Anda di halaman 1dari 9

A.

Hubungan Internasional
Istilah Berdikari, Berdiri di Atas Kaki Sendiri, pada umumnya
dihubungkan dengan ajaran Trisakti yang dikemukakan Bung Karno pada
pidato 17 Agustus 1964. Tetapi Bung Karno sendiri pada pidato tanggal 17
Agustus 1965 (diberi judul “Takari” atau Tahun Berdikari) menyatakan bahwa
Berdikari merupakan Ajaran yang secara formulatif berada di urutan ke-5.
Gagasan Berdikari yang diperuntukan bagi kerjasama internasional
negara-negara New Emerging Forces (NEFO) yang berbasiskan negara-negara
dari Asia, Afrika dan Amerika Latin, mempertegas jalan pikiran Bung Karno
setelah keluarnya TRISAKTI. Sebagaimana kita kemukakan pada bab-bab
terdahulu, formulasi dari pada Trisakti adalah Berdaulat dalam bidang politik,
berdikari dalam bidang ekonomi dan berkepribadian di biddang budaya.
“Senjata” Trisakti oleh Bung Karno diperuntukkan bagi rakyat dan bangsa
Indonesia dalam rangka menghadapi lawan-lawannya. Dengan demikian
gagasan Berdikari yang dikeluarkan tahun 1965 ini dikibarkan dalam rangka
menggalang kerjasama kekuatan internasional untuk menghadapi
“Neokolonialisme dan Neo-Imperialisme (Nekolim).
Kemerdekaan nasional menurut Bung Karno tidak sekadar menjadi
titik awal lepasnya Indonesia dari belenggu penjajahan, melainkan juga
merupakan fase permulaan revolusi kemanusiaan dari suatu bangsa yang
sebelumnya terjajah. Kemerdekaan nasional merupakan tonggak dimulainya
proses perjuangan dalam menegakkan sendi-sendi kebangsaan untuk bisa
hidup sejajar dengan bangsa-bangsa sehingga menurut Bung Karno:
“Merdekanya sesuatu bangsa jajahan adalah satu peristiwa dalam proses revolusi
kemerdekaan seluruh kemanusiaan, satu cincin dalam rantai revolusi
kemerdekaan seluruh kemanusiaan.” 1

Setelah rakyat Indonesia menemukan kembali rel revolusinya pada


tahun 1959, Bung Karno memformulasikan TRILOGI, Yaitu tiga kerangka
tujuan revolusi Indonesia, yang isinya

1
Sukarno. Kepada Bangsaku, Hal,376.
1. Negara kesatuan Republik Indonesia berwilayah dari sabang
sampai merauke,
2. Masyarakat Indonesia yang adil dan makmur
3. Perdamaian dunia yang adil dan beradab.
Untuk perdamaian dunia seperti yang digagaskan Bung Karno itulah
ditelorkan konsep berdikari secara sendiri. Secara spesifik Bung Karno
berkata:2
“Republik Indonesia ingin menegaskan, bahwa berdikari tidak berarti mengurangi,
melainkan memperkuat kerjasama internasional, terutama diantara semua negara
yang baru merdeka. Yang ditolak oleh berdikari adalah ketergantungan kepada
imperialisme, bukan kerjasama yang sama derajat dan saling menguntungkan”.
Untuk melawan kapitalisme–imperialisme Internasional yang selalu
melakukan penindasan dan penghisapan, pada mulanya rakyat dan bangsa
Indonesia harus memiliki benteng yang kuat. Pada tahap selanjutnya, konsep
berdikarilah yang ditawarkan kepada dunia internasional, terutama kepada
kelompok Nefo. Tetapi perlawanan dengan konsep berdikari tersebut tidak
boleh dibayangkan hanya akan berlangsung beberapa tahun. Bung Karno
mengingatkan:
“Berdikari bukan hanya azas untuk tahun ini – yang sebagian rakyat sudah
menamakannya ‘Tahun Berdikari’ tetapi azas untuk masa yang panjang, selama
kita masih mengkonsolidir kemerdekaan nasional dan selama kita masih
berhadap-hadapan dengan imperialisme. Mungkin seluruh dasawarsa atau
seluruh dwidasawarsa, atau seluruh tridasawarsa yang ada di hadapan kita ini
merupakan Dasawarsa Berdikari!”3
Rakyat dan bangsa Indonesia tidak akan melupakan gagasan Bung
Karno tentang penggalangan kekuatan Internasional dalam rangka
menghancurkan hari-hari terakhir imprealisme internasional yang kini
tercetus dalam berdikari.
Dalam risalah Mencapai Indonesia Merdeka (1933), Bung Karno juga
sudah menyatakan:

2
Sukarno Op,cit. Amanat Proklamasi IV Hal,186.
3
. Ibid. Hal,194.
“Jikalau Banteng Indonesia sudah bekerja bersama-sama dengan Sphinx dari
negeri Mesir, dengan Lembu Nandi dari negeri India, dengan Liong Barongsai dari
negeri Tiongkok, dengan kampiun-kampiun kemerdekaan dari negeri lain – Jikalau
Banteng Indonesia bisa bekerja bersama-sama dengan semua musuh kapitalisme
dan internasional imperialisme di seluruh dunia, wahai tentu hari-harinya
internasional imperialisme itu segera terbilang.”4
Suatu kenyataan, kosongnya kegiatan PNI (partai Nasional
Indonesia) tahun 1927 yang dipimpinnya terhadap konsep kerjasama
internasional (walau masih dalam rangka mencapai kemerdekaan nasional),
membuat Bung Karno mengingatkan rakyatnya sekaligus melakukan kritik-
oto-kritik kepada partai binaannya itu
“Dan Partai Nasional Indonesia pun, partai saya sendiri dulu, di dalam bentuknya
dan politiknya yang dulu, tak akan dapat mencapai Indonesia Merdeka, oleh
karena ia terlalu memandang perjuangan rakyat Indonesia itu sebagai satu
perjuangan nasional tersendiri, dan kurang memperhatikan kedudukan
perjuangan rakyat Indonesia itu sebagai satu bagian daripada satu Revolusi Besar
Internasional.”5
Apa yang di tahun 1965 diangkat sebagai konsep berdikari itu,
esensinya di tahun 1949, ketika itu Indonesia masih berada dalam tahap
revolusi fisik ‘ditangkap’ secara tepat oleh India yang ketika itu juga
mempertahankan kemerdekaannya. Ketika pada periode itu Bung Karno, Bung
Hatta dan pemimpin Indonesia lainnya ditahan Belanda, saat itu pula India
menghimpun negara-negara Asia untuk di ajak berdialog dalam Konferensi
New Delhi untuk membicarakan masalah Indonesia. Hasilnya, masalah
Indonesia dimasukkan menjadi agenda PBB. Respon India itu membuat rakyat
Indonesia menyadari pentingnya kerja sama Internasional. Dan itulah yang
membuat Bung Karno menegaskan, digulirkannya konsep Berdikari ke
negara-negara Nefo bukan untuk mengurangi, justru untuk memperluas
kerjasama internasional.

4
Sukarno. Op,cit. Mencapai Indonesia Merdeka, Hal,56.
5
Sukarno. Op,cit. Kepada Bangsaku, Hal,372.
Bila melihat situasi seusai Perang Dunia (PD) II, dimana konstelasi
politik internasional diwarnai dengan ketegangan dua kutub kekuatan besar,
yaitu antara blok Barat yang dikomandani Amerika Serikat, dan blok Timur
dibawah pengaruh Uni Sovyet, Bung Karno melakukan manuver politik yang
khas untuk menyelesaikan ketegangan tersebut. Melalui pidato di Perserikatan
Bangsa-Bangsa (PBB) pada 30 September 1960. Bung Karno
mengumandangkan gagasan “To Built The World A New. (membangun dunia
kembali), yang dalam strategi besarnya akan dilanjutkan dengan
penggalangan kekuatan negara-negara baru yang dinamakannya New
Emerging Force (NEFO). Untuk melancarkan strategi tersebut, dibentuk poros
“Jakarta-Peking-Hanoi-Pyongyang-Pnompen. Strategi poros ini adalah strategi
“teritorial” untuk membendung Nekolim.
Tindakan Bung Karno tersebut mendasarkan pada apa yang sering
dikatakannya bahwa dunia ini terjadi Historis Paradox (sifat bertentangan
dalam sejarah). Bahwa dunia sampai awal abad 20 melahirkan negara-negara
nasional sebagai akibat dari pada kontradiksi kapitalisme yang artinya
masyarakat manusia membentuk jarak. Namun dipihak lain kemajuan
teknologi sebaliknya mendekatkan (komunikasi masyarakat manusia).
Kontradiksi historis Paradox yang muncul setelah PD II ini oleh kaum
kapitalis/imperialis, “dijawab” dengan cara yang khas yaitu melalui bentuk
penjajahan gaya baru. Bung Karno melalui di depan peserta sidang konferensi
Asia-Afrika di Bandung mengingatkan bahwa,
“kolonialisme mempunyai juga baju modern, dalam bentuk penguasaan materiil
yang nyata-nyata dilakukan oleh sekumpulan kecil orang-orang asing yang tinggal
ditengah-tengah rakyat.”6
Pada tanggal 18 April 1955, sebagaimana di kutip Herbert Feit,
berbicara tentang imperialisme Bung Karno melukiskan bahwa Imperialisme
adalah sebagai berikut:

6
Sukarno. Pancasila Perdamaian Dunia, Hal, 31
“Intervensi, subversi, agresi dan menuju kepada eksploitasi sumber-sumber minyak
Indonesia oleh perusahaan-perusahaan asing yang dikuasai oleh perusahaan-
perusahaan asing yang dikuasai modal monopoli Belanda, Inggris, dan Amerika.”7
Perlawanan Bung Karno terhadap “teori dua kekuatan” atau sistem
dua kutup (Blok Barat dan Blok Timur) yang tujuannya untuk mengubah
distribusi kekuatan antara dua blok, blok Barat dan blok Timur tersebut,
menyebabkan lahirnya teori darimana Indonesia akan menjadi pilar ke 4
(setelah RRT menempati pihak ke-3). Justru sebagai tanggapan atas politik
“teori dua kekuatan” dari Bung Karno, baik Amerika Serikat maupun Uni
Soviet saling bermain dibalik layar untuk merapatkan diri secara tidak resmi
dan diam-diam pada tahun 1965 “membendung” garis kebijaksanaan
internasional Jakarta.8 Yang oleh Bung Karno disebut peristiwa GESTOK
(gerakan 1 Oktober 1965).

B. Perang Dingin
Berakhirnya Perang Dunia Ke-II, praktis disusul oleh “pembagian”
Eropa secara signifikan, menjadi dua bagian. Bagian Barat berada di bawah
hegemoni Amerika Serikat dan sekutunya, dan bagian Timur di bawah Uni
Sovyet. Presiden Amerika Serikat, Hary F. Truman menyatakan sebenarnya
Amerika “tidak setuju” dengan pembagian tersebut, dengan alasan tidak
sesuai dengan kehendak rakyat dan tidak akan mengakui pemerintah-
pemerintah yang dipaksakan oleh kekuatan-kekuatan asing.” 9
Di sisi lain, apa yang diistilahkan sebagai “kemenangan gilang-
gemilang komunisme di wilayah Asia” menambah kekhawatiran Amerika
Serikat terhadap semakin meluasnya ekspansi komunis. Kemenangan-
kemenangan yang luar biasa itu memang dicapai oleh Partai Komunis China di
bawah Mao Tse Tung terhadap kelompok Nasionalis-Chiang Kai Shek, disusul
dengan jatuhnya Vietnam dibawah Ho Chi Minh, dan munculnya pemimpin
Komunis Kim Il Sung di Korea Utara. Meluasnya komunisme di negara-negara

7
Hebert Feith & L catle. Pemikiran Politik Indonesia, 1945-1965, Hal,467
8
Tribuana Said.Indonesia Dalam Politik Global Amerika Hal, 3
9
Ibid. Hal,23.
Asia menyebabkan Amerika Serikat menuduh mereka sebagai komperador-
komperador Uni Sovyet. Sebaliknya negara-negara yang “bersekutu” dengan
Uni Sovyet tentu tidak sekadar melawan dominasi Amerika dengan cara
memenangkan komunisme setempat-setempat (yang oleh Amerika Serikat
disebut ekspansi). Uni Sovyet dan sekutunya tentu punya garis-garis strategi
yang betapapun mampu mengimbangi kekuatan Blok lawan.
Untuk menghadapi ekspansi Uni Sovyet, Amerika Serikat
melancarkan “strategi pembendungan” yang pelaksanaannya di Eropa
diwujudkan dalam program “Marshal Plan”. Melalui politik pembendungan ke
seluruh dunia, Washington menjalin persekutuan dengan sejumlah negara,
baik secara multi-lateral maupun secara bilaterial. Implikasinya, pangkalan-
pangkalan militer didirikan di beberapa tempat di pesisir Samudera Hindia
sampai ke pedalaman Jepang, serta bantuan ekonomi disuguhkan kepada
pemerintahan-pemerintahan Sekutu maupun sahabat Amerika Serikat. 10
Glebih jauh mengenai politik pembendungan diungkapkan:
“Kendati membendung komunisme telah merupakan titik berat konsisten dalam
kebijakan luar negeri Amerika Serikat sesudah 1945, begitupun pembendungan
telah melewati tiga fase yang berbeda. Dalam fase pertama, dari tahun 1945 hingga
1950, Amerika Serikat telah merumuskan suatu kebijakan yang tegas dalam hal
Eropa, tetapi tidak terhadap Timur Jauh. Sarana-sarana utama kebijakan adalah
politik dan ekonomi, bukan militer.
“Dalam fase kedua, 1950 sampai 1968, Amerika Serikat mengglobalkan dan
mengeruhkan politik pembendungannya. Sarana-sarana utama kebijakan adalah
persekutuan-persekutuan, bantuan luar negeri, dan ketergantungan pada
kekuatan militer.
Dalam fase ketiga, belum selesai, dari tahun 1969 dan seterusnya, pembendungan
didiamkan tapi belum dimatikan oleh détente dengan Rusia dan China. Sarana-
sarana kebijakan mulai kembali bergeser dengan ketergantungan utama pada
kekuatan militer.”11
Dari ketiga fase pembendungan ternyata Amerika Serikat lebih
menegaskan kekuatan militernya. Misalnya pada pertempuran antara China

10
Ibid.. Hal,67.
11
Ibid. . Hal,6.
Nasionalis dan China Komunis, Amerika Serikat menerjunkan 110. 000
pasukan Marinir untuk mendukung kelompok Chiang Kai Shek. Kendati pada
akhirnya Amerika mengakui keunggulan tentara Mao Tse Tung, kegagalan
Amerika Serikat tidak menyurutkan langkah negara adidaya itu untuk terus
menggunakan kekuatan militer dalam strateginya membendung ekspansi
komunis. Bahkan AS mempertahankan dominasinya, dengan membentuk
aliansi-aliansi pertahanan baru seperti NATO (North Atlantic Treaty
Organization), yaitu organisasi pertahanan untuk Eropa, SEATO (South East
Asia Treaty Organization) untuk Asia-Pasifik, dan ANZUS (Australia-New-
Zealand).
Pada masa kepemimpinan Truman, selain menyediakan bantuan
ekonomi dan militer secara terbuka kepada negara-negara sekutunya,
pelaksanaan strategi pembendungan Amerika juga berupa pemberian bantuan
secara rahasia kepada partai-partai politik non-komunis ke negara-negara
lain.12 Kemudian dalam rangka mempelajari perkembangan-perkembangan di
luar, Deparlu AS membentuk misi khusus yang beranggotakan para akademisi
dari Universitas dan Yayasan Rockefeller, dengan tugas mengadakan
peninjauan umum di tempat, mengenai keadaan di seluruh Asia sejak bulan
Juli 1949.13
Sebenarnya pertarungan dua kekuatan dunia tersebut merupakan
bentuk lanjut dari pertarungan dua pemikiran teoritis antara kubu Liberal dan
kubu Marxis. Kubu liberal berpegang pada realisme politik dari HJ
Morghentau yang berpendapat bahwa.
“Politik internasional sebagaimana semua politik adalah perjuangan kekuatan”.
Pendapat Morghentau kemudian menjadi pijakan dalam menentukan kebijakan
politik luar negeri Amerika Serikat. Dengan kata lain dapat dirumuskan bahwa,
“Amerika Serikat adalah kekuatan status quo defensif yang ingin membendung
ekspansionisme revolusioner yang dipimpin Uni Sovyet.”14

12
Ibid. Hal,68.
13
Ibid.
14
Ibid. Hal,4.
Kubu Marxis menilai politik luar negeri Amerika Serikat adalah
imperialis. Teori yang dikemukakan oleh Lenin ini menjelaskan, bahwa bila
diperlukan untuk memberikan pengertian sesingkat mungkin, imperialisme
adalah tahap monopoli daripada kapitalisme. Apabila penghisapan kapitalisme
telah tumbuh mekar menjadi mendunia, yang berlandaskan rangkaian
panjang basis militer dan politik di seluruh dunia, maka revolusi harus
menyerang rangkaian itu pada mata rantai yang lemah. Teori Lenin ini tidak
lain dari penjabaran tentang “revolusi dunia”-nya Marx dan Engels, yang
menyatakan bahwa, suatu revolusi komunis untuk dapat berhasil harus
melampaui perbatasan-perbatasan nasional. Revolusi seperti itu mesti pecah
secara serentak di mana konflik kelas di antara borjuasi dan proletariat telah
cukup matang. Lenin akhirnya meletakkan dasar tentang “revolusi tidak
terputus-putus”.
Bentuk konfrontasi dari dua kekuatan dunia sangat mewarnai
percaturan politik internasional pasca Perang Dunia II. Di tengah situasi
konfrontasi dua kekuatan itu, tumbuhlah kekuatan baru yang dibawakan
Bung Karno. Melalui mimbar PBB 30 September 1960, Bung Karno menolak
pandangan Bertrand Russel yang membagi dunia menjadi dua, yaitu antara
penganut paham Declaration of Independence dan paham Manifesto Komunis.
Dalam pandangan Bung Karno, kedua ideologi tersebut memiliki kekurangan-
kekurangan. Di satu sisi Manifesto Komunis tidak pernah mengajarkan adanya
Ketuhanan, sedangkan di sisi lain Declaration of Independence tidak
mengajarkan keadilan sosial. Di PBB itulah kemudian Bung Karno
menawarkan Pancasila sebagai piagam PBB dalam “Membangun Tata Dunia
Baru”. Sebab perdamaian dunia tidak akan tercapai bila masih ada tirani
kekuatan yang menghegemoni dunia, yang selama itu menyebabkan
ketegangan-ketegangan sehingga praktis dunia waktu itu berada dalam
suasana Perang Dingin.
Apa yang dikerjakan Bung Karno setelah itu dalam rangka
melaksanakan Hubungan Internasional adalah dengan menggalang negara–
negara nasional baru yang progresif (Nefo)untuk melawan hegemoni kekuatan
lama (Oldefo) yang imperialistik, dalam prakteknya, baik blok barat maupun
blok timur dalam prakteknya sama–sama imprealis. Uni Soviet misalnya,
begitu ketat menerapkan doktrin–doktrin Marxis dalam memperlakukan
satelit–satelitnya tak ubahnya sebagai negara terjajahan. Apalagi Amerika
Serikat yang selama beberapa dasawarsa terakhir melakukan segala cara
terutama kekuatan militernya untuk melakukan eksploitasi ke negara-negara
yang lemah.

Anda mungkin juga menyukai