SEJARAH INDONESIA
PROSES TRANSISI MENUJU ORDE BARU
Disusun Oleh;
Kelompok 7:
ASMAR DELIA
PRIYONO MULYO
Pada tanggal 30 September 1965, enam perwira paling senior TNI tewas dalam
sebuah aksi yang disebut "Gerakan 30 September", sebuah kelompok dari dalam
TNI sendiri. Aksi ini kemudian dicap oleh pemerintahan Soeharto sebagai
"percobaan kudeta". Dalam beberapa jam, Mayor Jenderal Soeharto memobilisasi
pasukan di bawah komandonya dan menguasai Jakarta. Golongan anti-komunis,
yang awalnya mengikuti perintah TNI, melanjutkan pembersihan berdarah dari
komunis di seluruh negeri, diperkirakan menewaskan setengah juta orang, dan
menghancurkan PKI, yang secara resmi telah dipersalahkan atas krisis tersebut
oleh Soeharto.[2][3]
Soekarno yang telah lemah secara politik kemudian dikalahkan dan dipaksa untuk
mentransfer kekuatan kunci politik dan militer Indonesia pada Jenderal Soeharto,
yang telah menjadi kepala angkatan bersenjata Indonesia. Pada bulan Maret
1967, Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) menyatakan bahwa
Jenderal Soeharto adalah presiden Indonesia. Soeharto kemudian resmi ditunjuk
sebagai presiden Indonesia satu tahun kemudian. Soekarno hidup dalam tahanan
rumah sampai kematiannya pada tahun 1970. Berlawanan dengan teriakan
nasionalisme, retorika revolusi nasional, dan kegagalan-kegagalan ekonomi yang
merupakan ciri awal 1960-an di bawah Soekarno, pemerintahan "Orde Baru"
Soeharto yang pro-Barat menstabilkan ekonomi dan menciptakan pemerintahan
pusat yang kuat.[4] Banyak dipuji karena perkembangan ekonomi yang terjadi di
Indonesia, Pemerintahan "Orde Baru" juga dikutuk karena catatan
pelanggaran hak asasi manusia dan korupsi yang sangat tinggi.[5] Menurut
sejarawan Amerika Theodore Friend, "alih-alih mengisi perut [orang Indonesia],
[Soekarno] mencoba untuk mengobarkan imajinasi mereka..." sedangkan Soeharto
melanjutkan dengan "... mengolah perut penuh [namun] semangat kosong".
LATAR BELAKANG
Soekarno sebagai tokoh nasionalis utama Indonesia telah
menyatakan Kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945 dan ditunjuk sebagai
presiden. Menyusul perjuangan revolusi nasional terhadap mantan kolonial
Belanda, Soekarno berhasil menyatukan negara Indonesia yang hampir terpecah,
namun pemerintahannya belum mampu memberikan sebuah sistem ekonomi yang
layak untuk mengangkat warganya dari kemiskinan yang parah. Dia menekankan
kebijakan dalam negeri yang sosialis dan kebijakan internasional yang sangat anti-
imperialis, didukung oleh gaya pemerintahan otoriter yang tergantung pada
kepribadian karismatiknya. Kebijakan-kebijakan ini kemudian membawanya
menciptakan aliansi dengan Blok Soviet, Republik Rakyat Tiongkok, dan merintis
penciptaan Gerakan Non-Blok dari negara-negara pasca-kolonial di Konferensi
Asia-Afrika. Kebijakan-kebijakan ini juga menciptakan aliansi politik dalam
negeri dengan Partai Komunis Indonesia.
Dari akhir 1950-an, konflik politik dan kemerosotan ekonomi terus bertambah di
Indonesia. Pada pertengahan 1960-an, pemerintahan Soekarno yang kekurangan
uang harus membuang subsidi sektor-sektor publik yang penting, perkiraan inflasi
tahunan terjadi pada 500-1.000%, pendapatan ekspor menyusut, infrastruktur
hancur, dan pabrik-pabrik beroperasi pada kapasitas minimal
dengan investasi terabaikan. Sementara kemiskinan parah dan kelaparan menjadi
meluas, Soekarno memimpin Indonesia dalam konfrontasi militer dengan
Malaysia sambil meningkatkan retorika revolusi dan anti-Barat.[7]
Perpecahan Militer
Kebijakan-kebijakan Soekarno tersebut hanya memberikan Soekarno beberapa
teman dan lebih banyak musuh di negara-negara Barat. Musuh ini terutama
mencakup Amerika Serikat dan Inggris Raya, yang mana para investornya
semakin marah dengan kebijakan Soekarno menasionalisasi aset tambang mineral,
pertanian, dan energi. Karena membutuhkan Indonesia sebagai sekutu
dalam Perang Dingin melawan Uni Soviet, Amerika Serikat menciptakan
sejumlah hubungan dengan para perwira militer TNI melalui pertukaran dan
transaksi senjata. Hal ini memupuk perpecahan di jajaran TNI, dengan Amerika
Serikat dan sekutunya mendukung sebuah faksi sayap kanan TNI yang
berseberangan terhadap faksi sayap kiri TNI yang mendukung Partai Komunis
Indonesia.
Konfrontasi Indonesia-Malaysia
Laporan ABC tahun 1966 yang membahas mengenai konteks politik Konfrontasi
Indonesia-Malaysia.
Pada tahun 1963, kebijakan Konfrontasi terhadap Federasi Malaysia yang baru
terbentuk diumumkan oleh rezim Soekarno. Hal ini semakin memperburuk
perpecahan antara faksi TNI sayap kiri dan sayap kanan, dengan faksi sayap kiri
TNI dan Partai Komunis mengambil bagian dalam serangan gerilya di perbatasan
antara Kalimantan dengan Malaysia, sementara faksi sayap kanan TNI sebagian
besar absen dari konflik (tidak jelas apakah karena pilihan atau perintah
Soekarno).
Politik konfrontasi ini selanjutnya semakin mendorong Blok Barat untuk mencari
cara untuk menggulingkan Soekarno, yang dipandang sebagai ancaman terhadap
stabilitas regional Asia Tenggara (begitu pula Vietnam Utara dalam
pandangan Teori Domino Blok Barat). Mendalamnya konflik bersenjata ini
mendekati perang terbuka antara Indonesia dan Malaysia pada tahun 1965,
meningkatkan ketidakpuasan dunia terhadap rezim Soekarno dan memperkuat
peluang kekuasaan para jenderal TNI faksi sayap kanan yang pasukannya masih
dekat dengan pusat kekuasaan di Jakarta.
Gerakan 30 September
Selama petang 1 Oktober, tentara RPKAD merebut kantor RRI dan Bangunan
Telekomunikasi kembali tanpa perlawanan karena para tentara personel G30S
telah mundur kembali ke Markas Halim Perdanakusuma TNI AU. Pasukan
RPKAD menyerbu Markas Halim Perdanakusuma TNI AU pada dini hari tanggal
2 Oktober, tetapi dicegat oleh tentara G30S dalam baku tembak sengit di mana
beberapa korban jiwa jatuh di kedua sisi. Sebuah perintah langsung dari Presiden
Soekarno berhasil mengamankan penyerahan tentara G30S siang harinya, setelah
pasukan Soeharto menduduki markas tersebut. Pada tanggal 3 Oktober, tubuh para
jenderal faksi sayap kanan TNI yang terbunuh oleh G30S ditemukan di
lokasi Lubang Buaya dekat Markas Halim dan pada tanggal 5 Oktober (Hari
Angkatan Bersenjata) pemakaman umum yang besar diadakan.[15]
Setelah pengangkatan Pranoto tersebut, The New York Times melaporkan bahwa
sebuah "laporan diplomatik" Barat yang tidak disebutkan namanya menyatakan
bahwa Pranoto adalah mantan anggota PKI. Dugaan komunisme Pranoto, serta
pengangkatannya, membuat media tersebut berpandangan bahwa PKI dan
Soekarno bersekongkol untuk membunuh para jenderal tersebut untuk
mengkonsolidasikan genggaman mereka pada kekuasaan.[17]
Pada pemakaman Ade Irma, putri Nasution yang meninggal dalam peristiwa
G30S, Komandan Angkatan Laut Laksamana Martadinata memberi sinyal pada
para ulama dan pemimpin Muslim untuk menyerang Komunis. Pada tanggal 8
Oktober, kantor pusat PKI dijarah dan dibakar habis saat petugas pemadam
kebakaran hanya berdiri diam.[22] Mereka kemudian berdemonstrasi massal
menuntut pembubaran Partai Komunis Indonesia. Rumah-rumah tokoh senior
partai, termasuk ketua PKI D.N. Aidit, M.H. Lukman dan Nyoto juga dibakar.
Tentara kemudian memimpin kampanye untuk membersihkan masyarakat
Indonesia, pemerintah dan angkatan bersenjata dari elemen partai komunis
dan organisasi massa berhaluan kiri lainnya. Para pemimpin dan anggota PKI
segera ditangkap, beberapa langsung dieksekusi mati tanpa pengadilan apapun.[19]
Pada tanggal 18 Oktober, sebuah deklarasi dibacakan melalui semua stasiun radio
yang dikendalikan militer, menyatakan bahwa Partai Komunis Indonesia adalah
partai terlarang. Larangan tersebut termasuk partai PKI sendiri dan semua
"onderbouw"-nya (sayap organisasi) seperti organisasi pemuda dan perempuan,
asosiasi petani, intelektual dan kelompok mahasiswa, dan serikat buruh SOBSI.
Pada saat itu, tidak jelas apakah larangan ini hanya diterapkan terhadap Jakarta
(yang saat itu dikuasai oleh TNI Angkatan Darat), atau seluruh Republik
Indonesia. Namun, larangan itu segera digunakan sebagai dalih oleh Tentara
Nasional Indonesia untuk pergi di seluruh Indonesia melaksanakan hukuman di
luar hukum, termasuk penangkapan massal dan eksekusi kilat, terhadap siapapun
yang dicurigai pendukung kelompok kiri atau komunis, dan loyalis Soekarno. Saat
penyebaran kekerasan berdarah tersebut, Soekarno mengeluarkan perintah untuk
mencoba menghentikannya, tetapi ia diabaikan. Dia juga menolak untuk
menyalahkan PKI untuk peristiwa "kudeta" tersebut, apalagi melarangnya seperti
yang dituntut oleh TNI Angkatan Darat. Namun, meski Soeharto dan Nasution
semakin curiga tentang peran Soekarno dalam peristiwa itu, TNI Angkatan Darat
enggan untuk menghadapi Soekarno langsung karena popularitasnya yang masih
luas.[22]
Dimulai pada akhir Oktober 1965, dan dipanas-panasi oleh kebencian masyarakat
yang terpendam, TNI dan sekutu sipilnya ( terutama kelompok vigilante Muslim)
mulai membunuhi orang-orang yang ada hubungan dengan PKI
maupun onderbouw-nya, baik yang hanya diduga maupun yang memang betul.
[15]
Pembunuhan dimulai di ibu kota, Jakarta, menyebar ke Jawa Tengah dan Jawa
Timur, dan kemudian Bali. Meskipun pembunuhan terjadi di seluruh Indonesia,
yang terburuk berada di kubu PKI Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, dan Sumatra
utara.[23] Pembantaian mencapai puncaknya selama sisa tahun 1965, sebelum
mereda pada bulan-bulan awal tahun 1966.[24] Perkiraan jumlah korban tewas dari
berbagai kekerasan ini berkisar dari lebih dari 100.000 sampai 3 juta, namun
kebanyakan sejarawan menerima figur sekitar 500.000.[25] Banyak orang lain juga
dipenjara dan selama sepuluh tahun ke depan, orang-orang masih ditangkap dan
dipenjarakan sebagai tersangka. Diperkirakan bahwa sebanyak 1,5 juta orang
dipenjarakan atas dasar dugaan pendukung komunisme pada satu saat pada masa
tersebut.[26] Sebagai hasil dari pembersihan tersebut, salah satu dari tiga pilar
pendukung Soekarno, Partai Komunis Indonesia, telah secara efektif dihilangkan
oleh dua lainnya, yaitu militer dan politik Islam.
Demonstrasi
Pada Oktober 1965, mahasiswa di Jakarta membentuk KAMI ("Kesatuan Aksi
Mahasiswa Indonesia"), yang menyerukan pelarangan PKI.[27] Organisasi ini
segera dimasuki sejumlah organisasi serupa yang terdiri dari siswa SMA, pekerja,
seniman, buruh dan sejenisnya. Target lainnya untuk para demonstran adalah
kenaikan harga dan inefisiensi pemerintah.[22] Mereka juga berdemonstrasi
menentang Subandrio, menteri luar negeri dan kepala badan intelijen BPI dan
orang nomor dua di pemerintahan.[12]
Pada 10 Januari 1966, para demonstran, termasuk KAMI, berdemonstrasi di
depan gedung DPR dan mengumumkan apa yang dikenal sebagai "Tri Tuntutan
Rakyat" (Tritura):
Pada 8 Maret 1966, mahasiswa berhasil menjarah gedung kementerian luar negeri,
dan mendudukinya selama lima jam. Mereka mengecat slogan, salah satunya
menuduh Soebandrio membunuh para jenderal dalam G30S, dan menggambar
grafiti yang menggambarkan Soebandrio sebagai anjing Peking (sebuah referensi
anggapan tentang kedekatannya terhadap pemerintahan komunis Tiongkok) atau
tergantung di tiang gantungan.[22]
MANUVER POLITIK
Pada tanggal 27 Maret, susunan kabinet baru yang disepakati Soeharto dan
Soekarno, diumumkan. Kabinet ini termasuk tokoh kunci Soeharto sendiri sebagai
wakil perdana menteri interim untuk keamanan dan urusan pertahanan, bertugas
mencegah kebangkitan komunisme, Sultan Yogyakarta Sri Sultan Hamengku
Buwono IX sebagai wakil perdana menteri untuk urusan ekonomi, keuangan dan
pembangunan, bertugas memecahkan masalah ekonomi bangsa dan Adam
Malik sebagai wakil perdana menteri untuk urusan sosial dan politik, yang
tugasnya akan mengelola kebijakan luar negeri.
Sebuah sidang MPRS dijadwalkan untuk dibuka 12 Mei, tetapi akhirnya dimulai
pada tanggal 20 Juni dan berlanjut sampai dengan 5 Juli. Salah satu tindakan
pertamanya adalah menunjuk Jenderal Nasution sebagai ketua. Sidang ini
kemudian mulai membongkar aparatur negara yang telah dibangun Soekarno di
sekitar dirinya. Sidang ini mengeluarkan beberapa keputusan, salah satunya
adalah ratifikasi Supersemar, sehingga pencabutannya hampir mustahil. Sidang ini
juga meratifikasi pelarangan PKI dan ajaran ideologi Marxisme,
menginstruksikan Soeharto untuk membentuk kabinet baru, memanggil Soekarno
untuk memberikan penjelasan atas situasi ekonomi dan politik di Indonesia dan
menanggalkannya dari gelar "presiden seumur hidup". Sidang ini juga
mengeluarkan sebuah dekret yang menyatakan bahwa jika presiden (Soekarno)
tidak mampu melaksanakan tugasnya, pemegang Supersemar akan menjabat
sebagai presiden.
Kabinet baru yang diumumkan oleh Soekarno pada tanggal 20 Juni, dipimpin oleh
presidium lima orang yang dipimpin oleh Soeharto, dan termasuk Adam Malik
dan Sri Sultan Hamengkubuwono IX. Pengumuman ini kembali mencakup
pemberhentian para loyalis Soekarno lebih lanjut.
Laporan ABC April 1967 tentang ketegangan politik di akhir era Soekarno.
Pada tanggal 12 Maret 1967, sidang khusus MPRS dimulai. Setelah perdebatan
sengit, sidang ini setuju untuk melucuti Soekarno dari kekuasaan dan jabatannya.
Pada tanggal 12 Maret Soeharto diangkat penjabat Presiden Republik Indonesia
yang baru. Soekarno kemudian dimasukkan sebagai tahanan rumah secara de
facto di kediamannya di Bogor. Setahun kemudian, pada tanggal 27 Maret 1968
sidang lain dari MPRS kembali menunjuk Soeharto sebagai presiden kedua
Republik Indonesia.[27]
Jenderal Nasution sendiri diyakini telah berusaha mendapatkan kekuasaan pada
tanggal 16 Desember 1965, ketika dia ditunjuk sebagai Komando Operasi
Tertinggi, dan memegang sebagian dari hierarki militer yang umumnya dipegang
oleh orang sipil. The New York Times melaporkan bahwa Nasution lebih suka
membentuk sebuah junta untuk menggantikan pemerintahan Soekarno.[28] (New
York Times, 16 Desember 1965.)
Konsekuensi
UNDANG-UNDANG ANTI-TJINA
Walaupun kebencian terhadap keturunan Tionghoa oleh keturunan pribumi di
Indonesia berawal pada era Hindia Belanda, Orde Baru menghasut terciptanya
undang-undang anti-Tiongkok menyusul usahanya menghapuskan total paham
komunisme (karena negara Tiongkok menganut paham komunisme).
Walaupun stereotip negatif bahwa orang "Tjina" (istilah untuk Tionghoa-
Indonesia kala itu) adalah kaya dan serakah adalah umum di saat itu, adanya
histeria anti-komunisme setelah peristiwa G30S dan hubungan orang Tionghoa-
Indonesia dengan Republik Rakyat Tiongkok memperparah keadaan dengan
menyebabkan adanya pandangan bahwa orang Tionghoa juga termasuk kolom
kelima (simpatisan rahasia) komunis.
Hubungan diplomatik Indonesia dengan Tiongkok yang kala itu ramah diputus,
dan Kedutaan Besar Tiongkok di Jakarta dibakar oleh massa. Undang-undang
baru yang mendiskriminasi etnis Tionghoa-Indonesia dalam masa Orde Baru ini
termasuk pelarangan tanda-tanda Aksara Tionghoa pada toko-toko dan bangunan
lain, penutupan sekolah bahasa Tionghoa, pengadopsian nama yang terdengar
"Indonesia", termasuk pembatasan pembangunan klenteng. Masa pemerintahan
Orde Baru selanjutnya terus diwarnai dengan kerusuhan yang diwarnai sentimen-
sentimen serupa.
Rezim Orde Baru yang muncul dari gejolak tahun 1960-an ini ditujukan untuk
memelihara ketertiban politik, mempromosikan pembangunan ekonomi, dan
mengasingkan partisipasi massa dari dalam proses politik Indonesia. Militer diberi
peran yang kuat dalam politik, organisasi politik dan sosial di seluruh Indonesia
mengalami birokratisasi dan korporatisasi, dan metode represi yang selektif
namun efektif dan kadang-kadang brutal digunakan terhadap penentang rezim
Orde Baru.[29]
Sejumlah kursi di parlemen Indonesia disisihkan untuk personel militer sebagai
bagian dari doktrin "dwifungsi" (fungsi ganda). Di bawah sistem ini, militer
mengambil peran sebagai administrator di semua tingkat pemerintahan. Partai-
partai politik yang tersisa setelah pembersihan politik kemudian dikonsolidasikan
menjadi sebuah partai tunggal, Partai Golongan Karya ("Golkar"). Walaupun
Soeharto mengizinkan pembentukan dua partai non-Golkar, (PDI dan PPP) kedua
partai ini dibuat supaya tetap lemah selama rezimnya berkuasa.
KEBANGKITAN ISLAMISME
Penghilangan partai-partai Nasionalis dan Komunis, dua jenis partai yang sekuler,
memiliki efek samping yang memberikan ruang lebih luas untuk pengembangan
doktrin Islamisme di Indonesia. Hal ini termasuk doktrin Islam yang liberal,
konservatif, dan kelompok-kelompok ekstremis yang menganut Islam di
Indonesia. Para pengamat sejarah dan politik Indonesia meyakini bahwa pasukan
Soeharto membesar-besarkan sentimen anti-komunis dengan memanfaatkan
permusuhan golongan Islam konservatif terhadap komunisme yang "tak bertuhan"
untuk menghasut jihad melawan para pendukung sayap kiri (komunisme).