Anda di halaman 1dari 43

PERILAKU MENYIMPANG MUSISI JALANAN ALUN-ALUN SELATAN

YOGYAKARTA

PROPOSAL SKRIPSI

Diajukan Kepada Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Yogyakarta Untuk


Memenuhi Sebagian Persyaratan Guna Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan

Oleh :
Agusti Randi
15413241032

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SOSIOLOGI

FAKULTAS ILMU SOSIAL

UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA

AGUSTUS 2019
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Provinsi Daerah istimewa Yogyakarta merupakan destinasi tujuan

wisatawan lokal maupun asing dan tujuan wisata kedua setelah bali di

Indonesia. Berbagai daya tarik wisata terdapat di provinsi ini baik itu alam,

budaya dan minat khusus. Pariwisata bagi DIY sudah merupakan sebuah

denyut nadi kehidupan masyarakat dan sebagai sumber mata pencaharian.

Objek wisata alam, bangunan bersejarah, dan tempat tempat wisata lainnya

yang ada di provinsi ini sudah mengalami kemajuan sehingga dapat

mengimbangi wisata budaya yang ada. (Albertus, 2016).

Menurut Haryanti 2008 dalam (Albertus, 2016) ruang terbuka publik adalah

ruang tidak terbangun kota yang berfungsi untuk meningkatkan kualitas

estetika, lingkungan, dan kesejahteraan warganya Dalam arsitektur Jawa

dikenal alun-alun sebagai salah satu ruang terbuka kota. Alun-alun merupakan

ruang terbuka yang luas dibagian wilayah Kraton, yang terbentuk dari

konfigurasi massa bangunan-bangunan di lingkungan Kraton. Hal ini

menunjukkan bahwa alun-alun merupakan tempat berkumpulnya manusia dari

berbagai golongan (raja dan rakyatnya). Dahulu alun-alun digunakan sebagai

tempat-tempat berlangsungnya upacara kenegaraan, sehingga alun-alun

memiliki makna spiritual. Alun-alun sebagian masyarakat yang ada di


Indonesia ini banyak dimanfaatkan sebagai alternatif hiburan. Dengan kata lain

alun-alun telah menjelma sebagai tempat hiburan bagi masyarakat, tempat

bercengkerama bagi keluarga hingga tempat bagi muda-mudi menghabiskan

waktu (hang out).

Alun-alun selatan (Alkid) Yogyakarta merupakan tanah lapang dibelakang

Kraton berukuran 160x160 meter. Alun-alun selatan mengondisikan tata ruang

Kraton agar tidak membelakangai arah laut Selatan. Berbeda dengan Alun-alun

utara, di Alun-alun selatan tidak ada kegiatan ritual yang khas pada awalnya.

Alun-alun selatan pada gunanya digunakan sebagai tempat latihan baris

prajurit Kraton dan latihan perang. Latihan baris biasanya dilakukan sehari

sebelum Grebeg. Sampai sekarang aktivitas ini masih dilakukan. Aktivitas

budaya lainnya adalah sebagai tempat sowan abdi dalem saat bulan puasa.

Beberapa aktivitas lain yang pernah diadakan di Alun-alun selatan yang kini

tidak ada lagi antara lain sebagai tempat latihan memanah baik untuk prajurit

atau keluarga Kraton. Alun-alun selatan juga pernah dipakai sebagai tempat

adu harimau melawan kerbau. Atraksi ini dianggap penting pada awal kraton

berdiri dan merupakan salah satu upacara adat tertinggi kraton. Sejak

menjelang tahun 2000 gajahan (kandang gajah yang terletak di sisi barat alun-

alun selatan) diaktifkan lagi. Selain untuk untuk atraksi wisata Kraton,

keberadaan gajahan ini justru menjadi awal pekembangan ruang publik.

Munculnya masalah pemeliharaan dan tidak terkontrolnya alun-alun

mengakibatkan gajahan tidak diaktifkan lagi sejak tahun 2010, namun hal ini

tidak menghentikan kegiatan kreatif alun-alun selatan. Para pelaku usaha tetap
bertahan. Kegiatan ritual masangin (berjalan menembus di antara dua pohon

beringin), kuliner lesehan serta dihibur oleh musisi jalanan dan kereta lampu

(odong-odong) menjadikan suasana malam di alun-alun selatan berkembang

menjadi ruang publik melebihi ramainya alun-alun utara. Hal ini menarik

mengingat alun-alun sebenarnya adalah halaman pribadi istana milik raja,

bukan milik publik. (Lavina, 2018).

Mengenai Alun-alun Selatan Yogyakarta sendiri tidak lepas dari adanya

musisi jalanan. Seorang musisi bisa berkarya kapanpun tanpa ada batas ruang

dan waktu. Musisi berkarya ditempat yang berbeda-beda, ada yang berkarya di

studio, dipanggung hiburan, dan bahkan sampai dijalanan. Tetapi tidak semua

musisi mampu memiliki untuk berkarya karena keterbatasan yang mereka

miliki. Musisi yang yang hidup berkesenian dijalanan (ruang publik) biasa

dikenal dengan musisi jalanan yang dikenal begitu keras dan jauh dari

perhatian masyarakat justru memunculkan banyak musisi yang mampu

menghasilkan karya yang luar biasa. Musisi jalanan sanggup membuat karya

yang indah dari kesederhanaan yang mereka miliki. Bagi mereka, berkesenian

adalah sarana untuk mengekspresikan diri mereka mampu berkembang karena

bebas mengekspresikan karyanya. Beberapa musisi jalanan bisa mencapai

sukses komersial sebagai musisi besar berdasarkan latar belakang seni jalanan

mereka sebelumnya, tetapi tidak sedikit dari mereka yang sangat kesulitan

mencari nafkah sebagai musisi jalanan. Jalanan memang begitu keras, sama

seperti kehidupan yang mereka jalani saat ini.


Para musisi jalanan menghadapi kehidupan yang sulit dan keras. Bukan saja

persoalan ekonomi, tetapi para musisi jalanan mempertahankan seni budaya

bangsa. Mereka mempunyai kesulitan ekonomi yang berbeda. Ketika

kebutuhan bahan pokok melonjak, disisi lain pendapatan ekonomi para musisi

jalanan tidak menentu, mereka harus bekerja keras. Begitu pula dengan para

musisi jalanan yang berada di Alun-alun Selatan Yogyakarta. Fenomena

banyaknya musisi jalanan di Alun-alun Selatan Yogyakarta merupakan suatu

persoalan sosial, musisi jalanan yang berada di area ALKID mayoritas

merupakan warga asli Yogyakarta dan minoritas untuk pengamen pendatang

atau pengamen yang berasal dari luar Jogja. Musisi jalanan memiliki dampak

postif dan negatif masyarakat terhadap pengamen karena seringnya berperilaku

menyimpang.

Setiap perilaku yang tidak sesuai dengan norma akan disebut sevagai

perilaku menyimpang dan setiap perilaku yang melakukan penyimpangan akan

digambarkan sebagai penyimpangan (deviant). Secara sosiologis

penyimpangan terjadi karena seseorang memainkan peranan sosial yang

menujukkan perilaku menyimpang. Cara orang memanikan peran sosial

menyimpang membentuk proses menjadi penyimpangan. Penyimpangan ini

dapat dinilai dengan memahami cara seseorang mengadaptasi peran

menyimpang dan perlu diteliti keadaan sosial manusia yang mencakup

identifikasi diri para penyimpang dan sosialisasinya. (Sinta,2013).

Menurut M.Z Lawang, perilaku menyimpang adalah semua tindakan yang

menyimpang dari norma yang berlaku dalam sistem sosial yng menimbulkan
usaha dari mereka yang berwenang dalam sistem tersebut untuk memperbaiki

perilaku menyimpang(Jamaludin, 2016). Penyimpangan dapat dibedakan

menjadi dua macam, yaitu penyimpangan primer dan penyimpangan sekunder.

Penyimpangan primer adalah bentuk perilaku menyimpang yang bersifat

sementara dan tidak dilakukan secara terus menerus sehingga dapat ditolerir

masyarakat, seperti melanggar lalu lintas, buang sampah sembarangan, dan lain

lain. Adapun penyimpangan sekunder adalah perilaku menyimpang yang tidak

mendapat toleransi dari masyarakat dan umumnya dilakukan berulang-ulang,

seperti merampok, menjambret, memakai narkoba, menjadi pelacur, tawuran,

dan lain lain.Menurut Kamanto Sunarto, 2006:78 dalam buku (Jamaludin,

2016).

Banyaknya kasus-kasus yang dilakukan oleh seorang musisi jalanan atau

pengamen yang ada di Yogyakarta sehingga membuat banyak pengunjung atau

wisatawan resah adanya pengamen, dan juga banyaknya kasus yang telah

ditindaklanjuti oleh aparat terhadap pengamen yang sering membuat onar di

kota Yogyakarta. Banyaknya aduan dari para pengunjung pada aparat setempat

atas perilaku yang menyimpang terhadap pengamen membuat pandangan

masyarakat kepada musisi jalanan atau pengamen yang ada di kota Yogyakarta

menjadi negatif(Priambodo & Rahmayunita, 2018).

Dari fenomena tersebut membuat peneliti tertarik untuk melakukan

penelitian tentang perilaku menyimpang musisi jalanan karena peneliti ingin

mengetahui lebih dalam mengenai bentuk-bentuk perilaku menyimpang musisi

jalanan dan solusi pihak keamanan Alun-alun selatan Yogyakarta. Peneliti


memilih Alun-alun selatan Yogyakarta karena disini peneliti juga menjadi

partisipan aktif dan langsung terjun ke lapangan, alasan peneliti memilih Alkid

ialah banyaknya musisi jalanan yang berada di alun-alun Selatan dan lokasi

penelitian letaknya tidak jauh dari rumah peneliti, dengan ini peneliti tertarik

untuk melakukan penelitian tentang perilaku menyimpang musisi jalanan yang

berjudul “Perilaku Menyimpang Musisi Jalanan Alun-alun Selatan

Yogyakarta”.

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, dapat di identifikasikan berbagai

masalah pada musisi jalanan yang ada di Yogyakarta antara lain:

1. Alun-alun Selatan Yogyakarta merupakan salah satu tempat wisata yang

ramai dikunjungi para wisatawan. Ramainya pengunjung yang datang

membuat musisi jalanan mencari nafkah di area Alun-alun Selatan

Yogyakarta.

2. Kurangnya pengawasan dan keamanan membuat banyaknya musisi

jalanan atau pengamen melakukan perilaku menyimpang.

3. Banyaknya perilaku menyimpang yang dilakukan para musisi jalanan

atau pengamen membuat keamanan setempat menindak lanjuti kasus

tersebut.

4. Upaya-upaya penindaklanjutan yang dilakukan pihak keamanan

terhadap musisi jalanan yang menyimpang.


C. Batasan Masalah

Permasalahan dalam penelitian ini akan dibatasi untuk menjaga kualitas dan

fokus penelitian yang dilakukan agar tetap konsisten dalam kajian yang jelas.

Berdasarkan pada identifikasi masalah di atas, maka peneliti membatasi

permasalahan yang menjadi fokus penelitian yang mengkaji tentang perilaku

menyimpang musisi jalanan di Alun-alun Selatan Yogyakarta, mengenai

bentuk perilaku menyimpang dan solusi apa sajakah yang dilakukan oleh pihak

keamanan setempat kepada musisi jalanan atau pengamen yang berperilaku

menyimpang di Alun-alun Selatan Yogyakarta.

D. Rumusan masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas maka rumusan masalah dari

penelitian ini yaitu:

1. Apa saja bentuk perilaku menyimpang yang dilakukan pengamen atau

musisi jalanan di Alun-alun Selatan Yogyakarta?

2. Bagaimana solusi pihak keamanan atau aparat setempat kepada

pengamen yang berperilaku menyimpang?

E. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan yang ingin di capai dari

penelitian ini yaitu :

1. Untuk mengetahui bentuk perilaku menyimpang musisi jalanan atau

pengamen yang ada di Alun-alun Selatan Yogyakarta.

2. Untuk mengetahui solusi yang dilakukan aparat terhadap perilaku

menyimpang di Alun-alun Selatan Yogyakarta.


F. Manfaat penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat yaitu sebagai

berikut:

1. Manfaat Secara Teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dan menambah

referensi bagi keilmuan sosiologi. Penelitian ini diharapkan dapat dijadikan

referensi bagi penelitian yang relevan di masa yang akan datang.

2. Manfaat Secara Praktis

a. Bagi peneliti

Hasil penelitian ini dapat menjadi pengalaman secara pribadi dan

nyata sehingga harapannya akan memberikan pemahaman dan kontribusi

dalam menganalisis permasalahan yang ada dalam masyarakat terutama

terkait kajian perilaku menyimpang.

b. Bagi Universitas Negeri Yogyakarta

Penelitian ini dapat dijadikan referensi atau acuan untuk menambah

referensi atau acuan dalam kajian perilaku menyimpang.

c. Bagi Mahasiswa

Hasil penelitian ini diharapkan dapat dipergunakan untuk

menambah wawasan dan sebagai referensi untuk melakukan kajian serta

penelitian lebih lanjut tentang kajian perilaku menyimpang.


d. Bagi Masyarakat

Hasil penelitian ini dapat memberikan gambaran dan informasi

untuk masyarakat mengenai perilaku menyimpang musisi jalanan atau

pengamen di Alun-alun Selatan Yogyakarta


BAB II

KAJIAN PUSTAKA DAN KAJIAN TEORI

A. Kajian Pustaka dan Teori

1. Perilaku Menyimpang

Menurut Clinard & Meier, 1989 dalam buku J Dwi Narwoko-Bagong

Suyanto (2007).Perilaku menyimpang adalah perilaku dari para warga

masyarakat yang dianggap tidak sesuai dengan kebiasaan, tata aturan atau

norma sosial yang berlaku. Secara sederhana memang dapat dikatakan,

bahwa seseorang dapat berperilaku menyimpang apabila menurut anggapan

sebagian besar masyarakat (minimal di suatu kelompok atau komunitas

tertentu) perilaku atau tindakan tersebut diluar kebiasaan, adat istiadat,

aturan, nilai-nilai, atau norma sosial yang berlaku.

Menurut Soerjono Soekanto dalam Jamaludin (2016). Perilaku

menyimpang disebut sebagai salah satu penyakit masyarakat atau penyakit

sosial. Adapun penyakit sosial atau penyakit masyarakat adalah segala

bentuk tingkah laku yang dianggap tidak sesuai, melanggar norma umum,

adat istiadat, hukum formal, atau tidak dapat di integrasikan dalam pola

tingkah laku umum. Disebut penyakit masyarakat kerena gejala sosialnya

yang terjadi di tengah masyarakat itu meletus menjadi “penyakit”. Dapat

disebut pula sebagai struktur sosial yang terganggu fungsinya.Semua

tingkah laku yang sakit secara sosial merupakan penyimpangan sosial yang

sukar di organisasikan, diatur dan ditertibkan sebab para pelakunya

menggunakan pemecahan sendiri yang tidak umum, luar biasa, atau


abnormal. Pada umumnya mereka mengikuti kemauan dan cara sendiri

demi kepentingan pribadi. Oleh karena itu, deviasi tingkah laku tersebut

dapat mengganggu dan merugikan subjek pelaku dan/atau masyarakat luas.

Deviasi tingkah laku ini juga merupakan gejala yang menyimpang dari

tendensi sentral atau menyimpang dari ciri-ciri umum rakyat kebanyakan.

Dalam studi tentang penyimpangan terdapat perbedaan pendapat dalam

menentukan perilaku dan jenis perilaku atau kondisi yang dianggap

menyimpang. Kebanyakan orang baru dapat menentukan penyimpangan

jika mereka melihatnya. Misalnya bunuh diri, homoseksualitas,

alkoholisme, seks bebas, secara umum diterima sebagai salah satu bentuk

penyimpangan. Tetapi bahkan bentuk penyimpangan yang umum tersebut

saja masih terdapat perbedaan pendapat. Misalnya bagi sebagian orang,

homoseksualitas sama sekali bukan penyimpangan atau orang

mengkonsumsi minuman keras dan narkotika adalah perilaku yang normal

saja(Jokie MS. 2009).

Akibat adanya perilaku menyimpang maka muncul berbagai usaha dari

berbagai pihak, untuk memperbaiki perilaku yang menyimpang tersebut.

Perilaku menyimpang di dalam sosiologi dianggap sebagai salah satu

perbuatan antisosial. Kata antisosial terdiri dari dua kata, yaitu kata anti

yang berarti menentang atau memusuhi, dan kata sosial yang berarti

berkenaan dengan masyarakat. Pengertian perilaku menyimpang dan

antisocial pada hakikatnya sama, yaitu suatu tindakan yang tidak sesuai

dengan kaidah, nilai,atau norma yang berlaku dalam masyarakat. Tindakan


perilaku menyimpang dan perbuatan antisocial dapat diatasi dengan

pengendalian sosial, agar tercipta keteraturan sosial ataupun ketertiban

sosial. Pengendalian sosial adalah suatu perbuatan yang dilakukan untuk

mengatasi terjadinya perbuatan antisosial. Pengendalian sosial dapat berupa

pengendalian represif dan preventif yang dapat dilakukan secara formal

maupun non formal. Pengendalian sosial merupakan reaksi masyarakat atas

terjadinya perbuatan antisosial, seperti perilaku menyimpang, tindak

kejahatan, pelanggaran, dan kenakalan. Reakasi represif secara formal

dalam melakukan pengendalian sosial, yaitu suatu perbuatan yang

dilakukan melalui penegakan hukum yang dilakukan secara formal.

Penegakan hukum secara formal dilakukan melalui lembaga penegakan

hukum yang diberikan mandate oleh masyarakat, untuk bertindak dan

memproses para pelaku melalui hukum. Penegakan hukum dilakukan

melalui sistem hukum yang berlaku, yaitu sistem peradilan pidana (criminal

justice system), yang terdiri dari berbagai macam unsur penegak hukum

seperti kepolisian, kejaksaan pengadilan, dan lembaga pemasyarakatan

(penjara). (Hisyam, 2018)

Perilaku menyimpang dapat didefenisikan secara berbeda berdasarkan

empat sudut pandang:

1. Secara stastistikal adalah segal perilaku yang bertolak dari suatu

tindakan yang bukan rata rata atau perilaku yang jarang dan tidak

sering dilakukan
2. Secara absolute atau mutlak adalah perilaku menyimpang yang

berasal dari aturan-aturan sosial yang dianggap sebagai sesuatu

yang mutlak atau jelas dan nyata, sudah ada sejak dulu, serta

berlaku tanpa terkecuali untuk semua warga masyarakat.

Kelompok absolutis berasumsi, bahwa aturan dasar dari

masyarakat adalah jelas dan anggotanya harus menyetujui

tentang apa yang disebut menyimpang dan bukan

3. Secara reaktif adalah perilaku menyimpang menurut kaum

reaktivis bila berkenaan dengan reaksi masyarakat atau agen

kontrol sosial terhadap tindakan yang dilakukan seseorang

4. Secara normatif adalah suatu pelanggaran dari norma sosial.

Norma dalam hal ini adalah standar tentang “apa yang

seharusnya atau tidak seharusnya dipikirkan, dikatakan, atau

dilakukan oleh warga masyarakat pada keadaan tertentu”.

Menurut Narwoko 2004:105 dalam penelitian (Wahyuni, 2016).

Menurut Wilnes dalam bukunya Punishment and Reformation sebab

sebab penyimpangan dibagi menjadi dua dalm (Gesit,2015)

a. Faktor subjektif adalah faktor yang berasal dari seseorang itu

sendiri (sifat pembawaan yang dibawa sejak lahir)

b. Faktor objektif adalah faktor yang berasal dari luar (lingkungan).

Misalnya keadaan rumah tangga, seperti hubungan orang tua dan

anak yang tidak serasi dan lingkungan sekitar.

2. Musisi Jalanan atau Pengamen


Pengamen atau musisi jalanan merupakan komunitas yang relatif baru

dalam kehidupan pinggiran perkotaan, setelah kaum gelandangan,

pemulung, pekerja seks kelas rendah, selain itu juga dianggap sebagai

‘penyakit sosial” yang mengancam kemampuan hidup masyarakat, artinya

pengamen dianggap sebagai anak nakal, tidak tahu sopan santun, brutal

ataupun mengganggu ketertiban masyarakat. Menurut Kristiana 2009,

definisi pengamen sendiri itu berasal dari kata amen atau mengamen

(menyanyi, main musik, dan kesenian yang ditunjukkan di jalanan) untuk

mencari uang, sedangkan amen atau pengamen berupa penari, penyanyi,

atau pemain music yang bertempat tinggal tetap, berpindah-pindah dan

mengadakan pertunjukan di tempat umum. (Rohvansyah. 2019)

Musisi jalanan merupakan sebuah pertunjukkan yang menontonkan

keahliannya di bidang seni. Musisi jalanan yang sebenarnya harus betul-

betul dapat menghibur orang banyak dan memiliki nilai seni yang tinggi.

Sehingga yang melihat, mendengar atau menonton pertunjukan itu secara

rela untuk merogoh koceknya, bahkan dapat memesan sebuah lagu

kesayangannya dengan membayar mahal. Semakin hari banyak pengamen

jalanan yang berjejer di setiap lampu merah maupun tempat-tempat

keramaian, selain itu pengamen juga beroperasi di terminal, bus, rumah,

pasar, pedagang kaki lima dan juga obyek wisata. Pengamen dari anak-

anak sampai orang tua baik yang dilengkapi dengan alat musik seadanya

sampai alat musik lengkap. Pengamen ada yang berpenampilan rapi

sampai berpenampilan kotor dan bersuara fals sampai suara merdu.


Faktor-faktor penyebab munculnya pengamen disebabkan oleh banyak

hal, seperti hasil penelitian Kristiana 2009 dalam penelitian (Rohvansyah.

2019) menyatkan bahwa beberapa hal yang menyebabkan adanya

pengamen dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal. Faktor internal

dan faktor eksternal dijelaskan sebagai berikut:

a. Faktor Internal meliputi: kemalasan, tidak mau bekerja keras,

tidak kuat mental, cacat fisik dan psikis, adanya kemandirian

hidup untuk tidak bergantungan kepada orang lain

b. Faktor Eksternal meliputi:

1) Faktor ekonomi. Pengamen dihadapkan kepada kemiskinan

keluarga dan sempitnya lapangan pekerjaan yang ada

2) Faktor Geografis. Kondisi tanah yang tandus dan bencana

alam yang tak terduga

3) Faktor Sosial. Akibat arus urbanisasi penduduk dari desa ke

kota tanpa disertai partisipasi masyarakat dalam usaha

kesehjateraan sosial.

4) Faktor Pendidikan. Rendahnya tingkat pendidikan dan tidak

memiliki keterampilan bekerja.

5) Faktor psikologis. Adanya keretakan keluarga yang

membuat abak tidak terurus

6) Faktor Kultural. Lebih bertendensi pasrah kepada nasib dan

hukum adat yang membelenggu.


7) Faktor Lingkungan. Berasal dari keluarga pengamen btelah

mendidik anaknya menjadi pengamen pula.

8) Faktor agama. Kurangnya pemahaman agama, tipisnya iman

dan kurang tabah dalam menghadapi cobaan hidup.

Menurut hasil penelitian Kristiana 2009 dalam (Rohviansyah, 2019)

macam-macam pengamen dibagi menjadi 6 antara lain sebagai berikut:

a. Pengamen baik. Pengamen baik adalah pengamen professional

yang memiliki kemampuan musikalitas yang mampu menghibur

pendengarnya. Para pendengar merasa terhibur dengan nyanyian

pengamen sehingga tidak sungkan atau saying memberi uang

receh maupun uang besar untuk pengamen jenis ini. Pengamen

jenis ini pun sopan dan tidak pernah memaksa orang untuk

memberinya uang.

b. Pengamen tidak baik. Pengamen tidak baik merupakan

pengamen yang permainan musiknya tidak enak didengar telinga

namun pada umumnya pengamen jenis ini tidak sopan dan

memaksa para pendengar untuk memberinya sejumlah uang

guna membeli sesuap nasi bahkan memaksa untuk meminta

rokok. Tetapi tidak sedikit yang menyindir atau mengeluh

langsung ke pendengar jika tidak diberi uang receh dengan

jumlah yang sedikit

c. Pengamen pengemis. Pengamen jenis ini tidak memiliki

musikalitas sama sekali dan permainan music maupun vokalnya


seenak hati bahkan ada yang tidak menggunakan alat musik

setelah bernyanyi meminta uang receh pada pendengarnya.

Pengamen jenis ini lebih mirip peminta minta karena hanya

bermodal nekat saja dalam mengamen serta hanya berbekal belas

kasihan dari orang yang melihatnya

d. Pengamen pemalak atau penebar terror. Pengamen ini adalah

pengamen yang lebih suka melakukan terror kepada par

pendengarnya sehingga para pendengar ketakutan, pendengar

menganggap bahwa sediit memberikan uang receh dirinya lebih

aman dari pengamen tukang palak tersebut. Pengamen jenis ini

tidak hanya bernyanyi melainkan ada yang membacakan puisi-

puisi buatan sendiri berisi terror. Pengamen model seperti ini

pantas untuk dilaporkan kepada pihak yang berwajib dengan

tuduhan perbuatan tidak menyenangkan di depan umum serta

ada unsur terror.

e. Pengamen penjahat. Pengamen penjahat adalah pengamen yang

tidak hanya mengamen tetapi juga melakukan tindakan

kejahatan seperti sambil mencopet, menodong, menganiaya,

melecehkan, mencuri, dan lain sebagainya. Pengamen seperti ini

perlu diwaspadai dan jika melihat kejahatan yang dilakukan

pengamen secara langsung hendaknya segera dilaporkan ke

polisi
f. Pengamen cilik atau anak-anak. Pengamen cilik ada yang bagus

tetapi ada juga yang tidak enak didengar. Pengamen cilik yang

tidak enak untuk didengarkan ini biasanya lebih condong

mengemis daripada mengamen. Akan tetapi bagaimana juga

pengamen cilik ini menjadi korban situasi dari kedua orang

tuanya jahat atau tidak mengurusnya. Pengamen cilik ada yang

dipaksa oleh orang tuanya atau preman, namun ada juga atas

kemauannya sendiri berdasarkan lingkungan tempat tinggal atau

teman sebayanya.

Pengamen jalanan terbagi menjadi beberapa kategori, yaitu pengamen

jalanan yang hidup dan tumbuh di jalanan dan pengamen jalanan yang

hanya untuk mencari nafkah tetapi secara periodik pulang kerumah.

Pengamen yang kurang perhatian dari orang tua rentan terhadap pengaruh

lingkungannya dan untuk berbuat menyimpang. Kurangnya perhatian dari

orang tua terutama dalam bentuk bimbingan untuk bersikap, berperilaku,

serta memiliki kepribadian yang baik dan terkontrol untuk hal pergaulan

membuat pertahanan diri rapuh.

Pengamen jalanan mengadopsi perilaku lingkungan dimana sedang

mengamen tanpa filtrasi. Perilaku sekelilingnya sering diadopsi sebagai

acuan dalam bersikap dan berperilaku, namun pada perilaku acuannya

merupakan perilaku yang kurang dan bahkan bertentangan dengan norma

sosial yang ada. Salah satu kasus kesalahan mengadopsi perilaku

lingkungan adalah kebiasaan mengkomsumsi obat-obatan terlarang dan


minuman keras. Kajian patologi sosial penyimpangan tersebut dinyatakan

sebagai produk dari perilaku detektif anggota keluarga. Lingkungan

tetangga dekat dan ditambah agresivitas yang tak terkendali dalam diri anak

itu sendiri Kecenderugan pengamen untuk melakukan kerusakan,

melanggar tatanan hukum yang berlaku serta budaya masyarakat. Hal

tersebut terjadi akibat semakin sulitnya mencari nafkah di jalan dan makin

mahalnya biaya hidup saat ini. Kondisi tersebut semakin parah dengan

adanya pandangan masyarakat yang menganggap bahwa pengamen jalanan

sebagai sampah masyarakat dan kemudian mempersempit ruang

aksesbilitas mereka terhadap fasilitas-fasilitas umum yang menjadi

kebutuhan (Suswandari, 2000).

3. Pengertian Obyek Wisata

Menurut SKMenparpostel No. KM 98 PW. 102 MPPT-87 dalam penelitian

(Arwandi, 2016) yaitu Objek wisata adalah tempat atau keadaan alam yang

memiliki sumber daya wisata yang dibangun dan dikembangkan sehingga

mempunyai daya tarik dan diusahakan sebagai tempat yang dikunjungi

wisatawan.

Dalam objek wisata faktor manfaat dan kepuasan wisatawan berkaitan

dengan “Tourism Resourch dan Tourist Service”. Objek dan atraksi wisata

adalah segala sesuatu yang ada di daerah tujuan wisata yang mempunyai daya

tarik tersendiri yang mampu mengajak wisatawan berkunjung. Menurut Yoeti

1996 dalam (Arwandi, 2016) suatu daerah untuk menjadi daerah tujuan wisata
(DTW) yang baik, harus mengembangkan tiga hal agar daerah tersebut

menarik untuk dikunjungi, yaitu:

a. Adanya sesuatu yang dapat dilihat (something to see),

maksudnya adanya sesuatu yang menarik untuk dilihat, dalam

hal ini obyek wisata berbeda dengan tempat-tempat lain (

mmpunyai keunikan sendiri). Disamping itu perlu juga

mendapat perhatian terhadap atraksi wisata yang dapat dijadikan

sebagai entertainment bial orang berkunjung nantinya

b. Adanya sesuatu yang dapat dibeli (something to buy), yaitu

terdapat sesuatu yang menarik yang khas untuk dibeli, dalam hal

ini dijadikan cendramata untuk dibawa pulang ketempat masing-

masing sehingga di daerah tersebut harus ada fasilitas yang dapat

berbelanja yang menyediakan souvenir maupun kerajinan tangan

lainnya dan harus didukung pula dengan fasilitas lainnya seperti

money changer dan bank.

c. Adanya sesuatu yang dapat dilakukan (something to do), yaitu

suatu aktivitas yang dapt dilakukan ditempat itu yang bisa

membuat orang yang berkunjung merasa betah di tempat

tersebut.

4. Teori Labeling Terhadap Perilaku Menyimpang Musisi Jalanan


Pemberian label dilakukan oleh orang lain terhadap perbuatan yang

dilakukan oleh seseorang. Teori labeling berkonsentrasi pada aspek psikologi

sosial, yaitu suatu kondisi yang memberikan label penyimpangan pada individu

maupun kelompok. Dalam teori label menggunakan pendekatan interaksionis,

artinya label diberikan kepada individu maupun kelompok sebagai hasil

interaksi dengan individu maupun kelompok lainnya atau antara penyimpang

dengan masyarakat. Fokus perhatian teori labeling bukan pada individu dan

perilakunya, tetapi pada keterlibatan individu dalam pendefinisian yang

diberikan orang lain tehadap tindakan sosialnya sebagai penyimpang. Proses

perkembangan terhadap label sampai terjadinya penyimpangan dilakukan

secara bertahap mulai dari tahap inisiasi, penerimaan, komitmen, sampai

menjadi terpenjara dalam satu peran menyimpang. Di dalam teori labeling ada

dua hal yang terpenting, yaitu konsep penyimpangan dan konsekuensi dari

pelaksanaan control sosial. Penyimpangan yang dilakukan individu atau

kelompok dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu penyimpangan primer (hasil

perbuatan yang mendapat label dari masyarakat) dan penyimpanga sekunder

(pelakasanaan penyimpangan setelah mendapat label dari masyarakat).

(Hisyam, 2018)

Pengertian teori Labeling menurut para tokoh dalam buku perilaku

menyimpang tinjauan sosiologis (Hisyam, 2018)

a. Lemert mengatakan jika individu yang melakukan

penyimpangan dari proses labeling yang diberikan dari

masyarakat pada individu tersebut dan penyimpanga yang


terjadi pada awalnya merupakan penyimpangan primer, yang

akhirnya berakibat individu yang sudah dicap akan sesuai

dengan perilakunya seperti penipu atau pencuri. Untuk

menanggapi cap atau label tersebut, maka individu primer

penyimpangan akan mengulangi perbuatan penyimpangn

kembali sehingga akan berubah menjadi penyimpangan

sekunder

b. Menurut Mead, teori labeling lahir karena inspirasi perspektif

interaksionisme simbolik dari Herbert Mead dan sudah

berkembang dengan riset dan juga pengujian dalam banyak

bidang. Teori labeling dari studi mengenai devian pada akhir

tahun 1950 dan juga awal 1960 adalah penolakan pada teori

consensus atau fungsionalisme struktural. Pada awalnya, teori

structural deviant atau penyimpangan diartikan sebagai perilaku

yang sudah ada merupakan karakter yang berlawanan dengan

norma sosial.

c. Menurut Micholowsky pengertian teori labeling adalah

kejahatan yang merupakan kualitas dari reaksi masyarakat atas

tingkah laku individu. Reaksi ini akhrinya membuat tindakan

seseorang akan di cap atau diberi label sebagai penjahat yang

pada umumnya juga akan diperlakukan seperti seorang penjahat.

Konsep teori Labeling ini memperkirakan jika pelaksanaan kontrol sosial

yang memnimbulkan penyimpangan karena pelaksanaan control sosial akan


mendorong seseorang untuk masuk dalam peran menyimpang yang akhirnya

menimbulkan macam-macam tingkah laku dalam psikologi khususnya

tingkah laku menyimpang. Ditutupnya peran konvensional untuk seseorang

dengan cara pemberian label, maka membuat individu menjadi penyimpang

sekunder terutama dalam mempertahankan diri terhadap label tersebut. Agar

bisa kembali masuk dalam peran sosial konvensional yang tidak menyimpang

merupakan sesuatu yang berbahaya sebab individu akan merasa teralineasi.

Teori labeling beranggapan jika pemberian label dan sanksi yang bertujuan

untuk mengontrol penyimpangan hanya akan memberikan hasil sebaliknya.

Dalam konsep teori labeling ini lebih menekankan pada dua hal yakni

1. Menjelaskan permasalahan tentang mengapa dan bagaimana

individu diberikan label

2. Pengaruh dari label sebagai suatu konsekuensi dari perbuatan

yang sudah dilakukan oleh pelaku kejahatan tersebut.

Dengan demikian berdasarkan uraian di atas, teori Labelingini dapat

menjadi landasan dengan tingkah laku menyimpang musisi jalanan atau

pengamen yang berada di Alun-alun Selatan Yogyakarta dilihat dari adanya

keterkaitan dengan teorinya.Adapun karakteristik dari tingkah laku

menyimpang itu dapat mudah dilihat, diamati dan nampak secara langsung

oleh orang lain. Tingkah laku menyimpang pada individu juga memiliki

karakteristik yang khas dan berbeda-beda antara individu yang satu dengan

lainnya. Adapun tingkah laku musisi jalanan atau pengamen Alun-alun

Selatan Yogyakarta yang dapat dikatakan tingkah laku menyimpang apabila


tingkah laku dari individu tersebut berkarakteristik seperti penjelasan di

atas, dan terjadi dalam proses kehidupannya.

B. Penelitian Relevan

Terdapat beberapa penelitian yang relevan pada penelitian ini,

1. Hakim (2010) “Perbedaan Motivasi Kerja antara Pengemis dan

Pengamen”.Penelitian ini memaparkan bahwa sulitnya seseorang

mendapatkan pekerjaan membuat semakin mundurnya kualitas sumber

daya manusia di Indonesia. Pengemis dan pengamen merupakan salah

satu dampak negatif pembangunan tersebut, pengemis dan pengamen

ini tentu sangat erat kaitannya dengan kemiskinan dan ketersediaan

lapangan pekerjaan. Mengenai Perbedaan Motivasi Kerja antara

Pengemis dan Pengamen yang mengalami perubahan sebagai akibat

pergeseran nilai-nilai budaya dan gaya hidup menyimpang serta

kurangnya pengendalian sosial. Tujuan dilakukannya penelitian ini

untuk mengetahui faktor terminal Tirtodadi Surakarta.

Mendeskripsikan Perbedaan Motivasi Kerja antara Pengemis dan

Pengamen. Metode penelitian yang digunakan yaitu metode studi kasus

dengan pendekatan kualitatif. Menggunakan observasi dan wawancara

sebagai alat pengumpul data terhadap informan penelitian. Selain dari

itu, data diperoleh melalui dokumentasi dari pemerintah setempat dan

literatur lainnya. Subjek penelitian dalam penelitian ini adalah

pengamen, pengemis dan masyarakat sekitar yang dianggap cukup

mendukung untuk fokus penelitian. Untuk menguji keabsahan data,


dilakukan memberchek, triangulasi, dan comprehensive data treatment

hingga diperoleh kesimpulan yang kokoh. Hasil penelitian dapat

diketahui latar belakang keberadaan pengamen dipengaruhi oleh faktor

keadaan kondisi keluarga, keadaan ekonomi keluarga, dan keinginan

untuk mencakupi kebutuhan hidup secara mandiri. Interaksi sosial yang

terjadi pada pengamen disekitar terminal Tirtonadi Surakarta di

lingkungan keluarga ada hambatan pada tahapan komunikasi yaitu,

intensitas bertemu kurang bahkan jarang, begitu juga di lingkungan

masyarakat berada pada tahapan kontak sosial, dan pada lingkungan

tempat bekerja berada pada tahap keterlibatan, padahal interaksi sosial

akan terwujud dengan baik apabila tahapan kontak sosial, komunikasi,

keterlibatan dan keintiman terpenuhi.

Penelitian ini diambil sebagai penelitian relevan karena memiliki

kesamaan yaitu, fokus penelitian tentang perilaku menyimpang dan

pergeseran nilai-nilai budaya dan gaya hidup menyimpang serta

kurangnya pengendalian sosial. Walaupun memiliki kesamaan namun

penelitian ini juga memiliki perbedaan dengan penelitian yang akan

dilakukan yaitu tempat penelitian, melakukan penelitian di daerah

terminal Tirtodadi Surakarta. Sedangkan peneliti melakukan penelitian

di Alun-alun Selatan Yogyakarta. Perbedaan lainnya adalah penelitian

ini lebih terfokus pada fenomena gaya hidup menyimpang dan fokus

yang dilakukan peneliti lebih kepada bentuk perilaku menyimpang dari

musisi jalanan di alun-alun selatan Yogyakarta


2. Mohammad Reza Setiawan (2013) dari Program StudiSosiologi,

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas IslamNegeri Sunan

Ampel Surabaya, tentang “Perilaku Menyimpang Remaja Perkotaan

Studi Kasus Perbuatan Mesum Remaja diWarung Internet Barata Jaya

Kota Surabaya”. Dalam penelitiantersebut peneliti mengkaji tentang

bentuk perbuatan mesum remajadan bagaimana latarbelakang

perbuatan mesum remaja di warunginternet Barata Jaya kota

Surabaya.Hasil penelitiannya adalah latarbelakang remaja melakukan

perbuatan mesum karena melihat situsporno di warung internetdengan

dalih iseng kemudianmelampiaskan nafsu ke pacarnya. Metode yang

digunakan adalahmetode deskriptif kualitatif dengan teknik

pengumpulan dataobservasi, wawancara dan dokumentasi dan

menggunakan teori dariA. L Kroeber.

Penelitian ini diambil sebagai penelitian relevan karena memiliki

kesamaan yaitu, focus penelitian tentang perilaku

menyimpang.Walaupun memiliki kesamaan namun penelitian ini juga

memiliki perbedaan dengan penelitian yang akan dilakukan yaitu

tempat penelitian, Mohammad Reza melakukan penelitian di warung

internet daerah Surabaya.Sedangkan peneliti melakukan penelitian di

Alun-alun SelatanYogyakarta. Perbedaan lainnya adalah penelitian ini

lebih terfokus pada penyimpangan tindakan mesum. Dan fokus yang

dilakukan peneliti lebih kepada perilaku menyimpang dari musisi

jalanan
3. Isno Aini (2016) Perilaku Menyimpang Pada Remaja (Studi Kasus

Pada Anak TKI di Desa Gelaman, Kec. Arjasa Kab. Sumenep. Jawa

Timur). Other thesis, University of Muhammadiyah Malang.Perilaku

menyimpang pada remaja merupakan masalah yang sering ditemui

dalam lingkungan kehidupan sekitar kita. Perilaku menyimpang

merupakan perilaku yang tidak sesuai dengan tata nilai dan norma-

norma yang ada di dalam masyarakat. Berbagai macam bentuk perilaku

yang tergolong kedalam perilaku menyimpang, diantaranya adalah

minum-minuman keras, seks diluar nikah, merokok di usia belia dan

mencuri. Perilaku menyimpang seperti ini sudah termasuk masalah

sosial yang harus segera dicari jalan keluarnya, agar tidak terjadi

masalah sosial yang lebih besar dikemudian hari Jenis penelitian ini

adalah menggunakan jenis kualitatif, dengan pendekatan studi kasus,

dimana lokasi penelitian ini dilakukan di Desa Gelaman, Kecamatan

Arjasa, Kabupaten Sumenep, Jawa Timur. Teknik pengumpulan data

dengan menggunakan wawancara, observasi, dokumentasi. Teknik

penentuan informan dengan menggunakan teknik purposive sampling,

yakni informan telah ditentukan sebelumnya yaitu, (1). Para remaja

pelaku penyimpangan di Desa Gelaman tersebut. (2). Orang yang

mengasuh remaja yang melakukan penyimpangan, seperti bibi dan

nenek. (3). Tokoh masyarakat seperti kepada desa, guru ngaji (datok).

Jumlah informan dalam penelitian ini sebanyak 14 informan. Adapun

teknik analisis data yang digunakan adalah reduksi data, penyajian data
dan penarikan kesimpulan. Teori yang digunakan untuk menganalisis

permasalahan ini adalah teori Fungsional dari Robert K.Merton.

Merton mengatakan bahwa adanya kehancuran dalam masyarakat tidak

lepas dari adanya disfungsi. Dikaitkan dengan masalah ini, maka

adanya disfungsi keluarga yang ada di desa gelaman, maka akan timbul

fungsi laten, dimana fungsi itu adalah fungsi yang tidak diharapkan.

Penelitian ini diambil sebagai penelitian relevan karena memiliki

kesamaan yaitu, fokus penelitian tentang perilaku menyimpang dan

metode yang digunakan ialah metode kualitatif teknik pengumpulan

data dengan menggunakan wawancara, observasi, dan dokumentasi

Walaupun memiliki kesamaan namun penelitian ini juga memiliki

perbedaan dengan penelitian yang akan dilakukan yaitu tempat

penelitian, Isno melakukan penelitian di Sumenep Jawa Timur.

Sedangkan peneliti melakukan penelitian di Alun-alun Selatan daerah

Yogyakarta. Perbedaan lainnya adalah penelitian ini lebih terfokus pada

perilaku menyimipang dari anak TKI. Dan fokus yang dilakukan

peneliti lebih kepada perilaku menyimpang dari musisi jalanan.

C. Kerangka Berpikir

Banyak sekali faktor yang melatarbelakangi munculnya musisi jalanan atau

pengamen jalanan. Salah satu fakotr utama yang menyebabkan munculnya

musisi jalanan atau pengamen adalah kemiskinan. Kemiskinan struktural yang

dialami oleh keluarga musisi jalanan dianggap sebagai pemicu utama banyaknya

seorang individu dalam keluarga memilih untuk hidup di jalan. Banyaknya


wisatawan yang datang ke Yogyakarta untuk berlibur dengan keluarga membuat

kota Yogyakarta ramai akan datangnya wisatawan domestik maupun

mancanegara.

Alun-alun Selatan sebagai salah satu destinasi wisata yang sering

dikunjungi oleh para wisatawan, ada banyak hal yang dapat dilakukan di Alun-

Alun seperti bermian sepeda hias, kitiran, masangin, menikmati jajanan khas

kota Yogyakarta yang berada di lesehan Alun-alun dan dengan diiringi oleh para

musisi jalanan yang menghibur di Alun-alun. Musisi jalanan memanfaatkan

situasi Alun-alun yang rami untuk mencari nafkah ataupun sesuap nasi. Latar

belakang musisi jalanan tak lepas dari kehidupan ekonomi keluarga yang

membuat para musisi jalanan untuk berkarya di jalan.

Musisi jalanan seringkali mengadopsi perilaku di lingkungan dimana

sedang mengamen tanpa filtrasi. Perilaku sekelilingnya sering diadopsi sebagai

acuan dalam bersikap dan berperilaku, namun pada perilaku acuannya

merupakan perilaku yang kurang dan bahkan bertentangan dengan nilai norma

sosial yang ada. Salah satu kasus kesalahan mengadopsi lingkungan adalah

kebiasaan mengkonsumsi obat-obatan terlarang dan minuman keras sehingga

banyaknya para musisi jalanan mengkomsumsi sebagai dopping stimulan

tenaga saat mengamen, dan kepercayaan diri, tetapi ada juga yang terlalu banyak

mengkonsumi sehingga tidak sadar dengan apa yang telah mereka perbuat saat

proses jalannya mereka mengamen. Mulai dari itulah banyak penyimpangan

yang muncul dari musisi jalanan.


Skema kerangka berpikir dalam penelitian ini adalah sebagai berikut

Musisi Jalanan Alun-alun Selatan


Yogyakarta

Bentuk Perilaku Menyimpang

Solusi Aparat Keamanan Alun-alun


Selatan Yogyakarta

Perilaku Menyimpang Musisi


Jalanan Alun-alun Selatan Yogyakarta

Bagan I . Kerangka Berpikir

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Alun-alun Selatan Yogyakarta. Lokasi dipilih,

dengan alasan bahwa Alun-alun Selatan Yogyakarta merupakan salah satu

iconwisatayang berada di Yogyakarta. dimana banyak wisatawan domestik

maupun mancanegara yang datang ke Alun-alun elatan membuat para musisi

jalanan yang memanfaatkan Alun-alun Selatan tersebut sebagai tempat mencari

nafkah. Banyak musisi jalanan atau pengamen yang mencari uang di Alun-alun

Selatan peneliti melakukan penelitian di Alun-alun Selatan Yogyakarta

B. Waktu Penelitian

Penellitian ini dilaksanakan selama tiga bulan terhitung dari setelah

proposal diseminarkan.

C. Bentuk Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode kualitatif. Penelitian kualitatif berusaha

mengkonstruksikan realitas dan memahami maknanya. Penelitian kualitatif

biasanya sangat memperhatikan proses, peristiwa, dan otentitas. Data

penelitian kualitatif ini bersifat deskriptif. Data yang dikumpulkan berupa

pertama langsung dari sumbernya, peneliti menjadi bagian dari instrument

pokok analisisnya, kedua data berupa kata-kata dalam kalimat atau gambar

yang mempunyai arti menurut Sutopo (dalam Subandi, 2011). Dengan data

penelitian yang bersifat deskriptif, maka penelitian ini sedapat mungkin

menggambarkan tentang situasi di dalam perilaku menyimpang musisi jalanan

atau di Alun-alun Selatan Yogyakarta secara mendalam.

D. Sumber data
Sumber data penelitian adalah subjek dari mana data dapat diperoleh.

Menurut Lofland (Moleong, 2016) sumber data utama dalam penelitian

kualitatif ialah kata-kata dan tindakan, selebihnya adalah data tambahan seperti

dokumen dan lain-lain. Adapun sumber data yang digunakan dalam penelitian

ini adalah:

1. Sumber Data Primer

Sumber data primer adalah data yang diperoleh dengan cara menggali dari

sumber asli secara langsung terhadap responden. Dalam penelitian ini data

primer diperoleh melalui teknik wawancara dari informan. Peneliti melakukan

wawancara dengan musisi Alun-alun selatan Yogyakarta dan pihak keamanan

Alun-alun selatan dengan harapan dapat menggali data yang lebih dalam terkait

perilaku menyimpang musisi jalanan di Alun-alun Selatan Yogyakarta.

2. Sumber Data Sekunder

Sumber data sekunder merupakan data yang tidak langsung dan

memberikan tambahan serta penguatan data yang berhubungan dengan objek

yang diteliti. Sumber data sekunder dalam penelitian ini adalah studi pustaka,

buku-buku, internet dan dokumentasi yang bisa digunakan selama penelitian

berlangsung.

E. Teknik Pengumpulan Data


1. Observasi

Observasi merupakan suatu aktivitas penelitian dalam rangka

pengumpulan data sesuai dengan masalah penelitian melalui pengamatan

di lapangan. Ketika melaksanakan observasi, peneliti memiliki pedoman

observasi yang berisi daftar mengenai sesuatu yang ingin diobservasi.

Observasi berperan sebagai sumber bukti lain bagi suatu studi kasus.

Observasi dalam penelitian kualitatif dapat dibagi menjadi dua, yaitu

observasi partisipatif (participatory observastion) dimana peneliti ikut

serta dalam kegiatan yang sedang berlangsung dan observasi non

partisipatif (nonparticipatory observation) dimana peneliti tidak ikut

langsung dalam kegiatan, hanya mengamati kegiatan yang dilakukan

informan (Sugiyono, 2010). Dalam penelitian ini peneliti menggunakan

penelitian partisipatif peneliti ikut langsung dalam kegiatan, dan

mengamati kegiatan yang dilakukan informan karena yang diteliti dalam

penelitian ini adalah perilaku menyimpang.

2. Wawancara

Wawancara dalam suatu penelitian yang bertujuan mengumpulkan

keterangan tentang kehidupan manusia dalam suatu masyarakat serta

pendirian-pendirian itu merupakan suatu pembantu utama dari metode

observasi atau pengamatan(Bungin, 2012)yaitu pewawancara mengajukan

pertanyaan kepada terwawancara supaya terwawancara memberikan

jawaban untuk memudahkan dalam observasi. Wawancara dilakukan

secara langsung dan tidak langsung kepada pemilik sawah serta petani
penggarap. Secara langsung artinya peneliti bertatap muka dengan

informan dan narasumber, sedangkan tidak langsung artinya peneliti bisa

melalui media sosial dalam melakukan wawancara. Wawancara dilakukan

untuk memperoleh data tentang perilaku menyimpang yang dilakukan oleh

musisi jalanan diAlun-alun Selatan Yogyakarta.

F. Teknik Sampling

Teknik sampling yang digunakan dalam penelitian ini adalah purposive

sampling. Artinya, memilih pertimbangan dan tujuan tertentu (Sugiyono:

2010). Sehingga dalam memilih informan peneliti memiliki pertimbangan

dan tujuan tertentu. Sehingga dapat ditentukan informan yang dianggap

paling tahu tentang apa yang diteliti.

Kriteria yang digunakan untuk kemudian diambil datanya adalah

musisi jalanan, pihak keamanan dan masyarakat sekitar. Peneliti

mengambil kriteriamusisi jalanan Alun-alun Selatan Yogyakarta yang

sudah mengamen atau mencari nafkah di Alun-alun Selatan Yogyakarta

paling tidak minimal selama 1 tahun dan pihak keamanan setempat yang

sudah pernah mengatasi kasus mengenai musisi/pengamen yang

berperilaku menyimpang.

G. Validitas Data

Sugiyono (2010) menyebutkan bahwa validitas merupakan derajat

ketetapan antara data yang terjadi pada obyek penelitian dengan data yang

dapat dilaporkan oleh peneliti. Tujuan dari dilakukannya validitas data ini
adalah untuk meningkatkan derajat kepercayaan data sehingga penelitian ini

kuat sebagai penelitian yang ilmiah.

Untuk menguji apakah data dalam penelitian ini valid dan reliabel, maka

digunakan teknik trianggulasi data. Trianggulasi data adalah teknik

pemeriksaan keabsahan data yang menempatkan sesuatu yang lain di luar

data itu untuk keperluan pengecekan atau sebagai pembanding terhadap

data. Untuk menguji apakah data dalam penelitian ini valid atau tidak maka

dapat dibandingkan data-data yang diperoleh melalui observasi,

wawancara, dan studi dokumentasi. Dalam hasil wawancara pun dapat

dibandingkan data yang diperoleh dari satu informan dengan informan

lainnya. Begitu juga dalam studi dokumentasi dapat pula dibandingkan

antara satu dokumen dengan dokumen lainnya.

Selain itu, untuk mengetahui apakah data dalam penelitian ini telah

valid dan reliabel adalah ketika dalam penelitian ini terjadi data jenuh.

Artinya adalah kapanpun dan dimanapun responden diberikan pertanyaan

yang sama, maka jawaban yang diberikan pun tetap sama atau konsisten.

Pada saat itulah cukup alasan bagi peneliti untuk menghentikan proses

pengumpulan datanya. Untuk memperkuat data dalam penelitian ini agar

valid dan reliabel, peneliti menempatkan dirinya sebagai instrumen

penelitian (human instrument). Peneliti menempatkan diri secara netral dan

objektif terhadap data tentang perilaku menyimpang musisi jalanan diAlun-

alun SelatanYogyakarta. Dengan begitu maka akan memberikan daya

dukung terhadap validitas dan reliabilitas data dalam penelitian ini.


H. Penyajian Data

Dalam penelitian ini menggunakan teknik analisis data model interaktif

milik Miles dan Huberman dalam Sugiyono (2016). Model ini terdiri dari

empat hal utama, yaitu: (a) pengumpulan data; (b) reduksi data; (c)

penyajian data; dan (d) penarikan kesimpulan atau verifikasi. Proses

analisis interaktif merupakan proses sikus yang interaktif, dimana keempat

komponen ini dilakukan secara berulang dan berlanjut terus menerus

selama pengambilan data tentang perilaku menyimpang musisi jalanan di

Alun-alun Selatan Yogyakarta. Penjelasan sekilas terkait empat hal utama

dalam model interaktif milik Miles dan Huberman yang digunakan dalam

penelitian ini antara lain adalah sebagai berikut:

1. Pengumpulan Data

Tahap pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan ketika

peneliti melakukan pengumpulan data perilaku menyimpang musisi

jalanan di Alun-alun Selatan Yogyakarta dengan teknik observasi,

wawancara, dan studi dokumentasi. Peneliti melakukan observasi terhadap

aktivitas maupun situasi yang berkaitan dengan perilaku menyimpang

musisi jalanan , melakukan wawancara dengan pihak-pihak yang terlibat

dan mengumpulkan dokumen-dokumen yang relevan di lokasi penelitian.

2. Reduksi Data

Reduksi data adalah proses pemilihan, pemusatan perhatian pada

penyederhanaan, pengabsahan, dan transformasi data kasar yang muncul


dari catatan-catatan tertulis di lapangan. Pada tahap ini peneliti melakukan

seleksi, membuat ringkasan atau uraian singkat, menggolong-golongkan

ke dalam pola-pola dengan membuat transkip penelitian, mempertegas,

memperpadu, membuat fokus, membuang bagian yang tidak penting, serta

mengatur data tentang perilaku menyimpang musisi jalanan diAlun-alun

Selatan Yogyakarta agar dapat disajikan dan ditarik kesimpulan.

3. Penyajian Data

Penyajian data merupakan proses penampilan data dari semua hasil

penelitian dalam bentuk pemaparan naratif, termasuk dalam format

matrixs, grafis, dan sebagai nantinya dapat mempermudah peneliti dalam

gambaran hasil penelitian karena banyaknya data dan informasi tersebut

memberikan kemudahan bagi peneliti dalam pengambilan kesimpulan dari

hasil penelitian (Usman, 2009).

4. Penarikan Kesimpulan atau Verifikasi

Kesimpulan merupakan langkah akhir dalam pembuatan suatu

laporan ilmiah. Penyimpulan data atau penarikan kesimpulan adalah usaha

guna mencari tahu makna, keteraturan pola-pola kejelasan, alur sebab

akibat atau proporsi. Kesimpulan yang ditarik segera di verifikasi dengan

cara melihat dan mempertanyakan kembali dengan melihat catatan

lapangan agar memperoleh pemahaman yang tepat. Selain itu juga dapat

melakukan dan mendiskusikannya (Usman, 2009).

Pada tahap ini peneliti melakukan proses pemberian makna, atau

sejauh mana pemahaman peneliti dan interpretasi yang dibuatnya. Dalam


tahap ini belum sampai pada kesimpulan final, peneliti dapat saja kembali

ke lapangan untuk melakukan verifikasi terhadap hasil temuannya terkait

perilaku menyimpang musisi jalanan alun-alun selatan di Yogyakarta.

Dengan melakukan verifikasi, validitas dan realibilitas data dalam

penelitian ini pun dapat terjamin

DAFTAR PUSTAKA

Aini, I. (2016). Perilaku Menyimpang Pada Remaja (Studi Kasus Pada Anak TKI
di Desa Gelaman Kecamatan Arjasa kabupaten Sumenep Jawa Timur.
Malang : Other Thesis. University Of Muhammadiyah Malang.
Arum, S. (2013). Fenomena Komunitas Kaum Lesbi di Klaten. Yogyakarta:
Pendidikan Sosiologi. Fakultas Ilmu Sosial. Universitas Negeri Yogyakarta.
Arwandi. (2016). Studi Peningkatan Sarana dan Prasarana Kawasan Objek Wisata
Pantai Pa'Badilang Kecamatan Bontomatene Kabupaten Kepulauan
Selayar . Makassar: Jurusan Teknik Perencanaan Wilayah dan Kota.
Fakultas Sains dan Teknologi. UIN Alauddin .
Bima, A. (2016). Tren Perkembangan Pariwisata Daerah Istimewa Yogyakarta.
Yogyakarta: Pendidikan Ekonomi. Fakultas Ekonomi. Sanata Dharma.
Bungin, B. (2012). Metodologi Penelitian Kualitatif. Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada.
Hakim. (2010). Perbuatan Motivasi Kerja Antara Pengemis dan Pengamen .
Surakarta: Universitas Muhammdiyah Surakarta.
Hisyam, C. J. (2018). Perilaku Menyimpang Tinjauan Sosiologis. Jakarta: Bumi
Aksara.
Jamaludin, A. N. (2016). Dasar-Dasar Patologi Sosial. Bandung: Pustaka setia.
Moeleong, L. J. (2016). Metodologi Penelitian Kualitatif. Edisi Revisi. Bandung:
Remaja Rosdakarya.
Narwoko, D., & Suyanto, B. (2007). Sosiologi: Teks Pengantar & Terapan. Jakarta:
Kencana Media Group.
Pribadi, G. (2015). Studi Fenomenologi Perilaku Remaja Punk dalam Lingkup
Keluarga dan Kelompok (peergroup) di Desa Jipang. Bachelor Thesis
Universitas Muhamadiyah Purwokerto.
Priambodo & Rahmayunita. (2018). Aksi Pengamen di Jogja Maksa Masuk ke Bus
Wisata ini Bikin Geger. Tersedia di
https://www.google.com?amp/s/amp.mobimoto.com/mobil/2018/10/25/20
0034/aksi-pengamen-di-jogja-maksa-masuk-ke-bus-wisata-ini-bikin-geger.
Diakses pada tanggal 07 Agustus 2019
Reza Setiawan, M. (2013). Perilaku Menyimpang Remaja Perkotaan (Studi Kasus
Perbuatan Mesum Remaja di Warung Internet Barata Jaya. Surabaya:
Jurusan Sosiologi. Fakultas Ilmu Sosial dan Politik. UIN Sunan Ampel
Surabaya.
Rohvansyah, A. (2019). Relasi Sosial Pengamen Terminal Giwangan Di
Yogyakarta. Yogyakarta: Ilmu Kesehjateraan sosial. Fakultas Dakwah dan
Komunikasi. UIN Sunan Kalijaga.
Siahaan, J. M. (2009). Perilaku Menyimpang: Pendekatan Sosiologi. Jakarta: PT
Indeks.
Subandi. (2010). Deskripsi Kualitatif Sebagai Metode Dalam Penelitin
Pertunjukan. Harmonia. 11 (2): 173-179.
Sugiyono. (2010). Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif & RND. Bandung:
Alfabeta.
Suswandari. (2000). Kehidupan Anak Jalanan. Yogyakarta: Universitas Negeri
Yogyakarta.
Syifaul'Ula, L. (2018). Eksistensi Paguyuban Paparazi di Kawasan Kraton
Yogyakarta. Yogyakarta: Sosiologi. Fakultas Ilmu Sosial. UIN Sunan
Kalijaga.
Usman, H. (2009). Metodologi Penelitian Sosial. Jakarta: Bumi Aksara.
Wahyuni, E. (2016). Upaya Masyarakat Dalam Mengatasi Perilaku Menyimpang
Remaja Pada Acara Hiburan Malam. Sumatera Barat: Sosiologi. PGRI .
BAB IV

A. Lokasi Penelitian

Alun-alun Selatan atau yang sekarang lebih dikenal sebagai Alun-

alun Kidul (Alkid) yaitu alun alun yang terletak disebelah selatan Kraton

Yogyakarta. Alun -alun ini berbentuk tanah lapang luas berpasir, dengan

luas sekitar 160m x 160m. Alun alun ini dikelilingi pagar tembok batu bata

setinggi 2,20m, tebal pagar tembok 30cm, sudah banyak yang runtuh dan

rusak. Adapun pagar tembok yang dapat disaksikan sekarang adalah pagra

tembok baru, yang dibangun oleh Sri Sultan Hamengku Buwono ke VII

pada masa pemerintahannya tahun 1877- 1921.

B. Deskripsi Informan

Informan merupakan orang yang memberikan kita informasi

mengenai suatu hal kepada kita. Pengambilan informasi pada penelitian ini

dilakukan dengan salah satu caranya yaitu wawancara. Penentuan orang

yang akan dijadikan sebagai informasi ditentukan oleh peneliti. Hal ini

disebabkan pengambilan informan menggunakan purposive sampling.

Orang yang ditentukan sebagai informan pada penelitian ini ada dua jenis

informan. Informan pertama adalah musisi jalanan yang menjadi objek

penelitian. Kemudian jenis yang kedua adalah pihak keamanan Alun-alun

Selatan Yogyakarta yang bertanggung jawab penuh dengan Alun Alun

Selatan Yogyakarta.

Informan dalam penelitian ini adalah musisi jalanan dan pihak

keamanan Alun-alun Selatan Yogyakarta. Dari seluruh informan yang yang


akan diwawancarai, informan tesebut masih aktif dalam profesi mereka

masing-masing yang ada di Alun-Alun yaitu musisi jalanan dan pihak

keamanan. Peneliti mengambil informan sebanyak 7 orang, yang terdiri 4

musisi jalanan dan 3 pihak keamanan Alun-Alun Selatan Yogyakarta.

Informan informan tersebut memiliki latar belakang yang berbeda-beda.

Keragaman latar belakang masing-masing informan tersebut diharapkan

dapat mewakili. Berikut deskripsi profil informan masing-masing secara

singkat adalah sebagai berikut :

Anda mungkin juga menyukai