Anda di halaman 1dari 5

ANALISIS POLITIK LUAR NEGERI PRESIDEN SOEKARNO ERA 1960-AN

NAMA
NIM
JURUSAN

Abstrak

Presiden Soekarno memandang dunia sebagai sebuah panggung raksasa di mana konfrontasi dramatis
antara - sebagaimana ia menyebutnya - kekuatan baru dan kekuatan mapan lama, dimainkan dalam
cara pertarungan wayang antara Pandawa yang saleh dan Kurawas yang jahat. Tulisan ini berusaha
menganalisa politik luar negeri Presiden Soekarno di Era 1960-an melalui kajian ilmu hubungan
internasional

Kata Kunci: Politik Luar Negeri Indonesia, Realisme

1. Pendahuluan
Politik luar negeri Indonesia pada tahun 1960-an menampilkan dua wajah yang sangat
kontras. Di bawah kepemimpinan Presiden Soekarno, pada paruh pertama dekade itu, Indonesia
menginginkan kepemimpinan sebuah front internasional yang radikal dan anti-imperialis. Presiden
Soekarno mengutuk sistem internasional yang berlaku sebagai tatanan eksploitatif dimana kekuatan
lama yang sudah mapan dan dunia mencarinya melalui cara-cara ekonomi, politik dan militer untuk
menjaga kekuatan baru yang muncul dalam penaklukan. Kekuatan besar yang baru saat itu, seperti
Indonesia harus berjuang untuk menyempurnakan dan mempertahankan kemerdekaannya. Presiden
Soekarno membawa Indonesia ke dalam politik luar negeri berupa konfrontasi militan melawan
imperialisme, pertama melawan Belanda di Irian Barat dan kemudian melawan Inggris di Malaysia
[ CITATION Mac74 \l 1033 ]
Presiden Soekarno yakin bahwa sistem internasional yang eksploitatif harus diubah sebelum
Indonesia dapat berkembang secara ekonomi. Presiden Soekarno meninggikan kemandirian dan
mengatakan kepada Amerika Serikat dengan pernyataan ‘go tohell with your help’. Penarikan diri
Indonesia dari PBB pada tahun 1965 setidaknya sebagian disebabkan oleh keyakinan Presiden
Soekarno bahwa organisasi tersebut telah menjadi simbol tatanan dunia yang didominasi oleh neo-
kolonialisme dan imperialisme.
Negara komunis yang masih memiliki hubungan baik dengan Indonesia, juga tidak bebas
diletak dari kecurigaan. Presiden Soekarno tidak senang pada saran Uni Soviet untuk meredakan
konfrontasi melawan Malaysia dan lebih memperhatikan kebutuhan ekonomi dan ketika Indonesia
semakin dekat dengan Cina pada tahun 1964 dan 1965, Presiden Soekarno melihat Uni Soviet semakin
dingin. Bahkan Cina, pendukung utama Indonesia pada tahun 1965, dipandang ragu-ragu. Misalnya,
ketika Jenderal Ahmad Yani, Panglima Angkatan Darat pada tahun 1965 menyatakan bahwa ancaman
utama ke Indonesia adalah dari utara. Presiden Soekarno juga membalas bahwa ancaman itu datang
dari semua sisi, dia bahkan tidak berusaha menyangkal bahwa China adalah ancaman. Dapat dilihat
bagaimana sikap politik luar negeri Indonesia pada saat itu, benar-benar tidak ada yang bisa dipercaya.

2. Rumusan Masalah
Bagaimana sikap politik luar negeri Indonesia pada masa pemerintahan Presiden Soekarno
pada tahun 1960-an?

3. Metode Penelitian
3.1. Metode
Peelitian ini bersifat atheoretical or configurative-idiographic, dimana fenomena
dideskripsikan dengan tujuan untuk memberi pemahaman dan penafsiran kasus sebagai penjelasan
daripada untuk mengembangkan teori secara umum yang lebih luas. Pemikiran dari penelitian ini
bersfat induktif dan historis yang akan menganalisa peristiwa dan keterkaitannya [ CITATION
Akb09 \l 1033 ].
3.2. Kerangka Teori
Neorealisme atau realisme struktural adalah teori hubungan internasional yang mengatakan
bahwa kekuasaan adalah faktor terpenting dalam hubungan internasional. Teori ini pertama kali
dicetuskan oleh Kenneth Waltz dalam bukunya yang berjudul Theory of International Politics. Robert
Powell mengatakan bahwa:
“Di samping neoliberalisme, neorealisme adalah salah satu dari dua pendekatan
kontemporer yang paling berpengaruh terhadap hubungan internasional. Kedua
perspektif tersebut telah mendominasi teori hubungan internasional selama tiga dekade
terakhir. Neorealisme muncul dari disiplin ilmu politik Amerika Utara dan
merumuskan kembali tradisi realis klasik E. H. Carr, Hans Morgenthau, George
Kennan dan Reinhold Niebuhr” [CITATION Pow94 \p 313 \l 1033 ].
Dalam buku The Tragedy of Great Power Politics, terdapat sebuah pendapat mengenai teori
ini sebagai berikt:
“…neorealisme berpendapat bahwa sifat struktur internasional ditentukan oleh prinsip
tataran dunia (anarki), unit sistem (negara), dan oleh distribusi kemampuan (diukur
dengan jumlah kekuatan besar dalam sistem internasional)” [CITATION Mea14 \p 3 \l
1033 ]
Prinsip tatanan anarkis dari struktur internasional adalah desentralisasi. Dalam hal ini, artinya
tidak ada otoritas pusat yang formal, setiap negara berdaulat secara formal setara dalam sistem ini.
Negara-negara bertindak sesuai dengan logika egoisme, artinya negara mencari kepentingannya
sendiri dan tidak akan menundukkan kepentingannya untuk kepentingan negara lain. C. W. Kegley
mengatakan bahwa:
“Politik internasioal semestinya dilihat sebagai objek kajian empiris dan diasumsikan
sebagai sistem dengan stuktur distribusi kekuatan tertentu dalam unit-unitnya.
Meskipun setiap negara menjalankan fungsi pokok seperti keamanan dan kesejahteraan
masyarakatnya, negara memiliki kapabilitas yang berbeda dalam melakukannya”
[ CITATION CWK95 \l 1033 ]
Neorealis berpikir secara deduktif yang mana mengeneralisasikan distribusi power yang ada
menjadi sebuah variabel independen dalam menjelaskan perilaku sebuah unit yang spesifik. Negara
melakukan kerja sama berasaskan self-interest guna memenuhi tujuan survival dalam dunia. Tapi
neorealis melihat secara pesimis hasil dari kerja sama. Kepentingan utaman negara adalah bagimana
cara melangsungkan hidupnya, sehingga negara akan memaksimalkan kekuatan baik secara ekonomi
maupun militer.

4. Hipotesis
Penulis memiliki asumsi bahwa politik luar negeri Presiden Soekarno pada tahun 1960-an
mencerminkan sikap neorealisme.

5. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dalam tulisan ini adalah untuk mengetahui sikap politik luar negeri Indonesia
pada masa pemerintahan Presiden Soekarno pada tahun 1960-an

6. Pembahasan
6.1. Hasil Penelitian
Presiden Soekarno memandang dunia sebagai sebuah panggung raksasa di mana konfrontasi
dramatis antara - sebagaimana ia menyebutnya - kekuatan baru dan kekuatan mapan lama, dimainkan
dalam cara pertarungan wayang antara Pandawa yang saleh dan Kurawas yang jahat. Dengan bantuan
dan dukungan Partaii Komunis Indonesia, Presiden Soekarno berusaha menempa aliansi ‘Poros
Jakarta-Phnom Penh-Beijing-Hanoi-Pyongyang’ untuk memerangi Neokolonialisme, Kolonialisme
dan Imperialisme (Nekolim). Meskipun Uni Soviet adalah pemasok utama senjata dan bantuan
ekonomi, hubungan dengan China melalui jalur resmi dan Partai Komunis Indoneisa semakin erat,
terutama pada tahun 1964-1965.

6.1.1.Sengketa West New Guniea


Kedudukan Belanda yang berlanjut di West New Guinea menyebabkan putusnya hubungan
diplomatik antara Indonesia dan Belanda pada tahun 1960. Pada akhir tahun tersebut, Presiden
Soekarno membentuk unit militer khusus, Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat
(KOSTRAD), yang juga dikenal sebagai Komando Mandala berbasis di Ujungpandang dengan tujuan
untuk ‘memulihkan’ wilayah tersebut. Namun, perang skala besar dapat dihindari ketika dilakuknnya
kompromi di bawah naungan Amerika Serikat, dimana West New Guinea pertama kali diserahkan ke
PBB dan kemudian ke pemerintah Indonesia [ CITATION Nic08 \l 1033 ]
PBB menggantikan Belanda pada tanggal 1 Oktober 1962 dan pada Mei 1963. Otoritas
Indonesia didirikan. Sebagai ang disebut Act of Free Choice, sebuah referendum yang tidak disetujui
dan dipantau untuk mengetahui apakah penduduk, yang kebanyakan orang Papua tinggal di komunitas
suku ingin bergabung dengan Indonesia. Refeendum tersebut diadakan pada tahun 1969. Para
pemimpin komunitas yang mewakili berbagai sektor masyarakat dipilih oleh konsensus di pertemuan
tingkat lokal dan kemudian bertemu di antara mereka sendiri di tingkat desa, kabupaten dan provinsi
untuk membahas afiliasi. Hanya para pemimpin komunitas ini yang dapat memberikan suara dan
mereka menyetujui penggabungan dengan suara bulat. Kritik terhadap proses oleh pengamat asing dan
kecurigaan atas tekan.an pada pemimpin pemungutan suara mempertanyakan legitimasinya
[ CITATION Nic08 \l 1033 ].

6.1.2.Konfrontasi Malaysia
Konfrontasi dengan Malaysia, yang diawali pada tanggal 16 September 1963, yang ditandai
dengan penyatuan negara bagian di Semenanjung Malaya, Singapura dan negara bagian Sabah dan
Sarawak di Kalimantan Utara. Konfrontasi tersebut muncul dari keyakinan Presiden Soekarno bahwa
itu akan berfungsi sebagai basis dari mana pasukan Nekolim bisa menumbangkan revolusi Indonesia
[CITATION Dav041 \t \l 1033 ]
Perdana Menteri Malaysia yang konservatif saat itu, Tengku Abdul Rahman, telah menyetujui
melanjutkan pangkalan angkatan bersenjata Inggris di negara tersebut. Sehingga Presiden Soekarno
tidak dapat melupakan bahwa pemerintah Malaysia yang merdeka telah memberikan bantuan kepada
para pemberontak PRRI pada tahun 1958. Setelah pembentukan Malaysia, gelombang demonstrasi
anti-Malaysia dan anti-Inggris pecah di Indonesia, mengakibatkan pembakaran Kedutaan
BesarInggris. Kelompok serikat pkerja dan Parati Komunis Indonesia menyita perkebunan Inggris dan
perusahaan lain, yang kemudian diserahkan kepada pemerintah [CITATION Dav04 \n \l 1033 ].

6.1.3.CONEFO
Pada tanggal 23 September 1963, Presiden Soekarno yang telah memproklamasikan dirinya
sebagai Presiden seumur hidup, menyatakan bahwa Indonesia harus ‘melahap mentah-mentah
Malaysia’. Unit militer menyusup ke wilayah Malaysia tetapi dicegat sebelum mereka dapat menjalin
kontak dengan para pemeberontak lokal. Tindakan ini dikenal sebagai Konfrontasi, lalu secara segera
melibatkan Inggris, Amerika Serikat, Uni Soviet dan Cina. Ketika Majelis Umum PBB memilih
Malaysia sebagai anggota tidak tetap Dewan Keamanan pada bulan Desember 1964, Presiden
Soekarno mengeluarkan Indonesia dari PBB, lalu ia membentuk sebuah organisasi internasional baru
yang dikenal sebagai Conference of New Emerging Forces (CONEFO) sebagai sebuah akhir yang
pantas dalam periode tersebut [ CITATION Soe96 \l 1033 ].

6.2. Diskusi (Dampak dari isu)


Jika asumsi dasar elit politik luar negeri tentang sifat sistem internasional menunjukkan
keyakinan bahwa dunia luar adalah tempat yang bermusuhan, sikap mereka terhadap hubungan
bantuan luar negeri Indonesia dan strategi pembangunan memberi arti dari politik luar negeri yang
‘bebas-aktif’. Negara-negara tertentu sebagai ancaman potensial bagi kemerdekaan Indonesia dan tren
regional di Asia Tenggara menegaskan dominasi persepsi yang mendasari hal tersebut. Dalam diskusi
tentang semua subjek tersebudiatas, perspektif dunia yang tidak bersahabat terlihat jelas dalam
pemikiran dari generasi tua dan muda, pragmatis dan ideolog, dan perwakilan dari hampir semua
kelompok besar kepentingan politik Indonesia.
Selain itu, penulis menganalisa adanya kecurigaaan tentang dunia luar sangat tinggi di antara
mereka, yang paling terlihat dengan dunia di luar perbatasan Indonesia, yaitu diantara mereka (para
elit politik) yang berpendidikan asing atau pengalaman luas dan yang menetap, juga bepergian ke luar
negeri. Berdasarkan asumsi tersebut, tampaknya adil untuk menganggap persepsi dunia luar yang
bermusuhan sebagai pengaruh yang berkelanjutan terhadap kebijakan luar negeri Indonesia.
Tetapi kenyataannya tetap bahwa politik luar negeri Indonesia secara drastis berbeda dari
sebelum tahun 1966. Terlepas dari keunggulan pandangan dunia yang pada dasarnya mirip dengan
yang mendasari kebijakan Presiden Soekarno, Indonesia jelas telah meninggalkan politik luar negeri
yang konfrontatif dan berkomitmen kuat untuk kebijakan luar negeri pembangunan. Alasan mengapa
kebijakan luar negeri Indonesia berubah begitu dramatis pada pertengahan 1960-an sangatlah
kompleks, tetapi perlu dikatakan dari proses perubahan tersebut untuk memahami implikasi dari
pandangan elit politik luar negeri terhadap dunia. masa depan politik luar negeri pembangunan
Indonesia.
Penjelasan utama dari perubahan politik luar negeri Indonesia terletak pada hubungan antara
sikap elit dan struktur politik. Karena dari karakter elit penguasa Indonesia dan sifat kekuasaannya,
terdapat insentif yang cukup besar bagi para pemimpin Indonesia, baik sebelum maupun sesudah
tahun 1966 untuk mencari bantuan asing. Baik pemimpin sebelumnya maupun yang sesudahnya,
nereka tidak memiliki aparat politik yang dibutuhkan untuk mengumpulkan sumber daya dalam negeri
untuk pembangunan. Mobilisasi sumber daya dalam negeri ala Komunis Tiongkok tidak terpikirkan
oleh elit Indonesia, karena merek pada saat itu tidak memiliki kapasitas dan keinginan untuk
menerapkan strategi koersif semacam itu.
Desakan Presiden Soekarno pada kemandirian benar-benar memberi arti penurunan
pembangunan dan mantan pejabat tinggi di pemerintahan Presiden Soekarno hampir sepakat dalam
menyatakan bahwa tidak ada, bahkan Presiden Soekarno yang pernah benar-benar percaya Indonesia
dapat berkembang tanpa bantuan asing. Elit pada saat ini memandang bantuan luar negeri sebagai hal
yang sangat diperlukan adalah sebuah kenyataan. Mayoritas elit menyatakan bahwa pembangunan di
Indonesia tidak mungkin terjadi tanpa bantuan asing. Selain itu, bantuan dan investasi asing diberikan
kepada mereka yang memiliki peluang kekuasaan untuk keuntungan pribadi dan beberapa pejabat jauh
dari enggan untuk memanfaatkan peluang tersebut.
Tetapi di luar dari kesulitan yang melekat dalam program stabilisasi, persepsi yang meluas
tentang dunia yang tidak bersahabat menciptakan bahaya khusus bagi para pendukung kebijakan luar
negeri yang sedang berkembang pada saat itu. Siapapun yang berani mengusulkan jalan seperti itu
akan segera membuka diri terhadap tuduhan bahwa dia menjual negara, mengejek kemerdekaan dan
tidak memiliki semangat nasionalis. Seandainya salah satu pesaing utama untuk kekuasaan secara
terbuka menerapkan hal tersebut, hasilnya akan memberikan saingannya kesempatan yang sangat baik
untuk mendapatkan keuntungan politik.
Pada saat yang sama, adanya sistem politik yang kompetitif menciptakan dorongan yang kuat
bagi pemerintah Presiden Soekarno untuk menjalankan kebijakan luar negeri yang konfrontatif, yang
dapat digambarkan sebagai hal yang diperlukan untuk mempertahankan kemerdekaan bangsa dari
ancaman yang dianggapnya. Dalam situasi kompetitif tersebut, dengan sikap yang berlaku, kebijakan
luar negeri menekankan perlunya mempertahankan kemerdekaan Indonesia dari ancaman eksternal
dengan memiliki berbagai kegunaan politik. Misalnya, kebijakan konfrontasi terhadap Malaysia
digunakan oleh ketiga elemen politik utama untuk melegitimasi kebijakan dalam negeri yang masing-
masing dirasa akan meningkatkan posisi politiknya vis-a-vis yang lain.
Setelah persaingan politik diselesaikan demi salah satu pesaing, seperti ketika pasukan militer
secara efektif memonopoli kekuasaan politik pada tahun 1966, daya tarik politik dari kebijakan luar
negeri yang konfrontatif menjadi tidak relevan. Pada saat yang sama, biaya politik bagi pemerintah
Indonesua untuk suatu kebijakan pembangunan berkurang secara substansial. Beberapa pendukung
utama kebijakan pembangunan telah mengakui bahwa hal itu dapat diberlakukan hanya karena oposisi
politik telah diintimidasi dengan begitu parah sehingga mereka tetap bungkam. Sikap diam para
kritikus saat itu dilakukan karena sejumlah pertimbangan. Pada dasarnya, mereka mengkhawatirkan
konsekuensi politik dari menentang pemerintah pada saat posisi mereka sendiri tidak aman secara
politik. Hanya mereka yang paling berani dan mau mengambil risiko dicap sebagai simpatisan ‘orde
lama’ atau, jika kredensial anti-Sukarno mereka tidak tercela. Selain itu, masih ada perasaan bahwa
oposisi akan sia-sia. Hal tersebut akan meningkatkan risiko mempermalukan diri sendiri secara politik
tanpa ada peluang nyata untuk berdampak pada kebijakan pemerintah.
Terlepas dari bahaya politik dalam mengungkapkan keraguan mereka, ada juga ambivalensi
yang mendalam dari masyarakat dengan tulus ingin melihat negaranya berkembang dan tidak ingin
menghalangi upaya tersebut, bahkan jika mereka memiliki keraguan tentang implikasi kebijakan luar
negeri dari pembangunan saat itu. Mereka yang secara langsung bertanggung jawab atas kebijakan
luar negeri dan strategi pembangunan Indonesia tidak peka terhadap bahaya ketergantungan pada
bantuan luar negeri, tetapi mereka hanya melihat tidak ada alternatif untuk pendekatan yang mereka
pilih untuk diikuti. Dalam analisa penulis, banyak orang Indonesia secara jelas tidak nyaman
mengungkapkan sentimen yang mungkin membahayakan peluang Indonesua untuk mendapatkan
bantuan yang dibutuhkan.

7. Kesimpulan
Dengan demikian, kebijakan luar negeri pembangunan Indonesia dilaksanakan tanpa
dukungan sikap mendasar yang mungkin diharapkan dari suatu kebijakan yang menekankan kerja
sama dengan kekuatan-kekuatan besar dan menerima ketergantungan pada kekuatan-kekuatan barat
untuk bantuan ekonomi. Pandangan para pemimpin Indonesia tentang dunia membuat mereka sangat
curiga terhadap motivasi kekuatan-kekuatan besar dan sangat ambivalen tentang kebijakan luar negeri
pembangunan mereka. Indonesia membiarkan diri mereka menjadi tergantung pada bantuan asing
karena mereka merasa tidak punya pilihan. Tetapi mereka tidak menyukainya. Hal ini menunjukkan
bahwa ada potensi yang sangat besar di Indonesia untuk daya tarik anti-asing. Mungkin bukan hal
yang signifikan bahwa beberapa dari mereka yang secara langsung diidentifikasi dengan kebijakan
luar negeri pembangunan Indonesia.
Namun mengingat kecurigaan yang mendalam tentang dunia luar, akan mengejutkan jika tidak
ada lagi pernyataan dari sudut pandang ini di tahun-tahun mendatang, terutama jika ekonomi gagal
menunjukkan kemajuan yang benar-benar mengesankan. Sejauh kekuatan politik di Jakarta menjadi
lebih menyebar dan persaingan politik pulih, orang mungkin mengharapkan peningkatan tantangan
terhadap kebijakan luar negeri pembangunan Indonesia pada saat itu dan telah dibuktikan secara nyata
hingga saat ini.

8. Daftar Pustaka
Akbar, & Usman. (2009). Metode Penelitian Sosial. Jakarta: Bumi Aksara.
Djiwandono, S. (1996). Konfrontasi Revisited Indonesias Foreign Policy Under Soekarno. New York:
Centre for Strategic and International Studies.
Easter, D. (2004). Britain and the Confrontation with Indonesia. London: I. B. Taurus.
Easter, D. (2004). Britain and the confrontation with Indonesia, 1960-1966. London: Tauris.
Kegley, C. W. (1995). Controversies in International Relations Theory: Realism and the Neoliberal
Challenges. New York: Saint Martin Press.
Mackie, J. A. (1974). Konfrontasi Indonesia-Malaysia. Kuala Lumpur: Oxford University Press.
Mearsheimer, J. J. (2014). The Tragedy of Great Power Politics. New York: Norton.
Powell, R. (1994). Anarchy in International Relations Theory: The Neorealist-Neoliberali Debate.
International Organizations, 48(2), 313.
Tarling, N. (2008). Britain and the West New Guinea Dispute, 1949-1962 . New York: The Edwin
Mellen Press.

Anda mungkin juga menyukai