Anda di halaman 1dari 12

MAKALAH

SEJARAH INDONESIA
PROSES TRANSISI MENUJU ORDE BARU

Disusun Oleh;
Kelompok 7:
ASMAR DELIA
PRIYONO MULYO

KELAS : XII MIA

GURU PEMBIMBING : PUTRI RAHAYU NINGSIH, S.Pd

MA NURUL IMAN SEKINCAU


KECAMATAN SEKINCAU
KABUPATEN LAMPUNG BARAT
2023
Sejarah Indonesia (1965–1966) adalah masa Transisi ke Orde Baru, masa di
mana pergolakan politik terjadi di Indonesia di pertengahan 1960-an,
digulingkannya presiden pertama Indonesia, Soekarno setelah 21 tahun menjabat.
Periode ini adalah salah satu periode paling penuh gejolak dalam sejarah modern
Indonesia. Periode ini juga menandakan dimulainya 32 tahun masa
kepemimpinan Soeharto.

Digambarkan sebagai "dalang" besar, Soekarno mendapatkan kekuasaan dari


usahanya menyeimbangkan kekuatan yang berlawanan dan semakin bermusuhan
antara Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan Partai Komunis Indonesia (PKI).
Pada tahun 1965, PKI telah menembus semua tingkat pemerintahan, mendapatkan
pengaruh besar dan juga mengurangi kekuasaan TNI.[1] Tentara telah terbagi,
antara sayap kiri yang pro-PKI, dan sayap kanan yang didekati oleh negara-negara
Barat.

Pada tanggal 30 September 1965, enam perwira paling senior TNI tewas dalam
sebuah aksi yang disebut "Gerakan 30 September", sebuah kelompok dari dalam
TNI sendiri. Aksi ini kemudian dicap oleh pemerintahan Soeharto sebagai
"percobaan kudeta". Dalam beberapa jam, Mayor Jenderal Soeharto memobilisasi
pasukan di bawah komandonya dan menguasai Jakarta. Golongan anti-komunis,
yang awalnya mengikuti perintah TNI, melanjutkan pembersihan berdarah dari
komunis di seluruh negeri, diperkirakan menewaskan setengah juta orang, dan
menghancurkan PKI, yang secara resmi telah dipersalahkan atas krisis tersebut
oleh Soeharto.[2][3]

Soekarno yang telah lemah secara politik kemudian dikalahkan dan dipaksa untuk
mentransfer kekuatan kunci politik dan militer Indonesia pada Jenderal Soeharto,
yang telah menjadi kepala angkatan bersenjata Indonesia. Pada bulan Maret
1967, Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) menyatakan bahwa
Jenderal Soeharto adalah presiden Indonesia. Soeharto kemudian resmi ditunjuk
sebagai presiden Indonesia satu tahun kemudian. Soekarno hidup dalam tahanan
rumah sampai kematiannya pada tahun 1970. Berlawanan dengan teriakan
nasionalisme, retorika revolusi nasional, dan kegagalan-kegagalan ekonomi yang
merupakan ciri awal 1960-an di bawah Soekarno, pemerintahan "Orde Baru"
Soeharto yang pro-Barat menstabilkan ekonomi dan menciptakan pemerintahan
pusat yang kuat.[4] Banyak dipuji karena perkembangan ekonomi yang terjadi di
Indonesia, Pemerintahan "Orde Baru" juga dikutuk karena catatan
pelanggaran hak asasi manusia dan korupsi yang sangat tinggi.[5] Menurut
sejarawan Amerika Theodore Friend, "alih-alih mengisi perut [orang Indonesia],
[Soekarno] mencoba untuk mengobarkan imajinasi mereka..." sedangkan Soeharto
melanjutkan dengan "... mengolah perut penuh [namun] semangat kosong".

LATAR BELAKANG
Soekarno sebagai tokoh nasionalis utama Indonesia telah
menyatakan Kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945 dan ditunjuk sebagai
presiden. Menyusul perjuangan revolusi nasional terhadap mantan kolonial
Belanda, Soekarno berhasil menyatukan negara Indonesia yang hampir terpecah,
namun pemerintahannya belum mampu memberikan sebuah sistem ekonomi yang
layak untuk mengangkat warganya dari kemiskinan yang parah. Dia menekankan
kebijakan dalam negeri yang sosialis dan kebijakan internasional yang sangat anti-
imperialis, didukung oleh gaya pemerintahan otoriter yang tergantung pada
kepribadian karismatiknya. Kebijakan-kebijakan ini kemudian membawanya
menciptakan aliansi dengan Blok Soviet, Republik Rakyat Tiongkok, dan merintis
penciptaan Gerakan Non-Blok dari negara-negara pasca-kolonial di Konferensi
Asia-Afrika. Kebijakan-kebijakan ini juga menciptakan aliansi politik dalam
negeri dengan Partai Komunis Indonesia.

Dari akhir 1950-an, konflik politik dan kemerosotan ekonomi terus bertambah di
Indonesia. Pada pertengahan 1960-an, pemerintahan Soekarno yang kekurangan
uang harus membuang subsidi sektor-sektor publik yang penting, perkiraan inflasi
tahunan terjadi pada 500-1.000%, pendapatan ekspor menyusut, infrastruktur
hancur, dan pabrik-pabrik beroperasi pada kapasitas minimal
dengan investasi terabaikan. Sementara kemiskinan parah dan kelaparan menjadi
meluas, Soekarno memimpin Indonesia dalam konfrontasi militer dengan
Malaysia sambil meningkatkan retorika revolusi dan anti-Barat.[7]

Digambarkan sebagai "dalang" besar di media, posisi kekuasaan Presiden


Soekarno bergantung pada keberhasilannya menyeimbangkan kekuatan yang
berlawanan dan semakin bermusuhan Tentara Nasional Indonesia (TNI)
dan Partai Komunis Indonesia (PKI). Ideologi Soekarno yang anti-imperialisme
kemudian membawa Indonesia semakin tergantung pada dukungan Uni
Soviet dan Tiongkok. Pada tahun 1965 di puncak Perang Dingin, PKI telah
merambah semua tingkat pemerintahan Indonesia secara luas. Dengan dukungan
dari Soekarno dan Angkatan Udara, PKI memperluas pengaruhnya dengan
mengurangi kekuasaan tentara, sehingga membuat permusuhan dari pihak militer.
[8]
Pada akhir 1965, TNI telah terbagi antara faksi sayap kiri yang pro-PKI, dan
faksi sayap kanan yang sedang didekati oleh Amerika Serikat.[9]

Perpecahan Militer
Kebijakan-kebijakan Soekarno tersebut hanya memberikan Soekarno beberapa
teman dan lebih banyak musuh di negara-negara Barat. Musuh ini terutama
mencakup Amerika Serikat dan Inggris Raya, yang mana para investornya
semakin marah dengan kebijakan Soekarno menasionalisasi aset tambang mineral,
pertanian, dan energi. Karena membutuhkan Indonesia sebagai sekutu
dalam Perang Dingin melawan Uni Soviet, Amerika Serikat menciptakan
sejumlah hubungan dengan para perwira militer TNI melalui pertukaran dan
transaksi senjata. Hal ini memupuk perpecahan di jajaran TNI, dengan Amerika
Serikat dan sekutunya mendukung sebuah faksi sayap kanan TNI yang
berseberangan terhadap faksi sayap kiri TNI yang mendukung Partai Komunis
Indonesia.

Ketika Soekarno menolak bantuan pangan dari USAID, sehingga memperburuk


kondisi kelaparan, faksi sayap kanan TNI mengadopsi struktur komando regional
di mana mereka bisa menyelundupkan bahan pangan untuk memenangkan
loyalitas penduduk pedesaan. Dalam upaya untuk membatasi kekuasaan sayap
kanan TNI yang meningkat, Partai Komunis Indonesia dan faksi sayap kiri TNI
membentuk sejumlah organisasi massa petani dan lainnya.

Konfrontasi Indonesia-Malaysia
Laporan ABC tahun 1966 yang membahas mengenai konteks politik Konfrontasi
Indonesia-Malaysia.
Pada tahun 1963, kebijakan Konfrontasi terhadap Federasi Malaysia yang baru
terbentuk diumumkan oleh rezim Soekarno. Hal ini semakin memperburuk
perpecahan antara faksi TNI sayap kiri dan sayap kanan, dengan faksi sayap kiri
TNI dan Partai Komunis mengambil bagian dalam serangan gerilya di perbatasan
antara Kalimantan dengan Malaysia, sementara faksi sayap kanan TNI sebagian
besar absen dari konflik (tidak jelas apakah karena pilihan atau perintah
Soekarno).

Politik konfrontasi ini selanjutnya semakin mendorong Blok Barat untuk mencari
cara untuk menggulingkan Soekarno, yang dipandang sebagai ancaman terhadap
stabilitas regional Asia Tenggara (begitu pula Vietnam Utara dalam
pandangan Teori Domino Blok Barat). Mendalamnya konflik bersenjata ini
mendekati perang terbuka antara Indonesia dan Malaysia pada tahun 1965,
meningkatkan ketidakpuasan dunia terhadap rezim Soekarno dan memperkuat
peluang kekuasaan para jenderal TNI faksi sayap kanan yang pasukannya masih
dekat dengan pusat kekuasaan di Jakarta.

RUNTUHNYA SISTEM DEMOKRASI TERPIMPIN

Gerakan 30 September

Sebagai Mayor Jenderal, Soeharto (di kanan muka) menghadiri pemakaman


umum para jenderal yang tewas dalam G30S, tanggal 5 Oktober 1965 (Foto
oleh Departemen Penerangan Indonesia).
Pada malam 30 September - 1 Oktober 1965, enam jenderal senior TNI diculik
dan dieksekusi di Jakarta oleh batalyon tentara dari Resimen
Tjakrabirawa (Pengawal Presiden) dalam sebuah aksi yang kemudian disebut oleh
Soeharto sebagai "percobaan kudeta". Faksi sayap kanan TNI yang membawahi
enam jenderal tersebut hancur, termasuk Panglima Staf Angkatan Darat yang
paling berkuasa, Ahmad Yani. Sekitar 2.000 personel tentara dari kelompok
tersebut menempati tiga sisi Lapangan Merdeka, dan menduduki Istana Merdeka,
kantor Radio Republik Indonesia, dan pusat telekomunikasi, tetapi tidak
menempati sisi timur, tempat markas Kostrad.[10] Menyebut diri mereka "Gerakan
30 September" (disingkat "G30S"), kelompok ini mengumumkan di radio RRI
sekitar pukul 7:00 WIB bahwa mereka mencoba menghentikan kudeta militer
yang didukung oleh Central Intelligence Agency (CIA) Amerika Serikat yang
direncanakan untuk menghapus Soekarno dari kekuasaan.[10]

Mereka mengumumkan telah menangkap beberapa jenderal yang tergabung dalam


konspirasi tersebut, yaitu anggota "Dewan Jenderal", yang telah merencanakan
kudeta militer terhadap pemerintahan Presiden Soekarno. Mereka kemudian
menyatakan bahwa kudeta ini sejatinya akan berlangsung pada "Hari Angkatan
Bersenjata" (5 Oktober) dengan dukungan dari CIA, dan bahwa Dewan Jenderal
kemudian akan membentuk sebuah junta militer yang memegang tampuk
kekuasaan Indonesia.[11][12] Setelah itu, kelompok ini memproklamasikan
berdirinya sebuah "Dewan Revolusi" yang terdiri dari berbagai perwira TNI
terkenal dan pemimpin sipil yang akan menjadi otoritas tertinggi di Indonesia.
Selain itu, mereka menyatakan bahwa Kabinet Dwikora Presiden Soekarno
sebagai "demisioner" ("tidak valid").[13]

Menurut salah satu terduga konspirator gerakan tersebut, yaitu Letnan


Kolonel Abdul Latief, Resimen Tjakrabirawa tidak mencoba untuk membunuh
atau menangkap Mayor Jenderal Soeharto, komandan Kostrad (Komando Strategi
dan Cadangan TNI Angkatan Darat) saat itu, karena Soeharto dianggap sebagai
loyalis Soekarno.[14] Soeharto, bersama dengan Jenderal Nasution yang selamat,
membuat tuduhan-balik bahwa G30S adalah sebuah gerakan pemberontak yang
berusaha untuk menggantikan pemerintahan Presiden Soekarno dengan
pemerintahan Komunis. Setelah mendengar pengumuman radio tersebut, Soeharto
dan Nasution mulai mengkonsolidasikan kekuatan mereka, berhasil mendapatkan
loyalitas Komandan Garnisun Jakarta Mayor Jenderal Umar
Wirahadikusumah dan Kolonel Sarwo Edhie Wibowo, komandan pasukan khusus
tentara RPKAD (Resimen Para Komando Angkatan Darat).

Selama petang 1 Oktober, tentara RPKAD merebut kantor RRI dan Bangunan
Telekomunikasi kembali tanpa perlawanan karena para tentara personel G30S
telah mundur kembali ke Markas Halim Perdanakusuma TNI AU. Pasukan
RPKAD menyerbu Markas Halim Perdanakusuma TNI AU pada dini hari tanggal
2 Oktober, tetapi dicegat oleh tentara G30S dalam baku tembak sengit di mana
beberapa korban jiwa jatuh di kedua sisi. Sebuah perintah langsung dari Presiden
Soekarno berhasil mengamankan penyerahan tentara G30S siang harinya, setelah
pasukan Soeharto menduduki markas tersebut. Pada tanggal 3 Oktober, tubuh para
jenderal faksi sayap kanan TNI yang terbunuh oleh G30S ditemukan di
lokasi Lubang Buaya dekat Markas Halim dan pada tanggal 5 Oktober (Hari
Angkatan Bersenjata) pemakaman umum yang besar diadakan.[15]

Perebutan kekuasaan internal militer


Pembunuhan para jenderal TNI faksi sayap kanan tersebut membuat pengaruh
militer jatuh untuk personel tentara yang lebih bersedia untuk menentang
Soekarno dan musuh mereka di faksi sayap kiri TNI.[16] Setelah pembunuhan para
jenderal tersebut, perwira berpangkat tertinggi dalam militer Indonesia dan
tertinggi ketiga dalam keseluruhan rantai-komando adalah Menteri Pertahanan
dan Kepala Staf TNI Angkatan Darat Jenderal Abdul Haris Nasution, anggota dari
kubu TNI sayap kanan.

Pada tanggal 2 Oktober, Soeharto menerima perintah dari Soekarno untuk


mengambil kendali tentara, tetapi dengan syarat bahwa hanya Soeharto yang
memiliki otoritas untuk memulihkan ketertiban dan keamanan. Tanggal 1
November dibentuklah Kopkamtib ("Komando Operasi Pemulihan Keamanan
Dan Ketertiban"), sebagai bentuk resmi otoritas Soeharto ini.[15] Namun pada 5
Oktober, Soekarno berpindah mempromosikan Mayjen Pranoto Reksosamudro,
yang dianggap sebagai loyalis Soekarno, sebagai Kepala Staf TNI AD
menggantikan Jenderal Nasution.

Setelah pengangkatan Pranoto tersebut, The New York Times melaporkan bahwa
sebuah "laporan diplomatik" Barat yang tidak disebutkan namanya menyatakan
bahwa Pranoto adalah mantan anggota PKI. Dugaan komunisme Pranoto, serta
pengangkatannya, membuat media tersebut berpandangan bahwa PKI dan
Soekarno bersekongkol untuk membunuh para jenderal tersebut untuk
mengkonsolidasikan genggaman mereka pada kekuasaan.[17]

Namun bagaimanapun, pasca peristiwa G30S, Mayor Jenderal Soeharto dan


unit KOSTRAD-nya adalah yang paling dekat dengan Jakarta. Secara otomatis,
Soeharto menjadi jenderal lapangan yang bertanggung jawab untuk mengusut
G30S. Kemudian, atas desakan Jenderal Nasution, Soekarno melepas Pranoto dari
jabatan yang diberikannya dan Soeharto dipromosikan menjadi Kepala Staf TNI
Angkatan Darat pada 14 Oktober 1965.[18]

Pembersihan berdarah anti-komunis


Dua pria sedang menanti kematiannya, seorang tentara di belakang mereka
menusukkan bayonetnya ke mayat-mayat di bawah kakinya dalam
sebuah eksekusi kilat terhadap para terduga komunis.
Pada awal Oktober, kampanye propaganda militer mulai menyapu Indonesia, dan
berhasil meyakinkan baik masyarakat Indonesia dan internasional bahwa
peristiwa Gerakan 30 September adalah sebuah "kudeta Komunis", dan bahwa
pembunuhan jenderal faksi sayap kanan TNI tersebut adalah kekejaman pengecut
terhadap para pahlawan Indonesia.[19] Dalam kampanye tersebut, Gerakan 30
September disebut "Gestapu" (dari "Gerakan September Tigapuluh"). Tentara,
bertindak atas perintah Soeharto dan diawasi oleh Nasution, memulai kampanye
agitasi dan hasutan untuk melakukan kekerasan berdarah di kalangan warga sipil
Indonesia yang ditujukan untuk masyarakat pendukung dan simpatisan ideologi
Komunis, dan bahkan terhadap Presiden Soekarno sendiri. Penyangkalan PKI
tentang keterlibatan mereka dalam G30S memiliki pengaruh yang kecil.[20] Rezim
Soekarno dengan cepat menjadi tidak stabil, dengan Angkatan Darat menjadi satu-
satunya kekuatan yang tersisa untuk menjaga ketertiban.[21]

Pada pemakaman Ade Irma, putri Nasution yang meninggal dalam peristiwa
G30S, Komandan Angkatan Laut Laksamana Martadinata memberi sinyal pada
para ulama dan pemimpin Muslim untuk menyerang Komunis. Pada tanggal 8
Oktober, kantor pusat PKI dijarah dan dibakar habis saat petugas pemadam
kebakaran hanya berdiri diam.[22] Mereka kemudian berdemonstrasi massal
menuntut pembubaran Partai Komunis Indonesia. Rumah-rumah tokoh senior
partai, termasuk ketua PKI D.N. Aidit, M.H. Lukman dan Nyoto juga dibakar.
Tentara kemudian memimpin kampanye untuk membersihkan masyarakat
Indonesia, pemerintah dan angkatan bersenjata dari elemen partai komunis
dan organisasi massa berhaluan kiri lainnya. Para pemimpin dan anggota PKI
segera ditangkap, beberapa langsung dieksekusi mati tanpa pengadilan apapun.[19]
Pada tanggal 18 Oktober, sebuah deklarasi dibacakan melalui semua stasiun radio
yang dikendalikan militer, menyatakan bahwa Partai Komunis Indonesia adalah
partai terlarang. Larangan tersebut termasuk partai PKI sendiri dan semua
"onderbouw"-nya (sayap organisasi) seperti organisasi pemuda dan perempuan,
asosiasi petani, intelektual dan kelompok mahasiswa, dan serikat buruh SOBSI.
Pada saat itu, tidak jelas apakah larangan ini hanya diterapkan terhadap Jakarta
(yang saat itu dikuasai oleh TNI Angkatan Darat), atau seluruh Republik
Indonesia. Namun, larangan itu segera digunakan sebagai dalih oleh Tentara
Nasional Indonesia untuk pergi di seluruh Indonesia melaksanakan hukuman di
luar hukum, termasuk penangkapan massal dan eksekusi kilat, terhadap siapapun
yang dicurigai pendukung kelompok kiri atau komunis, dan loyalis Soekarno. Saat
penyebaran kekerasan berdarah tersebut, Soekarno mengeluarkan perintah untuk
mencoba menghentikannya, tetapi ia diabaikan. Dia juga menolak untuk
menyalahkan PKI untuk peristiwa "kudeta" tersebut, apalagi melarangnya seperti
yang dituntut oleh TNI Angkatan Darat. Namun, meski Soeharto dan Nasution
semakin curiga tentang peran Soekarno dalam peristiwa itu, TNI Angkatan Darat
enggan untuk menghadapi Soekarno langsung karena popularitasnya yang masih
luas.[22]

Dimulai pada akhir Oktober 1965, dan dipanas-panasi oleh kebencian masyarakat
yang terpendam, TNI dan sekutu sipilnya ( terutama kelompok vigilante Muslim)
mulai membunuhi orang-orang yang ada hubungan dengan PKI
maupun onderbouw-nya, baik yang hanya diduga maupun yang memang betul.
[15]
Pembunuhan dimulai di ibu kota, Jakarta, menyebar ke Jawa Tengah dan Jawa
Timur, dan kemudian Bali. Meskipun pembunuhan terjadi di seluruh Indonesia,
yang terburuk berada di kubu PKI Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, dan Sumatra
utara.[23] Pembantaian mencapai puncaknya selama sisa tahun 1965, sebelum
mereda pada bulan-bulan awal tahun 1966.[24] Perkiraan jumlah korban tewas dari
berbagai kekerasan ini berkisar dari lebih dari 100.000 sampai 3 juta, namun
kebanyakan sejarawan menerima figur sekitar 500.000.[25] Banyak orang lain juga
dipenjara dan selama sepuluh tahun ke depan, orang-orang masih ditangkap dan
dipenjarakan sebagai tersangka. Diperkirakan bahwa sebanyak 1,5 juta orang
dipenjarakan atas dasar dugaan pendukung komunisme pada satu saat pada masa
tersebut.[26] Sebagai hasil dari pembersihan tersebut, salah satu dari tiga pilar
pendukung Soekarno, Partai Komunis Indonesia, telah secara efektif dihilangkan
oleh dua lainnya, yaitu militer dan politik Islam.

Demonstrasi
Pada Oktober 1965, mahasiswa di Jakarta membentuk KAMI ("Kesatuan Aksi
Mahasiswa Indonesia"), yang menyerukan pelarangan PKI.[27] Organisasi ini
segera dimasuki sejumlah organisasi serupa yang terdiri dari siswa SMA, pekerja,
seniman, buruh dan sejenisnya. Target lainnya untuk para demonstran adalah
kenaikan harga dan inefisiensi pemerintah.[22] Mereka juga berdemonstrasi
menentang Subandrio, menteri luar negeri dan kepala badan intelijen BPI dan
orang nomor dua di pemerintahan.[12]
Pada 10 Januari 1966, para demonstran, termasuk KAMI, berdemonstrasi di
depan gedung DPR dan mengumumkan apa yang dikenal sebagai "Tri Tuntutan
Rakyat" (Tritura):

 Pembubaran PKI dan organisasi-organisasi massanya


 Pengusiran elemen PKI dari kabinet dengan adanya perombakan
 Harga kebutuhan pokok yang lebih rendah dan perbaikan ekonomi[27]
Pada bulan Februari 1966 saat demonstrasi anti-komunis terus berlanjut, Soekarno
mencoba menenangkan Soeharto dengan mempromosikan dirinya. Pada tanggal
21 Februari, Soekarno mencoba untuk mendapatkan kembali prakarsa
pemerintahan dengan mengumumkan kabinet baru, yang termasuk mantan kepala
TNI Angkatan Udara Omar Dhani, yang telah mengeluarkan pernyataan pada 1
Oktober 1965 awalnya mendukung "kudeta" G30S. Lebih provokatif lagi,
Soekarno kemudian memecat Jenderal Nasution dari pos kabinetnya. Kabinet baru
ini segera menjadi dikenal sebagai "Kabinet Gestapu", dari singkatan yang
diciptakan oleh militer untuk Gerakan 30 September.[22]

Dua hari setelah pengumuman Soekarno tersebut, sebuah kerumunan besar


berusaha menyerbu istana presiden. Keesokan harinya, saat kabinet baru Soekarno
sedang dilantik, tentara dari Resimen Tjakrabirawa (pengawal presiden)
menembaki kerumunan di depan istana, membunuh pengunjuk rasa
mahasiswa Arif Rahman Hakim, yang kemudian diangkat menjadi martir dan
diberi pemakaman pahlawan hari berikutnya.[22][27]

Pada 8 Maret 1966, mahasiswa berhasil menjarah gedung kementerian luar negeri,
dan mendudukinya selama lima jam. Mereka mengecat slogan, salah satunya
menuduh Soebandrio membunuh para jenderal dalam G30S, dan menggambar
grafiti yang menggambarkan Soebandrio sebagai anjing Peking (sebuah referensi
anggapan tentang kedekatannya terhadap pemerintahan komunis Tiongkok) atau
tergantung di tiang gantungan.[22]

Soekarno kemudian merencanakan serangkaian pertemuan yang berlangsung tiga


hari untuk memulihkan kekuasaannya. Yang pertama, pada tanggal 10 Maret,
melibatkan para pimpinan partai politik. Ia berhasil membujuk mereka untuk
menandatangani deklarasi peringatan terhadap perlawananan atas otoritas presiden
oleh demonstrasi mahasiswa. Tahap kedua adalah rapat kabinet yang
direncanakan untuk tanggal 11 Maret. Namun, saat pertemuan ini sedang
berlangsung, sebuah kabar mencapai Soekarno bahwa pasukan tak dikenal sedang
mengepung istana. Soekarno segera meninggalkan istana dengan tergesa-gesa
menuju Bogor, di mana malam itu, ia menandatangani
dokumen Supersemar sebagai serah terima wewenang untuk memulihkan
ketertiban kepada Mayor Jenderal Soeharto. Soeharto bertindak cepat. Keesokan
harinya, tanggal 12 Maret ia segera melarang PKI. Pada hari yang sama, terlihat
"unjuk kekuatan" oleh TNI Angkatan Darat di jalan-jalan Jakarta, yang disaksikan
oleh orang banyak yang bersorak.[22] Pada tanggal 18 Maret Soebandrio dan 14
menteri lainnya ditangkap, termasuk deputi perdana menteri ketiga Chairul Saleh.
Malam itu, radio mengumumkan bahwa para menteri tersebut berada di tahanan
perlindungan.
Soeharto kemudian mengakui dalam otobiografinya bahwa ia sering berhubungan
dengan para demonstran mahasiswa selama periode ini, dan Soekarno sering
meminta dia untuk menghentikan demonstrasi-demontrasi tersebut.

MANUVER POLITIK
Pada tanggal 27 Maret, susunan kabinet baru yang disepakati Soeharto dan
Soekarno, diumumkan. Kabinet ini termasuk tokoh kunci Soeharto sendiri sebagai
wakil perdana menteri interim untuk keamanan dan urusan pertahanan, bertugas
mencegah kebangkitan komunisme, Sultan Yogyakarta Sri Sultan Hamengku
Buwono IX sebagai wakil perdana menteri untuk urusan ekonomi, keuangan dan
pembangunan, bertugas memecahkan masalah ekonomi bangsa dan Adam
Malik sebagai wakil perdana menteri untuk urusan sosial dan politik, yang
tugasnya akan mengelola kebijakan luar negeri.

Pada 24 April 1966, Soeharto berpidato kepada anggota Partai Nasional


Indonesia di mana ia berbicara tentang "tiga penyimpangan" yang harus dikoreksi
oleh para pemuda negara bekerja sama dengan Angkatan Bersenjata. Hal ini
adalah:

 Radikalisme ekstrem kiri PKI dan upaya untuk memaksakan perjuangan


kelas pada rakyat Indonesia;
 Oportunisme politik yang dimotivasi oleh keuntungan pribadi, dipimpin dan
dieksploitasi oleh "dalang" dari Badan Pusat Intelijen Indonesia (BPI), yang
pada saat itu dipimpin oleh Subandrio, sekutu Soekarno;
 Avonturisme ekonomi, menghasilkan penciptaan sengaja sebuah kekacauan
ekonomi.
Rezim baru ini berpaling dari Tiongkok dan mulai bergerak untuk
mengakhiri konfrontasi Indonesia-Malaysia, dan menyimpang dari keinginan
Soekarno.

Sementara itu, Soeharto dan sekutunya terus membersihkan lembaga-lembaga


negara dari loyalis Soekarno. Kesatuan pengawal istana, Resimen
Tjakrabirawa dibubarkan, dan setelah demonstrasi mahasiswa selanjutnya di
depan gedung legislatif pada tanggal 2 Mei, pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat
Gotong Royong (DPR-GR) digantikan dan anggota legislatif yang Soekarnois dan
pro-komunis diskors dari DPR-GR dan Majelis Permusyawaratan Rakyat
Sementara (MPRS), badan pembuatan hukum tertinggi. Pengganti mereka yang
Pro-Soeharto kemudian diangkat.

Sebuah sidang MPRS dijadwalkan untuk dibuka 12 Mei, tetapi akhirnya dimulai
pada tanggal 20 Juni dan berlanjut sampai dengan 5 Juli. Salah satu tindakan
pertamanya adalah menunjuk Jenderal Nasution sebagai ketua. Sidang ini
kemudian mulai membongkar aparatur negara yang telah dibangun Soekarno di
sekitar dirinya. Sidang ini mengeluarkan beberapa keputusan, salah satunya
adalah ratifikasi Supersemar, sehingga pencabutannya hampir mustahil. Sidang ini
juga meratifikasi pelarangan PKI dan ajaran ideologi Marxisme,
menginstruksikan Soeharto untuk membentuk kabinet baru, memanggil Soekarno
untuk memberikan penjelasan atas situasi ekonomi dan politik di Indonesia dan
menanggalkannya dari gelar "presiden seumur hidup". Sidang ini juga
mengeluarkan sebuah dekret yang menyatakan bahwa jika presiden (Soekarno)
tidak mampu melaksanakan tugasnya, pemegang Supersemar akan menjabat
sebagai presiden.

Kabinet baru yang diumumkan oleh Soekarno pada tanggal 20 Juni, dipimpin oleh
presidium lima orang yang dipimpin oleh Soeharto, dan termasuk Adam Malik
dan Sri Sultan Hamengkubuwono IX. Pengumuman ini kembali mencakup
pemberhentian para loyalis Soekarno lebih lanjut.

Pada tanggal 11 Agustus, sebuah perjanjian damai ditandatangani, secara resmi


mengakhiri "Konfrontasi" Indonesia-Malaysia. Indonesia mengumumkan akan
bergabung kembali dengan Bank Dunia, Dana Moneter Internasional (IMF)
dan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Perjanjian ini termasuk pembebasan
tahanan politik Soekarno dan pembayaran kompensasi kepada pemerintah Inggris
dan Amerika Serikat atas kerusakan yang terjadi pada bangunan diplomatik
mereka selama demonstrasi pada era Soekarno.

Pada tanggal 17 Agustus, dalam pidato hari kemerdekaan tahunan, Soekarno


menyatakan bahwa Indonesia tidak mau mengakui Malaysia atau bergabung
kembali dengan PBB. Ia juga menyatakan bahwa ia tidak memindahkan
kekuasaan kepada Soeharto. Ini memicu reaksi marah dalam bentuk demonstrasi,
dan Indonesia memang akhirnya bergabung kembali dengan PBB pada bulan
September, berpartisipasi dalam Majelis Umum pada tanggal 28 September.
[27]
Sementara itu, kritik dari para demonstran menjadi semakin gencar dan
pribadi, ada yang menuntut Soekarno untuk diadili.

Pada 10 Januari 1967, Soekarno menulis kepada MPRS, melampirkan dokumen


yang dikenal sebagai "Nawaksara", memberikan versinya tentang peristiwa
seputar Gerakan 30 September. Di dalamnya, ia mengatakan bahwa penculikan
dan pembunuhan para jenderal TNI tersebut adalah sebuah "kejutan tak terduga"
kepadanya, dan bahwa ia sendiri tidak bertanggung jawab atas masalah-masalah
moral dan ekonomi bangsa. Hal ini menyebabkan demonstran menyerukan
Soekarno untuk digantung.[22]

Pimpinan MPRS kemudan bertemu pada tanggal 21 Januari dan menyimpulkan


bahwa Soekarno telah gagal untuk memenuhi kewajiban konstitusionalnya.
Dalam resolusi yang disahkan pada 9 Februari, DPR-GR menolak Nawaksara dan
meminta MPRS untuk mengadakan sidang khusus.[27]

Laporan ABC April 1967 tentang ketegangan politik di akhir era Soekarno.
Pada tanggal 12 Maret 1967, sidang khusus MPRS dimulai. Setelah perdebatan
sengit, sidang ini setuju untuk melucuti Soekarno dari kekuasaan dan jabatannya.
Pada tanggal 12 Maret Soeharto diangkat penjabat Presiden Republik Indonesia
yang baru. Soekarno kemudian dimasukkan sebagai tahanan rumah secara de
facto di kediamannya di Bogor. Setahun kemudian, pada tanggal 27 Maret 1968
sidang lain dari MPRS kembali menunjuk Soeharto sebagai presiden kedua
Republik Indonesia.[27]
Jenderal Nasution sendiri diyakini telah berusaha mendapatkan kekuasaan pada
tanggal 16 Desember 1965, ketika dia ditunjuk sebagai Komando Operasi
Tertinggi, dan memegang sebagian dari hierarki militer yang umumnya dipegang
oleh orang sipil. The New York Times melaporkan bahwa Nasution lebih suka
membentuk sebuah junta untuk menggantikan pemerintahan Soekarno.[28] (New
York Times, 16 Desember 1965.)

Konsekuensi
UNDANG-UNDANG ANTI-TJINA
Walaupun kebencian terhadap keturunan Tionghoa oleh keturunan pribumi di
Indonesia berawal pada era Hindia Belanda, Orde Baru menghasut terciptanya
undang-undang anti-Tiongkok menyusul usahanya menghapuskan total paham
komunisme (karena negara Tiongkok menganut paham komunisme).
Walaupun stereotip negatif bahwa orang "Tjina" (istilah untuk Tionghoa-
Indonesia kala itu) adalah kaya dan serakah adalah umum di saat itu, adanya
histeria anti-komunisme setelah peristiwa G30S dan hubungan orang Tionghoa-
Indonesia dengan Republik Rakyat Tiongkok memperparah keadaan dengan
menyebabkan adanya pandangan bahwa orang Tionghoa juga termasuk kolom
kelima (simpatisan rahasia) komunis.

Hubungan diplomatik Indonesia dengan Tiongkok yang kala itu ramah diputus,
dan Kedutaan Besar Tiongkok di Jakarta dibakar oleh massa. Undang-undang
baru yang mendiskriminasi etnis Tionghoa-Indonesia dalam masa Orde Baru ini
termasuk pelarangan tanda-tanda Aksara Tionghoa pada toko-toko dan bangunan
lain, penutupan sekolah bahasa Tionghoa, pengadopsian nama yang terdengar
"Indonesia", termasuk pembatasan pembangunan klenteng. Masa pemerintahan
Orde Baru selanjutnya terus diwarnai dengan kerusuhan yang diwarnai sentimen-
sentimen serupa.

SEBUAH SISTEM POLITIK BARU


Likuidasi dan pelarangan Partai Komunis Indonesia (dan organisasi terkaitnya)
telah menghilangkan salah satu partai politik terbesar di Indonesia. PKI juga
merupakan salah satu Partai Komunis terbesar di Komintern, dengan sekitar 3 juta
anggota. Seiring dengan upaya berikutnya oleh Soeharto untuk merebut
kekuasaan dari Soekarno dengan membersihkan para loyalis Soekarno dari
parlemen, pemerintahan sipil di Indonesia secara efektif telah berakhir. Faham
anti-komunisme kemudian menjadi ciri khas rezim Orde Baru Soeharto dalam 32
tahun selanjutnya.[29]

Rezim Orde Baru yang muncul dari gejolak tahun 1960-an ini ditujukan untuk
memelihara ketertiban politik, mempromosikan pembangunan ekonomi, dan
mengasingkan partisipasi massa dari dalam proses politik Indonesia. Militer diberi
peran yang kuat dalam politik, organisasi politik dan sosial di seluruh Indonesia
mengalami birokratisasi dan korporatisasi, dan metode represi yang selektif
namun efektif dan kadang-kadang brutal digunakan terhadap penentang rezim
Orde Baru.[29]
Sejumlah kursi di parlemen Indonesia disisihkan untuk personel militer sebagai
bagian dari doktrin "dwifungsi" (fungsi ganda). Di bawah sistem ini, militer
mengambil peran sebagai administrator di semua tingkat pemerintahan. Partai-
partai politik yang tersisa setelah pembersihan politik kemudian dikonsolidasikan
menjadi sebuah partai tunggal, Partai Golongan Karya ("Golkar"). Walaupun
Soeharto mengizinkan pembentukan dua partai non-Golkar, (PDI dan PPP) kedua
partai ini dibuat supaya tetap lemah selama rezimnya berkuasa.

KEBANGKITAN ISLAMISME
Penghilangan partai-partai Nasionalis dan Komunis, dua jenis partai yang sekuler,
memiliki efek samping yang memberikan ruang lebih luas untuk pengembangan
doktrin Islamisme di Indonesia. Hal ini termasuk doktrin Islam yang liberal,
konservatif, dan kelompok-kelompok ekstremis yang menganut Islam di
Indonesia. Para pengamat sejarah dan politik Indonesia meyakini bahwa pasukan
Soeharto membesar-besarkan sentimen anti-komunis dengan memanfaatkan
permusuhan golongan Islam konservatif terhadap komunisme yang "tak bertuhan"
untuk menghasut jihad melawan para pendukung sayap kiri (komunisme).

PENINGKATAN HUBUNGAN DENGAN BARAT


Perubahan rezim ini membawa perubahan dalam kebijakan pemerintah Indonesia
yang memungkinkan USAID dan lembaga bantuan lainnya untuk beroperasi di
dalam Indonesia. Soeharto membuka ekonomi Indonesia dengan melepas
perusahaan milik negara, dan negara-negara Barat didorong untuk berinvestasi
dan mengambil kendali dari banyak kepentingan pertambangan dan konstruksi di
Indonesia. Hasilnya adalah stabilisasi ekonomi dan pengentasan kemiskinan
absolut dan kondisi kelaparan yang telah dihasilkan dari kekurangan pasokan
beras dan keengganan Soekarno mengambil bantuan negara-negara Barat.

Sebagai hasil dari eliminasi komunis, Soeharto kemudian dipandang sebagai


seorang yang pro-Barat dan anti-komunis. Sebuah hubungan militer dan
diplomatik yang akan berlangsung lama antara Indonesia dan negara-negara Barat
telah dibangun, yang kemudian mengarah ke pembelian senjata dari Amerika
Serikat, Inggris Raya, Australia dan pelatihan personel militer Indonesia oleh
negara-negara tersebut.

Anda mungkin juga menyukai