Anda di halaman 1dari 5

Tentang “Lawan Catur”

 Moh. Syafari Firdaus

Iklan

“Lawan Catur”, Produksi GSSTF Unpad, 1997. Samuel Glaspel (diperankan


oleh Fajar Syuderajat) dan Oscar Yakob (Budi Hananto). Foto: Yogi Ardhi.

BORIS IVANOVITCH SHAMRAYEFF


Saya seorang petani, bapak saya seorang petani, dan kakek-buyut saya
juga seorang petani. Anda seorang bangsawan, nenek Anda seorang
bangsawan. Garis keturunan Anda adalah pangeran Tartar. Ini adalah
masalah penderitaan dan perbudakan melawan sejarah kekejaman dan
penindasan. Saya tak akan menghitung hari ini, hanya
memperhitungkan hari kemarin dan hari yang akan datang. Anda selalu
bertindak kejam dan kasar, itu tak usah diragukan lagi. Saya sangat
mengetahuinya. Saya membuang jauh-jauh semua itu. Bahkan
penderitaan saya sendiri tidak saya libatkan. Semua itu tidak akan
sebanding kalaupun harus disandingkan. Anda dan saya tak cukup
berarti apa-apa. Ini adalah kasta melawan kasta. Saya menggabungkan
diri dalam partai revolusioner, betul ! Anda menamakan saya agen
mereka, ya! Meskipun saya hanya tahu sedikit dengan apa yang mereka
cita-citakan untuk negara ini, saya tidak peduli. Saya hanya mengerti
bahwa pada kelompok tempat saya bergabung adalah mewakili segenap
perjuangan dan gelora hati saya. Saya adalah alat kehendak mereka.
Saya menuruti mereka karena saya merasa berhak untuk mewujudkan
dendam yang mengental di darah saya.

ALEXIS ALEXANDROVITCH
Ya, ya. Kau seorang fanatik!

••

Dialog di atas saya petik dari naskah The Game of Chess, yang oleh W.S.
Rendra diterjemahkan dan diberi judul Lawan Catur. Pada terjemahan
W.S. Rendra itu memang tidak ditemukan nama tokoh Boris Ivanovitch
Shamrayeff atau Alexis Alexandrovitch, karena nama-nama tokohnya
diubah: Boris Ivanovitch Shamrayeff menjadi Oscar Yakob, sedangkan
Alexis Alexandrovitch menjadi Samuel Glaspel. Judul Lawan Catur dengan
tokoh Oscar Yakob dan Samuel Glaspel inilah yang kemudian lebih dikenal
luas di Indonesia.

Naskah Lawan Catur itu sendiri adalah naskah drama satu babak yang


boleh disebut sebagai salah satu naskah drama yang (paling) populer di
Indonesia. Entah sudah berapa puluh (atau bahkan ratus) kali naskah ini
dipentaskan: dengan beragam gaya, oleh berbagai kelompok teater yang
berbeda. Saya sendiri sudah menonton pementasan Lawan Catur lebih
dari sepuluh kali, dan pernah sekali mementaskan naskah ini, sebagai
sutradara, pada tahun 1997, bersama Gelanggang Seni Sastra, Teater, dan
Film (GSSTF) Unpad.

Saya menduga, ada tiga faktor yang mendorong naskah Lawan


Catur kerap dipilih untuk dipentaskan oleh berbagai kelompok teater di
Indonesia. Pertama, struktur naskahnya yang satu babak. Tipikal naskah
satu babak biasanya menghadirkan (hanya) satu peristiwa, runutan alurnya
tidak terlalu komplikatif, dan bisa digarap dengan —sebut saja— “relatif
sederhana”. Kedua, pemain (aktor) yang dibutuhkan hanya empat orang
(Boris, Alexis, Constantine, Footman; atau Oscar, Samuel, Antonio, dan
Verka, dalam versi terjemahannya Rendra). Dengan kebutuhan pemain
yang empat orang ini, pementasan akan dimungkinkan untuk digarap
dengan “kelompok kecil”. Pada konteks tertentu, dua faktor ini tampaknya
sering juga dijadikan bahan pertimbangan untuk kepentingan
pembelajaran, terutama untuk pembelajaran dalam soal-soal yang
berkenaan dengan pemanggungan dan keaktoran.

Faktor ketiga yang saya duga telah melambungkan kepopuleran Lawan


Catur dan menjadikan naskah ini sering dipentaskan adalah karena tema
yang diusungnya. Selintas saja, seperti yang bisa dibaca pada dialog Boris
yang saya petikkan di atas, soal yang berkenaan dengan “perlawanan dan
kekuasaan” boleh disebut sebagai tema yang kental mengemuka dalam
naskah ini. Betapapun di dalam naskah ini “perlawanan” (yang diwakili
oleh tokoh Boris) diceritakan gagal dalam mencapai tujuannya ketika
berhadapan dengan “kekuasaan” (yang dihadirkan lewat tokoh Alexis),
namun tema ini sepertinya tetap dipandang “seksi” untuk dikedepankan di
dalam sebuah pementasan. Jika dikaitkan dengan konteks Indonesia,
terutama di saat Soeharto berkuasa dengan rezim Orde Baru-nya yang
serba refresif, hegemonik, dan tidak sedikit yang menganggapnya tiran,
tema yang diusung Lawan Catur memang akan menemukan habibat,
konteks, dan relevansinya.

Kenneth Arthur: nama yang “misterius”


Pada versi terjemahan W.S. Rendra yang tersebar luas, di sana tertulis,
pengarang naskah drama satu babak ini adalah Kenneth Arthur. Tetapi,
siapakah itu Kenneth Arthur?

Iklan pementasan “Lawan Catur”

Ketika saya hendak mementaskan naskah ini pada tahun 1997, saya punya
persoalan tersendiri dengan nama tersebut. Bagaimanapun, studi
pendahuluan terhadap naskah dan juga pengarangnya, saya pikir, penting
untuk dilakukan. Tidak terkecuali untuk seseorang yang bernama Kenneth
Arthur ini: penulis atau dramawan dari manakah dia? Sialnya, pada versi
terjemahannya W.S. Rendra yang menjadi pegangan saya —saya sendiri
tidak tahu pasti, naskah fotokopian milik GSSTF Unpad yang saya pegang
itu sumbernya dari mana dan entah salinan yang ke berapa— selain nama
W.S. Rendra sebagai penerjemah dan Kenneth Arthur sebagai sang
pengarang, tidak ada sedikitpun catatan atau keterangan lain yang merujuk
pada sumber-sumber utama yang bisa menjelaskan keberadaan naskah
tersebut (judul asli dan biografi pengarang, misalnya). Di beberapa litelatur
drama dan teater —yang kala itu masih sangat terbatas— nama Kenneth
Arthur luput untuk bisa ditemukan. Nama itu seolah begitu gelap,
misterius. Saya dan sejumlah kawan yang terlibat dalam garapan
pementasan, pada saat itu bahkan sempat membuat praduga, Kenneth
Arthur yang disebut sebagai pengarang naskah itu sesungguhnya tidak
(pernah) ada, karena dia tidak lain adalah Rendra sendiri.

Lewat internet dengan bantuan si mesin pencari google, baru bertahun


kemudian (sekitar tahun 2004) kami mendapat —mengutip Amir Hamzah
— kandil kemerlap, pelita jendela di malam gelap: kemisteriusan Kenneth
Arthur mulai terkuak. Praduga kami pun perlahan mulai menemukan
jawabannya: ada benarnya, meskipun tetap salah besar karena menduga
Kenneth Arthur adalah Rendra.

Yang pasti, memang tidak ada pengarang bernama Kenneth Arthur yang
pernah menulis naskah drama berjudul Lawan Catur sebagaimana yang
kemudian diterjemahkan oleh Rendra itu. Naskah asli Lawan Catur itu
berjudul The Game of Chess, ditulis oleh Kenneth Sawyer Goodman, dan
pertama kali dipentaskan di Fine Arts Theatre, Chicago, 18 November
1913. Kenneth Sawyer Goodman sendiri memang tidak berusia panjang,
meninggal di usia 35 pada tahun 1918 ketika terjadi epidemi influenza.
Tidak banyak pula karya yang pernah ditulisnya. Boleh jadi, karena mati
muda dan tidak terlalu banyak karya yang pernah dipublikasikan, Kenneth
Sawyer Goodman kerap luput dari perhatian para pencatat sejarah.
Kenangan untuk dirinya yang masih berdiri sampai saat ini adalah
Goodman Theatre, sebuah gedung pentunjukan di Chicago yang didirikan
tahun 1922 atas inisiatif dan sumbangan dari orang tua Kenneth, yaitu
William dan Erna Goodman.

Kembali menyoal naskah Lawan Catur yang diterjemahkan Rendra. Tentu


saja saya tidak tahu, dari titik mana datangnya kesalahan pencantuman
nama pengarang dalam terjemahan Lawan Catur mulai terjadi. Saya tidak
yakin, Rendra tidak mengetahui jika naskah hasil terjemahannya itu kerap
dipentaskan oleh berbagai kelompok teater di Indonesia. Kalaupun, sebut
saja, Rendra mengetahuinya, tapi dia tidak pernah mengoreksi kesalahan
pencantuman nama pengarangnya itu, yang menjadi pertanyaan, mengapa
Rendra melakukan pembiaran seperti itu? Jika demikian kasusnya, saya
bisa berkesimpulan, kesalahan awal memang ada pada Rendra. Dalam hal
ini, Rendra telah lalai sebagai penerjemah. Atau jangan-jangan —ini
praduga yang muncul tiba-tiba— naskah Lawan Catur yang sudah telanjur
tersebar luas itu bukanlah hasil terjemahan Rendra? Jika pencantuman
nama pengarang saja bisa salah, bukankah kesalahan yang sama bisa
terjadi pada pencantuman nama penerjemah?

Akan tetapi, terlepas dari hal itu, kelalaian yang sudah menahun ini,
sepanjang pengetahuan saya, sampai saat ini belum ada yang
mengoreksinya dengan tepat. Setiap kali naskah Lawan Catur ini
dipentaskan, nama pengarang yang dimunculkan tetap Kenneth Arthur
(meskipun, belakangan, di beberapa situs yang mempublikasikan naskah
atau acara pementasan Lawan Catur, saya membaca nama Sir Kenneth
William Goodman sebagai pengarang naskah tersebut).

Mengoreksi nama pengarang pada terjemahan naskah Lawan Catur ini,


tentu saja menjadi sangat penting dan harus segera dilakukan. Memang
boleh jika kita sepaham dengan keyakinan, dalam karya seni, “pengarang
sudah mati”. Namun, selain sebagai salah satu upaya untuk mengapresiasi
dan menghargai pengarang yang sebenarnya, pengetahuan akan pengarang
bagaimana pun akan tetap bisa memberikan signifikansi dan relevansinya.

•••
Sumber: https://dauzsy.wordpress.com/2009/05/19/tentang-lawan-catur/amp/

Anda mungkin juga menyukai