Anda di halaman 1dari 16

1.

T R I S A K T I
Trisakti merupakan azimat ke-4 Panca Azimat yang disumbangkan
Bung Karno untuk perjuangan bangsa Indonesia. Trisakti merupakan salah
satu konsekuensi logis bangsa Indonesia yang sejak lama memperjuangkan
kedaulatan tanah air dengan kemampuan rakyat sendiri. Azimat Trisakti
merupakan rumusan rakyat Indonesia yang digali Bung Karno, selama
menghadapi usaha-usaha imperialis yang ingin menghancurkan Indonesia.
Menurut Bung Karno:
“Azimat keempat adalah amanat Trisakti Tavip, yang baru lahir tahun yang lalu,
setelah kita mengalami bermacam-macam pengalaman dengan kaum imperialis,
dengan PBB, dan lain-lain.”1
Trisakti Tavip ini adalah tidak lain dari pidato Bung Karno tanggal 17
Agustus 1964 yang berjudul “Tahun Vivere pericoloso”. Pidato tersebut
disampaikan Bung Karno, pada saat Indonesia sudah berhasil mengembalikan
Irian Barat ke pangkuan Ibu Pertiwi dengan perjuangan seluruh rakyat
Indonesia. Tetapi situasi internasional justru sebaliknya, kaum imperialis
menanggapi kemenangan Indonesia dengan melakukan tindakan sabotase
yang ingin menghancurkan kekuatan revolusi Indonesia, termasuk juga
mendirikan proyek “Federasi Malaysia”.
“Federasi Malaysia” itu sendiri oleh rakyat Brunei, Kalimantan Timur
dan Sabah tidak dapat diterima. Karena rakyat di tiga daerah tersebut ingin
merdeka lepas dari penjajahan Inggris. Situasi menjadi chaos sebab dengan
secara sepihak Tengku Abdulrahman atas rekayasa Inggris mendeklarasikan
berdirinya Federasi Malaysia. Dengan mengkhianati Manila Agreement, yaitu
untuk mengadakan penentuan pendapat dari rakyat Malaya tentang keinginan
beberapa orang pemimpin Malaysia. Indonesia dan Malaysia ditunjuk sebagai
peninjau, tetapi sebelum proses itu dimulai PBB sudah mengumumkan hasil
penentuan pendapat.

1
Amanat Proklamasi IV, Hal,194.
Hal inilah, yang membuktikan bahwa kesimpulan Indonesia menjadi
benar, tentang proyek “Federasi Malaysia” adalah proyek Nekolim yang akan
mengkontain (mengepung) Revolusi Indonesia.
Sementara itu tentang Trisakti, Bung Karno dalam MMAA II (sebagai
pengembangan Konferensi Bandung),
“Telah merumuskan dengan baiknya keharusan setiap negara Asia Afrika untuk
berdiri di atas kaki sendiri dalam ekonomi, bebas dalam politik berkepribadian
dalam kebudayaan.”2
Dalam pidato 17 Agustus 1965 Bung Karno menjelaskan ulang:
“Dalam pidatoku yang terkenal, Tahun Vivere Pericoloso (TAVIP), kuformulasikan ‘6
hukum revolusi’. Yaitu bahwa Revolusi harus mengambil sikap tepat terhadap
lawan dan kawan, harus dijalankan dari atas dan dari bawah, bahwa destruksi
dan konstruksi harus dijalankan sekaligus, bahwa tahap: Pertama harus
dirampungkan dulu kemudian tahap kedua, bahwa harus setia kepada program
revolusi sendiri yaitu Manipol, dan bahwa harus punya sokoguru, punya pimpinan
yang tepat dan kader-kader yang tepat; Juga kuformulasikan Trisakti (berdaulat
dalam politik, berdikari dalam ekonomi, dan berkepribadian dalam kebudayaan).” 3
Pelaksanaannya dalam Revolusi Indonesia, Trisakti dijalankan secara
keseluruhan karena ketiga unsurnya saling berkaitan satu sama lain. Bung
Karno menjelaskan:
“Harus diingat, bahwa Trisakti itu harus dipenuhi, ketiga-tiganya tidak bisa
dipretel-preteli. Tidak ada kedaulatan dalam politik dan kepribadian dalam
kebudayaan, bila tidak berdikari dalam ekonomi, dan sebaliknya! Seluruh minat
kita, seluruh jerih payah kita harus kita abdikan kepada pelaksanaan seluruh
Trisakti, yang sebenar-benarnya inti daripada perjuangan kita.”4
Jadi Trisakti adalah:
1. Berdaulat dalam bidang politik;
2. Berdikari dalam bidang ekonomi;
3. Berkepribadian dalam bidang kebudayaan.
Trisakti merupakan inti dari perjuangan rakyat Indonesia.

2
Ibid. Hal,145.
3
Ibid. Hal,165 – 166.
4
Ibid. Hal,189 – 190.
a. Berdaulat Dalam Bidang Politik
Mengenai Berdaulat dalam Bidang Politik, Bung Karno menjelaskan:
“Ya, berdaulat dalam politik! Apa yang lebih luhur daripada ini, Saudara-saudara?
Lebih setengah abad lamanya bangsa Indonesia berjuang, membanting-tulang dan
mencucurkan peluh, untuk kedaulatan politik itu.”5
Perjuangan rakyat Indonesia untuk menegakkan kedaulatannya itu
sudah berkobar melalui tahapan National Geest (kesadaran nasional) dalam
dada rakyat, kemudian bertumbuh-kembang menjadi National Will (kemauan
nasional), dan berkulminasi secara sintesis menjadi National Daad
(amal/perbuatan nasional) yaitu Proklamasi 17 Agustus 1945, seperti
dikatakan Bung Karno:
“Berpuluh-puluh tahun kita bangsa Indonesia telah berjuang, untuk
kemerdekaannya tanah air kita. Bahkan telah beratus-ratus tahun! Gelombangnya
aksi kita mencapai kemerdekaan kita ada naiknya dan ada turunnya, tetapi jiwa
kita tetap menuju ke arah cita-cita. Sekarang tibalah saatnya kita benar-benar
mengambil nasib bangsa dan nasib tanah air di dalam tangan sendiri. Hanya
bangsa yang berani mengambil nasib dalam tangan sendiri, akan dapat berdiri
dengan kuatnya.”6
Cita-cita rakyat untuk kemerdekaan Indonesia semakin memuncak
tatkala bala tentara Jepang menyerbu dan persiapan untuk merebut
kemerdekaan itupun direncanakan matang oleh seluruh potensi rakyat. Tetapi
apa yang disebut dengan “Merdeka” atau kemerdekaan itu? Bung Karno dalam
pidato Lahirnya Pancasila 1 Juni 1945, menjelaskan:
“Apa yang saya artikan dengan perkataan ‘merdeka’. Merdeka buat saya ialah:
‘Political Independence’, politieke Onafhankelijkheid.”7
Kemerdekaan dalam artian di atas adalah kemerdekaan politik,
menyusun cita-cita dan mengubah nasibnya oleh tangannya sendiri, oleh
kekuatan sendiri. Oleh karena itu tidak ada hak bangsa atau kekuatan
manapun berhak campur-tangan mengatur kemerdekaan politik bangsa
Indonesia, seperti diuraikan Bung Karno:

5
Ibid. Hal,190.
6
Soekarno. Op,cit. DBR II, Hal,3.
7
Op,cit. Tubapi, Hal,7.
“Kita tidak bisa didikte oleh siapa pun lagi, kita tidak menggantungkan diri kepada
siapa-siapa lagi, kita tidak mengemis-ngemis.”8
Dihubungkan dengan garis revolusi Indonesia yang mengandung
dinamika, romantika, dan dialektika, azas berdaulat dalam bidang politik
mengandung unsur-unsur:
1. Bangsa Indonesia berdaulat/merdeka dalam menentukan haluan
politiknya, oleh karena itu siapa pun tidak berhak mendikte
bangsa Indonesia baik terang-terangan maupun secara halus.
2. Bangsa Indonesia berdiri kokoh dengan kekuatan sendiri dan
tidak menggantungkan nasibnya kepada siapa pun atau bangsa
apa pun.
3. Bangsa Indonesia bukanlah bangsa pengemis yang minta-minta
kepada orang lain.
Pernyataan Proklamasi kemerdekaan Indonesia itu kemudian
dilengkapi dengan Undang Undang Dasar 1945, dimulai dengan Pembukaan.
Proklamasi dan Pembukaan UUD 1945 merupakan loro-loroning atunggal (dua
tetapi hakekatnya satu), tidak bisa dipisahkan satu sama lainnya. Keduanya
berisi cetusan Amanat Penderitaan Rakyat Indonesia.
Tetapi semuanya itu bukan berarti setelah perjuangan rakyat
Indonesia selesai, lalu National Geest, National Will, dan National Daad
dihentikan. Bung Karno bahkan menganjur-anjurkan agar ketiga “jiwa
perjuangan” tersebut terus dikobar-kobarkan. Sebab kemerdekaan itu hanya
satu fase saja dari fase-fase revolusi Indonesia lainnya. Atau, seperti
diterangkan Bung Karno dalam risalah Mencapai Indonesia Merdeka, bahwa:
“Indonesia Merdeka hanyalah satu jembatan emas, sekalipun suatu jembatan emas
yang harus dilalui dengan segala keawasan dan keprayitnaan, jangan di atas
jembatan itu Kereta-Kemenangan dikusiri oleh lain orang selainnya Marhaen.
Seberang jembatan itu jalan pecah dua: satu ke dunia kesengsaraan Marhaen,
satu dunia keselamatan Marhaen, satu ke dunia sama-rata-sama-rasa, satu ke
dunia sama-ratap sama tangis.”9

8
Op,cit. Amanat Proklamasi IV, Hal,190.
9
Sukarno. Mencapai Indonesia Merdeka, (Depertemen Penerangan RI: 1933) Hal,78.
Di atas jembatan emas kemerdekaan itu, rakyat Indonesia menyusun
satu negara dan membentuk pemerintah. Negara sebagai Machts-Organisatie
atau organisasi kekuasaan digunakan untuk menyelenggarakan seluruh
Amanat Penderitaan Rakyat, sebagaimana terdapat dalam Pembukaan UUD
1945 alinia ke-4:
“Kemudian daripada itu, untuk membentuk suatu pemerintah Negara Indonesia
yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia
dan untuk memajukan kesejahteraan umum mencerdaskan kehidupan bangsa
dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan,
perdamaian abadi dan keadilan sosial.”10
Lebih jauh mengenai kemerdekaan/kedaulatan Bung Karno
menjelaskan:
“Sekali lagi, semua kita, terutama sekali semua pemimpin-pemimpin, harus
menyadari sangkut-paut antara Proklamasi dan Pembukaan Undang-Undang
Dasar 1945: Kemerdekaan untuk ‘Bersatu’. Kemerdekaan untuk ‘berdaulat’,
kemerdekaan untuk ‘adil dan makmur’, kemerdekaan ‘memajukan kesejahteraan
umum’, kemerdekaan untuk ‘mencerdaskan kehidupan bangsa’, kemerdekaan
untuk ‘ketertiban dunia’, kemerdekaan untuk ‘perdamaian abadi’, kemerdekaan
untuk ‘keadilan sosial’, kemerdekaan untuk ‘berkedaulatan rakyat’, kemerdekaan
yang berketuhanan Yang Maha Esa’, kemerdekaan yang ‘berkemanusiaan yang
adil dan beradab’, kemerdekaan yang berdasarkan ‘Persatuan Indonesia’,
kemerdekaan yang berdasarkan ‘kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam Permusyawaratan /Perwakilan’, yang mewujudkan suatu
‘keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia’, semua itu tercantum dalam
Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, anak kandung atau saudara kembar
daripada Proklamasi 17 Agustus 1945.”11
Dekrit Presiden 5 Juli 1959 merupakan satu usaha patriotik bangsa
Indonesia. Sebab dengan dekrit itu, berarti bangsa Indonesia kembali
menemukan jiwa revolusinya. Sejak tahun 1946 sampai 1959 revolusi
Indonesia telah menyeleweng ke jurang liberalisme. Liberalisme itu menjalar
dalam berbagai lapangan kehidupan, hingga bangsa Indonesia terpecah-belah

10
Op,cit. Tubapi, Hal,5.
11
Op.cit. Amanat Proklamasi IV, Hal,5-6.
dalam pikiran, kepartaian, golongan dan provinsialisme, hingga mengingkari
trilogi: National Geest, National Will, dan National Daad.
Bahkan penyelewengan-penyelewengan tersebut menyebabkan
Proklamasi dan Deklarasi Kemerdekaan Indonesia hampir tenggelam dalam
arus zaman Linggarjati, Renville, PRRI/Permesta dan lain-lain. 12 Ini
disebabkan oleh para pemimpin bangsa yang tidak setia kepada sumber
Revolusi Indonesia yaitu Proklamasi, UUD 1945 dan Pancasila. Hal
penyelewengan ini, Bung Karno menjelaskan:
“Maka akhirnya saya sampai kepada keyakinan, bahwa kita telah memakai satu
sistem yang salah, satu style pemerintahan yang salah, yaitu style yang kita
namakan demokrasi Barat.”13
Demokrasi Barat itu tidak lain adalah demokrasi Parlementer, yang
merupakan warisan dari Revolusi Perancis. Demokrasi Parlementer menjadi
alat kaum borjuasi dalam mengeksploitasi manusia, oleh karena itu tidak
sejalan dengan kepribadian bangsa. Bung Karno menjelaskan:
“Dan oleh karena demokrasi ini adalah demokrasi impor bukan demokrasi
Indonesia, bukan demokrasi yang cocok dengan jiwa kita sendiri, maka kita
mengalami segenap ekses-ekses daripada sekadar barang impor. Segenap ekses-
ekses daripada penyelenggaraan demokrasi yang bukan demokrasi yang sesuai
dengan kepribadian kita sendiri.”14
Bung Karno mulai memberikan konsepsi demokrasi terpimpin
kepada rakyat Indonesia melalui Konsepsi Presiden 21 Pebruari 1957, yaitu
mengenai pembentukan: 1. Kabinet Gotong Royong, dan 2. Dewan Nasional.
Hal ini merupakan cerminan dari semangat kegotongroyongan dan persatuan
nasional.
Dalam pidato 17 Agustus 1959, ‘Penemuan Kembali Revolusi Kita’,
Bung Karno memaparkan hal yang berhubungan dengan jalannya revolusi dan
masa depan revolusi Indonesia. Kemudian pidato itu ditetapkan menjadi
Garis-Garis Besar Haluan Negara dengan Tap MPRS No. 1 1960, berisi
Manipol/USDEK. Salah satu bagian dari proses berjalannya haluan negara ini,
12
Soekarnografi, Hal,48.
13
Kepada Bangsaku, Hal,439.
14
Ibid,
adalah dilakukannya proses retooling alat-alat kedaulatan negara dan alat-alat
revolusi:
1. Mengenai negara, UUD 1945 merupakan satu landasan bangsa
Indonesia dalam pembentukan negara Indonesia. Dan bangsa
Indonesia sudah menentukan bentuk negara yaitu Negara Kesatuan
Republik Indonesia.
Bung Karno menjelaskan mengenai hal ini:
“Dengan tegas, jelas, tandas, dalam bab 1, pasal 1, ayat 1 daripada Undang-Undang
Dasar 1945 itu tertulis: Negara Indonesia ialah Negara Kesatuan yang berbentuk
Republik Kesatuan dengan aksara K besar! Siapa pun dalam rangka Undang
Undang Dasar 1945 ini masih hendak menganjur-anjurkan federalisme, siapa yang
masih hendak bicara tentang ‘negara bagian’ dan lain sebagainya itu, ia dengan
nyata tidak berdiri di atas Undang Undang Dasar Proklamasi, ia akan kita tentang
dengan segala jiwa-perjuangan yang ada di dalam kalbu.”15
Jelas dengan demikian Negara Kesatuan Republik Indonesia
merupakan amanat daripada Undang-Undang Dasar Proklamasi.
2. Mengenai alat-alat kekuasaan negara, alat kekuasaan negara
pun mengalami proses retooling sejalan dengan tuntutan obyektif
Revolusi. Dan Revolusi Indonesia yang menuju kepada masyarakat
adil makmur itu, hanya dapat dijalankan dengan demokrasi
terpimpin.
Demokrasi terpimpin dengan demikian menjadi landasan
berjalannya semua alat-alat kekuasaan negara. Prosesnya dijalankan
dengan kegotongroyongan seluruh rakyat.
“Ide kegotongroyongan dipegang teguh dalam pembentukan Dewan Pertimbangan
Agung Sementara dan Dewan Perancang Nasional dan akan dipegang teguh dalam
pembentukan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara. Majelis
Permusyawaratan Rakyat sebagai Saudara-saudara ketahui adalah amat-amat
penting sekali, oleh karena ia menurut Undang-Undang Dasar 1945, menetapkan
garis-garis besar daripada Haluan Negara. Ia adalah menurut pasal 1 ayat 2
Undang-Undang Dasar 1945 penjelmaan kedaulatan rakyat pengejawantahan
daripada kedaulatan rakyat, oleh karena pasal 1 ayat 2 itu berbunyi: Kedaulatan

15
Soekarno. Op.cit. DBR II, Hal,366.
adalah di tangan rakyat, dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan
Rakyat.”16
Mengenai susunan daripada Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR)
itu sendiri dijelaskan lebih lanjut:
“Ia terdiri dari anggota-anggota DPR, ditambah dengan utusan-utusan dari daerah
dan golongan. Buat Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara, maka anggota-
anggota DPR-nya adalah DPR yang sekarang, dan anggota-anggota daerah dan
anggota-anggota golongannya harus diangkat Presiden. Maka jelas dan teranglah
bahwa Presiden dalam pengangkatannya itu harus merealisasikan pengumpulan
seluruh tenaga-tenaga daerah dan seluruh tenaga-tenaga golongan representatif.”17
Revolusi Indonesia bersifat revolusi nasional, maka dalam
pembentukan kedaulatan negara haruslah dengan revolusi nasional itu
sendiri. Seluruh rakyat Indonesia secara nasional ikut aktif membina dan
membangun kedaulatan bangsanya. Hal ini terbukti dalam susunan
kelengkapan perangkat kedaulatan negara:
1. MPR (Majelis Permusyawaratan Rakyat).
MPR adalah penjelmaan dari kedaulatan rakyat merupakan lembaga
tertinggi negara dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. MPR ini 
terdiri dari anggota-anggota DPR ditambah dengan Utusan Daerah
dan golongan yang diangkat oleh Presiden.
2. DPA (Dewan Pertimbangan Agung).
DPA yang “berkewajiban memberi jawaban” atas pertanyaan
Presiden, dan berhak mengajukan usul kepada pemerintah. Dewan
Pertimbangan Agung dibentuk atas prinsip perlu-mutlaknya bantuan
rakyat buat segala urusan ke-Negara-an dan ke-Masyarakatan, dan
atas sifat-hakekat kepribadian bangsa Indonesia yang berinti gotong-
royong.”18

16
Ibid. Hal,384.
17
Ibid.
 
Tenaga golongan dalam masyarakat Indonesia golongan buruh Tani, Cendekiawan, Wartawan,
Seniman, Tentara, Ulama, Pengusaha dengan tekanan bahwa buruh dan tani merupakan soko guru
revolusi.
18
Soekarno. Op,cit. DBR II, Hal,383.
Penyusunan Dewan Pertimbangan Agung Sementara yang diangkat
oleh Presiden, dengan landasan perlu-mutlaknya bantuan rakyat
atas kenegaraan dan kemasyarakatan:
“Bantuan rakyat dan gotong royong ini sejauh mungkin dicorkan oleh Presiden
dalam susunan keanggotaan Dewan Pertimbangan Agung Sementara itu; segala
aliran-faham, segala golongan, segala corak-pikiran yang progresif, dalam rangka
Undang Undang Dasar 1945.”19
3. Dewan Nasional.
Dewan Nasional yang kemudian diperluas menjadi Dewan Perancang
Nasional, prinsipnya sama dengan penyusunan DPA. Depernas inilah
yang berhasil menyusun blue-print Pembangunan Semesta
Berencana.
4. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Dewan Perwakilan Rakyat adalah satu lembaga yang merupakan
cerminan dari kedaulatan rakyat. Sebagai lembaga legislatif DPR
mengemban Amanat Penderitaan Rakyat.
“DPR hendaknya menjadi satu tempat-perwakilan rakyat yang bersifat baru. Bukan
saja ia menurut semangat Undang Undang Dasar 1945 sekarang harus menjadi
dewa yang bantu membantu dengan pemerintah, ia tak dapat menjatuhkan
pemerintah; yang dapat menjatuhkan pemerintah ialah Majelis Permusyawaratan
Rakyat. Bukan saja itu dalam semangat Undang Undang Dasar 1945 tapi juga
dalam semangat demokrasi terpimpin, dalam semangat membina masyarakat adil
makmur. DPR bukan lagi tempat berbicara bertele-tele dan tempat pemungutan
suara saja, akan tetapi terutama sekali tempat di mana dilahirkan pikiran-pikiran,
ide-ide, konsepsi-konsepsi, yang berguna dan bersejarah bagi rakyat.”20
5. Front Nasional.
Front Nasional ini lahir dari semangat kegotong-royongan nasional
dalam menyelesaikan revolusi nasional. Sebab Pembangunan
Semesta Berencana itu mutlak perlunya keikutsertaan rakyat.
Adapun mengenai gagasan kerja strategis Front Nasional tersebut,
Bung Karno dalam pidato 17 Agustus 1963 menjelaskan:

19
Ibid. Hal,383.
20
Ibid. Hal,386.
“Front Nasional adalah satu alat revolusi, oleh karena Front Nasional harus
menampung segala kegiatan politik daripada massa, baik yang tergabung dalam
organisasi-organisasi politik, maupun yang tergabung dalam organisasi-organisasi
karya, agar supaya menjadi satu kegiatan simultan pembantu revolusi. Ia harus
menyusun golongan-golongan baru, agar funds and forces dapat ikut serta dalam
kegiatan politik guna kelancaran revolusi. Front Nasional, pendek kata, diwajibkan
untuk membentuk satu ‘insan politik baru’, politiek-wezen yang baru, satu ‘insan
politik’ yang selalu mengabdi kepada revolusi Indonesia, kepada sumber-sumber
Indonesia, satu ‘insan politik baru’ sebagai dimaksud oleh Manipol dan Resopim.” 21
Di alam revolusi yang dituntun oleh Konsep Manipol/USDEK, setiap
warga negara akan menjadi insan politik. Oleh karena warga negara
seluruhnya juga menjadi kader-kadernya revolusi itu sendiri. Hal ini
sebagai jawaban atas berlakunya demokrasi liberal, yang gerak
langkah politik berjalan dengan saling rongrong-merongrong, jegal-
menjegal, fitnah-memfitnah, dan maki-memaki. Menurut Bung
Karno, politik dalam demokrasi terpimpin dalam rangka
menyelesaikan revolusi nasional itu:
“Bukanlah perebutan kekuasaan partainya masing-masing, politik bukanlah
persaingan untuk menonjolkannya ideologi sendiri-sendiri. Politik bukan penjualan
jamu di pasar Tanah Abang atau Pasar Senen, politik bukanlah penjualan kecap.
Politik ialah mengabdi revolusi, mempertumbuhkan Manipol, emperkembangkan
USDEK, menghidup-hidupkan Resopim di kalangan rakyat. Politik ialah
menyelamatkan dan menyelesaikan revolusi Indonesia, menyelamatkan revolusi
dunia.”22
Pokok dalam hal ini adalah politik yang memperkokoh kedaulatan
bangsa dan menyelamatkan revolusi, menyelesaikan revolusi
nasional dan revolusi dunia.
6. Partai Politik.
Partai politik juga merupakan alat yang dapat memimpin rakyat
dalam menjalankan revolusi.
Kehidupan kepartaian pernah mengalami anarkhisme yang
menghambat berjalannya revolusi nasional, yaitu ketika
21
Amanat Proklamasi IV, Hal,96.
22
Ibid. Hal,97.
berkembangnya faham liberalisme di Indonesia. Dengan
Manipol/USDEK sistem kepartaian ditata kembali, juga sejalan
dengan Demokrasi Terpimpin. Bung Karno berpendapat:
“Dunia kepartaian, yang multi-kompleksnya dulu benar-benar merupakan bisul-
kanker dalam tubuh masyarakat kita sesuai dengan Penetapan Presiden No. 7
tahun 1959 Peraturan Presiden No. 13 tahun 1960, diretool.”23
Konsekuensi dari peraturan dan keputusan pemerintah ini, partai-
partai yang tidak sejalan dengan revolusi nasional itu sudah harus
tahu diri, atau dibubarkan (seperti Masyumi dan PSI). Dengan
keputusan itu, maka kepartaian berproses menurut azas dan
landasan USDEK, dan setiap partai yang kontra revolusi akan ditolak
oleh rakyat. Sebab itu, Bung Karno lebih lanjut menjelaskan:
“Satu prinsip umum di negeri mana pun juga, bahwa penguasa yang memegang
kekuasaan negara, tidak dapat diharapkan memberi hak hidup kepada kekuatan-
kekuatan yang mau merobohkan negara, atau memberikan senjata-senjata, baik
materiil maupun spirituil, kepada kekuatan-kekuatan yang mau merobohkan
negara.”24
Partai politik menjadi alat untuk menyelesaikan revolusi. Sebab
revolusi nasional itu sangat membutuhkan partisipasi dinamis dari
seluruh golongan rakyat Indonesia. Oleh karena itu:
“Adalah partai politik itu pulalah yang ikut mempersiapkan dan kemudian
mengemban revolusi. Yang tidak aku sukai adalah partai politik revolusioner, dan
mereka sudah kita bubarkan. Yang tidak aku sukai adalah praktek-praktek yang
menunggangi partai-partai politik untuk memperkaya diri atau untuk
melampiaskan ambisi-ambisi perseorangan yang loba-tamak.” 25

Oleh karena itu partai politik mengalami penyederhanaan menjadi 10


partai politik: yaitu PNI, NU, PKI, PERTI, Parkindo, Partindo, PSII,
IPKI, Partai Murba, dan Partai Katolik. Yang menjadi pegangan partai
politik adalah Amanat Penderitaan Rakyat, haluannya adalah
revolusi nasional yang terumuskan dalam Manipol/USDEK. Amanat
Penderitaan Rakyat menjadi sesuatu yang konkrit, bukan abstrak.
23
Soekarno. Op.cit. DBR II. Hal,410.
24
Ibid., Hal,411.
25
Ibid. Hal 412.
Bangsa Indonesia yang memahami Amanat Penderitaan Rakyat,
berarti:
“Bagi dia, mengerti Amanat Penderitaan Rakyat berarti mempunyai orientasi yang
tepat terhadap rakyat. Bukan rakyat sebagai kuda tunggangan, tetapi rakyat
sebagai satu-satunya yang berkedaulatan di Republik Proklamasi, sebagai tertulis
di dalam Pembukaan Undang Undang Dasar 1945. Menerima Amanat Penderitaan
Rakyat berarti: mencintai rakyat, memperhatikan kepentingan rakyat, mengabdi
rakyat, mendahulukan kepentingan rakyat daripada kepentingan diri sendiri, atau
kepentingan kantong sendiri, atau kepentingan pundi-pundian sendiri.”26
Di sinilah peran partai politik sebagai pengemban Amanat
Penderitaan Rakyat:
“Demi kedaulatan politik itu pula, maka perkembangan dalam pemerintahan dalam
negeri, yaitu seperti dikehendaki DPR-GR dicabut larangan berpartai bagi Kepala-
kepala Daerah dan anggota-anggota BPH.”27
Selanjutnya dijelaskan oleh Bung Karno:
“Nation-building dan character-building harus diteruskan sehebat-hebatnya, demi
memperkuat kedaulatan politik itu. Kerukunan nasional sekarang ini kerukunan
antara berbagai agama dan berbagai suku bangsa, termasuk suku-suku
keturunan asing kerukunan nasional yang bebas sama sekali daripada
diskriminasi atau rasialisme macam mana pun, harus kita bina dengan kecintaan
seperti kita membina kesehatan tubuh kita sendiri, dipisahkan jabatan Kepala
Daerah dari Ketua DPR-GR dan Nasakomisasi pimpinan DPR-GR harus disusul
dengan pembentukan Daswati III (Daerah Swatantra Tingkat III, berbasis
kecamatan, direncanakan ada DPR-nya – Editor) untuk seluruh Indonesia.”28
Dalam rangka mengarahkan revolusi nasional terarah sesuai
jurusannya, Bung Karno memberikan penjelasan mengenai kerangka
Tujuan Revolusi Indonesia:
Kesatu: Pembentukan satu negara Republik Indonesia yang berbentuk Negara
Kesatuan dan Negara Kebangsaan yang demokratis, dengan wilayah
kekuasaan dari Sabang sampai ke Merauke.
Kedua: Pembentukan satu masyarakat yang adil dan makmur materiil dan
spirituil dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia itu.

26
Amanat Proklamasi Rakyat IV, Hal,6.
27
Ibid. Hal,190.
28
Ibid.
Ketiga: Pembentukan satu persahabatan yang baik antara Republik Indonesia
dengan semua negara di dunia, terutama sekali dengan negara Asia-
Afrika, atas dasar bekerja bersama membentuk satu dunia baru yang
bersih dari imperialisme dan kolonialisme, menuju kepada perdamaian
dunia yang sempurna.29
Bung Karno mempertegas pernyataan tentang kedaulatan dalam
bidang politik ini dalam pidato Konferensi Negara-Negara Non Blok II
di Kairo 6 Oktober 1964:
“Kemerdekaan, kemerdekaan yang nyata, berarti ‘kebebasan untuk merdeka’.
Ini berarti, sebagaimana saya katakan di Konperensi Beograd. ‘Kebebasan
untuk menentukan politik nasional kita sendiri, untuk merumuskan
konsepsi-konsepsi nasional kita sendiri, tanpa dirintangi atau tanpa
dihalangi oleh tekanan-tekanan atau campur tangan dari luar. Suatu
kebebasan untuk menyelenggarakan urusan politik, ekonomi dan sosial kita
sejalan dengan konsepsi-konsepsi nasional kita sendiri.”30
7. Pemerintah.
Dalam bidang pemerintahan mengakhiri dualisme antara presiden
dan pimpinan revolusi. Presiden adalah mandataris MPR juga
pimpinan besar revolusi, Presiden Perdana Menteri tidak bertanggung
jawab terhadap parlemen tetapi bertanggung jawab kepada Majelis
Permusyawaratan Rakyat sebagai pemegang kedaulatan rakyat. Hal
ini sejalan dengan haluan Resopim (Revolusi-Sosialisme-Pimpinan
Nasional).
Pimpinan nasional bukan hanya sebagai pimpinan kelompok atau
pimpinan partai politik. Mengenai hal ini Bung Karno menjelaskan:
“Pimpinan nasional bukan pimpinan suatu partai atau pimpinan suatu kabinet
koalisi. Pimpinan nasional harus memimpin satu bangsa, dan bangsa bukan
seperti satu kabinet koalisi, bukan seperti satu partai, melainkan adalah satu
kelangsungan, satu continuity. Pimpinan nasional harus menanam dasar-dasar
kebangsaan dan dasar-dasar kenegaraan, dan harus memimpin pelaksanaan
daripada dasar-dasar kebangsaan dan kenegaraan itu sampai tercapailah cita-cita
nasional.”31
29
Soekarno. Op.cit. DBR II, Hal,387.
30
Pancasila dan Perdamaian Dunia, Hal,109.
31
Op.cit. Amanat Proklamasi IV, Hal,43.
Pimpinan nasional dengan demikian menanamkan dasar-dasar
kebangsaan dan kenegaraan sejalan dengan kegotongroyongan
revolusioner rakyat dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Sehingga rakyat Indonesia dapat menyempurnakan Nation and
Character Building-nya, dalam mewujudkan Tiga Kerangka Tujuan
Revolusi.
Sementara itu susunan pemerintah dan tata pemerintahan dalam
Negara Kesatuan Republik Indonesia, disempurnakan hingga
Daswati III. Susunan pemerintahan otonom dan daerah berkembang
sampai tingkat III atau boleh dikatakan sampai ke tingkat
kecamatan. Sebab rakyat Indonesia berbasis di desa, oleh karena itu
pelaksanaan pembangunan sosialisme pun berbasis di daerah
khususnya di pedesaan. Bung Karno menjelaskan:
“Camkanlah, bahwa tulang punggung, darah daging sosialisme Indonesia ialah
pelaksanaan di daerah. Di sanalah harus bertumbuh percobaan sosialisme
Indonesia. Di sanalah kita akan melihat secara pragmatis prakteknya pelaksanaan
sosialisme Indonesia, dan dari para pemimpin di daerah-daerah di desa-desa, di
pelosok-pelosok diminta segala kemampuan (vindingrijkheid) untuk menemukan
cara-cara yang baik dalam pelaksanaan Manipol/USDEK.”32
8. Alat-alat Kekuasaan Negara.
Alat kekuasaan negara yang berintikan APRI (Angkatan Perang
Republik Indonesia) yang sekarang (kembali lagi ke TNI; Tentara
Nasional Indonesia, terdiri dari Angkatan Laut, Angkatan Darat,
Angkatan Udara, dan Angkatan Kepolisian). Kekuatan ini menjadi
kokoh atas landasan pasal 30 UUD 1945; ayat 1: “Tiap-tiap warga
negara berhak dan wajib serta dalam usaha pembelaan negara”.
Pasal 30 UUD 1945 ayat 1 ini menjelaskan, bahwa usaha-usaha
pertahanan dan pembelaan negara bukan mutlak tugas Angkatan
Perang/TNI, tetapi merupakan hak dan kewajiban bagi seluruh
warga negara daripada Negara Kesatuan Republik Indonesia. Atas
dasar itu seluruh rakyat yang mengaku sebagai warga negara berhak
32
Ibid. Hal.22.
dan berkewajiban untuk turut aktif dalam usaha pembelaan negara.
Sementara itu TNI merupakan inti kekuatannya. Pengalaman
semacam itu memang pernah berlangsung dalam periode Revolusi
Fisik, yang ketika itu dinamakan Perang Rakyat Semesta.
Oleh karena itu Bung Karno menjelaskan tentang hakekat
pertahanan-keamanan negara kesatuan Republik Indonesia, di mana
Angkatan Perang tidak terpisahkan dari rakyat dan revolusi
Indonesia. Bung Karno menjelaskan:
“Dalam rangka mengikutsertakan rakyat, pemerintah akan mengintensifir
organisasi-organisasi keamanan rakyat dan wajib latih bagi pemuda-pemudi dan
veteran berdasarkan kemampuan personil dan materil untuk pelaksanaannya.
Begitu pula tahun ini dimulai dengan milisi darurat di seluruh Indonesia.” 33
Sedang mengenai Angkatan Perang Bung Karno menjelaskan:
“APRI, bukan tentara yang berdiri terpisah daripada rakyat. APRI adalah sebagian
daripada rakyat. APRI tumbuh dari revolusi sebagai bagian daripada rakyat yang
ber-Revolusi. Persatuan rakyat dan tentara adalah satu unsur utama daripada
hakiki negara dan Angkatan Perang kita.”34
Sehaluan dengan garis kebijakan revolusi nasional Indonesia yang
sudah terumuskan dalam Manipol/USDEK, Angkatan Bersenjata
Negara Kesatuan Republik Indonesia pun berperan untuk
menyumbangkan tenaganya di tahap pelaksanaannya. Dengan
demikian Angkatan Bersenjata dipimpin oleh Manipol/USDEK,
seperti penjelasan Bung Karno:
“Rakyat sudah menerima Manipol sebagai pimpinan politiknya. Angkatan
Bersenjata pun harus menerima Manipol juga dan menerimanya dengan sepenuh-
penuhnya hati. Rakyat sudah dipimpin oleh Manipol. Sekali lagi saya ulangi di
sini, bukan angkatan bersenjata atau bedil yang memimpin Manipol, tetapi
Manipol yang memimpin angkatan bersenjata dan bedil.”35
Manipol/USDEK yang menjadi haluan negara berisi tentang cita-cita
kolektif rakyat Indonesia, memberi pimpinan kepada angkatan
bersenjata. Bung Karno mengingatkan:
33
Doktrin Revolusi Indonesia, Hal,117.
34
Ibid. Hal,118.
35
Op,cit. Amanat Proklamasi IV, Hal,29.
“Jangan diputar, jangan dibalik. Pembalikan berarti penyelenggaraan kepada
fasisme. Bedil di tangan angkatan bersenjata harus ibarat bedil di tangan rakyat,
untuk melindungi hak-hak rakyat dan mempertahankan negaranya rakyat dan
revolusinya rakyat."36
Seluruh alat-alat kelengkapan revolusi di atas merupakan perangkat
pelaksanaan berdaulat dalam bidang politik. Sehingga dengan
perangkat-perangkat itu bangsa Indonesia dapat
mengkonsolidasikan kekuatannya dalam jiwa Musyawarah-Mufakat
serta kegotongroyongan nasional. Dengan demikian pelaksanaan
Manipol/USDEK dapat terkonsolidasi dan semua itu merupakan
kelengkapan untuk mewujudkan cita-cita Amanat Penderitaan
Rakyat, yang sudah dirumuskan Bung Karno dalam Tiga Kerangka
Tujuan Revolusi Indonesia.

36
Ibid.

Anda mungkin juga menyukai