
Pramoedya Ananta Toer, Nyanyi Sunyi Seorang Bisu I, Hasta Mitra, Jakarta, hal. 184

17
VI.

GM Dari 1966 sampai 1978—Ingin Perubahan Tanpa Merubah Sistem

III.1. Setelah ’65 Sampai NKK/BKK


Peristiwa G 30 S menunjukkan bahwa gerakan mahasiswa memang berperan dalam kejatuhan
Soekarno dan sekaligus berperan melahirkan rejim Soeharto yang kelak digulingkan oleh gerakan
mahasiswa periode lain. Dan dengan demikian gerakan mahasiwa juga berperan dalam pembantaian
terhadap 3,5 juta rakyat Indonesia setelah meletusnya peristiwa September 1965. Kemudian, setelah
periode ini konsep gerakan mahasiswa ditetapkan sebagai gerakan moral (moral force), seperti yang
dilontarkan oleh Soe Hok Gie. Konsep moral force inilah kemudian mempengaruhi gerakan-gerakan
mahasiswa selanjutnya 67. Dalam konsepnsi ini, bahwa mahasiswa seharusnya lebih bertindak sebagai
kekuatan moral ketimbang sebagai kekuatan politik, dengan artian mahasiswa muncul sebagai aktor
politik ketika situasi bangsa sedang krisis, setelah krisis berlalu kembali ke kampus dengan tugas
utamanya adalah belajar.68
Baiklah, kita lanjutkan proses sejarah gerakan mahasiswa Indonesia. Setelah menikmati
kemenangan bersama naiknya rejim Orde Baru – dimana banyak tokoh-tokoh gerakan duduk didalam
birokrasi Orba, bisa kita sebut nama-nama Sarwono, Siswono, Akbar Tanjung, Marie Muhammad –
banyak ttokoh-tokoh KAMI yang muncul dalam foto-foto media massa memakai jas dan dasi sedang
bercakap-cakap dengan penjabat-pejabat negara ketika sedang tur ke lauar negeri 69. Masa-masa antara
1966-1971 merupakan masa-masa “bulan madu” gerakan mahasiswa dengan Orba. Dilain pihak, pada
periode ini sebetulnya sudah banyak muncul keraguan dari tokoh gerakan ’66 terhadap kemampuan
rejim baru (baca:Orde Baru) dalam mengubah situasi yang ada. Banyaknya pelanggaran ham yang
terjadi diberbagi tempat, usaha dari rejim baru untuk membangun aliansi dengan tokoh politik dan
pengusaha besar yang mempunyai koneksi pada era Soekarno, serta munculnya kembali slogan-slogan
politik yang kosong dalam kehidupan masyarakat, merupakan bukti-bukti bahwa rejim baru ini tidak
ada bedanya dengan rejim sebelumnya dan mungkin lebih buruk. 70 Nasib 80.000 tahanan yang belum
diputuskan, pembantaian massal setelah peristiwa ’6571, penangkapan-penangkapan terhadap aktivis
demokrasi yang konsisten terjadi kembali yaitu penangkapan terhadap Yap Thiam Hien –seorang
pembela Dr. Subandrio. Ia ditangkap dengan tuduhan palsu bahwa telah menyuap seorang komandan
polisi senior dan jaksa penuntut ini. Penangkapan terhadap Yap ini kemudian menimbulkan reaksi dari
berbagai pihak baik itu rekan sesama pengacara, intelektual, editor surat kabar, dll.72lewat Harian
KAMI dan Mahasiswa Indonesia, Soe Hok Gie menggambarkan keadaan paska runtuhnya Soekarno
sebagai berikut:
“ Dewasa ini Pj. Presiden Soeharto masih tetap meruapakan tokoh yang popular di kampus-
kampus, baik dikalangan mahasiswa maupun dalam kalangan sarjana.

Tetapi frustasi sudah mulai tampak menyelimuti kampus-kampus. Terutama melihat


pembantu-pembantu dan menteri-menteri kabinet Ampera.

Cerita-cerita tentang menteri-menteri kabinet Ampera yang menambah koleksi istrinya mulai
muncul. Tokoh-tokoh Ibnu Sutowo, Alamsjah (yang sedang diserang oleh majalah mahasiswa
Mimbar Demokrasi dan ditempel di kampus UI), suhardiman, B.M. Diah. Achmad
Tirtosudiro dengan BUL-nya dan tokoh-tokoh kecil-kecilan lain menambah frustasi yang ada.
“Apakah Pak Harto tidak tahu? Dan jika beliau telah tahu mengapa dibiarkan terus?” 73

Melihat perkembangan di atas, seklompok mahasiswa kembali bergerak untuk mengkritisi


situasi yang ada. Masa “bulan madu” ini mulai retak ketika Arief Budiman—kakak Soe Hok-Gie, dkk,

67
Lihat tulisan Edwad Aspinal ,The Indonesia Student Uprising of 1998
68
John Maxwell, Soe Hok-Gie, Pergulatan Intelektual Muda Melawan Tirani, Grafiti, Jakarta, hal. 298-9
69
ibid, hal. 301
70
ibid, hal. 283
71
ibid, hal.339
72
ibid, hal.309-10.
73
Ibid, hal. 313.

18
mulai memprotes kebijaksanaan Orde Baru, misalnya dalam kasus pembangunan Taman Mini
Indonesia Indah (TMII) tahun 1973. Pembangunan ini menurut kelompok Arief Budiman tidak sesuai
dengan situasi Indonesia. Bagi mereka ini hanya merupakan proyek ambisius belaka. Akibat
“pembangkangan” ini, Arief Budiman dijebloskan ke dalam bui oleh rejim Orba. Sebelumnya Arief
Budiman terkenal sebagai tokoh yang memproklamasikan “golongan putih”. Kemudian, pada bulan
Oktober 1973 para mahasiswa mengadakan aksi ke gedung DPR/MPR menyampaikan “Petisi 24
Oktober”74. Isi petisi ini mengkritisi kebijaksanaan pembangunan yang dianggap tidak populis,
kebijaksaan pembangunan yang dijalankan pemerintah hanya menguntungkan yang kaya. Perlawanan
gerakan mahasiswa periode ini memang tidak meluas seperti halnya gerakan penumbangan Soekarno,
perlawanan hanya berpusat di Jakarta dan tidak didukung dengan aksi masa yang massif. Konsepsi
gerakan Moral masih dipakai dalam periode ini dimana kekuatan mahasiswa hanya terbatas
memberikan kritik yang loyal kepada pemerintahan yang ada75.
Setelah peristiwa diatas, gerakan mahasiswa baru bangkit kembali awal tahun 1974. Ketika itu
mahasiswa memprotes masuknya modal Jepang ke Indonesia. Kunjungan PM Jepang, Tanaka, di
boikot dengan melakukan aksi massa besar-besaran di Jakarta. Hal inilah yang mengakibatkan ibu kota
lumpuh total. Saat itu gerakan mahasiswa melakukan rally dari kampus UI Salemba menuju kampus
Trisakti. Sementara rakyat “asyik” dengan aksinya sendiri, melakukan pembakaran terhadap mobil-
mobil produk Jepang. Peristiwa ini yang kemudian terkenal dengan Malapetaka 15 Januari “Malari”,
kemudian muncullah nama-nama Hariman Siregar, Sjahrir, dll. Dari data sejarah yang ada, gerakan
mahasiswa yang membesar ini tidak lepas dari konflik elit waktu itu, ketika faksi jendral Soemitro dan
Ali Moertopo saling berebut kekuasaan.
Ada tiga pelajaran yang dapat kita ambil dari gerakan mahasiswa periode 1974. Pertama,
gerakan ini kelihatan jelas melakukan kolaborasi dengan militer, paling tidak pada detik-detik akhir
menjelang meletusnya Malari. Soemitro, seorang jendral yang saat itu menjabat Pangkokamtib, terlihat
jelas aktif dalam aksi-aksi tersebut. Akibat peristiwa ini, gerakan mengalami kehancuran bersamaan
dengan hancurnya militer yang diajak berkolaborasi.
Kedua, gerakan mahasiswa masih elitis. Mahasiswa tidak mau bergabung bersama rakyat.
Akibat gerakan yang elitis ini gerakan tidak bisa memimpin massa-rakyat yang terlibat dalam gerakan
tersebut, rakyat akhirnya melakukan kerusuhan. Ini selanjutnya yang dijadikan legitimasi bagi rejim
untuk menghentikan aksi-aksi mahsiswa dengan alasan telah mengganggu ketertiban umum,
menciptakan kekacauan.
Ketiga, secara geografis gerakan tidak meluas. Gerakan yang hanya membesar disatu titik
mengakibatkan gerakan mudah untuk dipatahkan. Kita lihat sendiri, ketika gerakan di Jakarta
“dilumpuhkan”, perlawanan terhenti karena daerah-daerah lain tidak melakukan perlawanan sama
sekali.
Setelah 4 tahun peristiwa Malari, baru gerakan mahasiswa “bangun” kembali dari masa
istirahat. Pada tahun 1978 ini aksi-aksi mahasiswa terjadi di kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung,
Yogya dan Surabaya. Aksi-aksi ini menolak pencalonan Soeharto menjadi presiden kembali. Karena
aksi-aksi semakin membesar dan mengancam kekuasan Soeharto, maka militer diperintahkan untuk
menghentikan aksi-aksi mahasiswa.
Kampus Istitut Teknologi Bandung (ITB) di kepung panser, mahasiswa membuat barikade
dengan melakukan tidur di sepanjang jalan Ganesa, aksi ini mampu bertahan beberapa minggu sebelum
berhasil dibubarkan militer. Sementara di Yogyakarta, militer menembaki aksi mahasiswa di
Universitas Gajah Mada, mahasiswa di kejar-kejar sampai ke dalam kampus, peristiwa ini kemudian
terulang 20 tahun kemudian.
Memang akhirnya perlawanan mahasiswa dapat dilumpuhkan oleh rejim Orba, namun
perlawanan ini setidaknya telah memberikan pelajaran berharga bagi sejarah perlawanan di Indonesia.
Apabila kita simak ada dua hal penting dalam gerakan mahasiswa periode ini. Pertama, Gerakan
periode ini setidaknya lebih maju dalam tuntutan politik – menolak pencalonan Soeharto – walaupun
belum sampai ke tahap mengkritisi sistem yang ada. Para mahasiswa saat itu melihat bahwa sosok
Soehartolah yang menyebabkan Indonesia kacau balau, maka solusinya Soeharto harus ditolak menjadi
presiden.
….."hingga hanya 4 tahun kemudian, 1978, ada gerakan yang bisa dikatakan lebih
maju programnya ketimbang sebelumnya: gerakan mahasiswa yang tak mengerti
sistim, namun cukup mengerti makna menolak kekuasaan Suharto"…76
Gerakan waktu itu belum sadar, bahwa Soeharto telah membangun sistem birokrasi yang
didukung oleh militer, sehingga ketika posisi dia (Soeharto) terancam, Soeharto dapat mengerahkan
74
Lihat Bonar Tigor N, Prisma, Juli 1996.
75
Op.cit
76
Wawancara Marlin, Link

19
orang-orang yang mengelilingnya. Dan ini benar terjadi. Secara birokrasi, Soeharto menghancurkan
kehidupan mahasiswa di kampus. Dia juga membuat peraturan yang mengekang kehidupan mahasiswa
di kampus. Soeharto juga mengerahkan militer untuk merepresi gerakan mahasiswa.
Kedua, gerakan ’78 memang membesar di kota-kota seperti Bandung, Yogyakarta, tapi lemah di
pusat ekonomi politik, Jakarta. Hal ini memang berbeda dengan gerakan mahasiswa ’74 – di mana
gerakan membesar di Jakarta tapi lemah di daerah-daerah – tapi yang terjadi kemudian sama dengan
gerakan ’74, gerakan tetap mudah dipatahkan.
Setelah “kemenangan tertunda” dari gerakan mahasiswa ‘78, pemerintahan Soeharto
mengambil pelajaran dari peristiwa ini. Rejim Soeharto berusaha “memenjarakan” mahasiswa agar
tidak keluar dari kampus. Ketika Mendikbud dijabat oleh Doed Joesoef dikeluarkan kebijaksanaan
Normalisasi Kehidupan Kampus (NKK)/ Badan Koordinasi Kampus (BKK). Organisasi mahasiswa
semacam Dewan Mahasiswa dibubarkan, seluruh kegiatan mahasiswa dilarang berhubungan dengan
kehidupan politik praktis.

VII
GM Dari Tahun 1978 Sampai Tahun 1997: Mencari Format Ideologi Baru.

Praktis sejak diberlakukan NKK/BKK, gerakan mahasiswa “tertidur”. Kebijaksanaan


NKK/BKK ini kemudian lebih diperketat lagi. Ketika Mendikbud dijabat oleh Nugroho Notosusanto,
pemerintah memberlakukan transpolitisasi yaitu ketika mahasiswa ingin berpolitik, mahasiswa harus
disalurkan melalui organisasi politik resmi macam Senat, BEM, dll, diluar itu dianggap ilegal. Dalam
kurun waktu ini juga diberlakukan Sistem Kredit Semester (SKS), sehingga aktivitas mahasiswa
dipacu hanya untuk cepat selesai studi/kuliah dan meraih IP yang tinggi. Inilah hal-hal yang membuat
mahasiswa semakin mengalami depolitisasi dan semakin terasing dari lingkungannya.
Demoralisasi. Bisa dikatakan demikian. Kembali ke dunia akademik --mengajar,
berbangku kuliah lagi, belajar ke luar negeri, -- membentuk NGOs (perlu diketahui saja pada
tahun 1982 sudah ada ribuan NGO), berbisnis, berkolaborasi dengan rejim dan sebagainya.
Lahirlah bayi-bayi kiri yang dicampakkan ibunya pada usia muda: NGO menjajakan
kemanusiaan borjuis-kecil --mengemis reformasi ekonomi-politik pada rejim diktator/korup,
bahkan ada yang masih bermimpi membangun pulau impian di tengah modal raksasa-- kaum
sekolahan yang baru pulang belajar dari luar negeri mengajarkan --di tengah kemampuan
bahasa Inggris kaum muda yang menyedihkan-- teori-teori baru sosial-demokrasi, neo-
marxis, new-left….77

Ada dua kecenderungan yang muncul kemudian. Pertama, kembali kepada gerakan awal 1900:
munculnya kembali kelompok-kelopok diskusi. Kehadiran kelompok-kelompok diskusi inipun
dilakukan dengan sembunyi-sembunyi, karena apabila diketahui oleh rejim bisa berakibat fatal. Kita
dapat melihat nasib yang menimpa Bonar Tigor Naipospos, Bambang Isti Nugroho 78 dari kelompok
diskusi Palagan yang dipenjara hanya karena memperjualbelikan buku Pramoedya Ananta Toer. Rejim
memang tidak ambil peduli kepada siapapun yang akan kembali mengusik ketenangannya. Marlin
menggambarkan sebagai berikut:
…. (kebanyakan mahasiswa) mencerahkan sel-sel otaknya dalam kelompok-kelompok studi
untuk menemukan makna demokrasi (walau sering tak bisa menerima sifat blak-blakannya),
makna egalitarian (walau tak bisa menerima radikalisme dalam mewujudkannya). Semua
nilai-nilai budaya baru itu diserap dan dimuntahkan dalam dunia bacaan --betapa militannya
mereka (yang bisa berbahasa Ingris) mencari buku-buku langka yang baru….. 79

Kedua, mereka yang “melarikan” ke luar negeri setelah represi 1978 membawa ide-ide kiri baru
(New Left). Teori-teori yang sebetulnya sudah usang ini diterapkan dengan apa adanya, “seperti halnya
anak kecil yang baru melihat hal yang baru, ditiru begitu saja”. Ditengah rasa demoralisasi, mereka
mengatakan metode perjuangan harus diubah, perjungan harus melalui “pemberdayaan” rakyat. Maka
dalam kurun waktu itu beratus-ratus LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) didirikan. Tapi dalam
kenyataanya, LSM ini hanya dijadikan kedok untuk memperoleh kekayaan pribadi dengan membuat
proposal dengan kata-kata indah, “memperjuangkan” rakyat miskin.
Ada baiknya kita bahas secara singkat kemunculan organisasi LSM karena bagaimanapun
berpengaruh kepada gerakan mahasiswa sampai saat ini. Berbarengan dengan terjadinya represi
terhadap gerakan mahasiswa 1978, Barat yang merupakan pusat dari kapitalisme mulai menyadari
77
ibid
78
Bambang Isti Nugroho, seorang droup-out kelas 3 SMA, yang kemudian bekerja di fakultas MIPA UGM. Dia diadili karena
memperdagangkan buku-buku Pramoedya Ananta Toer dan menyimpan buku-buku Pram, Marxim Gorky, Frans Magnis Suseno.
79
Wawancara Marlin, LINK

20
bahwa kebijaksanaan mereka mulai menimbulkan keresahan sosial. Keadaan ini tentunya tidak dapat
dibiarkan karena apabila dibiarkan bisa menjadi picu ledak bagi perlawanan rakyat. Maka mulailah
disiapkan dana untuk membangun organisasi-organisasi yang seolah-olah anti negara, berasal dari arus
bawah,80. Organisasi inilah yang dipakai untuk masuk ke daerah-daerah “api” dan kemudian digunakan
untuk menjaga “api” tersebut supaya tidak membesar. Organisasi ini juga digunakan untuk
mendemoralisasi perlawanan rakyat. Lembaga-Lembaga Swadaya Masyarakat ini mempunyai
hubungan simbiosis mutualisme dengan kapitalis internasional. Kapitalis butuh LSM untuk mencegah
terjadinya konflik sosial, sedangkan LSM butuh dana kapitalis untuk memperbesar “perut” mereka.
Sampai saat ini menjadi anggota LSM adalah kecenderungan mantan aktivis mahasiswa yang sudah
selesai kuliah. Ini terjadi karena perspektif ideologi mereka lemah – setelah selesai studi di universitas
berarti sudah tidak pantas lagi terlibat aktif dalam gerakan mahasiswa – padahal apabila mereka
mempunyai kesadaran ideologis, tentu akan bergabung dengan organisasi revolusioner.
Baiklah kita lanjutkan perjalanan gerakan mahasiswa periode ini. Walau bagaimanapun
ketatnya rejim berusaha “memagari” gerak mahasiswa, lambat laun mahasiswa bisa lepas juga dari
kungkungan yang ada. Perlahan namun pasti, mahasiswa yang mempunyai kesadaran politis, keluar
dari “ruang-ruang” diskusi dan kembali mulai turun ke jalan. Seperti yang dijelaskan diatas, gerakan
mahasiswa mengambil strategi “melingkar”, melakukan aksi-aksi advoksi terhadap kasus-kasus rakyat,
hal ini mengingat depolitisasi kampus yang amat kronis. Gerakan mahasiswa mencoba menyadarkan
mayoritas mahasiswa yang terkena trauma dan mengalami depolitisasi dengan menunjukkan realitas-
realitas yang ada di masyarakat, bahwa penindasan, pelanggaran HAM, kesewenang-wenangan
dilakukan oleh penguasa. Memang dalam kurun waktu ini banyak kasus-kasus seperti penghapusan
becak dan angling darmo, pengusuran tanah, masalah perburuhan, pem-PHK-an yang kesemuanya
tanpa perlawanan pihak yang ditindas.
Strategi “melingkar” ini memang berhasil – walupun tidak maksimal, seperti yang dijelaskan
diatas, kampus tidak mampu untuk diliberalisasikan -- mengusik hati para mahasiswa yang masih ada
di dalam kampus untuk kembali terlibat dalam gerakan-gerakan mengkritisi, menentang kebijaksanaan
penguasa. Awal-awal 1990 mulai muncullah organisasi mahasiswa “ilegal” bagi rejim. Ini merupakan
perkembangan dari organisasi-organisasi bentukan gerakan mahasiswa akhir 1986–1990, yang berupa
komite-komite aksi. Gerakan mahasiswa mencoba melakukan konsolidasi ditingkat nasional dan mulai
mempermanenkan organ yang ada. Di Yogyakarta muncul Forum Komunikasi Mahasiswa Yogyakarta
(FKMY), di Surabaya muncul Forum Komunikasi Mahasiswa Surabaya (FKMS), di Manado lahir
Forum Komunikasi Mahasiswa Manado (FKMM), dan organ-organ lain di Jakarta, Bandung, Solo,
Semarang.
Dalam priode di atasi, pers mahasiswa juga memberikan sumbangan yang cukup besar dalam
menumbuhkan semangat demokratisasi. Ditengah membeonya pers-pers umum, pers mahasiswa berani
muncul sebagai pers alternatif dalam melihat kondisi yang terjadi di Indonesia. Kritik-kritik pedas dan
bahkan dilakukan secara terus terang terhadap rejim Soeharto seringkali membuat gerah pengguasa,
sehingga banyak pers-pers mahasiswa yang ditutup oleh penguasa lewat tangan rektorat.
Sejak munculnya organisasi-organisasi diatas, gerakan mahasiswa semakin menguat. Aksi-aksi
mahasiswa mulai membesar kembali, energi perlawanan mahasiswa timbul kembali. Di Yogyakarta
pertengahan tahun 1992, 12 ribu mahasiswa Universitas Gajah Mada dan universitas lain di Yogya
didampingi rektor UGM -- Prof. Koesnadi Harjosoemantri -- melakukan rally dari kampus UGM
menuju DPRD I Yogyakarta, memprotes diberlakukanya Undang-undang Lalu Lintas No. 14/1992.
Tahun 1993 ribuan mahasiswa – mayoritas mahasiswa Islam – menduduki Gedung DPR/MPR,
menuntut SDSB dihapuskan. Menteri Sosial waktu itu, Inten Soeweno, dengan menitikkan air mata
mencabut pemberlakuan SDSB di depan anggota DPR sementara diluar gedung, ribuan mahasiswa
terus menjalankan aksinya.
Satu tahun kemudian, mahasiswa diberbagai daerah memprotes dibredelnya Tempo, Detik, dan
Editor. Beberapa aksi direpresif oleh militer, seperti yang terjadi di Jakarta. Namun demikian aksi-aksi
mahasiswa terus berlanjut. Tahun 1996, tepatnya bulan April, di Ujung Pandang, mahasiswa yang
memprotes kebijaksanaan kenaikan tarif transportasi ditembaki oleh militer, sekitar 7 mahasiswa tewas
dalam insiden tersebut. Aksi ini telah menimbulkan solidaritas di kalangan mahasiswa lain di berbagai
daerah, seperti Jakarta, Surabaya, Lampung, Yogyakarta, Solo, Semarang, bahkan di Yogyakarta
sempat terjadi bentrokan dengan militer.
Secara organisasi, gerakan mahasiswa juga mengalami proses kemajuan, konsolidasi didalam
dan diluar kampus mulai dilakukan dan dibentuk organ mahasiswa nasional. Pada bulan Agustus 1994,
dideklarasikan organ mahasiswa nasional, Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi (SMID).
Sejak berdirinya, organ ini merupakan momentum bagi gerakan mahasiswa Indonesia untuk kembali
80
Lihat James Petras, Kritik Terhadap Kaum Post Marxis, LINK.

21
menjadi gerakan politik. Ini dapat kita lihat dari program-program SMID seperti menuntut di cabutnya
Dwi Fungsi ABRI dan paket 5 UU Politik 1985, yang merupakan pondasi dari rejim Soeharto 81. Dan
sejak saat ini aksi massa “dikukuhkan” menjadi metode perjuangan gerakan mahasiswa. Dalam
perkembanganya SMID kemudian berafiliasi dengan Partai Rakyat Demokratik (PRD). Periode 1994
dapat dikatakan merupakan masa keterbukaan politik dan merupakan kemajuan penting dalam gerakan
perlawanan rakyat. Kemajuan-kemajuan tersebut dapat diuraikan sebagai berikut:

1. Sentimen anti kediktoran rejim Orde Baru Soeharto mulai meluas.


2. Keberanian rakyat untuk mempertahankan hak-haknya semakin tumbuh.
3. Jaringan dan wadah-wadah perlawanan mulai dibentuk diberbagai tempat dan
sektor masyarakat.
4. Watak kerakyatan dalam perlawanan demokratik mulai muncul sebagai
pendorong utama untuk memaksakan keterbukaan dengan mulai terangkatnya isu
perburuhan dan tani (pertanahan).
5. Unsur-unsur demokratik dan kerakyatan dalam perlawanan telah mampu
berkembang dan berdiri di garda depan, baik dalam skala sektoral maupun
wilayah tertentu.82
Sementara di dalam kampus mulai dibentuk organ mahasiswa sektor kampus. Sebelumnya
selama kurun waktu 1979-1995 hanya ada lembaga mahasiswa formal yang diakui oleh pemerintah,
yaitu Senat Mahasiswa Perguruan Tinggi (SMPT). Tahun 1995 mulai dirintis berdirnya kembali Dewan
Mahasiswa (Dema), yang sejak diberlakukannya NKK/BKK dimatikan keberadaannya. Maka
muncullah Dema UGM, Dema UI, Dema USD. Namun sebelum konsolidasi ini selesai, meletuslah
peristiwa 27 Juli 1996. Setelah “Peristiwa Sabtu Kelabu”, rejim Soeharto memburu-buru aktivis
mahasiswa radikal dan aktivis PRD yang difitnah sebagai dalang peristiwa tersebut. Dalam kurun
waktu 1996-akhir 1997, dapat dikatakan gerakan mahasiswa tiarap. Kalaupun ada aksi, hanya sebatas
dilakukan oleh kelompok-kelompok mahasiswa radikal dengan kembali memakai komite aksi yang
bersifat “musiman” untuk terus melakukan perlawanan.

VIII

Gerakan Mahasiswa 1998—Mereka yang Merobohkan Simbol Kediktatoran

V.1. Keberhasilan Menggulingkan Simbol Keditatoran


Sejak September 1997 krisis ekonomi global ikut menyapu Indonesia, nilai rupiah melemah
terhadap dolar AS, harga-harga barang kebutuhan pokok mulai merangkak naik, banyak perusahaan
yang gulung tikar akibatnya banyak buruh yang ter-PHK. Dampak ini secara langsung juga menimpa
mahasiswa, terutama mahasiswa perantauan, harga makanan melonjak, kertas naik, belum lagi orang
tuanya yang di PHK atau perusahaan mereka yang bangkrut.
Dari kondisi seperti ini, aksi-aksi mahasiswa mulai marak kembali, dengan tuntutan-tuntutan
ekonomis, seperti turunkan harga. Akan tetapi kelompok mahasiswa radikal yang masih minoritas
secara kuantitatif tetap melancarkan tuntutan politik, seperti suksesi kepemimpinan nasional,
pencabutan Dwi Fungsi ABRI. Secara perlahan, bersamaan dengan krisis ekonomi yang semakin
memuncak, usaha-usaha kelompok radikal untuk menarik dari kesadaran “ekonomis” menjadi
kesadaran politik mulai berhasil. Aksi-aksi mahasiswa yang semakin membesar mulai meneriakkan
tuntutan politik, meminta Soeharto turun. Ini merupakan sejarah maju dalam gerakan mahasiswa di
Indonesia. Tuntutan yang selama ini “diharamkan” tidak ditabukan lagi. Seperti halnya dalam tulisan
Aspinal tentang tuntutan mahasiswa yang semakin politis:
Tipe demostrasi mahasiswa merupakan reduksi dari naiknya harga barang, menuntut dihapuskannya
korupsi, kolusi dan nepostisme, dan menuntut reformasi. Dari awal kebanyakan protes secara
ekplisit menuntut Soeharto turun dari jabatan sebagai presiden ( sebuah ekpresi dari sentimen ini
dapat dilihat pembakaran gambar Soeharto pada sebuah aksi di Universitas Gadjah Mada pada
tanggal 11 Maret).83

Dalam kurun waktu awal Februari sampai Mei 1998, secara kuantitatif dan kualitatif gerakan
mahasiswa naik secara dratis, dengan tuntutan yang sudah politis. Di kampus UI, Depok, dari tanggal

81
Demi Demokrasi, Partai Rakyat Demokratik Menolak Takluk, PRD, 1999.
82
Ibid
83
The Indonesia Student Uprising of 1998, Edwad Aspinal .

22
19-26 Maret terjadi aksi besar yang hampir menyamai aksi di tahun 1966 84. Pada hari terakhir Sidang
Umum MPR 1998, di Yogyakarta, sebuah patung raksasa berwajah Soeharto dibakar oleh para
demonstran, sekitar 50 ribu mahasiswa memenuhi Balairung UGM dalam aksi tersebut. Pada hari yang
sama juga terjadi aksi-aksi di Solo, Surabaya, Malang, Manado, Ujung Pandang, Denpasar, Padang,
Purwokerto, Kudus 85.
Dalam perkembangannya aksi-aksi mahasiswa semakin radikal. Diberbagai wilayah terjadi
bentrokan antara demostran dengan militer. Di Universitas Sebelas Maret Surakarta dan di kampus
Universitas Lampung, pada tanggal 17 Maret 1998 terjadi bentrokan antara mahasiswa-- yang ingin
melanjutkan rally keluar kampus-- dengan militer. Sementara di Yogyakarta, tanggal 2 - 3 April
bentrokan terjadi di Boulevard UGM dan bentrokan berulang pada tanggal 13 April ketika demonstran
dikejar-kejar dan ditembaki oleh militer sampai ke dalam kampus. Hampir 8 jam kampus UGM dikusai
oleh militer. Di Medan juga terjadi bentrokan serupa, dalam aksi tanggal 24 April demosntran
melempari militer dengan molotov, akibatnya kampus Universitas Sumatera Utara (USU) diliburkan
beberapa hari. Pada bulan Mei aksi-aksi mahsiswa semakin bertambah banyak, kampus-kampus yang
selama ini apolitis ikut terlibat dalam aksi-aksi. Peristiwa paling tragis terjadi tanggal 12 Mei ketika
terjadi aksi di Universitas Trisakti, Jakarta, 6 mahasiswa gugur diterjang peluru militer. Peristiwa ini
kemudian menyulut perlawanan dari sektor rakyat lain, tanggal 13-14 Mei Jakarta lumpuh total dengan
adanya kerusuhan masal. Sementara pada peringatan Hari Pendidikan Nasional, tanggal 2 Mei, terjadi
bentrokan di Jakarta, Medan, Yogyakarta, Jember, Malang dan beberapa kota lain 86. Antara tanggal 1
Maret sampai 2 Mei tercatat 14 bentrokan antara mahasiswa dan militer yang terjadi di Jawa, Sumatera,
Bali dan Lombok 87. Ketika hari-hari terakhir Soeharto akan “lengser”, gedung DPR/MPR dikuasai
mahasiswa, ratusan ribu mahasiswa menggelar mimbar bebas di gedung tersebut. Sementara di
Yogyakarta, sehari sebelum Soeharto turun, sekitar satu juta rakyat – yang dipelopori mahasiswa
Yogyakarta -- memenuhi alun-alun Utara, menuntut Soeharto mundur.
Masa-masa ini merupakan masa-masa yang revolusioner bagi gerakan mahasiswa. Aksi-aksi
mahasiswa dibeberapa tempat bahkan sudah menguasai RRI seperti yang terjadi di Surabaya,
Semarang, Padang. Sementara di Medan, mahasiswa menguasai bandar udara. Dapat dikatakan
aktivitas penerbangan, terutama penerbangan internasional, lumpuh total. Dalam kurun waktu ini juga
bermunculan beratus-ratus komite mahasiswa, besar maupun kecil. Namun sayangnya gerakan yang
sudah membesar ini hanya mampu menghasilkan pengalihan jabatan presiden dari Soeharto ke
Habibie. Kelemahan-kelemahan apa yang menyebabkan gerakan mahasiswa gagal melakukan
perubahan total, nanti akan kita bahas lebih lanjut.
Kita lanjutkan proses sejarah gerakan mahasiswa ’98. Setelah berhasil “melengserkan”
Soeharto, secara kualitatif dan kuantitatif gerakan mahasiswa menurun, hampir 6 bulan gerakan seperti
tenggelam tertelan tanah. Gerakan kembali bangkit mendekati Sidang Istimewa MPR, pertengahan
Nopember. Pada tanggal 13-14 Nopember 1998 aksi besar-besaran terjadi di Jakarta. Sekitar satu juta
mahasiswa dan rakyat berkumpul didepan kampus Universitas Atmajaya, Jakarta. Mereka akan
melakukan rally ke gedung DPR/MPR. Kemudian meletuslah insiden Semanggi, ketika mahasiswa
yang akan meninggalkan Universitas Atma Jaya ditembaki oleh militer, korban kembali berjatuhan.
Gerakan kali ini disokong penuh oleh rakyat – disamping rakyat terlibat aktif dalam aksi-aksi, ikut
membuat barikade, mengejar pamswakarsa, juga memberikan bantuan logistik --, kerusuhan seperti
Mei tidak terjadi karena mahasiswa berhasil memimpin. Gerakan tidak hanya terjadi di Jakarta,
dibeberapa daerah seperti Yogyakarta, markas militer seperti Korem sempat dikuasai mahasiswa
selama beberapa jam, sementara di tempat lain mahasiswa berhasil memaksa RRI menyiarkan tuntutan-
tuntutan mereka. Represi memang hanya terjadi di Jakarta, sedangkan gerakan di daerah tidak
mengalami represi, secara kualitatif dan kuantitatif gerakan di daerah juga tidak membesar seperti di
bulan Mei ’98. Kembali tuntutan mahasiswa seperti cabut Dwi Fungsi ABRI, Tolak SI dan
pemerintahan transisi belum berhasil digolkan.

V.2. Massa Habibie

2.1. Menguatnya Kesadaran Anti Militerisme


Sejak Nopember 1998 sampai Juli 1999 praktis gerakan mahasiswa mati, bahkan momentum
pemilu dilewatkan dengan “manis”. Memasuki akhir Juli, tepatnya ketika peringatan 27 Juli, gerakan
mahasiswa mulai bangkit kembali. Kota-kota seperti Jakarta, Surabaya, Solo, Yogyakarta, Bandung,
84
Ibid
85
Ibid
86
Ibid
87
Ibid

23
Tasik, Purwokerto juga melakukan aksi, dan di beberapa daerah bisa membangun front yang luas. Aksi
besar kembali muncul ketika peringatan 17 Agustus. Aksi-aksi kembali terjadi diberbagai kota.
Aksi ini semakin membesar ketika militer kembali ingin menancapkan kekuasaannya dengan
mengajukan RUU PKB. RUU yang jelas antidemokratis ini disambut dengan aksi-aksi penolakan
yang hebat. Aksi-aksi ini dilakukan bukan hanya oleh mahasiswa dan LSM-LSM, tapi juga rakyat .
Terbukti aksi tanggal 23 September berhasil menggerakkan kaum miskin kota untuk melawan
militerisme dengan melakukan aksi penyerangan terhadap tentara yang sedang menghadang aksi
mahasiswa. Mereka melempari tentara dengan molotov dan membuat barikade-barikade. Mahasiswa ,
disisi lain, hanya dapat bertahan di kampus Atma Jaya dan tidak dapat memimpin massa. Sementara
aksi penolakan terhadap RUU PKB tidak hanya berlangsung di Jakarta, takpi juga di daerah-daerah.
Bahkan di Palembang dan Lampung, aksi ini meminta korban nyawa 3 mahasiswa. Aksi anti
militerisme ini diikuti aksi-aksi yang lebih hebat seiring diadakannya Sidang Umum MPR pada bulan
Oktober ini. Aksi-aksi mahasiswa dan rakyat membawa isu penolakan pertanggungjawaban Habibie
dan pencabutan Dwi Fungsi TNI. Kembali terjadi bentrokan dengan militer pada hari Jumat, 15
Oktober.
Ada pelajaran yang dapat diambil dari gerakan mahasiswa 1998 sehingga gagal menuntaskan
revolusi demokratik. Pertama, lemah dalam ideologi. Dari basis historis, gerakan mahasiswa ’98
muncul karena adanya krisis ekonomi. Mahasiswa bergerak karena harga kebutuhan pokok naik, kost-
kostsan menjadi mahal, orang tua mereka terkena PHK. Keadaan ini secara langsung berdampak bagi
mahasiswa. Maka tidak heran kalau sebagian besar mahasiswa “baik-baik”, mahasiswa generasi
“dingdong” ini ikut turun kejalan. Kesadaran “ekonomis” ini kemudian berhasil dibawa ke kesadaran
politik. Injeksi kesadaran ini dilakukan oleh beberapa kelompok radikal – kelompok ini sejak tragedi
27 Juli 1996 tetap melakukan perlawanan dan mengangkat isyu-isyu politik – tapi injeksi inipun tidak
tuntas. Karena tidak didukung oleh kesadaran ideologis. Ketika “trend” gerakan menurun maka
aktivitas gerakanpun juga menurun. Hal ini terjadi seiring dengan menurunnya kuantitas mahasiswa
yang terlibat dalam demonstrasi-demonstrasi .
Ini berbeda dengan gerakan ‘90-an, dimana gerakan berawal dari kelompok-kelompok diskusi.
Dari diskusi-diskusi yang mereka lakukan, mahasiswa menjadi sadar tentang apa yang harus dilakukan,
bahwa sistem korup inilah yang menyebabkan negara berada dalam puncak krisis. Karena didukung
kesadaran ideologis maka kontinuitas gerakan lebih bisa terjaga. Disamping itu perdebatan-perdebatan
teoritikpun terjadi secara dinamis, sehingga selalu timbul perspektif-perspektif dan inisiatif-inisiatif
baru.
Kedua, akibat kelemahan ideologi-teori juga berakibat kelemahan strategi taktik.
Gerakan menjadi kaku dalam menghadapi gerak sejarah, tidak luwes dalam menghadapi
perubahan situasi nasional. Akibatnya banyak momentum-momentum yang seharusnya
dimanfaatkan dilewatkan begitu saja. Momentum pemilu yang seharusnya merupakan
kesempatan “berbicara kepada rakyat”, kesempatan untuk menyadarkan rakyat yang terilusi,
terlewat begitu saja.. Akibat kekakuan dalam menerapkan stratag dan “ketidakcerdasan” dalam
memanfaatkan setiap celah yang ada, lama kelaman gerakan menjadi mati, aksi-aksi tidak ada
lagi dengan begitu konsolidasi menjadi lemah.
Ketiga, sektarianisme gerakan. Dapat kita lihat sendiri gerakan masih terpecah-pecah sampai
saat ini. Walupun gerakan bisa membesar, hal ini lebih disebabkan oleh momentum dan isu yang sama.
Ini akan jelas apabila kita melihat data aksi mahasiswa 28 Oktober 1998 berikut ini.

Daerah Jumlah Tuntutan


Jakarta 14.000 orang  Tolak SI
 Cabut Dwi Fungsi ABRI
 Ganti Habibie dengan presidium
pemerintahan transisi
 Adili Soeharto
Bandung 3.500 orang  Tolak SI
 Cabut Dwi Fungsi ABRI
 Ganti Habibie dengan presidium
pemerintahan transisi
 Adili Soeharto
Yogyakarta 1.300 orang  Tolak SI
 Cabut Dwi Fungsi ABRI

24
 Ganti Habibie dengan presidium
pemerintahan transisi
 Adili Soeharto
Semarang 2.000 orang  Cabut Dwi Fungsi ABRI
 Percepat Pemilu
 Adili Soeharto c.s
 Cabut Tap. Soeharto/Habibie sebagai
presiden dan wapres
Surabaya 1.100 orang  Tolak SI
 Cabut Dwi Fungsi ABRI
 Pertagungjawaban Soeharto
Bandar Lampung 300 orang  Tolak SI
 Cabut Dwi Fungsi ABRI
 Adili Soeharto c.s
Palembang 700 orang  SI untuk ganti Habibie dengan
presidium pemerintahan transisi
 Percepat Pemilu
 Cabut Dwi Fungsi ABRI
 Adili Soeharto c.s
Manado 500 orang  Cabut Dwi Fungsi ABRI
 Adili Soeharto c.s

Tabel : Jumlah mahasiswa yang berlawan

Dari data diatas jelas adanya tuntutan yang sama – tolak SI, cabut Dwi Fungsi ABRI, adili
Soeharto – dan adanya satu momentum – hari Sumpah Pemuda, 28 Okotober –yang menyebabkan
gerakan membesar dan meluas. Bukan pula karena adanya front diantara organisasi gerakan
mahasiswa. Gerakan mahasiswa tetaplah terpecah-pecah. Memang telah dilakukan usaha untuk
membangun front, misalnya Rembuk Mahasiswa Nasional Indonesia (RMNI) di Bali dan Surabaya,
tapi ini tidak lebih sebagai ajang romantisme dan saling mengklaim bahwa kelompok merekalah yang
paling berjasa. Mungkin kelahiran Liga Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi (LMND) dapat
menghilangkan watak sektarianisme dan bisa membangun front yang sesungguhnya.
Sektarianisme juga menyebabkan gerakan menjadi elitis, tidak mau bergabung dengan sektor
rakyat lainya. Akibatnya, pertama, rakyat yang berperan aktif dalam demonstrasi-demonstrasi tidak
terpimpin, tidak heran kalau massa-rakyat melakukan pengrusakan toko-toko etnis minoritas, jalan tol
dan fasilitas umum lainya. Kedua, kekuatan mahasiswa dan massa rakyat yang seharusnya bersatu
menjadi terpecah belah. Banyak diantara organisasi mahasiswa yang masih termakan propaganda
militer, apabila aksi mahasiswa bergabung dengan sektor rakyat lainnya akan menimbulkan kerusuhan.
Kesalahan-kesalahan seperti ini tetap terulang dan terjadi juga pada gerakan-gerakan mahasiswa
sebelumnya.
Keempat, tidak adanya organ nasional. Apa yang ada saat ini, semisal FPPI (Front Perjuangan
Pemuda Indonesia) atau LMND (Liga Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi) 88, hanyalah sebatas
jaringan antar organ-organ mahasiswa di kota-kota atau sebatas front. Dapat dikatakan setelah SMID
88
Sejarah kelahiran LMND, dimabil dari pamflet yang dikeluarkan organisasi ini:
“Sejak jatuhnya suharto, beberapa komite aksi menyadari kebutuhan sebuah organisasi perjuangan yang bergerak
secara nasional menyatukan perlawanan mahasiswa bersama rakyat secara sistematis dan terprogram. Komite-
komite aksi tersebut, terdiri dari 11 buah termasuk dari Timor Leste, kemudian mendirikan Front Nasional untuk
Reformasi Total (FNRT) di pertengahan Mei 1998. Namun usia Front tidaklah panjang. Dii pertengahan 1998
FNRT bubar ditengah Kelesuan dan kebimbangan gerakan, meski komite-komite yang bergabung didalamnya
mencoba membentuk lagi sebuah organisasi nasional bernama Alansi Demokratik (ALDEM) pada Agustus 1998.
Mereka juga telah berhasil menerbitkan sebuah majalah “ALDEM”satu kali dan menggalang sebuah aksi nasional
pada tanggal 14 September 1998 dengan isu Cabut Dwi Fungsi ABRI. Namun nasibnya tak jauh berbeda dengan
FNRT, tenggelam di tengah hiruk pikuk gerakan menjelang Sidang Istimewa MPR 1998.
Upaya berikutnya adalah pembentukan Front Nasional untuk Demokrasi (FONDASI) pada pertengahan
Februari1999. Buntunya RMNI II di Surabaya dalam persoalan pengambilan momentum Pemilu Juni 1999,
memaksa Fondasi untuk mengundang berbagai komirte aksi untuk hadir dalam Konggres Mahasiswa di Bogor
pada 9-12 Juli 1999.Dari 20 komite aksi yang berasal dari berbagai kota di Indonesia, 19 diantaranya sepakat
untuk mendirikan sebuah organisasi nasional demi terwujudnya kesatuan perjuangan gerakan secara nasional.
Organisasi tersebut bernama Liga Mahasiswa Nasional Untuk Demokrasi disingkat LMND. Kongres I tersebut
juga menyatakan bahwa Perjuangan LMND adalah bagian dari Perjuangan rakyat Indonesia dalam rangka
menghancurkan sistem yang anti demokrasi dan mewujudkan masyarakat yang demokratis dan berkeadilan sosial.
Tujuan itu juga dinyatakan dalam ideologi organisasi yang disebut demokrasi kerakyatan, yang secara teori dan
praktek berpihak kepada mayoritas raakyat, yaitu kaum buruh ,tani dan kaum miskin kota”.

25
(Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi) “dihancurkan” setelah peristiwa 27 Juli 1999,
belum ada organ nasional yang terbentuk.
Akibat tidak adanya organ nasional ini, berdampak pada tidak adanya kesatuan aksi diantara
gerakan mahasiswa yang ada. Masing-masing gerakan berjalan sendiri-sendiri – baik tuntutan maupun
strategi taktik. Tidak adanya kesatuan aksi, jelas sekali mengakibatkan gerakan menjadi
terfragmentasi, tidak jelas apa yang sebenarnya akan dituju. Akibat selanjutnya, disamping gerakan
menjadi lemah juga membingungkan massa rakyat sendiri. Kita ambil contoh sikap gerakan mahasiswa
yang terpecah-pecah dalam menghadapi momentum pemilu 1999.
Dalam menghadapi pemilu ini, gerakan mahasiswa terbagi menjadi dua kelompok yang
kesemuanya mempunyai argumen masing-masing. Kelompok pertama menerima pemilu. Pemilu,
menurut mereka, merupakan jalan terbaik untuk memperbaiki situasi yang telah ada. Kelompok
mahasiswa ini kemudian bergabung dengan pemantau pemilu yang menjamur menjelang Pemilu bulan
Juni 1999, seperti Unfrel, Forum Rektor, KIPP. Kelompok kedua, tidak setuju dengan proses pemilu.
Pemilu tidak akan menyelesaikan masalah dan pasti tidak berjalan dengan jurdil karena masih
dilaksanakan oleh sisa-sisa rejim Orba. Maka pemilu harus ditolak. Kelompok ini kemudian terbelah
menjadi dua, membiarkan momentum pemilu berjalan begitu saja, karena apabila terlibat dalam
momentum pemilu dianggap ikut melegitimasi pelaksanaannya. Sementara kelompok lain yang tidak
percaya pemilu, melakukan aksi-aksi massa untuk menolak pemilu yang diselenggarakan rejim
Habibie. Rakyat sendiri menghendaki mahasiswa paling tidak menfokuskan tuntutannya. Berdasarkan
“jajak pendapat” yang dilakukan majalah Tempo, 65% menghendaki hal itu dan 60% menghendaki
mahasiswa berkoalisi dengan kelompok lain .
Kelima, lemah dalam basis massa. Seperti yang sudah dibahas diatas, sebagian besar
mahasiswa yang bergabung dalam gerakan mahasiswa ’98 adalah akibat “trend” yang ada.
Tidak heran kalau massa yang ada bukanlah massa yang terorganisir melainkan massa yang
termobilisasi. Hal ini berakibat melemahnya basis massa sejalan dengan dengan melemahnya
trend gerakan. Sementara itu organ-organ mahasiswa yang ada tidak mengantisipasi hal ini,
tidak cepat melakukan konsolidasi terhadap massa yang masih cair, dan tidak segara
mengadakan pendidikan-pendidikan ideologi teori. Aktivitas aktivis mahasiswa hanya berkutat
di sekitar aksi dan pergi ke kota satu ke kota lain dengan alasan konsolidasi. Sementara
kampus yang “melahirkan” mereka dan disanalah sebetulnya basis mereka, ditinggal begitu
saja. Akibatnya, gerakan menjadi tidak populis diantara mahasiswa sendiri. Tidak heran kalau
sampai saat ini banyak sekali organisasi mahasiswa yang hanya papan nama belaka.
Keenam, ini sebetulnya bukan kesalahan gerakan mahasiswa semata, tapi kesalahan kekuatan
radikal secara umum, yaitu tidak adanya partai pelopor yang sanggup memimpin. Situasi periode
Februari sampai Mei adalah situasi yang “revolusioner”, keadaan ini bisa berubah setiap detik – orang
sebelumnya apolitik saat itu berbicara politik, ratusan komite-komite perlawanan terbangun. Tapi
karena tidak ada satu kekuatanpun yang mampu memimpin, situasi ini dapat dikatakan tidak
menghasilkan apa-apa. Pada saat-saat seperti ini dibutuhkan satu peranan dari partai pelopor untuk
memimpin pengambilalihan kekuasaan. Ini sekali lagi hanya bisa dilakukan oleh partai pelopor, tidak
oleh komite-komite aksi.
Kita dapat melihat kelemahan ini dalam peristiwa Mei ’68 di Prancis. Situasi Mei ’98 di
Indonesia mirip dengan situasi di Prancis pada bulan yang sama tahun 1968. Ketika itu di Prancis
ratusan mahasiswa turun ke jalan-jalan dan gerakan ini kemudian mampu memobilisasi kelas pekerja
untuk melakukan pemogokan, bahkan sekitar 15 pabrik sudah berhasil direbut. Puncak dari “revolusi”
ini: kampus-kampus bisa dikuasai mahasiswa, sekitar 10 juta buruh melancarkan aksi pemogokan
nasional. Presiden De Gaulle sudah melarikan diri ke Jerman Barat. Kesempatan ini ternyata disia-
siakan oleh kekuatan radikal. Bedanya kalau di Indonesia belum ada partai pelopor – kalaupun ada
belum bisa bergerak bebas -- akan tetapi di Prancis partai pelopor itu sudah ada, tapi mereka malah
“bersembunyi” ketika situasi sedang revolusioner.
Disamping kelemahan-kelemahan diatas, ada juga kelebihan-kelebihan gerakan mahasiswa ’98
dibanding gerakan mahasiswa sebelumnya. Pertama, sikap tegas terhadap militerisme. Sikap gerakan
mahasiswa '98 terhadap militer tidak ada kompromi, sejak awal mahasiswa menuntut pencabutan Dwi
Fungsi ABRI. Sikap tegas ini membawa gerakan mengambil sikap tegas dan tidak melakukan
kolaborasi dengan militer. Ini tentunya berbeda dengan gerakan mahasiswa sebelumnya. Gerakan
mahasiswa ’66 jelas melakukan kerjasama dengan militer, begitu juga gerakan mahasiswa ’74.
Gerakan mahasiswa ’78 walaupun tidak melakukan kolaborasi dengan militer tapi mengambil sikap
tidak tegas terhadap militerisme. Rupanya gerakan mahasiswa ’98 telah belajar dari kesalahan para
pendahulu mereka. Ini tidak lepas dari pengaruh gerakan anti militerisme yang sudah dilontarkan
kelompok-kelompok radikal sejak ‘90-an.

26
Kedua, gerakan mahasiswa ’98 – pada tahap awalnya -- bisa menyebar hampir ke seluruh kota-
kota di Indonesia. Dapat dikatakan, gerakan ’98 merupakan gerakan terbesar setelah gerakan
mahasiswa ’66. Adanya perlawanan yang meluas ini bisa membuat penguasa kalang kabut, daya
resitensipun menjadi semakin kuat dan akhirnya tuntutan mereka untuk memaksa Soeharto lengserpun
bisa berhasil. Ini merupakan pengalaman berharga untuk gerakan mahasiswa ke depan. Dua momentum
gerakan mahasiswa membuktikan bahwa hanya dengan gerakan yang meluas, gerakan mahasiswa
dapat berhasil memperjuangkan tuntutan-tuntutan. Adanya gerakan yang membesar disemua kota juga
akan menaikkan moral perlawanan mahasiswa sendiri dan bisa memobilisasi rakyat dalam jumlah
yang lebih besar
Secara garis besar, dalam periode ini juga dapat disimpulkan dua konsepsi ideologis dari GM.
Pertama, yaitu pandangan yang menyatakan bahwa gerakan mahasiswa diarahkan pada pengkritisan
sistem yang dibangun Soeharto. Dalam pandangan ini, GM harus mengkritisi siapa saja yang
memerintah paska Soeharto, sedangkan sistem yang dibangun Soeharto sendiri tidaklah bermasalah.
Kedua, yaitu pandangan yang menyatakan GM harus diarahkan pada pengantian sistem yang dibangun
oleh Soeharto. Dalam pandangan kelompok GM ini, bahwa sistem yang dibangun Soeharto sudah
bobrok dan harus diganti oleh sistem yang baru.

V.3. Massa Gus Dur89

3.1. Tumbuhnya Kesadaran Menghancurkan Sisa-sisa Orde Baru Yang Setengah Hati
Polari gerakan pada masa Abdulrahman Wahid terus terjadi. Dapat dikatakan pada masa Ini
gerakan mahasiswa sudah menjadi bagian dari gerakan politik yang berkembang ketika itu. Gerakan
mahasiswa—walau dengan malu-malu—mendukung Gus Dur atau berhadapan denganya.
Gerakan yang mendukung Gus Dur memakai bungkus penghancuran sisa-sisa Orde Baru. Ini
bukan kesadaran yang mereka miliki, tapi dipasokkan oleh gerakan kiri (PRD). Pemahaman yang
setengah-tengah dari program penghancuran sisa-sisa OrBa ini dapat dilihat dari sikap politik yang
berkembang. Mereka bisa menerima pengadilan GOLKAR dan Pembubaran Parlemen, tetapi sangat
sulit menerima Perceptan Pemilu—alasan mereka guna melihat watak indepensi. Akibatnya, dalam
startegi taktik penghancuran sisa-sisa Orba juga tanggung.

Bulan/Th.2000 Jumlah
Aksi
Januari 4
Februari 9
Maret 7
April 6
Mei 6
Juni 1
Juli 12
Agustus 6
September 10
Oktober 24
Nopember 14
Desember -

Tabel 17 : Aksi Mahasiswa Di Jakarta

Sedangkan yang berhadapan dengan Gus Dur banyak dimotori oleh sayap politik dari Partai
Keadilan—KAMMI—dan Golkar—BEM. Tuntutan mereka menuntut Gus Dur mundur karena telah
melakukan KKN. Dalam jumlah massa karena didukung logistik yang banyak, mereka bisa
memobilisasi massa dalam jumlah yang besar. Bahkan pada tahap walnya mereka bisa mendominasi
opini yang muncul dimedia massa. Namun, ketiak Gus Dur semakin mendekati kejatuhannya—ketika
massa NU bergerak—mereka tidak lagi mengelar aksi-aksi massa lagi.

89
Diambil dari tulisan penulis, Jalan Kemenangan, Dokumen Kongres Ke IV PRD, tidak dipublikasikan

27
IX

GM Masa Mega-Hamzah:

Bersama Massa Rakyat Membangun Pemerintahan Rakyat Miskin

Naiknya Megawati ke singgasana kekuasaan merupakan hasil dari alinsi jahat antara PDIP,
Golkar, Reformis Gadungan, militer dan kapitalis internasional. akibatnya, ruang demokrasi
kembali ditarik mundur oleh megawati dengan mengunakan tentara sebagai penopang
kekuasaannya. Kasus-kasus pelanggarahan HAM berat yang terjadi selama ini tidak ada satupun
yang diungkap secara tuntas, yang terjadi malah memperluas keterlibatan tentara dalam setiap
penyelesaian konflik—misalnya di Aceh, Papua, Maluku, dll. Dan yang terakhir, setelah medaknya
Bom dibali kemudian ditetepkan Perpu Anti Teroris yang pada intinya sama dengan UU Suversib.
Situasi ini terjadi karena dua hal:
“Pertama, Megawati naik ke kekuasaan menggantikan Gus Dur adalah hasil dari
aliansi reaksioner antara PDIP-Golkar-TNI/Polri-Poros Tengah di parlemen. Tentu saja Mega
harus membayar harga itu semua. Dan bayaran tersebut antara lain, tidak mengusut tuntas
kasus-kasus pelanggaran HAM, memberikan porsi kekuasaan yang lebih besar kepada sisa
Orde Baru, tidak mengusut tuntas korupsi Akbar Tanjung dan Partai Golkar dalam kasus
Bulogate II dan korupsi pejabat serta konglomerat Orde baru lainnya. Sejak awal Megawati
telah diberi pilihan, apakah ia mau bersama rakyat menghancurkan sisa-sisa Orde Baru; atau
menindas rakyat sebagai konsekwensi bersekutu dengan mereka. Dan Mega telah mengambil
pilihan: bersekutu dengan sisa-sisa Orde Baru.
Kedua, situasi krisis ekonomi yang semakin parah itu tak mungkin sanggup diatasi
dengan memberikan konsesi (sogokan) ekonomi maupun sogokan politik kepada rakyat.
Tekanan krisis dan watak politik Mega yang konservatif tak memungkinkan konsesi ekonomi
maupun demokrasi. Megawati lebih menyukai memangkas subsidi rakyat yang telah
mendorong kenaikkan harga TDL, BBM, tarif transportasi, tarif telpon dan lain sebagainya;
menambah Kodam, serta meningkatkan represi untuk meredam protes-protes rakyat. Seperti
biasanya, dalam krisis kapitalisme, bagi negara yang tidak sanggup memberikan sogokan
ekonomi (karena krisis yang sangat dalam) akan cenderung memilih merepresi perlawanan
rakyat dan merampas hak-hak demokrasi rakyat”. 90

Sementara dalam kebijaksanaan ekonomi, pemerintahan Mega-Hamzah sangat pro kapitalis


internasional sehingga mengeluarkan kebijaksanaan ekonomi yang banyak merugikan rakyat—seperti
pemotongan subsidi pendidikan, kenaikan harga BBM. Kebijakan ekonomi pemerinatahan Mega-
Hamzah saat ini yang panyak sekali dilakukan adalah memangkas subsisi, menjual aset-aset rakyat
tingkat kesejahteraan rakyat yang makin merosot (lihat, idem). Sementara itu tak ada satupun fakta
yang bisa ditemukan bahwa indikator-indikator perekonomian makro bergerak ke arah positif.
Penguatan rupiah belakangan ini semata-mata karena faktor psikologis pasar (suksesnya beberapa
privatisasi BUMN, kucuran hutang dari IMF, penjadwalan pembayaran hutang). Jadi tak ada satupun
fakta bahwa penguatan rupiah itu terjadi karena fundamental perekonomian secara makro semakin
membaik: misalnya dilihat dari kinerja ekspor, investasi produksi yang baru, beban hutang, tingkat
pengangguran dll Mengenai indikator-indikator akumulasi krisis dan merosotnya kesejahteraan rakyat.

90
Pembebasan, Edisi III September-Oktober 2002

28
Gelombang represifitas dan penyempitan ruang demokrasi dapat kita lihat dari table
dibawah ini—DAN BAHKAN, KETUA BIRO PERS MAHASISWA FILSAFAT UGM “PIJAR”,
IGNAS KLERUK MAU JUGA DIPENJARAKAN OLEH REJIM MEGAWATI-HAMZAH HAZ.

Tabel Repersifitas Rejim Megawati Tahun 200191


NAMA TAPOL/NAPOL TGL TEMPAT KETERANGAN
DITANGKAP
1 Muhamad Nazar (Ketua SIRA) Desember Banda Aceh Ditangkap ketika mengorganisir
2000 SIRA RAKAN II, pasal penghasutan.
Masih ditahan.
2 Kautsar (Ketua FPDRA) 11 Juli 2001 Banda Aceh Ketua Front Perjuangan Demokratik
Rakyat Aceh, ditangkap ketika
membawa statment Koalisi Rakyat
Aceh seruan pembangkangan sipil
sebagai respon atas pelanggaran
Ham di Aceh
3 Rufriadi , Ari Maulana, Bakhtiar 20 Juli 2001 Banda Aceh Korban penangkapan polisi yang
(Direktur dan staf LBH B. Aceh); dengan brutal menangkapi peserta
T. Ananda, Amrie Saldien, Pekan Kampanye Anti Militerisme di
Hendra—FPDRA; Zamzani, Faza, halaman LBH Banda Aceh.
Mahmudal—SMUR; Jakfar
(SKKPHAM Aceh), Banta
(KARMA), Hospi, Dede,
Iskandar—KOMPOS; Adi (warga
biasa), Seorang pemuda belum
teridentifikasi. Jml 20 orang
4 Yovie Wijaya, Sri Darwantie, 17 Juni 2001 Bandung Ditangkap ketika membagikan
Didien Suherman, Asep Ruhiat, selebaran PRD tentang penolakan
Andi Hartono, Anton Jauhari, kenaikan BBM. Status penangguhan
Dony Danudirjo. Jml 7 orang penahanan sejak tanggal 3 Agustus
kader KPW PRD Jawa Barat 2001. Tuduhan penghasutan.
5 F.X. Farneubun (PRD), 14 Juni 2001 Bandung Ditangkap saat ssat meredam
Normalinda (LMND), George kemarahan buruh dalam aksi
(LMND ITB); Hiskia Hartono, menolak Kepmenakertrans 78
Maraden Sinaga—Mhs; Kahfi, tanggal 14 Juni. Saat dan setelah
Albertus Budi, L.V. Mardiono, penangkapan dianiaya. Belum
Edy Irwansyah, Wirya W., Deni dibebaskan. Tuduhan pasal
Kusmarna—buruh; Deni penghasutan.
Nugraha (pedagang). Jml 12
orang.
5 Mustawiayanto (Ketua Fraksi 1 Agustus Bondowoso Ditangkap ketika mendistribusikan
PKB Bondowoso), M. Rozak 2001 undangan Konggres Rakyat
(anggota Fraksi PKB DPRD Bondhowoso oleh DPKR (Dewan
Bondowoso), Rudi Asiko (Ketua Penyelamat Kedaulatan Rakyat).
KPK PRD Jember), Febrianto Tuduhan makar. Masih ditahan.
(staf KPW PRD Jatim), Joni,
Hamka, Noval—sekrettaris dan
anggota IPPNU Bondowoso,
Hadi (PMII Banyuwangi).
6 Mixil (Forkot) dan dua rekannya 6 Juni 2001 Jakarta Ditangkap ketika ikut aksi dan
mendistribusikan selebaran
menentang kenaikan BBM 6 Juni.
Belum dibebaskan.
7 Nanang, Fachruddin, Guminto 25 Juli 2001 Malang Ditangkap dan disertai tindakan
(Mhs Unisma). kekerasan sewaktu mengadakan aksi
mimbar bebas anti Orde Baru.
Dikenakan tuduhan tindak pidana
ringan. Sudah dibebaskan.

Situasi di atas masih ditambah adanya krisis kapitalisme, seperti kata Marx: KAPITALISME
SEDANG MENGGALI LIANG KUBURNYA SENDIRI. Kebobrokan dalam sistem kapitalisme tidak
dapat ditutup-tutpi lagi, dimana perekonomian terus bergerak kerah krisi yang semakin mendalam.
Badai yang menerjang sistem kapitalisme ditandai dengan keruntuhan lembaga-lembaga kapital finans
yang mengelola pasar modal-pasar modal (yang tumbuh marak sejak boom ekonomi tahun 90-an)
semacam Nasdaq, Atriax (pasar modal milik Citybank), JP Morgan-Chase, Deutchse Bank yang
mengarah kepada kebangkrutan –sebelumnya Bondbook telah ditutup. Situasi ini terus berlanjut
dengan meningkatnya naiknya hutang rumah tangga meningkat hingga 107% di Amerika, 115% di
Jerman, 132% di Jepang dan 118% di Inggris –dibandingkan pendapatan disposabel (setelah dipotong
pajak). Menurut Boris Kagarlitsky, ekonom kiri dari Rusia, pertumbuhan hutang ini bisa dilihat,
misalnya di Amerika saja hutang beragunan di tahun 2000 telah mencapai US$ 6,8 triliun, hutang
negara sebesar US$ 6,6 triliun, dan total utang negera dan swasta sebesar US$ 13,5 triliun.92
Jadi sebetulnya krisis sudah terjadi sebelum serangan teroris terhadap WTC terjadi, dunia dalam
keadaan sedang dilanda krisis—juga melanda AS. Kepada Federal Bank Sentral AS, Alan Greenspon
dalam setahun harus menurunkan suku bunga sanpai tujuh kali. Kalau sektor perbangkan dilanda
kepanikan, maka kejadian ini akan mengulang tragedi depresi besar (The Great Depression) tahun
1930-an.93. Sementara itu, menurut laporan majalah ekonomi Economist bursa-bursa saham efek AS,

91
“Tugas Kita” Harian Perjuangan Rakyat, terbitan PRD, edisi 2 Agustus 2001
92
Op.cit.
93
A. Tony Prasetiantono, Kompas 17 September 2001

29
Jepang dan Eropa dicekap rasa nervous yang luar biasa. Di bursa New York, Down Jones Industrial
Averege (DJIA) runtuh 14,3%--kejadian terburuk yang pernah terjadi sejak resisi 193394
Guna mengatasi krisi ini salah satunya adalah dengan perang. Serangan Amerika terhadap
Afganistan ini dapat dipahami dalam kerangka mengatsi krisi kapitalisme, selain bahwa ciri
pemerintahan Partai Republik Presiden Bush ini merupakan koalisi dari para pengusaha minyak
(seperti Bush dan Wapres Dick Cheney) dan senjata, serta masyarakat defence yang terdiri dari
penjabat dan ilmuwan seperti Wolfowitz95. Bagi Gedung Putih, runtuhnya pemerintahan Taliban akan
membuka kembali peluang untuk membangun pipa migas yang selama ini diinginkan 96. Masih
pendapat serupa, Direktur Eksekutif Cebtre for Islamic Reseach and Studies (CIRES), Muhammad
Niam, memandang perang AS-Afganistan lebih bermotif ekonomis daripada ideologi. Dalam ksus ini
Osama hanya dijadikan sasaran antara untuk menguasai ekonomi dikawasan Asia Selatan dan tengah,
dengan cara mengulingkan Taliban yang berkuasa di Afganistan. Niam menunjuk pengalaman buruk
AS pada tahun 1990-an , ketika pembangunan pipa minyak yang direncanakan melalui Asia Tengah,
Asia Selatan (Afganistan) hingga Karachi (Pakistan) gagal, padahal membutuhkan dana yang besar97.
Kekacauan-kekacauan ekonomi di negeri-negeri imperialis utama membawa konsekwensi-
konsekwensi ekonomi dan politik, tak hanya bagi situasi domestik masing-masing negeri imperialis
utama, namun juga bagi kondisi stabilitas ekonomi politik global dan bagi negeri-negeri terbelakang.
Dampak tersebut:
“Pertama, kemerosotan ekonomi domestik diatasi dengan pemotongan kapasitas
produksi yang mendorong PHK-PHK; juga privatisasi di negeri imperialis utama telah
membawa kekacauan energi listrik di California, meningkatnya kecelakaan kereta api di
Inggris, dan penurunan subsidi pendidikan dan kesehatan diberbagai negeri imperialis utama.
Kedua, untuk meredam keresahan rakyat pekerja, para politisi borjuis mendorong
mood politik massa ke arah kanan. Misalnya kampanye anti imigran sebagai biang kesulitan
mendapatkan lapangan pekerjaan, ditambah sentimen anti Islam/Asia dsb adalah
latarbelakang ideologis berkembangnya kekuatan-kekuatan fasis di Eropa, Amerika dan
Australia. Pembunuhan Pim Fortuyn di Belanda mengangkat solidaritas kanan, demikian juga
meningkatnya popolaritas Le Penn dijadikan pembenaran kebijakan neoliberalisme-nya
Chiraq.
Ketiga, walaupun belum dalam tingkat yang berbahaya persaingan antar negeri-
negeri imperialis utama terus meningkat. Hal ini bisa dilihat dalam kejadian-kejadian seperti
perang tarif baja, tekstil, hasil pertanian, kayu dll antar negeri-negeri imperialis utama.
Keempat, melalui lembaga-lembaga keuangan internasional mendorong percepatan
implementasi kebijakan-kebijakan neoliberalisme di negeri-negeri berkembang dan
terbelakang, untuk mendapatkan pasar-pasar baru (tak terkecuali di Indonesia), walau tanpa
demokrasi sekalipun –agak berbeda dengan kampanye liberalisasi modal di awal tahun 1980-
an yang sedikit banyak masih membawa isu demokratisasi, penegakan HAM dsb dengan cara
yang moderat. Pergeseran ini nampak jelas dalam kasus naiknya Musharaf di Pakistan,
dukungan AS atas kudeta di Venezuela dsb—dalam kasus Indonesia misalnya tekanan
imperilaisme untuk menyikat Islam fundamentalis seperti penangkapan Jakfar Umar Thalib,
penghentian embargo senjata dan normalisasi hubungan dengan TNI/Polri. Bahkan untuk
mengantisipasi gerakan perlawanan terhadap imperialisme, dengan neoliberalismenya, sejak
setengah tahun yang lalu telah diperhebat kampanye anti terorisme. Tak lain dan tak bukan
“Perang Melawan Terorisme” ditujukan untuk menghantam negeri-negeri yang tak mau patuh
dengan dominasi AS (termasuk dengan skenario neoliberalismenya) seperti Kuba, Irak,
Korea Utara, Libia, Venezuela dsb”.98

Maka, situasi di atas, dapat disimpulkan sebagai berikut:


“Dengan meningkatnya intensitas kebijakan ekonomi anti rakyat miskin, cenderung
pula meningkat perampasan hak-hak demokrasi. Dengan latar belakang borjuasi kecil
konservatif, Mega—bersama Hamzah Haz, Amien Rais, Yusril Ihza Mahendra, dan reformis
gadungan lainnya, termasuk orang-orang yang menanti-nantikan kesempatan untuk berkuasa
—sejak Suharto dijatuhkan, cenderung memajukan kepentingan faksi borjuasi terdekatnya.
Padahal, dalam perjuangan menumbangkan kediktatoran Orde Baru, gerombolan burjuis
tersebut adalah orang-orang yang paling pengecut. Sekarang Megawati telah
merepresentasikan kepentingan kaum borjuasi yang sesungguhnya. Dan penerapan
kebijakan-kebijakan yang diarahkan oleh IMF menemui kegagalan. Megawati telah gagal,
hasil-hasil yang bisa dilihat hanya lah bertambahnya kemiskinan, pengangguran, angka putus
94
A. Tony Prasentiantono, Kompas 16 Oktober 2001
95
Budiarto Shambuzy, Kompas, 16 September 2001
96
Maruli Tobing, Kompas 10 Nopember 2001
97
Kompas, 26 Oktober 2001
98
Pembebasan, Edisi III Agustus-September 2002

30
sekolah, banjir dan dampak-dampaknya, serta represi. Entah harus berapa lama lagi rakyat
Indonesia berada dalam horor kemiskinan jika pemerintahan Megawati tetap dipertahankan.
Tak benar alasan bahwa pemerintahan Mega masih belum diberikan cukup waktu karena,
seberapa pun ia diberi waktu, konsep-konsep pembangunannya memang anti rakyat dan tak
bisa dipertanggungjawabkan secara teoritik. Jadi, tak ada jalan lain kecuali
PEMERINTAHAN MEGAWATI HARUS DIGANTI!!”99

Melihat perkembangan situasi nasional di atas, maka fokus gerakan mahasiswa adalah
MENGULINGKAN REJIM MEGA-HAMZAH dan menggantinya dengan pemerintahan yang
memihak rakyat miskin. Dengan kata lain, bahwa program perjuangan yang harsu dilakukan
adalah merebut kekuasaan negara.

Konsepsi-konsepsi di atas, maka kemudian menghasilkan program-program kongkrit menuju


pembentukan pemerintahan rakyat miskin. Program-program ini dapat kita lihat dari program salah satu
organ mahasiswa yang dapat mewakili—dapat mewakili karena organisasi ini mempunyai jaringan
nasional dan internasional-- yaitu program LMND yang dapat kita lihat sebagai berikut:
“Buruh: Naikan upah,Stop sistem buruh kontrak,Tolak buruh anak, Perlindungan buruh
migran, 32 jam kerja,Tolak PHK sewenang-wenang,Tolak politik perburuhan ORBA. Kaum
Miskin Kota:Tolak penggusuran,Lapangan pekerjaan bagi KMK,Kebutuhan pokok gratis
bagi rakyat,Tolak kebijakan City Without Slum (Kota Tanpa Kekumuhan). Tani: Tanah ,
modal , teknologi murah untuk pertanian kolektif,Perlindungan harga komoditas pertanian
nasional. Perempuan: Tolak diskriminasi terhadap perempuan,Tolak ekploitasi perempuan,
Legalkan aborsi, Penyediaan fasilitas reproduksi gratis, Penyediaan fasilitas pengasuhan anak
gratis. Pendidikan:Pendidikan gratis , ilmiah , dan demokratis,Tolak privatisasi dunia
pendidikan, Lawan premanisme kampus,Tolak DO dan skorsing,Bentuk Dewan Mahasiswa,
Sejahterakan tenaga pengajar dan karyawan, Cabut sistem SKS. EKONOMI:Tolak pasar
bebas.Tolak privatisasi, Hapus hutang dan tolak hutang luar negeri,Tolak pencabutan subsidi,
Tolak kenaikan BBM, Turunkan harga. INTERNASIONAL: Tolak RUU anti teroris,Tolak
invasi Israel ke Palestina,Hapus hutang dunia ketiga,Tolak kebijakan rasisme
internasional,Kemerdekaan Palestina, Bangun front solidaritas anti imperialisme, Tolak
perang, Tolak semua bentuk terorisme, Bubarkan lembaga keuangan dan moneter. POLITIK:
Adili pelanggar HAM di Mahkamah Internasional,Hancurkan sisa-sisa ORBA dan reformis
gadungan,Cabut dwi fungsi TNI\POLRI,Adili dan sita kekayaan harta koruptor,Adili suharto,
Gulingkan Rejim Mega-Hamzah, Bubarkan parlemen dan bentuk Dewan Rakyat. RESOLUSI
ACEH: Referendum,kemerdekaan,Tarik Militer non Organik. RESOLUSI PAPUA: Hak
menentukan nasib sendiri bagi bangsa Papua.Program:Tarik Militer non Organik,Hentikan
eksploitasi alam di Papua,Kesejahteraan bagi bangsa Papua.” 100

Akhirnya, hanya dengan program perjuangan yang jelas, program ideologi yang tepat, program
ekonomi-politik yang dapat menjawab persoalan rakyat dan program organisasi yang dapat mewadahi
gerak kondisi obyektif-LAH, yang akan mampu mengarahkan sebuah gerakan dalamt memimpin
perubahan.***

99
Ibid.
100
Pamflet LMND.

31

Anda mungkin juga menyukai