Anda di halaman 1dari 9

TUGAS PANCASILA DALAM KAJIAN SBI

A. Era Prakemerdekaan
Peristiwa Penting

1. Jepang Menyerah Kepada Sekutu dan Dibentuknya BPUPKI dan PPKI


Kekalahan Jepang kepada Sekutu di Perang Dunia Kedua ditandai setelah dijatuhkannya bom
atom di Hiroshima pada 6 Agustus 1945 dan di Nagasaki pada 9 Agustus 1945. Berita
kekalahan Jepang pun disambut baik oleh para rakyat Indonesia untuk segera
memproklamasikan diri dan segera bebas. Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan
Indonesia (BPUPKI) atau Dokuritsu Junbi Cosakai didirikan sebagai persiapan kemerdekaan
Indonesia dengan dipimpin oleh Radjiman Wedyodiningrat. Setelah itu BPUPKI berganti
nama menjadi PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia) atau Dokuritsu Junbi Inkai
dan dipimpin oleh Soekarno dan Hatta. Pada 12 Agustus 1945 perwakilan Jepang, Marsekal
Terauchi, bertemu dengan pimpinan PPKI dan Radjiman Wedyodiningrat di Dalat, Vietnam.
Marsekal Terauchi memberitahukan bahwa Jepang akan memberikan Indonesia
kemerdekaan. Namun, Sutan Syahrir medesak Soekarno dan Hatta agar Indonesia
segera memproklamasikan kemerdekaan karena berpikir hadiah kemerdekaan tersebut
hanyalah tipu muslihat Jepang saja.

2. Peristiwa Rengasdengklok
Golongan pemuda dan golongan tua dari para pejuang dulu sempat memiliki argumen panas
menanggapi kapan seharusnya Proklamasi dilakukan. Golongan muda seperti Sutan Syahrir,
Wikana, Chaerul Saleh, Sukarni selalu mendesak agar Proklamasi segera dilakukan. Mereka
ingin mendapatkan kemerdekaan dengan perjuangan sendiri dan bukannya karena hadiah dari
Jepang. Pada 16 Agustus 1945 dini hari para pemuda membawa Soekarno dan Hatta ke
Rengasdengklok. Para pemuda ingin kembali meyakinkan Soekarno dan Hatta agar segera
memproklamasikan kemerdekaan dan tidak terpengaruh dengan Jepang. Mereka meyakinkan
bahwa Jepang telah menyerah kepada Sekutu dan itu adalah saat yang tepat untuk segera
merdeka. Ahmad Subardjo pun datang ke Rengasdengklok untuk menjemput Soekarno dan
Hatta serta memberi keyakinan kepada para pemuda bahwa Proklamasi akan dilakukan tapi
tak boleh tergesa-gesa. Ia juga menyebutkan bahwa Proklamasi akan dilakukan pada 17
Agustus 1945 selambat-lambatnya pukul 12.00 siang.
3. Pembacaan Teks Proklamasi
Pembacaan teks Proklamasi dilakukan pada hari Jumat, 17 Agustus 1945 di kediaman
Soekarno di Jl. Pegangsaan Timur No.56 Jakarta (Jl. Proklamasi) pada pukul 10.00 pagi. Para
tokoh perjuangan serta rakyat Indonesia berkumpul untuk menyaksikan teks Proklamasi
dibacakan dan melihat pengibaran bendera Merah Putih. Setelah Soekarno yang didampingi
Hatta membacakan teks Proklamasi, bendera Sang Saka Merah Putih yang dijahit oleh ibu
Fatmawati juga dikibarkan oleh Suhud dan Latief Hendradiningrat. Saat pengibaran bendera
para hadirin yang datang pun menyanyikan Indonesia Raya. Indonesia pun dinyatakan telah
merdeka dari penjajahan dengan perjuangan tak kenal menyerah dari para pahlawan.
Meskipun banyak menghadapi kendala dan argumen akhirnya para tokoh bisa
mempersatukan diri karena memiliki cita-cita yang sama yaitu ingin merdeka.

Dampak dan Pengaruh


Dampak dan pengaruh di era prakemerdekaan adalah
Simpulan
B. Era Kemerdekaan
Peristiwa Penting
1. Peristiwa di Surabaya
Dalam perjuangan di Surabaya, terdapat dua peristiwa penting, pertama saat insiden Bendera
di Hotel Yamato. Pada tanggal 19 September 1945, Belanda mengibarkan bendera negaranya
yang berwarna merah putih biru di Hotel Yamato, sehingga menimbulkan kemarahan para
pemuda Indonesia. Akhirnya para pemuda tersebut merobek bagian biru dari bendera itu
hingga tersisa warna merah dan putih. Kemudian peristiwa penting kedua di Surabaya yakni
saat Gubernur Jawa Timur menolak ultimatum yang diberikan AFNEI. Pada tanggal 10
November 1945 pecahlah perang antara masyarakat Surabaya dengan pasukan AFNEI.
Untuk mengenang dan menghormati kejadian tersebut, dibuatlah Tugu Pahlawan di Surabaya
dan tanggal 10 November ditetapkan sebagai Hari Pahlawan.
2. Pertempuran Ambarawa
Pada 20 Oktober 1945 tentara sekutu yang dibonceng NICA mendarat di Semarang. Di
bawah pimpinan Brigadir Jenderal Bethel, tentara sekutu berniat untuk membebaskan
tawanan perang Belanda di Magelang. Hal itu menimbulkan bentrokan senjata. Para pejuang
Indonesia di bawah kepemimpinan Letkol M. Sarbini mengejar pasukan sekutu yang mundur
ke Ambarawa. Dalam pertempuran tersebut, Letkol Isdiman gugur. Lalu, pasukan Indonesia
pun melancarkan serangan ke Ambarawa pada 12 Desember 1945. Setelah itu, pasukan
sekutu mundur hingga ke Semarang pada 15 Desember 1945. Hal itu membuat tanggal 15
Desember menjadi peringatan Hari Infantri dan dibangunnya Monumen Palagan Ambarawa.
3. Bandung Lautan Api
Tentara sekutu mengeluarkan ultimatum pada 21 November 1945 agar kota Bandung bagian
Utara dikosongkan paling lambat 29 November 1945. Namun, ultimatum tersebut tidak
dihiraukan sehingga terjadi bentrokan senjata. Hasilnya, Bandung Utara dikusai sekutu,
semetara Bandung Selatan dikuasai pejuang Tentara Keamanan Rakyat (TKR). Ultimatum
kedua pun diberikan sekutu agar masyarakat dan TKR segera mengosongkan Bandung
Selatan pada 23 Maret 1946. Setelah mempertimbangkan keselamatan masyarakat dan
politik, Pemerintah Indonesia memerintahkan TKR segara mundur dan mengosongkan
Bandung Selatan. TKR pun mengikut perintah tersebut, namun mereka tidak mau
memberikan Bandung Selatan secara cuma-cuma, sehingga para pasukan
membumihanguskan wilayah tersebut. Setelah itu, para pejuang tetap melakukan perlawanan
dengan melakukan perang gerilya dan gugurlah Mohammad Toha pada peristiwa tersebut.
Saat ini peristiwa tersebut dikenal dengan sebutan Bandung Lautan Api.
Dampak Dan Pengaruh
Dampak dan pengaruh di era kemerdekaan adalah
Simpulan
C. Era Orde Lama
Peristiwa Penting
1. Tahun 1945 – 1950Terjadi penyimpangan dari ketentuan UUD ’45 antara lain :
a) Berubah fungsi komite nasional Indonesia pusat dari pembantu presiden jadi badan yang
diserahi kekuasaan legislatif & ikut menetapkan GBHN yang merupakan wewenang MPR.
b) Terjadi perubahan sistem kabinet presidensial jadi kabinet parlementer.Tahun 1945-1950,
terjadi perubahan sistem pemerintahan dari presidentil jadi parlemen. Dimana dalam sistem
pemerintahan presidentil, presien memiki 2 fungsi, yaitu sebagai badan eksekutif &
merangkap sekaligus sebagai badan legislatif.

2. Demokrasi Terpimpin Soekarno


Soekarno sadar bahwa periode demokrasi liberal telah menghambat perkembangan Indonesia
karena perbedaan-perbedaan ideologis di dalam kabinet. Solusi yang disampaikan Soekarno
adalah "Demokrasi Terpimpin" yang berarti pengembalian kepada UUD 1945 yang mengatur
sistem kepresidenan yang kuat dengan tendensi otoriter. Dengan cara ini, ia memiliki lebih
banyak kekuasaan untuk melaksanakan rencana-rencananya. Karakteristik penting lain dari
Demokrasi Terpimpin Soekarno adalah tendensi anti Barat dalam kebijakan-kebijakannya.
Beliau memperkuat usaha-usaha untuk mengambil alih bagian Barat pulau Papua dari
Belanda. Setelah sejumlah konflik bersenjata, Belanda menyerahkan wilayah ini ke Persatuan
Bangsa-Bangsa (PBB) yang kemudian menyerahkannya kepada Indonesia pada tahun
selanjutnya. Dari 1962 sampai 1966, Soekarno menggelar politik konfrontasi melawan
Malaysia. Ia menganggap pendirian Federasi Malaysia, termasuk Malaka, Singapura, dan
wilayah Kalimantan yang sebelumnya dikuasai Inggris (Sarawak dan Sabah), sebagai
kelanjutan dari pemerintah kolonial dan melaksanakan kampanye militer yang tidak sukses
untuk ‘menghancurkan’ Malaysia. Bagian dari kebijakan konfrontasi ini adalah keluarnya
Indonesia dari PBB karena PBB mengizinkan Malaysia menjadi negara anggota. Pada tahun
1965, Soekarno terus memutuskan hubungan dengan dunia kapitalis Barat dengan
mengeluarkan Indonesia dari keanggotaan International Monetary Fund (IMF) dan Bank
Dunia, yang berarti bantuan asing yang sangat dibutuhkan berhenti dialirkan ke Indonesia.
Hal ini memperburuk situasi ekonomi Indonesia yang telah mencapai level ekstrim
berbahaya pada saat itu.
3. Kudeta Misterius Gerakan 30 September
Masalah antara ketiga komponen Nasakom membesar. Pada 30 September 1965, menjadi
jelas betapa berbahayanya campuran politis yang telah diciptakan Soekarno. Pada malam itu,
enam jenderal dan satu letnan diculik dan dibunuh oleh perwira-perwira aliran kiri yang
menamakan diri Gerakan 30 September. Berdasarkan tuduhan yang ada, para perwira militer
yang terbunuh ini merencanakan kudeta untuk menjatuhkan Soekarno. Namun, tidak ada
bukti bahwa akan ada kudeta militer melawan Soekarno. Juga tidak ada bukti bahwa PKI
berada di belakang serangan untuk mencegah kudeta militer ini. Namun, Suharto, kepala dari
Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Kostrad) yang kemudian mengambil alih
kekuasaan militer karena menjadi perwira militer tertinggi setelah pembunuhan atasannya,
dengan cepat menyalahkan PKI. Dengan segera, pengikut komunis dan orang-orang yang
diduga mengikuti komunis dibantai terutama di Jawa Tengah, Jawa Barat, Bali dan Sumatra
Utara. Dugaan jumlah korban bervariasi di antara 400.000 sampai satu juta orang. Diduga
bahwa pihak-pihak yang melakukan pembantaian adalah unit-unit militer, kelompok-
kelompok kriminil sipil (yang mendapatkan senjata dari militer) dan Ansor (organisasi
pemuda militan dari NU). Pembantaian ini berlanjut sepanjang 1965 dan 1966.
Dampak dan Pengaruh
Dampak dan pengaruh di era ini adalah
Simpulan
D. Era Orde Baru
Peristiwa Penting
1. Kelahiran Surat Perintah Sebelas Maret 1966 (Supersemar)
Orde Baru lahir dari diterbitkannya Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) pada tahun
1966, yang kemudian menjadi dasar legalitasnya. Orde Baru bertujuan meletakkan kembali
tatanan seluruh kehidupan rakyat, bangsa, dan negara pada kemurnian pelaksanaan Pancasila
dan Undang-Undang Dasar 1945. Kelahiran Supersemar terjadi dalam serangkaian peristiwa
pada tanggal 11 Maret 1966. Saat itu, Sidang Kabinet Dwikora yang disempurnakan yang
dipimpin oleh Presiden Soekarno sedang berlangsung. Di tengah-tengah acara, ajudan
presiden melaporkan bahwa di sekitar istana terdapat pasukan yang tidak dikenal. Untuk
menghindari hal-hal yang tidak diinginkan, Presiden Soekarno menyerahkan pimpinan
sidang kepada Wakil Perdana Menteri (Waperdam) II Dr. Johannes Leimena dan berangkat
menuju Istana Bogor, didampingi oleh Waperdam I Dr Subandrio, dan Waperdam III
Chaerul Saleh. Leimena sendiri menyusul presiden segera setelah sidang berakhir. Di tempat
lain, tiga orang perwira tinggi, yaitu Mayor Jenderal Basuki Rachmat, Brigadir Jenderal M.
Yusuf, dan Brigadir Jenderal Amir Machmud bertemu dengan Letnan Jenderal Soeharto
selaku Menteri Panglima Angkatan Darat dan Panglima Komando Operasi Pemulihan
Keamanan dan Ketertiban (Pangkopkamtib) untuk meminta izin menghadap presiden. Segera
setelah mendapat izin, pada hari yang sama tiga perwira tinggi ini datang ke Istana Bogor
dengan tujuan melaporkan kondisi di ibu kota Jakarta meyakinkan Presiden Soekarno bahwa
ABRI, khususnya AD, dalam kondisi siap siaga. Namun, mereka juga memohon agar
Presiden Soekarno mengambil tindakan untuk mengatasi keadaan ini. Menanggapi
permohonan ini, Presiden Soekarno mengeluarkan surat perintah yang ditujukan kepada
Letnan Jenderal Soeharto selaku Menteri Panglima Angkatan Darat untuk mengambil
tindakan dalam rangka menjamin keamanan, ketenangan, dan stabilitas pemerintahan demi
keutuhan bangsa dan negara Republik Indonesia. Perumusan surat perintah ini sendiri
dibantu oleh tiga perwira tinggi ABRI, yaitu Mayor Jenderal Basuki Rachmat, Brigadir
Jenderal M. Yusuf, Brigadir Jenderal Amir Machmud, dan Brigadir Jenderal Sabur,
Komandan Pasukan Pengawal Presiden Cakrabirawa. Surat perintah inilah yang kemudian
dikenal sebagai Surat Perintah 11 Maret 1966 atau Supersemar.
2. Pemberangusan Partai Komunis Indonesia
Sebagai tindak lanjut keluarnya Surat Perintah Sebelas Maret, Letnan Jenderal Soeharto
mengambil beberapa tindakan. Pada tanggal 12 Maret 1966, ia mengeluarkan surat keputusan
yang berisi pembubaran dan larangan bagi Partai Komunis Indonesia serta ormas-ormas yang
bernaung dan berlindung atau senada dengannya untuk beraktivitas dan hidup di wilayah
Indonesia. Keputusan ini kemudian diperkuat dengan Keputusan Presiden/Pangti ABRI
ABRI/Mandataris MPRS No.1/3/1966 tanggal 12 Maret 1966. Keputusan pembubaran Partai
Komunis Indonesia beserta ormas-ormasnya mendapat sambutan dan dukungan karena
merupakan salah satu realisasi dari Tritura. Pada tanggal 18 Maret 1966, Soeharto
mengamankan 15 orang menteri yang dinilai tersangkut dalam Gerakan 30 September dan
diragukan etika baiknya yang dituangkan dalam Keputusan Presiden No. 5 Tanggal 18 Maret
1966. Ia kemudian memperbaharui Kabinet Dwikora yang disempurnakan dan
membersihkan lembaga legislatif, termasuk MPRS dan DPRGR, dari orang-orang yang
dianggap terlibat Gerakan 30 September. Keanggotaan Partai Komunis Indonesia dalam
MPRS dinyatakan gugur. Peran dan kedudukan MPRS juga dikembalikan sesuai dengan
UUD 1945, yakni di atas presiden, bukan sebaliknya. Di DPRGR sendiri, secara total ada 62
orang anggota yang diberhentikan. Soeharto juga memisahkan jabatan pimpian DPRGR
dengan jabatan eksekutif sehingga pimpinan DPRGR tidak lagi diberi kedudukan sebagai
menteri. Selain dibubarkan dan dibersihkan, kader-kader Partai Komunis Indonesia juga
dibantai khususnya di wilayah pedesaan-pedesaan di pulau Jawa. Pembantaian ini tidak
hanya dilakukan oleh angkatan bersenjata, namun juga oleh rakyat biasa yang dipersenjatai.
Selain kader, ribuan pegawai negeri, ilmuwan, dan seniman yang dianggap terlibat juga
ditangkap dan dikelompokkan berdasarkan tingkat keterlibatannya dengan Partai Komunis
Indonesia. Sebagian diasingkan ke Pulau Buru, sebuah pulau kecil di wilayah Maluku. Pada
tanggal 30 September setiap tahunnya, pemerintah menayangkan film yang menggambarkan
Partai Komunis Indonesia sebagai organisasi yang keji.
3. Pembentukan Kabinet Ampera
Dalam rangka memenuhi tuntutan ketiga Tritura, Soeharto dengan dukungan Ketetapan
MPRS No. XIII/MPRS/1966 membentuk kabinet baru yang diberi nama Kabinet
Ampera. Tugas utama Kabinet Ampera adalah menciptakan stabilitas ekonomi dan stabilitas
politik, atau dikenal dengan nama Dwidarma Kabinet Ampera. Program kerja yang
dicanangkan Kabinet Ampera disebut Caturkarya Kabinet Ampera, yaitu:
a) memperbaiki perikehidupan rakyat terutama di bidang sandang dan pangan;
b) melaksanakan pemilihan umum dalam batas waktu seperti tercantum dalam
Ketetapan MPRS No. XI/MPRS/1966 (5 Juli 1968);
c) melaksanakan politik luar negeri yang bebas dan aktif untuk kepentingan
nasional sesuai dengan Ketetapan MPRS No. XI/MPRS/1966;
d) melanjutkan perjuangan antiimperialisme dan antikolonialisme dalam segala
bentuk dan manifestasinya.
Dampak Dan Pengaruh
Dampak dan pengaruh di era ini adalah
Simpulan
E. Era Reformasi
Peristiwa Penting
1. Kepresidenan Habibie (1998–1999)
Setelah pengunduran diri Soeharto, Wakil Presiden B.J. Habibie dilantik sebagai presiden
dan melakukan berbagai reformasi politik. Pada Februari 1999, pemerintahan Habibie
mengesahkan Undang-Undang Partai Politik[2] yang mencabut pembatasan jumlah partai
politik (parpol). Sebelumnya, pada masa Soeharto, hanya tiga parpol yang diperbolehkan.
Parpol juga tidak diwajibkan berideologi Pancasila. Hal ini mengakibatkan partai politik
bermunculan dan 48 di antaranya akan bersaing dalam pemilihan legislatif 1999. Pada Mei
1999, pemerintahan Habibie mengesahkan Undang-Undang Otonomi Daerah[3] yang
merupakan langkah pertama dalam desentralisasi pemerintahan Indonesia dan
memungkinkan provinsi-provinsi untuk lebih berperan dalam mengatur daerahnya. Pers lebih
dibebaskan pada pemerintahan Habibie, meskipun Kementerian Penerangan tetap
dipertahankan. Tahanan politik seperti Sri Bintang Pamungkas, Muchtar Pakpahan, dan
Xanana Gusmão juga dibebaskan atas perintah Habibie. Pada era Habibie juga dilangsungkan
pemilihan umum legislatif 1999, yang merupakan pemilihan bebas pertama sejak pemilu
legislatif 1955. Pemilu ini diawasi oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang independen,
bukan komisi pemilihan yang diisi menteri-menteri pemerintah seperti yang terjadi pada
masa Orde Baru. Habibie juga menyerukan referendum untuk menentukan masa depan
Timor Timur. Tindakan ini mengejutkan banyak orang dan membuat marah beberapa orang.
Pada tanggal 30 Agustus, penduduk Timor Timur memilih untuk merdeka. Lepasnya
provinsi ini merugikan popularitas dan aliansi politik Habibie.
2. Pemerintahan KH Abdurrahman Wahid ( Gus Dur)
Gus Dur mulai menjabat tahun 1999 sampai 2001. Terpilihanya Gus Dur karena MPR
menolak laporan pertanggungjawaban Presiden Habibie. Sedangkan wakilnya dimenangkan
oleh Megawati Soekarnoputri. Kemudian dilantik pada 21 Oktober 1999. Setelah menjabat,
pemerintah Gus Dur memiliki beberapa kebijakan politik, yaitu: Departemen Penerangan
dibubarkan, dianggap mengganggu kebebasan pers. Departemen Sosial dibubarkan, dianggap
sebagai sarang korupsi Mentetujui penggantian nama Irian Jaya pada Desember 1999
menjadi Papua Masyarakat etnis Tionghoa diperbolehkan beribadah dan merayakan Imlek
Pencabutan peraturan mengenai larangan terhadap PKI dan penyebaran Marxisme dan
Lenisme Membekukan MPR dan DPR Pada masa pemerintahan Gus Dur, kondisi
perekonomian Indonesia mulai membaik dibandingkan era sebelumnya. Namun, ternyata
tidak semua kebijakan Gus Dur disenangi. Banyak pihak yang menganggap kebijakan Gus
Dur terlalu sering menuai kontroversi. Sehingga mengakibatkan kredibilitas Gus Dur
perlahan-lahan menurun. Kepemimpinan Gus Dur tidak berlangsung lama, dirinya mundur
dari jabatannya pada 23 Juli 2001. Setelah Gus Dur lengser, kemudian jabatan presiden
digantikan oleh wakilnya, Megawati Soekarnoputri.
3. Kepresidenan Susilo Bambang Yudhoyono (2004–2014)
Pemilu Presiden Indonesia 2004 merupakan pemilu pertama yang memilih pasangan presiden
dan wakil presiden secara langsung. Pasangan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Jusuf
Kalla memenangi pemilu setelah melewati dua putaran pemilihan. Pada 21 Oktober 2004,
SBY mengumumkan susunan Kabinet Indonesia Bersatu. Pada tahun 2005, pertumbuhan
ekonomi mencapai 5,6% yang kemudian menurun menjadi 5,5% pada tahun 2006. Inflasi
mencapai 17,11% pada tahun 2005, tetapi menurun menjadi 6,6% pada tahun 2006. SBY
juga mengalokasikan lebih banyak dana untuk mengurangi kemiskinan. Pada tahun 2004, 18
triliun rupiah dalam APBN dialokasikan untuk mengentaskan kemiskinan, yang meningkat
menjadi 23 triliun pada tahun 2005 dan 51 triliun pada tahun 2006. Pada bulan Maret dan
Oktober 2005, SBY membuat keputusan untuk memotong subsidi bahan bakar yang
menyebabkan kenaikan harga bahan bakar. Masyarakat miskin diberi kompensasi dengan
Bantuan Langsung Tunai (BLT), tetapi pemotongan subsidi kemudian menurunkan
popularitas SBY. Pada Mei 2008, kenaikan harga minyak turut mendorong keputusan SBY
untuk sekali lagi memotong subsidi BBM, yang menjadi penyebab protes masyarakat pada
Mei dan Juni 2008. Pada pemilu presiden 2009, SBY terpilih untuk masa jabatan kedua
bersama Boediono, mantan Gubernur Bank Indonesia. Mereka mengalahkan dua kandidat:
Megawati Soekarnoputri–Prabowo Subianto dan wakil presiden saat itu, Jusuf Kalla–
Wiranto. Pasangan SBY–Boediono memenangkan pemilu dengan lebih dari 60% suara
nasional pada putaran pertama. Mereka lalu mengumumkan susunan Kabinet Indonesia
Bersatu II pada 21 Oktober 2009.
Dampak dan Pengaruh
Dampak dan pengaruh di era ini adalah
Simpulan

Anda mungkin juga menyukai