Anda di halaman 1dari 30

Gerakan 30 September PKI 1965

Pengkhianatan G 30 S/PKI.

Gerakan 30 September (dahulu juga disingkat G 30 S PKI, G-30S/PKI), Gestapu (Gerakan September Tiga
Puluh), Gestok (Gerakan Satu Oktober) adalah sebuah peristiwa yang terjadi selewat malam tanggal 30 September
sampai di awal 1 Oktober 1965 di mana enam perwira tinggi militer Indonesia beserta beberapa orang lainnya
dibunuh dalam suatu usaha percobaan kudeta yang kemudian dituduhkan kepada anggota Partai Komunis Indonesia.

Latar belakang

Perayaan Milad PKI yang ke 45 di Jakarta pada awal tahun 1965

Partai Komunis Indonesia (PKI) merupakan partai komunis yang terbesar di seluruh dunia, di luar Tiongkok dan Uni
Soviet. Sampai pada tahun 1965 anggotanya berjumlah sekitar 3,5 juta, ditambah 3 juta dari pergerakan pemudanya.
PKI juga mengontrol pergerakan serikat buruh yang mempunyai 3,5 juta anggota dan pergerakan petani Barisan Tani
Indonesia yang mempunyai 9 juta anggota. Termasuk pergerakan wanita (Gerwani), organisasi penulis dan artis dan
pergerakan sarjananya, PKI mempunyai lebih dari 20 juta anggota dan pendukung.

Pada bulan Juli 1959 parlemen dibubarkan dan Sukarno menetapkan konstitusi di bawah dekrit presiden - sekali lagi
dengan dukungan penuh dari PKI. Ia memperkuat tangan angkatan bersenjata dengan mengangkat para jendral
militer ke posisi-posisi yang penting. Sukarno menjalankan sistem "Demokrasi Terpimpin". PKI menyambut
"Demokrasi Terpimpin" Sukarno dengan hangat dan anggapan bahwa dia mempunyai mandat untuk persekutuan
Konsepsi yaitu antara Nasionalis, Agama dan Komunis yang dinamakan NASAKOM.

Pada era "Demokrasi Terpimpin", kolaborasi antara kepemimpinan PKI dan kaum burjuis nasional dalam menekan
pergerakan-pergerakan independen kaum buruh dan petani, gagal memecahkan masalah-masalah politis dan ekonomi
yang mendesak. Pendapatan ekspor menurun, foreign reserves menurun, inflasi terus menaik dan korupsi birokrat
dan militer menjadi wabah.

Angkatan kelima

Artikel utama untuk bagian ini adalah: Angkatan Kelima

Pada kunjungan Menlu Subandrio ke Tiongkok, Perdana Menteri Zhou Enlai menjanjikan 100.000 pucuk senjata
jenis chung, penawaran ini gratis tanpa syarat dan kemudian dilaporkan ke Bung Karno tetapi belum juga
menetapkan waktunya sampai meletusnya G30S.

Pada awal tahun 1965 Bung Karno atas saran dari PKI akibat dari tawaran perdana mentri RRC, mempunyai ide
tentang Angkatan Kelima yang berdiri sendiri terlepas dari ABRI. Tetapi petinggi Angkatan Darat tidak setuju dan
hal ini lebih menimbulkan nuansa curiga-mencurigai antara militer dan PKI.

Dari tahun 1963, kepemimpinan PKI makin lama makin berusaha memprovokasi bentrokan-bentrokan antara aktivis
massanya dan polisi dan militer. Pemimpin-pemimpin PKI juga menginfiltrasi polisi dan tentara denga slogan
"kepentingan bersama" polisi dan "rakyat". Pemimpin PKI DN Aidit mengilhami slogan "Untuk Ketentraman Umum
Bantu Polisi". Di bulan Agustus 1964, Aidit menganjurkan semua anggota PKI membersihkan diri dari "sikap-sikap
sektarian" kepada angkatan bersenjata, mengimbau semua pengarang dan seniman sayap-kiri untuk membuat "massa
tentara" subjek karya-karya mereka.

Di akhir 1964 dan permulaan 1965 ribuan petani bergerak merampas tanah yang bukan hak mereka atas hasutan PKI.
Bentrokan-bentrokan besar terjadi antara mereka dan polisi dan para pemilik tanah.
Bentrokan-bentrokan tersebut dipicu oleh propaganda PKI yang menyatakan bahwa petani berhak atas setiap tanah,
tidak peduli tanah siapapun (milik negara = milik bersama). Kemungkinan besar PKI meniru revolusi Bolsevik di
Rusia, di mana di sana rakyat dan partai komunis menyita milik Tsar dan membagi-bagikannya kepada rakyat.

Pada permulaan 1965, para buruh mulai menyita perusahaan-perusahaan karet dan minyak milik Amerika Serikat.
Kepemimpinan PKI menjawab ini dengan memasuki pemerintahan dengan resmi. Pada waktu yang sama, jenderal-
jenderal militer tingkat tinggi juga menjadi anggota kabinet. Jendral-jendral tersebut masuk kabinet karena
jabatannya di militer oleh Sukarno disamakan dengan setingkat mentri. Hal ini dapat dibuktikan dengan nama
jabatannya (Menpangab, Menpangad, dan lain-lain).

Menteri-menteri PKI tidak hanya duduk di sebelah para petinggi militer di dalam kabinet Sukarno ini, tetapi mereka
terus mendorong ilusi yang sangat berbahaya bahwa angkatan bersenjata adalah merupakan bagian dari revolusi
demokratis "rakyat".

Pengangkatan Jenazah di Lubang Buaya

Aidit memberikan ceramah kepada siswa-siswa sekolah angkatan bersenjata di mana ia berbicara tentang "perasaan
kebersamaan dan persatuan yang bertambah kuat setiap hari antara tentara Republik Indonesia dan unsur-unsur
masyarakat Indonesia, termasuk para komunis".

Rezim Sukarno mengambil langkah terhadap para pekerja dengan melarang aksi-aksi mogok di industri.
Kepemimpinan PKI tidak berkeberatan karena industri menurut mereka adalah milik pemerintahan NASAKOM.

Tidak lama PKI mengetahui dengan jelas persiapan-persiapan untuk pembentukan rezim militer, menyatakan
keperluan untuk pendirian "angkatan kelima" di dalam angkatan bersenjata, yang terdiri dari pekerja dan petani yang
bersenjata. Bukannya memperjuangkan mobilisasi massa yang berdiri sendiri untuk melawan ancaman militer yang
sedang berkembang itu, kepemimpinan PKI malah berusaha untuk membatasi pergerakan massa yang makin
mendalam ini dalam batas-batas hukum kapitalis negara. Mereka, depan jendral-jendral militer, berusaha
menenangkan bahwa usul PKI akan memperkuat negara. Aidit menyatakan dalam laporan ke Komite Sentral PKI
bahwa "NASAKOMisasi" angkatan bersenjata dapat dicapai dan mereka akan bekerjasama untuk menciptakan
"angkatan kelima". Kepemimpinan PKI tetap berusaha menekan aspirasi revolusioner kaum buruh di Indonesia. Di
bulan Mei 1965, Politbiro PKI masih mendorong ilusi bahwa aparatus militer dan negara sedang diubah untuk
mengecilkan aspek anti-rakyat dalam alat-alat negara.

Isu sakitnya Bung Karno

Sejak tahun 1964 sampai menjelang meletusnya G30S telah beredar isu sakit parahnya Bung Karno. Hal ini
meningkatkan kasak-kusuk dan isu perebutan kekuasaan apabila Bung Karno meninggal dunia. Namun menurut
Subandrio, Aidit tahu persis bahwa Bung Karno hanya sakit ringan saja, jadi hal ini bukan merupakan alasan PKI
melakukan tindakan tersebut.

Isu masalah tanah dan bagi hasil

Pada tahun 1960 keluarlah Undang-Undang Pokok Agraria (UU Pokok Agraria) dan Undang-Undang Pokok Bagi
Hasil (UU Bagi Hasil) yang sebenarnya merupakan kelanjutan dari Panitia Agraria yang dibentuk pada tahun 1948.
Panitia Agraria yang menghasilkan UUPA terdiri dari wakil pemerintah dan wakil berbagai ormas tani yang
mencerminkan 10 kekuatan partai politik pada masa itu. Walaupun undang-undangnya sudah ada namun pelaksanaan
di daerah tidak jalan sehingga menimbulkan gesekan antara para petani penggarap dengan pihak pemilik tanah yang
takut terkena UUPA, melibatkan sebagian massa pengikutnya dengan melibatkan backing aparat keamanan.
Peristiwa yang menonjol dalam rangka ini antara lain peristiwa Bandar Betsi di Sumatera Utara dan peristiwa di
Klaten yang disebut sebagai aksi sepihak dan kemudian digunakan sebagai dalih oleh militer untuk
membersihkannya.

Keributan antara PKI dan Islam (tidak hanya NU, tapi juga dengan Persis dan Muhammadiyah) itu pada dasarnya
terjadi di hampir semua tempat di Indonesia, di Jawa Barat, Jawa Timur, dan di provinsi-provinsi lain juga terjadi hal
demikian, PKI di beberapa tempat bahkan sudah mengancam kyai-kyai bahwa mereka akan disembelih setelah
tanggal 30 September 1965 (hal ini membuktikan bahwa seluruh elemen PKI mengetahui rencana kudeta 30
September tersebut).

Faktor Malaysia

Negara Federasi Malaysia yang baru terbentuk pada tanggal 16 September 1963 adalah salah satu faktor penting
dalam insiden ini[1]. Konfrontasi Indonesia-Malaysia merupakan salah satu penyebab kedekatan Presiden Soekarno
dengan PKI, menjelaskan motivasi para tentara yang menggabungkan diri dalam gerakan G30S/Gestok (Gerakan
Satu Oktober), dan juga pada akhirnya menyebabkan PKI melakukan penculikan petinggi Angkatan Darat.

Sejak demonstrasi anti-Indonesia di Kuala Lumpur, di mana para demonstran menyerbu gedung
KBRI, merobek-robek foto Soekarno, membawa lambang negara Garuda Pancasila ke hadapan
Tunku Abdul RahmanPerdana Menteri Malaysia saat itudan memaksanya untuk menginjak
Garuda, amarah Soekarno terhadap Malaysia pun meledak.
Soekarno yang murka karena hal itu mengutuk tindakan Tunku yang menginjak-injak lambang negara Indonesia[2]
dan ingin melakukan balas dendam dengan melancarkan gerakan yang terkenal dengan sebutan "Ganyang Malaysia"
kepada negara Federasi Malaysia yang telah sangat menghina Indonesia dan presiden Indonesia. Perintah Soekarno
kepada Angkatan Darat untuk meng"ganyang Malaysia" ditanggapi dengan dingin oleh para jenderal pada saat itu.
Di satu pihak Letjen Ahmad Yani tidak ingin melawan Malaysia yang dibantu oleh Inggris dengan anggapan bahwa
tentara Indonesia pada saat itu tidak memadai untuk peperangan dengan skala tersebut, sedangkan di pihak lain
Kepala Staf TNI Angkatan Darat A.H. Nasution setuju dengan usulan Soekarno karena ia mengkhawatirkan isu
Malaysia ini akan ditunggangi oleh PKI untuk memperkuat posisinya di percaturan politik di Indonesia.

Posisi Angkatan Darat pada saat itu serba salah karena di satu pihak mereka tidak yakin mereka dapat mengalahkan
Inggris, dan di lain pihak mereka akan menghadapi Soekarno yang mengamuk jika mereka tidak berperang.
Akhirnya para pemimpin Angkatan Darat memilih untuk berperang setengah hati di Kalimantan. Tak heran, Brigadir
Jenderal Suparjo, komandan pasukan di Kalimantan Barat, mengeluh, konfrontasi tak dilakukan sepenuh hati dan ia
merasa operasinya disabotase dari belakang[3]. Hal ini juga dapat dilihat dari kegagalan operasi gerilya di Malaysia,
padahal tentara Indonesia sebenarnya sangat mahir dalam peperangan gerilya.

Mengetahui bahwa tentara Indonesia tidak mendukungnya, Soekarno merasa kecewa dan berbalik mencari dukungan
PKI untuk melampiaskan amarahnya kepada Malaysia. Soekarno, seperti yang ditulis di otobiografinya, mengakui
bahwa ia adalah seorang yang memiliki harga diri yang sangat tinggi, dan tidak ada yang dapat dilakukan untuk
mengubah keinginannya meng"ganyang Malaysia".

Soekarno adalah seorang individualis. Manusia jang tjongkak dengan suara-batin yang menjala-
njala, manusia jang mengakui bahwa ia mentjintai dirinja sendiri tidak mungkin mendjadi satelit
jang melekat pada bangsa lain. Soekarno tidak mungkin menghambakan diri pada dominasi
kekuasaan manapun djuga. Dia tidak mungkin menjadi boneka.
Di pihak PKI, mereka menjadi pendukung terbesar gerakan "ganyang Malaysia" yang mereka anggap sebagai antek
Inggris, antek nekolim. PKI juga memanfaatkan kesempatan itu untuk keuntungan mereka sendiri, jadi motif PKI
untuk mendukung kebijakan Soekarno tidak sepenuhnya idealis.

Pada saat PKI memperoleh angin segar, justru para penentangnyalah yang menghadapi keadaan yang buruk; mereka
melihat posisi PKI yang semakin menguat sebagai suatu ancaman, ditambah hubungan internasional PKI dengan
Partai Komunis sedunia, khususnya dengan adanya poros Jakarta-Beijing-Moskow-Pyongyang-Phnom Penh.
Soekarno juga mengetahui hal ini, namun ia memutuskan untuk mendiamkannya karena ia masih ingin meminjam
kekuatan PKI untuk konfrontasi yang sedang berlangsung, karena posisi Indonesia yang melemah di lingkungan
internasional sejak keluarnya Indonesia dari PBB (20 Januari 1965).

Dari sebuah dokumen rahasia badan intelejen Amerika Serikat (CIA) yang baru dibuka yang bertanggalkan 13
Januari 1965 menyebutkan sebuah percakapan santai Soekarno dengan para pemimpin sayap kanan bahwa ia masih
membutuhkan dukungan PKI untuk menghadapi Malaysia dan oleh karena itu ia tidak bisa menindak tegas mereka.
Namun ia juga menegaskan bahwa suatu waktu "giliran PKI akan tiba. "Soekarno berkata, "Kamu bisa menjadi
teman atau musuh saya. Itu terserah kamu. ... Untukku, Malaysia itu musuh nomor satu. Suatu saat saya akan
membereskan PKI, tetapi tidak sekarang."[2]

Dari pihak Angkatan Darat, perpecahan internal yang terjadi mulai mencuat ketika banyak tentara yang kebanyakan
dari Divisi Diponegoro yang kesal serta kecewa kepada sikap petinggi Angkatan Darat yang takut kepada Malaysia,
berperang hanya dengan setengah hati, dan berkhianat terhadap misi yang diberikan Soekarno. Mereka memutuskan
untuk berhubungan dengan orang-orang dari PKI untuk membersihkan tubuh Angkatan Darat dari para jenderal ini.

Faktor Amerika Serikat

Amerika Serikat pada waktu itu sedang terlibat dalam perang Vietnam dan berusaha sekuat tenaga agar Indonesia
tidak jatuh ke tangan komunisme. Peranan badan intelejen Amerika Serikat (CIA) pada peristiwa ini sebatas
memberikan 50 juta rupiah (uang saat itu) kepada Adam Malik dan walkie-talkie serta obat-obatan kepada tentara
Indonesia. Politisi Amerika pada bulan-bulan yang menentukan ini dihadapkan pada masalah yang membingungkan
karena mereka merasa ditarik oleh Sukarno ke dalam konfrontasi Indonesia-Malaysia ini.

Salah satu pandangan mengatakan bahwa peranan Amerika Serikat dalam hal ini tidak besar, hal ini dapat dilihat dari
telegram Duta Besar Green ke Washington pada tanggal 8 Agustus 1965 yang mengeluhkan bahwa usahanya untuk
melawan propaganda anti-Amerika di Indonesia tidak memberikan hasil bahkan tidak berguna sama sekali. Dalam
telegram kepada Presiden Johnson tanggal 6 Oktober, agen CIA menyatakan ketidakpercayaan kepada tindakan PKI
yang dirasa tidak masuk akal karena situasi politis Indonesia yang sangat menguntungkan mereka, dan hingga akhir
Oktober masih terjadi kebingungan atas pembantaian di Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Bali dilakukan oleh PKI atau
NU/PNI.

Pandangan lain, terutama dari kalangan korban dari insiden ini, menyebutkan bahwa Amerika menjadi aktor di balik
layar dan setelah dekrit Supersemar Amerika memberikan daftar nama-nama anggota PKI kepada militer untuk
dibunuh. Namun hingga saat ini kedua pandangan tersebut tidak memiliki banyak bukti-bukti fisik.

Faktor ekonomi

Ekonomi masyarakat Indonesia pada waktu itu yang sangat rendah mengakibatkan dukungan rakyat kepada
Soekarno (dan PKI) meluntur. Mereka tidak sepenuhnya menyetujui kebijakan "ganyang Malaysia" yang dianggap
akan semakin memperparah keadaan Indonesia.

Inflasi yang mencapai 650% membuat harga makanan melambung tinggi, rakyat kelaparan dan terpaksa harus antri
beras, minyak, gula, dan barang-barang kebutuhan pokok lainnya. Beberapa faktor yang berperan kenaikan harga ini
adalah keputusan Suharto-Nasution untuk menaikkan gaji para tentara 500% dan penganiayaan terhadap kaum
pedagang Tionghoa yang menyebabkan mereka kabur. Sebagai akibat dari inflasi tersebut, banyak rakyat Indonesia
yang sehari-hari hanya makan bonggol pisang, umbi-umbian, gaplek, serta bahan makanan yang tidak layak
dikonsumsi lainnya; pun mereka menggunakan kain dari karung sebagai pakaian mereka.

Faktor ekonomi ini menjadi salah satu sebab kemarahan rakyat atas pembunuhan keenam jenderal tersebut, yang
berakibat adanya backlash terhadap PKI dan pembantaian orang-orang yang dituduh anggota PKI di Jawa Tengah,
Jawa Timur, Bali serta tempat-tempat lainnya.

Peristiwa
Sumur Lubang Buaya

Pada 1 Oktober 1965 dini hari, enam jenderal senior dan beberapa orang lainnya dibunuh dalam upaya kudeta yang
disalahkan kepada para pengawal istana (Cakrabirawa) yang dianggap loyal kepada PKI dan pada saat itu dipimpin
oleh Letkol. Untung. Panglima Komando Strategi Angkatan Darat saat itu, Mayjen Soeharto kemudian mengadakan
penumpasan terhadap gerakan tersebut.

Isu Dewan Jenderal

Pada saat-saat yang genting sekitar bulan September 1965 muncul isu adanya Dewan Jenderal yang mengungkapkan
adanya beberapa petinggi Angkatan Darat yang tidak puas terhadap Soekarno dan berniat untuk menggulingkannya.
Menanggapi isu ini, Soekarno disebut-sebut memerintahkan pasukan Cakrabirawa untuk menangkap dan membawa
mereka untuk diadili oleh Soekarno. Namun yang tidak diduga-duga, dalam operasi penangkapan jenderal-jenderal
tersebut, terjadi tindakan beberapa oknum yang termakan emosi dan membunuh Letjen Ahmad Yani, Panjaitan, dan
Harjono.

Isu Dokumen Gilchrist

Doumen Gilchrist yang diambil dari nama duta besar Inggris untuk Indonesia Andrew Gilchrist beredar hampir
bersamaan waktunya dengan isu Dewan Jenderal. Dokumen ini, yang oleh beberapa pihak disebut sebagai
pemalsuan oleh intelejen Ceko di bawah pengawasan Jenderal Agayant dari KGB Rusia, menyebutkan adanya
"Teman Tentara Lokal Kita" yang mengesankan bahwa perwira-perwira Angkatan Darat telah dibeli oleh pihak
Barat[4]. Kedutaan Amerika Serikat juga dituduh memberikan daftar nama-nama anggota PKI kepada tentara untuk
"ditindaklanjuti". Dinas intelejen Amerika Serikat mendapat data-data tersebut dari berbagai sumber, salah satunya
seperti yang ditulis John Hughes, wartawan The Nation yang menulis buku "Indonesian Upheaval", yang dijadikan
basis skenario film "The Year of Living Dangerously", ia sering menukar data-data apa yang ia kumpulkan untuk
mendapatkan fasilitas teleks untuk mengirimkan berita.

Isu Keterlibatan Soeharto

Hingga saat ini tidak ada bukti keterlibatan/peran aktif Soeharto dalam aksi penculikan tersebut. Satu-satunya bukti
yang bisa dielaborasi adalah pertemuan Soeharto yang saat itu menjabat sebagai Pangkostrad (pada zaman itu
jabatan Panglima Komando Strategis Cadangan Angkatan Darat tidak membawahi pasukan, berbeda dengan
sekarang) dengan Kolonel Abdul Latief di Rumah Sakit Angkatan Darat.

Meski demikian, Suharto merupakan pihak yang paling diuntungkan dari peristiwa ini. Banyak penelitian ilmiah
yang sudah dipublikasikan di jurnal internasional mengungkap keterlibatan Suharto dan CIA. Beberapa diantaranya
adalah, Cornell Paper, karya Benedict R.O'G. Anderson and Ruth T. McVey (Cornell University), Ralph McGehee
(The Indonesian Massacres and the CIA), Government Printing Office of the US (Department of State, INR/IL
Historical Files, Indonesia, 1963-1965. Secret; Priority; Roger Channel; Special Handling), John Roosa (Pretext for
Mass Murder: The September 30th Movement and Suharto's Coup d'tat in Indonesia), Prof. Dr. W.F. Wertheim
(Serpihan Sejarah Th65 yang Terlupakan).

Korban

Keenam pejabat tinggi yang dibunuh tersebut adalah:

Letjen TNI Ahmad Yani (Menteri/Panglima Angkatan Darat/Kepala Staf Komando Operasi Tertinggi)

Mayjen TNI Raden Suprapto (Deputi II Menteri/Panglima AD bidang Administrasi)

Mayjen TNI Mas Tirtodarmo Haryono (Deputi III Menteri/Panglima AD bidang Perencanaan dan
Pembinaan)

Mayjen TNI Siswondo Parman (Asisten I Menteri/Panglima AD bidang Intelijen)

Brigjen TNI Donald Isaac Panjaitan (Asisten IV Menteri/Panglima AD bidang Logistik)

Brigjen TNI Sutoyo Siswomiharjo (Inspektur Kehakiman/Oditur Jenderal Angkatan Darat)


Jenderal TNI Abdul Harris Nasution yang menjadi sasaran utama, selamat dari upaya pembunuhan tersebut.
Sebaliknya, putrinya Ade Irma Suryani Nasution dan ajudan beliau, Lettu CZI Pierre Andreas Tendean tewas dalam
usaha pembunuhan tersebut.

Para korban tersebut kemudian dibuang ke suatu lokasi di Pondok Gede, Jakarta yang dikenal sebagai Lubang
Buaya. Mayat mereka ditemukan pada 3 Oktober.

Selain itu beberapa orang lainnya juga turut menjadi korban:

Bripka Karel Satsuit Tubun (Pengawal kediaman resmi Wakil Perdana Menteri II dr.J. Leimena)

Kolonel Katamso Darmokusumo (Komandan Korem 072/Pamungkas, Yogyakarta)

Letkol Sugiyono Mangunwiyoto (Kepala Staf Korem 072/Pamungkas, Yogyakarta)

Pasca kejadian

Pemakaman para pahlawan revolusi. Tampak Mayjen Soeharto di sebelah kanan

Literatur propaganda anti-PKI yang pasca kejadian G30S banyak beredar di masyarakat dan menuding PKI sebagai
dalang peristiwa percobaan "kudeta" tersebut.

Pasca pembunuhan beberapa perwira TNI AD, PKI mampu menguasai dua sarana komunikasi vital, yaitu studio RRI
di Jalan Merdeka Barat dan Kantor Telekomunikasi yang terletak di Jalan Merdeka Selatan. Melalui RRI, PKI
menyiarkan pengumuman tentang Gerakan 30 September yang ditujukan kepada para perwira tinggi anggota
Dewan Jenderal yang akan mengadakan kudeta terhadap pemerintah. Diumumkan pula terbentuknya Dewan
Revolusi yang diketuai oleh Letkol Untung Sutopo.

Di Jawa Tengah dan DI. Yogyakarta, PKI melakukan pembunuhan terhadap Kolonel Katamso (Komandan Korem
072/Yogyakarta) dan Letnan Kolonel Sugiyono (Kepala Staf Korem 072/Yogyakarta). Mereka diculik PKI pada sore
hari 1 Oktober 1965. Kedua perwira ini dibunuh karena secara tegas menolak berhubungan dengan Dewan Revolusi.
Pada tanggal 1 Oktober 1965 Sukarno dan sekretaris jendral PKI Aidit menanggapi pembentukan Dewan
Revolusioner oleh para "pemberontak" dengan berpindah ke Pangkalan Angkatan Udara Halim di Jakarta untuk
mencari perlindungan.

Pada tanggal 6 Oktober Sukarno mengimbau rakyat untuk menciptakan "persatuan nasional", yaitu persatuan antara
angkatan bersenjata dan para korbannya, dan penghentian kekerasan. Biro Politik dari Komite Sentral PKI segera
menganjurkan semua anggota dan organisasi-organisasi massa untuk mendukung "pemimpin revolusi Indonesia" dan
tidak melawan angkatan bersenjata. Pernyataan ini dicetak ulang di koran CPA bernama "Tribune".

Pada tanggal 12 Oktober 1965, pemimpin-pemimpin Uni-Soviet Brezhnev, Mikoyan dan Kosygin mengirim pesan
khusus untuk Sukarno: "Kita dan rekan-rekan kita bergembira untuk mendengar bahwa kesehatan anda telah
membaik...Kita mendengar dengan penuh minat tentang pidato anda di radio kepada seluruh rakyat Indonesia untuk
tetap tenang dan menghindari kekacauan...Imbauan ini akan dimengerti secara mendalam."

Pada tanggal 16 Oktober 1965, Sukarno melantik Mayjen Suharto menjadi Menteri/Panglima Angkatan Darat di
Istana Negara. Berikut kutipan amanat presiden Sukarno kepada Suharto pada saat Suharto disumpah[5]:

Saya perintahkan kepada Jenderal Mayor Soeharto, sekarang Angkatan Darat pimpinannya saya
berikan kepadamu, buatlah Angkatan Darat ini satu Angkatan dari pada Republik Indonesia,
Angkatan Bersenjata daripada Republik Indonesia yang sama sekali menjalankan Panca Azimat
Revolusi, yang sama sekali berdiri di atas Trisakti, yang sama sekali berdiri di atas Nasakom, yang
sama sekali berdiri di atas prinsip Berdikari, yang sama sekali berdiri atas prinsip Manipol-
USDEK.

Manipol-USDEK telah ditentukan oleh lembaga kita yang tertinggi sebagai haluan negara Republik
Indonesia. Dan oleh karena Manipol-USDEK ini adalah haluan daripada negara Republik
Indonesia, maka dia harus dijunjung tinggi, dijalankan, dipupuk oleh semua kita. Oleh Angkatan
Darat, Angkatan Laut, Angkatan Udara, Angkatan Kepolisian Negara. Hanya jikalau kita berdiri
benar-benar di atas Panca Azimat ini, kita semuanya, maka barulah revousi kita bisa jaya.

Soeharto, sebagai panglima Angkatan Darat, dan sebagai Menteri dalam kabinetku, saya
perintahkan engkau, kerjakan apa yang kuperintahkan kepadamu dengan sebaik-baiknya. Saya
doakan Tuhan selalu beserta kita dan beserta engkau!
Dalam sebuah Konferensi Tiga Benua di Havana di bulan Februari 1966, perwakilan Uni-Sovyet berusaha dengan
segala kemampuan mereka untuk menghindari pengutukan atas penangkapan dan pembunuhan orang-orang yang
dituduh sebagai PKI, yang sedang terjadi terhadap rakyat Indonesia. Pendirian mereka mendapatkan pujian dari
rejim Suharto. Parlemen Indonesia mengesahkan resolusi pada tanggal 11 Februari, menyatakan "penghargaan
penuh" atas usaha-usaha perwakilan-perwakilan dari Nepal, Mongolia, Uni-Sovyet dan negara-negara lain di
Konperensi Solidaritas Negara-Negara Afrika, Asia dan Amerika Latin, yang berhasil menetralisir usaha-usaha para
kontra-revolusioner apa yang dinamakan pergerakan 30 September, dan para pemimpin dan pelindung mereka, untuk
bercampur-tangan di dalam urusan dalam negeri Indonesia."

Penangkapan dan pembantaian

Pembantaian di Indonesia 19651966

Penangkapan Simpatisan PKI

Dalam bulan-bulan setelah peristiwa ini, semua anggota dan pendukung PKI, atau mereka yang dianggap sebagai
anggota dan simpatisan PKI, semua partai kelas buruh yang diketahui dan ratusan ribu pekerja dan petani Indonesia
yang lain dibunuh atau dimasukkan ke kamp-kamp tahanan untuk disiksa dan diinterogasi. Pembunuhan-
pembunuhan ini terjadi di Jawa Tengah (bulan Oktober), Jawa Timur (bulan November) dan Bali (bulan Desember).
Berapa jumlah orang yang dibantai tidak diketahui dengan persis - perkiraan yang konservatif menyebutkan 500.000
orang, sementara perkiraan lain menyebut dua sampai tiga juta orang. Namun diduga setidak-tidaknya satu juta
orang menjadi korban dalam bencana enam bulan yang mengikuti kudeta itu.

Dihasut dan dibantu oleh tentara, kelompok-kelompok pemuda dari organisasi-organisasi muslim sayap-kanan
seperti barisan Ansor NU dan Tameng Marhaenis PNI melakukan pembunuhan-pembunuhan massal, terutama di
Jawa Tengah dan Jawa Timur. Ada laporan-laporan bahwa Sungai Brantas di dekat Surabaya menjadi penuh mayat-
mayat sampai di tempat-tempat tertentu sungai itu "terbendung mayat".
Pada akhir 1965, antara 500.000 dan satu juta anggota-anggota dan pendukung-pendukung PKI telah menjadi korban
pembunuhan dan ratusan ribu lainnya dipenjarakan di kamp-kamp konsentrasi, tanpa adanya perlawanan sama
sekali. Sewaktu regu-regu militer yang didukung dana CIA [1] menangkapi semua anggota dan pendukung PKI yang
terketahui dan melakukan pembantaian keji terhadap mereka, majalah "Time" memberitakan:

"Pembunuhan-pembunuhan itu dilakukan dalam skala yang sedemikian sehingga pembuangan mayat
menyebabkan persoalan sanitasi yang serius di Sumatera Utara, di mana udara yang lembap membawa bau
mayat membusuk. Orang-orang dari daerah-daerah ini bercerita kepada kita tentang sungai-sungai kecil
yang benar-benar terbendung oleh mayat-mayat. Transportasi sungai menjadi terhambat secara serius."

Di pulau Bali, yang sebelum itu dianggap sebagai kubu PKI, paling sedikit 35.000 orang menjadi korban di
permulaan 1966. Di sana para Tamin, pasukan komando elite Partai Nasional Indonesia, adalah pelaku pembunuhan-
pembunuhan ini. Koresponden khusus dari Frankfurter Allgemeine Zeitung bercerita tentang mayat-mayat di pinggir
jalan atau dibuang ke dalam galian-galian dan tentang desa-desa yang separuh dibakar di mana para petani tidak
berani meninggalkan kerangka-kerangka rumah mereka yang sudah hangus.

Di daerah-daerah lain, para terdakwa dipaksa untuk membunuh teman-teman mereka untuk membuktikan kesetiaan
mereka. Di kota-kota besar pemburuan-pemburuan rasialis "anti-Tionghoa" terjadi. Pekerja-pekerja dan pegawai-
pegawai pemerintah yang mengadakan aksi mogok sebagai protes atas kejadian-kejadian kontra-revolusioner ini
dipecat.

Paling sedikit 250,000 orang pekerja dan petani dipenjarakan di kamp-kamp konsentrasi. Diperkirakan sekitar
110,000 orang masih dipenjarakan sebagai tahanan politik pada akhir 1969. Eksekusi-eksekusi masih dilakukan
sampai sekarang, termasuk belasan orang sejak tahun 1980-an. Empat tapol, Johannes Surono Hadiwiyino, Safar
Suryanto, Simon Petrus Sulaeman dan Nobertus Rohayan, dihukum mati hampir 25 tahun sejak kudeta itu.

Supersemar

Lima bulan setelah itu, pada tanggal 11 Maret 1966, Sukarno memberi Suharto kekuasaan tak terbatas melalui Surat
Perintah Sebelas Maret. Ia memerintah Suharto untuk mengambil "langkah-langkah yang sesuai" untuk
mengembalikan ketenangan dan untuk melindungi keamanan pribadi dan wibawanya. Kekuatan tak terbatas ini
pertama kali digunakan oleh Suharto untuk melarang PKI. Sebagai penghargaan atas jasa-jasanya, Sukarno
dipertahankan sebagai presiden tituler diktatur militer itu sampai Maret 1967.

Kepemimpinan PKI terus mengimbau massa agar menuruti kewenangan rejim Sukarno-Suharto. Aidit, yang telah
melarikan diri, ditangkap dan dibunuh oleh TNI pada tanggal 24 November, tetapi pekerjaannya diteruskan oleh
Sekretaris Kedua PKI Nyoto.

Pertemuan Jenewa, Swiss

Menyusul peralihan tampuk kekuasaan ke tangan Suharto, diselenggarakan pertemuan antara para ekonom orde baru
dengan para CEO korporasi multinasional di Swiss, pada bulan Nopember 1967. Korporasi multinasional
diantaranya diwakili perusahaan-perusahaan minyak dan bank, General Motors, Imperial Chemical Industries,
British Leyland, British American Tobacco, American Express, Siemens, Goodyear, The International Paper
Corporation, US Steel, ICI, Leman Brothers, Asian Development Bank, dan Chase Manhattan. Tim Ekonomi
Indonesia menawarkan: tenaga buruh yang banyak dan murah, cadangan dan sumber daya alam yang melimpah, dan
pasar yang besar.

Hal ini didokumentasikan oleh Jhon Pilger dalam film The New Rulers of World (tersedia di situs video google)
yang menggambarkan bagaimana kekayaan alam Indonesia dibagi-bagi bagaikan rampasan perang oleh perusahaan
asing pasca jatuhnya Soekarno. Freeport mendapat emas di Papua Barat, Caltex mendapatkan ladang minyak di
Riau, Mobil Oil mendapatkan ladang gas di Natuna, perusahaan lain mendapat hutan tropis. Kebijakan ekonomi pro
liberal sejak saat itu diterapkan.

Peringatan
Monumen Pancasila Sakti, Lubang Buaya

Sesudah kejadian tersebut, 30 September diperingati sebagai Hari Peringatan Gerakan 30 September (G-30-S/PKI).
Hari berikutnya, 1 Oktober, ditetapkan sebagai Hari Kesaktian Pancasila. Pada masa pemerintahan Soeharto,
biasanya sebuah film mengenai kejadian tersebut juga ditayangkan di seluruh stasiun televisi di Indonesia setiap
tahun pada tanggal 30 September. Selain itu pada masa Soeharto biasanya dilakukan upacara bendera di Monumen
Pancasila Sakti di Lubang Buaya dan dilanjutkan dengan tabur bunga di makam para pahlawan revolusi di TMP
Kalibata. Namun sejak era Reformasi bergulir, film itu sudah tidak ditayangkan lagi dan hanya tradisi tabur bunga
yang dilanjutkan.

Pada 29 September - 4 Oktober 2006, para eks pendukung PKI mengadakan rangkaian acara peringatan untuk
mengenang peristiwa pembunuhan terhadap ratusan ribu hingga jutaan jiwa di berbagai pelosok Indonesia. Acara
yang bertajuk "Pekan Seni Budaya dalam rangka memperingati 40 tahun tragedi kemanusiaan 1965" ini berlangsung
di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia, Depok. Selain civitas academica Universitas Indonesia, acara itu
juga dihadiri para korban tragedi kemanusiaan 1965, antara lain Setiadi, Murad Aidit, Haryo Sasongko, dan
Putmainah.

A. Kronologi Pengangkatan Jenazah Dari Dalam Sumur

Suarto, sebagai komandan Abri saat memimpin pasukan untuk memerangi G-30/S-PKI. Mengangkat jenazah tujuh
pahlawan revolusi di Lubang Buaya bukan perkara gampang. Kondisi sumur yang dalam dan mayat yang mulai
membusuk, membuat evakuasi sulit dilakukan.Tapi para prajurit Kompi Intai Amfibi Korps Komando Angkatan Laut
(KIPAM KKO-AL), tak mau menyerah.Sebenarnya jenazah sudah ditemukan sejak sehari sebelumnya, yaitu pada
tanggal 3 Oktober 1965, atas bantuan polisi Sukitman dan masyarakat sekitar.

Peleton I RPKAD yang dipimpin Letnan Sintong Panjaitan segera melakukan penggalian.Tapi mereka tak mampu
mengangkat jenazah karena bau yang menyengat.Jenderal Soeharto pun memerintahkan kepada pasukan evakuasi
bahwa penggalian dihentikan pada malam hari.

Pasukan KKO bersiap masuk ke sumur dengan menggunakan peralatan selam dan masker.Maka penggalian pun
ditunda dan penggalian akan kembali dilanjutkan keesokan harinya.Dalam buku Sintong Panjaitan, perjalanan
seorang prajurit para komando yang ditulis wartawan senior Hendro Subroto, dilukiskan peristiwa seputar
pengangkatan jenazah.Kala itu Sintong berdiskusi dengan Kopral Anang, anggota RPKAD yang dilatih oleh Pasukan
Katak TNI AL.

Anang mengatakan peralatan selam milik RPKAD ada di Cilacap, hanya KKO yang punya peralatan selam di
Jakarta.Maka singkat cerita, KKO meminjamkan peralatan selam tersebut untuk operasi pengangkatan jenazah dari
dalam lubang sumur di daerah lubang Buaya tersebut.

Tanggal 4 Oktober, Tim KKO dipimpin oleh Komandan KIPAM KKO-AL Kapten Winanto melakukan evakuasi
jenazah pahlawan revolusi. Satu persatu pasukan KKO turun ke dalam lubang yang sempit itu.
Pukul 12.05 WIB, anggota RPKAD Kopral Anang turun lebih dulu ke Lubang Buaya. Dia mengenakan masker dan
tabung oksigen. Anang mengikatkan tali pada salah satu jenazah. Setelah ditarik, yang pertama adalah jenazah Lettu
Pierre Tendean, ajudan Jenderal Nasution.

Pukul 12.15 WIB, Serma KKO Suparimin turun, dia memasang tali pada salah satu jenazah, tapi rupanya jenazah
itu tertindih jenazah lain sehingga tak bisa ditarik.

Pukul 12.30 WIB, giliran Prako KKO Subekti yang turun. Dua jenazah berhasil ditarik, Mayjen S Parman dan
Mayjen Suprapto.

Pukul 12.55 WIB, Kopral KKO Hartono memasang tali untuk mengangkat jenazah Mayjen MT Haryono dan
Brigjen Sutoyo.

Pukul 13.30 WIB, Serma KKO Suparimin turun untuk kedua kalinya. Dia berhasil mengangkat jenazah Letjen
Ahmad Yani. Dengan demikian, sudah enam jenazah pahlawan revolusi yang ditemukan.

Sebagai langkah terakhir, harus ada seorang lagi yang turun ke sumur untuk mengecek apakah sumur sudah benar-
benar kosong.Tapi semua penyelam KKO dan RPKAD sudah tak ada lagi yang mampu masuk lagi. Mereka semua
kelelahan.Bahkan ada yang keracunan bau busuk hingga terus muntah-muntah.Maka Kapten Winanto sebagai
komandan terpanggil melakukan pekerjaan terakhir itu. Dia turun dengan membawa alat penerangan.

Ternyata benar, di dalam sumur masih ada satu jenazah lagi. Jenazah itu adalah Brigjen D.I. Panjaitan.Dengan
demikian lengkaplah sudah jenazah enam jenderal dan satu perwira pertama TNI AD yang dinyatakan telah hilang
diculik Gerakan PKI pada tanggal 30 September 1965.

Kapten KKO Winanto sendiri terus melanjutkan karirnya di TNI AL. Lulusan Akademi Angkatan laut tahun 1959 ini
pernah menjabat Komandan Resimen Latihan Korps Marinir, Komandan Brigade Infanteri 2/Marinir sebelum
pensiun sebagai Gubernur AAL.

Ia sudah meninggal pada Minggu, 2 September 2012 pukul 22.15 WIB dalam usia 77 tahun di kediamannya Jl
Pramuka no 7, Kompleks TNI AL, Jakarta Pusat. Jenazahnya dimakamkan dengan upacara militer di San Diego
Hills, Karawang, Jawa Barat.

B. Kronologi Visum et Epertum Dokter Forensik

4 Oktober 1965. Pukul 4.30 sore saat itu. Lima dokter yang diperintahkan Pangkostrad dan Pangkopkamtib Mayor
Jenderal Soeharto memulai tugas mereka.
Jenazah enam Jenderal dan satu perwira menengah korban penculikan dan pembunuhnan yang dilakukan kelompok
Letkol Untung pada dinihari 1 Oktober mereka periksa satu persatu. Ketujuh korban itu adalah:

1. Ahmad Yani, Letnan Jenderal (Menteri Panglima Angkatan Darat).

2. R. Soeprapto, Mayor Jenderal. (Deputi II Menpangad).

3. MT. Harjono, Mayor Jenderal. (Deputi III Menpangad).

4. S. Parman, Mayor Jenderal. (Asisten I Menpangad).

5. D. Isac Panjaitan, Brigardir Jenderal. (Deputi IV Menpangad).

6. Soetojo Siswomihardjo, Brigardir Jenderal. (Oditur Jenderal/ Inspektur Kehakiman AD).

7. Pierre Andreas Tendean, Letnan Satu. (Ajudan Menko Hankam/ KASAB Jenderal AH Nasution).

Jenazah enam jenderal dan satu perwira muda Angkatan Darat ini ditemukan di sebuah sumur tua di desa Lubang
Buaya, Pondokgede, Jakarta Timur. Dari lima anggota tim dokter yang mengautopsi ketujuh mayat itu dua di
antaranya adalah dokter Angkatan Darat, yakni:

1. dr. Brigardir Jenderal Roebiono Kertopati (perwira tinggi yang diperbantukan di RSP Angkatan Darat)

2. dr. Kolonel Frans Pattiasina (perwira kesehatan RSP Angkatan Darat)

Sementara tiga lainnya adalah dokter Kehakiman, masing-masing:

3. Prof. dr. Sutomo Tjokronegoro (ahli Ilmu Urai Sakit Dalam dan ahli Kedokteran Kehakiman, juga profesor di
FK UI)

4. dr. Liauw Yan Siang (lektor dalam Ilmu Kedokteran Kehakiman FK UI)

5. dr. Liem Joe Thay (atau dikenal sebagai dr. Arief Budianto, lektor Ilmu Kedokteran Kehakiman Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia (FK-UI), anda dapat membaca kisahnya di akhir halaman ini)

Akhirnya lewat tengah malam, pukul 12.30 atau dinihari pada tanggal 5 Oktober 1965, dr. Roebiono dkk
menyelesaikan tugas mereka. Beberapa jam kemudian, saat matahari sudah cukup tinggi, ketujuh jenazah korban
penculikan dan pembunuhan yang kemudian disebut sebagai Pahlawan Revolusi ini, dimakamkan di TMP Kalibata.

Tampak salah satu peti jenazah Pahlawan Revolusi sedang diangkat untuk dimakamkan di Taman Makam Pahlawan
Kalibata, Jakarta.

C. Hasil Visum et Repertum Jenazah Tiap Korban

Ketika diperiksa ketujuh mayat telah dalam keadaan membusuk dan diperkirakan tewas empat hari sebelumnya.
Dapat dipastikan ketujuh perwira tinggi dan pertama Angkatan Darat ini tewas mengenaskan dengan tubuh dihujani
peluru dan tusukan.
1. Ahmad Yani (Menteri Panglima Angkatan Darat).

Jenazah Letjen Ahmad Yani diidentifikasi oleh Ajudan Menpangad Mayor CPM Soedarto dan dokter pribadinya,
Kolonel CDM Abdullah Hassan, dengan penanda utama parut pada punggung tangan kiri dan pakaian yang
dikenakannya serta kelebihan gigi berbentuk kerucut pada garis pertengahan rahang atas diantara gigi-gigi seri
pertama.

Tim dokter menemukan delapan luka tembakan dari arah depan dan dua tembakan dari arah belakang. Sementara di
bagian perut terdapat dua buah luka tembak yang tembus dan sebuah luka tembak yang tembus di bagian punggung.

a. Info dari Indo Leaks

Sebelumnya, dokumen visum et repertum Ahmad Yani yang dirilis Indoleaks juga hanya menyebutkan luka
tembak.Visum et Repertum Jenderal Ahmad Yani (Klik untuk memperbesar). (sumber: blogs.swa-
jkt.com/swa/10693/2013/01/29/30-september-1965)

Padahal Orde Baru mencatat kalau PKI telah mencungkil mata Pahlawan Revolusi itu.

2. R. Soeprapto (Deputi II Menpangad)

Jenazah Mayjen R. Soeprapto diidentifikasi oleh dokter gigi RSPAD Kho Oe Thian dari susunan gigi geligi sang
jenderal.

Pada jenazah R. Soeprapto ditemukan:

(a) tiga luka tembak masuk di bagian depan,


(b) delapan luka tembak masuk di bagian belakang,
(c) tiga luka tembak keluar di bagian depan,
(d) dua luka tembak keluar di bagian belakang,
(e) tiga luka tusuk,
(f) luka-luka dan patah tulang karena kekerasaan tumpul di bagian kepala dan muka,
(g) satu luka karena kekesaran tumpul di betis kanan, dan
(h) luka-luka dan patah tulang karena kekerasan tumpul yang berat sekali di daerah panggul dan bagian atas paha
kanan.

a. Indoleaks: Ternyata Saat Wafat, Organ Tubuh Letnan Jenderal Soeprapto Masih Utuh!

Letjen Suprapto adalah pahlawan revolusi yang menjadi korban pembunuhan G30 S PKI pimpinan DN Aidit dan
Kolonel Untung. Beliau lahir di Purwokerto 20 Juni 1920 dan wafat di Lubang Buaya 1 Oktober 1965.
Letnan Jenderal TNI Anumerta R. Suprapto (lahir di Purwokerto, Jawa Tengah, 20 Juni 1920 meninggal di
Lubangbuaya, Jakarta, 1 Oktober 1965 pada umur 45 tahun) adalah seorang pahlawan nasional Indonesia. Ia
merupakan salah satu korban dalam G30SPKI dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta.

Pendidikan umum yang berhasil ia tamatkan adalah MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs) yakni pendidikan
setingkat SMP dan AMS (Algemne Middelberge School) yaitu pendidikan setingkat SMA.

Suprapto pernah mengikuti pendidikan militer Koninklijke Militaire Akademie di Bandung namun tidak tamat karena
pendudukan Jepang.

Pada pemberontakan yang dilancarkan oleh PKI pada tanggal 30 September 1965, dirinya menjadi salah satu target
yang akan diculik dan dibunuh.

Hingga meredupnya peristiwa tersebut, tak ada lagi yang membahasnya karena kini telah sibuk oleh brainwashed
dunia lainnya dan mulai menganggap bahwa sejarah sudah lewat dan bukanlah apa-apa lagi. Padahal melalui sejarah,
kita dapat belajar, karena sejarah adalah fakta, dan fakta adalah sejarah. Sejarah adalah track record.

b. Dokumen Visum et Repertum Letjen Suprapto

Kisah sadis menyertai peristiwa G30S PKI dalam sejarah yang dicatat Orde Baru. Letjen Anumerta R Soeprapto
misalnya, disebut disilet-silet dan dipotong alat kelaminnya. Namun sebuah dokumen visum et repertum yang dirilis
situs whistle blower Indoleaks, menunjukkan hal yang berbeda.

Dari situs resminya yang dikeluarkan sejak beberapa tahun lalu, Senin (13/12/2010), ada lagi sebuah dokumen visum
et repertum yang dibuat oleh 4 dokter RSPAD yaitu dr Roebino Kertopati, dr Frans Pattiasina, dr Sutomo
Tjokronegoro, dr Liaw Yan Siang, dr Lim Joe Thay, pada 5 Oktober 1965. Bagian nama, tempat tanggal lahir,
pangkat, jabatan dan alamat sengaja dihitamkan.

Tampak dokumen Visum et repertum oleh dokter dituliskan pro justitia. Bahwa sumpah pro justitia tidak boleh
bohong, tidak boleh menambah, tidak boleh mengurangi. Apa kenyataan itu, harus dimasukkan dalam visum et
repertum itu harus jadi pegangan, sebab ini satu kenyataan, bukan khayalan.

Namun dari deskripsi luka, diduga kuat bahwa dokumen itu adalah dokumen visum et repertum Letjen TNI
Anumerta R Soeprapto. Data pembandingnya adalah keterangan visum Letjen R Soeprapto yang pernah disebutkan
dalam makalah pakar politik Indonesia dari Cornell University, AS, Ben Anderson, pada jurnal Indonesia edisi
April 1987.

Ada kain sarung dan kemeja yang melekat pada korban. Ada beberapa persamaan dan banyak juga perbedaan antara
luka Letjen Soeprapto versi Orde Baru dan dokumen visum yang asli. Berbeda dengan Ahmad Yani, Soeprapto
masih hidup saat diculik dari rumahnya. Dia baru gugur di Lubang Buaya.

Dalam versi Orde Baru dan juga dilansir Harian Berita Yudha 9 Oktober 1965, wajah dan tulang kepala Soeprapto
remuk namun masih dapat diidentifikasi. Hasil visum juga menunjukkan kalau ada luka dan pukulan benda tumpul
yang menyebabkan patah tulang di bagian kepala dan muka.
Lubang sumur tua sedalam 12 meter yang digunakan untuk membuang jenazah para korban G30S/PKI. Sumur tua
itu berdiameter 75 Cm.

Nah, justru perbedaannya yang mencolok. Versi TNI menyebutkan ada pengakuan anggota Gerwani, bahwa mereka
menyilet-nyilet korban, bahkan memotong alat kelamin korban. Namun, rupanya dalam dokumen yang diungkap
Indoleaks, hal itu tidak terbukti.

Laporan visum untuk Soeprapto, selain patah/retak tulang tengkorak di enam titik, adalah patah tulang di betis kanan
dan paha kanan.

Luka benda tumpul diduga batu atau popor senapan. Soeprapto memang mengalami 3 luka tusuk, namun dari
bayonet dan bukan silet. Soeprapto juga gugur akibat 11 luka tembak di berbagai bagian tubuh. Selain itu tidak ada
luka lagi. Tidak ada bukti penyiletan apalagi mutilasi alat kelamin.

Pembunuhan Letjen Soeprapto tentu saja tragis, namun tidak sesadis yang dijabarkan dalam catatan sejarah versi
Orde Baru.

Ia juga salah satu perwira TNI yang menolak pembentukan angkatan kelima yang diusulkan PKI sehingga menjadi
target pembunuhan PKI bersama Ahmad Yani, MT Haryono, DI Pandjaitan,Sutoyo Siswo Miharjo dan S.Parman.
Monumen Pancasila Sakti, yang berada di daerah Lubang Buaya, Cipayung, Jakarta Timur ini, berisikan bermacam-
macam hal dari masa pemberontakan G30S PKI, seperti pakaian asli para Pahlawan Revolusi.

d. Perbandingan Informasi

Mari kita coba kembali flashback dari info diatas mengenai janazah Soeprapto, menurut info dari ABRI dan Indo
Leaks.

i. Versi Orba dan TNI:

- Wajah dan tulang kepala Soeprapto remuk namun masih dapat diidentifikasi.
- Luka dan pukulan benda tumpul yang menyebabkan patah tulang di bagian kepala dan muka.
- Menurut versi TNI menyebutkan ada pengakuan anggota Gerwani, bahwa mereka menyilet-nyilet korban, bahkan
memotong alat kelamin korban.

ii. Versi Indoleaks:

- Ada kain sarung dan kemeja yang masih melekat pada korban.
- Jenderal Soeprapto masih hidup saat diculik dari rumahnya.
- Dalam dokumen yang diungkap Indoleaks, Jendral ini tak disilet-silet, dan alat kelamin korban tak dipotong.
- Terdapat patah/retak tulang tengkorak di enam titik, adalah patah tulang di betis kanan dan paha kanan. Luka benda
tumpul diduga batu atau popor senapan.
- Soeprapto memang mengalami 3 luka tusuk, namun dari bayonet dan bukan silet.
- Soeprapto juga gugur akibat 11 luka tembak di berbagai bagian tubuh. Selain itu tidak ada luka lagi. Tidak ada
bukti penyiletan apalagi mutilasi alat kelamin.

3. MT. Harjono (Deputi III Menpangad)


Di bagian perut Mayjen MT. Harjono ditemukan sebuah luka tusuk benda tajam yang menembus sampai ke rongga
perut. Luka tusuk benda tajam juga ditemukan di punggung, namun tidak menembus rongga dada. Dan di tangan kiri
dan pergelangan tangan kanan terdapat luka karena kekerasan tumpul yang berat.

Jenazah Mayjen MT. Harjono diidentifikasi oleh saudara kandungnya, MT. Moeljono, pegawai Perusahaan Negara
Gaya Motor. Salah satu tanda pengenal jenazah ini adalah cincin kawin bertuliskan Mariatna, nama sang istri.

Cincin kawin, bertuliskan SPM juga menjadi salah satu penanda jenazah Mayjen S. Parman, selain kartu tanda
anggota AD dan surat izin mengemudi serta foto di dalam dompetnya.

4. S. Parman (Asisten I Menpangad)

Jenazah S. Parman diidentifikasi oleh dr. Kolenel CDM Abdullah Hasan.

Pada mayat S. Parman ditemukan:

(a) tiga luka tembak masuk di kepala bagian depan,


(b) satu luka tembak masuk di paha bagian depan,
(c) satu luka tembak masuk di pantat sebelah kiri,
(d) dua luka tembak keluar di kepala,
(e) satu luka tembak keluar di paha kanan bagian belakang, dan
(f) luka-luka dan patah tulang karena kekerasan tumpul yang berat di kepala, rahang dan tungkai bawah kiri.

5. D. Isac Panjaitan (Deputi IV Menpangad)

Mayat Brigjen DI. Panjaitan diidentifikasi oleh adiknya, Copar Panjaitan dan Samuel
Panjaitan, dan dikenali dari pakaian dinas yang dikenakannya serta cincin mas di tangan kiri yang bertuliskan DI.
Panjaitan.

Tim dokter menemukan luka tembak masuk di bagian depan kepala, juga sebuah luka tembak masuk di bagian
belakang kepala. Sementara itu di bagian kiri kepala terdapat dua luka tembak keluar. Terakhir, di punggung tangan
kiri terdapat luka iris.

6. Soetojo Siswomihardjo (Oditur Jenderal/ Inspektur Kehakiman AD).


Mayat berikutnya adalah Brigjen Soetojo Siswomihardjo yang diidentifikasi oleh adiknya, dokter hewan Soetopo.
Jenazah Brigjen Soetojo dikenali dari kaki kanannya yang tidak ber-ibujari, pakaian yang dikenakannya, arloji merek
Omega dan dua cincin emas masing-masing bertuliskan SR dan SS.

Pada mayat Brigjen Soetojo ditemukan:

(a) dua luka tembak masuk di tungkai bawah kanan bagian depan,
(b) sebuah luka tembak masuk di kepala sebelah kanan yang menuju ke depan,
(c) sebuah luka tembak keluar di betis kanan sebagian tengah,
(d) sebuah luka tembak keluar di kepala sebelah depan, dan
(e) tangan kanan dan tengkorak retak karena kekerasan tumpul yang keras atau yang berat.

7. Pierre Andreas Tendean (Ajudan Menko Hankam/ KASAB Jenderal AH Nasution)

Selanjutnya adalah mayat Lettu P. Tendean yang dikenali perwira kesehatan Dirkes AD CDM Amoro Gondoutomo
yang menjadi dokter pribadi Menko Hankam/KASAB.

Mayat P. Tendean dikenali dari pakaian yang dikenakannya, gigi geligi dan sebuah cincin logam dengan batu cincin
berwarna biru.

Pada mayat P. Tendean tim dokter menemukan:

(a) empat luka tembak masuk di bagian belakang,


(b) dua luka tembak keluar bagian depan,
(c) luka-luka lecet di dahi dan tangan kiri, dan
(d) tiga luka ternganga karena kekerasan tumpul di bagian kepala.

D. Format Dokumen Visum et Repertum 7 Jenazah Korban

Dokumen visum et repertum ketujuh korban yang saya peroleh dituliskan dalam format yang sama. Di pojok kanan
atas halaman depan terdapat tulisan Departmen Angkatan Darat, Direktortat Kesehatan, Rumah Sakit Pusat, Pro
Justicia.

Sementara di pojok kiri halaman depan tertulis Salinan dari salinan.


Bagian kepala laporan bertuliskan Visum et Repertum diikuti nomor laporan pada baris bawah yang dimulai dari
H.103 (Letjen Ahmad Yani) hingga H.109 (Lettu P. Tendean).

Bagian awal laporan adalah mengenai dasar hukum tim dokter tersebut. Pada bagian ini tertulis rangkaian kalimat
sebagai berikut:

Atas perintah Panglima Kostrad selau Panglima Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban kepada Kepala
Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat di Jakarta, dengan surat perintah tanggal empat Oktober tahun seribu sembilan
ratus enam puluh lima, nomor PRIN-03/10/1965 yang ditandatangani oleh Mayor Jenderal TNI Soeharto, yang oleh
Kepala Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat diteruskan kepada kami yang bertandatangan di bawah ini.

Diikuti nama dan jabatan kelima dokter anggota tim. Setelah itu adalah bagian yang menjelaskan kapan dan dimana
visum et repertum dilakukan. Pada bagian ini tertulis kalimat:

maka kami, pada tanggal empat Oktober tahun seribu sembilan ratus enam pulu limam mulai jam setengah lima
sore sampai tanggal lima Oktober tahun seribu sembilan ratus enam puluh lima jam setengah satu pagi, di Kamar
Seksi Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat, Jakarta, telah melakukan pemeriksaan luar atas jenazah yang menurut
surat perintah tersebut di atas adalah jenazah dari pada.

Bagian ini diikuti oleh bagian berikutnya yang menjelaskan jati diri jenazah dimulai dari nama, umur/tanggal lahir,
jenis kelamin, bangsa, agama, pangkat, dan terakhir jabatan.

Selanjutnya ada sebuah paragraph yang menjelaskan kondisi terakhir jenazah sebelum ditemukan dan diperiksa.
Pada bagian ini tertulis:

Korban tembakan dan/atau penganiayaan pada tanggal satu Oktober tahun seribu sembilan ratus enam pulu lima
pada peristiwa apa yang dinamakan Gerakan 30 September.

Bagian ini dikuti oleh penjelasan identifikasi; siapa yang mengidentifikasi dan apa-apa saja tanda utama yang
dijadikan patokan dalam identifikasi itu.

Setelah bagian indentifikasi, barulah tim dokter memaparkan temuan mereka dari hasil pemeriksaan luar yang
dilakukan terhadap jenazah sebelum mengkahirinya dengan kesimpulan.

Keterangan gambar atas: Diorama penyiksaan para Jenderal dan Pahlawan Revolusi di Lubang Buaya, Jakarta
(klik untuk memperbesar, sumber gambar: insulinda.wordpress.com)

Bagian penutup diawali dengan tulisan Dibuat dengan sesungguhnya mengingat sumpah jabatan pada bagian
kanan. Diikuti nama dan tanda tangan serta cap kelima dokter anggota tim.

Bagian paling akhir dari dokumen-dokumen yang saya peroleh ini mengenai autentifikasi dokumen. Karena
dokumen ini merupakan salinan dari salinan maka ada dua penanda autentifikasi dokumen ini.

Bagian pertama bertuliskan Disalin sesuai aslinya dan ditandatangani oleh Yang menyalin yakni Kapten CKU
Hamzil Rusli Bc. Hk. (Nrp. 303840) selaku panitera.

Bagian kedua autentifikasi bertuliskan Disalin sesuai dengan salinan dan ditandatangani oleh Panitera dalam
Perkara Ex LKU Letnan Udara Satu Soedarjo Bc. Hk. (Nrp. 473726). Namun tidak ditemukan petunjuk waktu
kapan dokumen ini disalin dan disalin ulang.

E. Kisah dr. Arif yang Ikut Mengotopsi Mayat Tujuh Pahlawan Revolusi 1965 (oleh T. Santosa)
Di atas kursi roda, mengenakan kaos oblong putih dan sarung biru bergaris-garis, Lim Joe Thay duduk terdiam.
Bibirnya mengatup, sering kedua telapak tangannya ditangkupkan di depan dada dan sekali-sekali diletakkan di atas
paha. Rambutnya telah memutih sempurna. Dia tak banyak bicara. Kalau pun bersuara, kata-katanya terdengar sayup
dan samar.

dr. Liem Joey Thay alias Arief Budianto sedang duduk di kursi roda.

Bulan Juni 2008 yang lalu, dr. Arif sempat dirawat di RS St. Carolus. Ketika menerima kabar itu dari salah seorang
kerabat dr. Arif, saya dan Dandhy menyempatkan diri menjenguknya.

Di RS. St. Carolus kami sama-sama mengabadikan dr. Arif. Bedanya, Dandhy menggunakan video kamera merek
Panasonic, sementara saya menggunakan kamera saku digital merek Canon.

Tadinya, informasi yang kami terima menyebutkan bahwa dr. Arif terkena serangan struk. Setelah kami bertemu
dengan beliau di paviliun St. Carolus, dan berbicara dengan istrinya, Ny. Arif, barulah kami ketahui bahwa dr. Arif
dirawat karena terjatuh saat hendak naik ke kursi rodanya.

Sekali waktu laki-laki yang kini berusia 83 tahun itu bergumam. Mumbling. Saya mencoba menangkap isi ceritanya.
Tidak jelas. Terpotong-potong, patah-patah. Kalau disambungkan seperti cerita tentang sepasukan tentara yang
bergerak di sebuah tempat, entah di mana. Tapi cerita itu tak tuntas. Dia menutup sendiri ceritanya, mengalihkan
pandangan mata ke sembarang arah, sebelum kembali menenggelamkan diri dalam diam.

Di saat yang lain, dia kembali menanyakan nama saya. Dan kalau sudah begini, saya memegang tangannya,
menyebutkan nama saya sambil menatap matanya. Setelah itu senyumnya sedikit mengembang.

Dikenal dengan nama dr. Arief Budianto, tak banyak yang menyadari Lim Joey Thay adalah tokoh penting. Sangat
penting, bahkan.
Dia adalah satu dari segelintir orang yang berada di titik paling menentukan dalam sejarah negara ini setelah
Proklamasi 1945.

Lim Joey Thay yang ketika itu adalah lektor Ilmu Kedokteran Kehakiman Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia (FK-UI) merupakan satu dari lima ahli forensik (lihat daftar dokter diatas halaman) yang berdasarkan
perintah Soeharto memeriksa kondisi ketujuh mayat tersebut sebelum dimakamkan di Taman Makam Pahlawan
Kalibata, siang hari 5 Oktober.

Kini dari lima anggota tim otopsi itu, tinggal Lim Joey Thay dan Liu Yang Siang yang masih hidup.

Lim Joey Thay kini sakit-sakitan, sementara sejak beberapa tahun lalu, Liu Yan Siang menetap di Amerika Serikat
dan tidak diketahui pasti kabar beritanya.

Berpacu dengan waktu dan proses pembusukan, mereka berlima bekerja keras selama delapan jam, dari pukul 4.30
sore tanggal 4 Oktober, hingga pukul 12.30 tengah malam 5 Oktober, di kamar mayat RSP Angkatan Darat.

Peristiwa Gerakan 30 September PKI (G 30 S PKI)


Peristiwa Gerakan 30 September PKI (G 30 S PKI)
Pada 30 September 1965, enam jenderal senior dan beberapa orang lainnya dibunuh dalam upaya kudeta yang
disalahkan kepada para pengawal istana (Cakrabirawa) yang loyal kepada PKI dan pada saat itu dipimpin oleh
Letkol. Untung. Panglima Komando Strategi Angkatan Darat saat itu, Mayjen Soeharto kemudian mengadakan
penumpasan terhadap gerakan tersebut.

Isu Dewan Jenderal

Pada saat-saat yang genting sekitar bulan September 1965 muncul isu adanya Dewan Jenderal yang mengungkapkan
adanya beberapa petinggi Angkatan Darat yang tidak puas terhadap Soekarno dan berniat untuk menggulingkannya.
Menanggapi isu ini, Soekarno disebut-sebut memerintahkan pasukan Cakrabirawa untuk menangkap dan membawa
mereka untuk diadili oleh Soekarno. Namun yang tidak diduga-duga, dalam operasi penangkapan jenderal-jenderal
tersebut, terjadi tindakan beberapa oknum yang termakan emosi dan membunuh Letjen Ahmad Yani, Panjaitan, dan
Harjono.

Isu Dokumen Gilchrist

Dokumen Gilchrist yang diambil dari nama duta besar Inggris untuk Indonesia Andrew Gilchrist beredar hampir
bersamaan waktunya dengan isu Dewan Jenderal. Dokumen ini, yang oleh beberapa pihak disebut sebagai
pemalsuan oleh intelejen Ceko di bawah pengawasan Jenderal Agayant dari KGB
Rusia, menyebutkan adanya Teman Tentara Lokal Kita yang mengesankan bahwa perwira-perwira Angkatan Darat
telah dibeli oleh pihak Barat[4]. Kedutaan Amerika Serikat juga dituduh memberikan daftar nama-nama anggota PKI
kepada tentara untuk ditindaklanjuti. Dinas intelejen Amerika Serikat mendapat data-data tersebut dari berbagai
sumber, salah satunya seperti yang ditulis John Hughes, wartawan The Nation yang menulis buku Indonesian
Upheaval, yang dijadikan basis skenario film The Year of Living Dangerously, ia sering menukar data-data apa
yang ia kumpulkan untuk mendapatkan fasilitas teleks untuk mengirimkan berita.

Isu Keterlibatan Soeharto

Hingga saat ini tidak ada bukti keterlibatan/peran aktif Soeharto dalam aksi penculikan tersebut. Satu-satunya bukti
yang bisa dielaborasi adalah pertemuan Soeharto yang saat itu menjabat sebagai Pangkostrad (pada zaman itu
jabatan Panglima Komando Strategis Cadangan Angkatan Darat tidak membawahi pasukan, berbeda dengan
sekarang) dengan Kolonel Abdul Latief di Rumah Sakit Angkatan Darat

Korban

Keenam pejabat tinggi yang dibunuh tersebut adalah:

Letjen TNI Ahmad Yani (Menteri/Panglima Angkatan Darat/Kepala Staf Komando Operasi Tertinggi)

Mayjen TNI Raden Suprapto (Deputi II Menteri/Panglima AD bidang Administrasi)

Mayjen TNI Mas Tirtodarmo Haryono (Deputi III Menteri/Panglima AD bidang Perencanaan dan
Pembinaan)

Mayjen TNI Siswondo Parman (Asisten I Menteri/Panglima AD bidang Intelijen)

Brigjen TNI Donald Isaac Panjaitan (Asisten IV Menteri/Panglima AD bidang Logistik)

Brigjen TNI Sutoyo Siswomiharjo (Inspektur Kehakiman/Oditur Jenderal Angkatan Darat)

Jenderal TNI Abdul Harris Nasution yang menjadi sasaran utama, selamat dari upaya pembunuhan tersebut.
Sebaliknya, putrinya Ade Irma Suryani Nasution dan ajudan beliau, Lettu CZI Pierre Andreas Tendean tewas dalam
usaha pembunuhan tersebut.

Selain itu beberapa orang lainnya juga turut menjadi korban:

Bripka Karel Satsuit Tubun (Pengawal kediaman resmi Wakil Perdana Menteri II dr.J. Leimena)

Kolonel Katamso Darmokusumo (Komandan Korem 072/Pamungkas, Yogyakarta)

Letkol Sugiyono Mangunwiyoto (Kepala Staf Korem 072/Pamungkas, Yogyakarta)

Para korban tersebut kemudian dibuang ke suatu lokasi di Pondok Gede, Jakarta yang dikenal sebagai Lubang
Buaya. Mayat mereka ditemukan pada 3 Oktober.

Pasca kejadian
Pada tanggal 1 Oktober 1965 Sukarno dan sekretaris jendral PKI Aidit menanggapi pembentukan Dewan
Revolusioner oleh para pemberontak dengan berpindah ke Pangkalan Angkatan Udara Halim di Jakarta untuk
mencari perlindungan.

Pada tanggal 6 Oktober Sukarno mengimbau rakyat untuk menciptakan persatuan nasional, yaitu persatuan antara
angkatan bersenjata dan para korbannya, dan penghentian kekerasan. Biro Politik dari Komite Sentral PKI segera
menganjurkan semua anggota dan organisasi-organisasi massa untuk mendukung pemimpin revolusi Indonesia dan
tidak melawan angkatan bersenjata. Pernyataan ini dicetak ulang di koran CPA bernama Tribune.

Pada tanggal 12 Oktober 1965, pemimpin-pemimpin Uni-Sovyet Brezhnev, Mikoyan dan Kosygin mengirim pesan
khusus untuk Sukarno: Kita dan rekan-rekan kita bergembira untuk mendengar bahwa kesehatan anda telah
membaikKita mendengar dengan penuh minat tentang pidato anda di radio kepada seluruh rakyat Indonesia untuk
tetap tenang dan menghindari kekacauanImbauan ini akan dimengerti secara mendalam.
Pada tanggal 16 Oktober 1965, Sukarno melantik Mayjen Suharto menjadi Menteri/Panglima Angkatan Darat di
Istana Negara. Berikut kutipan amanat presiden Sukarno kepada Suharto pada saat Suharto disumpah[5]:

Saya perintahkan kepada Jenderal Mayor Soeharto, sekarang Angkatan Darat pimpinannya saya
berikan kepadamu, buatlah Angkatan Darat ini satu Angkatan dari pada Republik Indonesia,
Angkatan Bersenjata daripada Republik Indonesia yang sama sekali menjalankan Panca Azimat
Revolusi, yang sama sekali berdiri diatas Trisakti, yang sama sekali berdiri diatas Nasakom, yang
sama sekali berdiri diatas prinsip Berdikari, yang sama sekali berdiri atas prinsip Manipol-USDEK.

Manipol-USDEK telah ditentukan oleh lembaga kita yang tertinggi sebagai haluan negara Republik
Indonesa. Dan oleh karena Manipol-USDEK ini adalah haluan daripada negara Republik Indonesia,
maka dia harus dijunjung tinggi, dijalankan, dipupuk oleh semua kita. Oleh Angkatan Darat,
Angkatan Laut, Angkatan Udara, Angkatan Kepolisian Negara. Hanya jikalau kita berdiri benar-
benar di atas Panca Azimat ini, kita semuanya, maka barulah revousi kita bisa jaya.

Soeharto, sebagai panglima Angkatan Darat, dan sebagai Menteri dalam kabinetku, saya
perintahkan engkau, kerjakan apa yang kuperintahkan kepadamu dengan sebaik-baiknya. Saya
doakan Tuhan selalu beserta kita dan beserta engkau!
Dalam sebuah Konferensi Tiga Benua di Havana di bulan Februari 1966, perwakilan Uni-Sovyet berusaha dengan
segala kemampuan mereka untuk menghindari pengutukan atas penangkapan dan pembunuhan orang-orang yang
dituduh sebagai PKI, yang sedang terjadi terhadap rakyat Indonesia. Pendirian mereka mendapatkan pujian dari
rejim Suharto. Parlemen Indonesia mengesahkan resolusi pada tanggal 11 Februari, menyatakan penghargaan
penuh atas usaha-usaha perwakilan-perwakilan dari Nepal, Mongolia, Uni-Sovyet dan negara-negara lain di
Konperensi Solidaritas Negara-Negara Afrika, Asia dan Amerika Latin, yang berhasil menetralisir usaha-usaha para
kontra-revolusioner apa yang dinamakan pergerakan 30 September, dan para pemimpin dan pelindung mereka, untuk
bercampur-tangan di dalam urusan dalam negeri Indonesia.

Asumsi Penangkapan dan pembunuhan

Dalam bulan-bulan setelah peristiwa ini, semua anggota dan pendukung PKI, atau mereka yang dianggap sebagai
anggota dan simpatisan PKI, semua partai kelas buruh yang diketahui dan ratusan ribu pekerja dan petani Indonesia
yang lain dibunuh atau dimasukkan ke kamp-kamp tahanan untuk disiksa dan diinterogasi. Pembunuhan-
pembunuhan ini terjadi di Jawa Tengah (bulan Oktober), Jawa Timur (bulan November) dan Bali (bulan Desember).
Berapa jumlah orang yang dibantai tidak diketahui dengan persis perkiraan yang konservatif menyebutkan 500.000
orang, sementara perkiraan lain menyebut dua sampai tiga juga orang. Namun diduga setidak-tidaknya satu juta
orang menjadi korban dalam bencana enam bulan yang mengikuti kudeta itu.

Dihasut dan dibantu oleh tentara, kelompok-kelompok pemuda dari organisasi-organisasi muslim sayap-kanan
seperti barisan Ansor NU dan Tameng Marhaenis PNI melakukan pembunuhan-pembunuhan massal, terutama di
Jawa Tengah dan Jawa Timur. Ada laporan-laporan bahwa Sungai Brantas di dekat Surabaya menjadi penuh mayat-
mayat sampai di tempat-tempat tertentu sungai itu terbendung mayat.

Pada akhir 1965, antara 500.000 dan satu juta anggota-anggota dan pendukung-pendukung PKI telah menjadi korban
pembunuhan dan ratusan ribu lainnya dipenjarakan di kamp-kamp konsentrasi, tanpa adanya perlawanan sama
sekali. Sewaktu regu-regu militer yang didukung dana CIA
[1]
menangkapi semua anggota dan pendukung PKI yang terketahui dan melakukan pembantaian keji terhadap
mereka, majalah Time memberitakan:

Pembunuhan-pembunuhan itu dilakukan dalam skala yang sedemikian sehingga pembuangan mayat
menyebabkan persoalan sanitasi yang serius di Sumatra Utara, di mana udara yang lembab membawa bau
mayat membusuk. Orang-orang dari daerah-daerah ini bercerita kepada kita tentang sungai-sungai kecil yang
benar-benar terbendung oleh mayat-mayat. Transportasi sungai menjadi terhambat secara serius.

Di pulau Bali, yang sebelum itu dianggap sebagai kubu PKI, paling sedikit 35.000 orang menjadi korban di
permulaan 1966. Di sana para Tamin, pasukan komando elite Partai Nasional Indonesia, adalah pelaku pembunuhan-
pembunuhan ini. Koresponden khusus dari Frankfurter Allgemeine Zeitung bercerita tentang mayat-mayat di pinggir
jalan atau dibuang ke dalam galian-galian dan tentang desa-desa yang separuh dibakar di mana para petani tidak
berani meninggalkan kerangka-kerangka rumah mereka yang sudah hangus.
Di daerah-daerah lain, para terdakwa dipaksa untuk membunuh teman-teman mereka untuk membuktikan kesetiaan
mereka. Di kota-kota besar pemburuan-pemburuan rasialis anti-Tionghoa terjadi. Pekerja-pekerja dan pegawai-
pegawai pemerintah yang mengadakan aksi mogok sebagai protes atas kejadian-kejadian kontra-revolusioner ini
dipecat.

Paling sedikit 250,000 orang pekerja dan petani dipenjarakan di kamp-kamp konsentrasi. Diperkirakan sekitar
110,000 orang masih dipenjarakan sebagai tahanan politik pada akhir 1969. Eksekusi-eksekusi masih dilakukan
sampai sekarang, termasuk belasan orang sejak tahun 1980-an. Empat tapol, Johannes Surono Hadiwiyino, Safar
Suryanto, Simon Petrus Sulaeman dan Nobertus Rohayan, dihukum mati hampir 25 tahun sejak kudeta itu.

Supersemar
Lima bulan setelah itu, pada tanggal 11 Maret 1966, Sukarno memberi Suharto kekuasaan tak terbatas melalui Surat
Perintah Sebelas Maret. Ia memerintah Suharto untuk mengambil langkah-langkah yang sesuai untuk
mengembalikan ketenangan dan untuk melindungi keamanan pribadi dan wibawanya. Kekuatan tak terbatas ini
pertama kali digunakan oleh Suharto untuk melarang PKI. Sebagai penghargaan atas jasa-jasanya, Sukarno
dipertahankan sebagai presiden tituler diktatur militer itu sampai Maret 1967.

Kepemimpinan PKI terus mengimbau massa agar menuruti kewenangan rejim Sukarno-Suharto. Aidit, yang telah
melarikan diri, ditangkap dan dibunuh oleh TNI pada tanggal 24 November, tetapi pekerjaannya diteruskan oleh
Sekretaris Kedua PKI Nyoto.

Peringatan
Sesudah kejadian tersebut, 30 September diperingati sebagai Hari Peringatan Gerakan 30 September. Hari
berikutnya, 1 Oktober, ditetapkan sebagai Hari Kesaktian Pancasila. Pada masa pemerintahan Soeharto, biasanya
sebuah film mengenai kejadian tersebut juga ditayangkan di seluruh stasiun televisi di Indonesia setiap tahun pada
tanggal 30 September. Selain itu pada masa Soeharto biasanya dilakukan upacara bendera di Monumen Pancasila
Sakti di Lubang Buaya dan dilanjutkan dengan tabur bunga di makam para pahlawan revolusi di TMP Kalibata.
Namun sejak era Reformasi bergulir, film itu sudah tidak ditayangkan lagi dan hanya tradisi tabur bunga yang
dilanjutkan.

Pada 29 September 4 Oktober 2006, diadakan rangkaian acara peringatan untuk mengenang peristiwa pembunuhan
terhadap ratusan ribu hingga jutaan jiwa di berbagai pelosok Indonesia. Acara yang bertajuk Pekan Seni Budaya
dalam rangka memperingati 40 tahun tragedi kemanusiaan 1965 ini berlangsung di Fakultas Ilmu Budaya
Universitas Indonesia, Depok. Selain civitas academica Universitas Indonesia, acara itu juga dihadiri para korban
tragedi kemanusiaan 1965, antara lain Setiadi, Murad Aidit, Haryo Sasongko, Sasuke, dan Putmainah.

Penumpasan Pengkhianatan G 30 S PKI


Penumpasan Pengkhianatan G 30 S PKI

Poster rilis oleh PPFN (1984)


Sutradara Arifin C. Noer

Produser G. Dwipayana

Penulis
Arifin C. Noer
Nugroho Notosusanto

Bram Adrianto

Syubah Asa

Ade Irawan

Amoroso Katamsi

Pemeran Umar Kayam

Didi Sadikin

Kies Slamet

Sofia WD

Wawan Wanisar

Musik Embie C. Noer


Sinematografi Hasan Basri
Penyunting Supandi
Studio PPFN

Tanggal rilis 1984 (Indonesia)

Durasi 271 menit


Negara Indonesia
Bahasa Bahasa Indonesia
Anggaran Rp800 juta
Penghargaan
Festival Film Indonesia 1984

Skenario Asli Terbaik : Arifin C. Noer

Penumpasan Pengkhianatan G 30 S PKI atau hanya Pengkhianatan G 30 S PKI [a] adalah judul film dokudrama
propaganda Indonesia tahun 1984. Film ini disutradarai dan ditulis oleh Arifin C Noer, diproduseri oleh G.
Dwipayana, dan dibintangi Amoroso Katamsi, Umar Kayam, dan Syubah Asa. Diproduksi selama dua tahun dengan
anggaran sebesar Rp. 800 juta kala itu, film ini disponsori oleh pemerintahan Orde Baru Soeharto. Film ini dibuat
berdasarkan pada versi resmi menurut pemerintah kala itu dari peristiwa "Gerakan 30 September" atau "G30S"
(peristiwa percobaan kudeta pada tahun 1965) yang ditulis oleh Nugroho Notosusanto dan Ismail Saleh, yang
menggambarkan peristiwa kudeta ini didalangi oleh Partai Komunis Indonesia atau PKI.

Film ini menggambarkan masa menjelang kudeta dan beberapa hari setelah peristiwa tersebut. Dalam kala
kekacauan ekonomi, enam jenderal diculik dan dibunuh oleh PKI dan TNI Angkatan Udara, konon untuk memulai
kudeta terhadap Presiden Soekarno. Jenderal Soeharto muncul sebagai tokoh yang menghancurkan gerakan kudeta
tersebut, setelah itu mendesak rakyat Indonesia untuk memperingati mereka yang tewas dan melawan segala bentuk
komunisme. Film ini juga menampilkan pergantian rezim pemerintahan Indonesia dari Presiden Soekarno ke
Soeharto menurut versi pemerintahan Orde Baru. Film ini menggambarkan gerakan G30S sebagai gerakan kejam
yang telah merencanakan "setiap langkah dengan terperinci", [1] menggambarkan sukacita dalam penggunaan
kekerasan yang berlebihan dan penyiksaan terhadap para jenderal, penggambaran yang telah dianggap
menggambarkan bahwa "musuh negara adalah bukanlah manusia".[2]

Film ini adalah film dalam negeri pertama yang dirilis secara komersial dan menampilkan peristiwa 1965 tersebut.[3]
Penumpasan Pengkhianatan G 30 S PKI meraih sukses secara komersil maupun kritis. Film ini dinominasikan untuk
tujuh penghargaan di Festival Film Indonesia 1984, memenangkan satu, dan mencapai angka rekor penonton -
meskipun dalam banyak kasus penonton diminta untuk melihat film ini, alih-alih secara sukarela.
Film ini terus digunakan sebagai kendaraan propaganda oleh pemerintah Orde Baru selama tiga belas tahun, di mana
pemerintahan Soeharto kala itu memerintahkan satu-satunya stasiun televisi di Indonesia saat itu, TVRI, untuk
menayangkan film ini setiap tahun pada tanggal 30 September malam. Film ini juga diperintahkan menjadi tontonan
wajib bagi siswa sekolah di Indonesia, walaupun memperlihatkan adegan-adegan yang penuh kekerasan berlebihan.
Pada saat stasiun-stasiun televisi swasta bermunculan, mereka juga dikenai kewajiban yang sama. Peraturan ini
kemudian dihapuskan sejak jatuhnya Soeharto tahun 1998. Sejak itu film ini telah menjadi kurang diminati lagi dan
belum pernah lagi diputar di stasiun televisi Indonesia. Meskipun aspek artistik film ini tetap diterima dengan baik,
kekeliruan sejarahnya telah menuai banyak kritik.

Latar belakang
Film Penumpasan Pengkhianatan G 30 S PKI dibuat berdasarkan pada versi peristiwa kudeta yang diakui oleh
pemerintah Orde Baru Soeharto, di mana kudeta Gerakan 30 September didalangi oleh Partai Komunis Indonesia
atau PKI.[b][4] Pada awal 1960-an, PKI dan partai-partai sayap kiri lainnya mendapat dukungan dari Presiden
Soekarno, memberi mereka kekuatan politik yang besar. Pada tahun 1965 PKI telah mempunyai jutaan anggota,
jumlah semakin besar ini dipengaruhi oleh adanya hiperinflasi dan kemiskinan yang meluas.[5] TNI Angkatan Darat,
bagaimanapun, telah saling tidak sejalan dengan PKI, sebuah situasi yang berbalas dengan PKI.[6]

"Sumur Maut", tempat pembuangan mayat para jenderal oleh Gerakan 30 September

Pada malam 30 September - 1 Oktober 1965 sekelompok personil Tentara Nasional Indonesia yang menyebut diri
mereka "Gerakan 30 September" menangkap dan membunuh enam jenderal Angkatan Darat yang diduga anggota
gerakan anti-revolusioner "Dewan Jenderal", termasuk Panglima Angkatan Darat Ahmad Yani; target lain, Abdul
Haris Nasution, lolos.[7] Tubuh mereka, bersama dengan target lain yang ditangkap oleh G30S, dibuang ke dalam
sumur di Lubang Buaya, Jakarta.[8] Paginya, angkatan bersenjata menduduki Lapangan Merdeka di Jakarta Pusat.
Dari Kantor Radio Republik Indonesia (RRI) di sana, Letnan Kolonel Untung Syamsuri dari Resimen Pengawal
Presiden mengumumkan bahwa gerakan itu telah mengamankan beberapa tempat penting di kota dalam upaya untuk
mencegah kudeta oleh Dewan Jenderal. Mereka juga mengumumkan bahwa Presiden Soekarno berada di bawah
kekuasaan mereka.[9] Inti kepemimpinan gerakan ini, kemudian juga termasuk Presiden Soekarno, tinggal di
pangkalan AURI di Bandara Halim Perdanakusuma.[10]

Mayor Jenderal Soeharto, menyadari gerakan ini pada pagi hari 1 Oktober. Menjelang sore ia telah meyakinkan
sebuah batalyon G30S di Lapangan Merdeka dan yang menduduki gedung RRI untuk menyerah, tanpa pertumpahan
darah. Tentara loyalis di bawah Soeharto merebut kembali pangkalan AURI Halim pagi berikutnya. Pada saat itu
pimpinan G30S telah melarikan diri, sementara Soekarno telah dibawa kembali ke istananya di Bogor.[11] Dalam
tahun-tahun berikutnya, Angkatan Darat Indonesia dan masyarakat umum melakukan sebuah kampanye pembalasan
berdarah, membunuh atau menangkap orang-orang yang terdaftar maupun hanya diduga sebagai simpatisan PKI -
termasuk sebagian besar pimpinan G30S.[c][12]

Alur
Indonesia berada dalam kekacauan. Rakyat hidup dalam kemiskinan, sementara yang kaya memamerkan kekayaan
mereka. Presiden Soekarno (Umar Kayam) sedang sakit dan hampir mati. Sementara itu, konsep politiknya,
Nasakom (nasionalisme, agama, dan komunisme) telah menyebabkan pertumbuhan besar anggota PKI. Partai yang
mencoba melakukan kudeta pada tahun 1948 ini telah menyerang dan membunuh orang di seluruh negeri. Presiden
yang telah melemah juga dimanipulasi oleh partai ini. PKI telah merekayasa cerita, berdasarkan Dokumen Gilchrist
yang palsu, bahwa Dewan Jenderal sedang mempersiapkan kudeta bila Soekarno mati. Aidit (Syubah Asa), Syam,
dan kepemimpinan Partai Komunis diam-diam berencana untuk menggunakan ini sebagai alasan untuk kudeta
mereka sendiri. Pangkat dan barisan anggota Partai ini menerima penjelasan dari pimpinan, dan dengan bantuan para
prajurit dan perwira yang "berpikiran-maju" (sebagian besar dari Angkatan Udara), bekerja untuk mengumpulkan
kekuatan Partai. Mereka berencana untuk menculik tujuh jenderal (yang dikatakan sebagai anggota Dewan Jenderal),
merebut kota, dan mengamankan Soekarno. G30S yang baru diberi nama kemudian memulai pelatihan. Para anggota
sayap kanan dalam Angkatan Darat yang tidak menyadari kudeta yang akan terjadi ini, hidup bahagia dengan
keluarga mereka. Pada saat mereka menyadari bahwa ada sesuatu yang salah, mereka sudah terlambat.
Abdul Haris Nasution digambarkan melarikan diri dari upaya kudeta tersebut dengan melompati tembok.

Pada malam 30 September-1 Oktober, tujuh unit dikirim untuk menculik para jenderal yang terkait dengan Dewan
Jenderal tersebut. Nasution berhasil melarikan diri melompati tembok, sementara atase militer Pierre Tendean datang
berlari keluar, memegang pistol; Tendean dengan cepat ditangkap, dan ketika ditanya di mana Nasution, mengaku
dirinya adalah jenderal tersebut. Yani, yang melawan, tewas di rumahnya; Mayor Jenderal MT Haryono mendapat
nasib yang sama. Kepala Jaksa Militer Sutoyo Siswomiharjo, Mayjen Siswondo Parman, dan Letnan Jenderal
Soeprapto ditangkap. Brigadir Jenderal DI Pandjaitan ikut dengan rela, tetapi ketika dia berdoa terlalu lama sebelum
memasuki truk dia dibunuh. Mayat dan tahanan yang dibawa ke kamp G30S/PKI di Lubang Buaya, di mana para
korban yang tersisa disiksa dan dibunuh. Tubuh mereka kemudian dilemparkan ke dalam sumur. Pagi berikutnya,
anak buah Letnan Kolonel Untung mengambil alih kantor RRI dan memaksa staf di sana untuk membaca pidato
Untung (Bram Adrianto) yang menyatakan bahwa G30S telah bergerak untuk mencegah kudeta oleh Dewan Jenderal
dan mengumumkan pembentukan "Dewan Revolusi". Anak buah G30S/PKI lain pergi ke istana untuk mengamankan
presiden tapi menemukan bahwa ia telah pergi meninggalkan istana. Di pangkalan Halim, Presiden berbicara dengan
para pemimpin G30S dan menyatakan bahwa ia akan mengambil kontrol penuh dari Angkatan Darat. Pidato radio
lain kemudian segera dibacakan, menguraikan komposisi Dewan Revolusi yang baru dan mengumumkan perubahan
hirarki Angkatan Darat. Para pemimpin G30S mulai merencanakan pelarian mereka dari Halim, yang harus
dilakukan sebelum tengah malam.

Soeharto (Amoroso Katamsi), yang dibangunkan pagi buta, membantah pengumuman Untung, menyatakan dengan
tegas bahwa tidak ada Dewan Jenderal dan membuat catatan-catatan tambahan tentang hakikat G30S. Karena ada
kekosongan kekuasaan dengan meninggalnya Yani, Soeharto mengambil kendali sementara Angkatan Darat dan
mulai merencanakan serangan-balik dengan anak buahnya; namun bagaimanapun dia tidak mau memaksakan
pertempuran. Dia malah menyatakan bahwa ia akan memberikan pengumuman lewat radio, yang disampaikan
setelah pasukan yang setia kepadanya merebut kantor RRI. Pengumuman ini menguraikan situasi kala itu,
menggambarkan G30S sebagai kontra-revolusioner, dan menyatakan bahwa Angkatan Darat akan berurusan dengan
kudeta ini. Tak lama kemudian para pemimpin kudeta melarikan diri dari Halim, dan pasukan Soeharto merebut
kembali pangkalan udara tersebut. Beberapa waktu kemudian, pasukan di bawah kepemimpinan Soeharto menyerang
sebuah markas G30S/PKI. Sementara tentara yang berafiliasi dengan PKI melawan, pimpinan Partai lolos dan
melarikan diri, berencana untuk melanjutkan perjuangan mereka di bawah tanah.

Soeharto kemudian segera dipanggil ke istana kedua di Bogor untuk berbicara dengan Soekarno. Di sana, presiden
mengatakan bahwa ia telah menerima jaminan dari Marsekal Udara Omar Dani bahwa Angkatan Udara tidak terlibat
dalam kudeta ini. Soeharto membantah pernyataan tersebut, mencatat bahwa persenjataan gerakan ini adalah seperti
orang-orang dari Angkatan Udara. Pertemuan ini akhirnya menghasilkan konfirmasi pengangkatan Soeharto sebagai
pemimpin Angkatan Darat, bekerja sama dengan Pranoto Reksosamodra. Dalam investigasi mereka terhadap
peristiwa kudeta ini, Angkatan Darat menemukan kamp di Lubang Buaya - termasuk tubuh para jenderal, yang
dikeluarkan sembari Soeharto menyampaikan pidato menggambarkan kudeta ini dan peran PKI di dalamnya.
Jenazah para jenderal kemudian dimakamkan di tempat lain dan Soeharto memberikan pidato hagiografi, di mana ia
mengutuk G30S PKI dan dan mendesak masyarakat Indonesia untuk melanjutkan perjuangan jenderal-jenderal yang
telah meninggal tersebut.

Produksi
Penumpasan Pengkhianatan G 30 S PKI disutradarai oleh Arifin C. Noer, sutradara pemenang Piala Citra dengan
latar belakang teater. Dia memiliki pengalaman sebelumnya dalam genre ini, setelah membuat film perang Serangan
Fajar (1981), yang menekankan peran Soeharto dalam Revolusi Nasional Indonesia.[13] Noer ditugaskan untuk
mengerjakan film ini oleh Pusat Produksi Film Negara (PPFN) milik negara, yang mempunyai kontrol atas proses
produksi film ini. Profesor budaya Indonesia Krishna Sen dan David T. Hill berpendapat bahwa masukan kreatif
Noer sangat minim dalam film ini. Sebaliknya, "untuk segala maksud dan tujuan", film ini adalah karya produsernya,
Brigadir Jenderal Gufran Dwipayana, yang kala itu menjabat sebagai kepala PPFN sekaligus anggota staf
kepresidenan.[14] Namun, istri Noer, Jajang C. Noer bersikeras bahwa suaminya tetap bersikap independen saat
pembuatan film ini.[15]

Film tersebut berdasarkan pada sebuah laporan yang ditulis oleh Nugroho Notosusanto (gambar) dan Ismail Saleh.

Skenario Penumpasan Pengkhianatan G 30 S PKI didasarkan pada sebuah buku tahun 1968 yang ditulis oleh
sejarawan militer Nugroho Notosusanto dan penyidik Ismail Saleh yang berjudul Tragedi Nasional Percobaan Kup
G 30 S/PKI di Indonesia. Buku yang dimaksudkan untuk melawan teori asing tentang kudeta tersebut, menjelaskan
secara rinci Gerakan September 30 ini sebagaimana pemerintah melihatnya.[16] Hanya Notosusanto, yang berpangkat
lebih tinggi dari dua penulis tersebut, dihargai untuk kontribusinya.[17] Dalam mengadaptasi buku tersebut, Noer
membaca banyak literatur yang tersedia (termasuk dokumen pengadilan) dan mewawancarai sejumlah saksi mata;[18]
Jajang, dalam sebuah wawancara tahun 1998, mengatakan bahwa suaminya tidak hanya membaca versi resmi
pemerintah, tetapi juga dokumen Cornell Paper yang kontroversial, yang menggambarkan bahwa peristiwa kudeta
ini sepenuhnya merupakan urusan intern Angkatan Darat.[15] Selama syuting, kru menekankan realisme,
"memberikan perhatian besar terhadap detail" dan menggunakan rumah sebenarnya dari para jenderal yang diculik
dalam peristiwa tersebut.[19]

Karena besarnya jumlah peran - termasuk beberapa bagian 100 peran kecil dan lebih dari 10.000 pemeran
tambahan[20] - casting atau pencarian pemeran untuk Penumpasan Pengkhianatan G 30 S PKI adalah sulit.[21] Noer
mencoba untuk menempatkan aktor yang mirip dengan tokoh-tokoh sejarah yang digambarkan; Rano Karno
kemudian mengingat bahwa ia ditolak untuk peran Pierre Tendean karena Tendean tidak memiliki tahi lalat di
wajahnya.[22] Pada akhirnya film ini dibintangi Bram Adrianto sebagai Untung Sjamsuri, Amoroso Katamsi sebagai
Soeharto, Umar Kayam sebagai Soekarno, dan Syubah Asa sebagai DN Aidit; aktor lainnya antara lain Ade Irawan,
Sofia WD, Dani Marsuni, dan Charlie Sahetapy.[23] Kayam, kala itu seorang dosen di Universitas Gadjah Mada di
Yogyakarta, tidak punya waktu untuk meriset perilaku Soekarno dari buku-buku dan pidatonya; sebagai gantinya, ia
menggambarkan presiden tersebut berdasarkan testimonial dari staf di Istana Bogor. Katamsi, di sisi lain,
mempelajari peran Soeharto dari buku, dan pada saat syuting telah dimulai, merasa seolah-olah dia "sebagai Pak
Harto, bukan imitasi Pak Harto."[24] Sementara itu, Syubah Asa menganggap kurang menguasai penampilannya
sendiri.[24]

Produksi Penumpasan Pengkhianatan G 30 S PKI, awalnya berjudul Sejarah Orde Baru, memakan waktu hampir
dua tahun, menghabiskan empat bulan dalam pra-produksi dan satu setengah tahun dalam pembuatan film.[15] Biaya
film ini Rp. 800 juta,[d][25] mendapat pendanaan dari pemerintah kala itu.[3] Sinematografi film ini ditangani oleh
Hasan Basri, dengan penataan musik oleh saudara Arifin, Embie C. Noer. Penyuntingan film dilakukan oleh Supandi.
[26]
Bagian dari film, khususnya sepuluh menit akhir, menggunakan kembali rekaman arsip dan kliping koran
kontemporer kala itu yang sehubungan peristiwa tersebut.[27]

Tema
Penumpasan Pengkhianatan G 30 S PKI menggambarkan PKI dan komunisme sebagai jahat pada dasarnya, dengan
pengikutnya "tidak bisa diselamatkan",[28] di mana pimpinan G30S dipandang sebagai licik dan kejam, dan
merencanakan "setiap langkah dengan terperinci".[1] Sejarawan Katherine McGregor menemukan hal ini ditekankan
dalam film ini yang menggambarkan pimpinan G30S sebagai gangster, duduk dalam pertemuan rahasia di tengah-
tengah kepulan asap rokok. Dia juga menganggap sebuah adegan pembuka film, di mana PKI menyerang sebuah
sekolah Islam, juga dengan sengaja dimaksudkan untuk menunjukkan sifat "jahat" komunis.[19]
PKI digambarkan menikmati kekerasan, dengan film ini sangat menampilkan adegan "perempuan yang mencungkil
mata dan tubuh yang membusuk dan disiksa".[29] Para jenderal diculik, dan dalam beberapa kasus tewas dibunuh di
depan keluarga mereka; kemudian jenderal yang ditangkap disiksa saat komunis menari di sekitar api unggun.[30]
Sosiolog Adrian Vickers berpendapat bahwa kekerasan film ini dimaksudkan untuk menggambarkan bahwa "musuh-
musuh negara ada di luar alam manusia", mirip dengan monster dalam sebuah film horor.[e][2] Yoseph Yapi Taum dari
Universitas Sanata Dharma mencatat bahwa anggota gerakan perempuan sayap kiri Gerwani disajikan film ini
sebagai bagian dari Partai Komunis yang "gila", menari telanjang dan memotong penis jenderal yang diculik.[31]
Namun, Vickers menganggap penggambaran ini sebagai ambigu, menunjukkan bahwa pemerintahan Orde Baru
diizinkan memonopoli kekerasan.[2] McGregor menunjukkan bahwa kekerasan yang terjadi di rumah yang
sebelumnya tenang menunjukkan "'penghancuran' keluarga".[30] Sen mencatat bahwa kekerasan dalam film ini
memungkiri "representasi kekacauan sebelum keteraturan" yang umum dalam film-film era Orde Baru.[30]

Penayangan
Sebelum penayangan komersilnya, Penumpasan Pengkhianatan G 30 S PKI disajikan pra-tayang untuk para perwira
militer Indonesia berpangkat tinggi yang telah terlibat dalam operasi menghentikan kudeta G30S, termasuk Soeharto
dan Sarwo Edhie Wibowo.[19] Film ini dirilis secara komersil pada tahun 1984, sebagai film domestik pertama yang
dirilis secara komersial tentang peristiwa 1965 tersebut.[f][32] Film ini ditonton oleh 699.282 orang di Jakarta pada
akhir tahun 1984, sebuah rekor nasional yang tetap tak terlampaui selama lebih dari satu dekade.[g][4] Namun, tidak
semua pemirsanya hadir atas kemauan mereka sendiri. Sosiolog Ariel Heryanto mencatat bahwa murid sekolah
Indonesia "diminta untuk membayar" untuk melihat film ini selama jam sekolah, sebuah fakta yang tidak ditulis
dalam catatan kontemporer kala itu.[33] Sebuah novelisasi oleh penulis fiksi populer Arswendo Atmowiloto juga telah
membantu mempromosikan film ini.[34]

Pengaruh produser Dwipayana memastikan bahwa ulasan dan tinjauan kontemporer kala itu, terutama sinopsis,
mengulangi posisi pemerintah tentang kudeta G30S.[3] Hal ini bukan untuk mengatakan bahwa semua ulasan kritis
tentang film ini haruslah positif. Marselli dari harian KOMPAS misalnya, menemukan bahwa film Penumpasan
Pengkhianatan G 30 S PKI adalah sangat rinci, dengan pengerjaan yang luas dan kualitas akting akan mewakili
peristiwa secara akurat. Namun dia merasa, bahwa film ini terasa terlalu panjang, dan karena pemirsa langsung tahu
siapa karakter yang baik dan buruk, film ini menjadi "...hanyalah lukisan hitam-putih tanpa persoalan kompleks.",
yang mengabaikan masalah mendasar yang telah memicu gerakan G30S.[27]

Soeharto, setelah melihat penayangan awal film ini, menyatakan bahwa cerita film ini belum selesai dan
menyarankan bahwa sebuah sekuel diperlukan.[35] Dua sekuel oleh PPFN, Operasi Trisula (1987) dan Djakarta 1966
(1988) kemudian mengikuti.[36] Operasi Trisula disutradarai oleh BZ Kadaryono, menceritakan tentang
pemberantasan G30S dan anggota PKI di Blitar, Jawa Timur.[37] Sementara Djakarta 1966 disutradarai kembali oleh
Noer dan menunjukkan peristiwa menjelang penandatanganan Supersemar pada 11 Maret 1966, di mana Soekarno
memberikan wewenang pada Soeharto untuk mengambil tindakan apapun yang "dianggap perlu"; Kayam dan
Katamsi kembali mengambil peran mereka dalam film sekuel ini, yang memenangkan tujuh penghargaan di Festival
Film Bandung 1989.[38]

Penggunaan sebagai propaganda

Pada September 1998, Menteri Penerangan Yunus Yosfiah menggambarkan film ini sebagai upaya untuk
menciptakan pengkultusan Soeharto (gambar).

Dimulai pada tahun 1984 pemerintah Orde Baru menggunakan Penumpasan Pengkhianatan G 30 S PKI sebagai
kendaraan propaganda, menayangkan film ini setiap tanggal 30 September. Film ini disiarkan oleh jaringan TVRI
milik negara, dan kemudian juga stasiun televisi swasta setelah mereka didirikan.[39] Film ini juga ditayangkan di
sekolah-sekolah dan lembaga pemerintah;[40] para siswa akan dibawa ke lapangan terbuka untuk melihat film ini
dalam kelompok.[41] Karena penggunaan ini, Sen dan Hill berpendapat bahwa Penumpasan Pengkhianatan G 30 S
PKI adalah film Indonesia yang paling-disiarkan dan paling banyak ditonton sepanjang masa.[40] Sebuah survei tahun
2000 yang dilakukan oleh majalah TEMPO Indonesia menemukan bahwa 97 persen dari 1.101 siswa yang disurvei
telah menyaksikan film ini; bahkan 87 persen dari mereka telah menyaksikan lebih dari sekali.[42]

Selama sisa era 1980-an dan awal 1990-an, akurasi sejarah Penumpasan Pengkhianatan G 30 S PKI hanya sedikit
diperdebatkan,[43] dan film ini menjadi wakil kanun sejarah;[44] versi kejadian tahun 1965 dalam film ini adalah satu-
satunya yang diperbolehkan dalam wacana terbuka kala itu.[16] Namun pada pertengahan 1990-an, komunitas internet
anonim dan publikasi-publikasi kecil mulai mempertanyakan isi film tersebut; satu pesan yang dikirim melalui milis
bertanya "Jika hanya sebagian kecil dari kepemimpinan PKI dan agen militer mengetahui [kudeta, seperti di film
ini], bagaimana bisa lebih dari satu juta orang tewas dan ribuan orang yang tidak tahu harus dipenjarakan,
diasingkan, dan kehilangan hak-hak sipil mereka?"[43] Heryanto berpendapat bahwa hal ini dihasilkan dari polifoni
yang tidak disengaja dalam film ini,[45] sementara Sen dan Hill berpendapat bahwa Noer mungkin telah menyadari
maksud pemerintah untuk berpropaganda dan dengan demikian membuat pesan politik dalam film ini "jelas-jelas
bertentangan".[46]

Pada bulan September 1998, empat bulan setelah jatuhnya Soeharto, Menteri Penerangan Yunus Yosfiah menyatakan
bahwa film ini tidak akan lagi menjadi bahan tontonan wajib, dengan alasan bahwa film ini adalah usaha untuk
memanipulasi sejarah dan menciptakan kultus dengan Soeharto di tengahnya. TEMPO melaporkan pada 2012 bahwa
Saleh Basarah dari Angkatan Udara telah mempengaruhi dikeluarkannya keputusan ini. Majalah ini menyatakan
bahwa Basarah telah menghubungi Menteri Pendidikan Juwono Sudarsono dan memintanya untuk tidak
menayangkan Pengkhianatan G 30 S PKI, karena film ini telah merusak citra Angkatan Udara Republik Indonesia.
Dua film lainnya, Janur Kuning (1979) dan Serangan Fajar, kemudian juga dipengaruhi oleh keputusan tersebut;[47]
Janur Kuning menggambarkan Soeharto sebagai pahlawan di balik Serangan Umum 1 Maret 1949, sementara
Serangan Fajar menunjukkan dia sebagai pahlawan utama Revolusi Indonesia.[48] Pada saat itu TVRI tampaknya
berusaha untuk menjauhkan diri dari mantan presiden Soeharto.[15] Hal ini terjadi semasa periode penurunan status
simbol-simbol yang berkaitan dengan peristiwa G30S, dan pada dekade 2000-an awal, versi non-pemerintah dari
peristiwa kudeta G30S mudah didapatkan di Indonesia.[49]

Peninggalan

Foto pengambilan mayat para jenderal di Lubang Buaya, diambil wartawan Hendro Subroto, 3 Oktober 1965.

Penumpasan Pengkhianatan G 30 S PKI telah terbukti menjadi film Noer yang paling kontroversial,[50] meskipun
sampai kematiannya pada tahun 1995 sutradara ini tetap ambivalen secara publik tentang film ini.[51] Meskipun aspek
visual film ini umumnya menerima ulasan positif, penggunaannya untuk tujuan propaganda dan aspek akurasi-
sejarahnya telah menuai banyak kecaman.[52] Sutradara Indonesia Hanung Bramantyo memuji gaya film ini,
menyatakan bahwa gambar close-up (gambar dekat) dari pria yang merokok adalah "brilian", dan bahwa dalam
beberapa kala, dia merasa bahwa "itu bukan film. Tapi real!".[53] Sutradara Monty Tiwa juga memuji gambar film ini,
mengutip sebuah adegan di mana putri Pandjaitan itu menangis histeris saat ayahnya ditembak sebagai "efek
dramatis yang tinggi dan shot yang belum pernah saya lihat dalam film Indonesia".[53] Namun Sen dan Hill
menemukan "tidak ada keunggulan estetika" dari karya-karya lain sutradara ini.[46]

Hilmar Farid, seorang sejarawan Indonesia, menyebut film ini sebagai sebuah propaganda yang dicampur dengan
"sejumlah fantasi [dari Orde Baru]".[54] Wartawan Hendro Subroto, yang meliput pengambilan mayat para jenderal
dari Lubang Buaya, mengkritik akurasi film ini pada tahun 2001; ia menyatakan bahwa mayat-mayat tersebut tidak
menunjukkan bukti adanya penyiksaan.[52] Sementara itu, mantan penulis Lekra Putu Oka Sukanta menggambarkan
film ini sebagai sebuah pengecilan penderitaan para anggota PKI dan kaum kiri lainnya dalam peristiwa yang
mengikuti peristiwa G30S, sehingga menjadi "pembohongan pada masyarakat".[55] Sejarawan John Roosa
berpendapat bahwa penggambaran peristiwa G30S dalam film ini seperti telah mengalahkan diri film ini sendiri,
karena menurut dokumen yang ditulis Brigadir Jenderal Soepardjo (salah satu tokoh kunci G30S), operasi kudeta ini
dipimpin oleh orang-orang yang "keheranan, ragu-ragu, dan tidak terorganisir".[1]

Dalam sebuah wawancara 2012, Katamsi mengakui bahwa film ini sebagian dimainkan dengan berlebih-lebihan, dan
bahwa film ini telah menjadi cara yang ampuh untuk menyebarkan dan mengindoktrinasi pemirsa ke dalam ideologi
Orde Baru.[56] Survei TEMPO berpendapat bahwa film ini adalah propaganda yang efektif, mengarahkan pengulas
untuk "menolak semua yang berbau PKI dan komunis."[54] Meskipun tidak lagi disiarkan setiap 30 September, film
ini tetap tersedia di pasaran. Sebuah edisi video CD dirilis oleh Virgo pada tahun 2001[36] dan museum G30S/PKI di
Lubang Buaya tetap menawarkan pemutaran rutin film di bioskop setempat.[57] Kedua kopi 35 mm dan VHS film ini
disimpan di Sinematek Indonesia di Jakarta.[4]

Penghargaan
Penumpasan Pengkhianatan G 30 S PKI menerima tujuh nominasi dalam Festival Film Indonesia 1984,
memenangkan satu penghargaan Citra untuk Skenario Terbaik.[58] Film ini kalah dalam empat kategori, sebagai
Sutradara Terbaik, Sinematografi Terbaik, Pemeran Utama Pria Terbaik, dan Penataan Musik Terbaik, oleh film
Budak Nafsu karya Sjumandjaja,[59] sementara Ponirah terpidana karya Slamet Rahardjo memenangi Penataan
Artistik Terbaik.[60] pada Festival Film Indonesia 1985 Penumpasan Pengkhianatan G 30 S PKI menerima Piala
Antemas (Penghargaan Khusus) sebagai Film Unggulan Terlaris periode 1984-1985.[58] Pengamat film Thomas
Barker berpendapat bahwa penghargaan film tersebut, sebagian merupakan gabungan dari kepentingan negara dan
FFI: keduanya berfokus pada mempromosikan budaya nasional yang bersatu.[61]

Penghargaan Tahun Kategori Penerima Hasil


Film Terbaik Nominasi
Penyutradaraan Terbaik Arifin C. Noer Nominasi
Skenario Terbaik Arifin C. Noer Menang
1984 Sinematografi Terbaik Hasan Basri Nominasi
Festival Film Indonesia
Penataan Artistik Terbaik Farraz Effendy Nominasi
Penataan Musik Terbaik Embie C. Noer Nominasi
Pemeran Utama Pria Terbaik Amoroso Katamsi Nominasi
1985 Film Terlaris Menang

Anda mungkin juga menyukai