NIM : 2011144011175
PRODI : D3 KEPERAWATAN
KELAS : 1B
JAWABAN :
1. Demokrasi di Indonesia adalah suatu proses sejarah dan politik perkembangan demokrasi
di dunia secara umum, hingga khususnya di Indonesia, mulai dari pengertian dan
konsepsi demokrasi menurut para tokoh dan founding fathers Kemerdekaan Indonesia,
terutama Soekarno, Mohammad Hatta, dan Soetan Sjahrir.
Berikut ulasan pemikiran mereka.
Semua Buat Semua
Pidato Sukarno di depan Badan Penyelidik Usaha-usaha Perseiapan Kemerdekaan
Indonesia pada 1 Juni 1945 adalah salah satu pidato politik yang dicatat dalam
sejarah sebagai puncak pemikiran Sukarno yang menjelaskan dasar filosofi
pendirian negara republik Indonesia. Tanggal 1 Juni sendiri kemudian diperingati
sebagai hari lahirnya Pancasila yang penjabarannya ada di dalam pidato tersebut.
Sukarno memulai dengan pendahuluan yang menjelaskan pentingnya falsafah
dasar pendirian negara Republik Indonesia. Dalam suasana antikolonialisme yang
kental, Sukarno menegaskan pentingnya menyatakan kemerdekaan bangsa
Indonesia. Kemerdekaan dalam arti kebebasan berpolitik menentukan nasib
sendiri serta kebebasan dari penindasan ekonomi penjajahan yang
menyengsarakan. Di paragraf akhir pendahuluan pidatonya Sukarno menjelaskan
dengan ungkapan "semua buat semua".
Berdirinya negara republik Indonesia, dalam pemikiran Sukarno harus terwujud
menjadi kekuasaan yang berdiri di atas semua golongan. Tidak ada yang
diistimewakan di dalamnya. Negara Republik Indonesia adalah negara yang
berdiri di atas kesepakatan beragam suku bangsa yang bersatu menjadi sebuah
negara bangsa.
Saat Sukarno menjelaskan tentang prinsip-prinsip dasar pendirian negara republik
Indonesia sekurang-kurangnya dia menyebutkan beberapa kata yang berasal dari
kata "demokrasi" setidaknya 19 (sembilan belas ) kali. Kata "parlementaire
democratie" adalah kata pertama yang dia lontarkan. Sukarno menyebutkan kata
itu hingga tiga kali untuk menegaskan bahwa demokrasi di Indonesia berbeda
dengan demokrasi parlementer. Sukarno juga menyebutkan kata "demokrasi"
hingga tiga kali. Dua yang pertama tentang demokrasi yang diinginkan oleh
bangsa Indonesia dan satu kata demokrasi yang menjadi prinsip ketiga yang
disebut juga sebagai mufakat.
Ketangguhan Demokrasi
Bung Hatta, salah satu dari Dwi Tunggal proklamator kemerdekaan adalah orang
yang berpendirian teguh terhadap prinsip demokrasi. Dalam sebuah risalah,
seperti halnya Syahrir, dia menerbitkan pandangan dia terhadap kondisi republik
saat itu yang sedang mengalami krisis kepercayaan terhadap demokrasi.
Diterbitkan di majalah Panji Masyarakat No. 22 tanggal 1 Mei 1960, Hatta
menulis risalah dengan judul Demokrasi Kita.
Sejarah mencatat setelah menerbitkan tulisan Hatta tersebut majalah yang diasuh
Buya Hamka itu dilarang terbit. Bahkan muncul larangan untuk membaca,
menyiarkan, bahkan menyimpannya. Apa yang disampaikan Hatta adalah kritik
langsung terhadap kompatriotnya Sukarno. Suasana politik tahun 60-an yang
terkenal dengan ungkapan "Asal Bapak Senang" membuat kritik Hatta dianggap
sebagai ancaman oleh pihak-pihak meloloskan penobatan Sukarno sebagai
presiden seumur hidup.
Lebih dari 100 (seratus) kata yang berasal dari kata "demokrasi" tertulis di dalam
risalah itu. Terlalu berlebihan untuk mendetailkan rincian jumlahnya. Yang jelas,
Hatta mengingatkan pada pembaca tulisannya tentang anomali demokrasi. Di
tangan orang yang terlalu ultrademokratis, demokrasi bisa menjadi kuda liar yang
kehilangan kekangnya. Dalam ungkapan Hatta, Sukarno adalah sosok yang
berbanding terbalik dengan tokoh Mephistopheles, tokoh rekaan Goethe dalam
drama "Faust". Jika Mephistopheles adalah sosok yang berkeinginan jahat tetapi
malah menghasilkan hal-hal yang baik, Sukarno sebaliknya. "Tujuannya selalu
baik tetapi langkah-langkah yang diambilnya sering membawanya menjauh dari
tujuan-tujuan itu," tulis Hatta.
Tulisan berisi kritik terhadap Demokrasi Terpimpin yang muncul di ujung
kekuasaan Sukarno barangkali adalah renungan terbaik tentang demokrasi yang
pernah muncul di republik ini. Kekecewaan Hatta dengan praktik politik Sukarno
yang berujung pada situasi apokaliptik atau kiamat politik tetap tidak membuat
harapan Hatta terhadap demokrasi menciut. "Demokrasi bisa tertindas sementara,
karena kesalahannya sendiri. Tetapi setelah ia mengalami cobaan yang pahit, ia
akan muncul kembali dengan keinsafan," tutur Hatta. (Y-1)