Anda di halaman 1dari 28

HARUN

LAZUARDI IMANI
• Dalam pandangan al-Ghazali, uang adalah:
“…nikmat Allah (barang) yang dipergunakan
masyarakat sebagai mediasi atau alat untuk
mendapatkan bermacam-macam kebutuhan
hidupnya, yang secara substansial tidak memiliki
nilai apa-apa, tetapi sangat dibutuhkan manusia
dalam upaya pemenuhan bermacam-macam
kebutuhan mereka (sebagai alat tukar).”
• Definisi uang menurut al-Ghazali, yaitu uang adalah:
Barang atau benda yang berfungsi sebagai sarana
mendapatkan barang lain. Dengan kata lain uang
adalah barang yang disepakati fungsinya sebagai
media pertukaran (medium of exchange).
Benda tersebut dianggap tidak mempunyai nilai
sebagai barang (nilai intrinsik).
• Tahapan-tahapan tersebut menurut Werner Sombart adalah sebagai berikut:
• “Mula-mula masyarakat yang tinggal di sebuah tempat hidup secara sederhana
(primitive) dalam corak kehidupan komunal. Komponen utama masyarakat
terdiri atas para keluarga petani yang secara praktis memproduksi barang
untuk dikonsumsi sendiri. Dengan demikian belum ada pemisahan antara faktor
produksi dan faktor konsumsi. Sehingga pelaku ekonomi sekaligus berperan
sebagai produsen dan konsumen. Karenanya sejauh itu masyarakat belum
membutuhkan adanya media transaksi semacam uang. Pada suatu masyarakat
yang setingkat di atasnya pertukaran barang sudah mulai dijumpai meskipun
masih terbatas pada suatu komunitas yang sempit. Pertukaran tersebut sifatnya
masih terselubung (siluet trade), dalam arti bahwa pertukaran belum mengenal
adanya pasar dan hanya akan terjadi jika ada keinginan atau kebutuhan yang
dapat saling dipenuhi. Sistem inilah yang disebut dengan barter. Setiap barang
dapat berfungsi sebagai uang selama terdapat kesepakatan di antara mereka
yang mengadakan transaksi maupun mengenai rasio tukarnya. Akan tetapi
sistem barter ternyata menimbulkan kesulitan-kesulitan tersendiri dalam
pelaksanaannya. Kesulitan tersebut akhirnya dapat diatasi dengan
digunakannya uang dalam transaksi pertukaran barang dan jasa.
• Davanzati dan Montanri mengajukan teori Konvensi yang
secara ringkas menyatakan bahwa uang dibentuk oleh
masyarakat berdasarkan mufakat atau konvensi. Teori tersebut
didasarkan atas kesadaran bahwa dalam kehidupan ekonomi
barang dan jasa saling berhadapan antara yang satu dengan
yang lain, sehingga karenanya memerlukan adanya perantara
yang dapat mempertemukan kebutuhan terhadap barang-
barang dan jasa-jasa tersebut. Perantara itu tidak lain adalah
uang.
• Mata uang yang berlaku pada masa al-Ghazali terbuat dari
emas dan perak, yaitu dinar dan dirham, yang merupakan
bahan terbaik untuk membuat mata uang. Dalam sejarah
ekonomi modern, dipilihnya emas dan perak sebagai bahan
mata uang memiliki kelebihan tersendiri dibandingkan dengan
bahan-bahan yang lain.
• Meskipun emas dan perak dianggap sebagai bahan terbaik
untuk dijadikan uang, tetapi menurut al-Ghazali hal tersebut
bukanlah sebuah keharusan. Menurutnya boleh saja mata uang
terbuat dari benda selain emas atau perak, tetapi pemerintah
harus dapat menjaga dan mengendalikan stabilitas nilainya.
Sebab kedua bahan tersebut dinilai memenuhi syarat untuk dijadikan sebagai uang. Syarat-syarat tersebut
adalah:

• Generally acceptability (diterima secara luas). Maksudnya adalah suatu benda dapat djadikan uang
apabila ia diterima atau disukai oleh masyarakat umum dalam menjalankan fungsi-fungsinya. Suatu
kenyataan bahwa sekarang ini baik uang logam maupun uang kertas yang kadang-kadang memiliki nilai
nominal jauh melebihi nilai intrinsiknya dapat berlaku karena diterima oleh masyarakat. Alasan
penerimaan ini bukan karena melihat bentuk maupun bahannya, melainkan karena uang memiliki
purchasing power (daya beli). Artinya dengan uang dapat dibeli barang atau jasa apapun yang
diinginkan oleh pemilik uang tersebut.
• Stability of value (stabilitas nilai atau harga). Uang harus memiliki stabilitas nilai yang tinggi, yaitu suatu
kestabilan atau ketetapan nilai atau harga walaupun bukan sesuatu hal yang mustahil masih mempunyai
kemungkinan untuk berfluktuasi, tetapi harus diusahakan agar kemungkinan tersebut sekecil mungkin.
Sebab jika nilai atau harga uang selalu berubah-ubah akan menimbulkan kesulitan sehubungan dengan
fungsinya sebagai media pertukaran, pengukur nilai maupun fungsi baku moneter lainnya. Dengan kata
lain nilai uang adalah netral, tidak terpengaruh oleh bahan bakunya.
• Portability (bentuknya simpel), hal ini ditujukan agar uang dapat mudah dibawa-bawa, meskipun dalam
jumlah yang besar. Dalam perkembangan perekonomian modern, uang logam dianggap belum
memenuhi persyaratan ini. Karena itu kemudian muncul uang kertas yang dianggap lebih praktis untuk
dibawa dalam jumlah besar sekalipun. Bahkan kemudian muncul pula uang giral seperti giro, cek,
kartu kredit dan lain-lain yang lebih efisien lagi. Akan tetapi penggunaan uang kertas ternyata
mengabaikan syarat-syarat yang lain sehingga mudah sekali mengalami fluktuasi nilai.
• Durability (tahan lama). Artinya adalah uang secara fisik harus tahan lama dan tidak
mudah untuk tujuan pemakaian jangka panjang. Sebab pada dasarnya baik uang
logam maupun uang kertas dibuat untuk dipergunakan dalam transaksi berkali-kali
dan jangka panjang. Sehingga harus tahan lama.
• Difficult to imitate (sukar dipalsu). Syarat ini dimaksudkan untuk menjaga
kestabilan nilai uang. Sebab jika uang mudah ditiru atau dipalsu akan menimbulkan
kecenderungan atau kemungkinan munculnya dua jenis uang yang berbeda dengan
nominal yang sama, yaitu good money (uang baik) atau uang asli dan bad money
(uang buruk) atau uang palsu. Sehingga berlakulah Hukum Gresham.
• Divisible to small units (mudah dibagi menjadi bagian-bagian kecil). Maksudnya
uang harus mudah untuk ditentukan perbandingannya dalam satuan-satuan kecil.
Tujuannya untuk mempermudah proses transaksi. Ini pula yang menjadi kelebihan
relatif uang kartal dibanding dengan sistem pertukaran barang secara langsung.
Sebab meskipun dalam transaksi yang paling kecilpun dapat dipergunakan.
• Suplainya elastis. Maksudnya uang harus bisa mencukupi kebutuhan
perekonomian agar dapat mengimbangi kegiatan usaha dan memperlancar
transaksi.
• Continuity, yaitu dalam pemberlakuannya tidak terlalu sering mengalami
pergantian. Sebab hal tersebut akan menimbulkan keraguan dalam masyarakat yang
menggunakannya.
• Mudah disimpan. Syarat ini erat kaitannya dengan motif precauntionary (berjaga-
jaga), untuk penundaan kebutuhan dimasa yang akan datang dan kebutuhan yang
sifatnya tidak terduga. Juga terkait dengan keamanan uang itu sendiri.
• Murtada Muttahari menjelaskan bahwa nilai sebuah mata uang terkait erat
dengan wujud uang itu sendiri. Hal demikian dikarenakan wujud suatu
barang sangat menentukan nilai dari barang itu sendiri. Menurutnya uang
memiliki beberapa kategori wujud, yaitu; wujud hakiki (real existence),
Wujud Zihni (mental existence), dan wujud relatif (relative existence)
• Real existence bagi mata uang ditunjukkan oleh bahan pembuat uang itu
sendiri. Seperti emas, perak, tembaga, kertas dan lain-lain. Nilai uang yang
ditunjukkan oleh real existence ini disebut dengan nilai intrinsik atau nilai
barang.
• Sedangkan mental existence mata. uang ditunjukkan oleh nilai atau harga
uang terhadap barang-barang lain. Misalnya seratus rupiah sama nilainya
dengan dua buah jarum tangan. Dalam hal ini nilai uang berbanding
terbalik dengan nilai barang. Maksudnya adalah jika nilai uang menguat
maka nilai barang mengalami penurunan, sebaliknya jika nilai uang
melemah maka nilai barang mengalami kenaikan. Yang demikian dikenal
dengan asas Das reziproke preisnieau. Karena semua harga dinyatakan
dengan satuan uang, nilai uang dapat dilihat dari tingkat harga pada
waktu tertentu
• Nilai uang yang ditunjukkan oleh mental existence ini adalah
nilai nominalnya, yaitu nilai yang tertera pada mata uang. Di
sini dibedakan antara nilai obyektif dan subyektif. Nilai
obyektif menunjukkan nilai tukar uang dengan barang-barang
lain, sedangkan nilai subyektif adalah nilai yang terkandung
dalam uang sebagai subyek ekonominya. Sementara itu wujud
relatif dari uang ditunjukkan oleh perbandingan nilai suatu
mata uang dibandingkan dengan mata uang yang lain.
Misalnya sepuluh ribu Rupiah sama nilainya dengan satu US$.
Nilai mata uang yang ditunjukkan oleh relative existence of
money ini disebut dengan nilai tukar mata uang (foreign real
exchange).
• Nilai uang menurut al-Ghazali hanya dibuat sebagai standar harga
barang dan alat tukar, maka uang tidak memiliki nilai intrinsik. Atau
lebih tepatnya nilai intrinsik suatu mata uang yang ditunjukkan oleh
real existencenya dianggap tidak pernah ada. Uang yang terbuat
dari emas dengan nilai nominal satu US$ sama nilainya dengan uang
kertas dengan nilai nominal yang sama. Sehingga seolah-olah nilai
emas bahan uang tersebut sama dengan kertas bahan uang dengan
nominal yang sama, atau dapat dikatakan nilai emas dan kertas
tersebut dianggap tidak pernah ada. Ia beralasan jika uang memiliki
nilai intrinsik, maka tidak akan dapat berfungsi sebagai alat tukar,
karena nilainya akan berbeda-beda tergantung dari bahan
pembuatnya. Setiap barang mungkin diperlukan bendanya untuk
memenuhi suatu kebutuhan. Tetapi uang tidak diperlukan bendanya
dalam arti yang menjadi motif permintaannya adalah kemampuan
daya beli yang terkandung di dalam uang itu. Anggapan al-Ghazali
bahwa uang tidak memiliki nilai intrinsik ini nantinya terkait erat
dengan permasalahan permintaan terhadap uang, riba dan jual beli
mata uang.
al-Ghazali menjelaskan beberapa fungsi yang dimiliki uang.
Fungsi-fungsi tersebut adalah :
• Qiwam ad-dunya
• Alat at-tabadul
• Sarana pencapaian tujuan dan untuk mendapatkan barang-
barang lain.

• Fungsi uang sebagai qiwam ad-dunya, artinya bahwa uang


merupakan alat yang dapat digunakan untuk menilai barang
sekaligus membandingkannya dengan barang yang lain. Al-
Ghazali mengibaratkan uang dengan sebuah cermin yang
tidak memiliki warna sendiri tetapi mampu mencerminkan
warna-warna yang lain.
• Fungsi uang sebagai alat at-tabadul atau al-mu’awidah,
adalah bahwa uang merupakan sarana pertukaran barang
dalam suatu transaksi atau sering disebut dengan medium of
exchange. Fungsi ini terkait dengan fungsi yang pertama.
Dengan diketahuinya perbandingan nilai atau harga antara
barang-barang yang akan dipertukarkan maka barang-
barang tersebut dapat diwakili oleh uang dalam
penyerahannya.
• Uang juga berfungsi sebagai sarana untuk mendapatkan
barang-barang lain dan tujuan-tujuan tertentu. Sebenarnya
fungsi ini adalah penjabaraan dari fungsi uang sebagai sarana
tukar-menukar. Karena itu dinyatakan “uang membeli barang
dan barang tidak membeli uang.” Sebagai contoh, jika
seseorang memiliki sepotong pakaian, maka yang ia miliki
hanyalah sepotong pakaian tersebut. Tetapi jika ia memiliki
uang seharga uang tersebut, maka ia memiliki uang sekaligus
dapat membeli pakaian itu dengan uang yang dimiliki dan
dapat juga membeli barang lain yang senilai.
• Riba yang dalam bahasa arab berasal dari akar kata r-b-w
memiliki arti tambahan, bertambah, tumbuh, menjadi besar,
tambahan yang dimasukkan , tambahan atas modal tambahan atas
pinjaman pokok dan batasan-batasan lain yang searti. Definisi riba
secara terminologis terdapat banyak versi, salah satunya
sebagaimana dikemukakan oleh al-Jurjani dalam at-Ta’rifat, yaitu:
“suatu penambahan yang diperoleh tanpa melalui proses transaksi
yang disyaratkan bagi salah satu pihak yang mengadakan transaksi
tersebut”. Dengan kata lain riba adalah tambahan atas modal pokok
yang diperoleh dengan cara yang batil.
• Ketentuan hukum riba sendiri telah jelas dalam nas al-Quran, as-
Sunnah maupun konsensus ‘ulama. Secara eksplisit larangan riba
terdapat dalam al-quran surat al-Baqarah ayat 275, 278-279, ar-
Rum 39, an-nisa 160-161 dan Ali ‘Imran 130. Sedangkan larangan
terhadap riba dalam hadis di antaranya diriwayatkan oleh Jabir:
• “Rasulullah Saw telah melaknat pemakan riba, wakilnya, pencatatnya
serta saksi-saksinya. Dan beliau berkata: “mereka semua sama”
• Tiga ratus lima puluh tahun sebelum Masehi Aristoteles telah
menyinggung masalah riba. Dia menyatakan:
• “penimbunan kekayaan sangat dipermudah dengan adanya
uang. Uang yang semula berfungsi sebagai alat tukar dan
pengukur nilai menurut sifatnya tidak dapat menghasilkan uang
lagi. Uang tidak dapat beranak uang.Uang yang diterima
kreditur dari uang yang dipinjamkan bukanlah disebabkan oleh
nilai ekonomi, tapi dari tindakan yang merugikan debitur. Jadi
uang tidak dapat menjadi sumber kehidupan (fonds vitae),
dalam arti uang tidak dapat menghasilkan uang.”
• Bahkan larangan ini juga berlaku bagi umat-umat terdahulu.
Misalnya kitab Taurat (Torah) melarang kaum Yahudi melakukan
praktek riba. Demikian pula dalam Bibel terdapat larangan
meminjamkan uang kepada orang lain dengan disertai bunga.
Selama berabad-abad ketentuan ini berlaku, terlebih setelah
mendapat legitimasi dari pihak Gereja.
• Pertama, bahwa yang dimaksud dengan riba dalam al-quran adalah riba
dalam bentuk bunga yang berlipat ganda (usury). Sedangkan bunga dengan
tingkat rendah (interest) tidak dilarang. Pernyataan ini didasarkan pada kalimat
“ad’afan Muda’afah” dan “La tazlimun wa la tuzlamun” yang terdapat dalam
al-Quran. Mereka menjelaskan bahwa istilah tersebut yang berarti “berlipat
ganda” dan “janganlah berbuat aniaya” yang merupakan batasan sangat
tegas dari al-quran mengenai jenis riba yang dilarang.
• Dengan demikian bunga yang tidak berlipat ganda, sebagaimana yang
diterapkan oleh institusi keuangan modern, tidak dikategorikan sebagai riba.
Para pendukung pendapat ini antara lain Abdullah Yusuf Ali dan Muhammad
Asad, penterjemah al-quran ternama dari Pakistan. Mereka merujuk pada
pendapat para ulama klasik, antara lain Ibn Jarir at-Tabari (w. 310 H) yang
menyatakan bahwa riba dalam al-Quran adalah riba yang berlipat dua
sampai empat kali, inilah yang disebut dengan riba jahiliyah. Imam ar-Razi (w.
606 H) dan Baidlawi (w. 685 H) juga menyatakan hal yang senada. Menurut ar-
Razi masyarakat pada masa jahiliyah biasa meminjamkan uang mereka dengan
motif untuk mendapatkan tambahan (riba) setiap bulannya tanpa
mempengaruhi jumlah uang yang dipinjamkannya. Pada saat jatuh tempo
pelunasan mereka akan menagih uangnya dan jika si peminjam tidak dapat
membayar maka waktu pinjaman akan diperpanjang tetapi dengan konsekuensi
harus mau memberikan sejumlah premi sebagai kompensasi atas penundaan
pembayaran tersebut. Demikian seterusnya sehingga jumlah pinjaman semakin
besar sehingga pihak peminjam dizalimi.
• Kedua, pendapat yang menggunakan asumsi dasar bahwa pada
masyarakat Arab jahiliyah khususnya dan masyarakat Barat di abad
pertengahan, terdapat dua macam pinjaman dilihat dari sifatnya.
Yaitu pinjaman yang disebut dengan mutuum dan comodatum.
Mutuum adalah pinjaman yang habis untuk dikonsumsi, misalnya susu,
uang dan lainnya. Sedangkan comodatum adalah pinjaman yang
tidak akan habis dikonsumsi seperti meminjam rumah, kuda (sarana
transportasi). Dalam istilah ekonomi biasa digunakan istilah pinjaman
konsumtif untuk menyebut mutuum dan pinjaman produktif untuk
pinjaman comodatum.
• Atas dasar asumsi inilah mereka berkesimpulan bahwa yang
dimaksud dengan riba yang dilarang dalam al-quran adalah bunga
pinjaman yang digunakan untuk tujuan konsumtif. Dengan demikian
bunga pinjaman yang digunakan untuk tujuan yang produktif
diperbolehkan. Praktek riba jahiliyah sebagaimana disinyalir dalam
al-quran yang bersifat menzalimi tidak lain digunakan untuk tujuan
konsumtif. Karena itu meskipun seseorang melakukan pinjaman
dengan menerapkan bunga, selama itu untuk tujuan yang produktif,
maka tidak dikategorikan sebagai pinjaman ribawi.
• Alasan lain al-Ghazali dalam mengharamkan riba yang terkait
dengan uang didasarkan pada motif dicetaknya mata uang itu
sendiri, yaitu:
• 1. Uang diciptakan tidak mempunyai tujuan apa-apa selain
tujuan yang melekat pada mata uang itu sendiri, yaitu sebagai
alat tukar dan standar nilai barang. Sehingga perbuatan riba
dengan tukar menukar uang yang sejenis adalah tindakan yang
keluar dari tujuan penciptaan uang dan dilarang oleh agama.
Demikian pula tindakan menimbun uang diharamkan karena
menghilangkan fungsi uang.
• 2. Karena tujuan penciptaan uang adalah sebagai alat tukar
dan standar nilai barang, maka ia tidak dapat diperlakukan
sebagaimana barang komoditas lainnya.
• Hal yang seringkali dilupakan adalah bahwa penghapusan
riba dari sistem ekonomi Islam bukan merupakan tujuan final,
melainkan hanya sebatas faktor antara untuk mencapai tujuan
yang sebenarnya, yaitu terwujudnya dan terlaksanakannya
sistem ekonomi Islam secara utuh.
• Praktek menimbun uang dalam Islam disebut dengan istilah kanz al-
mal dan dalam istilah ekonomi konvenional disebut dengan money
hoarding atau kadang-kadang cukup disebut dengan hoarding, yaitu
keinginan seseorang untuk menahan uang tunai. Istilah ini seringkali
dikacaukan dengan ihtikar. Sebab ihtikar adalah penimbunan
barang-barang lain selain emas dan perak, biasanya berupa
kebutuhan pokok masyarakat atau kebutuhan vital yang lain. Menurut
al-Ghazali larangan ihtikar bersifat mutlak dan terkait dengan dua
aspek, yaitu jenis harta yang ditimbun dan waktu penimbunan. Jenis-
jenis harta yang diharamkan ditimbun adalah makanan pokok.
Sedangkan jenis harta yang lain, meskipun dapat dimakan
menurutnya masih diperdebatkan oleh ulama. Sedangkan waktu
yang dilarang menurutnya tidak terbatas pada keadan tertentu,
akan tetapi lebih tegas lagi larangan berlaku pada saat masyarakat
sangat membutuhkan sedangkan persediaan bahan makanan pokok
di pasaran sangat terbatas, sehingga akan menimbulkan bahaya
(kelaparan) bagi masyarakat luas.
• itu ibn Qudamah menyatakan bahwa suatu tindakan dapat
disebut ihtikar, apabila memenuhi ketentuan-ketentuan sebagai
berikut: pertama, jika barang yang ditimbun itu merupakan
komoditas yang dibeli dari tempat atau wilayah yang sama
dengan tempat penimbunan. Sedangkan menimbun barang-
barang impor tidak termasuk dalam kategori ihtikar. Hal ini
didasarkan atas asumsi bahwa penimbunan barang-barang
lokal dapat menimbulkan kesulitan bagi masyarakat setempat.
Sedangkan barang-barang impor tidak menimbulkan dampak
demikian. Kedua, barang yang ditimbun merupakan kebutuhan
pokok yang menjadi kepentingan umum. Ketiga, tindakan
penimbunan tersebut secara nyata menimbulkan kesulitan bagi
masyarakat. Untuk ketentuan yang ketiga ini hanya akan
terjadi dalam dua kondisi, yaitu jika dilakukan dinegara atau
wilayah yang sempit dan dilakukan pada masa-masa sulit.
• Kedua praktek tersebut, baik ihtikar maupun kanz al-mal sama-sama dilarang oleh nas al-Quran dan
hadis. Hadis yang melarang praktek ihtikar antara lain dalam riwayat Bukhari sebagai berikut.
Rasulullah SAW bersabda:
• “Yang melakukan penimbunan (harta) hanyalah orang-orang yang bersalah.”
• Sedangkan larangan penimbunan uang (kanz al-mal, money hoarding) terdapat dalam firman Allah:
• “Dan barang siapa menimbun emas dan perak serta tidak membelanjakannya di jalan Allah, maka
berilah kabar kepada mereka akan siksa yang teramat pedih.”
• Dalam ayat tersebut digunakan istilah za-zahab (emas) dan al-fiddah (perak). Istilah az-zahab dan
al-fiddah pada ayat di atas dipahami sebagai mata uang yang berlaku pada saat ayat tersebut
diturunkan. Sehingga larangan penimbunan emas dan perak diartikan sebagai larangan penimbunan
uang.71 Penjelasan ini dapat dibuktikan sebagai berikut:
• Pertama, mantuq ayat tersebut memberikan ancaman terhadap dua macam tindakan, yaitu menimbun
harta dan tidak menginfakkannya di jalan Allah. Sehingga dapat dikatakan bahwa orang yang
melakukan kedua macam perbuatan tersebut, baik sekaligus maupun salah satu dari keduanya tetap
diharamkan. Al-Qurtubi menyatakan: “Apabila seseorang tidak menimbun (harta) namun dia tidak
mau berinfaq di jalan Allah maka tetap termasuk di dalamnya.” Istilah kanz adalah lafaz yang
secara jelas dapat diartikan menurut arti bahasanya. Sesuai dengan prinsip pemaknaan istilah-istilah
dalam al-Quran yang menyatakan bahwa lafaz dapat diartikan dengan dua macam cara, yaitu
dengan makna bahasanya saja atau dengan meminjam penafsiran yang telah ditetapkan oleh syara’.
Ini berlaku terhadap lafaz yang memang sudah ditetapkan maknanya secara syar’i. Sedangkan
istilah kanz tidak ditemukan penjelasannya. Sehingga diartikan dengan arti bahasa saja. Kanz
(menimbun), kanz al-mal (menimbun harta). Kedua, at-Tabari dalam tafsirnya meriwayatkan dari Abu
Umamah al-Bahili menyatakan bahwa menimbun emas (dinar) hukumnya haram sekalipun itu dilakukan
oleh orang yang hidup dari hasil sedekah dan tidak mempunyai kewajiban membayar zakat. Ketiga,
terhadap ayat yang melarang tindakan penimbunan harta tersebut, sebagaimana dilansir oleh imam
Bukhari, terdapat perbedaan tentang kepada siapa larangan tersebut ditujukan. Mu’awiyah
berpendapat bahwa larangan tersebut ditujukan kepada ahli kitab. Bukan kepada umat Islam.
Sedangkan Abu Zar berpendapat larangan tersebut diturunkan kapda ahli kitab sekaligus kepada
umat Islam. Akan tetapi dengan memperhatikan riwayat-riwayat lain nampaknya pendapat Abu Zar
lebih dapat diterima. Dan yang lebih penting lagi perbedaan pendapat tersebut tidak
menghilangkan esensi larangan dalam ayat tersebut. Doktor Isa Abduh menjelaskan bahwa alasan
keharaman perilaku menimbun ini karena dikhawatirkan dapat menyebabkan pelakunya terperosok
kepada jurang riba.
• Teori ekonomi konvensional dikenal adanya teori Gresham atau
Gresham Law, yang mengatakan: “Bad money drives out good
money.” Pengertian dari teori ini dapat dijelaskan dalam kasus
sebagai berikut. Jika dalam suatu negara berlaku dua jenis mata
uang yang mempunyai angka nominal yang sama, tetapi dengan
bahan pembuat yang berbeda maka pada suatu saat uang yang
terbuat dari bahan yang lebih baik akan menghilang dari pasaran
terdesak oleh uang yang terbuat dari bahan yang jelek. Hal ini
karena orang lebih suka menggunakan uang yang terbuat dari
bahan jelek dengan angka nominal yang sama dengan uang yang
terbuat dari bahan yang baik. Teori ini biasanya berlaku bagi uang
yang terbuat dari emas dan perak atau bahan logam lainnya.
menyimpan uang emasnya atau meleburnya menjadi perhiasan.
Selebihnya masyarakat menyimpan (sebagai investasi) uang yang
terbuat dari logam mulia atau meleburnya menjadi perhiasan.
• al-Ghazali menyatakan, bahwa kezaliman yang terkait dengan uang ada
dua kategori, yaitu berupa penimbunan uang, sebagaimana dijelaskan di
atas dan kezaliman yang berupa pembuatan mata uang dengan bahan
campuran, atau dalam istilah ilmu ekonomi modern disebut dengan uang
buruk. Istilah yang dipilih al-Ghazali untuk menyebut mata uang campuran
adalah az-Zaif. Menurutnya beredarnya uang buruk akan menimbulkan
kerusakan yang luas dalam (perekonomian) masyarakat. Di kalangan para
ulama terdapat dua arus besar dalam menyikapi adanya uang buruk ini,
yaitu pihak pertama yang menyatakan jika uang tersebut telah beredar dan
bercampur dengan yang baik dalam sirkulasinya di dalam masyarakat,
sehingga tidak dapat dibeda-bedakan lagi mana antara kedua jenis
tersebut, maka boleh menggunakan uang tersebut. Sedangkan jika masih
memungkinkan untuk memilah-milah, maka ada dua pandangan, yaitu:
• Dilarang menggunakan uang yang disinyalir terbuat dari bahan campuran.
Pendapat ini dikemukakan oleh antara lain Muhammad ibn Urakin, al-Haris,
yusuf ibn Musa dan Ja’far ibn Muhammad.
• Diperbolehkan menggunakan uang campuran tersebut, hanya saja dihukumi
makruh. Demikian menurut Qiran, Ibrahim ibn Haris dan Asran.
• Sedangkan pendapat kedua menyatakan boleh saja menggunakan uang
campuran dalam kondisi apapun. Para pengikut asy-Syafi’i menyatakan jika
uang campuran tersebut jumlahnya tidak seberapa jika dibanding dengan
uang yang murni, maka hukum menggunakannya diperbolehkan. Tetapi jika
jumlahnya melebihi uang yang murni maka sebagian membolehkan,
sebagian yang lain melarang.
• Dalam hal ini al-Ghazali melarang praktek yang demikian. Beberapa
alasan ia kemukakan untuk mendukung pendapatnya, yaitu: Bahwa
dilarangnya praktek jual-beli uang adalah karena jika hal itu diperbolehkan
hal itu sama saja dengan membiarkan orang melakukan praktek kanz al-
Mal (penimbunan uang), yang akan berakibat pada kelangkaan uang di
dalam masyarkat. Sebab dengan diperjual-belikan, uang akan beredar
hanya pada kalangan terbatas, yaitu pada orang-orang kaya yang
melakukan praktek tersebut. Dan tidak dapat dipungkiri ini adalah tindakan
yang sangat zalim.
• Akan tetapi memperjual-belikan dua mata uang yang terbuat dari bahan
yang berbeda jenisnya, seperti uang emas dengan uang perak menurut al-
Ghazali diperbolehkan. Sebab dengan bahan yang berbeda jenisnya,
dapat dengan mudah diketahui kadar kualitas masing-masing. Dan jika ini
dilarang justru akan menimbulkan kesempitan dalam aktifitas perekonomian.
Sementara itu jual beli dua jenis mata uang yang sama jenis bahannya
diperbolehkan dengan catatan sama dalam kualitas dan kuantitasnya. Dan
sebenarnya yang dimaksud al-Ghazali dengan pernyataan ini adalah
melarangnya. Sebab secara logika orang tidak mungkin melakukan hal itu
sebab tidak akan menghasilkan keuntungan apapun dan dengan demikian
hanya sia-sia saja. Sikap al-Ghazali ini didukung dengan hadis Nabi:
• “Janganlah kalian memperjualbelikan emas dengan emas dan perak
dengan perak kecuali dengan timbangan yang setara. Dan juallah emas
dengan perak dan perak dengan emas sekehendak kalian”.
• Peran pemerintah juga dapat dilaksanakan oleh sebuah badan
yang dibentuk secara khusus untuk menangani stabilitas nilai
uang dan harga. Dalam hal ini dia menunjuk pada lembaga
resmi pemerintah yang pernah ada pada masa-masa awal
Islam, Hisbah. Sebenarnya peran Hisbah tidak hanya terbatas
pada masalah yang terkait dengan sektor perekonomian,
tetapi lebih luas lagi untuk menegakkan amar ma’ruf nahi
munkar.
• Al-Ghazali menyebutkan peran lembaga hisbah dalam bidang ekonomi adalah untuk
mengawasi jalannya mekanisme pasar secara fair dan menghilangkan distorsi terhadap
fungsi pasar. Adapun distorsi pasar menurutnya adalah sebagai berikut:

• Praktek kebohongan untuk memperoleh keuntungan.


• Menyembunyikan cacat yang terdapat dalam barang dagangan atau manipulasi
kwalitas barang.
• Kecurangan dalam menimbang, menakar dan mengukur barang dagangan.
• Mengabaikan ijab-kabul dalam proses transaksi.
• Menjual barang-barang ribawi dan praktek transaksi riba.
• Menjual barang-barang yang mengandung unsur judi.
• Menjual bejana atau wadah yang terbuat dari emas dan perak.
• Menjual barang yang dimanipulasi sedemikian rupa sehingga seolah-olah barang baru.

• Lembaga hisbah dapat terbentuk dengan memperhatikan empat faktor (rukun)


pembentuknya, sebagai berikut:
• Muhtasib
• Muhtasab fih
• Muhtasab ‘alaih

• Muhtasib adalah orang atau badan yang bertindak sebagai pelaksana pengawasan.
Untuk dapat ditunjuk sebagai muhtasib seseorang harus memenuhi beberapa syarat,
yaitu; mukallaf, muslim, adil, mendapatkan ijin dari penguasa dan walinya. Sedangkan
Muhtasab Fih adalah obyek bagi muhtasib, yaitu setiap tindakan atau keadaan yang
secara nyata bertentangan dengan syari’at Islam.
TERIMA KASIH

Anda mungkin juga menyukai