Anda di halaman 1dari 8

Nama : Siti Maryana

NIM : F1091211029
Kelas : Reg A2

•Mengenang Soeharto
•Machiavelli Era Orde Baru
Presiden Soeharto adalah seorang ditaktor namun sepertinya dia mengikuti modernisme Barat
dan gaya militer Jawa (represi dan penyamarataan). Meskipun dia tidak membaca filosofi
The Prince yang ditulis oleh Machiavelli, tetapi dalam hal penerapannya dia berhasil
memberlakukan sebagian dari filosofi tersebut.
Yaitu lebih baik ditakuti daripada dicintai. Dan dengan menggunakan kekerasan militer
adalah langkah yang paling tepat sebab seseorang harus mementingkan aspek keamanan dan
persatuan negara daripada moralitas. Meski demikian, Soeharto sendiri melanggar beberapa
hal, yaitu dia tidak memperhitungkan bahwa dengan hilangnya “musuh bersama” (komunis)
akan berakhir pada sebuah konflik internal. ABRI sendiri sudah mulai memberontak terhadap
Soeharto di usia tuanya.
Adapun dia tidak melihat bahwa represi militer saja adalah sesuatu yang sangat
membahayakan posisinya sendiri. Dia tidak tahu bahwa tenaga yang dipendam melalui
kekerasan akan membalasnya kembali. Benar, bahwa ditakuti adalah sesuatu yang lebih
penting di tahap pertama, namun jika rakyat ditakut-takuti saja akan muncul perlawanan dari
dalam.
Bernegara, sebagai zoon politikon, merupakan sebuah tesis yang dikemukakan oleh Plato,
bahwa manusia memiliki kodrat untuk hidup dalam masyarakat dalam nuansa sosial dan
politik.
Berbicara mengenai negara memang mustahil untuk coba melepaskan diri dari diskursus
filsafat politik: bagaimana negara dijustifikasi, bagaimana konsep negara yang ideal, siapakah
yang harus memerintah dalam sebuah negara, serta bagaimana cara untuk mempertahankan
kekuasaan dalam suatu negara. Ide yang terakhir inilah yang akan kita bahas dalam tulisan
yang singkat ini.
Niccolo Machiavelli (1469-1527), dalam Il Principle, sangat jelas menggambarkan realitas
politik mengenai bagaimana suatu negara harus dijalankan serta bagaimana cara untuk
mempertahankan kekuasaan atau bahkan memperluas kekuasaan. Sebagai sebuah wacana
politik diktatorial, Machiavelli mencoba mendeskripsikan secara jujur mengenai bagaimana
kondisi moral para penguasa secara apa adanya.
Tidak diragukan lagi, hampir semua pemimpin di dunia pernah membaca pemikiran
Machiavelli dalam Il Principle ini. Kabarnya, Napoleon selalu tidur dengan buku ini berada
di bawah bantalnya. Begitu pula dengan Hitler, Lenin, dan Stalin. Bennito Mussolini bahkan
secara khusus mengkaji teks ini dalam karya tulis doktoralnya.
Machiavelli (1467-1527) adalah seorang Florence, yang ayahnya adalah seorang pengacara.
Ia seorang ahli sejarah dan negarawan Italia juga merupakan tokoh pada Zaman Renaissance.
Ajarannya yang sangat terkenal tercantum pada buku Discorsi Sopra La Prima Deca di Titus
Livius (Discourses on Frist Ten Books of Titus Livius), 1521-1517 dan II Principle (The
Prince), 1513.
Machiavelli tumbuh di bawah hukum anggota dinasti Medici yang mendapat gelar Lorenzo
the Magnificent dari masyarakat Florentine. Zaman Lorenzo sering dilukiskan sebagai zaman
Agustus dari Renaissance Italia. Lorenzo sendiri adalah humanis terhormat, penyair dan
menjadi panutan seniman maupun kalangan terpelajar.
Pada saat itu Machiavelli adalah ahli teori dan figur utama dalam realitas teori politik yang
sangat disegani di Eropa pada masa Renaissance.
Dua buku Discorsi Sopra La Prima Deca di Tito Livio (Diskursus tentang Livio) dan II
Principle (Sang Pangeran) awalnya ditulis sebagai harapan untuk memperbaiki kondisi
pemerintahan di Italia Utara. Karya Machiavelli itu membuatnya dikenal sebagai seorang
filsuf politik Renaissance.
Il Principle merupakan persembahan untuk Lorenzo “the Magnificent” Putra Piero Di Medici,
yang bertujuan menarik perhatian Medici agar membebaskan Italia dari “orang-orang barbar”
(Prancis dan Spanyol), yang kekuasaannya “menyengat”—dalam kerangka kebesaran dan
kehormatan negara Italia.
Menggalang kekuatan dan kekuasaan untuk mempersatukan daerah-daerah menjadi negara
tunggal merupakan salah satu spirit dalam teks ini. Hal tersebut dilatarbelakangi pula oleh
kondisi Italia masa itu yang masih terbagi ke dalam beberapa negara kecil yang terpecah-
pecah.
Selain itu, Italia pada saat itu secara militer sangat lemah. Padahal dari segi kebudayaan,
mereka berada di garda depan, terutama saat puncak masa Renaissance.
Dalam Il Principle atau Sang Pangeran, Machiavelli mencoba mendeskripsikan realitas
politik pada masanya secara gamblang dan apa adanya. Il Principle mencoba menyingkapkan,
dari sejarah dan peristiwa-peristiwa, bagaimana negara-negara dimenangkan,
diselenggarakan, dan ambruk.
Italia pada abad ke-15 memperlihatkan banyak contoh semacam itu. Hanya sedikit penguasa
yang absah; sementara paus-paus dalam banyak hal melindungi pemilihan dengan cara-cara
yang licik.
Barangkali “kekinian” saya, atau kita, bisa mengapresiasi Machiavelli secara lebih baik,
mengingat keberhasilan terpenting pada saat ini yang dicapai dengan cara-cara sebagaimana
digambarkan dalam Il Principle; mengamankan keselamatannya sendiri terhadap serangan
musuh, memperbanyak sekutu, menjajah dengan kekerasan dan dengan menipu, membuat
dirinya dicintai dan ditakuti oleh rakyat, membuat pasukannya patuh pada perintahnya.
Selain itu, menghancurkan mereka yang dapat dan akan melukainya, memperkenalkan
inovasi-inovasi baru ke dalam tradisi kuno rakyat, menjadi bijaksana sekaligus kejam,
menjadi pemurah sekaligus liberal menghancurkan pasukan militer lama dan mendirikan
yang baru, mempertahankan persahabatan dengan para raja dan pangeran sehingga mereka
senang dapat memberikan keuntungan kepadanya dan takut untuk melukainya (Machiavelli,
2008: 62-63).
Machiavelli juga secara eksplisit menanggalkan pertimbangan moralitas yang menjadi
kepedulian perilaku para penguasa. Ia banyak sekali dikecam karena pemikiran politik
diktatorialnya tersebut, akan tetapi bagi saya, Machiavelli sendiri merupakan ekspresi
sempurna pada masanya: tentang kejujuran intelektual sekaligus ketidak jujuran politik.
Semua itu terjadi sebagaimana pada kasus G30S—yang memiliki dampak sejarah yang
penting bagi bangsa Indonesia—yang menandai berakhirnya masa kepresidenan Soekarno
sekaligus bermulanya kekuasaan Soeharto.
Soeharto menggunakan G30S sebagai dalih untuk merongrong legitimasi Soekarno seraya
melambungkan dirinya ke kursi kepresidenan. “Kudeta merangkak”—sebuah manipulasi
sejarah, menuduh PKI menjadi dalang dari G30S.
Tentara Soeharto, dengan bantuan Amerika Serikat, Inggris, dan Australia (berdasarkan hasil
sidang IPT 1965), menangkap satu setengah juta orang lebih; semuanya dituduh terlibat
dalam G30S.
Akhir 1965 sampai pertengahan 1966, ratusan ribu orang dibantai Angkatan Darat dan milisi
yang berafiliasi dengannya, terutama di Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Bali—salah satu
pertumpahan darah terburuk pada abad ke-20. G30S ini merupakan titik awal rangkaian
kejadian berkaitan kelindan yang bermuara pada pembunuhan massal dan tiga puluh dua
tahun kediktatoran.
Kemudian, di bawah Soeharto, anti-komunisme menjadi agama negara lengkap dengan
segala situs, ritus, dan tanggal-tanggalnya yang sakral. G30S menandai adanya pemutusan
imanen dengan pengetahuan yang telah dilembagakan dan meyakinkan orang-orang untuk
mengafirmasi dan menjadi setia bahwa gerakan tersebut benar dilakukan oleh PKI.
Celakanya itu semua halal dilakukan dalam pandangan politik Machiavelli!
Membaca Machiavelli, mengingatkan saya akan salah satu tokoh dalam epos besar
Mahabharata. Sangkuni, seorang pewaris kerajaan Gandhara, kerajaan sekutu Hastinapura
sekaligus paman kandung dari Kurawa. Ia merupakan tokoh penting dalam kisah konflik
bersaudara antara Pandawa dan Kurawa. Ia bisa juga disebut sebagai penulis skenario
konflik. Dengan kecerdasan dan tipu muslihatnya, ia berhasil memecah belah keluarga
wangsa Bharata.
Salah satu kelicikannya dalam bidang politik adalah mengundang para Pandawa untuk
bermain dadu. Tradisi kaum ksatria di India Kuno menganggap menolak undangan bermain
dadu dari kerajaan lain merupakan suatu pantangan.
Oleh karena itu, Yudhistira sebagai raja menerima undangan tersebut. Singkat cerita, karena
permainan telah “dimanipulasi” oleh Sangkuni, maka para Pandawa pun harus merelakan
harta kekayaan yang sudah mereka pertaruhkan jatuh ke tangan Kurawa, termasuk harga diri
dan istri mereka sendiri.
Kisah itu sedikit memberikan horizon lain yang senada dengan gagasan politik Machiavelli
tersebut.
Selain kisah tersebut, bisa kita lihat bersama kesuksesan para pemimpin diktator ala
Machiavelli itu di sepanjang sejarah. Hitler, Mussolini, Lenin, dan Stalin, merupakan sedikit
gambaran bahwa politik diktatorial ini ternyata sering diterapkan di pelbagai kondisi
masyarakat.
Tidak terkecuali juga di Indonesia, bagaimana the Smilling General, Soeharto mampu
berkuasa dan melanggengkan kekuasaan hingga 32 tahun lamanya.
Meskipun demikian, kita tidak bisa semena-mena menyimpulkan bahwa Soeharto juga
mengaku Machiavelli sebagai “panutan” sebagaimana para diktator yang telah disebutkan
sebelumnya. Namun dengan melihat sejarah yang ada, kita bisa menilik kesamaan antara
strategi politik Soeharto dengan “pedoman diktator” ala Machiavelli ini.
Bila ditarik ke dalam kekinian kita, gagasan politik diktatorial ala Machiavelli tersebut
agaknya sulit untuk diterapkan secara utuh. Sistem demokrasi liberal (no-liberal) sudah cukup
mapan untuk digoyangkan oleh ideologi politik semacam ini.
Strategi-strategi politik yang penuh dengan kelicikan dan tipu muslihat semacam ini akan
sulit untuk menemukan tempat di dalam masyarakat yang sudah mulai berpikir kritis dan
terbuka. Bumi yang kita pijak sekarang ini, sejatinya tidak lagi berada dalam kerangka
oposisi biner: hitam-putih, lawan-kawan, baik-buruk, dan lain-lain, melainkan penuh warna
seiring dengan segala kompleksitas di dalamnya.
Namun, bukan berarti penerapan itu mustahil sama sekali. Dalam masyarakat dengan
kesadaran politik yang masih rendah, misalnya di daerah-daerah tertinggal, politik kotor
semacam itu sangat dimungkinkan sekali.
Elite politik, dengan memanfaatkan kepolosan dan ketidaktahuan publik, bisa saja melakukan
politik tipu muslihat, seperti misalnya, memfitnah lawan politik dengan menggunakan isu-isu
SARA.
Jika memahami realitas politik pada masa itu, masa di mana cikal bakal Italia benar-benar
terpuruk oleh kedigdayaan Prancis dan Spanyol. Tidak mengherankan bila Machiavelli,
dalam buku-bukunya begitu sangat membara mengejawantahkan gagasan politik
diktatorialnya yang begitu terlihat kotor serta bermuka dua.
Hal lain yang terbaca dalam pemikiran Machiavelli adalah upaya keterbukaan kajian
intelektualitas sekaligus membuka kebobrokan situasi politik pada masa itu.
Selain itu, Machiavelli sebagai seorang praktisi politik pada masa itu mencoba
menteorisasikan secara detail pengalaman-pengalaman empirisnya, dari mulai jenis-jenis
pemerintahan dan bagaimana mereka dibentuk hingga sebuah nasihat politik berupa desakan
untuk membebaskan Italia dari barbarisme.
Sebuah kajian politik yang sama sekali mengabaikan aspek moralitas merupakan gagasan
pokok di dalam pemikirannya. Bahasa kepentingan disimbolisasi melalui sebuah gagasan,
dan saya sungguh mengapresiasi kesuksesan seorang Machiavelli dalam meramu hal tersebut.
Melalui wajah teori politik, Machiavelli telah berhasil membuka tujuan praktisnya; yaitu
karya lainnya yang lebih panjang dan detail, Discourses, yang ditulis pada tahun yang sama.
Untuk itu, diperlukan pembacaan lebih lanjut mengenai implikasi praktis dari gagasan
diktatorialnya agar tidak mendapati pemahaman yang parsial serta mengawang dari
pemikirannya secara keseluruhan.
Machiavelli tidak memiliki konsepsi mengenai kekuasaan yang absah (legitimate). Dengan
mendobrak aspek moralitas dan agama, gagasan diktatorial ini diperuntukkan bagi mereka
yang memiliki keterampilan untuk merebut sebuah kekuasaan dalam sebuah kompetisi bebas.
Kecenderungannya pada gerakan rakyat tidak berasal dari ide tentang “hak-hak” (rights),
namun dari pengamatannya bahwa gerakan-gerakan rakyat itu kurang begitu kejam, jahat,
dan tidak terus-menerus dibandingkan dengan tirani.
Stabilitas politik dan keamanan menjadi penopang apa yang disebut Soeharto sebagai
pembangunan. Tanpa stabilitas, tidak akan ada pembangunan. Menurut Richard Lloyd Parry,
pembangunan adalah pilar ketiga kepemimpinan Soeharto selain militer dan mitos Pancasila.
Sebagaimana disebutkan Soeharto, ciri khas Demokrasi Pancasila adalah penolakan
kemiskinan, Maka pembangunan sebagai bagian dari pelaksanaan demokrasi Pancasila harus
mengemban amanat kesejahteraan.
Hasilnya, wartawan Inggris Richard Lloyd Parry mengakui: “inflasi, kemiskinan, tingkat
kematian bayi dan pertumbuhan penduduk berkurang secara dramatis di bawah Orde Baru.
Tingkat melek huruf, harapan hidup, GDP, dan investasi asing semuanya meningkat. Dalam
beberapa tahun saja, para insinyur dan banker asing mulai mengunjungi Jakarta lagi, dan
Indonesia membangun pabrik-pabrik, rumah sakit, serta jaringan listrik.”
Keberhasilan ini, jika dibandingkan dengan Orde Lama di bawah Soekarno, membuat
Soeharto menjadi seorang pahlawan secara ekonomi. Pemerintahan Soeharto, kendati
dianggap represif oleh sebagian orang, mendapat legitimasi kinerja dan memunculkan apa
yang disebut ‘Kaidah Soeharto’. “Kaidah Soeharto: selama rakyat merasa diri mereka
bertambah kaya, mereka akan menoleransi masyarakat yang diperdaya.”
Sebenarnya apa yang dilakukan Soeharto adalah pelaksanaan rumusan politik klasik Niccolo
Machiavelli. Machiavelli sering dikutuk sebagai sosok yang menganjurkan politik
menghalalkan segala cara. Bukunya, Il Principe, sempat diberangus Gereja Abad
Pertengahan. Namun sesungguhnya, kalau mau jujur, Machiavelli justru mengajarkan teori
hubungan pemimpin dengan rakyat yang akhirnya dilaksanakan Soeharto: ‘berikanlah apa
yang menjadi hak rakyat sebelum rakyat memintanya, sehingga seakan-akan pemberian itu
merupakan kebaikan hatimu’.
Pembangunanisme ala Soeharto mendapat pujian pemimpin negara lain. “Soeharto telah
mengubah Indonesia yang miskin menjadi macan ekonomi baru, mendidik rakyatnya, dan
membangun infrastruktur yang memperlancar pembangunan Indonesia yang
berkesinambungan. Tindakan Soeharto merupakan sumbangan yang signifikan untuk menuju
stabilitas dan pembangunan regional,” kata Lee Kwan Yew, Perdana Menteri Singapura
1959-1990.
Di mana kekuatan pembangunanisme Soeharto? Semua berangkat dari kecerdasan Soeharto.
R.E. Elson mengatakan, kecerdasan Soeharto bukan kecerdasan akademis, namun kecerdasan
yang lebih instrumentalis dan strategis. “Ia orang yang pasif, sabar, tetapi sangat rakus
belajar, orang yang mengetahui kekurangan-kekurangan strategis dalam pengetahuannya dan
mencari ahli yang dapat mengisi kekurangpengertiannya.”
Ada cerita menarik tentang bagaimana kecepatan belajar Soeharto. Pada masa awal Orde
Baru, Soeharto lebih suka duduk tekun mendengarkan dan meresapi apa yang dijelaskan para
penasihat ekonominya mengenai kurs mata uang, inflasi, neraca pembayaran, surplus, defisit,
dan lain-lain. Ia duduk mendengarkan sembari mencatat di sebuah bloknot.
Akan tetapi setelah beberapa tahun, begitu Soeharto cukup menguasai apa yang perlu ia
ketahui, giliran dia yang bicara, dan merekalah (para penasihat ekonominya) yang
mengeluarkan pulpen untuk mencatat apa yang diinginkannya untuk dilakukan.
Kekuatan pembangunanisme Soeharto ditopang oleh militer yang menegakkan stabilitas,
Golkar yang berkuasa di bidang politik, dan birokrasi di bidang pemerintahan. Dalam
birokrasi, sejumlah pakar sipil dan teknokrat berpengaruh mengambil bagian, terutama dalam
mengarahkan strategi bidang perekonomian. Mereka antara lain Widjojo Nitisastro, M. Sadli,
Sarbini Sumawinata, Emil Salim, dan Sumitro Djojohadikusumo. Yang menarik, sebagian
dari para ekonom ini adalah tokoh-tokoh Partai Sosialis Indonesia, partai yang dilarang
Soeharto untuk berdiri lagi. Inilah mungkin yang disebut Elson sebagai kecerdasan
instrumentalis dan strategis Soeharto: tidak ada lawan dan kawan abadi, kecuali kepentingan.
Para tim ekonom ini yang membawa Soeharto memilih berkonsentrasi pada produksi
pertanian untuk memperbaiki perekonomian Indonesia. Mereka juga yang mengusulkan
langkah-langkah deregulasi untuk menyelamatkan perekonomian Indonesia dari kehancuran
krisis pangan tahun 1980-an.
M. Sadli, salah satu anggota tim ekonomi Orde Baru, mengatakan dalam artikel di Majalah
Tempo, ada dua kaidah ekonomi dan politik pada masa Soekarno yang dijungkirbalikkan
pada masa kepemimpinan Soeharto. Pertama, Soeharto memberikan kesempatan kepada
pasar dan harga untuk lebih banyak melakukan fungsi alokasinya. Kedua, Soeharto membuka
tangan terhadap bantuan ekonomi dari Blok Barat dan Blok Timur dengan syarat-syarat yang
sama.
Namun, apakah ekonomi Orde Baru menjadi liberal dan menganut kapitalisme murni? Kaum
militer tidak terkenal sebagai ‘demokratis’, ‘liberal’, terbuka dan sebagainya. Nalurinya lebih
banyak otoritarian, sentralistis, intervensionis, top-down atau mengikuti sistim komando.
Soeharto sepakat dengan resep tim ekonominya karena tidak melihat resep lain di luar itu.
Syaiful Sulun, Wakil Ketua DPR/MPR RI Tahun 1987 mengatakan, Soeharto melaksanakan
dua kebijakan sekaligus di masa awal Orde Baru. Pertama, intensifikasi pertanian, yang
diikuti pendirian pabrik-pabrik pupuk. Kedua, ekstensifikasi pertanian melalui program
transmigrasi. Di bidang keuangan, Soeharto mengizinkan Bank Indonesia mengeluarkan
Kredit Likuiditas Bank Indonesia (KLBI) untuk petani dengan lahan di bawah 0,5 hektare.
Tujuan utama semua kebijakan itu adalah mengubah status Indonesia sebagai pengimpor
beras terbesar. Apabila dibiarkan, uang negara yang diserap hanya untuk mengimpor beras.
Kemudian karena beras butuh stabilitas, maka dibentuklah Badan Urusan Logistik.
Di bidang pendidikan, Soeharto membangun sekolah-sekolah di seluruh pelosok nusantara. Ia
juga membangun puskesmas di desa-desa. Jumlah penduduk dikendalikan melalui program
Keluarga Berencana. Semua kebijakan pembangunan Soeharto diterjemahkan dari visi
pembangunan jangka panjang 25 tahunan, yang dijabarkan dalam Rencana Pembangunan
Lima Tahun (Repelita).
Mantan Menteri Negara BUMN Tanri Abeng mencatat, ada dua proses transformasi yang
berhasil dilakukan Soeharto. Pertama, berhasil membawa Indonesia dari Negara miskin
dengan pendapatan per kapita 60 dollar Amerika Serikat menjadi 1.300 dollar AS atau setara
dengan 5.000 dollar AS dalam ukuran daya beli.
Kedua, Soeharto mampu membawa Indonesia mencapai swasembada pangan tahun 1985.
Manajemen pembangunan untuk semua sektor telah tersistem melalui Garis Besar Haluan
Negara. Ini kemajuan yang luar biasa dalam perspektif kepemimpinan manajemen.
Dalam buku Soeharto: Sebuah Biografi Politik (2005) yang ditulis oleh R.E. Elson, disebut
penunjukan Soeharto di Kostrad sangat penting bagi kariernya lantaran memberi lahan yang
‘lebih subur’ ketimbang posisinya di Kodam Diponegoro.
Soeharto disebut mengembangkan kelompok yang terdiri atas teman dekatnya yang satu
pikiran dengan tujuan menciptakan satu kursi kekuasaan kuasi-independen.
Terlepas dari kesulitan ekonomi serius yang dihadapi negara, Kostrad tidak mengalami
pengetatan anggaran yang diberlakukan pada formasi angkatan bersenjata umum menyusul
suksesnya kampanye Irian Barat.
Elson dalam bukunya menyebut Peristiwa 1965 merupakan peristiwa paling penting dalam
kehidupan Soeharto. Menurutnya, reaksi Soeharto terhadap peristiwa itu menunjukkan
ketenangan pikiran dan kapasitas yang memberi jalan bagi promosi politiknya.
Tanpa adanya peristiwa mengguncangkan yang dipicu oleh Gerakan 30 S/PKI, Soeharto
mungkin akan menghabiskan hari-harinya dalam ketidakjelasan.
“Kami hanya ingin mengulangi janji kami, bahwa kami tidak akan menyia-nyiakan
kepercayaan majelis dan kami berusaha sekuat tenaga untuk membuktikan janji itu. Kami
akan tetap berpegang teguh pada prinsip-prinsip Orde Baru yang telah kita letakkan
bersama,” kata Soeharto dalam pidato usai jadi presiden, sebagaimana dikutip dari
autobiografi-Nya.
Setelah diangkat itu, ia terus menjabat sebagai orang nomor 1 di Indonesia sampai 32 tahun.
Pada masa jabatannya, ia tak lupa memproduksi ragam propaganda anti-PKI, salah satunya
dengan membuat film ‘Pengkhianatan G30S/PKI’ yang diragukan rujukan sejarahnya.
Salim Said dalam ‘Menyaksikan 30 Tahun Pemerintahan Otoriter Soeharto’ mengatakan
bahwa modal utama kekuasaan Soeharto adalah dukungan tentara dan kemarahan rakyat
kepada Partai Komunis Indonesia (PKI).
Menurutnya, sebagai seorang dengan insting kekuasaan yang ternyata tajam, Soeharto sadar
tidak memiliki cukup karisma dan pengalaman politik seperti pendahulunya.
Salim mengatakan dengan latar belakang yang demikian, Soeharto yakin kekuasaannya
hanya akan bertahan jika potensi pesaing di kalangan militer disingkirkannya dengan segera.
Alhasil, setelah “membereskan” Sukarno, Soeharto menempuh tiga cara untuk membangun
dan mempertahankan kekuasaannya.
Pertama, menyingkirkan semua Perwira berorientasi kiri dan Sukarnois. Kedua,
mempromosikan para jenderal yang dianggap tidak punya potensi menggunakan tentara
melawan sang Presiden. Ketiga, para pendukung yang berjasa bagi kemenangan politik
Soeharto, tetapi menonjol dalam masyarakat, atau dianggap mempunyai agenda sendiri,
dengan segera disingkirkan dari posisi berpengaruh.
Ia mengatakan dengan menyingkirkan perwira tinggi yang dianggapnya punya potensi
mengancam, militer Indonesia secara berangsur “terbonsai” dan berkembang menjadi hanya
alat bagi kekuasaan Soeharto, terutama setelah pergantian generasi dalam aparat pertahanan
dan keamanan.
Berbagai cara dikembangkan sang Presiden demi menjaga dan melanggengkan
kekuasaannya. Pada dasarnya, cara- cara itu bukanlah cara baru ciptaannya. Soeharto pada
hakikatnya, seperti hampir semua penguasa otoriter, adalah seorang Machiavellian yang
mempraktikkan taktik stick and carrot (tongkat dan wortel).
Sempat bertahan selama 32 tahun, kekuasaan Soeharto akhirnya tumbang. Bukan oleh militer
atau PKI yang dipropagandakannya ke warga. Krisis ekonomi merontokkan kepercayaan
masyarakat, perbankan, hingga sesama pejabat Orde Baru.
21 Mei 1998, ia lengser dengan mewariskan jejak otoritarianisme dan ketakutan pada PKI.

Anda mungkin juga menyukai