Anda di halaman 1dari 11

Kemerdekaan Indonesia tak lepas dari kekalahan Jepang dari Sekutu pada Perang Dunia II yang dipimpin

oleh Amerika Serikat. Pasca-Perang Dunia II Amerika Serikat muncul sebagai salah satu negara adidaya
bersama Uni Soviet. Kedua negara ini memiliki sistem dan kepentingan berbeda yang menimbulkan
silang pendapat di antara keduanya. Perbedaan ini sudah tampak sejak Perang Dunia II dan memuncak
ketika perang usai.

Perkembangan konflik hubungan antara Amerika Serikat dan Uni Soviet disebut dengan Perang Dingin.
Suasana Perang Dingin diwarnai dengan perlombaan di segala bidang baik politik, ekonomi, militer,
budaya, maupun propaganda. Persaingan keduanya membagi dunia ke dalam dua blok Barat dan Timur
yang menuntut semua negara menentukan pilihan.

Indonesia yang baru merdeka dan terkena dampak Perang Dunia II berada dalam posisi terjepit. Belanda
berupaya kembali menguasai Indonesia melalui Sekutu yang pro Amerika Serikat (Blok Barat), sementara
di dalam negeri terjadi pemberontakan menentang kebijakan RI dari FDR/PKI yang pro Uni Soviet (Blok
Timur).

Republik Indonesia sebagai negara baru harus menentukan arah kebijakan luar negerinya. Dalam UUD
1945 yang disahkan pada 18 Agustus 1945, disebutkan bahwa Indonesia berkewajiban ikut
melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.
Konsep ini menjadi dasar berkembangnya Politik Bebas Aktif.

Kiprah Indonesia di kancah politik internasional dimulai pada tahun 1950 dengan bergabung dengan
PBB. Sikap Indonesia yang memilih tidak memihak blok tertentu tercermin saat menjadi salah satu
inisiator Konferensi Asia-Afrika tahun 1955. Konferensi ini menghasilkan Dasasila Bandung yang
ditindaklanjuti menjadi Gerakan Non-Blok pada tahun 1961.

Menjelang akhir Orde Lama, sejumlah peristiwa membawa Indonesia cenderung condong memusuhi
Barat yang dituding mendukung imperialisme jenis baru. Puncaknya, kekesalan Presiden Soekarno
terhadap pembentukan Federasi Malaysia yang direncanakan oleh Pemerintah Inggris berujung pada
keluarnya Indonesia dari PBB pada tahun 1965.

Kronologi Fase Awal Politik Luar Negeri Indonesia (1945–1965)

6 Agustus 1945

Amerika Serikat menjatuhkan bom di Kota Hiroshima, Jepang.


8 Agustus 1945

Uni Soviet menyatakan perang terhadap Jepang.

9 Agustus 1945

Amerika Serikat menjatuhkan bom di Kota Nagasaki, Jepang.

15 Agustus 1945

Jepang menyerah tanpa syarat.

17 Agustus 1945

Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia.

18 Agustus 1945

Pengesahan UUD 1945, dalam pembukaanya disebutkan bahwa Indonesia berkewajiban ikut
melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.
Bersamaan dengan ini, lahirlah konsep politik luar negeri pemerintah RI yang kemudian dikenal dengan
nama “Politik Bebas Aktif”.

2 September 1945

Konferensi Tokyo. Dalam konferensi ini dilakukan perjanjian-perjanjian untuk negara-negara yang kalah
perang. Konferensi Tokyo membahas perjanjian dengan Jepang.

24 Oktober 1945

Perserikatan Bangsa-Bangsa berdiri.

2 Agustus 1948

Konferensi Postdam membahas perjanjian-perjanjian dengan Jerman selaku negara kalah perang. Pasca-
Perang Dunia II Amerika Serikat dan Uni Soviet muncul sebagai dua kekuatan raksasa dunia yang menjadi
cikal-bakal Perang Dingin.
2 September 1948

Wakil Presiden Mohammad Hatta di muka Badan Pekerja KNIP (parlemen) mengemukakan penjelasan
pertama tentang konsep politik bebas aktif. Meski kata-kata politik bebas aktif tidak disebut, Hatta
menegaskan agar Indonesia tidak menjadi obyek dalam pertarungan politik internasional, dan harus
tetap menjadi subyek yang berhak menentukan sikapnya sendiri.

September 1950

Kabinet Natsir meninjau politik luar negeri Indonesia dari segi pertentangan antara Amerika Serikat dan
Uni Soviet. Situasi ini memunculkan persaingan dan pertentangan ideologi yang membentuk Blok Barat
dan Blok Timur. Dalam kondisi berbahaya ini Indonesia memutuskan untuk melaksanakan politik luar
negeri yang bebas, dan akan membantu segala usaha-usaha untuk mengembalikan perdamaian dunia.

28 September 1950

Indonesia diterima menjadi anggota PBB.

Mei 1951

Kabinet Sukiman memberikan keterangan kepada parlemen yang mengatakan politik luar negeri RI tetap
berdasarkan Pancasila yang menghendaki perdamaian dunia.

Mei 1952

Kabinet Wilopo menerangkan politik luar negeri Indonesia bersifat bebas dengan makna tidak memilih
salah satu pihak dan mengikat diri untuk selamanya. Indonesia tidak akan ikut campur dan akan bersikap
netral dalam pertentangan antara dua blok.

18–25 April 1955

Konferensi Asia Afrika I berlangsung di Bandung yang menghasilkan Dasasila Bandung. KAA menjadi
cikal-bakal Gerakan Non-Blok.

Presiden Soekarno tatkala menyampaikan pidato pembukaan Konferensi Asia Afrika di Bandung. Di latar
belakang antara lain tampak PM India Nehru, PM Birma U Nu, Pm Ali Sastroamidjojo serta para
pemimpin negara sponsor KAA lainnya. Foto: IPPHOS.
30 September 1957

Presiden Soekarno berpidato di hadapan Sidang Umum PBB. Soekarno menyatakan, sebagai pertarungan
dunia melawan kolonialisme dan imperialisme, pertikaian di Irian Barat antara Indonesia dan Belanda
dapat mengancam perdamaian dunia karena masih adanya kolonialisme di wilayah tersebut.

5 Juli 1959

Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit yang memberlakukan kembali UUD 1945 yang menjadi penanda
awal dimulainya demokrasi terpimpin. Kebijakan luar negeri Indonesia menjadi semakin militan dalam
perjuangan melawan imperialisme, kolonialisme, dan neo-kolonialisme (nekolim).

1961

Gerakan Non-Blok berdiri dan melakukan sidang pertama pada 1–6 September 1961 di Beograd,
Yugoslavia.

20 Januari 1963

Menteri Luar Negeri Indonesia, Dr. Subandrio, di hadapan Resimen Mahakarta di Yogyakarta,
mengatakan Indonesia bermaksud menggagalkan pembentukan Federasi Malaysia yang direncanakan
oleh Pemerintah Inggris.

6 Januari 1965

Indonesia keluar dari PBB terhitung sejak 1 Januari 1965. Keputusan tersebut disampaikan melalui surat
pada 6 Januari 1965.

2 April 1965

Soekarno, di depan peserta seminar Angkatan Barat di Istana Bogor, mengatakan negara-negara yang
baru merdeka di Asia Afrika dan tidak tergabung ke dalam dua blok besar merupakan blok tersendiri
yang disebut “the new Emerging Forces” (Nefos).

Presiden Sukarno sedang berpidato dalam rapat raksasa mengganyang Malaysia di Gelora Bung Karno tgl
28 Juli 1963. Foto: IPPHOS.
1 Mei 1965

Presiden Soekarno dalam pidato peringatan hari buruh menggagas organisasi dunia tandingan PBB
bernama Conference the New Emerging Forces (Conefo) sebagai wadah persatuan kekuatan-kekuatan
revolusioner di dunia.

17 Agustus 1965

Melalui pidatonya, Presiden Soekarno menyampaikan poros antiimperalis yang disebut sebagai “Poros
Jakarta-Peking”.

30 September 1965

Peristiwa G30S.

11 Maret 1966

Surat Perintah 11 Maret (Supersemar) keluar dan memberikan legitimasi kepada Soeharto sebagai
Komandan Pemulihan Keamanan.

22 Juni 1966

Presiden Soekarno menyampaikan pidato pertanggungjawaban dengan judul “Nawaksara”. Pidato


pertanggungjawaban tersebut ditolak oleh Sidang Umum Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara
(MPRS).

12 Maret 1967

Soeharto dilantik menjadi Presiden Republik Indonesia.


“Bebas-aktif” sebagai Prinsip Politik Luar Negeri

Selain pendasarannya pada ketiga landasan dan konsepsi Ketahanan nasional tersebut, Indonesia juga
menjalankan politik luar negerinya dengan prinsip “bebas-aktif”. Pasal 3 UU Nomor 37 Tahun 1999
menekankan bahwa politik luar negeri “bebas-aktif” bukanlah sebuah sikap politik netral, melainkan
menjadi satu posisi politik otonom tersendiri. “Bebas” memiliki arti bahwa dalam melaksanan politik luar
negerinya, Indonesia memiliki kebebasan untuk menjalin kerja sama dengan negara atau ikatan
internasional tertentu tanpa keterikatan. Dalam soal permasalahan atau fenomena internasional,
Indonesia juga bebas untuk menentukan sikap dan kebijakannya tanpa pengaruh kekuatan manapun.
Sementara “aktif” merujuk pada sikap Indonesia untuk terlibat aktif dalam segala permasalahan maupun
kerja sama internasional demi tercapainya tujuan kemerdekaan nasional, sebagaimana telah tertulis
dalam alinea empat Pembukaan UUD 1945 – ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan,
perdamaian abadi dan keadilan sosial.

Esensi dari prinsip politik luar negeri “bebas-aktif” sendiri telah diutarakan pertama kali oleh Sutan
Sjahrir pada tahun 1947 di Inter Asia Relations Conference, New Delhi. Dalam kesempatan tersebut,
Sjahrir menyoroti bagaimana dunia internasional pada masa itu seolah memaksa semua negara untuk
memilih keberpihakan pada dua blok besar yang saling bertarung secara politis maupun ideologis, Blok
Barat yang dipimpin Amerika Serikat dengan aliran liberal-kapitalis dan Blok Timur dipimpin Uni Soviet
dengan paham komunis-sosialisnya. Sjahrir sendiri mengistilahkan konflik ini antara blok Anglo-Saxon
dan blok Soviet Rusia yang memaksa keberpihakan negara-negara lain. Sjahrir menyoroti bahwa sikap
yang sejatinya benar adalah “menolak untuk dipaksa” dan mencari sikap internasional sendiri. Secara
lebih konkret, sikap ini haruslah sesuai dengan sistem negara sendiri dan tidak bermusuhan dengan
tujuan nasional negara.

Keberpihakan atas salah satu blok memang menggiurkan pada masa itu, secara khusus bagi negara yang
baru merdeka semacam Indonesia. Sebabnya, negara-negara demikian masih memerlukan modal
pembangunan untuk masyarakat dan infrastruktur nasionalnya. Keberpihakan terhadap negara-negara
besar menjadi jalan besar untuk perolehan modal tersebut. Oleh karenanya, prinsip ini mendapatkan
tantangan besar untuk pelaksanaannya di kancah internasional.

Pada 2 September 1948, Mohammad Hatta menegaskan kembali prinsip “bebas-aktif” dalam pidatonya
di hadapan Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (BP-KNIP). Pidato Hatta juga bertolak dari
latar belakang pertarungan dua blok besar pada masa itu, Blok Barat dan Blok Timur, yang mendorong
pelibatan negara-negara lain untuk mengambil sikap keberpihakan terhadap salah satu blok. Hatta
menawarkan sikap independen dari konflik politik internasional tersebut. Ia berpendapat bahwa
seharusnya Indonesia dapat menentukan sikap sendiri dan mencegah ikut terseret dikotomi pilihan pro-
Rusia ataupun pro-Amerika. Dalam pidato tersebut Hatta mengatakan, “Garis politik Indonesia tidak
dapat digantungkan kepada politik negara lain, yang mengejar kepentingan sendiri” (dikutip Haryanto
dalam artikel “Prinsip Bebas Aktif dalam Kebijakan Luar Negeri Indonesia: Perspektif Teori Peran”). Pidato
yang kelak dikenal dengan judul “Mendayung di antara Dua Karang” tersebut menjadi tonggak besar bagi
perkenalan “bebas-aktif” terhadap dunia internasional – memunculkan konsep Non-Blok.

Sementara sikap “bebas” merujuk pada kekebasan Indonesia dalam memilih sikap internasional dan
terbebas dari segala keberpihakan atas determinasi politik dan ideologi kedua blok, sikap “aktif’ secara
konkret merujuk pada sikap Indonesia untuk secara aktif dan konstruktif terlibat dalam kemerdekaan di
dunia. Dalam artikel berjudul Pelaksanaan Politik Luar Negeri Indonesia yang ditulis Wisnumurti disoroti
bahwa prinsip “aktif” juga berangkat dari pengalaman historis dalam perjuangan mencapai
kemerdekaan. Sikap anti penjajahan menjadi salah satu karakter utama politik luar negeri Indonesia,
yang pada kemudiannya terejewantahkan dalam alinea pertama Pembukaan UUD 1945, yang berisi:

“Bahwa sesungguhnya Kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di
atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.”

Pada kelanjutannya, prinsip ini terbukti tidak hanya merupakan sebuah karakter operasional yang
bersifat normatif, tetapi juga merupakan sebuah prinsip yang ideal bagi Indonesia (Todung Mulya Lubis
dalam buku Demokratisasi dan Otonomi: Mencegah Disintegrasi Bangsa). Oleh karenanya, prinsip
“bebas-aktif” secara konsisten diwariskan dalam tiap estafet kepemimpinan negara – hanya
penafsirannya yang kemudian mengalami penyesuaian terhadap kecenderungan arah pemerintahan
politik yang sedang berlangsung dan kepentingan nasional yang aktual. Dengan kemampuan adaptasi ini,
Abdurrahman Mohammad Fachir, Wakil Menteri Luar Negeri Indonesia, menyebutkan bahwa “bebas-
aktif” masih relevan hingga saat ini dan akan terus bertahan di tengah perubahan dunia.

KOMPAS/PAT HENDRANTO

Presiden Soeharto menerima Wakil Menteri Luar Negeri Perancis, Jean de Lipkowsky, di Bina Graha,
Jakarta, Selasa, 7 Maret 1972. Jean de Lipkowsky tiba di Jakarta hari Senin sore, 6 Maret , atas undangan
Menlu Adam Malik sampai 13 Maret. Sebagian waktunya untuk mengadakan pembicaraan dengan para
pemmpin Indonesia, dan sisanya untuk memimpin konperensi kerja para dubes Perancis di Asia Pasifik, 8
– 11 Maret di Jakarta.

Sejarah Politik Luar Negeri Indonesia

Indonesia telah menjadi sebuah negara berlegitimasi selama kurun waktu 77 tahun lamanya. Dalam
periode tersebut, Indonesia telah mengalami berbagai pergantian kepala negara sebanyak tujuh kali
dengan pembagian waktu ke dalam tiga periodisasi pemerintahan (Orde Lama, Orde Baru, dan
Reformasi). Dalam proses panjang tersebut, politik luar negeri Indonesia juga telah mengalami dinamika
yang panjang. Namun, ketiga landasan dan prinsip “bebas-aktif” tetap menjadi fondasi yang
dipertahankan oleh tiap estafet kepemimpinan – tentu juga dengan pemaknaan dan penyesuaian yang
terus diadaptasi. Berikut ini adalah refleksi singkat atas dinamika historis politik luar negeri Indonesia.

Orde Lama (1945–1966)

Hadirnya Soekarno dan Hatta sebagai dwi tunggal dalam perjuangan bangsa Indonesia memberikan
pengaruh yang besar terhadap perkembangan Indonesia dalam perpolitikan luar negeri Indonesia. Masa-
masa awal kemerdekaan juga adalah periode penting sebagai determinan untuk menentukan karakter
politik luar negeri Indonesia. Pada masa Orde Lama ini, “bebas-aktif’ sungguh-sungguh dimaknai sebagai
prinsip kebebasan dari penjajahan dan keberpihakan pada blok manapun serta aktif dalam upaya
perdamaian dunia.

Michael Leifer, seperti dikutip dalam artikel “Politik Luar Negeri Republik Indonesia Masa Lampau, Kini,
dan Masa Depan: Suatu Tinjuan dan Saran Kedepan”, menjelaskan bahwa politik luar negeri Indonesia
memperoleh bentuk awalnya dari usaha-usaha mendapatkan pengakuan kemerdekaan oleh publik
internasional. Dinamika dan perjuangan politik luar negeri Indonesia pada awal kemerdekaan justru
melahirkan nasionalisme ekonomi yang lebih kuat dibanding negara-negara Asia Tenggara lainnya –
bahkan hingga sekarang.

Pascaproklamasi kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945, Soekarno menyadari sungguh


urgensitas akan kehadiran Kementerian Luar Negeri. Oleh karenanya, dua hari setelah proklamasi
dibentuklah Kementerian Luar Negeri dengan Ahmad Subardjo, salah satu pejuang dan tokoh
proklamasi, diangkat sebagai menteri luar negeri pertama. Kementerian Luar Negeri pun menjadi salah
satu kementerian paling pertama yang didirikan. Pada April, 1946 Indonesia mengirimkan misi
diplomatik pertamanya ke Belanda untuk berunding dengan pihak Sekutu dan Belanda.

Dalam periode usia muda negara Indonesia tersebut, Kementerian Luar Negeri memiliki dua tugas
khusus (Kemlu.go.id, 2021). Yang pertama, adalah untuk “Mengusahakan simpati dan dukungan
masyarakat internasional, menggalang solidaritas”. Tujuan dari tugas ini adalah agar Indonesia segera
memperoleh dukungan dan pengakuan atas kemerdekaannya. Kedua, adalah “melakukan perundingan
dan membuat persetujuan”. Pada masa-masa awal kemerdekaan tersebut, tujuan utama politik luar
negeri Indonesia adalah menyebarkan berita kemerdekaan Indonesia ke publik internasional dan
memperoleh pengakuan de facto atas kemerdekaan itu sendiri.

Kedua tugas tersebut dijalankan oleh Kementerian Luar Negeri melalui diplomasi sebagai jalan utama.
Hasilnya, pada 1947 Indonesia berhasil melangsungkan perundingan dengan Belanda dalam Perundingan
Linggarjati. Dalam perundingan tersebut, wilayah Indonesia baru memperoleh pengakuan atas Jawa,
Sumatera, dan Madura. Selanjutnya, politik luar negeri Indonesia membuahkan Perjanjian Renville pada
1948 yang membuahkan pengakuan atas wilayah Jawa Tengah, Yogyakarta, dan Sumatera. Pada 1949,
melalui Konferensi Meja Bundar (KMB) di Deng Haag, Indonesia memperoleh pengakuan atas
kemerdekaannya, namun dengan Irian Barat yang belum dilepaskan Belanda. Akibatnya, status quo Irian
Barat untuk sementara ditangguhkan. Melalui semangat perjuangan dan diplomasi, Indonesia pada
akhirnya dapat meraih dukungan dan solidaritas luas dari masyarakat internasional di Perserikatan
Bangsa-Bangsa (PBB). Pada tahun 1950, Indonesia bergabung dengan PBB – menunjukkan Indonesia
telah diakui sebagai negara merdeka.

Pada Agustus, 1960, Soekarno dalam pidato tahunan di Istana Merdeka mengumukan pemutusan
hubungan diplomatik dengan Belanda. Pemutusan ini dilakukan setelah tindakan Belanda mengirimkan
kapal induk Karel Doorman untuk memperkuat pertahanan di Irian Barat. Tindakan ini dipandang
Soekarno sebagai suatu tindakan agresif perihal Irian Barat dan bahwa KMB belum tuntas menyelesaikan
hubungan kolonial antara kedua negara.

Thee Kian Wie dalam buku Dialog Dengan Sejarah: Soekarno Seratus Tahun, mencatat bahwa
keengganan Belanda menyerahkan Irian Barat dipandang Soekarno sebagai belum selesainya revolusi
nasional dan bahwa revolusi tersebut harus diteruskan hingga Irian Barat kembali ke pangkuan
Indonesia. Oleh karenanya, kembalinya Irian Barat pun menjadi prioritas utama politik luar negeri
Indonesia. Pada 15 Agustus 1962 melalui Perjanjian New York, Belanda sepakat menyerahkan
kekuasannya atas Irian Barat.

Pada akhir pemerintahan Orde Lama, Indonesia memutuskan untuk keluar dari PBB. Hal ini bertolak dari
diterimanya Malaysia sebagai anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB. Padahal, Soekarno telah
menyampaikan peringatan untuk menolak penolakan atas diterimanya Malaysia. Soekarno melihat
potensi ancaman yang diberikan oleh kemerdekaan Malaysia – di mana pada kemudiannya hal ini
terwujud dengan keinginan Federasi Malaysia untuk memasukkan Borneo Utara sebagai bagian dari
negara mereka.

KOMPAS/PIET WARBUNG

Presiden Soekarno dan Tamu dari Luar Negeri (26/10/1965).

Artikel Terkait

Cikal Bakal ASEAN: ASA dan Maphilindo

ASA dan Maphilindo adalah dua organisasi yang beranggotakan negara-negara di Asia Tenggara yang
didirikan sebelum...
Orde Baru (1966-1998)

Dalam pergantian pemerintahan ke Orde Baru, makna prinsip “bebas” ditarik lebih umum pada tataran
ketidakberpihakkan dengan kekuatan-kekuatan dunia dan aktif dalam kerja sama multilateral dan
bilateral. Pada masa ini, kebijakan politik luar negeri Indonesia begitu berbeda di bawah pemerintahan
Soeharto. Salah satu perbedaan yang begitu mencolok adalah kembalinya Indonesia dalam organisasi
PBB dan juga terlibat aktif dalam pendirian ASEAN.

Pada periode ini, Soeharto menempatkan Adam Malik sebagai Menteri Luar Negeri. Dalam 30 tahun
periode kekuasannya, politik luar negeri Indonesia dititikberatkan pada stabilitas ekonomi nasional.
Prinsip “bebas-aktif” pun diterjemahkan dengan sasaran peminjaman utang internasional dan promosi
ekspor secara khusus sektor nonmigas. Konsep free market economy pun menjadi tasfiran pokok bagi
kebijakan-kebijakan luar negeri Indonesia. Deregulasi dan pemudahan atas partisipasi internasional bagi
dinamika nasional menjadi semakin jamak terjadi.

Selain stabilitas ekonomi, politik luar negeri pada era Orde Baru juga berdiri pada kepentingan untuk
memperkuat politik-keamanan nasional sebagaimana. Dalam orientasi ini, pada tahun 1967 Indonesia
mulai aktif dalam perannya untuk pembentukan Association of Southeast Asian Nations (ASEAN). Hanya
saja, dalam masa tersebut Indonesia mengalami penurunan kondisi ekonomi sehingga tidak dapat
melanjutkan partisipasinya secara aktif. Selain itu, rasa percaya yang kurang antarnegara juga
menghambat pertumbuhan ASEAN.

Pada masa perkembangan kedua ASEAN pada tahun 1976, Indonesia kembali mulai terlibat aktif. Dalam
masa ini, Soeharto menilai bahwa Indonesia telah mencapai stabilitas di bidang ekonomi dan keamanan
nasional. Dengan perannya yang determinan, KTT pertama ASEAN dilaksanakan di Bali. Dalam
pertemuan ini dihasilkan Agreement on the Establishment of the ASEAN Secretariat.

Dalam masa pemerintahan Orde Baru ini, terjadi peristiwa internasional yang begitu merubah dikotomi
perpolitikan global. Perisitiwa tersebut adalah keruntuhan Tembok Berlin dan pecahnya Uni Soviet
menjadi negara-negara kecil. Akibatnya, determinasi komunis Soviet menjadi berkurang dan dikotomi
blok-blok adidaya menjadi pudar. Namun secara bersamaan, muncul beragam situasi dunia internasional
dalam berbagai dimensi. Dinamika politik internasional yang begitu cepat ini mendorong Indonesia
untuk harus menyesuaikan prinsip “bebas-aktif” operasionalnya.

Selain itu, politik luar negeri Indonesia lain yang patut dicatat pada masa ini adalah partisipasi Indonesia
dalam penyelesaian konflik antara Kamboja dan Vietnam pada Januari, 1979. Dalam konflik tersebut,
Kamboja mengalami pendudukan oleh Vietnam yang juga berdampak pada digulingkannya rezim Khmer
Merah. Indonesia hadir menerapkan prinsip “aktif” dengan menginisiasi penyelesaian konflik dengan
melakukan shuttle diplomacy antara kedua negara.

Indonesia pun mengundang pihak-pihak yang bertikai dan terkait untuk hadir pada Jakarta Informal
Meeting atau JIM. JIM berhasil dilaksanakan pertama kali pada Juli 1988 dan Februari 1989. Dalam
kesempatan tersebut, Ali Alatas sebagai Menteri Luar Negeri Indonesia pada saat itu sekaligus Co-
Chairman JIM memimpin penyelesaian Kamboja dan Vietnam hingga tahap gencatan senjata kedua
belah pihak dan penarikan pasukan Vietnam. Pada akhirnya, konflik ini tuntas dengan pengukuhan oleh
resolusi Dewan Keamanan PBB dan pembentukan United Nation Transitional Authority in Cambodia
(UNTAC) untuk mengisi kekosongan pemerintahan Kamboja pada masa itu.

KOMPAS/JB SURATNO

Presiden Soeharto dan Presiden Ukraina Leonid D Kuchma menyaksikan Menlu Ali Alatas dan Menlu
Ukraina menandatangani naskah kerjasama, di Istana Merdeka, Jakarta, Kamis, 11 April 1996. Presiden
Ukraina berada di Indonesia sejak hari Rabu (10/4) dan akan meninggalkan Indonesia hari Sabtu (13/4).

Anda mungkin juga menyukai