Anda di halaman 1dari 15

BAB I

PENDAHULUAN

A. PENDAHULUAN
Hak Asasi Manusia adalah hak yang menjadi milik setiap manusia sebagai
hak dasar atau pokok sejak lahir. Dalam undang undang tentang HAM disebutkan
bahwa ;
Hak asasi manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan
kebenaran manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan
anugerahNya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh Negara,
hokum, pemerintahan, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan
harkat dan martabat manusia.

10 Desember 1948 merupakan tanggal mulai berlakunya Deklarasi Universal

Hak Asasi Manusia (Universal Declaration of Human Rights) yang kini diperingati

sebagai Hari HAM sedunia. Sudah 71 tahun sejak berlakunya DUHAM namun masih

banyak polemik-polemik yang berkaitan dengan HAM, salah satunya tentang

multikulturalisme.

Negara multikultural rawan terjadi pelanggaran HAM, hal ini terkait


munculnya dua kelompok yaitu mayoritas kultural dan minoritas kultural. Kelompok
minoritas kultural cenderung dianggap sebelah mata dalam segala pengambilan
keputusan publik dan juga rentan terhadap penindasan yang dilakukan oleh kelompok
mayoritas kultural.Sedangkan jelas, prinsip-prinsip HAM dalam Hukum HAM
Internasional salah satunya yaitu prinsip kesetaraan dimana semua orang terlahir
bebas dan memiliki kesetaraan dalam HAM, serta prinsip diskriminasi dimana jika
semua orang setara, maka seharusnya tidak ada perlakuan diskriminatif.
Indonesia merupakan negara yang sangat kompleks, tidak hanya multietnis
(Jawa, Batak, Bugis, Aceh, Flores, Bali dst.), melainkan juga menjadi arena pengaruh
multimental (India, Cina, Belanda, Portugis, Hindhuisme, Buddhisme,
Konfusianisme, Islam, Kristen, Kapitalis, dst.).Menurut Clifford Geertz, “Indonesia
adalah sejumlah ‘bangsa’ dengan ukuran, makna dan karakter yang berbeda-beda
yang melalui sebuah narasi agung yang bersifat historis, ideologis, religious atau
semacam itu disambung-sambung menjadi sebuah struktur ekonomis dan politis
bersama”.Kemudian juga terlihat jelas dari semboyan Bhinneka Tunggal Ika (UUD
1945 Pasal 36A), bahwa Indonesia merupakan sebuah negara multikultural.
Bangsa seharusnya lebih dilihat sebagai civic nation daripada ethnic nation.
Jika bangsa lebih dilihat sebagai ethnic nation, akan muncul berbagai pelanggaran
HAM.Hal ini tampak misalnya dalam istilah “pri” (pribumi) dan “non-pri” (non-
pribumi) dalam Era Orde Baru. Disini imigran (orang Arab, Barat, dan khususnya
Cina) dan keturunannya meskipun sudah berstatus WNI, tetap dianggap ‘asing’ di
hadapan mayoritas pribumi. Diskriminiasi tersebut berkaca pada istilah pri dan non-
pri. Kerusuhan anti-Cina di Jakarta, Solo, Medan, konflik antar etnik Dayak dan
Madura di Kalimantan, konflik agama di Maluku, gerakan-gerakan separatisme di
Aceh dan Papua, protes-protes dari kaum Islam serta merebaknya tuntutan-tuntutan
untuk memerintah sendiri di berbagai daerah setelah tumbangnya rezim Orde Baru
merupakan fakta adanya problem poli-etnisitas pasa era itu.Lepasnya Timor Timur
merupakan pertanda awal dari akhir era kenaifan yang menilai homogenitas bangsa
yang pada nyatanya poli-etnis.
Sebagai contoh kejadian kerusuhan di bulan Oktober 2019 di Wamena yang
menelan korban para pendatang, dimana warga pribumi mengusir para pendatang dari
tanah Wamena. Rumah, tokoh, kantor pemerintah dibakar dan masih banyak lagi
pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi di Wamena.
Pemecahan kekerasan-kekerasan dan diskriminasi tersebut diatas perlu
ditangani dengan tepat terhadap kelompok-kelompok di dalam negeri multikultural
ini. Pertama, sikap negara terhadap kelompok-kelompok minoritas kultural.
Minoritas-minoritas agama atau etnis merupakan kelompok paling rentan terhadap
keputusan mayoritas. Perlu ‘perlindungan internal’ bagi mereka, yakni dengan
mendukung kesetaraan di antara kelompok-kelompok dengan mengurangi hal-hal
yang merugikan kelompok minoritas tersebut.Misalnya dengan diberikannya hari-hari
raya, bahasa, pendirian tempat ibadah, aturan-aturan birokratis dst. Hal tersebut diatas
sesuai dengan Pasal 28J ayat (2) UUD 1945 tentang HAM yang berbunyi, “Setiap
orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan
berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatis
itu”.1
Kedua, sikap negara terhadap kelompok-kelompok “illiberal”. Ada dua
macam kelompok disini: minoritas illiberal yang damai, yaitu yang menindas para
anggotanya demi solidaritas, namun tidak ingin menguasai kelompok-kelompok lain;
dan minoritas illiberal yang agresif-totaliter, yaitu yang menindas para anggotanya
demi solidaritas sekaligus ingin menguasai kelompok-kelompok lain, jika perlu
dengan melawan hukum nasional. Terhadap kelompok tipe yang kedua ini Negara
harus bersikap tegas dan bertindak demi law and order. Polisi dan aparat harus
dikerahkan untuk mencegah dan menindak setiap aksi kekerasan terhadap kelompok
minoritas. Kemudian pada tipe yang pertama, negara menurut Kymlicka tak boleh
bersikap paternalistis dengan mengintervensi mereka secara politis. Tapi negara juga
tidak boleh pasif terhadap ketidakadilan, sehingga harus menciptakan kondisi-kondisi
yang memungkinkan kelompok itu mereformasi diri dan membuka diri terhadap
pluralisme. 1
Kemudian terkait prinsip kesamaan di hadapan hukum karena semua warga
negara diperlakukan sama tanpa diskriminasi, prinsip ini sampai pada taraf tertentu
dapat berbalik menjadi ketidakadilan. Hal tersebut terjadi jika kekhasan dan
keberlainan dari individu-individu maupun kelompok-kelompok diabaikan. Dengan
diperlakukan sama, kelompok minoritas justru dapat merasa didiskriminasikan,
karena kesamaan itu menguntungkan mayoritas. Keadilan bisa berarti kesamaan,
tetapi kesamaan yang memuncak menjadi penyamaan tanpa batas akan bertentangan
dengan keadilan yang lain. Keadilan yang lain ini terdapat dalam sikap menghargai
keberlainan dan kekhasan.
Menggalang sikap saling pengertian antar suku dan agama tentu merupakan
masalah yang rumit, karena menyangkut tata nilai kultural, prasangka, dan lain-lain.
Tetapi langkah politis yang dilakukan pemerintah melalui kebijakan-kebijakannya
tentu merupakan langkah yang terpenting untuk mulai mengatasi masalah tersebut.
Negara hukum demokratis harus proaktif berjuang mengatasi masalah tersebut.
Salah satu solusi yang bias diterapkan oleh pemerintah adalah Pendidikan
multikultural, dimana pendidikan multukultural merupakan suatu pendekatan
progresif untuk melakukan transformasi pendidikan yang secara holistik memberikan
kritik dan menunjukkan kelemahan-kelemahan, kegagalan kegagalan dan
diskrimainasi di dunia pendidikan. Pendidikan multikultural sebagai instrumen
rekayasa sosial mendorong sekolah supaya dapat berperan dalam menanamkan
kesadaran dalam masyarakat multikultur dan mengembangkan sikap tenggang rasa
dan toleran utuk mewujudkan kebutuhan serta kemampuan bekerjasama dengan
segala perbedaan yang ada.
Makalah ini berusaha menunjukkan bahwa praktek pendidikan multikultural
di Indonesia dapat dilaksanakan secara fleksibel, tidak harus dalam bentuk mata
pelajaran yang terpisah atau monolitik. Pelaksanaan pendidikan multikultural
didasarkan atas lima dimensi: (1) integrasi konten, (2) proses penyusunan
pengetahuan, (3) mengurangi prasangka, (4) pedagogi setara, serta (5) budaya sekolah
dan struktur sekolah yang memberdayakan.
Secara rinci cita-cita nasional yang terkait dengan kegiatan pendidikan telah
dituangkan dalam Undang-Undang Sisdiknas No.20 Tahun 2003, bahwa tujuan
pendidikan nasional adalah untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi
manusia yang beriman dan bertkwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia,
sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga Negara yang demokraatis
serta bertanggung jawab.
Selanjutnya prinsip penyelenggaraan pendidikan secara jelas juga telah
diuraikan dalam Undang-Undang Sisdiknas tersebut, yaitu tercantum pada pasal 4,
bahwa : 1) Pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak
diskriminatif dengan mejunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai
cultural, dan kemajemukan bangsa, 2) Pendidikan diselenggarakan sebagai satu
kesatuan yang sistemik dengan system terbuka dan multimakna, 3) Pendidikan
diselenggarakan sebagai suatu proses pembudayaan dan pemberdayaan peserta didik
yang berlangsung sepanjang hayat, 4) Pendidikan diselenggarakan dengan member
keteladanan, membangun kemauan, dan mengembangkan kreativitas peserta didik
dalam proses pembelajaran, 5) Pendidikan diselenggarakan dengan mengembangkan
budaya membaca, menulis, dan berhitung bagi segenap warga masyarakat, 6)
Pendidikan diselenggarakan dengan memberdayakan semua komponen masyarakat
melalui peran serta dalam penyelenggaraan dan pengendalian mutu layanan
pendidikan.
Adapun fungsi pendidikan nasional sebagaimana tercantum pada pasal 3
disebutkan bahwa fungsi pendidikan nasional adalah mengembangkan kemampuan
dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka
mencerdaskan kehidupan bangsa. Selain itu, fungsi pendidikan juga dapat dilihat
dalam dua perspektif. Pertama, secara mikro ( sempit ), pendidikan berfungsi untuk
membantu secara sadar perkembangan jasmani dan rohani peserta didik.
Kedua, secara makro ( luas ), pendidikan berfungsi sebagai pengembangan
pribadi, pengembangan warga Negara, pengembangan kebudayaan dan
pengembangan bangsa. Dari paparan tentang tujuan, prinsip penyelenggaraan
maupun fungsi pendidikan sebagai mana tertuang dalam Undang-Undang Sisdiknas
No.20 Th.2003 sebenarnya sudah memberi gambaran ruang gerak yang representative
untuk terselenggaranya pendidikan nasional yang sesuai dengan latar belakang
budaya dan kebhinekaan bangsa Indonesia. Akan tetapi keberadaan suatu bangsa
tidak bisa dilepaskan dari dependensi bangsa lain. John Naisbit dan Alvin Tofler
member gambaran bahwa dunia saat ini terasa semakin sempit. Dunia merupakan
suatu kampung besar (global village).
Di era globalisasi dewasa ini kita tidak dapat melepaskan diri dari kehidupan
global. Gelombang demokrasi semakin terbuka yang dampaknya bukan saja
membawa nilai nilai positif dalam pengertian penghormatan terhadap hak-hak asasi
manusia ( HAM ) dan eksistensi kelompok masyarakat, tetapi juga mengandung
bahaya perpecahan suatu negara. Samuel P. Huntington dalam the Clash of
Civilization meramalkan akan terjadinya benturan antar peradaban. Benturan itu bisa
disebabkan oleh faktor : politik, social, budaya, ekonomi, ras, bahkan agama.2
Melihat fenomena tersebut, kegiatan pendidikan di Indonesia dituntut untuk
memiliki kepekaan menghadapi arus perputaran globalisasi. Pola doktrinasi
monokulturalisme yang dipaksakan selama reformasi perlu dievaluasi, karena telah
berimplikasi negative bagi rekonstruksi kebudayaan Indonesia yang multikultural.
Gelombang demokrasi menuntut pengakuan perbedaan dalam tubuh bangsa
Indonesia yang majemuk. Oleh sebab itu untuk membangun rasa persatuan dan
kesatuan serta rasa nasionalisme sekaligus menjawab beberapa problematika
kemajemukan seperti yang digambarkan di atas dibutuhkan langkah sistematis yang
dapat dijadikan sebagai sebuah gerakan nasional. Dalam makalah ini kami
mengangkat judul “ Hak Asasi Manusia sebagai akar Pendidikan Multikultural “
Pendidikan multikultural dapat dirumuskan sebagai wujud kesadaran tentang
keanekaragaman kultural, hak-hak asasi manusia serta pengurangan atau
penghapusan jenis prasangka atau prejudice untuk suatu kehidupan masyarakat yang
adil dan maju. Pendidikan multicultural juga dapat dijadikan instrument strategis
untuk mengembangkan kesadaran terhadap hak asasi manusia serta kebanggaan
seseorang terhadap bangsanya.
Melalui pendidikan multikultural kita dapat memberi seluruh siswa-tanpa
memandang status sosioekonomi; gender; orientasi seksual; atau latar belakang etnis,
ras atau budayakesempatan yang setara untuk belajar di sekolah. Pendidikan
multibudaya juga didasarkan pada kenyataan bahwa siswa tidak belajar dalam
kekosongan, budaya mereka memengaruhi mereka untuk belajar dengan cara tertentu
( Parkay dan Stanford, 2011 : 35 ).
BAB II
PEMBAHASAN

A. Hak Asasi Manusia


B. Pengertian Pendidikan Multikultural
Pendidikan multikultural adalah merupakan suatu gerakan pembaharuan dan
proses untuk menciptakan lingkungan pendidikan yang setara untuk seluruh siswa.
Sebagai sebuah gerakan pembaharuan, istilah pendidikan multikultural masih
dipandang asing bagi masyarakat umum, bahkan penafsiran terhadap definisi maupun
pengertian pendidikan multikultural juga masih diperdebatkan di kalangan pakar
pendidikan Seperti pendapat Andersen dan Cusher (1994 ) sebagaimana dikutip
Mahfud (2008), bahwa pendidikan multikultural diartikan sebagai pendidikan
mengenai keragaman kebudayaan. Sedangkan Hernandez ( 1989 ), mengartikan
pendidikan multikultural sebagai perspektif yang mengakui realitas sosial, politik,
dan ekonomi yang dialami oleh masing-masing individu dalam pertemuan manusia
yang kompleks dan beragam secara kultur, dan merefleksikan pentingnya budaya, ras,
seksualitas dan gender, etnisitas, agama, status social, ekonomi, dan pengecualian-
pengecualian dalam proses pendidikan.
Ahli lain, Sleeter dan Grant ( 2007, 2009 ) dan Smith ( 1998 ) sebagaimana
dikutip Zamroni ( 2011 ) mendefinisikan pendidikan multikultural sebagai suatu
pendekatan progresif untuk melakukan transformasi pendidikan yang secara holistik
memberikan kritik dan menunjukkan kelemahan-kelemahan, kegagalankegagalan dan
diskriminasi yang terjadi di dunia pendidikan ( Zamroni, 2011: 144 )
Sebagai suatu gerakan pembaharuan dan proses untuk menciptakan
lingkungan pendidikan yang setara untuk seluruh siswa, pendidikan multikultural
memiliki prinsipprinsip sebagai berikut.
Prinsip pertama: pendidikan multikultural adalah gerakan politik yang
bertujuan menjamin keadilan sosial bagi seluruh warga masyarakat tanpa memandang
latar belakang yang ada. Prinsip kedua : pendidikan multikultural mengandung dua
dimensi: pembelajaran (kelas) dan kelembagaan (sekolah) dan antara keduaanya tidak
bisa dipisahkan, tetapi justru harus ditangani lewat reformasi yang komprehensif.
Prinsip ketiga : pendidikan multikultural menekankan reformasi pendidikan yang
komprehensif dapat dicapai hanya lewat analisis kritis atas sistem kekuasaan dan
privileges untuk dapat dilakukan reformasi komprehensif dalam pendidikan. Prinsip
keempat : berdasarkan analisis kritis ini, maka tujuan pendidikan multicultural adalah
menyediakan bagi setiap siswa jaminan memperoleh kesempatan guna mencapai
prestasi maksimal sesuai dengan kemampuan yang dimiliki. Prinsip kelima :
pendidikan multikultural adalah pendidikan yang baik untuk seluruh siswa, tanpa
memandang latar belakangnya.
Konsep multikulturalisme menekankan pentingnya memandang dunia dari
bingkai referensi budaya yang berbeda, dan mengenali serta manghargai kekayaan
ragam budaya di dalam Negara dan di dalam komunitas global. Multikulturakisme
menegaskan perlunya menciptakan sekolah di mana berbagai perbedaan yang
berkaitan dengan ras, etnis, gender, orientasi seksual, keterbatasan, dan kelas sosial
diakui dan seluruh siswa dipandang sebagai sumber yang berharga untuk
memperkaya proses belajar mengajar.
Proses belajar mengajar atau proses pembelajaran merupakan suatu proses
yang rumit dan kompleks, karena tidak semua factor yang terlibat bisa dikendalikan
oleh guru. Dalam analisisnya, Maurianne Adams and Barbara J. Love (2006).
Menyebutkan bahwa ada empat faktor yang terdapat dalam proses pembelajaran,
yaitu : 1). Faktor bawaan siswa, 2) faktor bawaan guru, 3) faktor pedagogy, dan 4)
faktor isi kurikulum.
Faktor-faktor dalam pembelajaran tersebut dapat digambarkan dapat
digambarkan sebagai berikut.
Bawaan siswa

Bawaan guru pedagogy

kurikulum

Gambar 1 : Faktor-faktor dalam pembelajaran


Faktor pertama; guru, ketika guru memasuki suatu kelas, sudah memiliki
bawaan sendiri-sendiri, ada yang bersifat umum dan ada yang bersifat sangat pribadi.
Kedua; siswa, demikian pula siswa juga memiliki bawaan sendiri-sendiri, ada yang
bersifat umum dan ada yang bersifat sangat pribadi. Ketiga; kurikulum, bisa
dipersepsi dan memiliki dampak berbeda untuk setiap individu siswa. Keempat;
pedagogy, di tangan guru berbeda bisa memiliki makna dan dampak yang berbeda
pula. Keempat faktor tersebut harus diramu oleh seorang guru dalam suatu proses.
Kegagalan dalam proses meramu guru menyebabkan siswa dengan status
social ekonomi rendah tidak dapat mengikuti pembelajaran sebagaimana mereka
siswa yang datang dari kelompok sosial ekonomi tinggi. Demikian pula halnya bagi
siswa yang memiliki latar belakang budaya yang berbeda akan gagal beradaptasi
dalam proses pembelajarannya.
Pendidikan multikultural merupakan suatu proses transformasi yang
tentunya membutuhkan waktu panjang untuk mencapai maksud dan tujuannya.
Menurut Zamroni (2011) disebutkan beberapa tujuan yang akan dikembangkan pada
diri siswa dalam proses pendidikan multikultural, yaitu :
1. Siswa memiliki kemampuan berpikir kritis atas apa yang telah dipelajari.
2. Siswa memiliki kesadaran atas sifat sakwasangka atas pihak lain yang dimiliki,
dan mengkaji mengapa dan dari mana sifat itu muncul, serta terus mengkaji
bagaimana cara menghilangkannya
3. Siswa memahami bahwa setiap ilmu pengetahuan bagaikan sebuah pisau bermata
dua: dapat dipergunakan untuk menindas atau meningkatkan keadilan sosial.
4. Para siswa memahami bagaimana mengaplikasikan ilmu pengetahuan yang
dimiliki dalam kehidupan.
5. Siswa merasa terdorong untuk terus belajar guna mengembangkan ilmu
pengetahuan yang dikuasainya.
6. Siswa memiliki cita-cita posisi apa yang akan dicapai sejalan dengan apa yang
dipelajari.
7. Siswa dapat memahami keterkaitan apa yang dilakukan dengan berbagai
permasalahan dalam kehidupan masyarakat-berbangsa.
Menurut James A. Banks ( 2002 : 14 ), pendidikan multikultural adalah cara
memandang realitas dan cara berpikir, dan bukan hanya konten tentang beragam kelompok
etnis, ras, dan budaya. Secara spesifik, Banks menyatakan bahwa pendidikan multikultural
dapat dikonsepsikan atas lima dimensi, yaitu:
1. Integrasi konten ; pemaduan konten menangani sejauh mana guru menggunakan contoh
dan konten dari beragam budaya dan kelompok untuk menggambarkan konsep, prinsip,
generalisasi serta teori utama dalam bidang mata pelajaran atau disiplin mereka.
2. Proses penyusunan pengetahuan; sesuatu yang berhubungan dengan sejauh mana guru
membantu siswa paham, menyelidiki, dan untuk menentukan bagaimana asumsi budaya
yang tersirat, kerangka acuan, perspektif dan prasangka di dalam disiplin mempengaruhi
cara pengetahuan disusun di dalamnya.
3. Mengurangi prasangka; dimensi ini focus pada karakteristik dari sikap rasial siswa dan
bagaimana sikap tersebut dapat diubah dengan metode dan mater pengajaran.
4. Pedagogi kesetaraan; pedagogi kesetaraan ada ketika guru mengubah pengajaran mereka
ke cara yang akan memfasilitasi prestasi akademis dari siswa dari berbagai kelompok ras,
budaya, dan kelas sosial. Termasuk dalam pedagogi ini adalah penggunaan beragam gaya
mengajar yang konsisten dengan banyaknya gaya belajar di dalam berbagai kelompok
budaya dan ras.
5. Budaya sekolah dan struktur sekolah yang memberdayakan ; praktik pengelompokan dan
penamaan partisipasi olah raga, prestasi yang tidak proporsional, dan interaksi staf, dan
siswa antar etnis dan ras adalah beberapa dari komponen budaya sekolah yang harus
diteliti untuk menciptakan budaya sekolah yang memberdayakan siswa dari beragam
kelompok, ras, etnis dan budaya.
Untuk itu, para guru yang memberikan pendidikan multibudaya harus memiliki
keyakinan bahwa; perbedaan budaya memiliki kekuatan dan nilai, sekolah harus menjadi
teladan untuk ekspresi hak-hak manusia dan penghargaan untuk perbedaan budaya dan
kelompok, keadilan dan kesetaraan sosial harus menjadi kepentingan utama dalam
kurikulum, sekolah dapat menyediakan pengetahuan, keterampilan, dan karakter ( yaitu nilai,
sikap, dan komitmen ) untuk membantu siswa dari berbagai latar belakang, sekolah bersama
keluarga dan komunitas dapat menciptakan lingkungan yang mendukung multibudaya.
Dari paparan tersebut mengindikasikan bahwa pendidikan multikultural
menjadi sesuatu yang sangat penting dan mendesak untuk di implementasikan dalam
praksis pendidikan di Indonesia. Karena pendidikan multikultural dapat berfungsi
sebagai sarana alternative pemecahan konflik. Melalui pembelajaran yang berbasis
multikultur, siswa diharapkan tidak tercerabut dari akar budayanya, dan rupanya
diakui atau tidak pendidikan multikultural sangat relevan di praktekkan di alam
demokrasi seperti saat ini.
C. Hubungan antara multikulturalisme dan penegakan HAM
Pendidikan multikulturalisme dan HAM belum sepenuhnya dipahamioleh
segenap warga masyarakat sebagai sesuatu pemberian atau takdir Allah SWT, dan
bukan faktor bentukan manusia. Manusia lahir dalam keadaan berbeda baik fisik
maupun non fisik, tidaklah secara otomatis membentuk penerimaan akan perbedaan
tersebut dengan persamaan manusia. Untuk menerima perbedaan nalar kolektif
masyarakat belum menerima realitas bahwa setiap individu atau kelompok tertentu
memiliki system keyakinan, budaya, adat,agama dan tata cara ibadah yang berbeda.
Begitu pula untuk menerima persamaan hak asasi manusia,nalar kolektif mereka
masih tertutup dengan latar belakang pebedaan kultural.Nalar mereka masih penuh
prasangka, kecurigaan, bias, kebencian dan reduksi terhadap kelompok yang berada
diluar dirinya. Ikatan ikatan social melalui kolectivitas dan kerja sama hanya berlaku
di dalam kelompoknya sendiri, tidak berlaku didalam kelompok lain.17
Dalam masyarakat heterogen, konflik konflik social atau individu yangterjadi
dapat berakibat pada pelanggaran HAM. Pelanggaran HAM yang sesungguhnya
merupakan problem antar individu dapat berubah menjadi masif dan anarkis antar
suku, agama dan golongan. Menurut penulis konflik multikultural terjadi karena
didahului pelanggaran HAM yang dilakukan oleh individu maupun institusi seperti
kasus penghinaan, pencurian, pemaksaan, kesenjangan,diskriminasi, persengketaan,
dan ketimpangan kebijakan public. Kasus kasus tersebut dapat menimbulkan konflik
antar suku. Agama dan lain sebagainya.
Multikulturalisme dan penegakan HAM merupakan dua hal yang saling
terkait dalam soal konflik multikultural
D. HAM sebagai akar atau basic pendidikan Multikultural
Untuk mewujudkan hubungan yang saling mendukung antara pendidikan
multikultural dan HAM diperlukan program penyelarasan seperti pendidikan multi
kultural berbasic penegakan HAM. Program program prioritas pendidikan
multikultural berbasic penegakan HAM dapat diarahkan pada tiga prinsip yaitu :24
1. Pendidikan Multikultural didasarkan pada kesamaan hak-hak manusia yang harus
dihormati dan dilindungi.
2. Pendidikan kultural ditujukan pada terwujudnya manusia yang cerdas dan
menghormati hak asasi manusia apapun ragam budayanya.
3. Pendidikan multikultural memanfaatkan globalisasi (politik,ekonomi dan budaya).

BAB III
KESIMPULAN
Dari paparan di atas, dapat ditarik beberapa kesimpulan bahwa :
1. Hak asasi Manusia sebagai akar pendidikan multikultural penting sebagai dasar
pengembangan pendidikan di Indonesia walaupun Pendidikan multikultural di
Indonesia masih menjadi wacana baru yang perlu direspon untuk menjaga
keutuhan bangsa yang kaya akan multi kultur.
2. Pendidikan multikultural sebagai salah satu solusi dalam penyelesaian konflik
serta merupakan alternative penting untuk melindungi setiap hak asasi manusia
dari individu, lembaga, bahkan Negara.
3. Pendidikan multikultural merupakan wujud kesadaran tentang keanekaragaman
kultural, hak-hak asasi manusia serta pengurangan atau penghapusan jenis
prasangka atau prejudice untuk suatu kehidupan masyarakat yang adil dan maju.
4. Pendidikan multikultural juga dapat dijadikan instrumen strategis untuk
mengembangkan kesadaran atas kebanggaan seseorang terhadap bangsanya.
5. Dalam menghadapi pluralisme budaya, diperlukan paradigma baru yang lebih
toleran dan elegan untuk mencegah dan memecahkan masalah benturan-benturan
budaya tersebut, yaitu perlunya dilaksanakan pendidikan multikultural. Oleh
karenanya praktek pendidikan multikultural di Indonesia dapat dilaksanakan secara
fleksibel dengan mengutamakan prinsip-prinsip dasar multikultural.
6. Pendidikan multikultural juga sangat relevan dengan pendidikan demokrasi di
masyarakat plural seperti Indonesia, yang menekankan pada pemahaman akan
multi etnis, multi ras, dan multikultur yang memerlukan konstruksi baru atas
keadilan, kesetaraan dan masyarakat yang demoktrati

Anda mungkin juga menyukai