Anda di halaman 1dari 7

Melihat Realisme Sosialis Bekerja1

Oleh : Anisa Suci Ra.2

Tod Jones dalam bukunya yang berjudul Kebudayaan dan Kekuasaan di Indonesia;
Kebijakan Budaya Selama abad ke-20 Hingga Reformasi menjelaskan bahwa kebudayaan
dibentuk dari sebagian kekuasaan politik. Tak jarang hubungan antara seniman dan pemerintah
diibaratkan sebagai hubungan mitra kerja atau kline dalam sebuah patron yang dimulai dari
masa pra-nasionalis Asia Tenggara dan akan terus bertahan hingga masa modern. 3 Selama
tahun 1950-an dan 1960-an, sebagaimana dengan masyarakat Asia lain yang baru menjalani
dekolonisasi, kesadaran untuk menentukan arah kebudayaan menjadi sebuah agenda penting.
Peristiwa-peristiwa politik utama dalam rentang lima belas tahun dari 1950 hingga kudeta 1965
yang berpuncak dengan pemakzulan Sukarno dan penyingkiran kalangan kiri menjadi cermin
paling bersih untuk melihat pergerakan pembentukan kebudayaan di Indonesia.
Perdebatan mengenai arah kebudayaan Indonesia mulai harum ketika muncul dua
kelompok besar yakni Manifesto Kebudayaan dengan Humanisme Universal dan Lembaga
Kebudayaan Rakyat dengan Realisme Sosial sebagai fondasi utama mereka. Keduanya terseret
pada gejolak dan perseteruan politik yang terjadi pada masa itu. Padahal dalam penelitian yang
dilakukan oleh Alexander Supartono dijelaskan apabila kita membandingkan teks Mukadimah
Lekra dan teks Manifesto Kebudayaan sebenarnya tidak terdapat perbedaan mendasar.
Keduanya memiliki semangat yang sama, “bahwa kebudayaan adalah alat perjuangan
membantu manusia untuk memajukan dirinya dan menyempurnakan kondisi hidup manusia.”4

Lekra dan Realisme Sosialis Sebagai Sebuah Jalan


Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) didirikan di Jakarta oleh sekitar 15 orang yang
menyebut dirinya sebagai peminat dan pekerja kebudayaan tepat pada ulang tahun ke-5
Republik Indonesia, 17 Agustus 1950. Pengurus awal yang kemudian menjadi anggota
sekretariat pusat Lekra adalah A.S Darta, M.S Ashar, dan Herman Arjuno sebagai Sekretaris I,

1
Judul dibuat sebagai bahan diskusi bersama Rawamangun Concept. Selesai ditulis pada Kamis, 8 April 2021
pukul 23.39 WIB.
2
Anggota Kearsipan Rawamangun Concept.
3
Jones, Tod. Kebudayaan dan Kekuasaan di Indonesia; Kebijakan Budaya Selama abad ke-20 Hingga
Reformasi. (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor, 2015), hlm. 9.
4
Alexander Supartono. “Lekra vs Manikebu: Perdebatan Kebudayaan Indonesia 1950-1965” (Jakarta : STF
Driyarkara. 2000). hlm 92 – 93.

1
II dan III dengan anggota Heng Ngantung, Nyoto dan Joebaar Ajoeb.5 Mengenai tujuan
pendirian Lekra, Joebaar Ajoeb dalam laporan kongres pertamanya di Solo menyatakan:
“Demikianlah, Lekra didirikan tepat sesudah 5 tahun revolusi Agustus pecah,
disaat revolusi tertahan oleh rintangan hebat yang berujud persetujuan KMB,
jadi, disaat garis revolusi sedang menurun. Lekra didirikan untuk turut
mencegah kemerosotan lebih lanjut garis revolusi, karena kita sadar, karena
tugas ini bukan hanya tugas politisi, tetapi juga tugas pekerja-pekerja
kebudayaan. Lekra didirikan untuk menghimpun kekuatan yang taat dan teguh
mendukung revolusi.”6

Dari kutipan di atas, dapat kita petik satu kesimpulan bahwa hal yang melatar belakangi
berdirinya LEKRA agaknya ialah keadaan-keadaan dalam negara saat itu yang kacau dan
menurunnya garis revolusi. Seperti diketahui, sebelum kelahiran Lekra 1950, Indonesia sejak
merdeka pada 1945 mengalami banyak persoalan, salah satu masalah yang dianggap pokok
oleh Lekra adalah kegagalan Indonesia mencapai kemerdekaan sepenuhnya, secara politik,
ekonomi juga kebudayaan karena perjuangan rakyat dalam menyelesaikan Revolusi diganti
dengan perjuangan diplomasi. Untuk mencegah kemerosotan Revolusi lebih lanjut, Lekra
menganggap bahwa seniman-sastrawan pun harus turut bersama memikul tugas dan mengawal
jalannya Revolusi. Karena gagalnya Revolusi Agustus 1945 berarti juga gagalnya perjuangan
pekerja kebudayaan untuk menghancurkan kebudayaan kolonial dan menggantinya dengan
kebudayaan yang demokratis, dengan kebudayaan rakyat.
Lekra telah berhasil membawa perjuangan kebudayaan pada setiap sektor gerakan
rakyat. Lekra berhasil membangun wacana dan mengembangkan kebudayaan rakyat dan
berhasil menarik kalangan intelektual untuk bergabung ke dalam gerakan kebudayaan rakyat.
Gerakan kebudayaan harus menjadi bagian dari kepemimpinan revolusi nasional, karena Lekra
melihat bahwa revolusi nasional haruslah juga merupakan revolusi kebudayaan7. Dengan
demikian perjuangan rakyat pun menjadi berubah:
…dari hanya yang bersifat materiil dan hanya memakai alat-alat yang materiil
atau fisik, ia berubah menjadi juga bersifat kulturil dan juga memakai alat-alat
kulturil. (Ajoeb 1959b, 25)

Perubahan cara pandang dan titik berangkat ini pun segera tercermin dalam perubahan
konsep tentang “rakyat”. Kalau sebelumnya rakyat didefinisikan sebagai buruh dan tani dalam

5
Alexander Supartono. Lekra vs Manikebu: Perdebatan Kebudayaan Indonesia 1950-1965 (Jakarta : STF
Driyarkara. 2000). hlm 53.
6
Joebar Ajoeb. “Perkembangan Kebudayaan Indonesia Sejak Agustus 1945 Dan Tempat Serta Peranan Lekra Di
Dalamnya” dalam Dokumen Kongres I Lekra, Bagian Penerbitan Lekra, 1959. hlm 15.
7
Alexander Supartono. Lekra vs Manikebu: Perdebatan Kebudayaan Indonesia 1950-1965 (Jakarta : STF
Driyarkara. 2000). hlm 70.

2
konteks perjuangan kelas, dalam Mukadimah 1959 konsep rakyat diperluas menjadi “semua
golongan dalam masyarakat yang menentang penjajahan.”
Joebaar Ajoeb sebagai Sekretaris Umum dan Nyoto sebagai salah satu Pimpinan Pusat
Lekra dalam Kongres Nasional Lekra Pertama menyatakan bahwa pembangunan kebudayaan
Indonesia tergantung pada keterlibatan Lekra dalam setiap pengambilan keputusan politik di
tingkat nasional. Akhirnya, pada Konfernas Lekra 1962, ditetapkan perumusan pedoman gerak
Lekra, yang terkenal dengan nama prinsip 1-5-1:
Dengan Berlandaskan azas politik sebagai panglima, menjalankan 5
kombinasi, yaitu meluas dan meninggi, tinggi mutu ideologi dan tinggi mutu
arstistik, memadukan tradisi yang baik dan kekinian yang revolusioner,
memadukan kreativitet individuil dan kearifan massa, dan memadukan
Realisme Sosialis dan romantik revolusioner, melalui cara kerja turun ke
bawah.8

Yang menarik diperhatikan adalah masuknya dua istilah “Realisme Sosialis” dan
“Romantisme Revolusioner”. Padahal dalam pembicaraan dan diskusi yang terjadi sejak
kongres pertama tahun 1959, disusul Pleno PP Lekra tahun 1960 sampai Konfernas I tahun
1962, dua istilah itu tidak menjadi topik pembahasan. Nyoto memang pernah menyinggung
nama Chou Yang dalam pidato sambutannya di Kongres I Lekra tahun 1959, namun tidak
dalam konteks pembahasan dua istilah tersebut. Nama Chou Yang di sini menjadi penting,
karena Keith Foulcher menengarai bahwa rumusan 1-5-1 ini merupakan pengaruh dari Cina.
Menurutnya, kombinasi antara realisme sosialis dan romantisme revolusioner pertama kali
dikemukakan oleh Mao Tse Tung, kemudian ditulis dan dipublikasikan pertama kali oleh Chou
Yang dalam Red Flag, edisi Juni 1958. Sedangkan saat Nyoto menyinggung nama Chou Yang,
ia tidak menyebut tentang dua istilah itu. Artinya, Realisme Sosialis tidak pernah dibahas,
apalagi diterima dan disahkan, sebagai ideologi resmi Lekra. Namun demikian, Realisme
Sosialis9 kemudian ditempelkan begitu saja sebagai ideologi Lekra. Penempelan ini tidak
melihat lebih detil bagaimana sebenarnya perkembangan konsep ini dalam tubuh Lekra.10

8
“Kesimpulan atas Laporan Umum”, dalam Keputusan-Keputusan Konprensi Nasional I, Bali 1962, hlm 165.
9
Realisme Sosialis sebagai suatu aliran dalam kesusastraan bersumber dari ajaran Karl Marx dan Frederich
Engels yang mengatakan, ”Sejarah eksistensi masyarakat sejak mula hingga kini adalah sejarah pertentangan
kelas”.
10
Seperti dalam buku Yahaya Ismail, Pertumbuhan, Perkembangan dan Kejatuhan Lekra di Indonesia: 1972,
disebutkan bahwa Realisme yang diadopsi Lekra adalah Realisme Sosialis seperti yang digariskan Stalin 1930-
1940.

3
Realisme Sosialis dalam Manifes Kebudayaan
Manifes Kebudayaan pada hakikatnya telah dimulai sejak karyawan-karyawan
kebudayaan nasional melangkahkan kaki untuk melaksanakan pendirian dan cita-cita
kebudayaan nasional. Tumbuhnya kesadaran akibat faktor-faktor obyektif selama sejarah
nasional Indonesia berangsur-angsur membuat karyawan-karyawan kebudayaan bertindak
"mengalahkan alam dan zaman", yakni bertindak secara kreatif. Setelah kebudayaan nasional
terhindar dari dua campur tangan yang dilakukan secara kekerasan oleh pihak Belanda dalam
Agresi I dan Agresi II, suatu bahaya lain secara perlahan-lahan mengembangkan dirinya dan
sekaligus, mengancam kehidupan kebudayaan itu, yakni bahaya perpecahan nasional yang
berasal dari maraknya suasana komunis sebagai salah satu sebab pokoknya. Sebagai
konsekuensi dari sistem komunis yang pada saat itu berlaku, partai-partai politik
mengembangkan diri sesuai dengan kodratnya, yakni perkembangan ke arah suatu kekuasaan
yang sebesar-besarnya.
Perkembangan partai-partai politik secara sedemikian itu berakibat berpusatnya
sebagian besar kegiatan Revolusi dalam kancah para politisi, yang sesuai dengan kodratnya di
saat itu melakukan suatu freefight competition, persaingan bebas yang berlangsung dengan
sengitnya, terutama saat-saat menjelang Pemilihan Umum sesudahnya. Dalam masa itulah
dominasi politik akibat-akibat perpecahannya menyusup pula ke sektor-sektor lain dari
kebudayaan kita, seperti kesenian, pendidikan dan pengajaran, serta ilmu pengetahuan. Para
karwayan kebudayaan tersebut menganggap bahwa pada masa masuknya politik dalam
kebudayaan mengakibatkan tidak mudah untuk menulis karena seluruh bahasa telah diikat
dengan slogan-slogan politik. Para penulis diharuskan mencantumkan kata-kata seperti rakyat,
buruh, tani, manipol, dan revolusioner untuk menunjukkan bahwa mereka loyal pada
perjuangan bangsa. Sehingga para penulis harus memiliki ketegasan politik dalam karya-
karyanya dan tidak boleh seenaknya mengikuti imajinasi tanpa pijakan realitas yang
kongkrit.11
Naskah Manifes Kebudayaan selesai dikerjakan oleh Wiratmo Soekito pada 17
Agustus 1963. Setelah dipelajari, akhirnya dapat diterima oleh Goenawan Mohamad dan
Bokor Hutasuhut, sebagai bahan yang diajukan ke diskusi pada 23 Agustus 1963 dijalan Raden
Saleh 19 Jakarta. Dalam rapat ini hadir tiga belas orang seniman-budayawan, yaitu: (1) Trisno
Sumardjo, (2) Zaini, (3) H.B. Jassin, (4) Wiratmo Soekito, (5) Bokor Hutasuhut, (6) Goenawan

11
Taufik Ismail & D. S. Moeljanto. Prahara Budaya: Kilas Balik Ofensif Lekra (Bandung : Mizan. 1995). hlm
253.

4
Mohamad, (7) Bur Rasuanto, (8) A. Bastari Asnin (datang dari Yogya), (9) Ras Siregar, (10)
Djufri Tanissan, (11) Soe Hok Djin (Arief Budiman), (12) Sjahwil (dari Sanggar Bambu), dan
(13) D.S. Moeljanto. Rapat tersebut memutuskan, bahwa Manifes Kebudayaan dibagi dalam 3
(tiga) bagian, yaitu : 12
1. Pancasila sebagai Falsafah Kebudayaan
Bagian pertama menerangkan bagaimana kebudayaan yang berfalsafahkan Pancasila.
Yaitu kebudayaan yang tidak hanya cukup “berwatak nasional” tapi juga harus tampil sebagai
kepribadian nasional di tengah masyarakat bangsa-bangsa. Gagasan bahwa kebudayaan
mempunyai nilai-nilai universal sedikit mulai disinggung di sini, sambil mengingatkan bahwa
bahaya terbesar yang mengancam kebudayaan justru datang dari wilayah sendiri, yang
didefinisikan sebagai kecederungan fetisy yang non kreatif, adalah pendewaaan yang
berlebihan terhadap arus kebudayaan/kesenian tertentu. Kesenian revolusioner, yang menjadi
wacana utama pada masa itu, mempunyai bahaya untuk masuk dalam fetisy tersebut. Untuk
menghindarinya, maka ruang kreatifitas harus dibuka selebar mungkin dengan pencarian
bersumber pada diri sendiri. Kritik halus terhadap Lekra yang nasionalis dan revolusioner
tersirat di sini. Juga penegasan yang sama halusnya dari apa yang sudah pernah dinyatakan
dalam SKG tentang kreativitas dan integritas individu pencipta budaya/seni.13
2. Kepribadian dan Kebudayaan Nasional
Bagian kedua secara terang mau menjelaskan apa yang dimaksud dengan Humanisme
Universal, sekaligus menyatakan bahwa mereka menganut paham ini. Humanisme universal
yang mereka anut adalah yang “bukanlah semata-mata nasional, tetapi juga menghayati nilai-
nilai universal, bukanlah semata-mata temporal, tetapi juga menghayati nilai-nilai eternal.”
Dari bagian inilah orang lalu menarik hubungan kelompok Manikebu ini sebagai penerus
kelompok SKG.14
3. Politisi dan Estetisi.
Bagian terakhir adalah penjelasan tentang Realisme Sosialis, diletakkan dalam konteks
“politisi dan estetisi”. Dalam rumusan ini mereka membedakan antara Realisme Sosialis
lanjutan pemikiran J. Stalin dan Realisme Sosialis yang berangkat dari pemikiran Maxim
Gorki. Mereka beranggapan bahwa Stalin sudah tumbuh menjadi fetish, sehingga semua yang
keluar darinya dimengerti sebagai dogma dalam kehidupan seni dan sastra. Sedangkan Mereka

12
Taufik Ismail & D. S. Moeljanto. Prahara Budaya: Kilas Balik Ofensif Lekra (Bandung : Mizan. 1995). hlm
231.
13
Alexander Supartono. Lekra vs Manikebu: Perdebatan Kebudayaan Indonesia 1950-1965 (Jakarta : STF
Driyarkara. 2000). hlm 84-85.
14
Ibid.

5
menolak Realisme Sosialis ini, karena ia memberi dasar pada “paham politik di atas
estetik…(yang) dilihat dari sudut kebudayaan dan kesenian adalah utopia”. Sedangkan
Realisme Sosialis Gorki bagi mereka sejalan dengan garis mereka anut: “menempuh politik
sastra universil”. Perumusan pendefinisian yang mereka berikan disini pada saat yang sama
berarti pembakuan. Ini berarti keluar dari tradisi perjalanan konsep Realisme Sosialis yang
tidak pernah berhenti berkembang.15

Melihat Realisme Sosialis Bekerja dalam Naskah “Skakmat!”


Skakmat! merupakan naskah saduran sederhana oleh Fajrin Yuristian yang disadur
bebas dari lakon Lawan Catur karya saduran WS Rendra yang disadur dari naskah Game of
Case karya Kenneth SGM. Menceritakan sebuah kejadian yang menuntut adanya pemikiran
yang tajam dengan menggambarkan kehidupan itu seperti halnya bermain catur. Harus pintar-
pintar melangkah jika ingin selamat sampai akhir. Skakmat! berkisah mengenai seorang
Menteri Urusan Kepolisian bernama Samuel Gaspel yang sedang bermain catur bersama anak
buahnya yang bernama Antonio. Selain Antonio, diceritakan pula jika Samuel Gaspel memiliki
bawahan bernama Verka. Di tengah permainan catur itu diam-diam Samuel Gaspel tengah
menunggu seorang bernama Oscar Yacob, seorang pemberontak pemerintahan.
Oscar datang ke ruangan tempat Samuel Gaspel dan mendapat sebuah “jamuan hangat”.
Hal yang tidak mungkin diterima seseorang yang datang dengan niatan membunuh. Oscar telah
bersiap dengan sebuah pistol. Namun sebelum Oscar membunuh Samuel Gaspel, ia bercerita
bahwa yang sebenarnya bernama Oscar Yacob adalah Samuel Gaspel dan Samuel Gaspel
sebenarnya adalah Oscar Yacob. Samuel bercerita bahwa saat kecil ibu Oscar memungut
seorang anak petani yaitu yang sekarang Samuel. Tak disangka ibunya malah mengirim
anaknya sendiri untuk dibesarkan oleh petani dan memutuskan untuk membesarkan anak
pungut itu.
Dari cerita Samuel, Oscar tidak begitu saja langsung mempercayaiya. Oscar terus
mendesak Samuel untuk memberikan bukti yang membenarkan ceritanya itu. Dengan bukti-
bukti yang dikemukakan oleh Samuel, tidak butuh waktu lama untuk meyakinkan Oscar. Dia
pun mempercayai cerita tersebut. Oscar pun berpikir dua kali untuk membunuh Samuel.
Muncul ide untuk mati bersama-sama dengan meminum racun. Keduanya pun meminum racun
yang bersama. Oscar merasa badannya sudah tidak kuat lagi. Sedangkan ia masih melihat
Samuel baik-baik saja. Oscar merasa ditipu dan akhrinya ia menghembuskan nafas terakhirnya.

15
Ibid.

6
Samuel menang atas Oscar yang sebelumnya sudah mempunyai peluang besar untuk
membunuhnya. Namun cerita tidak sampai disitu, Verka, yang sedari awal diceritakan berada
dipihak Samuel Gaspel tiba-tiba saja menembak Samuel dengan pistol milik Oscar. Verka dan
Antonio berhasil men-skakmat Samuel Gaspel sang Menteri Urusan Kepolisian.
Dalam naskah Skakmat! ini kita banyak menemukan hal-hal menarik dalam pribadi
seluruh tokoh. Oscar Yacob misalnya, diceritakan sebagai seorang anak petani yang berada
pada pihak pemberontak pemerintahan -walau sesungguhnya dia sendiri belum tahu kearah
mana upaya pemberontakan itu bermuara- memiliki niat membunuh Samuel Gaspel, seorang
anak bangsawan yang berbeda pandangan dengan kelompoknya. Juga Samuel Gaspel yang
menjabat sebagai Menteri Urusan Kepolisian berhasil membunuh Oscar yang berseberangan
dengan pemerintah. Atau sosok Verka dan Antonio yang sedari awal digambarkan begitu setia
dan patuh kepada Samuel Gaspel, berakhir menjadi kelompok yang menghabisi nyawa tuan
mereka. Dalam kehidupan nyata, tentu saja kita sering menemukan fakta-fakta pertentangan
kelas dalam cerita hidup manusia. Tapi itu kan dikehidupan nyata, apakah dalam seni harus
“se-realis” itu?
Dalam disertasi yang ditulisnya, N.G. Chernyshevsky menjelaskan jika tujuan pertama
seni adalah mereproduksi realitas.16 Dalam tulisannya, Chernyshevsky banyak memberi kritik
terhadap aliran fisafat Hegel yang menjelaskan mengenai keindahan dan dunia ide. Dunia ide
itu bersifat imajinasi dan tidak ada keindahan dalam sebuah imajinasi. Keindahan
sesungguhnya adalah ketika kita sudah bersentuhan dengan kenyataan (realitas). Meskipun
keindahan dalam kenyataan bersifat tidak tetap, bukan berarti kenyataan yang berisi kisah
tragis tidak bisa dibungkus menjadi indah dan bisa dinikmati banyak orang. Artinya hal ini
sejalan dengan cita-cita realisme sosialis dalam ranah kebudayaan. Sebuah karya seni apapun
bentuknya tidak boleh berjalan hanya dalam sebuah imajinasi. Naskah Skakmat! sangat bisa
dibawakan dengan latar tempat, waktu dan suasana apapun selama masih mengandung
kenyataan dan pesan-pesan yang bisa diaplikasikan oleh penonton dalam kehidupan nyata.
Tokoh-tokoh imajiner yang diciptakan dalam naskah haruslah menampilkan diri mereka
sebagai watak-watak yang benar-benar “hidup”.

16
Chernyshevsky, N.G. Hubungan Estetik Seni dengan Realitas (terj. Oleh Samanjaya). (Moskow : Foreign
Languages Publishing House, 1953), hlm. 110.

Anda mungkin juga menyukai