Anda di halaman 1dari 8

Masalah Sosial merupakan kondisi yang perlu diubah dan diperbaiki, dengan demikian penanganan masalah

merupakan suatu usaha atau suatu proses untuk melakukan perubahan kearah perbaikan. Dengan demikian, tidak
jarang bahwa berbagai kondisi yang dapat dikategorisasikan sebagai masalah social seperti kemiskinan,
keterbelakangan merupakan sesuatu yang mendorong dilaksanakannya perubahan. Dengan kata lain, masalah social
merupakan suatu kondisi yang memberikan inspirasi bagi tindakan perubahan terutama perubahan menuju
perbaikan. Apabila aktivitas perubahan dilatar belakangi dan dimaksudkan untuk memecahkan masalah social
tertentu, maka agar sasaran itu dapat tercapai perlu pula mempertimbangkan kondisi dan keberadaan masalah social
yang akan ditangani.
Dilihat pada saat proses perubahan menuju kondisi yang lebih baik sedang berlangsung, maka masalah social dapat
berposisi sebagai hambatan yang dialami dalam proses tersebut. Proses perubahan dan pembaruan menuju kondisi
yang lebih baik lebih sejahtera jarang menghadapi hambatan yang berasal dari kondisi masyarakat itu sendiri. Salah
satu kondisi yang dapat menjadi factor penghambat ini adalah bentuk-bentuk masalah social tertentu. Masalah social
juga dimungkinkan dengan adanya lembaga-lembaga kemasyaraatan yang secara formal ada, akan tetapi sebetulnya
secara riil sudah tidak berfungsi. Sebagai akibatnya akan sangat mengganggu dan menghambat pelaksanaan usaha
peningkatan kesejahteraan masyarakat itu sendiri.
Pada sisi lain, masalah social yang bersumber dari disintegrasi system yang membawa akibat kurang serasinya
hubungan antar komponen dapat mudah menimbulkan gejala Cultur lag. Sebagaimana diketahui, perubahan yang
terjadi mungkin tidak berlangsung serentak berdasarkan pertimbangan tertentu, misalnya masalah prioritas.
Walaupun demikian, apabila perubahan pada salah satu bagian tidak secara cepat direspon oleh bagian yang lain,
maka dapat mengakibatkan masalah. Dalam hal ini dapat terjadi bidang yang lain tidak mendukung perubahan yang
terjadi pada salah satu bidang yang berubah lebih dahulu, tetapi justru menjadi factor penghambat.
Posisi masalah social dalam proses perubahan juga dapat dilihat pada dimensi waktu setelah suatu program
penangan masalah dijalankan. Apabila dampak dari program dan aktivitas tersebut merupakan persoalan, karena
memang kondisi itulah yang diharapkan oleh proses perubahan dalam rangka penanganan masalah social.

BAB II
PEMBAHASAN
1. Masalah Sosial sebagai Inspirasi Perubahan (Kasus Kemiskinan)
Semua masyarakat yang hidup didunia ini mendambakan hidup yang lebih baik dalam artian hidup dalam kondisi
yang sejahtera. Kondisi yang menunjukkan bahwa taraf hidup yang rendah merupakan suatu sasaran yang utama
dalam perbaikan menuju masyarakat sejahtera. Kemiskinan merupakan suatu kondisi dengan berbagai kondisi dan
implikasinya, merupakan salah satu bentuk masalah social yang menggambarkan kondisi kesejahteraan yang rendah.
Oleh sebab itu kemiskinan menjadi inspirasi bagi tindakan perubahan untuk meningkatkan kesejahteraan
masyarakat.
Untuk dapat melakukan serangkaian aktivitas perubahan dan perbaikan didalam masyarakat yang mengalami
masalah social tersebut perlu dipahami berbagai hal yang berkaitan dengan seluk beluk permasalahannya. Bagi
maslah kemiskinan yang akan ditampilkan sebagai contoh kasus, semestinya perlu dipahami paling tidak kondisi,
intensitas dan komplikasi yang terjadi disamping tentu saja factor-faktor yang melatar belakangi maslah tersebut.
a. Intensitas dan Kompleksitas Masalah
Memahami masalah kemiskinan seringkali memang menuntut adanya upaya untuk melakukan pendefinisian dan
pengukuran. Sehubungan dengan hal tersebut, perlu disadari bahwa masalah kemiskinan telah distudi oleh berbagai
ilmuan social yang berasal dari latar belakang disiplin yang berbeda. Oleh karena itu, tidak heran apabila kemudian
dijumpai berbagai konsep dan cara pengukuran tentang masalah kemiskinan ini. Misalnya dalam konsep ekonomi,
study kemiskinan akan dikaitkan dengan konsep standar hidup, pendapatan dan distribusi pendapatan.
Sementara ilmuan yang lain, segera mengkaitkannya dengan konsep kelas, stratifikasi social, struktur social dan
bentuk-bentuk diferensiasi social yang lain. Hal yang sama juga dijumpai dalam usaha untuk mengukur tingkat
kemiskinan. Konsep taraf hidup (Level of Living), tidak cukup dilihat dari sudut pendapatan, akan tetapi juga perlu
melihat factor pendidikan, kesehatan, perumahan dan kondisi social yang lain. Kenyataan tersebut menimbulkan
beberapa cara pendekatan untuk mengukur tingkat kemiskinan. Hardiman dan Midgley (1982 : 33), mengemukakan
tiga pendekatan yaitu : garis kemiskinan, indicator kesejahteraan dan pengukuran ketimpangan.
Sementara itu, beberapa pihak lain justru lebih menampilkan aspek non-ekonomi sebagai indicator yang dominan.
Pandangan ini menghendaki agar indicator pembangun lebih melihat perbaikan kehidupan dilihat dari masyarakatnya
(improvement of human life). Dengan demikian, pembangunan seharusnya diperuntukan bagi semua pihak dan
semua lapisan masyarakat, serta paling tidak nmengandung tujuan :
o Memperbaiki hal-hal yang berkaiatan dengan penopang hidup warga masyarakat.
o Memperbaiki kondisi kehidupan yang memungkinkan terpenuhinya kebutuhan harga diri.
o Adanya kebebasan, termasuk didalamnya kebebasan dari penindasan, dari ketidak acuhan serta dari kesengsaran
dan kemelaratan (Goulet, 1973 : 94).
Adanya berbagai variasi pendeketan dalam pengukuran tersebut sekaligus juga menunjukan bahwa kemiskinan
dapat dilihat secara absolute dan secara relative. Secara absolute maksudnya tingkat kemiskinan diukur dengan
standar tertentu, sehingga kemudian dapat dikatakan bahwa mereka yang taraf hidupnya di bawah standar yang
ditentukan tersebut dikatakan miskin, sebaliknya mereka yang berada diatas standar dinyatakan tidak miskin.
Dengan cara seperti ini dapat dilakukan pengukuran yang lebih mudah dan sederhana, termasuk penggunaannya
sebagai suatu indicator untuk melihat keberhasilan suatu proses pembangunan dalam rangka upaya pengentasan
kemiskinan.
Melalui konsep kemiskinan relative ini, kemiskinan semata-mata tidak diukur dengan standar yang baku, melainkan
juga dapat dilihat dari seberapa jauh peningkatan taraf hidup lapisan terbawah telah terjadi dibandingkan dengan
lapisan masyarakat yang lain, juga dibandingkan dengan kenaikan tuntutan kebutuhan hidup yang berkembang
sejalan dengan perkembangan kehidupan bermasyarakat.
Pada umumnya orang berpendapat bahwa kondisi kemiskinan tersebut telah mempengaruhi secara negative
terhadap berbagai aspek kehidupan masyarakat sehingga tidak jarang menciptakan suatu kondisi yang disebut
lingkaran tak berujung pangkal. Terciptanya kondisi semacam ini akan semakin mempersulit masyarakat keluar dari
masalah kemiskinan. Berbagai bentuk lingkaran kemiskinan dan mata rantainya dapat direkontruksi dari proses
kemiskinan ini. Dari sudut ekonomi misalanya, dapat dikatakan bahwa karena kondisi kemiskinan, maka pendapatan
hanya cukup bahkan tidak jarang kurang mencukupi untuk memenuhi kebutuhan minimal.
Dengan demikian, sulit diharapkan adanya kemampuan menabung. Tidak adanya tabungan menyebabkan tidak
adanya investasi sehingga produktifitas tetap rendah. Rendahnya prosuktifitas menyebabkan rendahnya pendapatan
dan tetap bertahannya kondisi kemiskinan.
Sementara itu Kartodirdjo (1987 : 75) menempatkan dua jenis sindrom yaitu sindrom kemiskinan dan sindrom inertia
sebagai permasalahan pokok yang harus dipecahkan dalam usaha pembangunan. Didaerah pedesaan, sindrom
kemiskinan berkaitan dengan berbagai dimensi yang saling memeperkuat seperti produktifitas rendah,
pengangguran, kurang gizi, buta huruf dan lain sebagainya. Sedagkan sindrom inertia berakar pada passivisme,
fatalism, terarah kedalam, serba patuh, ketergantungan. Dari berbagai pernyataan tersebut dapat diketahui bahwa
masalah kemiskinan sering kali sudah mengarah pada terjadinya komplikasi yang membuat lebih sulit untuk
melakukan penanganan yang tuntas. Paling tidak kondisi tersebut mengisyaratkan perlunya penanganan yang
bersifat komprehensif.
Dari pengalamannya yang luas, melalui keterlibatannya dalam program pembangunan desa di Negara Asia dan
Afrika, Chamber (1987 : 145) mengemukakan dimensi yang lebih luas mengenai masalah kemiskinan. Berbagai
dimensi tersebut juga dikatakan saling berkaitan satu sama lain dalam posisi memperkokoh kondisi kemiskinan itu
sendiri. Oleh sebab itulah dia menamakannya sebagai perangkap kemiskinan dan sindrom kemiskinan, adapun factor
yang membentuk jaringan berupa perangkap kemiskinan tersebut adalah : kemiskinan, kelemahan fisik, isolasi,
kerentanan dan ketidakberdayaan.
Berbagai pendapat yang sudah dikemukakan tersebut memang lebih banyak pada realita kemiskinan didaerah
pedeasaan, walaupun demikian, kecenderungan tadi sebetulnya juga berlaku untuk kondisi kemiskinan pada
umunya. Dalam pembahasannya tentang kemiskinan di Amerika Serikat yang pada umumnya justru terdapat pada
masyarakat kota, Eitzen (1986 ; 165) juga mengidentifikasi adanya berbagai konsekuensi psikologis dan sosiologis.
Diantaranya dikatakan bahwa lapisan miskin pada umumnya cenderung terisolasi dari lapisan masyarakat lain. Dalam
pandangan masyarakat lain mereka terkesan malas, kotor dan immoral.
Dalam jangka panjang, pewarisan kemiskinan antar generasi ini juga kaan didukung oleh proses sosialisasi nilai.
Situasi kemiskinan yang telah terlalu lama mencengkam suatu kelompok dapat membentuk budaya kemiskinan
sebagai suatu sub budaya yang kemudian membentuk nilai-nilai khas yang erat hubungannya dengan masalah
kemiskinan dan usaha manusia untuk mengadaptasikan diri dengan situasi tersebut (Susanto, 1984 :113). Nilai
semacam ini kemudian dapat tersosialisasikan kepada generasi berikutnya melalui kehidupan keluarga.

b. Latar Belakang Masalah


Untuk dapat mengetahui sumber masalah kemiskinan dan untuk menjawab siapa atau apa penyebab kemiskinan,
terdapat dua jawaban yang berbeda. Yang pertama, bahwa kemiskinan adalah kondisi yang disebabkan karena
beberapa kekurangan dan kecacatan individual baik dalam bentuk kelemahan biologis, psikologis maupun cultural
yang menghalangi seseorang memperoleh kemajuan dalam kehidupannya. Jawaban yang kedua menunjuk factor
structural sebagai penyebabnya. Seseorang miskin karena berada didalam lingkungan masyarakat yang mempunyai
karakterisktik antara lain : distribusi penguasaan resources yang timpang, gagal dalam mewujudkan pemerataan,
kesempatan memperoleh pendidikan, institusi social yang melahirkan berbagai bentuk deskriminasi, perkembangan
industry dan teknologi yang kurang membuka kesempatan kerja.
Sinaga dan White (dalam Alfian dkk,1980:43) mengklasifikasikan tentang kemiskinan alamiah dan kemiskinan buatan
(natural and artificial proverty). Dikatakan bahwa kemiskinan alamiah adalah kemiskinan yang timbul sebagai akibat
sumber daya yang langka jumlahnya atau karena tingkat perkembangan teknologi yang sangat rendah. Dalam hal ini
kemiskinan terjadi karena adanya factor-faktor alamaiah yang menjadi penyebabnya, bukan dalam kondisi yang
menggambarkan adanya lapisan masyarakat menjadi miskin disatu pihak, sementara dilain pihak lapisan lain berada
pada tingkat yang jauh lebih baik.
Dilihat dari pentingnya, konsep kemiskinan buatan ini dapat identik dengan kemiskinan structural. Sebagaimana
dikemukakan oleh selo sumardjan, bahwasanya kemiskinan structural adalah kemiskinan yang diderita oleh suatu
golongan masyarakat, yang mana karena struktur sosial masyarakat tersebut, mereka tidak dapat ikut menggunakan
sumber-sumber pendapatan yang sebenarnya tersedia bagi mereka. Dalam pengertian ini, system dan institusi yang
ada yang menyebabkan suatu kelompok menjadi miskin karena struktur tersebut telah menghambat mereka dalam
penguasaan sumber daya serta berbagai peluang. Dalam kondisi demikian, maka kelompok tersebut menjadi tidak
berdaya, sehingga akan semakin mengukuhkan posisinya yang miskin.
c. Penanganan Masalah
Apabila study masalah sosial dianggap sebagai suatu proses, maka penanganan kemiskinan sebagai salah satu
bentuk masalah sosial selalu terkait dengan pemahaman terhadap latar belakang atau factor-faktor yang dianggap
sebagai sumber masalah. Adapun strategi pembangunan masyarakat dalam menangani kemiskinan akan sangat
dipengaruhi oleh pendekatan dalam memahamilatar belakang masalahnya. Apabila kemiskinan dilihat sebagai akibat
dari cacat dan kelemahan individual, maka strategi yang digunakan untuk pemecahannya akan lebih di tekankan
pada usaha untuk mengubah aspek menusia sebagai individu atau warga masyarakat. Dalam hal ini upaya
pembangunan masyarakat akan lebih dititik beratkan pada peningkatan kualitas manusianya sehingga akan dapat
berfungsi lebih efektif dalam upaya peningkatan taraf hidupnya.

2. Masalah Sosial Sebagai Efek samping perubahan (Kasus Lingkungan Hidup)


Mengingat bahwa gejala sosial merupakan fenomena yang saling mengait; maka tidak mengherankan bahwa
perubahan yang terjadi pada salah satu atau beberapa aspek, dikehendaki atau tidak dikehendaki, dapat
menghasilkan terjadinya perubahan pada aspek lain. Terjadinya dampak yang tidak dikehendaki itulah yang
kemudian dikategorikan ke dalam masaah sosial.
Efek samping yang terjadi dapat bersumber dari dimensi sosial maupun fisik. Yang berasal dari dimensi sosial
misalnya memudarnya nilai-nilai sosial masyarakat, merosotnya kekuatan mengikat berbagai norma-norma sosial
sehingga menimbulkan bentuk prilaku menyimpang serta ketergantungan masyarakat terhadap pihak lain sebagai
akibat sistem intervensi pembangunan yang kurang proporsional.
Dalam dimensinya yang bersifat fisik, efek samping dari proses pembangunan antara lain berupa masalah yang
berkaitan dengan pencemaran dan kelestarian lingkungan. Hal ini menjadi masalah karena dalam jangka pendek
akan membawa pengaruh pada keindahan, kerapian kebersihan dan terutama pada kesehatan masyarakat, sedang
dalam jangka panjang akan berpengaruh terhadap kelangsungan proses pembangunan itu sendiri.
Perubahan yang terjadi melalui proses pembangunan seringkali merupakan perubahan yang dipercepat dalam rangka
mengatasi keterbelakangan dan kemiskinan sesegera mungkin. Dengan demikian, dapat dipahami apabila
pembangunan juga akan menyebabkan perubahan lingkungan. Sebagian perubahan lingkungan itu memang sudah
direncanakan atau masuk dalam kendali perencanaan.
a. Intensitas Dan Kompleksitas Masalah
Suatu ekosistem pada dasarnya adalah suatu komunitas biota yang berinteraksi dengan lingkungan fisiknya seperti
matahari, air, tanah dan batuan. Dalam ekosistem itu setiap spesies hidup sebagai populasi yang pertumbuhan atau
penyusutannya dipengaruhi oleh daya dukung sistem tadi dalam penyediaan keperluan bagi kehidupan. Dengan
demikian, pertambahan populasi manusia termasuk perubahan bagi berbagai jenis perilakunya akan dapat
mempengaruhi keseimbangan yang ada. Oleh sebab itu, eitzen (1986:91) mengemukakan adanya beberapa faktor
dari kekuatan sosial atau manusia dan perilakunya yang berpengaruh terhadap hadirnya masalah pencemaran dan
kelestarian lingkungan. Faktor-faktor tersebut adalah:
1. Pertumbuhan penduduk yang pesat dan mengakibatkan meningkatnya permintaan akan makanan, energi dan
beberapa produk lain.
2. Konsentrasi penduduk di daerah perkotaan menyebabkan berbagai limbah yang harus diserap oleh ekosistem dan
lingkungan
3. Proses pembangunan dan moderenisasi yang meningkatkan penggunaan teknologi modern dan pola konsumsi.
Dari kenyataan tersebut tampak bahwa proses pembangunan dan modernisasi yang tujuan utamanya adalah
mengusahakan perbaikan kondisi kehidupan, pada sisi yang lain juga dapat mendatangkan kerawanan atau paling
tidak potensi kerawanan dilihat dari kelestarian lingkungan.potensi kerawanan tersebut akan semakin dapat dipahami
mengingant dalam rangka peningkatan taraf hidup masyarakat, melalui proses pembangunan telah dilakukan usaha
yang semakin intensif dalam rangka memobilisasi sumberdaya termasuk sumber daya alam. Bahkan untuk lebih
mengoptimalkan nilai tambah sumberdaya tersebut telah dipacu dengan menggunakan teknologi yang semakin
canggih.
b. Latar Belakang Masalah
Seperti dalam pembahasan tentang masalah sosial yang lain, pemahaman tentang latar belakang dan sumber
masalah ini akan banyak membantu dalam upaya penanganan masalah. Sehubungan dengan sumber masalah
pencemaran dan kelestarian lingkungan, Eitzen (1986:102) mengemukakan adanya dua hal pokok yaitu faktor
kultural dan faktor struktural. Faktor kultural meliputi pandangan manusia tentang alam, sikap terhadap teknologi,
perkembangan peradaban manusia, paham meterealisme dan paham individualisme. Sedangkan faktor struktural
meliputi sistem ekonomi, sistem politik, pola kependudukan dan stratifikasi sosail. Untuk kasus indonesia
mengemukakan empat faktor yang mempengaruhi yaitu jumlah, kualitas dan lokasi penduduk, teknologi yang
dipakai, sifat sumber alam, dan pola hidup yang mengkonsumsi sumber alam.
Pandangan hidup manusia tentang alam sangat memengaruhi kelestarian lingkungan karena banyak orang
menganggap bahwa alam merupakan gudang yang sangat luas berisi aneka ragam bahan yang dapat digunakan
untuk memenuhi kebutuhan manusia. Alam dianggap sebagai berisi berbagai persediaan cadangan yang bersifat
murah hati serta menyediakan diri untuk melayani kebutuhan manusia. Pandangan itu hanya cenderung mendorong
untuk memanfaatkan alam bagi tujuan yang tanpa berfikir panjang. Demikian pula halnya dengan dorongan untuk
pengendalian bagi usaha eksploitasi dan pemanfaatan alam secara semena-mena.
Sikap manusia yang mempengaruhi intensitas serta keluasan masalah pencemaran dan kelestarian lingkungan alam,
paling tidak ada tiga bentuk hubungan tersebut yaitu :
1. Manusia melihat alam sebagai kekuatan besar yang dapat mengendalikan kehidupan manusia.
2. Melihat hubungan dalam keseimbangan, manusia membutuhkan alam, dan alam membutuhkan manusia.
3. Manusia dengan segala kemampuannya mencoba menguasai alam.
Melihat ketiga bentuk hubungan tadi, maka faktor teknologi akan sangat berperan dalam pola hubungan yang ketiga.
Dalam pola tekonologi ini merupakan sarana yang dapat digunakan manusia untuk menguasai alam. Dalam keadaan
ini manusia dapt mendewakan teknologi. Demikian asyiknya orang bermain teknologi sampai-sampai baru setelah
disadari dampaknya terhadap lingkungan hidup.
Menurut Mochtar Lubis inti persoalannya adalah kenyataan bahwa kemajuan teknologi telah tidak dibarengi dengan
kemajuan kebudayaan. Dengan kemajuan kebudayaan seiring dengan kemajuan teknologi dapat dikembangkan daya
analisis dan sikap kritis terhadap teknologi. Manfaatnya bagi kesejahteraan umat manusia dan menghindari
kesalahan-kesalahan pemakaian teknologi, seperti penggunaan teknologi denga biaya besar yang digunakan untuk
pengembangan teknologi nuklir secara sosial ekologis bersifat merusak, digunakan untuk pengembangan enerji yang
dapat memperbaruhi. Perkembangan peradaban manusia memengaruhi hadirnya masalah lingkungan hidup yang
berkaitan dengan perubahan cara memanfaatkan alam.
Perubahan perlakuan manusia terhadap alam sejalan dengan kenyataan bahwa manusia tidak menyukai status quo
dan cenderung tidak puas. Oleh sebab itu, tidak mengherankan apabila kemudian menambah masalah lingkungan
baik dalam bentuk semakin langkahnya sumber alam tertentu, maupun pencemaran yang disebakan oleh limbah
industri yang sudah dikonsumsi oleh para konsumen. Paham materialisme berkaitan dengan masalah pencemaran
dan kelestarian lingkungan oleh karena paham ini menempatkan aspek materi sebagai simbol sukses seseorang.
Paham individualisme juga ditunjuk sebagai salah satu sumber masalah dari sudut kultural, karena paham ini sangat
kuat mendorong berkembangnya personal achievement.
Siatem ekonomi yang berlaku termasuk sebagai salah satu sumber masalah pada level struktural atau sistem, karena
sistem ekonomi akan menentukan orientasi kegiatan perekonomian masyarakat yang bersangkutan. Dampaknya
akan tampak pada intensitas yang cukup tinggi pula. Dalam hal ini, dapat terjadi semacam konflik nilai konflik dan
konflik interest antara mengejar keuntungan finansial dan mengembangkan industri yang aman dari pencemaran dan
masalah kelestarian sumber daya. Apabila terlalu berorientasi pada pertumbuhan sebagaimana banyak dijumpai
dalam pembangunan yang menganut aliran klasik dan neoklasik, maka dampaknya terhadap lingkungan akan seperti
yang digambarkan Emil Salim dalam uraian terdahulu. Sistem politik merupakan salah satu sumber masalah,
berdasarkan asumsi bahwa keputusan politik seringkali dipengaruhi secara fundemental oleh kekuatan kelompok
kepentingan. Termasuk didalamnya, pengaruhnya terhadap berbagai bentuk peraturan dan perundangan serta
kemungkinan untuk menghindar dari ketentuan peraturan yang sudah dibuat.
Sumber masalah yang tak kalah pentingnya adalah pola kependudukan. Jumlah penduduk yang sangat besar
dibandingkan dengan kemampuan daya dukung lingkungan akan mengakibatkan banyak masalah. Penduduk yang
makin bertambah memerlukan persediaan tambahan makanan, pakaian, perumahan, lokasi pekerjaan, lokasi
pendidikan, dan kebutuhan yang lain. Jumlah penduduk semakin bertambah, sebagian dari penduduk terpaksa
mengelolah tanah yang bertmutu rendah. Tanah-tanah marginal terpaksa digarap dan ini dapat menimbulkan akibat
yang buruk tidak saja didaerah muara sungai atau tepi pantai, tetapi juga dilereng pegunungan. Lereng-lereng terjal
dan hutan lindung terpaksa digarap dan akibat yang segera tampak adalah masalah erosi.
Hal yang sama terjadi untuk kebutuhan air. Kebutuhan air akan semakin meningkat termsasuk diverifikasi
penggunaanya seperti air minum, irigasi, industri dan rekreasi. Selain jumlah dan masalah pertambahan penduduk,
masalah konsentrasi penduduk pada kawasan tertentu juga dapat masalah. Kepadatan penduduk yang sangat tinggi
didaerah itu dan tingkat pendapatan yang rendah memberi tekanan besar pada sumber alam tanah, sehingga tanah
dikuras habis-habisan terutama untuk keperluan pemukiman, pertanian, dan industri.
Akhirnya statifikasi sosial juga dapat ditunjuk sebagia sumber masalah terutama menyangkut sering adanya bias dan
inkonsistensi dalam mendifinisikan masalah pencemaran dan kelestarian lingkungan diantaranya pelaku yang
berbeda sratifikasi sosialnya. Sebagai suatu contoh, pemukiman kumuh sering ditunjuk sebagai sumber utama
pencemaraan walaupun sebenarnya ada sumber pencemaran yang lebih serius diluar kawasan tersebut yang luput
dari tudingan.

c. Penanganan Masalah
Berdasarkan beberapa sumber masalah yang telah diidentifikasinya, eitzen ( 1986: 11 ) menawarkan tiga alternatif
untuk menangani masalah pencemaran dan kelestarian lingkungan. Ketiga alternatif tersebut adalah :
1. Reduksi secara sukarela melalui mekanisme pasar,
2. Sistem hukum yang berfungsi sebagai pengendalian,
3. Memerangi langsung terhadap pencemaran.
Dilihat dari pendekatan pembangunan, maka penanganan masalah pencemaran dan kelestarian lingkungan dapat
dilakukan dengan mengintegrasikan upaya tersebut kedalam aktivitas pembangunan yang sedang berjalan. Dengan
demikian yang diharapkan bukan konflik antara tujuan konservasi dengan tujuan pembangunan melainkan
pertemuan diantara keduanya. Melalui pendekatan tersebut penggunaan sumberdaya dapat dilakukan dengan
bijaksana untuk mencapai tingkatan kualitas hidup tertinggi bagi umat manusia.
Dengan pertimbangan seperti itu, maka usaha mengatasi masalah pencemaran dan kelestarian lingkungan sudah
diintegrasikan ke dalam mekanisme pembangunan sejak dalam proses perencanaan. Dengan cara demikian, paling
tidak dapat dipetik dua keuntungan yaitu meningkatkan mutu pencapaian pembangunan dan memperhitungkan
sebelumnya pengaruh aktivitas pembangunan pada sumberdaya dan proses alam lingkungan yang lebih luas.
3. Masalah Sosial Sebagai Hambatan Peningkatan Kesejahteraan (Kasus Penyalagunaan Obat)
Sebagaimana yang sudah disinggung pada uraian sebelumnya, masalah sosial juga dapat berada pada posisi saat
usaha mewujudkan masyarakat yang sejahtera sedang berlangsung (on-going process). Dalam hal ini bentuk
masalah sosial yang tampil dapat berubah masalah pada level individu tetapi dapat pula pada level masyarakat atau
sistem. Yang termasuk jenis pertama adalah masalah sosial yang berkaitan dengan prilaku orang perorang sebagai
anggota masyarakat seperti tindakan kriminal, prostitusi, kenakalan serta berbagai bentuk penyalagunaan dan
kecanduan obat. Sedangkan jenis yang kedua dapat berupa disintegrasi sosial, masalah kependudukan dan kurang
berfungsinya sebagai bentuk aturan sosial. Dalam pembahsan lebih lanjut akn dibicarakan sebuah contoh masalah
sosial berupa penyalagunaan obat seperti narkotika, alcohol beserta implikasi seperti mabuk, teler, dan kecanduan.
Jenis masalah sosial tersebut dapat dilihat sebagai satu hambatan usaha mewujudkan masyarakat sejahtera,
terutama apabila peningkatan kesejahteraan dipandang sebagai proses pendayagunaan sumber daya dalam rangka
pemenuhan kebutuhan guna peningkatan taraf hidup masyarakat. Nilai strategi sumber daya tidak semata-mata
terletak pada segi jumlah atau kuantitas, melainkan juga kualitas. Sehubungan dengan ini sebagai bagian sumber
daya manusia, warga masyarakat penyandang dan penyalagunaan dan kecanduan obat tidak dapat diharapkan
tampil dalam kapasitas yang maksimal.
Dengan demikian, potensinya juga tidak dapat diaktualisasikan secara optimal dalam proses yang sedang berjalan.
Bahkan dalam kondisi yang lebih parah, penyadang masalah tesebut bukan saja tidak optimal sumbangannya
terhadap proses, melainkan justru dapat menjadi beban dan bersifat counter productive . Lebih-lebih apabila diingat,
bhawa dalam pendekatan untuk peningkatan taraf hidup masyarakat, faktor manusia tidak semata-mata
diperlakukan sebagai objek atau faktor produksi yang pasif, akan tetapi terutama sebagai subjek dan aktor yang aktif
menentukan keseluruhan proses.
a. Itensitas dan Kompleksitas Masalah
Sebetulnya pada mulanya alkohol atau minum-minuman beralkohol lebih berkaitan dengan fisik. Maka efek yang
timbul juga terjadi pada segi fisik dan dalam batas-batas kewajaran tidak menimbulkan dampak yang negatif.
Menurut Lemert, 1967-72 dalam tingkatan seperti ini, alkohol lebih bersifat sebagai jenis minuman biasa, pendorong
pencernaan, pendorong agar cepat tidur, perlindungan terhadap kedinginan, sebagai obat suatu penyakit tertentu
atau rasa sakit.
Hanya saja, dalam proses selanjutnya banyak di jumpai pemakaian yang berlebihan dan tidak wajar sehingga di
samping itu sudah menyimpang dari berbagai fungsi semula, juga dapat mengakibatkan dampak negatif baik secara
fisik maupun social. Oleh sebab itulah banyak orang mengatakan adanya polarisasi nilai dari minuman beralkohol ini.
Di satu pihak alkohol di nilai sebagai kunci kegairahan dan kemuliaan sedangkan di lain pihak alkohol dianggap
sebagai pemacu kesesatan moral kemanusiaan dan penyebab utama penyakit sosial.
Bahwa kenyataanya alkohol dapat merubah perilaku seseorang, modifikasi prilaku terjadi melalui proses pemabukan;
hal ini secara personal dan sosial merupakan sesuatu yang bersifat destruktif terutama dilihat dari integrasi personal
dan sosial. Alkohol juga dapat membuat orang menjadi senang sekaligus membuat seseorang merasakan sakit dan
tidak bahagia. Adapun dampak yang paling kelihatan dari mabuk alkohol adalah perilaku yang menjadi agresif dan
cenderung pada devisiasi dalam perilaku seksual. Secara psikologis, terlalu sering mabuk juga dapat membuat
seseorang menelantarkan diri atau kurangnya memerhatikan penampilan dan peranan sosialnya.
Hal yang kurang lebih sama sebetulnya juga berlaku untuk bahan-bahan kimia lain yang berada dalam kelompok
obat-obatan (drug), termasuk di dalamnya bahan-bahan jenis narkotika, bahkan yang berasal langsung dari tumbuh-
tumbuhan seperti ganja. Drug adalah sebangsa bahan kimia yang dapat mempengaruhi dan membawa efek pada
fungsi dan struktur organisme tubuh. Seperti yang sudah disinggung sebelumnya jenis-jenis drug ini tadinya
dimaksudkan untuk kesenangan dan obat. Dalam banyak hal, penggunaannya memang berkaitan dengan kultur
masyarakat di samping perkembangan sosial ekonominya. Sebagai ilustrasi, rata-rata keluarga di Amerika Serikat
menyimpan sekitar 30 jenis obat-obatan di dalam lemari obat dan sejumlah minuman beralkohol di lemari minuman
(Eitzen, 1986; 492).
Permasalahannya kemudian dapat berakibat pada kebiasaaan mabuk dan teler yang dalam jangka panjang bersifat
merugikan baik secara fisik, psikologis dan sosial. Dari pemakaian obat-obatan dan minuman beralkohol juga dapat
mengakibatkan seseorang menjadi kecanduang, dimana kecanduan itu adalah suatu proses seperti yang sudah
diuraikan sebelumnya, yaitu penyalagunaan dan pemakaian yang berlebihan kemudian mengakibatkan seseorang
menjadi tidak berdaya, dalam pengertian kondisi tersebut akan bersifat mengendalikan orang bersangkutan,
membuatnya berbuat dan berfikir secara tidak konsisten dengan nilai-nilai kepribadiannya dan mendorong orang
tersebut menjadi komplusif dan obsensif (Schaef, 1987: 18).
Adapun dampak lebih lanjut dari gejala kecanduan ini adalah seseorang akan berkurang kontaknya dengan diri
sendiri, juga dengan orang lain dengan dunia sekitarnya. Menurut Shanef sebetulnya gejala kecanduan ini tidak
hanya kecanduan dengan obat, tetapi juga kecanduan terhadap aktivitas tertentu. Ia membedakannya menjadi
kecanduan subtansi dan kecanduan proses, kecanduan subtansi atau sering juga disebut dengan ingestive addicition
adalah kecanduan pada subtansi tertentu yang biasanya merupakan merupakan produk artifisal yang dimasukkan
kedalam tubuh secara sengaja sedangkan kecanduan proses terjadi apabila seseorang menjadi terkait dan sulit
menghindar dari suatu proses yang merupakan rangkaian spesifik sebagai aksi dan relaksi.
Dari berbagai dampak dan implikasi perilaku mabuk apalagi sampai kecanduan obat tersebut, dapat dipahami apabila
potensinya sebagai sumber daya manusia dalam pembangunan menjadi menurun. Bahkan apabila tidak
mendapatkan penanganan apalagi disandang oleh jumlah warga yang cukup besar, akan menjadi beban
pembangunan. Paling tidak, apabila kondisi mereka disamakan dengan rendahnya tingkat kesehatan, maka akan
cukup mempengaruhi produktivitas kerja.
Sebagaimana dikatakan Tjipherjanto (1989: 5), pengaruh tingkat kesehatan terhadap produktivitas ini dapat dapat
terjadi melalui dua cara, yang pertama, melalui pengaruh langsung, seperti misalnya manusia yang sehat akan
mempunyai kapabilitas yang tinggi, jangkauan umur yang lebih panjang dan masih banyak pengaruh lain. Yang
kedua, melalui pengaruh tidak langsung berupa kenyataan bahwa apabila orang tidak sakit maka akan mampu
belajar lebih banyak, lebih mungkin meningkatkan keterampilannya yang menghasilkan lebih banyak juga. Apalagi
jika diingat, bahwa dalam masyarakat yang semakin berkembang, lebih dibutuhkan insiatif, kreativitas dan
kompetensi masyarakat sendiri untuk melaksanakan pembangunan. Agaknya sikap yang demikian akan sulit
diharapkan dari penyandang masalah penyalahgunaan dan kecanduan obat tertentu.
b. Latar Belakang Masalah
Perilaku penyalagunaan obat dan kecanduan obat memang merupakan devisiasi pada level individu, walaupun
demikian, sumber permasalahannya dapat berasal dari faktor individual maupun dari masyarakat atau sistem. Seperti
yang telah dikemukakan oleh Eitzen (1986: 411), ada beberapa variasi perilaku individu yang menyimpang dilihat
dari sumber masalahnya, kelima variasi tersebut adalah:
a. Terjadi pelanggaran norma dan nilai sosial oleh individu,
b. Persepsi individu yang didasarkan pada proses sosialisasi
c. Masyarakat yang memberikan label seseorang sebagai devian
d. Peranan dari kekuatan dominan dalam proses kehidupan masyarakat
e. Struktur masyarakat sendiri yang menyebabkan seseorang warganya melakukan deviasi.
Apabila dicermati, maka kelima variasi tersebut sebagian mempunyai nuasa individual sebagai sumber masalah,
khususnya yang pertama dan yang kedua, sedangkan variasi yang lain atau yang ketiga sampai yang kelima
mempunyai nuasa sosial, khususnya aspek stuktural sebgai sumber masalahnya. Perbedaan tersebut di samping
sangat dipengaruhi oleh kondisi dan sifat masalahnya, juga dipengaruhi oleh perspektif yang digunakan dalam
memandang masalah sosial tertentu.
Dalam pembahasan lebih lanjut tentang latar belakang masalah penyalahgunaan obat ini, akan lebih banyak melihat
persoalan dalam sosialisasi individu, ada tiga hal yang dapat digunakan untuk menjelaskan latar belakang masalah
dari faktor sosialisasi ini.
Yang pertama, adalah urbanisme suatu penjelasan yang berangkat dari argument karakterisitik dan kehidupan kota.
Asumsi yang mendasarinya adalah kehidupan kota yang cenderung impersonal dan anonim. Berbeda dengan
kehidupan masyarakat desa yang lebih bersifat hubungan tatap muka dengan kontrol sosial yang lebih ketat,
masyarakat kota diaggap lebih terbebas dari keduanya. Yang kedua, melalui proses transmisi kultural. Penjelasan
tentang hal ini dapat menggunakan teori Sutherland tentang proses asosiasi yang diferensial (diferential association).
Melalui cara ini dapat dijelaskan mengapa seseorang menjadi jahat, sedangkan orang lain tidak, padahal berasal dari
karakteristik sosial yang sama, misalnya masyarakat urban. Yang ketiga, menjelaskan melalui realita perbedaan
subkultur. Dalam hal ini penggunaan obat merupakan suatu kebiasaan yang terintegrasi ke dalan subkultur tertentu.
Dengan demikian berarti kebiasaan tersebut akan mewarnai pengalaman, gaya hidup dan cara hidup masyarakatnya,
walaupun menurut ukuran subkultur lain atau pandangan masyarakat umum dianggap sebagai penyimpangan.
Dari uarain tentang ketiga sumber masalah melalui proses sosialisasi tersebut, akan tampak bahwa walaupun sama-
sama merupakan sumber masalah dari faktor individu (individual/person blame approach) perbedaanya dengan
pandangan biologis dan psikologis adalah bahwa teori sosialisasi lebih menitik beratkan pada kekuatan faktor
eksternal yang mendorong individu menjadi prilaki yang devian. Sebagaimana diketahui, dalam pendekatan
individual, prilaku menyimpang dan perilaku pada umumnya ditentukan oleh respons individu terhadap berbagai
kekuatan yang mendorongnya, baik berupa kekuatan internal maupun eksteranal.
Oleh sebab itu, sebenarnya pola pikir tersebut juga dapat digunakan untuk menjelaskan kenyataan bahwa tingkah
laku yang sama dalam hal ini penyalagunaan dan kecanduan obat merupakan sesuatu yang dilarang di suatu
masyarakat, akn tetapi pada masyarakat lain termasuk perilaku yang diperbolehkan. Dan tumbuhnya kesadaran akan
identitasbdiri sesuai label yang diberikan masyarakat serta tindakan berhimpun untuk melakukan aktivitas di luar
system bahkan melawan system ini oleh sementara pihak diindentifikasikan berada pada tingkatan devisiasi tersier.
Yang melihat proses perkembangan karier devian dari devisiasi primer, sekunder sampai tersier tersebut dapat
dikatakan, bahwa melalui proses labeling dapat terjadi siklus negative yang bersifat kumulatif dari perkembangan
karir devian. Pada kondisi yang terakhir ini label atau reaksi masyarakat dapat berfungsi sebagai salah satu bentuk
pengadilan sosial. Selanjutnya, dimensi struktural bentuk proses labeling dapat dilihat dalam rangka menjelaskan
adanya bias struktural dalam pemberian label.
Adapun cara lain yang dapat digunakan untuk menjelaskan latar belakang masalah penyalahgunaan dari dimensi
struktural adalah melalui pandangan konflik nilai. Hampir sama dengan cara labeling, masalah sosial termasuk di
dalamnya penyalagunaan dan kecanduan obat dilatarbelakangi dan tidak adanya kesepakatan definisi, khususnya
apakah penggunaan obat tertentu termasuk deviasi atau bukan. Perbedaan definisi ini disebabkan oleh adanya
perbedaan nilai yang dianut bahkan sering kali juga terkait dengan perbedaan kepentingan.
Selain pendekatan yang diuraikan tadi, penjelasan ekonomi politik sering kali juga digunakan untuk memahami
sumber masalah pada level masyarakat, khususnya struktur sosialnya. Penjelasan ekonomi politik ini terutama
digunakan berkaitan dengan kenyataan sering adanya inkosistensi dalam kebijakan yang berkaitan dengan
penyalagunaan dan kecanduan obat. Bentuk-bentuk inkositensi tersebut antara lain berupa kebijakan
memperkenankan penggunaan beberapa jenis drug dan melarang bahkan menghukum penggunaan jenis-jenis lain,
sementara itu jenis drug yang lebih berbahaya diresepkan oleh dokter dan dijual secara legal. Kesemuanya itu
kemudian mendorong pemahaman tingkat bahaya drug atau obat terhadap kesehatan pemakain seringkali bukan
merupakan kriteria dalam menentukan legilitas.
Pelacakan sumber dan latar belakang masalah penyalahgunaan obat dari level masyarakat yang sudah dibicarakan
tersebut pada umumnya menggunakan pandangan struktural yang memberikan fokus perhatian pada perbedaan nilai
dan perbedaan kepentingan tersebut dalam analisisnya tetang masalah sosial termasuk masalah pemakaian obat dan
penyalagunaan obat menggunakan tiga orientasi utama yaitu: berpusat pada kelompok (group centered), evaluative,
dan oreintasi tindakan (action oriented) (Winberg, 1981: 88).
Sumber masalah juga dapat dilihat dari sudut system dalam pengertia luas. Masalah penyalahgunaan obat barangkali
dapat dikenalkan sebagai dampak dari system yang kurang memberikan peluang, sarana dan saluran bagi warga
masyarakat guna memenuhi berbagai aspirasi dan kebutuhan. Sebagaimana diketahui, masalaj sosial dapat terjadi
akibat tidak adanya keseimbangan antara kebutuhan dan sumber-sumber pemenuhan kebutuhan (Wirajosumarto,
1973: 20).
Barangkali pendapat Maslow (Eitzen, 1986: 10) tentnag berbagai variasi kebutuhan seperti kebutuhan fisik
(penopang hidup) rasa aman, dukungan kelompok, harga diri, memperoleh penghargaan dan aktualisasi diri serta
pandangan Goulet (1973; 94) tentang tujuan pembangunan yang meliputi perbaikan hal-hal yang berkaitan dengan
penompang hidup, harga diri dan kebebasan dari penindasan ketidakacuhan, kesengsaraan, kemelaratan, dapat
memperjelas hal ini.
c. Penanganan Masalah
Sebagaimana diketahui, biasanya penanganan masalah merupakan langkah yang mengikuti definisi atau indentifikasi
masalah dan diagnosis masalah. Langkah mendiagnosis apalagi penanganan masalah tidak akan dilakukan aapabila
tidak atau belum disadari adanya masalah sosial yang perlu pemecahan. Arti penting langkah indentifikasi dan
mendefinisikan masalah tambah strategis dengan kenyataan bahwa tidak semua masalah sosial bersifat manifest
melainkan banyak juga yang bersifat latent. Dengan demikian identifikasi masalah juga berfungsi mengangkat
masalah, yang latent ini ke permukaan sehingga segera mengundang penanga lebih lanjut. Keterlambatan
penanganan dapat mengakibatkan masalah berkembang semakin parah dan mengandung berbagai implikasi,
sehingga penanganannya menjadi lebih sulit.
Dari kenyataanya bahwa indentifikasi dan definisi masalah mendorong dilakukannya diagnosis dan selanjutnya upaya
penanganan masalah, maka dapat dimengerti bahwa langkah-langkah pemecahan masalah sosial sangat ditentukan
oleh hasil diagnosis yang telah dilakukan. Apabila diagnosisnya menggunakan individual/person blame approach,
maka upaya penanganan juga bersifat pembinaan terhadap penyadag masalah. Sebaliknya apabila social atau
system blame approach yang digunakan dalam diagnosis, maka kebijakan penanganan masalah akan lebih diletakan
pada perbaikan sistem bahkan mungkin reformasi struktural.
Penyalahgunaan dan kecanduan obat terjadi melalui proses belajar dalam interaksinya dengan individu lain. Dalam
hal ini apabila lingkungan asosiasi yang dekat bersifat devian, maka akan mempunyai potensi besar bagi
kecenderungan perilaku devian. Melihat latar belakang seperti itu, maka penangannya juga melalui interaksi dalam
kelompok. Bedanya kelompok yang dimaksud dalam treatment merupakan kelompok yang mempunyai sifat
sebaliknya yaitu sifat antipenyalahgunaan dan kecanduan obat dan conform terhadap nilai, norma serta aturan
masyarakatnya.
Ada lima prinsip yang perlu diikuti dalam proses rehabilitasi melalui kelompok tersebut yaitu, admission,
indoctrination, group cohesion, status ascription dan synanon. Penanganan masalah penyalagunaan dan kecanduan
obat juga sering dilakukan dengan mengefektifkan sarana pengadilan sosial termasuk di dalamnya melalui peraturan
hokum yang bersifat represif. Beberapa alternatif diusulkan Lemert (1967: 78), yaitu:
1). Melalui system hokum koersif yang menyatakan bahwa pembuatan, distribusi dan pengonsumsian jenis obat
tertentu dan minum beralkohol sebagai tindakan yang ilegal.
2). Melalui system indroktinasi berupa informasi tentang kosekuensi, bahaya pengunaan obat tertentu atau minuman
beralkohol dengan tujuan agar penggunaan jenis obat dan alkohol dengan tujuan agar penggunaan jenis obat dan
alkohol tadi dilakukan secara wajar dan tidak berlebihan atau bahkan masyarakat menjadi berpantangan terhadap
jenis-jenis obat tersebut.
3). Melalui peraturan jenis obat dan minuman beralkohol yang dapat dikosumsi, standar harganya, cara
distribusintya, saat dan tempat yang diperkenankan untuk menggunakannya dan kalangan yang boleh mengonsumsi
berdasar umur, jenis kelamin, serta karakteristik sosial ekonomi lain.
4). Melalui distribusi minuman lain yang dianggap lebih aman tetapi ekuivalen dengan jenis yang dilarang.
Dan dipandang dari latar belakang masalah yang berasal dari bekerjanya sistem dalam masyarakat, maka
penanganan masalah penyalahgunaan obat juga dapat dilakukan dengan mengintensifkan dan menata jaringan
komunikasi antar unsure yang terkait dengan masalah ini, seperti lembaga pendidikan, lembaga yang berkaitan
dengan penyaluran hobi, minat dan bakat.
Demikian pula dengan dengan komunikasi yang lancar baik vertical dan horizontal dengan menghilangkan
penyumbatan dalam berbagai salurannya, maka berbagai aspirasi akan dapat tertampung, sehingga dapat
menghindarkan bentuk-bentuk aktivitas penyalagunaan obat dan kebiasaan tersebut. Penanganan masalah
penyalahgunaan dan kecanduan obat ini dalam perspektif pembangunan masyarakat dapat didudukan sebagai
bagian dari pembinaan sumber daya manusia. Dengan berkurangnya masalah ini maka kan dapat mengurangi beban
pembangunan, bahkan sebaliknya dapat meningkatnkan kapasitas mereka untuk secara lebih optimal berpartisipasi
dalam proses pembangunan. Apalagi jika diingat, bahwa dalam perspektif pembangunan masyarakat faktor manusia
tidak semata-mata berfungsi sebagai potensi yang dapat digerakkan, akan tetapi lebih bersifat aktor atau pelaku
dalam proses pembangunan itu sendiri

Anda mungkin juga menyukai