Anda di halaman 1dari 14

1.

SEJARAH PERISTIWA G30S/PKI

Sejarah peristiwa G30S/PKI yang juga dikenal dengan nama aslinya, Gerakan 30


September atau singkatan lain berupa Gestapu (Gerakan September Tiga Puluh) dan Gestok
(Gerakan Satu Oktober) merupakan salah satu peristiwa yang terjadi ketika Indonesia sudah
beberapa tahun merdeka. Sesuai namanya, peristiwa ini terjadi pada tanggal 30 September 1965
malam, hingga esok harinya dimana ada pembunuhan tujuh perwira tinggi militer dalam sebuah
kudeta. Usaha yang akhirnya gagal kemudian dijatuhkan kepada anggota dari Partai Komunis
Indonesia yang saat itu sedang dalam kondisi kuat karena mereka dinilai amat dekat dengan
Presiden Indonesia pertama pada masa itu. Benar atau tidaknya Partai Komunis Indonesia yang
bertanggung jawab penuh dalam kejadian ini tetap menjadi bahan perdebatan hingga sekarang.

A. Sejarah dan Kronologis Peristiwa G30SPKI

Sebelum terjadinya peristiwa G30S/PKI, Partai Komunis Indonesia (PKI) tercatat sebagai
Partai Komunis yang paling besar di dunia tanpa menghitung partai komunis yang ada di Uni
Soviet maupun Tiongkok. Ketika dilakukan audit pada tahun 1965, tercatat bahwa anggota aktif
dari partai ini melebihi angka 3,5 juta, belum termasuk 3 juta jiwa yang menjadi anggota
pergerakan pemuda. Selain itu, PKI juga memiliki kontrol penuh akan pergerakan buruh,
menambahkan 3,5 juta orang lagi dibawah pengaruhnya. Hal tersebut belum berhenti, karena
masih ada 9 juta anggota dari pergerakan petani, serta beberapa gerakan lain seperti pergerakan
wanita, organisasi penulis, dan pergerakan sarjana yang membuat total anggota PKI mencapai
angka 20 juta anggota termasuk pendukung-pendukungnya.

Yang membuat masyarakat mencurigai bahwa PKI adalah dalang dibalik terjadinya gerakan
30 September dimulai dengan kejadian di bulan Juli 1959, dimana pada saat itu parlemen
dibubarkan, dan Soekarno menetapkan bahwa konstitusi ada di bawah dekrit presiden, dengan
PKI berdiri di belakang, memberikan dukungan penuh. PKI juga menyambut gembira sistem
baru yang diperkenalkan oleh Soekarno, yaitu Demokrasi Terpimpin yang menurut PKI mampu
menciptakan persekutuan konsepsi NASAKOM (Nasionalis, Agama, dan Komunis). Pada masa
demokrasi terpimpin ini sayangnya kolaborasi pemimpin PKI dengan kaum-kaum borju yang
ada di Indonesia gagal menekan pergerakan independen dari buruh dan petani, menyebabkan
banyak masalah yang tidak terselesaikan di bidang politik dan ekonomi.
Peristiwa G30S/PKI baru dimulai pada tanggal 1 Oktober pagi, dimana kelompok pasukan
bergerak dari Lapangan Udara Halim Perdana kusuma menuju daerah selatan Jakarta untuk
menculik 7 jendral yang semuanya merupakan anggota dari staf tentara. Tiga dari seluruh korban
yang direncanakan, mereka bunuh di rumah mereka yaitu Ahmad Yani, M.T. Haryono, dan D.I.
Panjaitan. Ketiga target lain yaitu Soeprapto, S. Parman, dan Sutoyo ditangkap hidup-hidup,
sementara target utama mereka, Jendral Abdul Harris Nasution berhasil kabur setelah melompati
dinding yang berbatasan dengan taman di kedutaan besar Iraq. Meski begitu, Pierre Tendean
yang menjadi ajudan pribadinya ditangkap, dan anak gadisnya yang berusia lima tahun, Ade
Irma Suryani Nasution, tertembak oleh regu sergap dan tewas pada 6 Oktober. Korban tewas
bertambah ketika regu penculik menembak dan membunuh seorang polisi yang menjadi penjaga
rumah tetangga Nasution, Karel Satsuit Tubun. Korban tewas terakhir adalah Albert Naiborhu,
keponakan dari Pandjaitan, yang tewas saat menyerang rumah jendral tersebut. Mayat dan
jenderal yang masih hidup kemudian dibawa ke Lubang Buaya, dan semua dibunuh serta
mayatnya dibuang di sumur dekat markas tersebut.

Ketika matahari mulai terbit, sekitar 2.000 pasukan diturunkan untuk menduduki tempat yang
sekarang dikenal sebagai Lapangan Merdeka, sebuah taman yang ada di Monas. Meski begitu,
mereka tidak berhasil menundukkan bagian timur dari area ini, karena pada saat itu merupakan
daerah markas KOSTRAD yang dipimpin oleh Soeharto. Pada jam 7 pagi, RRI menyiarkan
pesan yang berasal dari Untung Syamsuri, komandan Cakrabiwa, regimen penjaga Presiden,
bahwa gerakan 30 September telah berhasil mengambil alih beberapa lokasi strategis di Jakarta
dengan bantuan anggota militer lainnya. Mereka berkeras bahwa gerakan ini didukung oleh
Central Intelligence of America (CIA) yang bertujuan untuk menurunkan Soekarno dari
posisinya.

Yang menuliskan tinta kegagalan dalam sejarah peristiwa G30S/PKI kemungkinan besar
adalah karena mereka melewatkan Soeharto yang mereka kira diam dan bukan tokoh politik pada
masa itu. Soeharto diberitahu oleh tetangganya tentang hilangnya para jendral dan penembakan
yang terjadi pada pukul 5:30 pagi, dan karena ini ia segera bergerak ke markas KOSTRAD dan
berusaha menghubungi anggota angkatan laut dan polisi, namun tidak berhasil melakukan kontak
dengan angkatan udara. Ia kemudian mengambil alih komando angkatan darat. Kudeta ini juga
gagal karena perencanaan yang amat tidak matang dan menyebabkan para tentara yang ada di
Lapangan Merdeka menjadi kehausan dibawah impresi bahwa mereka melindungi presiden di
Istana. Soeharto juga berhasil membujuk kedua batalion pasukan kudeta untuk menyerah dimulai
dari pasukan Brawijaya yang masuk ke area markas KOSTRAD dan kemudian pasukan
Diponegoro yang kabur kembali ke Halim.

G30S/PKI baru berakhir ketika pada pukul 7 malam, pasukan yang dipimpin oleh Soeharto
berhasil mengambil kembali kontrol atas semua fasilitas yang sebelumnya direbut oleh Gerakan
30 September. Ketika sudah berkumpul bersama Nasution, pada pukul 9 malam Soeharto
mengumumkan bahwa ia sekarang mengambil alih tentara dan akan berusaha menghancurkan
pasukan kontra-revolusioner dan menyelamatkan Soekarno. Ia kemudian melayangkan
ultimatum lagi yang kali ini ditujukan kepada pasukan yang berada di Halim. Tidak berapa lama,
Soekarno meninggalkan Halim dan tiba di istana presiden lainnya yang berada di Bogor. Untuk
jasad ke-7 orang yang terbunuh dan dibuang di Lubang Buaya sendiri baru ditemukan pada
tanggal 3 Oktober, dan dikuburkan secara layak pada tanggal 5 Oktober.

2. JATUHNYA DEMOKRASI TERPIMPIN


A. Tuntutan Massa Dalam Pembubaran PKI
a) Reaksi Partai Politik dan organisasi Massa

Kenyataan menunjukkan bahwa setelah tersiar adanya G 30 S melalui studio RRI Jakarta
pada tanggal 1 Oktober 1965, baik parpol maupun ormas belum menentukan sikap karena sama
sekali tidak mengetahui apa yang sebenarnya terjadi dan latar belakangnya. Mereka belum
mempunyai pedoman untuk menanggapinya. Situasi maupun kondisi sosial politik pada saat itu
memaksa mereka bertindak sangat cermat sekali agar sikap yang mereka ambil jangan sampai
menimbulkan kerugian politis bagi partai atau golongan.
Baru setelah mendengar siaran langsung pidato Soeharto ditempat ditemukannya para korban
penculikan pada tanggal 4 Oktober 1965 dan siaran upacara pemakaman para pahlawan
Revolusu tanggal 5 Oktober 1965, keluarlah pernyataan-pernyataan dan ormas yang umumnya
bernada sebagai berikut:

1. Mengucap syukur atas terhindarnya presiden Soekarno dari bahaya;


2. Tetap berdiri penuh di belakang presiden/Pangti ABRI/Pemimpin Besar Revolusi Bung
Karno;
3. Mengutuk pemberontakan dan pengkhianatan G 30 S
4. 2.  Tindakan Spontan Massa terhadap PKI

Setelah diperoleh tanda-tanda yang semakin jelas bahwa PKI adalah dalang dari pelaku
Gerakan 30 September, mulailah terjadi aksi-aksi spontan berbagai kelompok massa pemuda,
mahasiswa dan pelajar. Pada tanggal 8 Oktober 1965 mulai terjadi aksi-aksi massa menyerbu
gedung-gedung kantor PKI serta ormas-ormasnya. Aksi-aksi massa tersebut terjadi diberbagai
daerah dan tempat-tempat dimana terdapat basis-basis kekuatan PKI disitu terjadi suasana tegang
dan konflik fisik.
Sementara itu tanggal 8 Oktober 1965 di taman Suropati Jakarta, partai politik dan berbagai
organisasi massa melakukan apel kebulatan tekad untung mengamankan Pancasila. Apel
kebulatan tekad tersebut juga mendesak Presiden untuk membubarkan PKI beserta ormas
pendukungnya, membersihkan kabinet, DPR-GR, MPRS, serta lembaga-lembaga  negara lainnya
dari unsur-unsur G 30 S/PKI.
Kegiatan penindakan terhadap PKI yang semula hanya timbul secara spontan dari masing-
masing golongan masa, pemuda, mahasiswa dan pelajar kemudian menjadi lebih luas. Pada
tanggal 2 Oktober 1965 berbagai partai politik yaitu NU, IPKI, Partai Katolik, Parkindo, PSII,
unsur-unsur perti, dan unsur-unsur PNI, serta ormas-ormas aanti komunis seperti Muhamadiyah,
SOSKI, dan lain-lain membentuk dan begabung menjadi fron Pancasila.
Dengan memperhatikan munculnya suasana yang sama dilingkungan mahasiswa dalam
menuntut pembubaran PKI dan menyerbu gedung-gedung PKI, tanggal 25 Oktober 1965 Menteri
perguruan Tinggi dan Ilmu Pengetahuan (PTIP), Brigjen TNI dr. Syarif Thayeb, memanggil
beberapa tokoh dari organisasi mahasiswa. Beliau mengatakan bahwa untuk menghadapi
gerakan komunis, para mahasiswa agar tidak bergerak sendiri-sendiri tetapi terpadu dalam satu
kesatuan aksi. Dan menganjurkan kepada mahasiswa agar membentuk Gerakan Mahasiswa yang
terpadu dengan nama “ Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia” (KAMI). Sejak saat itulah
terbentuk Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia yang kemudian diikuti oleh munculnya berbagai
kesatuan aksi lainnya. Kesatuan-kesatuan aksi ini tergabung dalam Badan Koordinasi Kesatuan
Aksi. Pada tanggal 31 Desember 1965 BKKA dan Fron Pancasila menandatangani naskah
deklarasi mendukung pancasila, yang bertujuan menggalang persatuan antara rakyat dan ABRI
sebagai Dwi Tunggal dalam mengamalkan ideologi pancasila secara murni serta menolak usaha
pembelaan terhadap Gerakan 30 September dalam bentuk apapun.

b)   Tri Tuntutan Rakyat (Tritura)

Janji yang berulang kali diucapkan Presiden Soekarno untuk memberikkan penyelesaian
politik yang adil terhadap pemberontakan G-30-S/PKI belum juga diwujudkan. Sementara itu,
gelombang demonstrasi menuntut pembubaran PKI kian keras dan bertambah luas. Situasi yang
menjurus kearah konflik politik tersebut bertambah lagi dengan munculnya rasa tidak puas
terhadap kesdaan ekonomi negara.
Dalam keadan serba tidaak puas dan tidak sabar, akhirnya tercetuslah Tri-Tuntutan hati Nurani
Rakyat, atau lebih dikenal sebagai Tri Tuntutan Rakyat, yang disingkat menjadi Tritura. Dengan
dipelopori oleh KAMI dam KAPI, pada tanggal 12 Januari 1966 kesatuan-kesatuan aksi yang
bergabung dalam fron Pancasila memenuhi halaman DPR GR dan mengajukan tiga buah
tuntutan yang kemudian dikenal sebagai Tritura itu, yang isinya adalah :

1. Pembubaran PKI;
2. Pembersihan kabinet dari unsur-unsur G-30-S/PKI; dan
3. Penurunan harga dan perbaikan ekonomi.
4. 3. KOMANDO PEMULIHAN KEAMANAN DAN KETERTIBAN
Sore hari tanggal 2 Oktober 1965 setelah berhasil mengiuasai kembali keaasaan kota Jakarta,
Mayend Soeharto menemui Presiden di Istana Bogor. Dalam pertemuan tersebut presiden
memutuskan untuk secra langsung memegang tampuk PimpinanAngkatan Darat yang semenjak
tanggak 1 Iktober 1965 untuk  sementara Mayjend Soeharto. Sebagai pelaksana harian presiden
menunjuk Mayjend Pranoto Reksosamudro untuk  menyelenggarakan pemulihan keamanan dan
ketertiban seperti sedia kala ditunjuk Mayjend Soeharto, panglima Kostrad.
Keputusan tersebut disiarkan oleh Presiden dalam Pidato melalui RRI Pusat dini hari pukul 01.30
tanggal 3 Oktober 1965. Pengangkatan Mayjend Soeharto sebagai panglima operasi pemulihan
keamanan dan ketertiban serta pembentukan komando operasi pemulihan keamanan dan
ketertiban (Kopkamtib) kemudian diatur dengan Kepres/Pangti ABRI/Koti Nomor
142/Koti/1965 tanggal 1 November 1965,  Nomor 162/Koti/1965/tgl 12 November 1965 dan
Nomor 179/Koti/1965 tanggal 6 Desember 1965.
Tugas pokok Kopkamtib adalah memulihkan keamanan dan ketertiban dari akibat-akibat
peristiwa Gerakan 30 September serta menegakkan kembali kewibawaan pemerintah pada
umumnya dengan jalan operasi fisik,  militer dan mental. Dalam usaha penumpasan gerakan
pemberontakan ini, di mana-mana ABRI mendapat bantuan dari rakyat dan bekerjasama dengan
organisai-organisasi politik dan organisasi-organisasi massa yang setia kepada pancasila.

B. Tri Tuntutan Rakyat (TRITURA)

Naiknya Letnan Jenderal Soeharto ke kursi kepresidenan tidak dapat dilepaskan dari
peristiwa Gerakan 30 September 1965 atau G 30 S PKI. Ini merupakan peristiwa yang menjadi
titik awal berakhirnya kekuasaan Presiden Soekarno dan hilangnya kekuatan politik PKI dari
percaturan politik Indonesia.

Peristiwa tersebut telah menimbulkan kemarahan rakyat. Keadaan politik dan keamanan
negara menjadi kacau, keadaan perekonomian makin memburuk dimana inflasi mencapai 600%
pemerintah melakukan devaluasi rupiah dan kenaikan menyebabkan timbulnya keresahan
masyarakat.

Aksi-aksi tuntutan penyelesaian yang seadil-adilnya terhadap pelaku G30 S PKI semakin
meningkat. Gerakan tersebut dipelopori oleh kesatuan aksi pemuda-pemuda, mahasiswa dan
pelajar (KAPPI, KAMI, KAPI), kemudian muncul pula KABI (buruh), KASI (sarjana), KAWI
(wanita), KAGI (guru) dan lain-lain. Kesatuan-kesatuan aksi tersebut dengan gigih menuntut
penyelesaian politis yang terlibat G-30S/PKI, dan kemudian pada tanggal 26 Oktober 1965
membulatkan barisan mereka dalam satu front, yaitu Front Pancasila.

Setelah lahir barisan Front Pancasila, gelombang demonstrasi yang menuntut


pembubaran PKI makin bertambah meluas. Situasi yang menjurus ke arah konflik politik makin
bertambah panas oleh keadaan ekonomi yang semakin memburuk. Perasaan tidak puas terhadap
keadaan saat itu mendorong para pemuda dan mahasiswa mencetuskan Tri Tuntunan Hati Nurani
Rakyat yang lebih dikenal dengan sebutan Tritura (Tri Tuntutan Rakyat).Pada 12 Januari 1966
dipelopori oleh KAMI dan KAPPI, kesatuan-kesatuan aksi yang tergabung dalam Front
Pancasila mendatangi DPR-GR mengajukan tiga buah tuntutan yaitu: (1) Pembubaran PKI, (2)
Pembersihan kabinet dari unsur-unsur G30S PKI, dan (3) Penurunan harga/perbaikan ekonomi.

Sejarah Aksi Aksi Tritura

Tuntutan rakyat banyak agar Presiden Soekarno membubarkan PKI ternyata tidak
dipenuhi Presiden. Untuk menenangkan rakyat Presiden Soekarno mengadakan perubahan
Kabinet Dwikora menjadi Kabinet 100 Menteri, yang ternyata belum juga memuaskan hati
rakyat karena di dalamnya masih bercokol tokoh-tokoh yang terlibat dalam peristiwa G30S PKI.

Pada saat pelantikan Kabinet 100 Menteri pada tgl 24 Pebruari 1966, para mahasiswa,
pelajar dan pemuda memenuhi jalan-jalan menuju Istana Merdeka.

Aksi itu dihadang oleh pasukan Cakrabirawa sehingga menyebabkan bentrok antara
pasukan Cakrabirawa dengan para demonstran yang menyebabkan gugurnya mahasiswa
Universitas Indonesia bernama Arief Rachman Hakim. Sebagai akibat dari aksi itu keesokan
harinya yaitu pada tanggal 25 Februari 1966 berdasarkan keputusan Panglima Komando
Ganyang Malaysia (Kogam) yaitu Presiden Soekarno sendiri, KAMI dibubarkan.

Insiden berdarah yang terjadi ternyata menyebabkan makin parahnya krisis


kepemimpinan nasional. Keputusan membubarkan KAMI dibalas oleh mahasiswa Bandung
dengan mengeluarkan “Ikrar Keadilan dan Kebenaran” yang memprotes pembubaran KAMI dan
mengajak rakyat untuk meneruskan perjuangan. Perjuangan KAMI kemudian dilanjutkan dengan
munculnya masa Kesatuan Aksi Pelajar Indonesia (KAPI), krisis nasional makin tidak
terkendalikan. Dalam pada itu mahasiswa membentuk Resimen Arief Rachman Hakim.
Melanjutkan aksi KAMI.

Protes terhadap pembubaran KAMI juga dilakukan oleh Front Pancasila, dan meminta
kepada pemerintah agar meninjau kembali pembubaran KAMI. Dalam suasana yang demikian,
pada 8 Maret 1966 para pelajar dan mahasiswa yang melakukan demonstrasi menyerbu dan
mengobrak–abrik gedung Departemen Luar Negeri, selain itu mereka juga membakar kantor
berita Republik Rakyat Cina (RRC), Hsin Hua. Aksi para demonstran tersebut menimbulkan
kemarahan Presiden Soekarno. Pada hari itu juga Presiden mengeluarkan perintah harian supaya
agar seluruh komponen bangsa waspada terhadap usaha-usaha “membelokkan jalannya revolusi
kita ke kanan”, dan supaya siap sedia untuk menghancurkan setiap usaha yang langsung maupun
tidak langsung bertujuan merongrong kepemimpinan, kewibawaan, atau kebijakan Presiden,
serta memperhebat “pengganyangan terhadap Nekolim serta proyek “British Malaysia”.

C. Pembentukan Kabinet 100 Mentri


Pada tanggal 21 Februari 1966, presiden melakukan reshuffle kabinet baru yang dinamakan
Kabinet Dwikora yang Disempurnakan. Susunan kabinet itu ternyata sangat mengecewakan
harapan masyarakat karena justru menyingkirkan tokoh-tokoh yang gigih menentang G-
30S/PKI, seperti Jenderal A.H. Nasution. Sebaliknya, presiden mengangkat sejumlah orang
yang diragukan kesungguhannya untuk memberikan penyelesaian terhadap Gerakan 30
September, seperti Dr. Subandrio, Ir. Surachman, dan Oei Tjoe Tat SH. Kabinet yang
beranggotakan 102 menteri ini juga disebut sebagai Kabinet Gestapu atauKabinet Seratus
Menteri.
Pada hari pelantikan Kabinet Dwikora yang Disempurnakan tanggal 24 Februari 1966
terjadi demonstrasi besar-besaran. Dalam bentrokan di sekitar istana, seorang demonstran
bernama Arief Rachman Hakim, mahasiswa UI gugur tertembak oleh Resimen Cakrabirawa
(Pasukan khusus pengawal presiden). Keesokan harinya, presiden sebagai Panglima Komando
Ganyang Malaysia membubarkan KAMI kemudian menyebarkan surat perintah penangkapan
terhadap tokoh-tokoh KAMI. Keadaan pun menjadi semakin tidak aman sehingga jam malam
diperpanjang. Universitas Indonesia sejak tanggal 3 Maret 1966 dinyatakan ditutup dan para
mahasiswa dilarang berkumpul lebih dari 5 orang.
Untuk melanjutkan aksi KAMI, muncullah Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar
Indonesia (KAPPI) dan Kesatuan Aksi Pelajar Indonesia (KAPI) sehingga keadaan semakin
tidak terkendali. Dalam suasana demikian, pada tanggal 8 Maret 1966 Departemen Luar
Negeri yang dipimpin oleh Dr. Subandrio diserbu oleh pelajar dan mahasiswa. Pada saat yang
bersamaan, kantor berita China Hsia Huadibakar.

D. Surat Perintah Sebelas Maret (SUPERSEMAR)

Pada tanggal 11 Maret 1966, Kabinet Dwikora yang telah dirombak mengadakan sidang
pertama di Istana Merdeka. Menpangad Jenderal Soeharto tidak hadir dalam sidang itu karena
sedang sakit. Sidang bertujuan mencari jalan keluar krisis yang semakin memuncak setelah G-
30S/PKI. Namun, sidang itu ternyata diboikot oleh para demonstran dengan melakukan
tindakan pengempesan ban-ban mobil di jalan-jalan yang menuju istana untuk menghalangi
menteri-menteri yang akan hadir dalam sidang tersebut.
Sidang dibuka oleh presiden dengan memberikan kata sambutan kemudian beliau menerima
laporan dari Brigjen Sabur, Komandan Cakrabirawa bahwa selain mahasiswa yang
berdemonstran mengepung istana juga terdapat pasukan tanpa tanda pengenal pada
seragamnya. Walaupun ada jaminan dari Amir Mahmud (Pangdam V/Jaya) yang hadir ketika
itu bahwa keadaan tetap aman, tetapi presiden tetap merasa khawatir dan segera pergi
meninggalkan sidang. Bersama Waperdam I Dr. Subandrio dan Waperdam III Dr. Chaerul
Shaleh, presiden menuju Istana Bogor dengan mengendarai helicopter. Sidang kemudian
ditutup oleh Waperdam II Dr. J. Leimena yang kemudian juga menyusul ke Bogor dengan
mobil.

Tiga orang perwira tinggi AD, yaitu Mayjen Basuki Rachmat (Menteri Urusan Veteran),
Brigjen M. Yusuf (Menteri Perindustrian), dan Brigjen Amir Mahmud juga sepakat untuk
menyusul presiden ke Bogor. Ketiga jenderal tersebut ingin meyakinkan presiden bahwa ABRI,
khususnya AD, selalu siap mengatasi keadaan jika diberikan kepercayaan penuh. Sebelum
berangkat, ketiga jenderal itu meminta izin kepada atasannya, Menpangad Jenderal Soeharto
yang juga merangkap sebagai Panglima Kopkamtib. Niat ketiga jenderal itu disetujui. Jenderal
Soeharto berpesan, “Sampaikan saja bahwa saya tetap pada kesanggupan saya. Beliau akan
mengerti.”

Di Istana Bogor, ketiga perwira tinggi AD itu mengadakan pembicaraan dengan presiden
yang didampingi oleh Dr. Subandrio, Dr. J. Leimena, dan Dr. Chairul Saleh. Pembicaraan itu
akhirnya sampai pada kesimpulan pemberian surat perintah kepada Jenderal Soeharto. Brigjen
Sabur kemudian diperintahkan untuk membuat konsep surat itu kemudian ditandatangani
Presiden Soekarno. Surat itu berisi perintah kepada Jenderal Soeharto untuk memulihkan
keamanan dan ketertiban. Kepada Jenderal Soeharto juga diperintahkan untuk menjaga
keselamatan pribadi presiden. Surat perintah itu kemudian dikenal sebagai Surat Perintah 11
Maret, yang disingkat Supersemar. Tanggal 11 Maret 1966 itu menjadi titik tolak lahirnya Orde
Baru.

Setelah menerima Supersemar, tindakan pertama yang dilakukan oleh Soeharto adalah
membubarkan PKI dan ormas-ormasnya pada tanggal 12 Maret 1966. Ketika itu, kader-kader
partai di Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali dan Aceh banyak yang ditangkap dalam operasi
penumpasan antara November 1965 hingga Februari 1966. Pada saat itu juga sedang
berlangsung proses pembubaran PKI dan ormas-ormasnya sebagaimana digariskan dalam
Instruksi Tetap Ketua CC PKI D.N. Aidit tanggal 10 November 195 sebagai langkah
penyelamatan partai.

Langkah berikutnya yang diambil oleh Jenderal Soeharto adalah dikeluarkan Keputusan
Presiden No. 5 Tanggal 18 Maret 1966 tentang penahanan 15 orang menteri yang diduga
terlibat dalam pemberontakan G-30S/PKI. Para menteri yang ditahan ialah sebagai berikut.
1. Dr. Subandrio

2. Dr. Chairul Saleh

3. Ir. Surachman

4. Ir. Setiadi Reksoprojo

5. Oei Tjoe Tat S.H.

6. Jusuf Muda Dalam

7. Mayjen Achmadi

8. Drs. Achadi

9. Sumardjo

10. Armunanto

11. Sutomo Martopradopo

12. Astrawinata S.H

13. J. Tumakaka

14. Mayjen dr. Sumarno

15. Letkol Syafei

Untuk kelancaran tugas-tugas pemerintahan kemudian diangkat lima orang menteri


coordinator (Menko) an interim yang bersama-sama menjadi presidium kabinet, yaitu Sultan
Hamengkubuwono IX, Adam Malik, Dr. Roslan Abdulgani, Dr. K.H. Idham Chalid, dan Dr. J.
Leimena. Selain itu, diangkat pula beberapa orang menteri ad interim sebelum terbentuknya
kabinet baru.

3. LAHIRNYA ORDE BARU


A. Pembubaran PKI
Setelah PKI didakwa sebagai dalang Gerakan 30 September, berbagai aksi
pemuda, pelajar, dan mahasiswa dalam bentuk kesatuan-kesatuan aksi semakin
meningkat. Kesatuan-kesatuan aksi tersebut antara lain KAPPI (Kesatuan Aksi Pemuda
Pelajar Indonesia), KABI (Kesatuan Aksi Buruh Indonesia), KASI (Kesatuan Aksi
Sarjana Indonesia), KAWI (Kesatuan Aksi Wanita Indonesia), KAGI (Kesatuan Aksi
Guru Indonesia), dan KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa).
Kesatuan-kesatuan aksi tersebut dengan gigih menuntut penyelesaian secara
politis terhadap oknum-oknum yang terlibat Gerakan 30 September PKI. Akhirnya, pada
tanggal 26 Oktober 1965 mereka membulatkan barisan dalam satu wadah yaitu Front
Pancasila. Ketidakpuasan masyarakat luas yang disebabkan oleh belum adanya
penyelesaian politik terhadap peristiwa G 30 S/PKI dan situasi ekonomi yang terus
memburuk akhirnya meledak dalam bentuk demontrasi-demontrasi yang dilakukan oleh
para mahasiswa dan pelajar. Dengan dipelopori KAMI, dimulailah aksi-aksi demonstrasi
mahasiswa pada tanggal 10 Januari 1966.
Tuntutan di atas menginginkan perubahan di bidang politik, yakni pembubaran
PKI beserta ormas-ormasnya dan pembersihan kabinet dari unsur G30 S/PKI.

B. Pengamanan Kabinet Dwikora

Pasca mendapatkan Surat Perintah Sebelah Maret (Supersemar), Mayjen.


Soeharto selaku pengemban Supersemar mengambil berbagai tindakan diantaranya
adalah tindakan dengan “pengamanan” terhadap sejumlah Menteri Kabinet Dwikora yang
disempurnakan dan tokoh-tokoh yang terlibat dalam G 30 S/PKI. Tanggal 18 Maret 1966
pengemban Supersemar mengamankan 15 orang menteri yang dinilai tersangkut dalam G
30 S/PKI dan diragukan etika baiknya yang  dituangkan dalam Keputusan Presiden No. 5
Tanggal 18 Maret 1966
Para menteri Kabinet Dwikora diamankan sebagai berikut:

1. Subandrio: Wakil PM I, Menteri Departemen Luar Negeri, Menteri Luar Negeri /


Hubungan Ekonomi Luar Negeri.
2. Chaerul Saleh : Wakil PM III, Ketua MPRS.
3. Setiadi Reksoprodjo : Menteri Urusan Listrik dan Ketenagaan.
4. Sumardjan : Menteri Pendidikan Dasar dan Kebudayaan.
5. Oei Tju Tat, S.H. : Menteri Negara diperbantukan kepada presidium kabinet
6. Surachman : Menteri Pengairan dan Pembangunan Desa.
7. Jusuf Muda Dalam : Menteri Urusan Bank Sentral, Gubernur Bank Negara
Indonesia.
8. Armunanto : Menteri Pertambangan.
9. Sutomo Martopradoto : Menteri Perburuhan.
10. Astrawinata, S.H : Menteri Kehakiman.
11. Achmadi : Menteri Penerangan di bawah presidium kabinet.
12. Moh. Achadi : Menteri Transmigrasi dan Koperasi.
13. Imam Sjafei : Menteri Khusus Urusan Pengamanan.
14. K Tumakaka : Menteri/Sekretaris Jenderal Front Nasional.
15. Dr. Soemarno : Menteri/Gubernur Jakarta Raya.

C. NAWAKSARA
Pidato Nawaksara adalah dokumen sejarah yang menarik. Pidato yang diucapkan
Sukarno di depan Sidang Umum MPRS ke-IV ini menandai titik balik era Demokrasi
Terpimpin. Era Demokrasi Terpimpin dimulai ketika terbitnya Dekrit Presiden 5 Juli
1959. Demokrasi ala Sukarno yang memunculkan kesimpulan kepala pemerintahan
memiliki kekuasaan tak berhingga. Dan komando politik Indonesia berada di telunjuk
Sukarno. Era ini mencuatkan kekuatan baru dalam kancah politik yakni Partai Komunis
Indonesia (PKI). Kekuatan politik seperti Partai Sosialis Indonesia (PSI) dan Masyumi
sudah diberangus terlebih dahulu. Di sisi lain, TNI-AD hadir sebagai pengimbang PKI.
Pidato ini ialah pertanggung jawaban Sukarno selaku Presiden Republik Indonesia.
Pidato ini disampaikan untuk menjawab permintaan MPRS yang meminta penjelasan
tentang peristiwa 30 September, dan kemerosotan ekonomi. Menjawab permintaan
majelis rakyat, Soekarno mengurai tiga keterangan pokok yang berkaitan dengan
peristiwa G-30 S PKI:
(a) keblingeran pimpinan PKI,
(b) subversi neo-kolonialisme dan imperialisme (nekolim), dan
(c) adanya oknum-oknum yang “tidak benar”.
Sukarno menuding kekuatan kontra-revolusi dari dalam negeri dan kekuatan nekolim
bersatu padu berupaya menggulingkannya dengan Gerakan 30 September. Nawaksara ini
pula menjadi langkah awal peralihan kekuasaan dari Sukarno ke Suharto. Pimpinan
MPRS (diketuai AH Nasution, dan wakil ketua Osa Maliki, HM Subchan ZE, M Siregar,
dan Mashudi) lewat keputusan nomor 5/MPRS/1996 tertanggal 5 Juli 1966 meminta
Panglima Besar Revolusi untuk melengkapi pidato tersebut. Nawaksara adalah sebuah
judul pidato yang dilakukan Sukarno pada tanggal 22 Juni 1966 dalam Sidang Umum ke-
IV MPRS. “Sembilan di dalam bahasa Sanskerta adalah “Nawa”. Jadi saya mau beri
nama dengan perkataan “Nawa”. karena saya tulis, saya mau beri nama “NAWA
AKSARA”, dan “NAWA AKSARA” atau kalau mau disingkatkan “NAWAKSARA”.
Tadinya ada orang yang mengusulkan diberi nama “Sembilan Ucapan Presiden”.
“NAWA SABDA”. Nanti kalau saya kasih nama Nawa Sabda, ada saja yang salah-salah
berkata: “Uh, uh, Presiden bersabda”. Sabda itu seperti raja bersabda. Tidak, saya tidak
mau memakai perkataan “sabda” itu, saya mau memakai perkataan “Aksara”; bukan
dalam arti tulisan, jadi ada aksara latin, ada aksara Belanda dan sebagainya. NAWA
AKSARA atau NAWAKSARA, itu judul yang saya berikan kepada pidato ini. Saya
minta wartawan-wartawan mengumumkan hal ini, bahwa pidato Presiden dinamakan
oleh Presiden NAWAKSARA.”
Pidato ini disampaikan oleh Presiden Soekarno sebagai pertanggungjawabannya
atas sikapnya dalam menghadapi Gerakan 30 September. Soekarno sendiri menolak
menyebut gerakan itu. dengan nama tersebut. Menurutnya Gerakan itu terjadi pada
tanggal 1 Oktober dini hari, dan karena itu ia menyebutnya sebagai Gestok (Gerakan 1
Oktober).
Pidato pertanggungjawaban Soekarno ini ditolak oleh MPRS, dan sebaliknya
MPRS memutuskan untuk memberhentikannya dari jabatannya sebagai presiden seumur
hidup, dan mengangkat Jenderal Soeharto sebagai penggantinya.
Situasi politik Indonesia menjadi tidak menentu setelah enam jenderal dibunuh
dalam peristiwa yang dikenal dengan sebutan Gerakan 30 September atau G30S pada
1965.Pelaku sesungguhnya dari peristiwa tersebut masih merupakan kontroversi
walaupun PKI dituduh terlibat di dalamnya.Kemudian massa dari KAMI (Kesatuan Aksi
Mahasiswa Indonesia) dan KAPI (Kesatuan Aksi Pelajar Indonesia) melakukan aksi
demonstrasi dan menyampaikan Tri Tuntutan Rakyat (Tritura) yang salah satu isinya
meminta agar PKI dibubarkan.Namun, Soekarno menolak untuk membubarkan PKI
karena bertentangan dengan pandangan Nasakom (Nasionalisme, Agama,
Komunisme).Sikap Soekarno yang menolak membuabarkan PKI kemudian melemahkan
posisinya dalam politik.
Lima bulan kemudian, dikeluarkanlah Surat Perintah Sebelas Maret yang
ditandatangani oleh Soekarno. Isi dari surat tersebut merupakan perintah kepada Letnan
Jenderal Soeharto untuk mengambil tindakan yang perlu guna menjaga keamanan
pemerintahan dan keselamatan pribadi presiden.Surat tersebut lalu digunakan oleh
Soeharto yang telah diangkat menjadi Panglima Angkatan Darat untuk membubarkan
PKI dan menyatakannya sebagai organisasi terlarang.Kemudian MPRS pun
mengeluarkan dua Ketetapannya, yaitu TAP No. IX/1966 tentang pengukuhan
Supersemar menjadi TAP MPRS dan TAP No. XV/1966 yang memberikan jaminan
kepada Soeharto sebagai pemegang Supersemar untuk setiap saat menjadi presiden
apabila presiden berhalangan.
Soekarno kemudian membawakan pidato pertanggungjawaban mengenai
sikapnya terhadap peristiwa G30S pada Sidang Umum ke-IV MPRS. Pidato tersebut
berjudul “Nawaksara” dan dibacakan pada 22 Juni 1966. MPRS kemudian meminta
Soekarno untuk melengkapi pidato tersebut.Pidato “Pelengkap Nawaskara” pun
disampaikan oleh Soekarno pada 10 Januari 1967 namun kemudian ditolak oleh MPRS
pada 16 Februari tahun yang sama.
Hingga akhirnya pada 20 Februari 1967 Soekarno menandatangani Surat
Pernyataan Penyerahan Kekuasaan di Istana Merdeka.Dengan ditandatanganinya surat
tersebut maka Soeharto de facto menjadi kepala pemerintahan Indonesia. Setelah
melakukan Sidang Istimewa maka MPRS pun mencabut kekuasaan Presiden Soekarno,
mencabut gelar Pemimpin Besar Revolusi dan mengangkat Soeharto sebagai Presiden RI
hingga diselenggarakan pemilihan umum berikutnya.
D. Pengangkatan Presiden Soeharto

Pada tanggal 16 Agustus 1945 terjadi Peristiwa Rengasdengklok ; dimana ketika itu
Soekarno dan Mohammad Hatta dibujuk para pemuda untuk menyingkir ke asrama
pasukan Pembela Tanah Air Peta Rengasdengklok. Tokoh pemuda yang membujuk
antara lain Soekarni, Wikana, Singgih serta Chairul Saleh. Para pemuda menuntut agar
Soekarno dan Hatta segera memproklamasikan kemerdekaan Republik Indonesia, karena
di Indonesia terjadi kevakuman kekuasaan.
Karena Jepang pada saat itu sudah menyerah dan sedangkan pasukan Sekutu
belum tiba. Namun Soekarno, Hatta dan para tokoh menolak dengan alasan menunggu
kejelasan mengenai penyerahan Jepang. Akhirnya Soekarno menetapkan momen tepat
untuk kemerdekaan Republik Indonesia yakni dipilihnya tanggal 17 Agustus 1945 saat
itu bertepatan dengan bulan Ramadhan, bulan suci kaum muslim yang diyakini
merupakan bulan turunnya wahyu pertama kaum muslimin kepada Nabi Muhammad
SAW yakni Al Qur-an. Pada tanggal 18 Agustus 1945, Soekarno dan Mohammad Hatta
diangkat oleh PPKI menjadi Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia. Pada
tanggal 29 Agustus 1945 pengangkatan menjadi presiden dan wakil presiden dikukuhkan
oleh KNIP.

Pada saat kedatangan Sekutu (AFNEI) yang dipimpin oleh Letjen. Sir Phillip
Christison, Christison akhirnya mengakui kedaulatan Indonesia secara de facto setelah
mengadakan pertemuan dengan Presiden Soekarno. Presiden Soekarno juga berusaha
menyelesaikan krisis di Surabaya. Namun akibat provokasi yang dilancarkan pasukan
NICA (Belanda) yang membonceng Sekutu (di bawah Inggris), meledaklah Peristiwa 10
November 1945 di Surabaya dan gugurnya Brigadir Jenderal A.W.S Mallaby.

Setelah Pengakuan Kedaulatan (Pemerintah Belanda menyebutkan sebagai


Penyerahan Kedaulatan), Presiden Soekarno diangkat sebagai Presiden Republik
Indonesia Serikat (RIS) dan Mohammad Hatta diangkat sebagai perdana menteri RIS.
Sedangkan jabatan Presiden Republik Indonesia diserahkan kepada Mr Assaat, yang
kemudian dikenal sebagai RI Jawa-Yogya. Namun karena tuntutan dari seluruh rakyat
Indonesia yang ingin kembali ke negara kesatuan, maka pada tanggal 17 Agustus 1950,
RIS kembali berubah menjadi Republik Indonesia dan Presiden Soekarno menjadi
Presiden RI. Mandat Mr Assaat sebagai pemangku jabatan Presiden RI diserahkan
kembali kepada Ir. Soekarno. Resminya kedudukan Presiden Soekarno adalah presiden
konstitusional, tetapi pada kenyataannya kebijakan pemerintah dilakukan setelah
berkonsultasi dengannya.
Presiden Soekarno aktif dalam memberikan gagasan-gagasan di dunia
Internasional. Keprihatinannya terhadap nasib bangsa Asia-Afrika, masih banyak yang
belum merdeka, belum mempunyai hak untuk menentukan nasibnya sendiri,
menyebabkan presiden Soekarno, pada tahun 1955, mengambil inisiatif untuk
mengadakan Konferensi Asia-Afrika di Bandung yang menghasilkan Dasasila Bandung.
Yang membahas isu-isu mengenai ketimpangan dan konflik akibat "bom waktu" yang
ditinggalkan negara-negara barat yang dicap masih mementingkan imperialisme dan
kolonialisme, ketimpangan dan kekhawatiran akan munculnya perang nuklir yang
mengubah peradaban, ketidakadilan badan-badan dunia internasional dalam penyelesaian
konflik juga menjadi perhatiannya. Bersama Presiden Josip Broz Tito (Yugoslavia),
Gamal Abdel Nasser (Mesir), Mohammad Ali Jinnah (Pakistan), U Nu, (Birma) dan
Jawaharlal Nehru (India) ia mengadakan Konferensi Asia Afrika yang membuahkan
Gerakan Non Blok. Berkat jasanya itu, banyak negara Asia Afrika yang memperoleh
kemerdekaannya. Namun sayangnya, masih banyak pula yang mengalami konflik
berkepanjangan sampai saat ini karena ketidakadilan dalam pemecahan masalah, yang
masih dikuasai negara-negara kuat atau adikuasa. Berkat jasa ini pula, banyak penduduk
dari kawasan Asia Afrika yang tidak lupa akan Soekarno bila ingat atau mengenal akan
Indonesia.
Guna menjalankan politik luar negeri yang bebas-aktif dalam dunia internasional,
Presiden Soekarno mengunjungi berbagai negara dan bertemu dengan pemimpin-
pemimpin negara. Di antaranya adalah Nikita Khruschev (Uni Soviet), John Fitzgerald
Kennedy (Amerika Serikat), Fidel Castro (Kuba), Mao Tse Tung (RRC).

Anda mungkin juga menyukai