Anda di halaman 1dari 15

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Konflik merupakan suatu tingkah laku yang dibedakan dengan emosi-


emosi tertentu yang sering dihubungkan dengannya, misal kebencian atau
permusuhan. Konflik dapat terjadi pada lingkungan yang paling kecil yaitu individu
sampai kepada lingkup yang luas.
Tipe konflik ini timbul dari proses-proses yang tidak rasional dan
emosional dari pihak-pihak yang terlibat di dalamnya. Upaya untuk memecahkan
konflik selalu timbul selama berlangsungnya kehidupan suatu kelompok, namun
terdapat perbedaan-perbedaan di dalam sifat dan intensitas konflik pada berbagai
tahap perkembangan kelompok.
Usaha-usaha untuk menghindari perbedaan-perbedaan dan untuk
memendam konflik-konflik, tidak pernah berhasil dalam waktu yang lama.
Kesatupaduan di dalam perbedaan-perbedaan merupakan suatu nilai yang
menghargai perbedaan, yang menggunakan perbedaan-perbedaan tersebut untuk
memperkuat kelompok.

1.2. Rumusan Masalah

Sesuai dengan adanya latar belakang di atas maka dapat di ambil rumusan
masalah sebagai berikut

1. Bagaimanakah definisi dari konflik ?


2. Apa saja penyebab konflik dan bagaimana cara meneyelesaikannya ?
3. Bagaimanakah dampak dari konflik itu
4. Apa saja konflik yang terjadi di indonesia?
1.3. Tujuan Masalah

Adapun tujuan masalah pada penulisan makalah ini adalah sebagai berikut

1. Menjelaskan tetntang definisi konflik secara definitive.


2. Menjabarkan beberapa penyebab konflik dan metode penyelesaiannya.
3. Memberikan gambaran tetntang akibat dari konflik.
4. Untuk mengetahui konflik yang terjadi di indonesia
BAB II

PEMBAHASAN

2.1. Pengertian konflik

Konflik berasal dari kata kerja Latin configere yang berarti saling memukul.
Secara sosiologis, konflik diartikan sebagai suatu proses sosial antara dua orang
atau lebih (bisa juga kelompok) dimana salah satu pihak berusaha menyingkirkan
pihak lain dengan menghancurkannya atau membuatnya tidak berdaya.

Beberapa tokoh banyak pendapat tentang definisi konflik sosial. Diantaranya


adalah sebagai berikut

1. Menurut Taquiri dalam Newstorm dan Davis (1977), konflik merupakan warisan
kehidupan sosial yang boleh berlaku dalam berbagai keadaan akibat daripada
berbangkitnya keadaan ketidaksetujuan, kontroversi dan pertentangan di antara
dua pihak atau lebih pihak secara berterusan.
2. Menurut Gibson, et al (1997: 437), hubungan selain dapat menciptakan
kerjasama, hubungan saling tergantung dapat pula melahirkan konflik. Hal ini
terjadi jika masing – masing komponen organisasi memiliki kepentingan atau
tujuan sendiri – sendiri dan tidak bekerja sama satu sama lain.
3. Menurut Robbin (1996), keberadaan konflik dalam organisasi ditentukan oleh
persepsi individu atau kelompok. Jika mereka tidak menyadari adanya konflik
di dalam organisasi maka secara umum konflik tersebut dianggap tidak ada.
Sebaliknya, jika mereka mempersepsikan bahwa di dalam organisasi telah ada
konflik maka konflik tersebut telah menjadi kenyataan.
4. Dipandang sebagai perilaku, konflik merupakan bentuk minteraktif yang terjadi
pada tingkatan individual, interpersonal, kelompok atau pada tingkatan
organisasi (Muchlas, 1999). Konflik ini terutama pada tingkatan individual yang
sangat dekat hubungannya dengan stres.
5. Menurut Minnery (1985), Konflik organisasi merupakan interaksi antara dua
atau lebih pihak yang satu sama lain berhubungan dan saling tergantung, namun
terpisahkan oleh perbedaan tujuan.
6. Konflik dalam organisasi sering terjadi tidak simetris terjadi hanya satu pihak
yang sadar dan memberikan respon terhadap konflik tersebut. Atau, satu pihak
mempersepsikan adanya pihak lain yang telah atau akan menyerang secara
negatif (Robbins, 1993).
7. Konflik merupakan ekspresi pertikaian antara individu dengan individu lain,
kelompok dengan kelompok lain karena beberapa alasan. Dalam pandangan ini,
pertikaian menunjukkan adanya perbedaan antara dua atau lebih individu yang
diekspresikan, diingat, dan dialami (Pace & Faules, 1994:249).
8. Konflik dapat dirasakan, diketahui, diekspresikan melalui perilaku-perilaku
komunikasi (Folger & Poole: 1984).
9. Konflik senantisa berpusat pada beberapa penyebab utama, yakni tujuan yang
ingin dicapai, alokasi sumber – sumber yang dibagikan, keputusan yang diambil,
maupun perilaku setiap pihak yang terlibat (Myers,1982:234-237; Kreps,
1986:185; Stewart, 1993:341).
10. Interaksi yang disebut komunikasi antara individu yang satu dengan yang
lainnya, tak dapat disangkal akan menimbulkan konflik dalam level yang
berbeda – beda (Devito, 1995:381)

2.2. Faktor penyebab konflik


2.2.1. Perbedaan individu

Perbedaan individu yang meliputi perbedaan pendirian dan perasaan.


Setiap manusia adalah individu yang unik. Artinya, setiap orang memiliki pendirian
dan perasaan yang berbeda-beda satu dengan lainnya. Perbedaan pendirian dan
perasaan akan sesuatu hal atau lingkungan yang nyata ini dapat menjadi faktor
penyebab konflik sosial, sebab dalam menjalani hubungan sosial, seseorang tidak
selalu sejalan dengan kelompoknya.
Misalnya, ketika berlangsung pentas musik di lingkungan pemukiman, tentu
perasaan setiap warganya akan berbeda-beda. Ada yang merasa terganggu karena
berisik, tetapi ada pula yang merasa terhibur.
2.2.2. Perbedaan latar belakang kebudayaan

Perbedaan latar belakang kebudayaan sehingga membentuk pribadi-pribadi


yang berbeda.Seseorang sedikit banyak akan terpengaruh dengan pola-pola
pemikiran dan pendirian kelompoknya. Pemikiran dan pendirian yang berbeda itu
pada akhirnya akan menghasilkan perbedaan individu yang dapat memicu konflik.

2.2.3. Perbedaan kepentingan antara individu atau kelompok.

Manusia memiliki perasaan, pendirian maupun latar belakang kebudayaan


yang berbeda. Oleh sebab itu, dalam waktu yang bersamaan, masing-masing orang
atau kelompok memiliki kepentingan yang berbeda-beda. Kadang-kadang orang
dapat melakukan hal yang sama, tetapi untuk tujuan yang berbeda-beda.

2.2.4. Perubahan-perubahan nilai

Perubahan-perubahan nilai yang cepat dan mendadak dalam masyarakat.


Perubahan adalah sesuatu yang lazim dan wajar terjadi, tetapi jika perubahan itu
berlangsung cepat atau bahkan mendadak, perubahan tersebut dapat memicu
terjadinya konflik sosial.
Misalnya, pada masyarakat pedesaan yang mengalami proses industrialisasi
yang mendadak akan memunculkan konflik sosial sebab nilai-nilai lama pada
masyarakat tradisional yang biasanya bercorak pertanian secara cepat berubah
menjadi nilai-nilai masyarakat industri. Nilai-nilai yang berubah itu seperti nilai
kegotongroyongan berganti menjadi nilai kontrak kerja dengan upah yang
disesuaikan menurut jenis pekerjaannya.
Hubungan kekerabatan bergeser menjadi hubungan struktural yang disusun
dalam organisasi formal perusahaan. Nilai-nilai kebersamaan berubah menjadi
individualis dan nilai-nilai tentang pemanfaatan waktu yang cenderung tidak ketat
berubah menjadi pembagian waktu yang tegas seperti jadwal kerja dan istirahat
dalam dunia industry.

2.3. Metode Penyelesaian konflik sosial


Pendekatan penyelesaian konflik oleh pemimpin dikategorikan dalam dua
dimensi ialah kerjasama/tidak kerjasama dan tegas/tidak tegas. Dengan
menggunakan kedua macam dimensi tersebut ada 5 macam pendekatan
penyelesaian konflik ialah :

1. Kompetisi
Penyelesaian konflik yang menggambarkan satu pihak mengalahkan atau
mengorbankan yang lain. Penyelesaian bentuk kompetisi dikenal dengan istilah
win-lose orientation.
2. Akomodasi
Penyelesaian konflik yang menggambarkan kompetisi bayangan cermin yang
memberikan keseluruhannya penyelesaian pada pihak lain tanpa ada usaha
memperjuangkan tujuannya sendiri. Proses tersebut adalah taktik perdamaian.
3. Sharing
Suatu pendekatan penyelesaian kompromistis antara dominasi kelompok dan
kelompok damai. Satu pihak memberi dan yang lkain menerima sesuatu. Kedua
kelompok berpikiran moderat, tidak lengkap, tetapi memuaskan.
4. Kolaborasi
Bentuk usaha penyelesaian konflik yang memuaskan kedua belah pihak. Usaha
ini adalah pendekatan pemecahan problem (problem-solving approach) yang
memerlukan integrasi dari kedua pihak.
5. Penghindaran
Menyangkut ketidakpedulian dari kedua kelompok. Keadaaan ini
menggambarkan penarikan kepentingan atau mengacuhkan kepentingan
kelompok lain.

6. Tidak ekspresif
Bertindak ekspresif ketika ada sesuatu yang berbeda dengan kita, kadang,
menimbulkan terjadinya konflik antarsuku di Indonesia. Sebetulnya, jika kita
sudah mengenal, hal ini tdak akan terjadi. Oleh karena itu, ketika mereka
bertindak atau bertingkah laku tidak sama dengan kita, bahkan jauh berbeda,
kita tidak kaget lagi.

2.4. Konflik-Konflik Yang Terjadi Di Indonesia


2.4.1. Konflik Sosial Kasus Tegal Dan Cilacap

Konflik dapat bersifat tertutup (latent), dapat pula bersifat terbuka (manifest). Konflik
berlangsung sejalan dengan dinamika masyarakat. Hanya saja, terdapat katup-katup
sosial yang dapat menangkal konflik secara dini, sehingga tidak berkembang
meluas. Namun ada pula faktor-faktor di dalam masyarakat yang mudah menyulut
konflik menjadi berkobar sedemikian besar, sehingga memporak-porandakan
rumah, harta benda lain dan mungkin juga penghuni sistem sosial tersebut secara
keseluruhan.
Dalam suasana sistem sosial masyarakat Indonesia yang sangat rentan
terhadap berbagai gejolak ini,sedikit pemicu saja sudah cukup menyebabkan berbagai
konflik sosial. Konflik antar desa diTegal (Senin, 10 Juli 2000) dan konflik antar
kampung di Cilacap (Kamis, 6 Juli 2000) hanyalah merupakan contoh betapa hal-
hal yang bersifat sangat sederhana ternyata dapat menjadi penyulut timbulnya amuk
dan kerusuhan massa yang melibatkan bukan hanya pihak-pihak yang bertikai,
melainkan juga seluruh desa.
Desa-desa dan kampung-kampung di JawaTengah yang sudah sejak
puluhan dan bahkan ratusan tahun hidup dalam keharmonisan antar tetangga dan
antar desa tersebut dapat berubah total menjadi saling serang dan saling
menghancurkan rumah warga desa lain yang dianggap musuhnya. Pemerintah
sebagai penanggung jawab keamanan dan ketertiban dalam masyarakat sangat berperan
penting dalam menciptakan suasana harmonis antar berbagai kelompok dalam
masyarakat.
Namun,bila pengendalian sosial oleh pemerintah melalui perangkat-
perangkat hukumnya tidakberjalan, maka pengendalian sosial dalam bentuk lain
akan muncul dalam masyarakat.Sebagaimana berbagai kerusuhan massal yang
pernah terjadi sebelumnya, pemicu-pemicu tersebut bukanlah penyebab utama. Ini
hanyalah casus belli yang memunculkan konflik terpendam yang berakumulasi secara bertahap.
Penyebab utamanya mungkin baru dapatdiketahui setelah suatu kajian yang seksama dilakukan
dalam kurun waktu tertentu.
Dalam kaitan inilah, kajian singkat ini ingin diletakkan. Kajian yang ditulis
dalam laporan ini,mungkin saja mengalami perubahan dengan berlangsungnya waktu, yaitu
dengan semakin diketahuinya faktor-faktor lokal (indigenious factors). Meskipun
demikian, laporan initetap di dasarkan atas data sekunder terbatas dengan pendekatan yang
kritis.
Tujuan utama dari kajian singkat ini adalah untuk mengidentifikasi konflik,
mencari faktor pendorong, pemicu dan penyebab terjadinya konflik yang
dampaknya sangat merugikan,serta sebagai basis pembuatan peta daerah rawan konflik .
Metode Pendekatan Data yang digunakan sebagai dasar analisis adalah menggunakan
data sekunder dan berbagai berita dari berbagai sumber media massa. Meskipun demikian,
diupayakan dengan mencermati faktor-faktor setempat yang lebih dominan sebagai penyebab
utama (prima causa).

2.4.2. Konflik anak-anak yang putus sekolah dikarenakan membantu orang


tuanya

Banyak anak usia wajib belajar yang putus sekolah karena harus bekerja.
Kondisi itu harus menjadi perhatian pemerintah karena anak usia wajib belajar
mesti menyelesaikan pendidikan SD-SMP tanpa hambatan, termasuk persoalan
biaya. Berdasarkan data survei anak usia 10-17 tahun yang bekerja, seperti
dilaporkan oleh Badan Pusat Statistik pada 2013, tercatat sebanyak 2,8 juta anak
telah menjadi pekerja. Dari hasil studi tentang pekerja anak, ditemukan bahwa
anak-anak usia 9-15 tahun terlibat dengan berbagai jenis pekerjaan yang berakibat
buruk terhadap kesehatan fisik, mental-emosional, dan seksual.
Awalnya membantu orangtua, tetapi kemudian terjebak menjadi pekerja
permanen. Mereka sering bolos sekolah dan akhirnya putus sekolah.
Bagi anak-anak miskin, Bantuan Operasional Sekolah (BOS) saja belum
cukup. Pemerintah dan sekolah juga mesti memikirkan pemberian beasiswa
tambahan untuk pembelian seragam dan alat tulis, serta biaya transportasi dari
rumah ke sekolah agar anak-anak usia wajib belajar tidak terbebani dengan biaya
pendidikan.

2.4.3. Konflik Indonesia VS Malaysia

Terdengar suatu yang biasa namun sebagai warga Negara Kesatuan


Republik Indonesia pasti dapat merasakan suatu pemicu perang dingin yang dibuat
oleh Indonesia, semua berasal dari Malaysia. Mulai dari perebutan ambalat,
malaysia meng-klaim kesenian reog ponorogo sebagai kesenian asli malaysia,
malaysia memasukkan tari pendet dalam iklan pariwisatanya, penganiayaan dan
pembunuhan TKI, kasus manohara, dan pencurian sumber daya alam baik itu pulau
maupun lautan merupakan penyebab konflik kedua negara ini. Penghadangan dinas
kelautan yang baru kali ini terjadipun telah

2.4.4. Konflik Bentrok

Adanya bentrok di kampus Sekolah Tinggi Theologi Injil Arastamar


(SETIA) dengan masyarakat setempat hanya karena kesalahpahaman akibat
kecurigaan masyarakat setempat terhadap salah seorang mahasiswa SETIA yang
dituduh mencuri, dan ketika telah diusut Polisi tidak ditemukan bukti apapun.
Ditambah lagi adanya preman provokator yang melempari masjid dan masuk ke
asrama putri kampus tersebut. Dan bisa ditebak, akhirnya meluas ke arah agama,
ujung-ujungnya pemaksaan penutupan kampus tersebut oleh masyarakat sekitar
secara anarkis.

2.4.5. Konflik Perbedaan penetapan tanggal hari Idul Fitri, karena perbedaan
cara pandang masing – masing umat.

kemudian disusul dgn peristiwa penyerengan umat Kristen terhadap umat


Islam di Wailete Ambon pada tanggal 13 Desember 1998. Dan 2500 massa Kristen
di bawah pimpinan Herman Parino dgn bersenjata tajam dan panah meneror umat
Islam di Kota Poso Sulawesi Tengah pada tanggal 28 Desember 1998. Apakah
peristiwa ini realisasi dari pidato Jendral Leonardo Benny Murdani di Singapura
dan ceramah Mayjend. Theo Syafei di Kupang Nusa Tenggara Timur?
Tetapi yg jelas Presiden B.J. Habibie yg menurut L.B. Murdani lbh
berbahaya dari gabungan Khomaeni Saddam Husein dan

2.4.6. Konflik poso

Ada fakta sejarah yg sangat menarik bahwa gerakan kerusuhan yg dimotori


oleh umat Kristen di mulai pada awal Nopember 1998 di Ketapang Jakarta Pusat
dan pertengahan Nopember 1998 di Kupang Nusa Tenggara Timur kemudian
disusul dgn peristiwa penyerengan umat Kristen terhadap umat Islam di Wailete
Ambon pada tanggal 13 Desember 1998. Dan 2500 massa Kristen di bawah
pimpinan Herman Parino dgn bersenjata tajam dan panah meneror umat Islam di
Kota Poso Sulawesi Tengah pada tanggal 28 Desember 1998. Apakah peristiwa ini
realisasi dari pidato Jendral Leonardo Benny Murdani di Singapura dan ceramah
Mayjend. Theo Syafei di Kupang Nusa Tenggara Timur?
Tetapi yg jelas Presiden B.J. Habibie yg menurut L.B. Murdani lbh
berbahaya dari gabungan Khomaeni Saddam Husein dan Khadafi baru berkuasa 6
bulan saja sehingga perlu digoyang dan kalau perlu dijatuhkan. Apabila fakta-fakta
ini dikembangkan dgn lepasnya Timor-Timur dari Negara
Kesatuan Republik Indonesia Gerakan Papua Merdeka dan Gerakan Aceh
Merdeka serta tulisan Huntington 1992 setelah Uni Sovyet yg menyatakan bahwa
musuh yg paling berbahaya bagi Barat sekarang adalah umat Islam; dan tulisan
Jhon Naisbit dalam bukunya Megatrend yg menyatakan bahwa Indonesia akan
terpecah belah menjadi 28 negara kecil-kecil; maka dapat disimpulkan bahwa
peristiwa kerusuhan-kerusuhan tersebut adalah suatu rekayasa Barat-Kristen utk
menghancurkan umat Islam Indonesia penduduk mayoritas mutlak negeri ini.
Kehancuran umat Islam Indonesia berarti kehancuran bangsa Indonesia dan
kehancuran bangsa Indonesia berarti kehancuran/kemusnahan Negara Kesatuan
Republik Indonesia . Oleh karena itu penyelesaian kerusuhan/konflik Indonesia
khususnya Poso tidak sesederhana sebagaimana yg ditempuh oleh Pemerintah RI
selama ini sehingga tiga tahun konflik itu berlangsung tidak menunjukkan tanda-
tanda selesai malah memendam “bara api dalam sekam”. Hal ini bukan saja ada
strategi global di mana kekuatan asing turut bermain tetapi ada juga ikatan agama
yg sangat emosional turut berperan. Sebab agama menurut Prof. Tilich “Problem
of ultimate Concern” sehingga tiap orang pasti terlibat di mana obyektifitas dan
kejujuran sulit dapat diharapkan. Karenanya penyelesaian konflik Poso dgn dialog
dan rekonsiliasi bukan saja tidak menyelesaikan konflik tersebut sebagaimana
pernah ditempuh tetapi malah memberi peluang kepada masing-masing pihak yg
berseteru utk konsolidasi kemudian meledak kembali konflik tersebut dalam skala
yg lebih luas dan sadis. Konflik yg dilandasi kepentingan agama ditambah racun
dari luar apabila diselesaikan melalui rekonsiliasi seperti kata pribahasa bagaikan
membiarkan “bara dalam sekam” yg secara diam-diam tetapi pasti membakar
sekam tersebut habis musnah menjadi abu.
Pada tanggal 20 Agustus 2001 umat Islam yg sedang memetik cengkeh di
kebunnya di desa Lemoro Kecamatan Tojo Kabupaten Poso diserang oleh 50-60
orang umat Kristen yg berpakaian hitam-hitam membunuh dua orang Muslim dan
mengobrak-abrik rumah-rumah orang Islam. Pengungsi Laporan US Comitte of
Refugees tentang Indonesia yg diterbitkan Januari 2001 menyebutkan dalam
kerusuhan/konflik Poso yg terjadi selama tiga tahun belakangan ini pihak Muslim
telah menderita secara tidak seimbang. Dalam laporan itu disebutkan jumlah
pengungsi akibat konflik Poso kini sebanyak hampir 80.000 orang dan diperkirakan
60.000 orang adl Muslim.

2.4.7. Konflik tawuran antar pelajar

Konflik ini terjadi karena :

a. Dendam karena kekalahan dengan sekolah lain


Biasanya ini terjadi ketika adanya per tandingan bola antar sekolah. Dimana
tim sekolah yang satu kalah dengan sekolah yang lain. Hal ini menyebabkan adanya r asa
kecewa dan celakanya mereka ini biasanya melampiaskan rasa kekecewaan nya dengan
mengajak berkelahi tim sekolah lain tersebut. Hal ini tentunya merupakan bentuk ketidak
spor tifan pelajar dalam mengalami kekalahan.

b. Dendam akibat pemalakan dan perampasan


Apabila seorang siswa dari suatu sekolah menengah atas dipalak atau
dirampas uang dan hartanya, dia akan melapor kepada pentolan di sekolahnya.
Kemudian pentolan itu akan mengumpulkan siswa untuk menghampiri siswa dari
sekolah musuh ditempat dimana biasanya mer eka menunggu bis atau kendar aan
pulang. Apabila jumlah siswa dari sekolah musuh hanya sedikit, mereka akan balik
memalak atau merampas siswa sekolah musuh tersebut. Tetapi jika jumlah siswa
sekolah musuh tersebut seimbang atau lebih banyak, mereka akan melakukan
kontak fisik.

c. Dendam akibat rasa iri akibat tidak dapat menjadi siswa di SMA yang
diinginkan.
Ketika seorang siswa mendaftar masuk ke SMA negeri, tetapi ia malah
tidak diterima di sekolah tersebut. Dia akan masuk ke SMA lain bahkan ia bisa
bersekolah di SMA swasta yang kualitasnya lebih rendah. Disebabkan oleh dendam
pada sekolah yang dulu tidak menerimanya sebagai siswa, dia berusaha untuk
membuat siswa yang bersekolah di sekolah tersebut merasa tidak nyaman. Dia akan
memprofokasikan dan mencari-cari kesalahan sekolah tersebut agar akhirnya
terjadi kontak fisik.

2.4.8. Konflik Politik Pilkada dan Liberalisasi Politik

Salah satu implementasi dari Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004


tentang Pemerintahan Daerah adalah dilaksanakannya pemilihan kepala daerah
secara langsung. Konsep otonomi daerah yang dianut oleh Indonesia telah
memberikan kemungkinan bagi setiap daerah untuk melaksanakan pemilihan
kepala daerah dan menentukan pemerintahannya masing-masing.
Di satu sisi ruang pilkada ini merupakan liberalisasi politik yang bertujuan agar
efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan daerah perlu ditingkatkan
dengan lebih memperhatikan aspek-aspek hubungan antar susunan pemerintahan
dan antar pemerintahan daerah, potensi dan keanekaragaman daerah, peluang dan
tantangan persaingan global dengan memberikan kewenangan yang seluas-luasnya
kepada daerah disertai dengan pemberian hak dan kewajiban menyelenggarakan
otonomi daerah dalam kesatuan sistem penyelenggaraan pemerintahan negara.
Namun di sisi lain, pilkada ini justru menimbulkan polemik dan konflik yang cukup
rumit penyelesaiannya.
Terjadinya konflik dan polemik ini dinilai diakibatkan oleh ketidaksiapan
masyarakat Indonesia menghadapi liberalisasi politik mengingat watak masyarakat
yang pada umumnya masih bersifat primordial dan feodalistis. Ditambah lagi tidak
jelasnya peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar dari pilkada ini
sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum. Telah banyak konflik yang telah
terjadi di negeri ini, sebut saja konflik Pilkada Sulsel dan Maluku.
Merupakan suatu kepastian bahwa dalam setiap pertarungan politik,
khususnya di pilkada, akan banyak kepentingan yang bermain di dalamnya. Mulai
dari kepentingan borjuasi internasional, kepentingan borjuasi nasional, hingga
kepentingan rakyat (pekerja) tentunya. Sehingga konfilk bukan hal yang tabu lagi
untuk dijumpai. Di tulisan ini tidak akan dibahas mengenai persolan apa, siapa dan
bagaimana para kepentingan mengintervensi politik di pilkada sehingga
menimbulkan konflik. Tapi akan dibahas tentang bagaimana mengolah isu konflik
untuk menjadi suatu pembelajaran politik bagi rakyat untuk mengahadapi
pertarungan bebas di kancah pertarungan pilkada (liberalisasi politik).

BAB III

PENUTUP

3.1. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan sebelumnya dapat di ambil kesimpulan sebagai
berikut :
1. Dalam lingkungan bermasyarakat tentunya akan ada yang namanya konfik
karena ketidak samaan pemikiran individualisme yang satu dengan
indivvidualisme yang lain. Akan tapi dari ketidak samaan tersebut passti ada
penyebabya yang memungkinkan terjadinya konflik.
2. Konflik atau perselisihan maupun gesekan antara komunitas, suku, dan yang
lainya, sebenarnya dapat dihindari jika kita semua sebagai warga negara
yang baik, ikut berperan menjaga ketertiban dan keamanan negara dan
menghindari yang namanya perpecahan, atau konflik yang berkepanjangan.

3.2. Saran
Adapun saran yang inngin penulis sampaikan sebagai berikut :
1. Setiap warna negra berhak menjunjung tinggi hukum yang berkaidilan
2. Selalu menjaga keamanan, ketertiban dan saling menghargai dan
menghormati sesamanya
3. Menghargai dan menghormati kerukunan antar umat beragama, bersuku
dan berbudaya di lingkungan masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA

Din, Wahid. 2005. “PENYEBAB KONFLIK”. Media masyarak. Jakarta : icms

Nina M.Armando. 2014. SOSIOLOGI DASAR Vol. III. Jakarta: Ichtiar baru Van
Hoeve,

Nursam. 2013. MACAM-MACAM KONFLIK DI INDONESIA. Surabaya: IAIN


Sunan Ampel Press, Ibid, 285.

Yusuf, Din. 2015. “ILMU SOSIAL”. konflik sosial, Vol. III. Semarang: Ichtiar baru
Van Hoeve,

Anda mungkin juga menyukai