Anda di halaman 1dari 13

1.

KONFLIK DAN PERGOLAKAN YANG BERKAITAN DENGAN


IDEOLOGI

Ideologi adalah suatu gagasan, ide-ide a sistem pemikiran abstrak (tidak hanya sekadar
pembentukan ide) yang diterapkan pada masalah publik sehingga pembuat konsep ini
menjadi intisari politik. Setelah era kemerdekaan banyak terjadi berbagai macam
pemberontakan yang diamana pemberontakaan itu berdasarkan ideology yang dibawa oleh
beberapa kelompok yang ingin diterapkan dan dijadikan pedoman bagi banghsa Indonesia
Termasuk dalam kategori ini adalah pemberontakan PKI Madiun, Pemberontakan
DI/TII dan peristiwa G30S/PKI. Ideologi yang diusung oleh PKI tentu saja komunisme,
sedangkan pemberontakan DI/TII berlangsung dengan membawa ideologi agama.
konflik ideologi

Konflik dan pergolakan yang berkaitan dengan ideologi

Perlu diketahui bahwa menurut Herbert Feith, Seorang akademisi Australia, aliran
politik besar yang terdapat di Indonesia pada masa setelah kemerdekaan (terutama dapat
dilihat sejak Pemilu 1955) terbagi dalam lima kelompok : Nasionalisme radikal (diwakili
antara lain oleh PNI), Islam (NU dan Masyumi), Komunis (PKI), Sosialisme demokrat
(Partai Sosialis Indonesia/PSI), dan tradisionalis Jawa (Partai Indonesia Raya/PIR), kelompok
teosofis/kebatinan, dan birokrat pemerintah/pamongpraja. Pada masa itu kelompok-kelompok
tersebut nyatanya memang saling bersaing dengan mengusung ideologi masing-
masing.konflik ideology

1. Pemberontakan PKI (Partai Komunis Indonesia) Madiun


Selain Partai Nasional Indonesia (PNI), PKI merupakan partai politik pertama yang
didirikan sesudah proklamasi. Meski demikian, PKI bukanlah partai baru, karena telah ada
sejak jaman pergerakan nasional sebelum dibekukan oleh pemerintah Hindia Belanda akibat
memberontak pada tahun 1926.

Sejak merdeka sampai awal tahun 1948, PKI masih bersikap mendukung pemerintah,
yang kebetulan memang dikuasai oleh golongan kiri. Namun ketika golongan kiri terlempar

1
dari pemerintahan, PKI menjadi partai Oposisi dan bergabung dengan partai serta organisasi
kiri lainnya dalam Front Demokrasi Rakyat (FDR) yang didirikan oleh Amir Syarifuddin
pada bulan Februari 1948. Pada awal September 1948 pimpinan PKI dipegang Muso. Ia
membawa PKI ke dalam pemberontakan bersenjata yang dicetuskan di Madiun pada tanggal
18 September 1948 (Taufik Abdullah dan AB lapian, 2012).
Pemerintah Indonesia telah melakukan upaya-upaya diplomasi dengan Muso, bahkan
sampai mengikutsertakan tokoh-tokoh kiri yang lain, yaitu Tan Malaka, untuk meredam
gerak ofensif PKI Muso. Namun kondisi politik sudah terlampau panas, sehingga pada
pertengahan September 1948, pertempuran antara kekuatan bersenjata yang memihak PKI
dengan TNI mulai meletus. PKI dan kelompok pendukungnya kemudian memusatkan diri di
Madiun. Muso pun kemudian pada tanggal 18 September 1948 memproklamirkan Republik
Soviet Indonesia.
Di awal pemberontakan, pembunuhan terhadap pejabat pemerintah dan para pemimpin
partai yang anti komunis terjadi. Kaum santri juga menjadi korban. Tetapi pasukan
pemerintah yang dipelopori Divisi Siliwangi kemudian berhasil mendesak mundur
pemberontak. Puncaknya adalah ketika Muso tewas tertembak. Amir Syarifuddin juga
tertangkap. Ia akhirnya dijatuhi hukuman mati. Tokoh-tokoh muda PKI seperti Aidit dan
Lukman berhasil melarikan diri. Merekalah yang kelak di tahun 1965, berhasil menjadikan
PKI kembali menjadi partai besar di Indonesia sebelum terjadinya Gerakan 30 September
1965. Ribuan orang tewas dan ditangkap pemerintah akibat pemberontakan Madiun ini. PKI
gagal mengambil ahli kekuasaan. konflik ideologi

2. Pemberontakan DI/TII
Cikal bakal pemberontakan DI/TII yang meluas di beberapa wilayah Indonesia bermula
dari sebuah gerakan di Jawa Barat yang dipimpin oleh S.M. Kartosuwiryo. Ketika Divisi
Siliwangi sebagai pasukan resmi RI pun dipindahkan ke Jawa Tengah karena Jawa Barat
dijadikan negara bagian Pasundan oleh Belanda. Akan tetapi laskar bersenjata Hizbullah dan
Sabilillah yang telah berada di bawah pengaruh Kartosuwiryo tidak bersedia pindah dan
malah membentuk Tentara Islam Indonesia (TII). Ia lalu menyatakan pembentukan Darul
Islam (negara Islam/DI) dengan dukungan TII, di Jawa Barat pada Agustus 1948.konflik
ideologi
Operasi terpadu “Pagar Betis” digelar, dimana tentara pemerintah menyertakan juga
masyarakat untuk mengepung tempat-tempat pasukan DI/TII berada. Melalui operasi ini pula
Kartosuwiryo berhasil ditangkap pada tahun 1962. Ia lalu dijatuhi hukuman mati, yang
menandai pula berakhirnya pemberontakan DI/TII Kartosuwiryo.
Di daerah Pekalongan-Brebes-Tegal ditinggalkan TNI (Tentara Nasional Indonesia)
dan aparat pemerintahan. Terjadi kevakuman di wilayah ini dan Amir Fatah beserta pasukan
Hizbullah yang tidak mau di-TNI-kan segera mengambil alih. Amir Fatah bahkan diangkat
sebagai koordinator pasukan di daerah operasi Tegal dan Brebes. Amir Fatah pun semakin
berubah pikiran setelah utusan Kartosuwiryo datang menemuinya lalu mengangkatnya
sebagai Panglima TII Jawa Tengah. Ia bahkan kemudian ikut memproklamirkan berdirinya
Negara Islam di Jawa Tengah.
Selain Amir Fatah, di Jawa Tengah juga timbul pemberontakan lain yang dipimpin oleh
Kiai Haji Machfudz atau yang dikenal sebagai Kyai Sumolangu. Ia didukung oleh laskar

2
bersenjata Angkatan Umat Islam (AUI) yang sejak didirikan memang berkeinginan
menciptakan suatu negara Indonesia yang berdasarkan prinsip-prinsip Islam.
Pemberontakan Darul Islam di Jawa Tengah lainnya juga dilakukan oleh Batalyon 426
dari Divisi Diponegoro Jawa Tengah. Ini adalah tentara Indonesia yang anggota-anggotanya
berasal dari laskar Hizbullah. Simpati dan kerjasama mereka dengan Darul Islam pun jadinya
tampak karena DI/TII juga berbasis pasukan laskar Hizbullah. Cakupan wilayah gerakan
Batalyon 426 dalam pertempuran dengan pasukan RI adalah Kudus, Klaten hingga Surakarta
Akhir tahun 1954, Ibnu Hajar memilih untuk bergabung dengan pemerintahan DI/TII
Kartosuwiryo, yang menawarkan kepadanya jabatan dalam pemerintahan DI/TII sekaligus
Panglima TII Kalimantan.
Di Aceh, pemicu langsung pecahnya pemberontakan adalah ketika pada tahun 1950
pemerintah menetapkan wilayah Aceh sebagai bagian dari propinsi Sumatera Utara. Para
ulama Aceh yang tergabung dalam Persatuan Ulama Seluruh Aceh (PUSA) menolak hal ini.
Tokoh terdepan PUSA dalam hal ini adalah Daud Beureuh.

3. Gerakan 30 September 1965 (G30S/PKI)


Peristiwa G30S, yang pasti sejak Demokrasi Terpimpin secara resmi dimulai pada
tahun 1959, Indonesia memang diwarnai dengan figur Soekarno yang menampilkan dirinya
sebagai penguasa tunggal di Indonesia. Ia juga menjadi kekuatan penengah diantara dua
kelompok politik besar yang saling bersaing dan terkurung dalam pertentangan yang tidak
terdamaikan saat itu : AD dengan PKI.

Juli 1960 misalnya, PKI melancarkan kecaman-kecaman terhadap kabinet dan tentara.
Bulan Agustus 1960 Masyumi dan Partai Sosialis Indonesia (PSI) yang merupakan partai
pesaing PKI, dibubarkan pemerintah. Tahun 1963, situasi persaingan semakin sengit, baik di
kota maupun di desa. PKI berusaha mendesak untuk mendapatkan kekuasaan yang lebih
besar. Di tingkat pusat, PKI mulai berusaha dengan sungguh-sungguh untuk duduk dalam
kabinet. Di bidang kebudayaan, saat sekelompok cendekiawan anti PKI memproklamasikan
Manifesto Kebudayaan (“Manikebu”) yang tidak ingin kebudayaan nasional didominasi oleh
suatu ideologi politik tertentu (misalnya komunis), Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat)
yang pro PKI segera mengecam keras.

PKI lalu meniupkan isu tentang adanya Dewan Jenderal di tubuh AD yang tengah
mempersiapkan suatu kudeta. Di sini, PKI menyodorkan “Dokumen Gilchrist” yang
ditandatangani Duta Besar Inggris di Indonesia.konflik ideologi
Di Yogyakarta Gerakan 30 September juga melakukan penculikan dan pembunuhan
terhadap perwira AD yang anti PKI, yaitu : Kolonel Katamso dan Letnan Kolonel Sugiono.

2 . K O N F L I K D AN PE R G O L AK A N Y AN G B E R K AI T A N
D E NG A N K E PE N T I NG A N
1. Pengertian
Pergolakan daerah yang berkaitan dengan kepentingan dapat diartikan sebagai suatu
gerakan sosial vertikal dan horizontal yang dilakukan serentak dengan berbagai cara untuk

3
memaksakan kehendak atau cita-cita demi kepentingan yang tertanam dengan kuat pada
suatu kelompok. Pergolakan daerah sering diwarnai kerusuhan-kerusuhan dan tindakan
separatis atau ingin memisahkan diri.
2. Faktor Penyebab Pergolakan Atau Konflik Di Daerah
a. Program pembangunan yang dilaksanakan tidak memperhatikan kondisi sosial budaya
masyarakat setempat
Setiap program pembangunan yang dilaksanakan harus memerhatikan kondisi sosial
budaya masyarakatnya. Tanpa memerhatikan kondisi tersebut, maka akan timbul gejolak-
gejolak yang tidak diinginkan.
b. Ketidakstabilan situasi politik dan keamanan nasional
Stabilitas politik dan keamanan nasional yang tidak bagus akan mendorong munculnya
gejolak dan pemberontakan di daerah yang ingin melepaskan diri dari ikatan pemerintah
pusat. Hal ini sangat membahayakan kelangsungan hidup bersama. Oleh karena itu, besar
atau kecilnya pergolakan di daerah sangat dipengaruhi oleh bagaimana stabilitas politik dan
hankam secara nasional. Contohnya, konflik di Aceh, Ambon, Kalimantan, dan Papua yang
terjadi akibat ketidakstabilan kondisi politik.

c. Kurang berfungsinya lembaga-lembaga control masyarakat


Lembaga-lembaga control masyarakat, misalnya kejaksaan, kehakiman, atau lembaga
yang bergerak dalam bidang pemerintahan apabila kurang berfungsi secara baik dalam
melaksanakan kontrol-kontrol sosial, maka akan mudah memunculkan gejolak dan konflik-
konflik di masyarakat. Kurang berfungsinya lembaga-lembaga baik eksekutif maupun
yudikatif dan legislatif dalam melakukan kontrol sosial akan memunculkan banyak
penyimpangan. Kondisi seperti ini akan mudah sekali memunculkan gejolak dan pergolakan
yang menuntut adanya keadilan.
d. Sarana-sarana komunikasi dan interaksi sosial antardaerah di berbagai bidang tidak
berjalan dengan baik
Kelancaran proses kontak sosial budaya sangat berpengaruh dalam meminimalkan
munculnya gejolak atau konflik daerah. Semakin efektif saluran dan kontak komunikasi
sosial ekonomi dan kebudayaan antar daerah atau antar suku akan semakin banyak
memberikan wawasan bagi pola pikir dan alternatif tindakan seseorang atau kelompok yang
ada di masyarakat sehingga gejolak itu semakin kecil. Demikian juga sebaliknya, disintegrasi
bangsa mudah terjadi apabila sarana interaksi sosial, ekonomi, budaya, dan bidang lain tidak
berjalan dengan baik.
e. Masing-masing kelompok atau daerah mempunyai kesetiaan primordialisme yang
berlebihan
Apabila masing-masing kelompok mempunyai kesetiaan primordialisme atau kesetiaan
yang sangat berlebihan pada kelompok atau daerahnya, akan mudah sekali terjadi konflik
atau gejolak di berbagai bidang. Konflik tersebut muncul karena kelompoknya sulit
dipertemukan untuk menjalin kerja sama yang baik dengan kelompok lain.
f. Terjadinya kesenjangan sosial ekonomi di masyarakat
Terjadinya kesenjangan ekonomi yang tinggi akan dapat menimbulkan pergolakan
masyarakat. Misalnya, perbedaan yang mencolok antara orang kaya dan orang miskin.
Gejolak atau konflik daerah dapat dihindari jika terdapat keseimbangan kebijakan ekonomi

4
antara pusat dan daerah. Selain itu, perlu adanya perluasan wawasan dan pola pikir dalam
menghadapi keanekaragaman masyarakat.
3. Contoh Pergolakan Yang Berkait Dengan Kepentingan Yang
Terjadi Di Indonesia
Termasuk dalam kategori ini adalah pemberontakan APRA, RMS dan Andi Aziz.Vested
Interest merupakan kepentingan yang tertanam dengan kuat pada suatu kelompok. Kelompok
ini biasanya berusaha untuk mengontrol suatu sistem sosial atau kegiatan untuk keuntungan
sendiri. Mereka juga sukar untuk mau melepas posisi atau kedudukannya sehingga sering
menghalangi suatu proses perubahan. Baik APRA, RMS dan peristiwa Andi Aziz, semuanya
berhubungan dengan keberadaan pasukan KNIL atau Tentara Kerajaan (di) Hindia Belanda,
yang tidak mau menerima kedatangan tentara Indonesia di wilayah-wilayah yang sebelumnya
mereka kuasai. Dalam situasi seperti ini, konflikpun terjadi.
a. Pemberontakan APRA
Angkatan Perang Ratu Adil (APRA) dibentuk oleh Kapten Raymond Westerling pada
tahun 1949. Ini adalah milisi bersenjata yang anggotanya terutama berasal dari tentara
Belanda: KNIL, yang tidak setuju dengan pembentukan Angkatan Perang Republik Indonesia
Serikat (APRIS) di Jawa Barat, yang saat itu masih berbentuk negara bagian Pasundan. Basis
pasukan APRIS di Jawa Barat adalah Divisi Siliwangi. APRA ingin agar keberadaan negara
Pasundan dipertahankan sekaligus menjadikan mereka sebagai tentara negara federal di Jawa
Barat. Karena itu, pada Januari 1950 Westerling mengultimatum pemerintah RIS. Ultimatum
ini segera dijawab Perdana Menteri Hatta dengan memerintahkan penangkapan terhadap
Westerling.
APRA malah bergerak menyerbu kota Bandung secara mendadak dan melakukan
tindakan teror. Puluhan anggota APRIS gugur.

Diketahui pula kemudian kalau APRA bermaksud menyerang Jakarta dan ingin
membunuh antara lain Menteri Pertahanan Sultan Hamengkubuwono IX dan Kepala APRIS
Kolonel T.B. Simatupang. Namun semua itu akhirnya dapat digagalkan oleh pemerintah.
Westerling kemudian melarikan diri ke Belanda.
b. Peristiwa Andi Aziz

5
Seperti halnya pemberontakan APRA di Bandung, peristiwa Andi Aziz berawal dari
tuntutan Kapten Andi Aziz dan pasukannya yang berasal dari KNIL (pasukan Belanda di
Indonesia) terhadap pemerintah Indonesia agar hanya mereka yang dijadikan pasukan APRIS
di Negara Indonesia Timur (NIT). Ketika akhirnya tentara Indonesia benar-benar didatangkan
ke Sulawesi Selatan dengan tujuan memelihara keamanan, hal ini menyulut ketidakpuasan di
kalangan pasukan Andi Aziz. Ada kekhawatiran dari kalangan tentara KNIL bahwa mereka
akan diperlakukan secara diskriminatif oleh pimpinan APRIS/TNI.
Pasukan KNIL di bawah pimpinan Andi Aziz ini kemudian bereaksi dengan menduduki
beberapa tempat penting, bahkan menawan Panglima Teritorium (wilayah) Indonesia Timur,
Pemerintahpun bertindak tegas dengan mengirimkan pasukan dibawah pimpinan Kolonel
Alex Kawilarang.
April 1950, pemerintah memerintahkan Andi Aziz agar melapor ke Jakarta akibat
peristiwa tersebut, dan menarik pasukannya dari tempat-tempat yang telah diduduki,
menyerahkan senjata serta membebaskan tawanan yang telah mereka tangkap. Tenggat waktu
melapor adalah 4 x 24 jam. Namun Andi Aziz ternyata terlambat melapor, sementara
pasukannya telah berontak. Andi Aziz pun segera ditangkap di Jakarta setibanya ia ke sana
dari Makasar. Ia juga kemudian mengakui bahwa aksi yang dilakukannya berawal dari rasa
tidak puas terhadap APRIS. Pasukannya yang memberontak akhirnya berhasil ditumpas oleh
tentara Indonesia di bawah pimpinan Kolonel Kawilarang.
c. Pemberontakan Republik Maluku Selatan (RMS)
Sesuai dengan namanya, pemberontakan RMS dilakukan dengan tujuan memisahkan
diri dari Republik Indonesia dan menggantinya dengan negara sendiri. Diproklamasikan oleh
mantan Jaksa Agung Negara Indonesia Timur, Dr. Ch.R.S. Soumokil pada April 1950, RMS
didukung oleh mantan pasukan KNIL.

6
Upaya penyelesaian secara damai awalnya dilakukan oleh pemerintah Indonesia, yang
mengutus dr. Leimena untuk berunding. Namun upaya ini mengalami kegagalan.
Pemerintahpun langsung mengambil tindakan tegas, dengan melakukan operasi militer di
bawah pimpinan Kolonel Kawilarang.
Kelebihan pasukan KNIL RMS adalah mereka memiliki kualifikasi sebagai pasukan
komando. Konsentrasi kekuatan mereka berada di pulau Ambon dengan medan perbentengan
alam yang kokoh. Bekas benteng pertahanan Jepang juga dimanfaatkan oleh pasukan RMS.
Oleh karena medan yang berat ini, selama peristiwa perebutan pulau Ambon oleh TNI, terjadi
pertempuran frontal dan dahsyat dengan saling bertahan dan menyerang. Meski kota Ambon
sebagai ibukota RMS berhasil direbut dan pemberontakan ini akhirnya ditumpas, namun TNI
kehilangan komandan Letnan Kolonel Slamet Riyadi dan Letnan Kolonel Soediarto yang
gugur tertembak. Soumokil sendiri awalnya berhasil melarikan diri ke pulau Seram, namun ia
akhirnya ditangkap tahun 1963 dan dijatuhi hukuman mati.

3. PEMBERONTAKAN REPUBLIK MALUKU SELATAN


SISTEM PEMERINTAHAN
Pemberontakan Republik Maluku Selatan (RMS) yang dipimpin oleh Mr. Dr. Christian
Robert Steven Soumokil (mantan jaksa agung NIT) merupakan sebuah gerakan sparatisme
yang bertujuan bukan hanya ingin memisahkan diri dari NIT melainkan untuk membentuk
Negara sendiri terpisah dari RIS. Soumokil awalnya sudah terlibat dalam pemberontakan
Andi Aziz akan tetapi dia dapat melarikan diri ke Maluku. Soumokil juga dapat
memindahkan pasukan KNIL dan pasukan Baret Hijau dari Makasar ke Ambon.[1]
Persamaan antara pemberontakan-pemberontakan Westerling, Andi Aziz, serta usaha-
usaha Soumokil adalah ketidakpuasan mereka dengan terjadinya proses kembali ke Negara
Kesatuan setelah KMB. Pemberontakan-pemberontakan ini menggunakan unsur KNIL yang
merasa tidak pasti mengenai status mereka setelah KMB.[2] Keberhasilan anggota APRIS
mengatasi keadaan yang membuat masyarakat semakin bersemangat untuk kembali ke
pangkuan NKRI. Namun, dalam usaha untuk mempersatukan kembali masyarakat ke Negara

7
Kesatuan Republik Indonesia terjadi beberapa hambatan yang diantaranya terror dan
intimidasi yang di tujukan kepada masyarakat, terlebih setelah teror yang dibantu oleh
anggota Polisi yang telah dibantu dengan pasukan KNIL bagian dari Korp Speciale Troepen
yang dibentuk oleh seorang kapten bernama Raymond Westerling yang bertempat di
Batujajar yang berada di daerah Bandung. Aksi teror yang dilakukannya tersebut bahkan
sampai memakan korban jiwa karena dalam aksi terror tersebut terjadi pembunuhan dan
penganiayaan. Benih Separatisme-pun akhirnya muncul. Para biokrat pemerintah daerah
memprovokasi masayarakat Ambon bahwa penggabungan wilayah Ambon ke NKRI akan
menimbulkan bahaya di kemudian hari sehingga seluruh masyarakat diingatkan untuk
menghindari dan waspada dari ancaman bahaya tersebut.[3]
Pada tanggal 20 April Pupella dariPemuda Indonesia Maluku (PIM)mengajukan mosi
tidak percaya pada parlemen NIT. Mosi itu diterima tanggal 25 April dan kemudian kabinet
NIT meletakkan jabatan. Sebagai perdana mentri selanjutnya dipilih Ir. Putuhena. Program
kabinet ini adalah pembubaran NIT dan penggabungan wilayahnya ke dalam kekuasaan RI.
Dengan gagalnya pemberontakan Andi Azis, maka riwayat Negara Indonesia Timur telah
berakhir. Meskipun demikian Soumokil tidak melepaskan niat separatisnya bagi Maluku
Tengah. Kedudukan sebagai Jaksa Agung NIT memudahkan baginya untuk berpergian ke
beberapa tempat di Indonesia Timur dengan menggunakan pesawat militer.[4] Dalam rapat di
Ambon dengan pemuka KNIL dan Ir. Manusama, ia mengusulkan agar daerah Maluku
Selatan dijadikan sebagai daerah merdeka. Jika perlu seluruh anggota Dewan Maluku Selatan
dibunuh. Usul tersebut ditolak, karena anggota mengusulkan agar yang melakukan
proklamasi kemerdekaan Maluku Selatan adalah Kepala Daerah Maluku Selatan, yaitu J.
Manuhutu.[5]
Tujuan Pemberontakan RMS
Pemberontakan RMS yang didalangi oleh mantan jaksa agung NIT, Soumokil bertujuan
untuk melepaskan wilayah Maluku dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sebelum
diproklamasikannya Republik Maluku Selatan (RMS), Gubernur Sembilan Serangkai yang
beranggotakan pasukan KNIL dan partai Timur Besar terlebih dahulu melakukan propaganda
terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia untuk memisahkan wilayah Maluku dari
Negara Kesatuan RI. Di sisi lain, dalam menjelang proklamasi RMS, Soumokil telah berhasil
mengumpulkan kekuatan dari masyarakat yang berada di daerah Maluku Tengah. Sementara
itu, sekelompok orang yang menyatakan dukungannya terhadap Negara Kesatuan Republik
Indonesia diancam dan dimasukkan ke penjara karena dukungannya terhadap NKRI
dipandang buruk oleh Soumokil. Dan pada tanggal 25 April 1950, para anggota RMS
memproklamasikan berdirinya Republik Maluku Selatan (RMS), dengan J.H Manuhutu
sebagai Presiden dan Albert Wairisal sebagai Perdana Menteri. Para menterinya terdiri atas
Mr.Dr.C.R.S Soumokil, D.j. Gasperz, J. Toule, S.J.H Norimarna, J.B Pattiradjawane, P.W
Lokollo, H.F Pieter, A. Nanlohy, Dr.Th. Pattiradjawane, Ir.J.A. Manusama, dan Z.
Pesuwarissa.
a. Pemberontakan PRRI/PERMESTA
Awal Pemberontakan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI), dan
PERMESTA sebenarnya sudah muncul pada saat menjelang pembentukan Republik
Indonesia Serikat (RIS) pada tahun 1949 dan pada saat bersamaan Divisi Banteng diciutkan
sehingga menjadi kecil dan hanya menyisakan satu brigade. Brigade ini pun akhirnya

8
diperkecil lagi menjadi Resimen Infanteri 4 TT I BB. Hal ini memunculkan perasaan kecewa
dan terhina pada para perwira dan prajurit Divisi IX Banteng yang telah berjuang
mempertaruhkan jiwa dan raganya bagi kemerdekaan Indonesia. Pada saat itu juga, terjadi
ketidakpuasan dari beberapa daerah yang berada di wilayah Sumatra dan Sulawesi terhadap
alokasi biaya pembangunan yang diberikan oleh pemerintah pusat. Kondisi ini diperparah
dengan tingkat kesejahteraan prajurit dan masyarakat yang sangat rendah.
Ketidakpuasan tersebut akhirnya memicu terbentuknya dewan militer daerah yaitu
Dewan Banteng yang berada di daerah Sumatera Barat pada tanggal 20 Desember 1956.
Dewan ini diprakarsai oleh Kolonel Ismail Lengah (mantan Panglima Divisi IX Banteng)
bersama dengan ratusan perwira aktif dan para pensiunan yang berasal dari Komando Divisi
IX Banteng yang telah dibubarkan tersebut. Letnan Kolonel Ahmad Husein yang saat itu
menjabat sebagai Komandan Resimen Infanteri 4 TT I BB diangkat menjadi ketua Dewan
Banteng. Kegiatan ini diketahui oleh KASAD dan karena Dewan Banteng ini bertendensi
politik, maka KASAD melarang perwira-perwira AD untuk ikut dalam dewan tersebut.
Akibat larangan tersebut, Dewan Banteng justru memberikan tanggapan dengan mengambil
alih pemerintahan Sumatera Tengah dari Gubernur Ruslan Muloharjo, dengan alasan Ruslan
Muloharjo tidak mampu melaksanakan pembangunan secara maksimal.
Selain Dewan Banteng yang bertempat di daerah Sumatra Barat, di Medan terdapat
juga Dewan Gajah yang dipimpin oleh Kolonel Maludin Simbolon, Panglima Tentara dan
Teritorium I, pada tanggal 22 Desember 1956. Dan juga di Sumatra Selatan terbentuknya
Dewan Garuda yang dipimpin oleh Letkol Barlian.
Selain itu pemberontakan ini juga disebabkan karena ada pengaruh dari PKI terhadap
pemerintah pusat dan hal ini menimbulkan terjadinya kekecewaan pada daerah tertentu.
Keadaan tersebut diperparah dengan pelanggaran konstitusi yang dilakukan oleh pejabat-
pejabat yang berada di dalam pemerintah pusat, tidak terkecuali Presiden Soekarno.
Selanjutnya, PRRI membentuk Dewan Perjuangan dan tidak mengakui kabinet
Djuanda. Dewan Perjuangan PRRI akhirnya membentuk Kabinet baru yang disebut Kabinet
Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (Kabinet PRRI). Pembentukan kabinet ini
terjadi pada saat Presiden Soekarno sedang melakukan kunjungan kenegaraan di Tokyo,
Jepang. Pada tanggal 10 Februari 1958, Dewan Perjuangan PRRI melalui RRI Padang
mengeluarkan pernyataan berupa “Piagam Jakarta” yang berisi sejumlah tuntutan yang
ditujukan kepada Presiden Soekarno supaya “bersedia kembali kepada kedudukan yang
konstitusional, menghapus segala akibat dan tindakan yang melanggar UUD 1945 serta
membuktikan kesediaannya itu dengan kata dan perbuatan…”. Tuntutan tersebut antara lain :

1. Mendesak kabinet Djuanda supaya mengundurkan diri dan mengembalikan


mandatnya kepada Presiden Soekarno.

9
2. Mendesak pejabat presiden, Mr. Sartono untuk membentuk kabinet baru yang disebut
Zaken Kabinet Nasional yang bebas dari pengaruh PKI (komunis).
3. Mendesak kabinet baru tersebut diberi mandat sepenuhnya untuk bekerja hingga
pemilihan umum yang akan datang.
4. Mendesak Presiden Soekarno membatasi kekuasaannya dan mematuhi konstitusi.
5. Jika tuntutan tersebut di atas tidak dipenuhi dalam waktu 5×24 jam maka Dewan
Perjuangan akan mengambil kebijakan sendiri.

Setelah tuntutannya di tolak, PRRI membentuk sebuah Pemerintahan dengan anggota


kabinetnya. Pada saat pembangunan Pemerintahan tersebut di mulai, PRRI memperoleh
dukungan dari PERMESTA dan rakyat setempat.
Pada tanggal 2 Maret 1957, di Makasar yang berada di wilayah timur Negara Indonesia
terjadi sebuah acara proklamasi Piagam Perjuangan Republik Indonesia (PERMESTA) yang
diproklamasikan oleh Panglima TT VII, LetkolVentje Sumual. Pada hari berikutnya,
PERMESTA mendukung kelompok PRRI dan pada akhirnya kedua kelompok itu bersatu
sehingga gerakan kedua kelompok itu disebut PRRI/PERMESTA. Tokoh-tokoh PERMESTA
terdiri dari beberapa pasukan militer yang diantaranya adalah Letnan Kolonel D.J Samba,
Letnan Kolonel Vantje Sumual, Letnan Kolonel saleh Lahade, Mayor Runturambi, dan
Mayor Gerungan.
Tujuan Dari Pemberontakan PRRI/PERMESTA
Tujuan dari pemberontakan PRRI ini adalah untuk mendorong pemerintah supaya
memperhatikan pembangunan negeri secara menyeluruh, sebab pada saat itu pemerintah
hanya fokus pada pembangunan yang berada di daerah Pulau jawa. PRRI memberikan usulan
atas ketidakseimbangan pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah pusat.
Meskipun alasan yang dilakukan oleh PRRI ini benar, namun cara yang digunakan
untuk mengoreksi pemerintah pusat itu salah. PRRI menuntut kepada pemerintah pusat
dengan nada paksaan, sehingga pemerintah menganggap bahwa tuntutannya itu bersifat
memberontak. Hal tersebut menimbulkan kesan bagi pemerintah pusat bahwa PRRI adalah
suatu bentuk pemberontakan. Akan tetapi, jika PRRI itu dikatakan sebagai pemberontak, hal
ini merupakan anggapan yang tidak tepat sebab sebenarnya PRRI ingin membenahi dan
memperbaiki sistem pembangunan yang dilakukan pemerintah pusat, bukan untuk
menjatuhkan pemerintahan Republik Indonesia.
Karena ketidakpuasan PRRI terhadap keputusan pemerintah pusat, akhirnya PRRI
membentuk dewan-dewan daerah yang terdiri dari Dewan Banteng, Dewan Gajah, dan
Dewan Garuda. Pada tanggal 15 Februari 1958, Achmad Husein memproklamasikan bahwa
berdirinya Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia dengan Syarifudin Prawiranegara

10
sebagai perdana menterinya. Proklamasi PRRI tersebut mendapat sambutan hangat dari
masyarakat Indonesia bagian Timur. Tidak lama setelah proklamasi PRRI dilakukan, pasukan
gerakan PERMESTA memutuskan untuk bergabung ke dalam kelompok PRRI. Dalam rapat
raksasa yang diselenggarakan di beberapa daerah, Kolonel D.J Somba menyatakan bahwa
pada tanggal 17 Februari 1958, Komando Daerah Sulawesi Utara dan Sulawesi tengah
menyatakan putus hubungan dengan pemerintahan pusat dan mendukung PRRI.
Tokoh-Tokoh PRRI/PERMESTA
Inilah tokoh-tokoh yang ikut serta dalam melangsungkan pemberontakan
PRRI/PERMESTA, tokoh-tokoh tersebut di antaranya adalah.

1. Letnan Kolonel Ahmad Husein


2. Pejabat-Pejabat Kabinet PRRI, yakni: Mr. Syarifudin Prawiranegara yang menjabat
sebagai Menteri Keuangan. Mr. Assaat Dt. Mudo yang menjabat sebagai Menteri
Dalam negeri. Dahlan Djambek sempat memegang jabatan itu sebelum Mr. Assaat
tiba di Padang. Mauludin Simbolon sebagai Menteri Luar Negeri. Prof. Dr.
SoemitroDjojohadikoesoemomenjaba sebagai Menteri Perhubungan dan Pelayaran.
Moh Syafei menjabat sebagai Menteri PKK dan Kesehatan. J.F Warouw menjabat
sebagai Menteri Pembangunan. SaladinSarumpet menjabat sebagai Menteri Pertanian
dan Pemburuhan. Muchtar Lintang menjabat sebagai Menteri Agama. Saleh Lahade
menjabat sebagai Menteri Penerangan. Ayah Gani Usman Menjabat Sebagai Menteri
Sosial. Dahlan Djambek menjabat sebagai Menteri Pos dan Telekomunikasi.
3. Mayor Eddy Gagola
4. Kolonel Alexander Evert Kawilarang
5. Kolonel D.J Somba
6. Kapten Wim Najoan
7. Mayor Dolf Runturambi
8. LetkolVentje Sumual
c. Persoalan Negara Federal dan BFO

Negara Federal maupun BFO prinsipnya sama, yakni adalah suatu negara yang secara
resmi merdeka dan diakuikedaulatannya namun secara de-facto berada di bawah kontrol
negara lainnya. Negara boneka secara harfiah berarti negara di mana pemerintahannya dapat
disamakan seperti boneka yang dimainkan oleh pemerintah negara lainnya sebagai dalang.
Permasalahan ini muncul dimulai sejak Perundingan Linggarjati disetujui dan ditanda
tangani dan di perparah dengan penandatanganan perundingan yang lainnya, seperti Roem-
Royen. Konsep Negara Federal dan “Persekutuan” Negara Bagian (BFO/Bijeenkomst Federal

11
Overleg) mau tidak mau menimbulkan potensi perpecahan di kalangan bangsa Indonesia
sendirisetelah kemerdekaan. Persaingan yang timbul terutama adalah antara golongan
federalis yang ingin bentuk negara federal dipertahankan dengan golongan unitaris
yang ingin Indonesia menjadi negara kesatuan.
Dalam konferensi Malino di Sulawesi Selatan pada 24 Juli 1946 misalnya,
pertemuan untuk membicarakan tatanan federal yang diikuti oleh wakil dari berbagai daerah
non RI itu, ternyata mendapat reaksi keras dari para politisi pro RI yang ikut serta. Mr.
Tadjudin Noor dari Makasar bahkan begitu kuatnya mengkritik hasil konferensi.
Perbedaan keinginan agar bendera Merah-Putih dan lagu Indonesia Raya
digunakan atau tidak oleh Negara Indonesia Timur (NIT) juga menjadi persoalan yang tidak
bisa diputuskan dalam konferensi. Kabinet NIT juga secara tidak langsung ada yang jatuh
karena persoalan negara federal ini (1947).
1. Perundingan Linggarjati
Perjanjian Linggarjati sebagaimana kita ketahui memiliki dampak negatif khususnya
bagi rakyat indonesia dan hal ini menimbulkan pro dan kontra di kalangan masyarakat
Indonesia, contohnya beberapa partai seperti Partai Masyumi, PNI, Partai Rakyat Indonesia,
dan Partai Rakyat Jelata. Partai-partai tersebut menyatakan bahwa perjanjian itu adalah bukti
lemahnya pemerintahan Indonesia untuk mempertahankan kedaulatan negara Indonesia.
Untuk menyelesaikan permasalahan ini, pemerintah mengeluarkan Peraturan Presiden No.
6/1946, dimana bertujuan menambah anggota Komite Nasional Indonesia Pusat agar
pemerintah mendapat suara untuk mendukung perundingan linggarjati.
2. Perundingan Roem Royen
Meskipun kemerdekaan Indonesia telah diproklamasikan, Belanda tetap saja tidak
mau mengakui kelahiran negara indonesia. Dan Belanda pun membuat negara boneka yang
bertujuan mempersempit wilayah kekuasaan Republik Indonesia. Negara boneka tersebut
dipimpin oleh Van Mook. Dan Belanda mengadakan konferensi pembentukan Badan
Permusyawaratan Federal(BFO) 27 Mei 1948.
Dan pada tanggal 19 Desember 1948, Belanda mengadakan Agresi Militer Belanda
dengan menyerang kota Yogyakarta dan menawan Presiden dan Wakil Presiden beserta
pejabat lainnya. Namun sebelum itu Presiden mengirimkan radiogram kepada Mr. Syafrudin
Prawiranegara yang mengadakan perjalanan di Sumatera untuk membentuk Pemerintahan
Darurat Republik Indonesia (PDRI).
Dengan begitu Indonesia menunjukkan kegigihan mempertahankan wilayahnya dari
segala agresi Belanda. Akhirnya konflik bersenjata harus segera diakhiri dengan jalan
12
diplomasi. Dan atas inisiatif Komisi PBB untuk Indonesia, maka pada tanggal 14 April 1949
diadakan perundingan di Jakarta di bawah pimpinan MerleCochran, Anggota Komisi
Amerika.
3. Konferensi Inter Indonesia
Merupakan konferensi yang berlangsung antara negara Republik Indonesia dengan
negara-negara boneka atau negara bagian bentukkan Belanda yang tergabung dalam BFO.
Pada awalnya pembentukkan BFO ini diharapkan oleh Belanda akan mempermudah Belanda
untuk kembali berkuasa di Indonesia. Namun sikap negara-negara yang tergabung dalam
BFO berubah setelah Belanda melancarkan agresi militernya yang kedua terhadap Indonesia.
Karena simpati dari negara-negara BFO ini maka pemimpin-pemimpin Republik Indonesia
dapat dibebaskan dan BFO jugalah yang turut berjasa dalam terselenggaranya Konferensi
Inter-Indonesia. Hal itulah yang melatarbelakangi dilaksanaklannya Konferensi Inter-
Indonesia pada bulan Juli 1949.
BFO yang didirikan di Bandung pada 29 Mei 1948 merupakan lembaga
permusyawaratan dari negara-negara federal yang memisahkan dari RI. Perdana Menteri
negara Pasundan, Mr. Adil Poeradiredja, dan Perdana Menteri Negara Indonesia Timur, Gede
Agung, memainkan peran penting dalam pembentukan BFO.
Dalam tubuh BFO juga bukan tidak terjadi pertentangan. Sejak pembentukannya di
Bandung pada bulan Juli 1948, BFO telah terpecah ke dalam dua kubu. Kelompok pertama
menolak kerjasama dengan Belanda dan lebih memilih RI untuk diajak bekerjasama
membentuk Negara Indonesia Serikat. Kubu ini dipelopori oleh Ide Anak Agung Gde Agung
(NIT) serta R.T. Adil Puradiredja dan R.T. Djumhana (Negara Pasundan). Kubu kedua
dipimpin oleh Sultan Hamid II (Pontianak) dan dr. T. Mansur (Sumatera Timur).
Setelah Konferensi Meja Bundar atau KMB (1949), persaingan antara golongan
federalis dan unitaris makin lama makin mengarah pada konflk terbuka di bidang militer,
pembentukan Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat (APRIS) telah menimbulkan
masalah psikologis.
Salah satu ketetapan dalam KMB menyebutkan bahwa inti anggota APRIS diambil
dari TNI, sedangkan lainnya diambil dari personel mantan anggota KNIL. TNI sebagai inti
APRIS berkeberatan bekerjasama dengan bekas musuhnya, yaitu KNIL. Sebaliknya anggota
KNIL menuntut agar mereka ditetapkan sebagai aparat negara bagian dan mereka menentang
masuknya anggotaTNI ke negara bagian (TaufiAbdullahdanAB Lapian, 2012.).

13

Anda mungkin juga menyukai