Anda di halaman 1dari 6

Pertemuan Ke-4 TEORI KONFLIK SEBAGAI ACUAN ANALISIS SISTEM SOSIAL DAN BUDAYA INDONESIA Oleh : Abdul Kholek, MA

1. Suatu Pengantar Pertemuan sebelumnya kita sudah membahas dan mendiskusikan mengenai teori struktural fungsional atau sistem dalam analisis sistem sosial dan budaya Indonesia. Kesempatan kali ini kita akan membahas dan nantinya mendiskusikan persfektif lain untuk melihat masyarakat yaitu dengan menggunakan teori konflik. Kedua teori ini sama-sama melihat realitas masyarakat baik sistem sosial maupun sistem budaya, tetapi dengan argumentasi dasar yang berbeda. Pada kenyataannya teori konflik sebagai respon terhadap teori struktural fungsional yang cenderung mengabaikan realitas konflik yang berada didalam masyarakat itu sendiri. Atas dasar asumsi inilah teori konflik dikembangkan. Pemahaman teori konflik sangat penting untuk melihat bagaimana realitas masyarakat terutama gejala-gejala konflik yang sering kali muncul. Tentunya harus dipahami secara lebih mendasar apa itu teori konflik ?, untuk memberikan penjelasan lebih rinci tulisan ini akan mengkaji tiga poin penting yaitu 1). Melihat perkembangan teori konflik, 2). Menampilkan asumsiasumsi dasar teori konflik, 3). Relevansinya dalam Kajian Sistem Sosial dan Budaya Indonesia. 2. Kritik terhadap Teori Sistem; Awal Perkembangan Teori Konflik Seperti yang telah saya sebutkan diatas bahwa perkembangan teori konflik merupakan respon terhadap teori struktural fungsional, yang didalam asumsinya mengabaikan realitas konflik dan cenderung untuk mempertahan

[Sistem Sosial dan Budaya Indonesia : Abdul Kholek]

Page 1

status quo. Untuk lebih memperjelas bagaimana para teoritisi awal mengkritik teori structural fungsional berikut beberapa kritik tersebut; David Lockwood (1956), dalam teori sistem yang menegaskan kestabilan, keserasian, ketertiban masyarakat. Padahal menurut David dalam realitas masyarakat makanisme-mekanisme yang mengakibatkan terjadinya konflik tidak dapat dicegah. Misalkan pembagian kekuasaan didalam masyarakat terkadang menjadi sumber konflik, serta keterbatasan sumber daya yang ada juga mengantarkan pada kondisi perpecahan/konflik. Kritik yang lain dilontarkan oleh Ralf Dahrendorf (1958), memberikan argumentasi bahwa suatu keseimbangan, keserasian, ketertiban adalah bentuk dari utopia teori srtuktural fungsional. Pada kenyataannya nilai-nilai didalam masyarakat sering terjadi benturan yang mengakibatkan konflik. Menurut Nasikun dalam bukunya Sistem Sosial Indonesia, ada beberapa poin penting yang menjadi kiritik terhadap teori structural fungsional yaitu : a) Secara internal didalam masyarakat atau struktur masyarakat

mengandung konflik-konflik yang pada gilirannya justru menjadi sumber bagi perubahan sosial. b) Reaksi dari sistem sosial/masyarakat terhadap perubahan dari luar tidak selamanya menerima dan menyesuaikan, terkadang resistensi. c) Perubahan-perubahan didalam masyarakat tidak selalu terjadi secara gradual/bertahan tetapi kadang terjadi secara cepat atau revolusioner. Kirinya beberapa kritik tersebut merupakan sanggahan yang cukup beralasan terhadap asumsi dasar yang dikembangkan oleh teori structural fungsional. Landasan dasar tersebut merupakan titik awal dari perkembangan teori konflik yang mencoba untuk melihat masyarakat dari sudut lain yaitu realitas konflik, yang diabaikan oleh penganut teori structural fungsioal.

[Sistem Sosial dan Budaya Indonesia : Abdul Kholek]

Page 2

3. Asumsi-Asumsi Dasar Teori Konflik Memahami asumsi dasar dari teori konflik kita tidak akan terlepaskan dari tokoh-tokoh awal teori tersebut serta pemikirannya. Untuk itu ada beberapa teoritisi penting dalam teori konflik yang akan kita bahas dalam pertemuan ini yaitu Ralf Dahrendorf dan Lewis Coser. Akan dijelaskan dalam uraian berikut : Ralf Dahrendorf (1959) Teori konflik merupakan antitesis terhadap pendekatan structural fungsional, seperti yang diungkapkan oleh Ralf Dahrendorf, dalam membandingkan kedua teori tersebut. Dapat dilihat dalam table berikut ini : Tabel 1. Perbandingan Teori Struktural dan Teori Konflik Teori Struktural Fungsional Masyarakat statis Keteraturan/ekulibrium dalam masyarakat stabilitas/integrasi Nilai, norma bersifat informal dan kebersamaan Konsesus; Pemelihara tatanan masyarakat Sumber : George Ritzer, 2010. 282. Berdasarkan tabel tersebut realitas dalam masyarakat dikatakan oleh Ralf tidaklah statis tetapi selalu mengalami perubahan, didalam masyarakat tidak terjadi keteraturan yang utuh tetapi selalu ada pertentangan dan konflik didalamnya. Masyarakat juga tidak selalu stabil atau integrasi karena wujud masyarakat juga memberikan realitas disitegrasi/perubahan. Norma-norma dalam masyarakat bukanlah sesuatu yang diciptakan sebagai kesepakatan bersama tetapi diciptakan oleh segelintir elit pemgang otoritas. Bukanlah consensus yang memelihara masyarakat tetapi kekuasaan dan otoritas yang Teori Konflik Masyarakat selalu berubah Pertentangan dan koflik dalam masyarakat Perubahan/Disintegrasi Nilai, norma sebagai tekanan dari segelintir elit Kekuasaan ; Pemelihara tatanan masyarakat

[Sistem Sosial dan Budaya Indonesia : Abdul Kholek]

Page 3

mengendalikan masyarakat. Poin terakhir inilah yang menjadi salah satu perhatian mendasar dari Ralf Dahrendorf. Ada tesis penting dari pemikiran Ralf Dahrendorf yaitu Distribusi kekuasaan (otoritas) dan sumber daya yang tidak seimbang adalah penyebab terjadinya konflik/pertentangan yang sistematis. Pemikiran inilah yang mendasari Dahrendorf melihat realitas masyarakat sebagai wujud dari konflik yang terus menerus. Pemikiran tentang otoritas merupakan poin penting yang dikaji lebih dalam oleh Dahrendorf dalam melihat masyarakat. Otoritas dikonsepkan oleh Dahrendorf sebagai suatu realitas dalam struktur masyarakat. Otoritas tidaklah secara konstan tetapi selalu berkembang dinamis. Pemegang otoritas biasnya memiliki kekuasaan yang kuat sebagai superordinasi selalau menjadi pengatur kelompok otoritas lemah atau subordinasi. Sehingga resistensi atau perlawanan terhadap otoritas yang kuat selalu menjadi realitas didalam masyarakat atau Negara. Sehingga sering memunculkan konflik kepentingan didalam masyarakat. Turunan dari adanya otoritas yang bersifat superordinasi dan subordinasi, sehingga seringkali memunculkan kelompok-kelompok kepentingan untuk mendapatkan otoritas tertinggi. Biasanya masing-masing kelompok tersebut secara potensial berdada dalam kondisi konflik atau berhadapan. Sebenarnya terbentuknya kelompok kepentingan tersebut (mereka yang memiliki kepentingan diawali oleh kelompok semu laten/tersembunyi). Ada tiga kondisi yang menjadikan kelompok semu menjadi kelompok kepentingan, yaitu 1) kondisi teknis suatu organisasi, 2) kondisi-kondisi politis yang melatari, 3) kondisi social bagi suatu organisasi. Pertentangan kolompokkelompok kepentingan inilah yang mengakibatkan terjadi konflik didalam masyarakat. Sehingga dibutuhkan upaya konsiliasi, suatu pengandalian melalui lemabaga-lembaga tertentu yang memungkinkan terjadi upaya diskusi dan pengambilan keputusan anatara pihak yang berlawanan dalam sebuah konflik.
[Sistem Sosial dan Budaya Indonesia : Abdul Kholek] Page 4

Menurut Ralf Dahrendorf pertentangan atau situasi konflik didalam masyarakat tidak harus ditekan atau dihilangkan dengan upaya refresif karena ia adalah realitas yang tak bisa dihilangkan, hanya dibutuhkan usaha yang lebih demokratis untuk mengaturnya. Misalkan konsiliasi, mediasi, arbitrase. Lewis Cosser Lewis Coser memberikan asumsi yang sangat berlawanan dengan teori system, ia menganggap bahwa konflik fungsional bagi masyarakat (fungsi positif). Dalam artian bahwa konflik itu dibutuhkan oleh masyarakat, untuk mempertahankan system social dan budaya masyarakat. Konflik merupakan unsure penting yang akan mengantarakan pada penyatuan dan pemeliaraan struktur social, terutama dalam kapasitas ingroup. Konflik dengan outgruop memiliki fungsi penting bagi ingroup yaitu untuk menata kemabali integrasi dan identitas kelompok mereka, sehingga jarak antara mereka yang bertentangan cukup jelas. Agar realitas konflik tidak terjadi secara sitemik dan semakin tajam Coser menawarkan harus adanya katuf penyelamat. Katup penyelamat merupakan suatu lembaga yang membiarkan luapan permusahan disalurkan tanpa menghancurkan seluruh srturktur masyarakat. Misalkan institusi perwakilan mahasiswa dan lain sebagainya. Selain melihat konflik memiliki fungsi positif, ada beberap asumsi dasar teori konflik yang dikembangkan oleh Coser yaitu : a) Dunia social (system social dan budaya) dapat dipandang sebagai suatu system dengan saling keterkaitan b) Setiap system memperlihatakan kondisi yang tidak harmonis, ketegangan dan konflik. c) Proses kekerasan, ketegangan dapat memberikan ancaman bagi integrasi secara keseluruhan.

[Sistem Sosial dan Budaya Indonesia : Abdul Kholek]

Page 5

Kondisi inilah yang dilihat oleh Coser sebagai bentuk dari realitas konflik yang selalu ada dan berkembang didalam masyakat. 4. Relevansinya dalam Kajian Sistem Sosial dan Budaya Indonesia. Indonesia sebagaimana sering kita diskusikan sebagai realitas dari masyarakat majemuk atau plural. Tentunya realitas konflik tidak dapat dihilangkan dalam perkembangan system social dan budaya Indonesia. Terjadinya berbagai macam konflik berbasis ekonomi, atau SARA dalam pandangan Coser tentunya memiliki fungsi positif bagi tetutama bagi ingroup untuk menjalin integrasi dan solidaritas yang lebih kuat, tetapi menurut Coser dan juga Ralf Dahrendorf bahwa perlunya penataan terhadap situasi konflik agar tidak menjadi semakin tajam yaitu melalui katup penyelaman atau konsiliasi, mediasi, atau arbitrase. Didalam system social dan budaya juga tidak bisa dilepaskan dari adanya otoritas. Terkadang otoritas ini memiliki bentuk superordinasi dan subordinasi, kondisi ini tentunya sering melatari lahirnya konflik didalam masyarakat. Sebagimana dikatakan oleh Dahrendroef distribusi kekuasaan dan sumber daya yang tidak seimbang atau merata akan mengakibatkan terjadinya konflik yang sistematis. Realitas konflik antara etnis, agama dan komunitas, sering kali disebabkan adanya distribusi tidak seimbang misalkan penguasaan basis ekonomi, ataupu kekuasaan yang didominasi oleh kelompok etnik tertentu. Berdasarkan kondisi riil realitas konflik yang seringkali terjadi di Indonesia sehingga, teori konflik ini relevan untuk mengkaji system social dan budaya Indonesia yang tentunya tidak salamanya stabil, dan harmonis. Referensi : 1. Fungsionalisme dan Teori Konflik, Seorjono Soekanto. 2. Sistem Sosial Indonesia, Nasikun. 3. Sosiologi Kontemporer, Poloma. 4. Teori Sosiologi Modern, George Ritzer.

[Sistem Sosial dan Budaya Indonesia : Abdul Kholek]

Page 6

Anda mungkin juga menyukai