KELAS : IX.4
KELOMPOK :4
ANGGOTA : - ARYA ARI DIANSYAH
- AZELINA PRIMASARI
- MAULIDAH NUR FAUZIAH
- MOCHAMAD FARDHAN F
- PEDROSA ABELTO
- TRIA BELA SEPTIANI
A. Latar Belakang
Sejak bangsa Indonesia mencapai kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945 selalu menjadi
pertanyaan bagaimana sistem pemerintahan yang tepat dan paling bermanfaat baginya.
Indonesia menjadi salah satu negara demokrasi terbesar di dunia. Demokrasi menjadi pilihan
bangsa Indonesia sejak awal berdirinya. Perkembangan sistem demokrasi berlangsung sejak
tahun 1945 hingga masa sekarang. Berbagai model demokrasi pernah diterapkan di Indonesia
dengan segala kekurangan dan kelebihannya. Perkembangan demokrasi di Indonesia
mengalami pasang surut dari masa kemerdekaan sampai saat ini. Hal ini dibuktikan dengan
telah dilaksanakannya beberapa bentuk demokrasi di negara Indonesia.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas maka rumusan masalah dalam makalah ini adalah:
A. Pengertian Demokrasi
Demokrasi adalah bentuk pemerintahan di mana semua warga negaranya memiliki hak setara
dalam pengambilan keputusan yang dapat mengubah hidup mereka. Demokrasi mengizinkan
warga negara berpartisipasi baik secara langsung atau melalui perwakilan dalam perumusan,
pengembangan, dan pembuatan hukum. Demokrasi mencakup kondisi sosial, ekonomi,
dan budaya yang memungkinkan adanya praktik kebebasan politik secara bebas dan setara.
Kata ini berasal dari bahasa Yunani dēmokratía “kekuasaan rakyat”, yang terbentuk
dari dêmos “rakyat” dan kratos “kekuatan” atau “kekuasaan”. Pada abad ke-5 SM untuk
menyebut sistem politik negara-kota Yunani, salah satunya Athena, kata ini merupakan
antonim dari aristocratie “kekuasaan elite”. Secara teoretis, kedua definisi tersebut saling
bertentangan, namun kenyataannya sudah tidak jelas lagi. Sistem politik Athena Klasik,
misalnya, memberikan kewarganegaraan demokratis kepada pria elite yang bebas dan tidak
menyertakan budak dan wanita dalam partisipasi politik. Di semua pemerintahan demokrasi
sepanjang sejarah kuno dan modern, kewarganegaraan demokratis tetap ditempati kaum elite
sampai semua penduduk dewasa di sebagian besar negara demokrasi modern benar-benar
bebas setelah perjuangan gerakan hak suara pada abad ke-19 dan 20. Kata demokrasi
(democracy) sendiri sudah ada sejak abad ke-16 dan berasal dari bahasa Perancis Pertengahan
dan Latin Pertengahan lama.
Ada beberapa jenis demokrasi, tetapi hanya ada dua bentuk dasar. Keduanya menjelaskan
cara seluruh rakyat menjalankan keinginannya. Bentuk demokrasi yang pertama adalah
demokrasi langsung, yaitu semua warga negara berpartisipasi langsung dan aktif dalam
pengambilan keputusan pemerintahan. Di kebanyakan negara demokrasi modern, seluruh
rakyat masih merupakan satu kekuasaan berdaulat namun kekuasaan politiknya dijalankan
secara tidak langsung melalui perwakilan, ini disebut demokrasi perwakilan. Konsep
demokrasi perwakilan muncul dari ide-ide dan institusi yang berkembang pada Abad
Pertengahan Eropa, Era Pencerahan, dan Revolusi Amerika Serikat dan Perancis.
Orde Baru adalah sebutan bagi masa pemerintahan Presiden Soeharto di Indonesia. Orde
Baru menggantikan Orde Lama yang merujuk kepada era pemerintahan Soekarno. Lahirnya
Orde Baru diawali dengan dikeluarkannya Surat Perintah 11 Maret 1966. Orde Baru
berlangsung dari tahun 1966 hingga 1998. Dalam jangka waktu tersebut, ekonomi Indonesia
berkembang pesat meskipun hal ini terjadi bersamaan dengan praktik korupsi yang
merajalela. Orde Baru lahir dari diterbitkannya Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar)
pada tahun 1966, yang kemudian menjadi dasar legalitasnya. Orde Baru bertujuan
meletakkan kembali tatanan seluruh kehidupan rakyat, bangsa, dan negara pada kemurnian
pelaksanaan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
Kelahiran Supersemar terjadi dalam serangkaian peristiwa pada tanggal 11 Maret 1966. Saat
itu, Sidang Kabinet Dwikora yang disempurnakan yang dipimpin oleh Presiden Soekarno
sedang berlangsung. Di tengah acara, ajudan presiden melaporkan bahwa di sekitar istana
terdapat pasukan yang tidak dikenal. Untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan,
Presiden Soekarno menyerahkan pimpinan sidang kepada Wakil Perdana Menteri
(Waperdam) II Dr. Johannes Leimena dan berangkat menuju Istana Bogor, didampingi oleh
Waperdam I Dr. Subandrio, dan Waperdam II Chaerul Saleh. Leimena sendiri
menyusul presiden segera setelah sidang berakhir.
Di tempat lain, tiga orang perwira tinggi, yaitu Mayor Jenderal Basuki Rachmat, Brigadir
Jenderal M. Yusuf, dan Brigadir Jenderal Amir Machmud bertemu dengan Letnan Jenderal
Soeharto selaku Menteri Panglima Angkatan Darat dan Panglima Komando Operasi
Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Pangkopkamtib) untuk meminta izin menghadap
presiden. Segera setelah mendapat izin, di hari yang sama tiga perwira tinggi ini datang ke
Istana Bogor dengan tujuan melaporkan kondisi di ibukota Jakarta meyakinkan Presiden
Soekarno bahwa ABRI, khususnya AD, dalam kondisi siap siaga. Namun, mereka juga
memohon agar Presiden Soekarno mengambil tindakan untuk mengatasi keadaan ini.
Menanggapi permohonan ini, Presiden Soekarno mengeluarkan surat perintah yang ditujukan
kepada Letnan Jenderal Soeharto selaku Menteri Panglima Angkatan Darat untuk mengambil
tindakan dalam rangka menjamin keamanan, ketenangan, dan stabilitas pemerintahan demi
keutuhan bangsa dan negara Republik Indonesia. Perumusan surat perintah ini sendiri dibantu
oleh tiga perwira tinggi ABRI, yaitu Mayor Jenderal Basuki Rachmat, Brigadir Jenderal M.
Yusuf, Brigadir Jenderal Amir Machmud, dan Brigadir Jenderal Subur, Komandan Pasukan
Pengawal Presiden Cakrabirawa. Surat perintah inilah yang kemudian dikenal sebagai Surat
Perintah 11 Maret 1966 atau Supersemar
Membubarkan Partai Komunis Indonesia pada tanggal 12 Maret 1966 yang diperkuat
dengan Ketetapan MPRS No. IX/MPRS/1966.
Pada tahun 1973 setelah dilaksanakan pemilihan umum yang pertama pada masa Orde Baru
pemerintahan pemerintah melakukan penyederhanaan dan penggabungan (fusi) partai-partai
politik menjadi tiga kekuatan sosial politik. Penggabungan partai-partai politik tersebut tidak
didasarkan pada kesamaan ideologi, tetapi lebih atas persamaan program. Tiga kekuatan
sosial politik itu adalah:
Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang merupakan gabungan dari NU, Parmusi,
PSII, dan PERTI.
Partai Demokrasi Indonesia (PDI) yang merupakan gabungan dari PNI, Partai
Katolik, Partai Murba, IPKI, dan Parkindo.
Golongan Karya.
Penyederhanaan partai-partai politik ini dilakukan pemerintah Orde Baru dalam upaya
menciptakan stabilitas kehidupan berbangsa dan bernegara. Pengalaman sejarah pada masa
pemerintahan sebelumnya telah memberikan pelajaran, bahwa perpecahan yang terjadi di
masa Orde Lama, karena adanya perbedaan ideologi politik dan ketidakseragaman persepsi
serta pemahaman Pancasila sebagai sumber hukum tertinggi di Indonesia.
3. Pemilihan Umum
Selama masa Orde Baru pemerintah berhasil melaksanakan enam kali pemilihan umum, yaitu
tahun 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997. Dalam setiap Pemilu yang diselenggarakan
selama masa pemerintahan Orde Baru, Golkar selalu memperoleh mayoritas suara dan
memenangkan Pemilu. Pada Pemilu 1997 yang merupakan pemilu terakhir masa
pemerintahan Orde Baru, Golkar memperoleh 74,51 % dengan perolehan 325 kursi di DPR
dan PPP memperoleh 5,43 % dengan perolehan 27 kursi. Sedangkan PDI mengalami
kemerosotan perolehan suara dengan hanya mendapat 11 kursi di DPR. Hal disebabkan
adanya konflik intern di tubuh partai berkepala banteng tersebut. PDI akhirnya pecah menjadi
PDI Suryadi dan PDI Megawati Soekarno Putri yang sekarang menjadi PDIP.
Penyelenggaraan Pemilu yang teratur selama masa pemerintahan Orde Baru telah
menimbulkan kesan bahwa demokrasi di Indonesia telah berjalan dengan baik. Apalagi
Pemilu berlangsung dengan asas LUBER (langsung, umum, bebas, dan rahasia). Namun
dalam kenyataannya, Pemilu diarahkan untuk kemenangan salah satu kontestan Pemilu saja
yaitu Golkar. Kemenangan Golkar yang selalu mencolok sejak Pemilu 1971 sampai dengan
Pemilu 1997 menguntungkan pemerintah yang perimbangan suara di MPR
dan DPR didominasi oleh Golkar. Keadaan ini telah memungkinkan Soeharto menjadi
Presiden Republik Indonesia selama enam periode, karena pada masa Orde Baru presiden
dipilih oleh anggota MPR. Selain itu setiap pertanggungjawaban, rancangan undang-undang,
dan usulan lainnya dari pemerintah selalu mendapat persetujuan MPR dan DPR tanpa
catatan.
Pada masa Orde Baru, ABRI menjadi institusi paling penting di Indonesia. Selain menjadi
angkatan bersenjata, ABRI juga memegang fungsi politik, menjadikannya organisasi politik
terbesar di negara. Peran ganda ABRI ini kemudian terkenal dengan sebutan Dwi Fungsi
ABRI. Timbulnya pemberian peran ganda pada ABRI karena adanya pemikiran bahwa TNI
adalah tentara pejuang dan pejuang tentara. Kedudukan TNI dan POLRI dalam pemerintahan
adalah sama. Di MPR dan DPR mereka mendapat jatah kursi dengan cara pengangkatan
tanpa melalui Pemilu. Pertimbangan pengangkatan anggota MPR/DPR dari ABRI didasarkan
pada fungsinya sebagai stabilisator dan dinamisator. Peran dinamisator sebenarnya telah
diperankan ABRI sejak zaman Perang Kemerdekaan. Waktu itu Jenderal Soedirman telah
melakukannya dengan meneruskan perjuangan, walaupun pemimpin pemerintahan telah
ditahan Belanda. Demikian juga halnya yang dilakukan Soeharto ketika menyelamatkan
bangsa dari perpecahan setelah Gerakan 30 September, yang melahirkan Orde Baru.
Sistem ini memancing kontroversi di tubuh ABRI sendiri. Banyak perwira, khususnya
mereka yang berusia muda, menganggap bahwa sistem ini mengurangi profesionalitas ABRI.
Masuknya pendidikan sosial dan politik dalam akademi militer mengakibatkan waktu
mempelajari strategi militer berkurang. Secara kekuatan, ABRI juga menjadi lemah
dibandingkan negara Asia Tenggara lainnya. Saat itu, hanya ada 533.000 prajurit ABRI,
termasuk Polisi yang kala itu masih menjadi bagian dari ABRI. Angka ini, yang hanya
mencakup 0,15 persen dari total populasi, sangat kecil dibanding Singapura (2,06%),
Thailand (0,46%), dan Malaysia (0,68%). Pendanaan yang didapatkan ABRI pun tak kalah
kecil, hanya sekitar 1,96% dari total PDB, sementara angkatan bersenjata Singapura
mendapatkan 5,48% dan Thailand 3,26%. Selain itu, peralatan dan perlengkapan yang
dimiliki juga sedikit, ABRI hanya memiliki 100 tank besar dan 160 tank ringan.
Pada tanggal 12 April 1976 Presiden Soeharto mengemukakan gagasan mengenai pedoman
untuk menghayati dan mengamalkan Pancasila, yang terkenal dengan nama Ekaprasatya
Pancakarsa atau Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4). Untuk mendukung
pelaksanaan Pancasil dan Undang-undang Dasar 1945 secara murni dan konsekuen, maka
sejak tahun 1978 pemerintah menyelenggarakan penataran P4 secara menyeluruh pada semua
lapisan masyarakat. Penataran P4 ini bertujuan membentuk pemahaman yang sama
mengenai demokrasi Pancasila, sehingga dengan adanya pemahaman yang sama terhadap
Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945 diharapkan persatuan dan kesatuan nasional akan
terbentuk dan terpelihara. Melalui penegasan tersebut opini rakyat akan mengarah pada
dukungan yang kuat terhadap pemerintah Orde Baru. Sehingga sejak tahun 1985 pemerintah
menjadikan Pancasila sebagai asas tunggal dalam kehidupan berorganisasi. Semua bentuk
organisasi tidak boleh menggunakan asasnya selain Pancasila.
Menolak Pancasila sebagai asas tunggal merupakan pengkhianatan terhadap kehidupan
berbangsa dan bernegara. Dengan demikian Penataran P4 merupakan suatu bentuk
indoktrinasi ideologi, dan Pancasila menjadi bagian dari sistem kepribadian, sistem budaya,
dan sistem sosial masyarakat Indonesia. Pancasila merupakan prestasi tertinggi Orde Baru,
dan oleh karenanya maka semua prestasi lainnya dikaitkan dengan nama Pancasila. Mulai
dari sistem ekonomi Pancasila, pers Pancasila, hubungan industri Pancasila, demokrasi
Pancasila, dan sebagainya. Pancasila dianggap memiliki kesakralan (kesaktian) yang tidak
boleh diperdebatkan.
Masa orde baru dimulai pada tahun 1966. Pemerintahan orde baru yang dipimpin oleh
Presiden Soeharto, mengawali jalannya pemerintahan dengan tekad melaksanakan Pancasila
dan UUD RI Tahun 1945 secara murni dan konsekuen. Berdasarkan pengalaman di masa
orde lama, pemerintahan orde baru berupaya menciptakan stabilitas politik dan keamanan
untuk menjalankan pemerintahannya. Orde baru menganggap bahwa penyimpangan terhadap
Pancasila dan UUD RI Tahun 1945 adalah sebab utama kegagalan dari pemerintahan
sebelumnya. Orde baru merupakan tatanan perikehidupan masyarakat, bangsa, dan negara
Indonesia atas dasar pelaksanaan Pancasila dan UUD RI Tahun 1945 secara murni dan
konsekuen. Demokrasi yang dijalankan dinamakan demokrasi Pancasila. Demokrasi
Pancasila merupakan demokrasi yang didasarkan atas nilai-nilai dari sila-sila yang terdapat
pada Pancasila.
Namun, pada praktiknya, cita-cita luhur bangsa Indonesia untuk menjadi negara yang
demokratis tersebut justru runtuh dikarenakan penyalahgunaan kekuasaan pemerintah,
terutama oleh presiden. Pada masa orde baru, bangsa Indonesia seakan-akan malah terjatuh
menjadi negara yang totaliter. Kondisi tersebut dapat terjadi karena beberapa hal berikut.
Sejak tahun 1973, jumlah partai politik di Indonesia dibatasi hanya ada tiga. Pegawai
pemerintahan dan ABRI diharuskan mendukung partai penguasa. Pertemuan-pertemuan
politik harus mendapatkan izin dari penguasa. Para pengkritik pemerintah dikucilkan secara
politik, bahkan ada yang disingkirkan secara paksa. Meskipun pers dinyatakan bebas, pada
kenyataannya pemerintah dapat memberangus/membredel penerbitan pers yang dianggap
berseberangan dengan pemerintah. Di samping itu, ada perlakuan diskriminatif terhadap anak
keturunan orang yang dianggap terlibat G30S/PKI.
Meskipun pada masa orde baru kekuasaan negara dibagi menjadi berbagai lembaga negara
yang formal (MPR, DPR, DPA, MA, dan sebagainya), pada praktiknya lembaga-lembaga
tinggi negara tersebut dikendalikan oleh presiden.
Pada masa orde baru juga terjadi diskriminatif terhadap etnis tertentu. Misalnya saja, warga
keturunan Tionghoa dilarang berekspresi. Sejak tahun 1967, warga keturunan dianggap
sebagai warga negara asing di Indonesia dan kedudukannya berada di bawah warga pribumi,
yang secara tidak langsung juga menghapus hak-hak asasi mereka. Pemerintah orde baru
berdalih bahwa warga Tionghoa yang populasinya ketika itu mencapai kurang lebih lima juta
dari keseluruhan rakyat Indonesia, dikhawatirkan akan menyebarkan pengaruh komunisme di
tanah air. Padahal, pada kenyataannya, kebanyakan dari keturunan Tionghoa berprofesi
sebagai pedagang, yang tentu bertolak belakang dengan apa yang diajarkan oleh komunisme,
yang sangat mengharamkan perdagangan.
Pelaksanaan pemerintahan negara yang terlalu sentralistis pada masa orde baru berakibat
merajalelanya praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) di segala bidang. Hal ini
mengakibatkan rakyat semakin sengsara, hingga timbul sebuah istilah yang mengatakan
bahwa yang kaya semakin kaya dan yang miskin semakin miskin. Meskipun dalam
pelaksanaannya dianggap tidak demokratis, pada masa orde baru juga mencatat beberapa
keberhasilan di berbagai bidang, antara lain sebagai berikut:
1. Perkembangan GDP per kapita Indonesia yang pada tahun 1968 hanya AS$70, pada
tahun 1996 telah mencapai lebih dari AS$1.000.
10. Terjaminnya keamanan dalam negeri, meskipun dengan menggunakan cara yang
otoriter.
12. Sukses menumbuhkan rasa nasionalisme dan cinta produk dalam negeri.
13. Masa orde baru yang berjalan selama 32 tahun berakhir setelah berbagai kelompok
masyarakat madani yang dipimpin oleh kaum. mahasiswa berhasil menekan Presiden
Soeharto untuk menandatangani surat pengunduran diri pada tanggal 21 Mei 1998.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Masa sejak tahun 1969 menjadi awal bagi bangsa Indonesia untuk hidup dengan harapan.
Pemerintah Orde Baru mulai melaksanakan pembangunan secara bertahap. Tahapan
pembangunan yang dikenal dengan sebutan Pelita (pembangunan lima tahun) dilaksanakan
menyeluruh di wilayah Indonesia. Pelaksanaan pembangunan meliputi ideologi, politik,
ekonomi, sosial budaya, serta pertahanan dan keamanan.
B. Saran