Anda di halaman 1dari 20

POLITISASI HUBUNGAN KELAMIN DI INDONESIA;

SEJARAH GERAKAN WANITA INDONESIA DAN


GERWANI SAMPAI ORDE BARU
Saskia Eleonora Wieringa (I)
Thesis di Institute of Social Studies
The Hague
1995

Pengantar
Jalan sejarah kita dibangun oleh para 'sejarawan' yang mengabdi
kekuasaan militer ... Kita yang sudah disiksa dan kalah jangan sekali-kali
menjadi putus asa. Kita harus berjuang untuk hidup. Generasi muda harus
belajar dan tahu, apa yang sebenarnya telah terjadi pada masa lalu. Sejarah
harus ditulis di atas kejujuran, sehingga generasi-generasi mendatang tidak
akan salah mengerti. (Dok IX 1992:22)
'Sejarah' yang dimaksud dalam kutipan tersebut di atas meliputi jangka waktu
setengah abad, yaitu sejak Sukarno dan Hatta memproklamasikan kemerdekaan
Indonesia sampai sekarang; dan khususnya sekitar tahun-tahun 1965, ketika Orde
Lama Sukarno digantikan denganOrde Baru Suharto. Mereka yang 'telah disiksa
dan dikalahkan' itu adalah orang-orang dari Partai Komunis Indonesia dahulu,
atau dari organisasi ini dan itu yang termasuk dalam 'Keluarga Komunis',(1)
seperti misalnya organisasi perempuan Gerwani (2) (GerakanWanita Indonesia).
Suharto tampil ke atas singgasana kekuasaannya dengan menciptakan kampanye
kekerasan yang tak ada tolok bandingannya di masa lalu, dan dikuatkannya pula
dengan tuduhan pesta-pora seksual yang konon dilakukan oleh para anggota
Gerwani. Orde Baru tidak hanya dibangun di atas timbunan mayat-mayat, yang
diperkirakan sebanyak satu juta (3) , dari orang-orang tak berdosa yang dibantai
selama bulan-bulan terakhir tahun 1965 dan bulan-bulan pertama tahun 1966.
Tetapi Orde Baru juga dibangun diatas pembasmian kekuatan kaum perempuan,
yang telah berhasil diperolehnya selama dasawarsa-dasawarsa sebelumnya,
kekuatan yang oleh musuh-musuh mereka dilukiskan melalui metafora-metafora
seksual.
Tidak banyak perhatian diberikan pada masa genting dalam sejarah modern
Indonesia ini, baik oleh peneliti dari luar maupun dari dalam negeri sendiri.
Seperti John Legge mengakui, 'barangkali karena yang dibunuh adalah orang-
orang Komunis, maka sedikit banyak hati nurani dunia luar seakan-akan tidak
terusik oleh apa yang harus digolongkan,apa pun penilaiannya, sebagai salah satu
pembantaian paling keji dalam sejarah modern' (Legge 1972:399). Jelas jika
Amerika Serikat menjadi merasa lega, bila selagi berada di tengah kemelut
Perang Vietnam, Sukarno, yang mereka pandang sebagai pengacau dunia yang
hendak menyerahkan Indonesia ke tangan kaum Komunis yang berbahaya yaitu,
telah berhasil disingkirkan oleh seorang jendral kanan yang dengan segala daya
membawa Indonesia ke jalan kapitalis.(4) Seorang pengamat kekuasaan Suharto,
Vatikiotis (1993:34), menulis: 'Indonesia, citra buruk bagi para pengamat politik
luar negeri Amerika Serikat itu, dalam tahun1960-an tiba-tiba memberi bukti
paling terang, bahwa tidak semua kekuasaan yang dibangun di atas laras senjata
adalah buruk'.
Dalam kajian ini saya akan membuktikan, bahwa alasan lain mengapa Dunia
Barat tutup-mulut itu ialah, karena ketidak-mampuannya memahami tali-temali
dan intrik-intrik yang ada di balik kampanye ketidak-amanan dan pembunuhan-
pembunuhan massal, yang dilakukan sesudah kup 'pertama' tanggal 1 Oktober
1965. Kampanye beserta akibat-akibatnya itu saya pandang sebagai kup yang
'kedua', yang dengan diam-diam telah mengantar Suharto ke tahta kekuasaannya.
Para pengamat umumnya mengabaikan adanya kup yang kedua ini, atau sekedar
mengatakannya sebagai suatu periode genting dalam sejarah Indonesia yang
'tidak bisa dimengerti' (Törnquist 1984:54). Beberapa penulis mengakui, bahwa
keberhasilan Suharto naik ke tangga kekuasaan terjadi dalam dua tahap
(Southwood dan Flanagan 1983; Pohan 1988;Vatikiotis 1993). Walaupun begitu
orang mengabaikan mekanisme dibalik tali-temali kup yang kedua itu:
Suharto tampil di atas tahta kekuasaan di tengah kemelut kejadian-kejadian
sesudah kup yang gagal, dan yang sampai sekarang sama sekali belum
jelas ... Suharto dan sekelompok kecil pendukungnya mengambil
kesempatan itu, seolah-olah tampil tanpa rencana sebelumnya yang terlalu
jauh. (Vatikiotis 1993: 2&22)
Dalam kejadian-kejadian tersebut, kup tanggal 1 Oktober 1965 merupakan
kejadian terpenting yang perlu dijelaskan. Karena, entah bagaimana pun juga,
memang kejadian inilah yang akhirnya telah membukakan jalan bagi Suharto
naik ke jenjang kekuasaan. Sebagai akibatnya, maka diabaikanlah kecerdikan
Suharto dalam memanipulasi pendapat umum - segala dalih dan kebohongan
telah digubahnya untuk menciptakan kondisi kekacauan masyarakat, serupa
seperti adegan gara-gara dalam pergelaran wayang.(5) Vatikiotis berpendapat,
misalnya, bahwa mungkin orang-orang di sekitar Suharto itulah, khususnya para
perwira muda dan mahasiswa radikal (dengan dukungan satuan-satuan kesatuan
khusus di bawah komando Kolonel Sarwo Edhie Wibowo), 'yang telah
mendorong Suharto merebut kekuasaan' (Vatikiotis1993:240). Kampanye
ideologi dan pembunuhan-pembunuhan massal yang melandasi Orde Baru
memang dilihat dengan kesedihan, namun begitu telah dianggap sebagai
kejadian-kejadian yang tersendiri:
yang mengawali penyusunan orde baru dan pembangunan kembali
ekonomi Indonesia, merupakan periode lanjutan kekacauan yang pendek
tetapi berdarah. Orde Baru telah mengeksploitasi keadaan masyarakat
warisan jaman Sukarno yang sangat terpolarisasi, untuk menumpas lawan-
lawannya dan memberikan jalan keluar untuk terjadinya pertumpahan
darah katarsis itu. (Vatikiotis 1993:33)
Sementara Dunia Barat demi alasan-alasannya sendiri berdiri dikejauhan, di
Indonesia oposisi dipukul atau dengan cerdiknya dibikin tutup mulut oleh
pemerintah melalui tindakan represi yang kejam.Tidak hanya dengan
pembunuhan terhadap ratusan ribu orang-orang yang berdosa, tetapi juga dengan
menahan puluhan ribu lainnya, bahkan ada di antara mereka yang sampai lebih
dari dua puluh tahun. Hanya sedikit saja dari para tahanan itu yang dibawa ke
depan mahkamah pengadilan, notabene pengadilan kanguru sekali pun.
Mereka yang selamat pun masih terus menderita. Bahkan sampai sekarang kartu
penduduk para bekas tapol dan napol(6) masih harus bercap 'ET' (eks-tapol). Cap
ini menjadi kendala yang efektif bagi mereka untuk bisa memperoleh kesempatan
bekerja.(7) Pembatasan-pembatasan seperti itu juga diberlakukan terhadap anak-
anak, cucu-cucu, dan saudara-saudara dekat mereka, jika mereka hendak mencari
kesempatan kerja dan belajar. Untuk bisa di terima bekerja atau masuk balai
pendidikan, dengan surat keterangan resmi mereka harus bisa membuktikan
bahwa mereka 'bersih lingkungan'. Artinya, bahwa tidak ada seorang ET pun di
tengah-tengah keluarga mereka. Banyak eks-tapol yang sampai sekarang masih
harus lapor diri secara teratur kepada penguasa militer.
Namun demikian dampak represi rezim Orde Baru tidak puas berhenti sampai
dengan para korban atau keluarga mereka saja. Kampanye sesudah kup 1
Oktober 1965 yang dilakukan Suharto memang tidak hanya dimaksud untuk
menumpas Komunisme di Indonesia sampai seakar-akarnya, dan untuk
membangkitkan kebencian massa terhadap politik Sukarno,sehingga ia akan
melepaskan jabatan kepresidenannya. Kampanye itu juga bertujuan untuk
menciptakan suasana mental, pembenaran ideologis bagi Orde Baru Suharto.
Karena itu saya sama sekali tidak setuju terhadap pendapat yang mengatakan,
misalnya, bahwa 'endapan perasaan tentang periode ini belum memberi corak
tertentu pada persepsi umum terhadap kekuasaan Suharto' (Vatikiotis 1993:34).
Menurut pendapat saya, justru 'endapan perasaan' semacam itulah yang telah
menjadi dasar rezim Suharto, yang tidak saja ditunjang dengan teror fisik yang
dilakukan angkatan darat, tetapi khususnya oleh keberhasilannya yang
meyakinkan, bahwa apa pun yang berkaitan dengan kritik sosial ialah subversif,
Komunis, dan akhirnya dikaitkanlah pula dengan perbuatan seksual kaum
perempuan 'kita' yang tidak senonoh. Saya berpendapat, bahwa hendaknya ketak-
acuhan politik bangsa Indonesia tidak terlalu dilihat hanya sebagai akibat dari
'stabilitas politik dan kemakmuran ekonomi' (Vatikiotis 1993) yang telah
diciptakan Orde Baru saja. Tetapi, ketak-acuhan itu, juga timbul dari bayangan
tentang kekacauan masyarakat berikut warna-warna seksualnya, pembunuhan
massal yang terjadi karenanya, dan disusul represi yang tiada putus-putusnya itu.
Untuk menjamin agar citra resmi itu tidak rusak, penguasa tetap sangat
membatasi kebebasan pers. Dalam bulan Juni 1994 yang lalu saja ada tiga
majalah dibredel: Tempo, DeTik, dan Editor.(8)
Dengan demikian periode traumatis 1965-1966 dalam sejarah Indonesia itulah,
yang menandai pergantian dari Orde Lama Presiden Sukarno ke Orde Baru
Presiden Suharto. Kekuasaan Orde Baru dibangun diatas model disiplin dan
represi kejantanan militer, dimana setiap referensi mengenai ketimpangan sosial
dituding sebagai dijiwai atau berkaitan dengan 'subversi Komunis'.(9) Mitos
tentang lahirnya Orde Baru diciptakan oleh Presiden Suharto dengan sadar, dan
terus-menerus diulang-ulangnya di dalam setiap kampanye indoktrinasi. Dalam
hal ini termasuk, antara lain, pemutaran sebuah versi film tentang apa yang
disebutnya sebagai 'pengkhianatan' PKI. Kampanye ini dibangun di atas
metafora-metafora seksual, khususnya ketakutan laki-laki terhadap kastrasi yang,
dengan dalih-dalih sangat menjijikkan, menggambarkan organisasi perempuan
Gerwani (yang dikaitkannya dengan PKI), yang diduga berperanan di dalam kup
tersebut. Sampai sekarang analisis-analisis mengenai kekuasaan Orde Baru selalu
mengabaikan unsur-unsur kiasan seksual yang melandasi konfigurasi politik
Indonesia dewasa ini. (10)
Kampanye tersebut di atas membawa implikasi-implikasi yang luas,dan
memerlukan proses indoktrinasi yang terus-menerus. Indoktrinasi ini tak lain
ialah brainwashing bagi seluruh bangsa agar mempercayai pandangan penguasa
tentang masa lampau kolektif mereka, dan agar tidak mempersoalkan politik
pemerintah Orde Baru. Bicara tentang masalah emansipasi perempuan, yang
mengandung pandangan tentang keadilan sosial yang lebih luas, dapat
menimbulkan kecurigaan. Bukan hanya akan dikaitkan dengan 'Komunisme',
tetapi juga dengan 'cara berpikir Orde Lama' pada umumnya. Seperti salah
seorang pemimpin Perwari (11) mengatakan: 'Jika saya bicara tentang pandangan
saya mengenai gerakan kaum perempuan Indonesia, dan harus menyebut cita-cita
yang hendak saya capai atau membahas soal-soal emansipasi perempuan,
seketika saya akan dituduh sebagai 'orang Orde Lama'. Pemerintah sekarang ini
benar-benar mengajar rakyatnya agar menjadi bodoh. Padahal, tidakkah orang
hanya akan bisa merdeka jika dia bisa berpikir, bukan? Kemerdekaan itu benar-
benar tidak ada di sini. Di sini tidak ada jalan, bagaimana caranya supaya kita
bisa berbicara atau berpikir menurut apa yang kita mau' (interviu 73, 31 Januari
1984).
Karena itu kajian ini tidak hanya merupakan kebutuhan sejarah. Analisis dari
sudut gender tentang kejadian-kejadian tahun 1965-1966 yang dikemukakan di
sini, ada hubungannya secara langsung dengan pemahaman terhadap
persekongkolan kekuasaan Orde Baru pada umumnya, dan dengan cara
pelecehan martabat perempuan pada khususnya, yang telah digunakan sebagai
pembenaran kelangsungan basis kekuasaan totaliter Presiden Suharto yang
berwatak patriarkal militer, yang telah dibangunnya itu.
Sesungguhnya itulah alasannya, mengapa saya menjadi tertarik pada topik kajian
sekarang ini. Dalam akhir tahun 1970-an, saya terkesima melihat kadar ketaatan
dan dominasi laki-laki pada organisasi-organisasi terpenting kaum perempuan di
Indonesia saat sekarang. Khususnya pada organisasi-organisasi istri para pejabat
sipil (Dharma Wanita) dan pejabat militer (Dharma Pertiwi), demikianjuga pada
organisasi Pembinaan Kesejahteraan Keluarga (PKK)(12) yang disponsori negara
dan meluas di seluruh negeri itu. Belakangan saya tahu,organisasi-organisasi ini
dibangun di atas reruntuk sejarah organisasi-organisasi kaum perempuan yang
mandiri dan giat. Seperti pada tahun 1985 pernah saya kemukakan, organisasi-
organisasi baru ini didirikan oleh militer, sengaja untuk menomor-duakan
kembali kedudukan kaum perempuan Indonesia:
Sekarang setiap suara yang mempersoalkan tentang sulitnya keadaan sosial dan
ekonomi mendapat cap sebagai berbau politik. Maka soal-soal yang berimplikasi
sayap-kiri dan 'kaum kiri', yang dikaitkan dengan 'kaum perempuan' semacam
itu, membuka seluruh kotak asosiasi-asosiasi Pandora dengan pembunuhan-
pembunuhan ritual dan pesta-pora seksual.(Wieringa 1985:38)(13)
Semula berkat cambukan Sukarno sendiri, sehingga kaum perempuan Indonesia
giat berpartisipasi dalam perang kemerdekaan nasional. Namun sesudah
kemerdekaan tercapai, berlangsunglah proses pemulihan kembali kekuasaan
kaum laki-laki. Selama tahun-tahun pertama pemerintahan Sukarno, kaum
perempuan selalu menjadi subjek yang vokal di tengah percaturan politik
Indonesia, dengan menyerang benteng dominasi laki-laki dari dua penjuru.
Pertama-tama, mereka menyerang hak prerogatif laki-laki berpoligini.
Perjuangan mereka kalah, karena tak lain dari Presiden Sukarno sendiri yang
menuntut hak beristri lebih dari satu orang. Kedua, sebagian dari gerakan ini,
itulah Gerwani, menuntut tempat di tengah gelanggang politik bagi kaum
perempuan. Langkah ini membawa sejumlah konsekuensi. Pertama-tama,
mereka memancing amarah organisasi-organisasi perempuan lainnya, yang
berpendirian bahwa kedudukan perempuan di masyarakat tidak di bidang politik
tetapi di bidang sosial. Selanjutnya Gerwani, yang menjadi semakin rapat
mendekatkan diri pada PKI (yang tak banyak perhatiannya pada 'soal
perempuan' itu) kehilangan banyak pendirian feminismenya yang semula.
Ketiga, saya ingin mengemukakan, bahwa langkah Gerwani memasuki bidang
yang sampai sekarang dipandang daerah kawasan laki-laki, telah memicu
ketakutan di kalangan kelompok-kelompok tradisional di Indonesia, khususnya
kalangan Muslim yang salih. Kalangan inilah yang pada waktunya merupakan
lahan subur bagi kampanye Suharto tentang fitnahan seksual dalam akhir tahun
1965.
Untuk mengerti bagaimana organisasi-organisasi kaum perempuan dewasa ini
berfungsi, baik sebagai tiang penyangga rezim Orde Baru maupun sebagai alat
untuk menomor-duakan kembali kedudukan perempuan, saya merasa perlu
meneliti periode Orde Lama dan lahirnya kekuasaan Orde Baru. Sementara
meneliti sejarah dalam periode ini, saya melihat sehingga mana kiasan seksual
dan penghinaan terhadap perempuan mengelilingi asal-muasal rezim Suharto.
Namun dengan ini tidak bermaksud mengatakan, bahwa metafora-metafora
seksual merupakan faktor satu-satunya yang turut menyebabkan terjadinya
pembantaian massal, dan tampilnya Suharto di atas singgasana kekuasaan.
Faktor-faktor lain, selain dari kekacauan perekonomian, yang mengakibatkan
rasa sangat khawatir baik di kalangan Angkatan Darat maupun kaum Komunis,
termasuk juga percobaan-percobaan pembunuhan terhadap Sukarno (Mei 1978),
sakitnya Sukarno, dan seruan Sukarno untuk pembentukan Angkatan Ke-5.
Walaupun Angkatan Ke-5 ini sedikit banyak sekedar merupakan retorika medio
1960-an belaka,(14) namun Angkatan Darat merasa sangat cemas melihat
kemungkinan akan dipersenjatainya sekitar 21 juta kaum tani dan kaum buruh,
yang sama sekali terlepas dari kendali pimpinan Angkatan Darat. (15)
Walaupun begitu, sugesti-sugesti tentang perbuatan seksual yang tak senonoh
itulah, yang telah menjadi penyebab kotak mesiu meledak. Saya berpendapat,
bahwa untuk mengerti tentang dalamnya krisis yang telah menenggelamkan
Indonesia pada tahun 1965 itu, tidak cukup dengan memberikan analisis politik
saja, tetapi juga analisis dari sudut gender perlu dikemukakan. Analisis gender
yang dikemukakan di siniakan menyoroti aspek-aspek tertentu dalam sejarah
politik modern Indonesia, yang sedemikian jauh masih tetap merupakan misteri
bagi banyak para peneliti, dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan mengenai
pokok-pokok masalah yang umumnya diabaikan itu.
Halaman-halaman selanjutnya akan menguraikan sejarah yang terselubung itu
dalam tiga tahap. Tahap pertama menguraikan sejarah feminisme Indonesia,
yang mengenal saat-saat radikal dan berani lebih banyak lagi dari yang diakui
para penulis sekarang. Tahap kedua memaparkan sejarah yang terlarang, yaitu
sejarah Gerwani. Tentang anggota-anggotanya yang dibunuh, yang dipenjara
dan yang hilang, serta dokumen-dokumen tentangnya yang di Indonesia
dimusnahkan.Untungnya perpustakaan-perpustakaan di Negeri Belanda dan
Amerika Serikat masih menyimpan bahan-bahan, yang atas dasar itulah kisah
masa lampau Gerwani dapat disusun kembali. Ketiga, dengan mengamati
kejadian-kejadian tahun 1965 dan 1966 atas dasar analisis gender dari periode
itu, akan menyingkap aspek-aspek tertentu mengenai lahirnya Orde Baru, yang
sampai sekarang digelapkan (oleh militer Indonesia) atau diingkari (oleh para
peneliti sejarah modern Indonesia).
Fokus karangan ini terletak di Jawa. Antara lain karena Jawa merupakan pulau
di Indonesia yang berpenduduk paling padat, tetapi lebih dari itu karena Jawa
merupakan pusat kegiatan politik untuk negeri ini. Dengan giat Sukarno
menggalakkan Jawanisasi terhadap budaya politik Indonesia, suatu langkah
politik yang diikuti PKI. Kebijakan ini tetap dilanjutkan di bawah rezim Suharto.
Butir utama argumen saya berkisar di seputar periode antara 1950 dan 1965;
yaitu periode Orde Lama, dan meluas sampai 1976, yaitu ketika Sukarno
memberi kekuasaan de facto atas Indonesia kepada Suharto. Oleh karena
perkembangan-perkembangan yang terjadi selama Orde Lama diantar oleh
kebangkitan nasional masyarakat Indonesia, yang berlangsung selama
dasawarsa-dasawarsa terakhir kekuasaan kolonial dan masa pendudukan
Jepang, maka periode ini pun tidak saya luputkan dari perhatian.
Struktur karangan ini sebagai berikut. Proses penelitian diuraikan dalam bab
pertama. Bab berikut menjelaskan tentang kerangka teoretis, yang saya bangun
di atas konsep gender sebagai alat analisis untuk memahami gerakan-gerakan
dan organisasi-organisasi kaum perempuan, serta manipulasi politik
memperhinakan perempuan. Bab-bab mengenai sejarah yang menyusul masing-
masing membahas sejarah organisasi-organisasi kaum perempuan Indonesia
sampai saat kemerdekaan, perkembangan politik pemerintahan Orde Lama dan
gerakan perempuan dalam periode ini. Tiga bab pertama tentang Gerwani
membahas sejarah organisasi ini secara umum, dan beberapa masalah
keorganisasiannya. Dua bab berikutnya masing-masing menitik-beratkan pada
politik dan ideologi Gerwani. Masalah pokok yang diajukan dalam dua bab ini
yaitu, apakah alasan pembenaran untuk tuduhan yang dilemparkan kepada
Gerwani, sesudah 1 Oktober 1965 itu, dapat ditemukan di dalam ideologi dan
praktik organisasi. Kesimpulan saya ialah, jika ditinjau dari sudut seksualitas,
Gerwani dapat dikatakan suatu organisasi yang agak konservatif. Bab terakhir
membahas 'kup pertama', 1 Oktober, dan mengemukakan cerita dari hari ke hari
bagaimana tahap pertama dari kup kedua yang secara diam-diam, dan
bagaimana kampanye menentang Gerwani dan PKI disusun.
Untuk mengantar tema-tema tersebut di atas, dan memberi contoh tentang
dedikasi dan aspirasi anggota-anggota Gerwani, Kata Pengantar ini ditutup
dengan sebuah wawancara dengan seorang kader Jawa.(16) Hampir dua puluh
tahun sesudah 'kejadian' 1965 masih juga sangat berbahaya bagi bekas anggota
Gerwani untuk ditemui orang asing. Tetapi wawancara ini dapat dilakukan
dengan mudah, karena ketika itu saya mendapat sakit pinggang yang luar biasa
dan dirawat oleh Ibu Marto, sebutlah ia begitu, seorang tukang pijit dan tusuk
jarum yang terkenal. Kepandaian-kepandaian memijit dan tusuk jarum itu mulai
di pelajarinya ketika di dalam penjara. Kami berjanji bertemu di rumah seorang
kenalan kami. Biasanya saya dipijit sepanjang pagi. Dalam kesempatan itulah,
sambil memijit dan mengurut punggung saya, ia menceritakan kisahnya yang
terpotong-potong. Setiap kali ia menyentuh bagian tubuh saya yang terasa sakit,
kami berhenti bercakap-cakap. Pada saat-saat kami sama sekali saling membisu,
kesunyian itu menjadi penuh diliputi bayang-bayang kisahnya yang menyihir
seluruh isi bilik kecil kami. Dan saya biarkan jari-jemarinya yang kuat dan
berpengalaman itu merajalela bermain-main di sekujur tubuh, dari ujung rambut
sampai ujung jari-jari kaki. Andaikata seseorang di luar liwat, atau masuk
rumah, yang terdengar dan terlihat olehnya hanyalah suara percakapan seorang
tukang pijit dan pasiennya, yang bicara tentang pinggang yang nyeri.  
Keluarga saya tidak berlatar belakang kiri. Saya sajalah satu-
satunya di dalam keluarga kami yang masuk dalam organisasi
progresif. Saudara misan saya anggota PKI. Dan ketika saya
berumur 17 tahun, dialah yang mendorong agar saya masuk
Pemuda Rakyat.
Saya sangat senang di Pemuda Rakyat. Kami melakukan segala
macam kegiatan bersama-sama. Terkadang menari, menyanyi dan
juga bermain drama, dengan cerita-cerita yang berisi politik. Juga
diberikan kursus soal-soal kerumahtanggaan, seperti masak-
memasak dan menjahit. Tentu saja setiap saat kami selalu
berdiskusi soal-soal politik.
Beberapa tahun sesudah itu saya masuk Gerwani tingkat ranting.
Pimpinan menaruh perhatian pada saya, karena saya selalu
mendengarkan dengan baik, mengajukan pertanyaan-pertanyaan,
dan membantu mengurusi kegiatan. Saya mengikuti kursus kader,
dan mulai giat di tingkat cabang. Saya sangat bersemangat dan
bekerja keras, sehingga karenanya dipilih untuk tingkat daerah, dan
akhirnya sampai tingkat pusat.
Seluruhnya sudah tiga kali saya mengikuti kursus. Yang paling lama
di Jakarta. Di sini kami digembleng selama satu bulan, bekerja di
berbagai daerah ke mana kelak kami masing-masing akan dikirim.
Mata-pelajaran termasuk pendidikan politik, mempelajari teks-teks
pidato Bung Karno dan Bung Aidit, diskusi tentang soal-soal
keorganisasian dan kerumahtanggaan. Juga kami mendapat
pendidikan latihan kepemimpinan. Sore hari kami belajar teks-teks
karya Marx, Lenin, Stalin, Engels, dan tentu saja beberapa bagian
dalam Sarinah, buku karangan Bung Karno itu. Pimpinan pusat
menggunakan semua teks itu sebagai bahan bacaan.
Biasanya kami juga mendiskusikan sejarah organisasi. Saya
menjadi anggota organisasi dalam pertengahan 1950-an, ketika
namanya sudah berubah menjadi Gerwani. Gerwis, begitu dulu
biasanya disebut, kamu tahu, sedikit sektaris. Sedikit sekali
perempuan dari lapisan bawah yang menjadi anggota. Organisasi
ini dianggap terlalu merah, terlalu PKI, terlalu ekstrem. Sebenarnya
kami rasa penilaian itu tidak benar. Orang yang pernah mengenal
Gerwis di saat-saat awal, jauh lebih menyukai daripada ketika
Gerwis telah berkembang menjadi besar. Tetapi begitu itulah orang
menilai. Maka dalam kongres tahun 1954 jadilah kami Gerwani.
Dengan sikap yang lebih luwes, khususnya dalam soal-soal
keperempuanan, lebih lembut, lebih halus. Pengutamaan pada soal-
soal perempuan berkurang, sementara itu soal-soal ekonomi, sosial,
politik dan kebudayaan mendapat perhatian lebih besar.
Yang sangat saya senangi dari semua kegiatan selama tahun-tahun
itu, ialah usaha kami untuk menjalin hubungan dengan perempuan
tani. Jika saya pergi ke suatu desa dan di sana bertemu seorang
perempuan, yang mungkin kenalan atau saudara salah seorang
kenalan saya entah di mana, lalu memperkenalkan diri sebagai
anggota Gerwani, kamu tahu apa yang terjadi? Biasanya mereka
tidak kenal, apa itu Gerwani. Lalu saya perlu menjelaskan
kepadanya, soal-soal apa yang kita perjuangkan. Umumnya mereka
tertarik pada organisasi kami karena pendirian kami terhadap
poligami. Soal kedua yang menarik perhatian perempuan tani ialah
soal upah rendah. Umumnya mereka menyetujui gagasan
kemerdekaan perempuan, karena kejengkelan bahwa upah mereka
lebih rendah dari upah laki-laki. Jika seseorang telah masuk
menjadi anggota, kepadanya diminta agar menarik seorang teman,
dan teman ini pun menarik seorang teman lagi, begitu seterusnya,
sehingga terbentuklah sebuah kelompok kecil. Kelompok-kelompok
inilah basis organisasi kami. Melalui rapat-rapat kelompok, mereka
akan mulai mengerti tentang hak-hak mereka dan tentang sistem
feodal. Karena sistem feodal inilah yang menjadi sebab-musabab
penderitaan kaum perempuan Indonesia. Tentang soal-soal seperti
itu kami akan membacanya dalam koran Harian Rakjat dan berkala
Berita Gerwani, lalu kami akan membahas bersama-sama
karangan-karangan yang kami kehendaki. Kami hampir tidak
pernah membaca Api Kartini, yang tidak berpihak, bebas, dan tidak
jelas warnanya. Majalah ini tidak menarik untuk perempuan di
desa-desa, atau perempuan-perempuan kampung di kota.
Kami bangga pada organisasi kami. Karena Gerwani telah
berjuang untuk perbaikan nasib perempuan, menentang kenaikan
harga, dan memperjuangkan kenaikan upah. Sungguh
menyenangkan bisa berdiri di barisan depan, dan melihat bahwa
sesungguhnya kami bisa berbuat sesuatu.
Di kota kita juga sangat giat, khususnya di kalangan kaum buruh.
Buruh perempuan biasanya anggota SOBSI, tetapi di kampung
kediaman mereka, mereka anggota Gerwani. Banyak di antara
mereka itu merangkap keanggotaan. Itu mudah saja. Karena banyak
soal-soal tentang nasib buruh perempuan, sehingga memungkinkan
kami untuk bekerjasama. Misalnya SOBSI dan Gerwani bekerja
sama memperjuangkan hak cuti haid. Jika terjadi buruh perempuan
dipecat, karena menuntut hak sah mereka untuk cuti haid, baik
Gerwani maupun SOBSI akan tampil bersama membela buruh itu.
Gerwani juga sangat giat dalam usaha pemberantasan buta-huruf.
Banyak sekali kursus-kursus PBH yang kami selenggarakan. Kami
juga memperjuangkan hak-hak politik kaum perempuan, agar lebih
banyak lagi perempuan yang menjadi anggota parlemen pusat dan
daerah, atau agar mereka bisa dipilih menjadi lurah desa atau
menteri, sama mudahnya seperti kaum laki-laki. Tentang hak-hak
politik ini, terutama di desa-desa, banyak mengalami tentangan.
Banyak golongan Islam yang memandang hal itu sangat
menimbulkan perselisihan. Mereka tidak mau memberi hak apa pun
bagi perempuan. Juga tak sedikit tuan tanah yang sangat
konservatif.
Dalam aksi-aksi sepihak tahun 1960-an kaum perempuan ikut
mengambil peranan aktif. Mereka tidak sekedar bersorak-sorai di
garis pinggir. Di Kediri dan Jengkol, perempuanlah yang
mengadang traktor-traktor tuan tanah, yang berusaha mengusir
mereka dari tanah kediaman mereka. Dan perempuan itu jugalah
yang mati ditembaki tentara.
Memang benar, aksi-aksi ini banyak tidak disukai di desa-desa.
Bahwa begitu banyaknya perempuan yang dibunuh, mungkin inilah
sebabnya: orang-orang Gerwani terlalu mandiri. Mereka membenci
Gerwani. Mereka menghendaki agar perempuan hanya bergerak di
bidang kemasyarakatan. Kadang-kadang mereka mengadakan
arisan, bolehlah, seperti halnya semua organisasi perempuan
lainnya. Tetapi di dalam Gerwani, perempuan juga giat berpolitik.
Ya, itulah hal yang sangat dibenci.
Saya sering merasa heran, bagaimana semuanya bisa menjadi serba
salah begitu. Satu hal memang jelas. Yaitu bahwa Sukarno tidak
konsekuen dalam menangani sisa-sisa feodalisme yang masih ada di
dalam masyarakat kami. Itulah sumber malapetaka yang menimpa
kami. Kami bekerja bersama dengannya di dalam Front Nasional
yang anti-imperialis. Tetapi ia tidak pandai memegang janjinya,
misalnya dalam pelaksanaan undang-undang land reform. PKI yang
konsekuen, dan dalam hal ini kami bekerja bersama-sama
dengannya. Peranan Gerwani dalam aksi-aksi sepihak sangat besar.
Tetapi sekarang hampir dilupakan sama sekali. Juga koran-koran
ketika itu, tidak banyak yang meliput aksi-aksi kami itu. Kaum laki-
laki selalu ingin dilihat sebagai lebih militan dari kaum perempuan.
Kami di pihak Sukarno dalam konfrontasi menentang Malaysia.
Tetapi sesungguhnya buat kami tidak terlalu menarik. Itu hanya
untuk mengalihkan perhatian dari persoalan nasional saja. Karena
itu sikap kami mula-mula agak maju-mundur. Tetapi akhirnya
dengan bersemangat kami mendukungnya, dan bahkan mengirim
sukarelawan. Juga kaum perempuan di dalam PNI, Wanita
Marhaen dan Wanita Demokrat, (17) berbuat sama; begitu pula
halnya beberapa organisasi perempuan lainnya.
Pada waktu itu saya sendiri tidak di Jawa. Pada tahun 1962 saya,
seorang diri, ditugasi di pulau lain. Sering saya merasa sangat
kesepian. Karena saya tidak mengerti baik bahasa, masyarakat,
maupun kebudayaan setempat. Saya harus berusaha merasa
kerasan di tengah-tengah lingkungan yang asing itu. Saya tinggal
bersama kader-kader lain, dari PKI dan Pemuda Rakyat, di sebuah
rumah yang besar. Seorang pemuda dari Pemuda Rakyat sering
membantu saya. Kadang-kadang saya merasa begitu sedih,
sehingga ingin menangis. Lalu, di saat-saat begitu, ia datang
menghibur saya, menjelaskan hal-ihwalnya kepada saya, dan jika
perlu juga membantu saya. Beberapa bulan pertama sering saya
merasa sangat sedih, sehingga ingin segera pulang saja ke Jawa.
Yang juga membuat terasa berat karena saya, sebagai anak gadis,
tidak biasa hidup sendirian di tengah orang-orang laki-laki asing.
Orang sangat suka bergunjing. Maka saya selalu harus
mempertahankan diri.
Daerah tempat penugasan saya pun daerah sulit. Mempunyai
kebanggaan yang besar terhadap sejarah perlawanannya
menentang Belanda, dan juga tidak terlalu senang terhadap
Jakarta. Islam sangat kuat, laki-lakinya berwatak congkak. Saya
perempuan Jawa, orang asing, tidak boleh sekali-kali menonjol-
nonjolkan diri. Jangan sekali-kali saya berusaha menampilkan diri
sebagai guru yang serba tahu. Jadi saya harus menunggu saja,
sampai mereka sendiri datang kepada saya dan mengemukakan
persoalan mereka. Kader-kader yang bekerja di daerah ini tidak
banyak mendapat pendidikan, dan juga sangat sedikit pengetahuan
mereka tentang apa sebenarnya yang dibela Gerwani, dan apa yang
dicita-citakannya. Melalui rapat-rapat saya menjadi tahu, siapa-
siapa di antara mereka yang paling cerdas. Lalu perempuan itu
saya dekati, dan perlahan-lahan saya mencoba menerangkan serba
sedikit tentang organisasi, kegiatan-kegiatannya, dan seterusnya
dan seterusnya. Tetapi saya sama sekali tidak boleh menampak
sebagai pemimpin. Untuk pemimpin haruslah seseorang dari daerah
ini sendiri.
Sungguh sangat berat buat saya untuk bisa menyesuaikan diri. Oleh
karena saya tidak biasa hidup di tengah daerah yang sangat kuat
Islamnya, di mana perempuan tidak bisa bergerak leluasa. Akhirnya
saya mendapat jalan untuk lebih memudahkan orang-orang
perempuan itu datang menghadiri rapat-rapat kami. Mereka
mengenal banyak tari-tarian setempat. Laki-laki melarang istri
mereka keluar rumah jika sendiri-sendiri, tetapi tidak jika mereka
pergi bersama-sama. Lalu kami membentuk kelompok-kelompok
kesenian, menari dan menyanyi, yang tidak terlarang bagi kaum
perempuan. Tetapi kami tidak berhenti di situ. Kelompok-kelompok
ini lalu kami beri isi. Kami berdiskusi tentang soal-soal sehari-hari
bersama mereka. Dengan sangat mudah kita bisa mendidik
perempuan tentang soal-soal ekonomi melalui kegiatan arisan.
Sekali kita mulai bicara tentang bagaimana yang sebaik-baiknya
perempuan membelanjakan uangnya, seketika itu tibalah kita pada
soal tentang kenaikan harga-harga. Dari situ lalu bisalah kita
bicara tentang siapa yang bertanggungjawab dalam persoalan
harga tersebut. Lalu bisalah sudah kita mulai bicara secara
langsung tentang pendidikan politik.
Sesudah akhirnya mereka mengerti tentang apa cita-cita Gerwani,
banyak orang-orang perempuan yang memberi dukungan kuat pada
kami, walaupun mereka itu semuanya beragama Islam. Mereka
membenci suami mereka yang berpoligami, dan senang menghadiri
rapat-rapat kami untuk membahas persoalan itu. Mereka juga
sangat senang belajar bagaimana membuat kue-kue, dan membahas
masalah situasi politik. Yang paling menarik untuk anak-anak gadis
ialah hak menikah atas dasar suka sama suka, sedangkan untuk ibu-
ibu khususnya masalah perjuangan melawan poligami. Juga kaum
buruh perempuan merasa senang memperoleh dukungan kami untuk
tuntutan mereka, agar tersedia balai penitipan anak dengan biaya
pembayaran yang rendah.
Setahun kemudian anak muda Pemuda Rakyat itu meminta saya
kawin dengannya. Dalam kebimbangan, saya minta agar ia mau
menunggu. Ia berasal dari Jakarta. Tetapi kedua orangtuanya telah
pindah menetap di sini. Saya mencari nasihat dari teman-teman
saya. Semuanya berpendapat agar saya menerimanya. Maka dalam
tahun 1963 kami pun kawin. Saat itulah tahun-tahun yang paling
berbahagia dalam kehidupan saya. Setahun kemudian lahir anak
laki-laki kami. Saat-saat menjelang kelahiran anak kami, suami
saya mengerjakan semua pekerjaan kerumahtanggaan: menyapu,
memasak, mencuci. Sesudah bayi lahir ia pun sering mengganti
popok anaknya sebelum berangkat bekerja. Ia selalu membantu saya
sebisa-bisanya, sampai saya menjadi cukup kuat untuk bekerja lagi.
Tetapi ketika itu sudah bulan Oktober 1965.
Saya benar-benar merasa sangat sedih bahwa semua
pengorganisasian yang telah kami selenggarakan dengan amat
berhati-hati, semua usaha membangun gerakan dari bawah, telah
hancur berantakan sama sekali. Saya sudah biasa banyak
bepergian, entah dengan kereta api atau bis, jika kendaraan itu ada.
Tetapi jika harus pergi ke pedalaman, betapa pun jauhnya, kami
harus berjalan kaki. Di dalam kota pun saya berjalan kaki. Kadang-
kadang saja saya bersepeda, tetapi umumnya berjalan kaki. Kami
sudah biasa hidup dengan semangat berbakti. Tidak pernah kami
berangan-angan: ah, besuk harus ada cukup makanan di periuk,
atau, ah, saya ingin punya rumah yang bagus. Siang-malam kami
sibuk dengan pekerjaan dan pekerjaan. Jika saya harus pergi
berkendaraan, cukuplah jika karcis sudah di tangan. Dan di sana
nanti sepiring nasi untuk saya sudah selalu akan tersedia.
Pagi-pagi kami masak seadanya, lalu makan, dan kemudian segera
berangkat bekerja. Seringkali kami baru di rumah kembali sesudah
jam 11 atau 12 tengah malam. Di tengah perjalanan pulang kami
membeli makanan apa saja. Tidak pernah saya memikirkan soal lain
satu pun, kecuali sejumlah soal yang sudah ada di kepala, dan
bagaimana harus memecahkannya. Kami tak banyak berpikir
tentang uang, walaupun saya sendiri menjadi kepala balai penitipan
anak-anak itu. Tetapi uang sama sekali tidak cukup pada saya, juga
pada wakil saya, kepala balai penitipan anak. Karena itu saya
mengambil pekerjaan sedikit, sebagai penata-usaha sebuah sekolah.
Saya mengambil kursus lima bulan di Jakarta untuk mendapat
ijazah pengelola balai penitipan anak-anak. Walaupun saat itu saya
sudah mengepalai balai semacam itu di sini. Saya berangkat ke
Jakarta ketika anak kami masih berumur dua bulan. Sekarang
ijazah itu tinggal secarik kertas yang mubazir saja.
Hubungan dengan Jakarta umumnya sulit. Sekali satu bulan saya
mengirim laporan, tetapi jawaban baru datang setelah berbulan-
bulan kemudian. Tetapi mereka mengirimi kami segala macam
rekomendasi. Misalnya dinasihatkan agar di sekitar tanggal tertentu
kami mengorganisasi demonstrasi anti-kenaikan harga, atau
mengirim delegasi pada gubernur, apabila kegiatan-kegiatan itu
telah direncanakan oleh Jakarta. Sepanjang mengenai persoalan
politik nasional, umumnya mereka mengikuti garis Partai. Tetapi
untuk persoalan perempuan, mereka merumuskan garis mereka
sendiri.
Lawan kami yang terpenting ialah orang-orang Muslim fanatik.
Diperlukan waktu yang lama untuk bisa meyakinkan orang,
terutama jika ia telah berpegangan teguh pada asas-asas agama
tertentu. Di dalam Front Nasional ini kami banyak bekerja bersama
dengan Perwari dan Kowani. Semuanya ini baru saja hendak mulai
tinggal landas, ketika 'peristiwa' itu terjadi. Terjadi dengan sangat
tak terduga-duga, juga di tengah-tengah segala-galanya.
Ketika kami tahu apa yang telah terjadi di Jawa, kami melarikan
diri ke kota yang terdekat. Di sinilah suami saya terbakar hidup-
hidup ketika mereka membakar kantor PKI. Dengan membawa anak
laki-laki kami, saya melarikan diri ke Jakarta. Kakak perempuan
saya janda seorang perwira tentera yang tewas dalam sebuah tugas.
Tidak bisa hidup bersandar pada uang pensiun, ia bekerja pada
sebuah kantin angkatan darat. Saya pun bisa diterima bekerja di
situ. Mereka memperingatkan saya agar kawin lagi. Kamu masih
muda, kata mereka. Dan hanya punya anak satu. Orang akan
menggunjingkan kamu, kalau kamu tidak mau bersuami lagi.
Demikianlah. Demi berjaga-jaga agar tidak menjadi pergunjingan,
untuk kedua kalinya saya kawin, walaupun saya tidak mencintai
laki-laki yang menjadi suami saya itu. Ketika anak saya dengannya
berumur dua tahun, anak perempuan, tiba-tiba suami saya
menghilang. Saya tanyakan kepada setiap orang, yang saya kira
tahu duduk perkaranya, tetapi tidak pernah lagi saya mendengar
kabar beritanya.
Kemudian kakak saya menjadi ketakutan bahwa orang akan menjadi
tahu tentang kami, dan dia akan kehilangan pekerjaan dan segala-
galanya. Lalu kakak itu melaporkan saya. Ketika saya ditahan, anak
perempuan saya tinggal bersama kakak di Jakarta. Sedangkan anak
laki-laki, yang ketika itu bersama saya, tidak ada seorang pun yang
mengurusi. Neneknya sudah terlalu tua dan pikun untuk bisa
mengurusi hidupnya dan mengirimnya ke sekolah. Anak itu
berusaha menghidupi dirinya dengan menjual koran dan bakso di
sepanjang jalan. Di penjara banyak di antara kami yang diperkosa.
Dipukuli, disiksa, disetrum, dan dibakar dengan rokok. Beberapa
tahun kemudian, sesudah mendapat kunjungan Palang Merah
Internasional, keadaan menjadi sedikit lebih baik. Saya belajar
memijit, dan membuat kerajinan tangan yang bisa dijual, untuk
membeli sedikit tambahan jatah makan.
Setiap sesama tahanan di penjara tahu, bahwa jika kelak bebas saya
harus mencari hidup sendiri dan dua anak saya. Karena itu mereka
mengumpulkan apa saja, untuk saya, semampu mereka masing-
masing. Beberapa yang telah lebih dahulu bebas, memberi saya
beberapa periuk dan kompor. Tetapi saya sedikit-sedikit juga
menabung sisa hasil penjualan kerajinan tangan, sehingga selama
hari-hari pertama bisa membeli beras sekedarnya.
Selama minggu-minggu pertama sesudah bebas, saya hidup dari
merajin barang sulaman, sambil mencari pasien yang mau dipijit.
Sekarang saya sudah lulus berkali-kali ujian memijit dan tusuk
jarum, dan saya punya cukup pasien untuk bisa hidup.
Tetapi keprihatinan saya pertama-tama terhadap anak laki-laki
saya. Saya keluar pada hari Sabtu. Hari Minggu saya ketahui di
mana dia, dan hari Senin ia bersekolah. Tetapi ia sangat tertinggal
di sekolah, sehingga saya harus mengirimnya ke asrama. Ia sangat
merasa malu, karena dalam umur 19 tahun masih harus bercelana
pendek bersekolah SMP. Tahun depan ia akan selesai dari SMP.,
lalu boleh pulang dari asrama dan masuk SMA, dan memakai
celana panjang. Dengan begitu tidak perlu lagi merasa malu dilihat
oleh tetangga.
Anak saya yang perempuan juga ketinggalan. Sudah berumur dua
belas, seharusnya sudah kelas lima, tetapi ia masih di kelas tiga.
Tetapi dia akan naik. Sekarang dia maju.
Saya senang. Sekarang saya sudah dapat mengatasi, dengan dua
anak dan pekerjaan memijit. Tetapi saya masih harus sangat hati-
hati. Saya tidak bisa mengambil pasien di rumah sendiri. Teman
saya mendengar, ia pernah menjadi pembicaraan kalangan pejabat,
karena menerima tamu terlalu banyak. Padahal mereka itu orang-
orang sakit! Ia diancam menutup praktik. Karena itu biasanya saya
yang pergi, mendatangi rumah pasien-pasien saya.
Walaupun kami sudah dibebaskan, tetapi kami belum warga negara
penuh. Saya masih harus selalu melapor setiap waktu. Misalnya,
jika saya akan pergi ke Surabaya, saya memerlukan lima setempel
di secarik kertas, yang harus saya perlihatkan kepada petugas
keamanan di Surabaya. Jika saya melanggar, saya akan dikenai
tahanan rumah.
Tetapi itu tidak terlalu buruk. Saya masih bisa hidup dengan itu.
Yang membuat saya sangat sedih, bahwa di sekolah anak-anak saya
diajar hal-hal yang busuk tentang Gerwani. Saya merasa anak laki-
laki saya menyembunyikan sesuatu terhadap saya. Akhirnya suatu
hari ia mendekat dan bertanya, 'Ma! Mengapa Mama menjadi
anggota organisasi begitu, yang begitu bejat akhlaknya, dan
menghancurkan negara? Apa Mama juga pelacur? Kata orang-
orang semua anggota Gerwani pelacur dan perempuan-perempuan
jahat.' Bagaimana saya harus menjelaskan kepadanya, untuk apa
kita hidup? Dan apa yang dahulu kita cita-citakan? Saya masih
melihat bayangan kebingungan dan rasa malu pada matanya.
Apakah ia masih akan mengerti hidup saya, Mamanya?
Wajah Ibu Marto mengkerut sedih ketika ia mengucapkan kata-
katanya itu. Mendadak jari-jarinya berhenti bekerja ...
Juga perempuan-perempuan lain meminta saya agar mengembalikan sejarah
mereka kepada mereka dan saudara-saudara mereka. Mereka tidak mau mati
dengan versi masa lalu mereka, yang disusun dalam kampanye teror massal
sesudah terjadinya kup. Tetapi sejarah yang menyusul itu bukannya hak
perempuan-perempuan 'tua' saja. Generasi muda kaum perempuan dan laki-laki
Indonesia, yang telah digiring untuk mempercayai versi militer mengenai
kejadian-kejadian itu, dan atas dasar itu pulalah masyarakat di mana mereka
hidup disusun, juga mempunyai hak untuk ditunjukkan kepada uraian yang
bertujuan menumbangkan sejarah militer Indonesia itu.

 Catatan
1. Saya pakai istilah 'Keluarga Komunis', dengan maksud meliputi PKI dan
ormas-ormas kaitannya, yaitu Gerwani (Gerakan Wanita Indonesia), Pemuda
Rakyat, SOBSI (Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia), BTI (Barisan
Tani Indonesia), Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat), dan HSI (Himpunan
Sarjana Indonesia). Dalam tahun 1964 dikatakan keluarga ini terdiri dari
sekitar 27 juta anggota (HR 20 Agustus 1965). Angka ini harus dibaca dengan
hati-2, oleh karena kenyataannya banyak terjadi keanggotaan rangkap.
[kembali]
 
2. Antara tahun 1950-54 organisasi ini bernama Gerwis. Saya pakai Gerwani
untuk menyebut organisasi ini secara umum, dan hanya memakai sebutan
Gerwis jika dimaksud khusus tentang periode tersebut sampai Kongres Ke-1
tahun 1954. [kembali]
 
3. Tidak diketahui dengan pasti, berapa banyak orang yang terbunuh pada
saat itu. Para ilmuwan sekarang seperti Vatikiotis (1993) dan Anderson (1994)
mengemukakan angka satu juta. Lihat juga Cribb (ed.) 1990. [kembali]
 
4. Lihat laporan Howard Jones (Dubes AS untuk Indonesia selama tujuh tahun
sampai Juni 1965) yang memperlihatkan keterlibatan AS dalam politik dalam
negeri Indonesia. Bagi Amerika dampaknya jelas lebih dari sekedar fakta,
digantikannya pemerintah yang bersikap bermusuhan dengan yang bersahabat.
Kejadian itu juga melukiskan tentang kekalahan besar baik Moskow maupun
Beijing, 'dan salah satu hasil yang paling menggembirakan dari tindakan
Indonesia atas prakarsa sendiri itu ialah pendekatan antara negeri ini dengan
Amerika Serikat' (Jones 1971:403). Bagi AS, Suharto adalah 'pahlawan yang
menggagalkan Indonesia menjadi Negara Komunis' (Jones 1971:412).
[kembali]
 
5. Lihat Bab 11 untuk uraian mengenai arti adegan gara-gara. [kembali]
 
6. Tapol, kependekan dari tahanan politik; dan napol dari narapidana politik.
Tapol yang tidak pernah diadili itu dibebaskan tahun 1979, empat belas tahun
sesudah kejadian tahun 1965, namun masih harus selalu membawa KTP
bertanda demikian. Beberapa orang napol baru dibebaskan sesudah hukuman
mereka daluwarsa. Mereka yang menunggu hukuman mati masih tetap di
dalam penjara. Pada tahun 1987, sebuah Peraturan Pemerintah (No. 5 tahun
ini) membatalkan pengurangan hukuman seumur hidup menjadi dua puluh
tahun, setelah lima tahun 'berkelakuan baik'. Lihat Hersri 1993 dan Pramudya
Ananta Toer 1988 dan 1995 untuk pengalaman tapol di konsentrasi kamp di
Pulau Buru, dan Havelaar 1988 untuk kisah kehidupan keluarga eks-tapol.
[kembali]
 
7. Jabatan yang secara resmi terlarang bagi eks-tapol termasuk menjadi
pegawai negeri, tentara, dan perusahaan-perusahaan vital. Mereka juga
dilarang bekerja yang bisa menyebabkan berhubungan dengan orang banyak,
seperti menjadi wartawan, guru, dan pendeta. Dasar hukum peraturan-
peraturan ini ialah Undang-Undang Anti-Subversi 1975 (Keputusan
Pangkopkamtib No. 06/Kopkam/XI, berkenaan dengan "Surat Keterangan
Tidak Terlibat G30S/PKI'), dan Instruksi Menteri Dalam Negeri No. 32 tahun
1981 berkenaan dengan 'Bimbingan dan Pengawasan Eks-Tapol dan Napol
Gerakan 30 September PKI'. Lihat juga Manai Sophiaan (1994) untuk uraian
tentang cara bagaimana rezim Suharto berhasil menangkal setiap kritik sosial,
dengan menunjuknya sebagai 'bahaya laten' Komunis. [kembali]
 
8. Lihat juga karangan Kees van Dijk dalam Internationale Spectator bulan
Oktober 1994, No. 10, 'Een verschijningsverbod in Indonesië' (Larangan
penerbitan di Indonesia). [kembali]
 
9. Serangkaian pemogokan di Sumatra Utara dalam paroh pertama 1994
dikatakan 'digerakkan oleh pimpinan serikat buruh, yang di antaranya
mempunyai keluarga yang terlibat PKI'. Seorang pemimpin buruh terbunuh
(IFM thn XVIII (3) Mei 1994). Pemogokan dipimpin serikat buruh merdeka
SBSI (Serikat Buruh Sejahtera Indonesia) yang masih terlarang. Pemerintah
hanya mengakui SPSI (Serikat Pekerja Seluruh Indonesia), suatu serikat buruh
yang menerima konsep perlunya ada harmoni antara majikan dan buruh.
[kembali]
 
10. Dalam makalah tahun 1985 yang berjudul 'The Perfumed Nightmare' saya
tunjukkan, bahwa di bawah Jendral Suharto Angkatan Darat telah membikin
kampanye di sekitar peranan yang dituduhkan pada Gerwani dalam kup 1
Oktober 1965. Belum lama yang lalu Leclerc (1991), dalam sebuah makalah
tak diterbitkan, telah mengangkat tema yang sama dengan memusatkan
perhatiannya pada monumen yang dibangun di Lubang Buaya, tempat
terjadinya pembunuhan para jendral. Tema ini akan saya urai dalam Bab 11.
[kembali]
 
11. Perwari, Persatuan Wanita Republik Indonesia, didirikan segera sesudah
proklamasi kemerdekaan. Seperti akan saya urai dalam Bab 7, selama waktu
yang panjang organisasi ini tetap bersemangat radikal dan lantang membela
hak-hak kaum perempuan, khususnya dalam perkawinan. Dewasa ini Perwari
telah 'dijinakkan', kegiatan-kegiatannya yang menjurubicarai perempuan
miskin tidak dimungkinkan, dan keanggotaannya menjadi merosot hebat.
Gejala terakhir ini terutama disebabkan oleh kenyataan, bahwa setiap istri
pegawai negeri atau tentara harus menjadi anggota organisasi istri-istri
tentara dan karyawan, yaitu Dharma Wanita dan Dharma Pertiwi. [kembali]
 
12. Untuk uraian tentang Dharma Wanita dan Dharma Pertiwi lihat Wieringa
1985. Dalam karangan belakangan saya membicarakan 'feminisme yang
keguguran' di Indonesia (1988b), dan lebih belakangan lagi saya tulis dua
karangan yang membandingkan Gerwani dengan PKK (1992; 1993a). lihat
juga laporan yang diterbitkan oleh tim Indonesia untuk Proyek Sejarah
Perempuan DGIS/ISS (Wieringa et al. 1985; Wieringa (ed.) 1990). Lihat juga
Suryakusuma (1990) untuk Dharma Wanita. [kembali]
 
13. Makalah ini diterjemahkan Hersri ke bahasa Indonesia sebagai 'Impian
Buruk Berbau Harum'. Sejak 1985 beredar di Indonesia sebagai bahan bacaan
samizdat. [kembali]

14. Sukarelawan Gerwani yang dilatih untuk Angkatan ke-5 berjumlah tak lebih
dari 70 orang; lihat Bab 11. [kembali]
 
15. Lihat Southwood & Flanagan (1983) untuk pembahasan tentang Angkatan
Ke-5. [kembali]
16. Nomor-nomor wawancara 96, 97, 100, 121 dan 122. Marhaenis. [kembali]
 
17. Ini organisasi yang sama. Tahun 1964 Wanita Demokrat Indonesia
mengganti namanya menjadi Gerakan Wanita Marhaenis.

Anda mungkin juga menyukai