Anda di halaman 1dari 17

EKONOMI ISLAM

PADA MASA ORDE LAMA


Disusun Oleh :

Ayudia Fitri Chaerani (172602020642)


Rani Puspitasari (172602020643)

Program Studi Ekonomi Islam


INSTITUT BISNIS MUHAMMADIYAH BEKASI
2019
AWAL KELAHIRAN ORDE LAMA

Orde lama berlangsung pada masa kepemimpinan Bapak Proklamator yaitu Bapak Soekarno. Orde lama
berlangsung sejak 1945 sampai 1966. Pada masa orde lama Indonesia masih sangat muda dan belum
maksimal untuk mengeluarkan segala potensi ekonominya.
Pada masa awal kemerdekaan yaitu masa perang kemerdekaan, Indonesia banyak menggunakan taktik
militer bumi hangus yang pada akhirnya berdampak tidak baik pada ekonomi serta adanya blokade
ekonomi dari Belanda menyebabkan Indonesia tidak bisa ekspor maupun import dari dan ke luar negeri,
bahkan saat itu ada kondisi kas negara kosong. Yaitu kondisi dimana Indonesia tidak memiliki
pendapatan sehingga kas negara menjadi kosong.
Setelah Indonesia diakui kemerdekaannya oleh Belanda, Indonesia mewarisi seluruh hutang Belanda
ditambah kesibukan Indonesia untuk menasionalisasi perusahaan-perusahaan belanda dan juga
memadamkan pemberontakan-pemberontakan yang terjadi membuat Indonesia tidak bisa fokus
membangun ekonomi walau Indonesia mengubah sistem parlementernya menjadi terpimpin pun tetap
tidak bisa membangun ekonomi menjadi lebih baik, hal ini mungkin dikarenakan Indonesia yang
menutup diri dari pihak barat, padahal pada saat itu pihak barat ekonominya sedang berkembang pesat.
Era orde lama runtuh ditandai dengan munculnya supersemar (Surat perintah sebelas maret) yang berisi
pemindahan kekuasaan dari Bapak Soekarno ke Bapak Seharto, tanpa diketahui asli atau tidaknya surat
tersebut.
■ Kondisi ekonomi Indonesia pada era Orde Lama atau era Bapak Soekarno ( 1945 – 1966 ) kurang stabil. Karena
kondisi politik Indonesia saat itu yang juga kurang stabil. Secara politik pada era orde lama Indonesia lebih
cendernung kearah sosialis atau komunis dan anti barat.

Dapat kita lihat dalam statistik pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun 1960 – 1966 pertumbuhan ekonomi
rata-rata dibawah 5%. Bahkan sampai -2,3 pada tahun 1963. Hal ini bisa jadi dikarenakan kondisi politik saat itu
yang sedang konfrontasi dengan Malaysia serta adanya pemberontakan Papua Barat dan pembangunan proyek-
proyek mercusuar, dan adanya penggunaan mata uang yang berbeda yaitu di Riau dan Papua sehingga terjadi defisit
anggaran yang sangat parah.
■ Untuk menutupi defisit anggaran pemerintah melakukan money creation yaitu mencetak uang
sebanyak-banyaknya sehingga mengakibatkan hiperinflasi. Dapat kita lihat pada table inflasi
dibawah pada tahun 1960-1966 terjadi inflasi yang sangat parah (hiperinflasi). Bahkan inflasi
menyentuh angka 1195% pada tahun 1966 yang menyebabkan harga – harga pada waktu itu
naik sampai 11x dari harga normal. Padahal angka kenaikan inflasi yang baik adalah kurang
dari 11% per tahun.
■ Selain itu, dapat kita lihat pada statistic PDB Indonesia. Indonesia terlalu bergantung pada
sector pertanian sedangkan pada sector industry menyumbang presentasi yang sangat sedikit
dari PDB. Tahun 1966 juga menjadi akhir darj orde lama dengan keluarnya surat perintah 11
maret yang membuat kekuasaan berpindah dari bapak soekarno ke bapak soeharto, dan juga
menjadi awal dari orde baru.
Politik Islam Di Era Orde Lama
(1959 – 1966)

■ Berakhirnya era demokrasi liberal sejak keluarnya Dekrit Presiden 1959 menandai bermulanya
era baru politik Indonesia yang disebut dengan era Demokrasi Terpimpin. Era ini dapat
dianggap sebagai masa-masa sulit bagi partai Islam. Setelah mengeluarkan dekrit, Soekarno
yang sudah terobsesi untuk menjadi penguasa mutlak di Indonesia memaksa pembubaran Partai
Masyumi pada 17 Agustus 1960.
■ Pemberlakuan Demokrasi Terpimpin oleh Soekarno ternyata menimbulkan respont yang
beragam dari kalangan partai Islam. Ahmad Syafi’i Maarif membagi era Demokrasi Terpimpin
yang berumur hingga September 1965 ini menjadi periode proses kristalisasi (hingga Desember
1960) dan periode kolaborasi (hingga pecahnya pemberontakan G-30-S/PKI 1965). 
■ Periode kristalisasi ditandai dengan pemilihan kawan dan lawan, pendukung dan oposisi
terhadap kebijakan Soekarno tersebut. Sementara periode kolaborasi ditandai dengan kerja
sama partai-partai Islam yang ikut bersama demokrasi terpimpin, termasuk dengan komunis,
yang merupakan salah satu pilar penyangganya.
■ Pada masa orde lama ini, kekuatan politik umat Islam banyak dirugikan oleh kebijakan
Soekarno. Kebijakan itu terutama berkaitan dengan sistem Demokrasi Terpimpin yang
diberlakukan. Sebab sistem ini, memberikan keleluasaan lebih besar kepada Partai
Komunis Indonesia (PKI) untuk bergerak dan menguasai panggung politik Nasional.
Juga, kebijakan Soekarno tentang keputusannya membubarkan Masyumi Agustus 1960.
■ Dalam pidatonya pada 17 Agustus 1959, Presiden Soekarno menjelaskan butir-butir
pokok Demokrasi Terpimpin dalam dua kategori :
1. Orang diwajibkan untuk berbakti kepada kepentingan umum, masyarakat, dan Negara.
2. Tiap-tiap orang mendapat penghidupan layak dalam masyarakat, bangsa, dan Negara.
Dua kategori ini menjelaskan sasaran yang hendak dicapai oleh sistem itu.
  Kebijakan Pemerintah Orde Lama
■ Pendeknya usia Piagam Jakarta dalam sejarah konstitusionalisme Indonesia tidak
mengendorkan semangat politik umat Islam dalam perpolitikan Indonesia sebagai negara
yang baru merdeka. Gerak politik umat Islam diwadahi melalui Partai Masyumi buatan
Indonesia. Partai Masyumi sebagai satu-satunya partai politik bagi umat Islam memiliki
keanggotaan dari berbagai organisasi Islam maupun perorangan. NU dan Muhammadiyah
merupakan anggota yang mendominasi Masyumi. Namun, keutuhan keanggotaan Partai
Masyumi tidak bisa bertahan lama. Keluarnya PSII dari Masyumi merupakan awal dari
perpecahan dalam tubuh Masyumi. Pada tahun 1952 menyusul NU sebagai penyokong
besar Masyumi keluar dari partai tersebut. NU mengubah dirinya dari jami’ah (gerakan
sosio-keagamaan) menjadi partai politik yang berdiri sendiri. Keluarnya NU dari tubuh
Masyumi merupakan goncangan hebat bagi Masyumi mengingat pengikut NU yang
cukup banyak di tiga daerah yaitu Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Kalimantan Selatan.
■ Dengan tampilnya NU sebagai partai politik, maka umat Islam terbagi menjadi dalam
empat partai yaitu Masyumi, PSII, NU, dan Perti.
■ Pada awal Demokrasi Parlementer, Masyumi masih memegang peranan aktif dalam politik. Pada masa
kabinet Natsir dan Kabinet Soekiman, posisi menteri Agama berada ditangan K.H. Wahid Hasyim (tokoh NU
dalam Masyumi). Namun, pada masa Kabinet Wilopo-Prawoto yang dimulai sejak April 1952, posisi Menteri
agama dipegang oleh K.H. Fakih Usman (unsur Muhammadiyah dalam Masyumi). Dalam masa kabinet ini
NU memang tidak terwakili, sementara Masyumi menduduki empat kursi dan PSII satu kursi. Pertengahan
tahun 1953 Kabinet Wilopo digantikan dengan Kabinet Ali Sastroamidjojo I. Dalam kabinet ini NU telah
berdiri sendiri sebagai partai politik dan mula-mula hanya menduduki tiga kursi namun setelah terjadi
perubahan, NU mendapat empat kursi yang meliputi kursi wakil perdana menteri I, menteri dalam negeri,
menteri agama, dan menteri agraria. Kabinet Ali I jatuh pada bulan Juli 1945 dan digantikan oleh kabinet
Burhanudin Harahap (Masyumi). Kabinet ini merupakan kabinet terakhir sampai partai tersebut bubar pada
tahun 1960. Salah satu prestasi dari kabinet ini adalah berhasil menyelenggarakan Pemilu pertama pada tahun
1955.
■ Sebelum dikeluarkannya Dekrit 5 Juli, pada tanggal 22 April 1959, Soekarno sebagai Presiden pertama RI
menyampaikan definisi Demokrasi Terpimpin. Salah satu definisi mengatakan bahwa Demokrasi Terpimpin
ialah demokrasi yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan atau perwakilan. Namun,
dalam kesempatan lain Soekarno menyampaikan bahwa Demokrasi Terpimpin adalah demokrasi
kekeluargaan, tanpa anarkinya liberalisme dan tanpa otokrasi yang diktator. Yang dimaksud dengan
demokrasi kekeluargaan adalah demokrasi yang mendasarkan sistem pemerintahannya kepada musyawarah
dan mufakat dalam satu kekuasaan sentral ditangan ‘sesepuh’ yang tidak diktator dan mengayomi
masyarakat.
■ Periode Demokrasi Parlementer berakhir setelah dikeluarkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959.
Dekrit 5 Juli mengukuhkan kembali UUD 1945 dan pembubaran Majelis Konstituante serta
sebagai tanda dimulainya fase baru yang disebut Demokrasi Terpimpin.
■ Soekarno memilih Demokrasi Terpimpin sebagai bentuk demokrasi Indonesia karena menurutnya
Demokrasi Parlementer tidak bisa mewujudkan cita-cita demokrasi bangsa Indonesia. Kekecewaan
Soekarno pada keadaan yang sebenarnya juga berpangkal dari tidak terwujudnya kabinet gotong
royong yang diinginkannya di mana PKI turut serta di dalamnya. Soekarno membentuk Dewan
Nasional pada tanggal 11 Juli 1959 yang diketuai oleh Soekarno sendiri. Lalu pada tanggal 22 Juli
1959 Dewan Nasional diganti dengan Dewan Pertimbangan Agung Sementara (DPAS) yang juga
diketuai oleh Soekarno. Penanganan sehari-hari DPAS diserahkan oleh wakilnya, Roeslan
Abdoelgani, tokoh PNI. DPAS ini pulalah yang mengusulkan agar pidato kenegaraan presiden
tanggal 17 Agustus 1959 dijadikan sebagai Manifesto Politik.
■ Demokrasi Terpimpin pemusatan kekuasaan ditangan seorang pemimpin dalam hal ini Soekarno,
membawa konsekuensi politik bagi umat Islam. Sayap pesantren, yaitu NU bersama PSII dan Perti
diizinkan hidup di bawah payung Demokrasi terpimpin. Mereka berusaha menyesuaikan diri dengan
kondisi politik yang baru dan berusaha bertindak selalu menyenangkan Soekarno. Di sisi lain, kaum
modernis bagi Soekarno merupakan penghalang revolusi. Kaum modernis terutama Masyumi
dianggap sebagai musuh revolusi. Adanya perbedaan antara musuh dan kawan revolusi menyebabkan
kristalisasi dalam tubuh umat Islam. Pada tanggal 20 Maret 1960 Soekarno membubarkan parlemen
dan menggantinya dengan Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPRGR). Anggota DPRGR
yang dipilih merupakan mereka yang mengiakan Soekarno. Tokoh-tokoh Masyumi dan PSI tidak
dimasukan dalam anggota DPRGR dengan alasan bahwa kedua partai tersebut terlibat dalam
pemberontakan. Jika diteliti lebih cermat, keanggotaan DPRGR terdiri dari 94 pihak Nasionalis-
Sekuler, kelompok Komunis mendapat 81 kursi, dan wakil Islam hanya mendapat 67 kursi. Di sini
umat Islam kehilangan kursi sebanyak 48 jika dibandingkan dengan parlemen sebelumnya. Namun,
yang lebih menderita kerugian adalah modernis yang telah dicap sebagai musuh revolusi.[7] Soekarno
juga menyampaikan ideologi Demokrasi Terpimpin yang beberapa bulan kemudian disebut Manifesto
Politik (Manipol). Ia menyerukan semangat revolusi, keadilan sosial, dan revitalisasi lembaga-
lembaga dan organisasi-organisasi negara demi revolusi yang berkesinambungan. Pada awal tahun
1960 ideologi yang samar-samar ini menjadi semakin rumit dengan ditambahkannya kata USDEK
(Undang-Undang Dasar 1945, Sosialisme ala Indonesia, Demokrasi Terpimpin, Ekonomi Terpimpin,
dan Kepribadian Indonesia). Soekarno mengharuskan pers mendukung Manipol-USDEK yang
dicetuskannya. Namun, beberapa redaktur yang pro-Masyumi dan pro-PSI menolak sikap mendukung
terhadap Manipol-USDEK. Sebagai akibatnya, terjadi pembredelan surat kabar.
■ Kebijakan-kebijakan politik Soekarno kini lebih menekankan pada adanya persatuan antara
Nasionalisme, Islam, dan Marxisme. Dengan berkurangnya peran umat Islam dalam panggung
politik Demokrasi Terpimpin menunjukan bahwa Soekarno menginginkan suatu koalisi politik
antara kaum Nasionalis, Agama, dan Komunis. Tema yang diangkat oleh Soekarno adalah
Nasakom (Nasionalis, Agama, dan Komunis). Perwujudan dari politik Nasakom ini adalah
tampilnya PNI sebagai wakil Nasionalis, NU sebagai wakil Agama, dan PKI sebagai wakil
Komunis dalam koalisi kabinet baru bentukan Soekarno.
Kebijakan Orde Lama Terhadap Islam
■ Dekrit Soekarno yang diikuti oleh pelaksanaan Demokrasi Terpimpin telah menyumbat saluran
legal bagi umat Islam, terutama kelompok modernis, untuk menyatakan ide-ide dan aspirasi
politik mereka. Bagi kelompok modernis periode Demokrasi Terpimpin adalah suatu kenyataan
politik yang amat pahit dan memperkosa. Dengan tidak mengabaikan kekurangan-kekurangan
demokrasi liberal, umat Islam mempunyai kemerdekaan politik yang penuh selama periode ini.
Karena Demokrasi Terpimpin juga bertanggung jawab bagi jatuhnya kekuatan politik Islam
Indonesia.
■ Pemusatan kekuasaan ditangan seorang pemimpin dalam hal ini Soekarno mempunyai
konsekuensi politik yang berbeda bagi partai-partai Islam. Sayap pesantren, yaitu NU bersama
PSII dan Perti, diizinkan hidup dibawah payung Demokrasi Terpimpin dengan gaya dan retorika
politiknya, masing-masing partai ini telah melakukan berbagai langkah penyesuaian diri dengan
berbagai perkembangan politik yang serba sulit. Bagi kaum modernis, situasi baru ini cukup jelas.
Menurut kategori Sukarno, kelompok modernis ini “merintangi penyelesaian revolusi kita,“ atau
dengan memakai jargon komunis, mereka adalah golongan kepala batu, suatu jargon yang juga
popular dalam kamus politik Soekarno. Sebagai kekuatan perintang, logika revolusioner Soekarno
menyatakan lebih jauh, bahwa golongan modernis, terutama masyumi, tidaklah hidup pada masa
Demokrasi Terpimpin.
■ Sebaliknya, tiga partai Islam lainnya, yakni NU, PSII, dan Perti, berusaha menyesuaikan
diri dengan demokrasi ala Soekarno tersebut. Mereka bersikap akomodatif sehingga bisa
hidup berdampingan dengan Soekarno dan bertahan dalam alam demokrasi terpimpinnya
Soekarno. NU adalah partai yang paling besar di antara ketiganya, karenanya dapat
dianggap sebagai pendukung utama setiap gagasan Soekarno. Bahkan NU menikmati sekali
iklim politik yang diciptakan Soekarno dengan sistem Nasakomnya. 
■ Memang dalam era ini NU terlibat aktif dalam Demokrasi Terpimpin dan ingin mewarnai
peta percaturan politik   berkembang ketika itu. Setidaknya NU berusaha memasukkan
Islam dalam tataran politik dan mengimbangi dominasi komunisme yang sudah sangat
berpengaruh.
■  Namun demikian, antara NU dan Soekarno sudah terjalin hubungan yang baik sekali.
Antara keduannya seakan-akan saling membutuhkan. Bahkan NU, bersama-sama partai
Islam lainnya yang mendukung Demokrasi Terpimpin serta pendukung-pendukung
Soekarno dari pihak nasionalis dan komunis, pada sidang MPRS 18 Mei 1963 mengangkat
Soekarno menjadi presiden Seumur Hidup. Ini tentu suatu bentuk penyimpangan dari UUD
1945. NU, dengan juru bicara Sjaikhu, mencari dalil agama bagi pembenaran sikap mereka.
 GERAKAN DAN PEMIKIRAN POLITIK DARUL ISLAM
■ Terlepas dari legal dan tidaknya gerakan politik Darul Islam atau yang kemudian lebih dikenal
dengan sebutan DI/TII yang dipimpin oleh S.M. Kartosoewirjo, bangsa Indonesia pada masa-
masa awal kemerdekaannya pernah menyaksikan tarik-menarik tentang ideologi Negara. S.M.
Kartosoewirjo melalui DI/TII-nya menghendaki Islam sebagai ideologi dan agama resmi
Negara. Namun, di pihak lain, tokoh-tokoh bangsa ini yang umumnya nasionalis
menghendaki pancasila sebagai ideologi Negara karena dipandang dapat lebih menjamin
keberadaan penganut agama selain Islam di Negara ini.
■ Gerakan Darul Islam yang popular dengan gerakan DI/TII, merupakan gerakan politik
keagamaan yang dipimpin oleh Kartosoewiryo. Gerakan ini merupakan aksi nyata dari prinsip
dan sikap politik Islamnya, yakni hijrah. Sikap politik hijrah yang ia pahami harus diwujudkan
melalui perjuangan dan gerakan politik. Dalam perjuangan politiknya itu, Negara Islam
Indonesia harus tetap berpegang pada dua akidah politik, yakni ideologi atau cita-
cita dan realita. Yang pertama menjadi tujuan dari semua perjuangan politik, sedangkan yang
kedua merupakan sejumlah kekuatan jiwa, harta kecakapan, kepandaian dan lain-lain dalam
rangka mencapai ideology atau cita-cita politiknya
■ Ketika meletusnya pemberontakan DI/TII ini pembeda utamanya adalah soal keabsahan Republik Indonesia. Gerakan
DI/TII muncul justru memperjuangkan semua aspirasi umat Islam. Sebab, menurut Kartosoewirjo, aspirasi umat Islam
dapat diterjemahkan sebagai berikut :

1. Hendaklah Republik Indonesia menjadi Republik yang berdasar Islam.

2. Pemerintah dapat menjamin berlakunya hukum-hukum syara’ agama Islam dalam arti yang seluas-luasnya dan
sesempurna-sempurnanya.

3. Setiap umat Islam harus memperoleh kesempatan dan lapangan usaha untuk melakukan kewajibannya, baik yang
menyangkut aspek duniawi maupun ukhrawi.

4. Umat Islam harus terlepas dari segala bentuk perhambaan.

Dengan demikian, boleh dikatakan bahwa cita-cita umat Islam (ideologi Islam), yakni ingin membangun  dunia
Baru atau Dunia Islam atau dengan kata lain Dar Al-Islam dalam rangka memperoleh Mardhatillah dan Rahmatillah.

Dalam tertib politiknya, ada dua penyangga dalam ideologi Negara Islam Indonesia. Pertama, semua kedaulatan berada di
tangan Allah. Kedua, pandangan korporatif tentang masyarakat yang di dalamnya terdapat kelompok berbeda yang secara adil
mempunyai hak dan tanggung jawab yang tidak sama rata dan tunduk pada kewajiban-kewajiban hukum yang sangat berbeda

Pada akhirnya, sejarah bangsa ini mencatat dan menepatkan DI/TII sebagai gerakan politik Islam sempalan yang
merongrong keutuhan Republik ini, sehingga atas nama keutuhan bangsa dan Negara, DI/TII ditumpas habis oleh rezim
Soekarno dan disapu bersih oleh rezim Soeharto.
Aspirasi dan Perjuangan Umat Islam Terhadap Kebijakan
Orde Lama

Dalam  periode  Orde Lama, tampaknya  peran  umat Islam terpilahkan dalam 3 aspirasi
besar : pertama,  peran umat  Islam  yang  bersikap  kritis  kepada  negara  yang diwakili  oleh  Masyumi;
 kedua, peran  umat  Islam  yang bersikap akomodatif kepada negara yang diwakili oleh  NU; ketiga,
peran umat Islam yang bersebelahan pemikiran  (di luar pagar sampai memberontak) yang diwakili oleh
gerakan DI/TII.
Sehingga  dalam  posisi  ini  Douglas   Ramage, memberikan  makna  yang  khas,  bahwa  Umat
 Islam  lebih disosokkan  sebagai  ancaman. Dalam  pandangannya,  Islam pernah ditempatkan sebagai
kekuatan terlarang sebagaimana kekuatan komunis.
Umat Islam membentuk Kogalam  (Komando Kesiapsiagaan Umat Islam) dan GEMUIS (Genarasi
Muda Islam), Organisasi-organisasi Islam mendirikan pasukan Banser, Kokam, Brigade PII, Korba HMI,
dan sebagainya, sebagai kekuatan untuk menghadapi pemberontakan PKI 1965 itu. Gerakan
pemberontakan G. 30. S/PKI di pusat maupun daerah-daerah berhasil ditumpas, sehingga selamatlah
Negara Republik Indonesia dari usaha dijadikan Negara komunis.  Situasi negara mulai ada perubahan,
masyarakat menyadari akan bahaya laten komunis, dan membuka lembaran baru dalam kehidupan
Negara yang memiliki nuansa keagamaan atau religiositas yang memang sebagai jati diri Bangsa
Indonesia.  Dengan adanya  Ketetapan MPRS No. XXV/ 1966, Partai Komunis Indonesia (PKI) dan
orderbownya dibubarkan, ajaran Komunisme -Marxistme dilarang untuk seluruh Indonesia
TERIMAKASIH

Anda mungkin juga menyukai