Oleh :
Tantri Septina
(18.021.111.132)
FAKULTAS HUKUM
MEDAN
2021
KATA PENGANTAR
Puji syukur saya panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah
menganugerahkan banyak nikmat sehingga saya dapat menyusun makalah ini dengan baik.
Makalah ini berisi tentang uraian hasil riset dan studi pustaka mengenai pelanggaran Hak
Asasi Manusia (HAM) yang ada di Indonesia salah satunya kasus Sampit.
Makalah ini saya buat juga berkat banyak pihak yang memberikan sumbangsih baik
lewat pikiran dan waktu luang untuk berdiskusi. Oleh karena itu saya sampaikan terima kasih
atas waktu, tenaga dan pikirannya yang telah diberikan.
Dalam penyusunan laporan ini, saya menyadari bahwa hasil makalah ini masih jauh
dari kata sempurna. Sehingga kami saya selaku penulis sangat mengharapkan kritik dan saran
yang membangun dari pembaca sekalian.
Akhir kata semoga makalah tentang HAM ini dapat memberikan manfaat untuk para
pembaca, mahasiswa lainnya, aktivis, dan masyarakat di seluruh Indonesia.
Pemulis
Tantri Septina
(18.021.111.132)
DAFTAR ISI
HALAMAN
JUDUL………………...........................................................................................
KATA PENGANTAR………………………………………………………………………....
DAFTAR ISI……………………………………………………………………………….......
BAB I PENDAHULUAN……………………………………………………………………...
BAB II
PEMBAHASAN………………………………………………………………………..
3.1 Kesimpulan………………………………………………………………………………….
3.2 Saran………………………………………………………………………………………...
BAB I
PENDAHULUAN
Indonesia merupakan salah satu negara di dunia yang sangat majemuk dilihat dari
berbagai dimensi. Salah satu dimensi menonjol dari kemajemukan itu adalah keragaman etnis
atau suku bangsa yang dimilikinya. Dalam sejarahnya, kelompok etnis tertentu biasanya
mendiami atau tinggal di sebuah pulau sehingga tiap pulau seringkali identik dengan etnis
tertentu. Keragaman etnis di satu sisi dipandang sebagai kekayaan dari suatu bangsa yang
tidak ternilai harganya, tetapi di sisi lain kemajemukan tersebut memiliki potensi yang cukup
besar bagi munculnya konflik antar etnis. Etnis adalah tiap kebudayaan yang hidup dalam
suatu masyarakat yang dapat berwujud sebagai komunitas desa, kota, kelompok kekerabatan
atau adat yang lain, bisa menampilkan suatu corak khas yang terutama terlihat oleh orang luar
yang bukan warga masyarakat bersangkutan.
Etnis juga merupakan suatu golongan manusia yang terikat oleh kesadaran dan identitas
akan “kesatuan kebudayaan”, sedangkan kesadaran dan identitas tadi seringkali dikuatkan
oleh kesatuan bahasa juga (Koentjaraningrat, 1979). Etnis adalah suatu golongan manusia
yang anggota-anggotanya mengidentifikasikan dirinya dengan sesamanya, biasanya
berdasarkan garis keturunan yang dianggap sama dan ditandai oleh pengakuan dari orang lain
akan ciri khas kelompok tersebut juga adanya kesamaan budaya, bahasa, agama perilaku atau
ciri-ciri biologis. Di Indonesia, bahwa sejak kemerdekaan pada tahun 1945 hingga dasawarsa
1980an tidak kurang ada delapan perang dan pertentangan antar etnis telah terjadi (Ec. Amu
Lanu A. Lingu) Pulau Kalimantan misalnya, khususnya wilayah Kalimantan Tengah yang
sebagian wilayahnya merupakan tanah datar dan sebagian merupakan daerah berbukit dan
bergunung.
Disamping orang Dayak yang merupakan penduduk asli, ada pula keturunan pendatang
yang mendiami wilayah tersebut yang terdiri dari orang Melayu, Banjar, Bugis, Jawa, Sunda,
Madura, Arab dan Cina. Dalam kenyataannya, hubungan antar etnis tidak selalu berjalan
mulus dan tidak selalu terjadi kerjasama yang baik, ada kalanya mereka berbenturan (konflik)
karena berbagai sebab, baik yang bersifat biasa maupun yang serius. Menurut Soemardjan
(2001) dimana ada dua atau beberapa suku hidup sebagai tetangga dekat yang memiliki
kebudayaan berbeda dan selama hubungan antar mereka itu terjalin maka tidak dapat
dihindarkan akan tumbuhnya bibit-bibit konflik sosial dan konflik budaya. Menurut
Soekanto, 2002 mendefinisikan konflik sosial sebagai suatu interaksi antara orang-orang atau
kelompok yang merasakan adanya tujuan yang bertentangan dan mengganggu satu sama lain
dalam mencapai tujuan itu.
Menurut Arkanudin (2005) dalam masyarakat yang terdiri dari berbagai etnis
kecenderungan akan terjadinya hubungan yang tidak harmonis sulit untuk dihindari. Hal yang
senada juga dikemukakan oleh Schwitzer (1994) yang menyatakan bahwa masyarakat atau
individu dimanapun di dunia ini selalu terjadi hubungan-hubungan yang tidak harmonis atau
serasi atau bermusuhan antar kelompok warganya. Konsekuensi atas hubungan tersebut pada
akhirnya tidak jarang menimbulkan pertentangan diantara sesama warga masyarakat yang
menjurus kearah konflik sosial. Konflik antar etnis di Kota Sampit khususnya antara
masyarakat etnis Dayak dengan masyarakat etnis Madura, Arafat (1998) mencatat bahwa
sejak 1993 sampai dengan 1997 telah terjadi setidaknya 10 kali konflik kekerasan. Dari
sekian banyak konflik antar etnis yang terjadi di Kota Sampit, konflik antara masyarakat etnis
Dayak dengan masyarakat etnis Madura yang paling mencekam dan menakutkan karena
selalu memakan korban yang sangat banyak dan meninggalkan kesan traumatik bagi semua
pihak.
Konflik itu diikuti dengan tindak kekerasan yang melampaui batas nilai kemanusiaan
berupa pembakaran rumah dan harta milik, pengusiran tempat tinggal, bahkan pemenggalan
kepala korban diikuti dengan memakan daging dan meminum darahnya hidup-hidup
(Alqadrie dalam Andasputra, 1999; Petebang et al; 2000; Bahari, 2005). Berdasarkan fakta
yang dikemukakan tersebut, bahwa sejarah konflik antar masyarakat etnis Dayak dengan
masyarakat etnis Madura di Kota Sampit suatu sejarah yang panjang dan terus berulang-ulang
dan cenderung semakin membesar. Konflik antar masyarakat etnis Dayak dan masyarakat
etnis Madura semula yang hanya bersifat laten (tertutup) dengan berjalannya waktu,
menjadikan konflik laten ini cukup kuat untuk meledak menjadi konflik manifest (terbuka)
yang diwujudkan dengan permusuhan disertai kekerasan yang tidak terkendalikan. Menurut
Bahari (2005) konflik yang dialami oleh masyarakat etnis Dayak dengan masyarakat etnis
Madura itu bermacam-macam, misalnya pihak pemerintah termasuk aparat keamanan
menduga terjadinya konflik sosial dengan kekerasan antar etnis itu disebabkan oleh adanya
dalang yang menggunakan unsur SARA sebagai pemicunya.
Keadaan ini yang membuat masyarakat etnis Dayak selalu tertinggal dalam segala aspek
kehidupan. Masyarakat etnis Madura yang datang ke Kota Sampit dengan maksud untuk
mencari lahan-lahan yang lebih subur dibandingkan dengan daerah asalnya di pulau Madura
(Achadiyat, 1989). Karakteristik dan kepribadian masyarakat etnis Madura ini antara lain
berani, kuat secara fisik, kerja keras, ulet, percaya diri, sederhana, hemat, tidak memilih jenis
pekerjaan, bersedia diupah rendah dan patuh pada pimpinan tradisional dan agama (Alqadrie,
1999). Disamping karakter tersebut, terdapat beberapa karakter miring yaitu keras kepala,
mau menang sendiri, cenderung memaksa kehendak, sombong, menyelesaikan masalah
dengan kekerasan, kurang tertarik pada tradisi dan adat istiadat setempat. Dengan karakter
tersebut masyarakat etnis Madura ini cenderung tidak mematuhi prinsip budaya dimana bumi
dipijak disitu langit dijunjung. Konflik antar masyarakat etnis Dayak dan masyarakat etnis
Madura itu sudah kerap terjadi di Kalimantan Tengah.
Konflik awal terjadi pada tahun 1999, tepatnya 23 September malam, sebuah perkelahian
ditempat karaoke yang berlokasi di perbatasan Tumbang Samba menewaskan Iba Tue,
seorang Dayak Ma’anyan yang dibantai oleh sekelompok suku Madura. Masyarakat etnis
Dayak yang kesal karena Iba Tue yang tidak bersalah telah meninggal, kemudian masyarakat
etnis Dayak melakukan pembalasan dengan membakar rumah dan ternak suku Madura di
Tumbang Samba. Tanggal 6 Oktober 2000, terjadi pengeroyokan oleh sekelompok orang
Madura terhadap seorang warga Dayak bernama Sendung di sebuah lokalisasi kilometer 19
Katingan. Sendung tewas dengan kondisi mengenaskan. Merasa marah, suku Dayak akhirnya
melakukan sweeping terhadap suku Madura, kali ini kuantitas korban jauh lebih besar
daripada tahun 1999. Keadaanpun mulai mereda, namun hal itu hanya berselang selama
empat bulan. Tepatnya pada tanggal 18 Februari 2001, pertikaian dengan skala besar pun
terjadi di Kota Sampit.
Pada Minggu subuh masyarakat etnis Madura melakukan pembalasan dengan mengepung
rumah Sehan yang bertempat tinggal di Kelurahan Ketapang dan Dahur di Kelurahan
Mentawa Baru Hilir. Kelurahan Ketapang dan Kelurahan Mentawa Hilir merupakan pusat
lokasi dimana terjadinya konflik antar etnis di Kota Sampit. Keduanya merupakan
masyarakat etnis Dayak. Sehan adalah purnawirawan TNI pada saat itu. Pengepungan itu
berakhir dengan dibakarnya rumah Sehan dan Dahur, keduanya (beserta keluarga) tewas
terbakar. Total sepuluh orang tewas pada pagi itu. Konflik pun pecah, pembakaran,
pembantaian terjadi sepanjang hari itu. Polres dan TNI bekerjasama mengungsikan
masyarakat etnis Dayak ke Palangkaraya.
Di tengah perang yang mulai berkecamuk, pada senin malam, serangan balik dari etnis
Dayak dilancarkan. Seminggu penuh aksi balas itu berlangsung, tidak terhitung berapa rumah
terbakar dan leher terpenggal selama perang itu terjadi. Seminggu setelah terjadinya konflik
besar tersebut, masyarakat etnis Madurapun diungsikan. Jumlah total warga yang mengungsi
mencapai 57.000 jiwa. Permasalahan-permasalahan tersebut yang menjadi pemicu dan
penyebab utama konflik antar masyarakat etnis Dayak dan masyarakat etnis Madura di Kota
Sampit. Hal itu memberikan dampak yang cukup besar juga bagi wilayah-wilayah di
sekitarnya antara lain adalah kota Palangkaraya. Hal yang ditunjukkan oleh masyarakat etnis
Dayak terhadap masyarakat etnis Madura memang sangat ekstrim sehingga masyarakat etnis
Dayak berupaya untuk mengusir masyarakat etnis Madura dari bumi Kalimantan Tengah dan
masyarakat etnis Dayak tidak memberikan sedikitpun peluang bagi masyarakat etnis Madura
untuk kembali ke Kota Sampit (Bahing Djimat, LMMDD-KT Jilid I 2001). Menyikapi
masalah konflik antar masyarakat etnis Dayak dengan masyarakat etnis Madura di Kota
Sampit, masyarakat etnis Madura berpendapat bahwa konflik tersebut merupakan tragedi
besar yang bercorak kebiadaban dari masyarakat etnis Dayak yang tidak bermoral dan tidak
mengenal perikemanusiaan serta melanggar ideologi Pancasila dan agama.
Masyarakat etnis Madura juga mendesak pada Pemerintah di Jakarta agar memberikan
sanksi yang keras terhadap masyarakat etnis Dayak karena telah melecehkan moral bangsa
dan melecehkan persatuan dan kesatuan bangsa, memberikan perlindungan kepada
masyarakat etnis Madura apabila suatu saat nanti mereka kembali ke Kalimantan Tengah dan
mengutuk sekeras-kerasnya bahwa tindakan pengusiran terhadap masyarakat etnis Madura
keluar dari Kota Sampit merupakan tindakan yang disengaja untuk memecah belah persatuan
dan kesatuan bangsa. Cara seperti itu bukan ciri moral bangsa Indonesia yang
bersemboyankan Bhineka Tunggal Ika (Usop, LMMDD-KT Jilid II 2001).
Identifikasi masalah pada penelitian makalah ini adalah bagaimana mengetahui serta
penanganan terhadap kasus pelanggaran HAM yang disebatkan oleh etnosentrisme.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sikap masyarakat etnis Dayak yang ada di Kota
Sampit terhadap masyarakat etnis Madura pasca konflik yang terjadi di Kota Sampit
berdasarkan pada komponen-komponen sikap yaitu kognitif, afektif dan konatif.
PEMBAHASAN
Undang – undang dasar 1945 sebagai basic law atau norma hokum tertinggi telah
memuat pasal – pasal yang menjamin perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan
HAM. Karena letaknya dalam konstitusi, maka ketentuan – ketentuan mengenai HAM harus
dihormati dan dijamin pelaksanaanya oleh Negara maupun kelompok individu. Hak untuk
Hidup, Hak atas Kesejahteraan, dan Hak memperoleh keadilan.Pada UU RI Nomor 39 tahun
1999 tentang Hak Asasi Manusia, bagian keenam Hak atas Rasa Aman, pasal 33 dan pasal 35
jelas disebutkan bahwa setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan, penghilangan paksa
dan nyawa,serta hidup damai, tentram,dan aman.
Contoh pelanggaran pasal tersebut adalah “Perang Sampit’’ antara suku Dayak dan
Madura. Perang ini sungguh mengerikan. Ada banyak versi penyebab perang ini. Tidak ada
rasa hormat suku Madura terhadap suku dayak , persoalan tanah, penebangan hutan yang
menyebabkan suku dayak semakin didorong ke dalam hutan. Selain hal tersebut Suku
pendatang yang lebih maju menimimbulkan kecemburuan sosial serta ekonomi suku dayak.
Perang ini juga terjadi karena aparat penegak hukum yang tidak menindak langsung atau
mengabaikan penebangan hutan serta penambangan intan di tanah adat suku dayak. Etnis
madura yang juga punya latar belakang budaya kekerasan menurut masyarakat Dayak
dianggap tidak mampu untuk beradaptasi (mengingat mereka sebagai pendatang). Sering
terjadi kasus pelanggaran “tanah larangan” orang Dayak oleh penebang kayu yang kebetulan
didominasi oleh orang Madura. Hal inilah yang menjadi salah satu pemicu perang antar etnis
Dayak-Madura.
Dari cara mereka melakukan usaha dalam bidang perekonomian saja, mereka
terkadang dianggap terlalu kasar oleh sebagian besar masyarakat Dayak, bahkan masyarakat
Banjar sekalipun. Banyak cara-cara pemaksaan untuk mendapatkan hasil usaha kepada
konsumen mereka. Banyak pula tipu-daya yang mereka lakukan. Namun, tidak semua suku
Madura bersifat seperti ini. Berita atau anggapan tentang kecemburuan sosial-ekonomi yang
menjadi penyebab pecahnya “perang” tersebut dari hasil pengamatan dan penilaian versi lain
ini adalah tidak benar.
Ada yang mengungkapkan bahwa pertikaian yang sering terjadi antara Madura dan
Dayak dipicu rasa etnosentrisme yang kuat di kedua belah pihak. Semangat persukuan inilah
yang mendasari solidaritas antar-anggota suku di Kalimantan. Situasi tersebut diperparah
oleh suku madura yang selalu membawa celurit atau parang seperti orang yang siap
berkelahi. Budaya tersebut berbenturan dengan budaya suku dayak yang hanya membawa
senjata tajam ketika akan berperang atau berburu. Saat terjadi pembantaian di Sampit entah
bagaimana cara mereka (Etnis Dayak) yang tengah di rasuki kemarahan membedakan suku
Madura dengan suku-suku lainnya, yang jelas suku-suku lainnya luput dari “serangan
beringas” orang-orang Dayak. Kejadian ini banyak melahirkan orang – orang yang tak
bernyawa tanpa kepala.
Kasus Sampit adalah kerusuhan antaretnis yang terjadi di Sampit pada awal Februari
2001. Konflik ini dimulai di kota Sampit, Kalimantan Tengah yang kemudian meluas ke
seluruh provinsi, termasuk ibu kota Palangka Raya. Konflik ini terjadi antara suku Dayak
asli dan warga migran Madura. Kala itu, para transmigran asal Madura telah membentuk 21
persen populasi Kalimantan Tengah. Akibatnya, Kalimantan Tengah merasa tidak puas
karena terus merasa disaingi oleh Madura. Karena adanya permasalahan ekonomi ini, terjadi
kerusuhan antara orang Madura dengan suku Dayak. Penyerangan ini lantas membuat 1.335
orang Madura harus mengungsi. Konflik Sampit yang terjadi tahun 2001 bukanlah sebuah
insiden pertama yang terjadi antara suku Dayak dan Madura. Sebelumnya sudah terjadi
perselisihan antara keduanya. Penduduk Madura pertama kali tiba di Kalimantan Tengah
tahun 1930 di bawah program transmigrasi yang dicanangkan pemerintah kolonial Belanda.
Hingga tahun 2000, transmigran asal Madura telah membentuk 21 persen populasi
Kalimantan Tengah. Suku Dayak mulai merasa tidak puas dengan persaingan yang terus
datang dari Madura.
Hukum baru juga telah memungkinkan warga Madura memperoleh kontrol terhadap
banyak industri komersial di provinsi tersebut, seperti perkayuan, penambangan, dan
perkebunan. Hal tersebut menimbulkan permasalahan ekonomi yang kemudian menjalar
menjadi kerusuhan antarkeduanya. Insiden kerusuhan terjadi tahun 2001. Kericuhan
bermula saat terjadi serangan pembakaran sebuah rumah Dayak. Menurut rumor warga
Madura lah yang menjadi pelaku pembakaran rumah Dayak tersebut. Sesaat kemudian,
warga Dayak pun mulai membalas dengan membakar rumah-rumah orang Madura. Profesor
Usop dari Asosiasi Masyarakat Dayak mengklaim bahwa pembantaian oleh suku Dayak
dilakukan guna mempertahankan diri setelah beberapa warga Dayak diserang. Disebutkan
juga bahwa seorang warga Dayak disiksa dan dibunuh oleh sekelompok warga Madura
setelah sengketa judi di Desa Kerengpani pada 17 Desember 2000.
Situasi kericuhan antara suku Dayak dengan Madura diperparah dengan kebiasaan
dan nilai-nilai berbeda yang dimiliki keduanya. Seperti adat orang Madura yang membawa
parang atau celurit ke mana pun, membuat orang Dayak berpikiran bahwa tamunya ini siap
untuk berkelahi. Konflik Sampit sendiri diawali dengan perselisihan antara dua etnis ini
sejak akhir 2000. Pertengahan Desember 2000, bentrokan antara etnis Dayak dan Madura
terjadi di Desa Kereng Pangi, membuat hubungan keduanya menjadi bersitegang.
Dari kasus Sampit itu kita dapat menyimpulkan bahwa perang Sampit merupakan
salah satu pelanggaran HAM dikarenakan banyaknya korban yang berjatuhan dalam jumlah
yang banyak atau biasa disebut sebagai Genosida. Mengapa demikian? Genosida, sebagai
suatu istilah, secara resmi belum terdapat dalam kosakata Kamus Besar Bahasa Indonesia,
terbitan Balai Pustaka, setidak-tidaknya sampai tahun 1990. hal ini berarti istilah genosida
(genocide) dapat dikatakan tergolong baru, belum lagi makna yang terkandung di dalamnya
belum banyak awam yang memahaminya.
Oleh karena itu kehadiran buku berbahasa Indonesia mengenai seluk beluk genosida
menjadi penting untuk menambah wawasan kita semua, khususnya aparat yang duduk dalam
pemerintahan, TNI, Polri, legislatif maupun yudikatif. Undang-Undang republik Indonesia
Nomor 26 tahun 2000 Tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia pada pasal 7 menyebutkan,
“Kejahatan genosida” adalah pelanggaran hak asasi manusia yang berat. Di dalam pasal 8
disebutkan, “Kejahatan genosida sebagaimana dimaksud dalam pasal 7 tersebut adalah setiap
perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk menghancurkan atau memusnahkan seluruh
atau sebagian kelompok bangsa, ras, kelompok etnis, kelompok agama, dengan cara: a.
membunuh anggota kelompok; b. mengakibatkan penderitaan fisik atau mental yang berat
terhadap anggota-anggota kelompok; c. menciptakan kondisi kehidupan kelompok yang akan
mengakibatkan kemusnahan secara fisik baik seluruh atau sebagiannya; d. memaksakan
tindakan-tindakan yang bertujuan mencegah kelahiran di dalam kelompok; atau e.
memindahkan secara paksa anak-anak dari kelompok tertentu ke kelompok lain. Pasal 8 UU
26/2000 di atas tidak mengatur secara tegas kapan dilakukan kejahatan genosida di waktu
damai atau di saat perang, tetapi secara konsisten memberi ancaman hukuman kepada pelaku.
Pada pasal 3 Konvensi tentang Pencegahan dan Penghukuman Kejahatan Genosida
disebutkan ada lima perbuatan yang dapat dihukum yaitu: (a) Genosida; (b) Persengkokolan
untuk melakukan genosida; (c) Hasutan langsung dan di depan umum, untuk melakukan
genosida; (d) Mencoba melakukan genosida; (e) Keterlibatan dalam genosida. Indonesia
sampai saat ini belum melakukan pengesahan Konvensi Pencegahan dan Penghukuman
Kejahatan Genosida. Padahal Indonesia mempunyai falsafah Pancasila dan Undang-Undang
Dasar 1945 yang ‘hitam di atas putihnya’ sangat menjunjung tinggi harkat dan martabat
manusia.
Bahkan seharusnya kita berani mengakui kejahatan genosida dan kejahatan terhadap
kemanusiaan telah pernah mewarnai perjalanan bangsa Indonesia, khususnya selama Orede
Baru berkuasa dan ramifikasi genosida khususnya yang berkaitan dengan agama masih terus
dijalankan hingga kini (tahun 2003). Keberanian penulis untuk mengungkapkan bentuk-
bentuk baru genosida (ramifikasi) beserta penelitian yang dilakukan terhadap kasus-kasus
yang dapat dikategorikan sebagai genosida patut dihargai, dan sekaligus membuka wawasan
kita bahwa apa yang terdapat dalam pasal 8 UU 26 tahun 2000 itu belumlah memadai.
Kejahatan genosida dan kejahatan yang berkaitan dengan SARA, diatur dalam
berbagai aturan, baik hukum internasional (khususnya perjanjian internasional dan
yurisprudensi), maupun hukum nasional. Ketentuan-ketentuan hukum tersebut akan dibahas
di bawah ini, yakni 8 :
1. Deklarasi Tentang Hak Asasi Manusia (Deklarasi ini dikenal dengan “The Universal
Declaration of Human Rights), Ketentuan hukum yang berkaitan dengan ras, suku atau
agama, diatur dalam Pasal 2 Deklarasi ini, yang menyatakan bahwa setiap orang berhak atas
semua hak dan kebebasan yang dimuat dalam deklarasi ini tanpa pengecualian apapun,
seperti perbedaan ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, politik atau pandangan lain,
asal usul kebangsaan atau kemasyarakatan, hak milik, kelahiran ataupun status lainnya. Ada
sejumlah formulasi hukum dalam Konvensi ini, yang berkaitan dengan penghormatan
terhadap suku, agama atau ras.
a. Ketentuan Pasal 1, yang mewajibkan tiap Negara untuk menguatkan bahwa kejahatan
genosida, apakah dilakukan pada masa damai atau pada waktu perang, merupakan kejahatan
menurut hukum internasional, di mana mereka berusaha untuk mencegah dan
menghukumnya.
c. Pasal 3 yang menyebutkan bahwa tindakan-tindakan yang juga dapat dihukum sebagai
kejahatan genosida adalah : (a) Kejahatan genosida; (b) Persekongkolan untuk melakukan
kejahatan genosida; (c) Hasutan langsung dan di depan umum, untuk melakukan kejahatan
genosida; (d) Mencoba melakukan kejahatan genosida; dan (e) Keterlibatan dalam kejahatan
genosida
d. Pasal 4 yang menyebutkan bahwa orang-orang yang melakukan kejahatan genosida atau
tiap perbuatan-perbuatan lain yang disebutkan dalam Pasal 3 harus dihukum, apakah mereka
adalah penguasa yang bertanggung jawab secara konstitusional, para pejabat Negara, atau
individu-individu biasa.
Dari pembahasan diatas patut kita uraikan apa yang menjadi pengertian pelanggaran
HAM. Menurut standar HAM internasional, ada empat jenis pelanggaran HAM berat yang
diatur dalam Pasal 5 Statuta Roma Mahkamah Pidana Internasional atau Rome Statute of the
International Criminal Court (ICC). Empat kategori pelanggaran HAM berat tersebut yaitu:
Genosida, yaitu pembantaian brutal dan sistematis terhadap sekelompok suku bangsa
dengan tujuan memusnahkan seluruh atau sebagian bangsa tersebut. Bentuknya dapat
berupa:
o pembunuhan anggota kelompok;
o penyiksaan dan hukuman kejam, tidak manusiawi atau merendahkan martabat;
o sengaja menciptakan kondisi hidup yang memusnahkan;
o mencegah kelahiran;
o dan memindahkan anak-anak secara paksa.
Kejahatan perang, yaitu pelanggaran terhadap hukum perang, baik oleh militer
maupun sipil. Bentuknya dapat berupa:
o menyerang warga sipil dan tenaga medis;
o perkosaan, perbudakan seksual, pemaksaan prostitusi, pemaksaan kehamilan,
pemaksaan sterilisasi, atau bentuk kekerasan seksual lain yang memiliki bobot yang
setara;
o menyerang pihak yang telah mengibarkan bendera putih tanda menyerah.
Agresi, yaitu perilaku yang bertujuan menyebabkan bahaya atau kesakitan terhadap
target serangan.
Dalam kasus Sampit ada beberapa hal yang semestinya dipenuhi oleh Pemerintah
Indoensia. Bagaimanapun, kasus ini menyisakan banyak luka dan sewaktu-waktu dapat
menjadi bom waktu bagi para korban yang mengalaminya. Pemenuhan hak korban juga
diatur dalam Undang-Undang. Apa saja itu? Berikut penjelasannya :
Negara wajib memberi informasi kepada para korban, keluarga korban, dan masyarakat
umum tentang penyebab peristiwa pelanggaran HAM. Informasi ini harus mencakup alasan,
situasi pelanggaran, kemajuan hasil investigasi dan proses hukum, serta identitas pelaku.
Misalnya, dalam kasus penghilangan paksa, negara wajib menginformasikan keberadaan dan
keadaan korban.
Hak atas kebenaran penting bagi korban serta keluarga korban pelanggaran HAM untuk
memastikan akurasi fakta dan mencegah hilangnya bukti. Masyarakat juga memiliki hak atas
informasi tentang sejarahnya sendiri sehingga mereka memahami dampak pelanggaran
HAM.
Negara wajib memenuhi hak atas reparasi bagi korban pelanggaran HAM dan kerugian
yang diderita korban. Reparasi termasuk:
Restitusi, yaitu upaya mengembalikan korban ke situasi sebelum pelanggaran HAM
berat terjadi.
Kompensasi, yaitu upaya mengembalikan kerusakan secara ekonomi.
Rehabilitasi, mencakup perawatan medis dan psikologis serta layanan hukum dan
sosial.
Negara juga harus menginformasikan kepada masyarakat umum dan, khususnya, korban
pelanggaran HAM berat, tentang hak dan pemulihan medis, psikologis, sosial, administrasi,
dan semua layanan lainnya yang berhak diakses oleh korban.
Penuntasan kasus pelanggaran HAM secara menyeluruh, termasuk pemenuhan hak korban
dan penghukuman pelaku secara efektif melalui pengadilan HAM sangat penting. Kalau
kasus pelanggaran HAM tidak diusut tuntas, pelanggaran HAM serupa akan terus berulang.
Lalu, Jaksa Agung selaku penyidik menentukan tersangka, membuat tuntutan, dan
memproses kasus di pengadilan. Kasus kemudian disidang di pengadilan HAM oleh 5 orang
Majelis Hakim, 3 di antaranya dari tim Ad Hoc. Tim Ad Hoc dibentuk atas usul DPR dan
disahkan melalui Keputusan Presiden.
Tapi, pada praktiknya, pengadilan HAM belum dilaksanakan secara efektif di Indonesia.
Misalnya, pada kasus Tanjung Priok (1984), pengadilan HAM Ad Hoc tingkat pertama
memutus bersalah terdakwa pelaku pelanggar HAM. Tapi, para terdakwa melakukan banding
ke Pengadilan Tinggi dan diputus bebas oleh pengadilan. Putusan bebas itu juga
menggugurkan kewajiban negara untuk memberi ganti rugi dan pemulihan kepada korban.
Khusus untuk empat kejahatan berat seperti genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan,
kejahatan perang, dan agresi menjadi wewenang Mahkamah Pidana Internasional
atau International Criminal Court (ICC).
Sayangnya, meski Indonesia kerap gagal menuntaskan pelanggaran HAM dan membawa
semua okum pelanggaran HAM untuk diadili di dalam negeri, Indonesia juga belum
meratifikasi Statuta Roma.
Tapi, sebenarnya ada situasi terbatas ketika ICC memiliki kewenangan mengadili
kejahatan yang dilakukan oleh warga negara dari negara-negara yang belum bergabung
dengan Statuta Roma. Ini termasuk saat seorang warga negara dari negara non-anggota
perjanjian melakukan pelanggaran HAM berat di wilayah negara anggota ICC.
Relasi kuasa pihak-pihak yang berkuasa seringkali lebih kuat hingga menempatkan
kepentingan politik di atas kemanusiaan, sementara pelanggaran HAM terus terjadi, dan
semakin banyak korban menderita. Di Indonesia, bolak-balik pengembalian berkas antara
Komnas HAM (penyelidik) dan Jaksa Agung (penyidik dan penuntut), menjadi penghambat
penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM yang berat. Kejaksaan Agung kerap menyebut
kurangnya bukti dalam penyelidikan sebagai okum yang menghambat penuntasan kasus-
kasus pelanggaran HAM berat.
Selain itu, beberapa terduga pelaku pelanggaran HAM berat malah menjadi pejabat
pemerintah. Padahal, pelaku atau terduga pelaku tidak seharusnya terlibat aktif dalam
menentukan kebijakan okum . Misalnya, jika mereka memanipulasi penegakan okum
untuk menguntungkan mereka atau membuat mereka bisa lolos dari hukuman, mereka jadi
sulit dihukum. Apa yang harus dilakukan untuk mencegah pelanggaran HAM berat kembali
terjadi?
Kolaborasi internasional:
Pemerintah:
Menghormati, melindungi, dan memenuhi HAM melalui pembuatan kebijakan,
legislasi, regulasi, dan okum pengadilan yang memadai dan efektif untuk menuntaskan
kasus pelanggaran HAM
Menghapus atau merevisi aturan okum yang berpotensi melanggar HAM
Mereformasi okum penegakan okum agar berorientasi HAM
Individu/masyarakat sipil:
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dari hasil pembahasan yang penulis lakukan dalam masalah ini, penulis dapat menyimpulkan
beberapa hal terkait kasus pelanggaran HAM di Indonesia khususnya dalam melihat perang
Sampit yang terjadi, yakni :
Bahwa kasus Perang Sampit merupakan kasus pelanggaran HAM yang dilindungi
oleh Undang-Undang Dasar bahkan konvesi Internasional yang ada. Bahwa kasus
Sampit merupakan salah satu bentuk Genosida dimana banyaknya korban yang
berjatuhan dalam jumlah yang sangat banyak terutama isu yang diangkat adalah isu
tentang etnis dan agama.
Pelanggaran HAM yang diakibatkan oleh perbedaan etnis dan agama merupakan
salah satu tanggung jawab peemerintah dan harus segera diselesaikan agar tidak
menimbulkan dendam dan kasus akan terulang serupa kedepannya
Bahwa perang Sampit merupakan salah satu perang etnis yang disebabkan dengan
adanya perbedaan pendapat atau etnosentrisme dari beberapa etnis yang ada di
Kalimantan.
3.2 Saran
DAFTAR PUSTAKA
Adam Jones & Mary Anna Warren, “Gendericide As A Part of Genocide”, Journal of
Genocide Research, 2:2 (June 2000), hlm. 185, dalam www.hukumonline.
Devy Sondakh, Peradilan Mahkamah Internasional AD Hoc Den Haag Para Penjahat erang
Di Wilayah Bekas Yugoslavia Dan Kemungkinan Penerapannya di Indonesia, esis,
Universitas Padjadjaran, Bandung, 1999.
Romli Atmasasmita, Pengantar Hukum Pidana Internasional, Cetakan Kedua, Citra Aditya
Bakti, Bandung, 2003.
Hassanah, Hetty, Kejahatan Genosida Dalam Ketentuan Hukum Nasional Sebagai Kejahatan
Tradisional. Universitas Komputer Bandung. Bandung, 2015.
https://www.amnesty.id/apa-itu-pelanggaran-ham-berat/
https://repository.maranatha.edu/12791/3/0830172_Chapter1.pdf