Anda di halaman 1dari 37

Peter Kasenda

Tragedi 1965, Ingatan dan Rekonsiliasi

Perjuangan manusia melawan kukuasaan

adalah perjuangan melawan lupa

Milan Kundera

Berdirinya Orde Baru dan naiknya Soeharto ke panggung kekuasaan adalah salah satu
proses bertahap, perlahan tapi pasti. Tetapi, pada kenyataannya, proses politik yang
sesungguhnya menggambarkan Orde Lama dengan Orde Baru telah dilaksanakan secara
efektif dalam waktu enam bulan sejak pecahnya peristiwa Gerakan 30 September. Struktur
kekuasaan yang menjadi dasar negara Orde Baru diletakkan di antara tanggal 1 Oktober 1965
dan pertengahan Maret 1966. Hal ini dimungkinkan terutama karena ganasnya pembantaian
di akhir tahun 1965 memungkinkan adanya pengeliminasi cepat terhadap lawan-lawan politik
dan pemulihan tatanan yang melandasi dibangunnya hegemoni selanjutnya.

Peristiwa Gerakan 30 September meletus pada tanggal 30 September 1965 dinihari dengan
penculikan dan pembantaian terhadap enam perwira tinggi MBAD dan seorang ajudan
Menteri Pertahanan. Tampaknya hal ini merupakan bagian dari perpindahan kekuasaan
terencana ke tangan sebuah Dewan Revolusi, yang ditunjuk oleh sebuah “Gerakan 30
September“. Tetapi, dalam waktu kurang dari dua puluh empat jam usaha merebut kekuasaan
itu telah dihancurkan oleh kekuatan-kekuatan militer yang dipimpin oleh Panglima Komando
Strategi Angkatan Darat (Kostrad), Mayjen Soeharto.

Kostard yang dipimpin oleh Soeharto ini tidak hanya menghancurkan usaha kudeta itu, tetapi
juga melakukan pengambilalihan kekuasaan politik. Gerakan yang kalah itu disebut dengan
akronim Gestapu, sebuah istilah yang dilontarkan oleh direktur harian milik Angkatan
Bersenjata, Angkatan Bersenjata, Brigjen Sugandhi, mungkin dengan tujuan untuk

1
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

menanamkan aura jahat yang diasosiasikan dengan istilah “ Gestapo “. Pada tanggal 2
Oktober 1965, Komando Operasi Tertinggi mendirikan Komando Aksi Pengganyangan
Gestapu (KAP-Gestapu), sebuah alinasi pemimpin-pemimpin antikomunis muda yang
militan, di Jakarta. Sementara itu, keenam jenazah jnedral dan letnan yang dibunuh itu
diangkat dari sebuah sumur tua di Lubang Buaya, di luar Jakarta. Lima hari setelah
pengangkatan jenazah para jendral itu, KAP-Gestapu menggelar sebuah rapat akbar di
Jakarta yang berpuncak dengan diserangnya markas-markas Partai Komunis Indonesia (PKI).
Bangunannya diobrak-abrik dan dibakar. Dalam beberapa hari kemudian, Komando Operasi
Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib) di bentuk di bawah komando Soeharto
untuk mengindentifikasikan, menangkap dan mengusut semua yang bertanggung jawab dan
yang terlibat dalam Gerakan 30 September. Wewenang–wewenang Kopkamtib tidak terbatas
selain untuk “memulihkan ketertiban dan keamanan “, dan secara efektif tidak dibatasi oleh
batasan yuridis apa pun. Segera setelah itu, di Provinsi Aceh, pasukan–pasukan dari Kodam
bergabung dengan pemuda Islam militan dalam sebuah massacre terhadap para pendukung
PKI. Pada tanggal 17 Oktober, Soeharto, dalam sebuah instruksinya kepada penghianat dan
mengumumkan bahwa 1 Oktober, yaitu hari di mana Gerakan 30 September dihancurkan,
selanjutnya akan diperingati sebagai Hari Peringatan Pancasila Sakti.

Sepanjang hari-hari setelah gagalnya Gerakan 30 September, para Panglima Komando


Strategis Angkatan Darat (Kostrad) dan para komandan kesatuan parakomando Resimen Para
Komando Angkatan Darat (RPKAD), bersama-sama dengan sekutu-sekutu mereka memulai
sebuah kampanye yang sengaja ditujukan untuk meningkatkan iklim ketakutan dan keinginan
untuk membalas dendam. Sebuah unsur yang krusial adalah sebuah kampanye propaganda,
khususnya selama bulan Oktober dan November,yang bertujuan untuk menciptakan
ketakutan dan kebencian rakyat terhadap PKI dan para pendukungnya. Foto-foto yang
mengerikan yang diambil dari pengangkatan jenazah keenam jendral dan satu orang bintara
yang dibantai itu dipertontonkan secara terbuka di hampir semua media cetak. Foto-foto itu
disertai dengan tulisan-tulisan sensasional yang menyebutkan bahwa para jendral itu sudah
mengalami kekerasan seksual dan dicincang oleh para anggota gerakan wanita PKI, Gerwani.
Terbunuhnya seorang putri Jendral Nasution yang masih kecil, yang terluka parah hingga

2
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

meninggal dalam usaha untuk menculik Nasution itu sendiri pada tanggal 30 September,
dipublikasikan hingga tingkat yang paling tragis. Pemakanan kenegaraan terhadap ketujuh
korban pembantaian dan putri jendral Nasution itu dilakukan dengan upacara kebesaran dan
mendapat liputan yang luas dari media. Rakyat didorong untuk tidak memberi ampun kepada
para pelaku peristiwa Gerakan 30 September yang terutama dikenal sebagai orang-orang
PKI. Secara terang-terangan mereka disebut sebagai pengkhianat, setan, pembunuh anak-
anak, dan perempuan-perempuan sundal. Laporan-laporan dan desas-desus yang beredar
menyebar dengan cepat, menyebutkan bahwa bangsa ini baru saja terhindar dari pembersihan
massal terhadap orang-orang antikomunis, yang direncanakan oleh PKI, dalam ritus Gerakan
30 September. Dari media popular, dari para komando militer dan dari para pemimpin politik
antikomunis, penghancuran terhadap Gerakan 30 September “ditekankan dengan
desakan“membunuh atau dibunuh “. Suasana “membunuh atau dibunuh“ itu makin kuat
segera setelah Gerakan 30 September, dengan munculnya daftar-daftar yang berisi nama-
nama orang yang harus dibunuh, yang diduga telah disusun oleh PKI dalam persiapan yang
dilakukannya untuk membersihkan orang-orang antikomunis, secara terang-terangan di
semua daerah di mana pembantaian kemudian terjadi.

Pada paruh kedua bulan Oktober 1965, kelompok-kelompok pemuda antikomunis di Jawa
Tengah dan Jawa Timur, yang kebanyakan berasal dari organisasi-organisasi Islam dan
Kristen, mulai melakukan pembantaian terhadap orang-orang yang diduga menjadi
simpatisan PKI. Pada saat yang sama, kesatuan-kesatuan RPKAD mulai menyisir Jawa
Tengah, dengan instruksi dari Jakarta untuk memulihkan ketertiban dan menghancurkan sisa-
sisa Gerakan 30 Sepetmber itu. Gerakan ini tidak lagi memiliki bentuk yang terorganisasi,
tetapi sisa-sisanya diidentifikasi sebagai anggota-anggota dan orang-orang yang diduga
menjadi simpatisan PKI. Di Jawa, RPKAD mempersenjatai dan melatih kelompok-kelompok
pemuda antikomunis dengan tujuan khusus untuk menghancurkan PKI. Kegiatan serupa juga
bergerak di Sumatra Utara di mana kesatuan-kesatuan khusus Kostrad dan kesatuan-
kesatuan lainnya dari komando militer regional mempromosikan dan mendukung
pembantaian terhadap para simpatisan PKI oleh pemuda-pemuda antikomunis setempat.

3
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

Di bawah pengawasan dan dengan keterlibatan pihak Angkatan Darat, massacre pun terjadi
di Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali dan Sumatra Utara. Kepentingan-kepentingan kelas,
semangat keagamaan, kebencian-kebencian komunal, perbedaan–perbedaan ideologis yang
mendalam, semuanya digerakan dalam kekerasan anti-komunis. Dalam sebuah “semangat
antikomunis yang nyaris histeris”, ribuan kelompok penjaga keamanan, yang didukung oleh
para komandan militer, yang tersebar di seluruh daerah, membantai atau menangkap orang-
orang yang diduga sebagai simpatisan PKI. Puluhan ribu ditempatkan di karantina militer
PKI, yang pada awal 1945 sudah mengklaim sekitar tiga anggota dan lima belas juta anggota
lainnya yang tergabung dalam organisasi-organisasi yang berafiliasi di bawahnya, sudah
hancur sebagai sebuah kekuatan politik.

Pada awal bulan Desember, pembantaian, yang dklaim telah memaksa sedikitnya seperempat
jam juta korban, mulai kehilangan “momentum“ yang semula dimilikinya pada dua bulan
sebelumnya. Kopkamtib, sebagai instrumen kelembagaan utama yang melaksanakan
kekuasaan negara atas nama rezim yang baru itu pun bertakhta. Komando tinggi militer
bergerak untuk mengakhiri kekejaman massal, dengan cara mendukung dan memperluas
tindakan-tindakan menjaga keamanan yang dilakukan oleh kelompok-kelompok militan
antikomunis. Kopkamtib, sebagai sebuah jaringan komando keamanan dan inteljen yang
membentang dari Soeharto, sebagai panglima, terus ke bawah hingga komandan-komandan
militer lokal di tingkat desa, digunakan untuk tujuan ini. Semua panglima militer di dalam
struktur komando militer territorial nasional diserahi tanggung jawab untuk melakukan tugas-
tugas Kopkamtib dalam menangani masalah inteljen dan keamanan dalam negeri. Secara
khusus Kopkamtib bertanggung jawab untuk membersihkan kalangan sipil aparatur
pemerintahan dari orang-orang yang diduga terlibat dalam Gerakan 30 September. Soeharto,
selaku Panglima Angkatan Darat. Pada tanggal 6 Desember 1965, sebuah keputusan Presiden
memperluas kegiatan-kegiatan Kopkamtib untuk “ memulihkan kewibaaan Pemerintah
dengan cara melakukan operasi–operasi mental dan fisik militer. Staf umum Angkatan Darat
dijadikan staf komnado untuk Kopkamtib, dengan kewenangan untuk mengkooptasi
bantuan dari Angkatan Laut, Angkatan Udara, dan Kepolisian. Selain itu, operasi-operasi
khusus yang dilakukan oleh Kopkamtib dapat menarik sumber-sumber daya dari semua

4
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

departemen-departemen pemerintah, bilamana diperlukan. Akhirnya, semua kesatuan militer


di negara ini, mulai dari komando-komando antardaerah dan propinsi hingga ke tingkat desa,
dijadikan kesatuan-kesatuan operasional Kopkamtib.

Antara Desember 1965 hingga Maret 1966 cara penanganan dengan aksi kekerasan yang
dilakukan oleh negara bergeser dari pembantaian-pembataian yang didukung militer di
tingkat lokal ke arah penangkapan dan penahanan yang lebih tersentralisasi terhadap sisa-sisa
Orde Lama, yang dilakukan melalui aparat-aparat Kopkamtib. Pada saat yang sama,
peralihan kekuasaan negara pun selesai. Pada bulkan Maret 1966, Presiden Soekarno
terpaksa menandatangani surat yang sekarang terkenal dengan Surat Perintah Sebelas Maret,
atau Super Semar, yang memberikan kekuasaan kepada Soeharto, Menteri /Panglima
Angkatan Darat yang baru saja diangkat, untuk “mengambil semua tindakan yang dianggap
perlu memastikan keamanan dan ketertiban serta stabilitas jalannya. Revolusi …demi
kepentingan Bangsa dan Negara Republik Indonesia …..”

Surat ini mengakui kontrol efektif terhadap kekuasaan negara berada di tangan Soeharto dan
komnado militernya. Sehari kemudian, Soeharto mengeluarkan sebuah dekrit atas nama
Presiden yang menyatakan bahwa PKI adalah illegal, dan memerintahkan dibubarkannya
partai itu beserta seluruh organisasi–organisasi yang berafiliasi di bawahnya.

Dalam waktu satu minggu setelah Supersemar, atas perintah Soeharto, lima belas orang
menteri digusur dari kabinet Presiden Soekarno. Dua belas di antaranya, termasuk dua dan
empat wakil perdana menteri, ditahan oleh Kopkamtib. Dalam beberapa minggu selanjutnya,
pembersihan –pembersihan lebih lanjut pun terus berlangsung. Lebih banyak menteri kabinet
yang dicopot. Para simpatisan PKI dan Soekarno dalam birokrasi kenegaraan dibersihkan.
Lebih dari tiga ratus pejabat Angkatan Udara ditangkap. Pembersihan-pembersihan meluas
dengan cepat ke kalangan aparat angkatan bersenjata lainnya dan juga kepolisian. Pada bulan
Juni 1966 komando militer yang baru membentuk Majelis Permusyawaratan Rakyat

5
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

Sementara, atau MPRS, yang bersih dari anggota-anggotanya yang berasal dari PKI dan para
pendukungnya . MPRS Orde Baru ini menegaskan legalitas Supersemar dan secara dratis
mengurangi kekuasan-kekuasan Soekarno sebagai Presiden termasuk mencabut jabatannya
sebagai presiden seumur hidup. ( Michael van Langenberg 2003 : 84 – 93 )

Ingatan dan Reproduksi Ingatan

Kendati bernafas pendek, G-30-S mempunyai dampak sejarah yang penting Ia menandai
awal berakhirnya masa kepresidenan Soekarno, sekaligus bermulanya kekuasaan Soeharto.
Sampai saat itu Soekarno merupakan satu-satunya pemimpin nasional yang paling terkemuka
selama dua dasawarsa lebih, yaitu dari sejak ia bersama pemimpin nasional lain. Mohammad
Hatta, pada 1945 mengumumkan kemerdekaan Indonesia. Ia satu-satunya presiden negara-
negara baru itu. Dengan kharisma, kefasihan lidah, dan patriotismenya yang menggelora, ia
tetap sangat popular di tengah-tengah semua kekacauan politik dan salah urus perekonomian
pascakemerdekaan. Sampai 1965 kedudukannya sebagai presiden tak tergoyahkan. Sebagai
bukti populeritasnya, baik G-30-S maupun Mayor Jendral berdalih bahwa segala tindakan
yang mereka lakukan merupakan langkah untuk membela Soekarno. Tidak ada pihak mana
pun yang berani memperlihatkan pembakangannya terhadap Soekarno.

Soeharto menggunakan G-30-S sebagai dalih untuk merongrong legitimasi Soekarno, sambil
melambungkan dirinya ke kursi kepresidenan Pengambilalihan kekuasaan negara oleh
Soeharto secara bertahap, yang dapat disebut sebagai kudeta merangkak, dilakukannya di
bawah selubung usaha untuk mencegah kudeta. Kedua belah pihak tidak berani menunjukkan
ketidaksetiaan terhadap presiden. Jika bagi Presiden Soekarno aksi G-330-S itu sendiri
disebutnya sebagai “ riak kecil di tengah samudra besar Revolusi (nasional Indonesia),”
sebuah peristiwa kecil yang dapat diselesaikan dengan tenang tanpa menimbulkan guncangan
besar terhadap struktur kekuasaan, bagi Soeharto peristiwa itu merupakan tsunami
pengkhianatan dan kejahatan, yang menyingkapkan adanya kesalahan yang sangat besar pada
pemerintahan Soekarno. Soeharto menuduh Partai Komunis Indoneia (PKI) mendalangi G-
6
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

30-S, dan selanjutnya menyusun rencana pembasmian terhadap orang-orang yang terkait
dengan partai itu. Tentara Soeharto menangkapi satu setengah juta orang lebih. Semuanya
dituduh terlibat dalam G-30-S. Dalam salah satu pertumpahan darah terburuk di abad
keduapuluh, ratusan ribu orang dibantai Angkatan Darat dan milisi yang berafiliasi
dengannya, terutama di Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Bali, dari akhir 1965 sampai
pertengahan 1966. Dalam suasana darurat nasional tahap demi tahap Soeharto merebut
kekuasaan Soekarno dan menempatkan dirinya sebagai presiden facto de (dengan wewenang
memecat dan mengangkat para menteri ) sampai Maret 1966. Gerakan 30 September, sebagai
titik berangkat rangkaian kejadian berkaitan kelindan yang bermuara pada pembunuhan
massal dan tiga puluh dua tahun kediktaktoran, merupakan salah satu di antara kejadian-
kejadian penting dalam sejarah Indonesia, setara dengan pergantian kekuasaan negara, yang
terjadi sebelum dan sesudahnya proklamasi kemerdekaan Soekarno-Hatta pada 17 Agustus
1945, dan lengsernya Soeharto pada 21 Mei 1998.

Gerakan 30 September adalah sebuah misteri pembunuhan yang pemecahannya akan


membawa impliikasi sangat luas bagi sejarah nasional Indonesia. Hal-hal yang dipertaruhkan
dalam “kontroversi tentang dalang“ sungguh besar. Rezim Soeharto membenarkan tindakan
represi berdarahnya terhadap PKI dengan menekankan bahwa partai itulah yang memulai dan
mengorganisasi G-30-S. Walaupun aksi-aksi pada 1 Oktober tersebut tak lebih dari
pemberontakan berskala kecil dan terbatas oleh pasukan Angkatan Darat dan demontrasi oleh
kalangan sipil, rezim Soeharto menggambarkannya sebagai awal dari serangan yang massif
dan keji terhadap semua kekuatan nonkomunis. Gerakan 30 September dilihatnya sebagai
tembakan salvo pemuka dari PKI untuk sebuah revolusi sosial. Dalam membangun ideologi
pembenaran bagi kediktaktorannya, Soeharto menampilkan diri sebagai juru selamat bangsa
dengan menumpas G-30-S. Rezim Soeharto terus-menerus menanamkan peritistiwa itu
dalam pikiran masyarakat melalui semua alat propaganda negara : buku teks, monumen,
nama jalan, film, museum, upacara peringatan, dan hari raya nasional. Rezim Soeharto
memberi dasar pembenaran keberadaannya dengan menempatkan G-30-S tepat pada jantung
narasi historisnya dan menggambarkan PKI sebagai kekuatan jahat tak terperikan.

7
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

Pernyataan bahwa PKI mengorganisasi G-30-S, bagi rezim Soeharto, bukan sekedar fakta
biasa, tetapi sang fakta sejarah mahabesar, yang menjadi sumber pokok keabsahan rezimnya.

Di bawah Soeharto antikomunisme menjadi agama negara lengkap dengan segala situs,
upacara, dan tanggal-tangalnya yang sakral. Para perwira Soeharto mengubah situs
pembunuhan tujuh perwira Angkatan Darat di Jakarta pada 1 Oktober 1965, yatitu Lubang
Buaya, menjadi tanah keramat Sebuah monumen didirikan dengan tujuh patung perunggu
para perwira tinggi yang tewas, semua berdiri setinggi manusia dengan sikap gagah dan
menantang. Pada dinding belakang deretan patung para perwira ditempatkan patung garuda
raksaksa dengan sayap mengembangkan, burung khayali yang telah diangkat Indonesia
sebagai lambang kebangsaannya.

Monumen yang dibuka pada 1969 ini Monumen Pancasila Sakti. Semasa pemerintahan
Soeharto, Pancasila. lima prinsip nasionalisme Indonesia yang diucapkan Soekarno untuk
pertama kali pada 1945, diangkat menjadi ideologi resmi negara. Pancasila dibayangkan
sebagai perjanjian suci bangsa dan Lubang Buaya adalah situs pelanggaran paling
mengerikan terhadap perjanjian itu. Sebagai ruang sakral, Monumen Pancasila Sakti menjadi
lokasi penyelengaraan ritual-ritual rezim Soeharto yang paling penting. Setiap lima tahun
semua anggota parlemen berkumpul di sini, sebelum memulai sidang pertama, untuk
bersumpah setia kepada Pancasila. Setiap tahun pada 1 Oktober, Soeharto dan pejabat
terasnya menyelenggarakan upacara di hadapan monumen teresbut untuk menyatakan janji
kesetiaan mereka yang abadi kepada Pancasila malam sebelumnya semua stasiun telivisi
diwajibkan menyiarkan film buatan pemerintah, Pengkhianatan Gerakan 30 September PKI
(1984). Film sepanjang empat jam yang melelahkan ini bercerita mengenai penculikan dan
pembunuhan tujuh perwira Angkatan Darat di Jakarta, dan menjadi tontotan wajib setiap
tahun bagi anak-anak sekolah. Film ini dimulai dengan sorotan berkepanjangan terhadap
monumen itu. diiringi pukulan ratapan genderang yang murung. Lubang Buaya ditanamkan
dalam kesadaran publik sebagai tempat PKI melakukan kejahatan besar.

8
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

Bagi rezim Soeharto, kejadian 1 Oktober 1965 menyingkap kebenaran tentang sifat PKI yang
khianat dan antinasional. Ia mendeskreditkan prinsip yang digalakkan Soekarno, yaitu
Nasakom – akronim yang menyatakan azas tritunggal nasionalisme, agama, dan komunisme
– yang memberi keabsahan bagi PKI sebagai komponen dasariah dalam perpolitikan
Indonesia. Rupa-rupanya G-30-S menandai adanya pemutusan imanen dengan pengetahuan
yang telah dilembagakan dan meyakinkan orang-orang yang akan menjadi setia kepada
kebenaran gerakan tersebut. Rezim Soeharto menampilkan diri sebagai wahana yang dapat
digunakan bangsa Indonesia agar tetap setia kepada kebenaran persitiwa 1 Oktober 1965.
Kebenaran yang dinyatakan peristiwa itu ialah bahwa PKI jahat dan penghinatan yang tak
dapat disadarkan lagi. Rezim Soeharto akan tampak sebagai semacam proses kebenaran jika
kebenaran dirumuskan sebagai suatu proses nyata tentang kesetiaan kepada suatu peristiwa.
Maka semua pejabat negara harus mengucapkan sumpah setia kepada Pancasila dan
bersumpah bahwa mereka (serta keluarga masing-masing) bersih dari kaitan apa pun dengan
PKI dan G-30-S. Namun, jika menggunakan kerangka berpikir yang menyatakan bahwa
peristiwa itu sedikit banyak merupakan hasil rekayasa ex post facto (dari sesuatu yang sudah
terjadi), kita akan menemukan bahwa G-30-S bukanlah suatu peristiwa. Dengan operasi-
operasi perang urat syaraf rezim Soeharto berdusta tentang cara bagaimana enam jendral
tersebut dibunuh ( menciptakan kisah-kisah tentang penyiksaan dan mutilasi) dan tentang
identitas para pelaku yang bertanggung jawab (menuduh setiap anggota PKI bersalah).
Gerakan 30 September tidak sama dengan revolusi Indonesia 1945-1949, yang merupakan
”peristiwa-kebenaran” bagi Soekarno. Revolusi itu bersifat terbuka dan umum. Jutaan orang
mengambil bagian di dalamnya (sebagai gerilyawan, kurir, juru rawat, dermawan, dll). Untuk
menghancurkan prinsip rasial yang menjadi tumpuan pemerintah kolonial Belanda, revolusi
tampil membela prinsip-prinsip universal pembebasan umat manusia. Sebaliknya, G-30-S
adalah kejadian yang berlangsung cepat, berskala kecil, bersifat tertutup, dan masyarakat
umum hampir tidak mempunyai pengetahuan langsung mengenainya. Hanya rezim Soeharto
saja yang mengaku mampu melihat kebenaran peristiwa tersebut. Dengan demikian rezim itu
setia kepada sesuatu yang bukan peritiswa , kepada suatu fantasi yang dibuatnya sendiri. Ia
hanya mengakui sekumpulan orang tertentu (misalnya orang-orang nonkomunis) sebagai
peserta dalam kebenaran suatu peristiwa dan menciptakan “perang dan pembantaian“ sebagai
upaya membasmi siapa pun yang berada di luar kumpulan yang telah diakui tersebut.

9
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

Sampai penghujung rezim Soeharto pada 1998 pemerintah dan pejabat militer Indonesia
menggunakan hantu PKI untuk menanggapi setiap masalah kerusuhan atau gejala
pembakangan. Kata-kata kunci dalam wacana rezim itu adalah “bahaya laten komunisme ”
Agen-agen tersembunyi dari Organisasi Tanpa Bentuk (OTB) senantiasa mengendap, siap
merongrong pembangunan ekonomi dan tertib politik. Pembasmian PKI yang tak kunjung
usai, sungguh-sungguh merupakan rasion d”etre (alasan keberadaan) bagi rezim Soeharto.
Landasan hukum asali yang dipakai rezim ini untuk menguasai Indonesia selama lebih dari
30 tahun adalah perintah Presiden Soekarno pada 3 Oktober 1965, yang memberi wewenang
Soeharto untuk “memulihkan ketertiban”. Perintah itu dikeluarkan dalam situasi darurat. Tapi
bagi Soeharto situasi darurat itu tidak pernah berakhir. Kopkamtib (Komando Operasi
Pemulihan Keamanan dan Ketertiban) yang dibentuk pada masa itu tetap diperttahankan
sampai akhir kekuasaan ( dengan penggantian nama menjadi Bakostranas pada 1988).
Pengambilalihan kekuasaan oleh Soeharto sejalan dengan pernyataan bahwa sang penguasa
adalah dia yang mengambil keputusan akan adanya kecualian Bagi Soeharto, G-30-S
adalah sebuah kekecualian ; sebuah patahan dalam tertib hukum yang normal, yang
memerlukan kekuatan ekstra legal untuk memberantasnya. Gerakan 30 September bukan
sekadar “ riak kecil di tengah samudra luas Revolusi Indonesia ”. Soeharto memutuskan
bahwa kekecualian dari 1 Oktober 1965 bersifat permanen. Rezimnya mempertahankan
“bahaya laten komunimse“ dan menyandera Indonesia dalam keadaan darurat terus-menerus.
Komunisme tidak pernah mati di Indonesia-nya Soeharto. Rezim Soeharto tidak dapat
membiarkan komunisme mati, karena ia menetapkan dirinya dalam hubungan dialektis
dengan komunisme, atau lebih tepat, dengan citra khayali “ komunisme “. ( John Rossa
2008 : 4 – 15 )

Usulan Pencabutan XXV/ TAP/ MPRS 66

10
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

Pengunduran diri Soeharto pada 1998 berpengaruh besar dalam upaya menelaah kembali
kontruksi sejarah resmi Peristiwa 1965. Narasi Peristiwa 1965 menjadi lebih bervariasi. Bila
dahulu peristiwa ini hanya dikonstruksi dari sudut pandang remi Orba, maka kini sebaliknya,
kontruksi sejarah Peristiwa 1965 dari perspektif korban mulai mengemuka. Perubahan itu
antara lain ditandai dengan beredarnya buku-buku yang berkait dengan Peristiwa 1965 yang
di masa kekuasaan rezim Soeharto dilarang, ditambah memoar, otobiografi, dan biografi baik
yang ditulis oleh eks-eks tapol 1965 maupun pihak lain. Selain buku-buku, terdapat juga
bentuk lain seperti laporan jurnalistik, diskusi dan seminar publik, pementasan teater, dan
pameran seni rupa.

Perubahan lain juga tampak dalam kebijakan politik pemerintah. Dari segi politik, semasa
dua presiden setelah Soeharto, yakni BJ Habibie dan Abdurrachman Wahid, wacana resmi
tentang komunisme telah mengalami perubahan. Di masa Habibie, meski masih setengah
hati, terjadi empat berkaitan dengan sikap pemerintah terhadap wacana komunisme. Pertama,
pemerintah menghentikan penanyangan film “ Pengkhianatan G30S/PKI “ yang rutin
ditayangkan TVRI setiap tanggal 30 September. Kedua, pemerintah membebaskan sepuluh
tapol 1965 yang masih tersisa. Ketiga, pemerintah tidak menolak pembentukan YPKP
(Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan 1965 – 1966 ). Keempat, para aparat pemerintah
menghentikan penggunaan retorika “waspada terhadap ancaman/bahaya laten komunisme.”
( Singgih Nugroho 2008 : 35 – 41 )

Sebelum dipilih sebagai presiden Indonesia yang keempat pada Oktober 1999, Abdurahman
Wahid telah dikenal sebagai sosok pemimpin Muslim terpandang dan moderat. Ia bukan
hanya seorang tokoh terkemuka dalam hal toleransi beragama, yang telah membuatnya
diterima oleh berbagai kalangan non-Muslim, melainkan juga pembela gerakan
demokratisasi dan hak asasi manusia. Setelah dengan terus terang menyatakan
keprihatinannya terhadap berbagai konflik dan pelanggaran hak asasi manusia di Indonesia
dalam tahun-tahun terakhir era pemerintahan Soeharto, ia mengangkat isu rekonsiliasi
nasional. Akan tetapi seruannya itu tidak mendapat tanggapan, dan ia sendiri juga tidak
mengeloborasi gagasannya lebih jauh. Ia hanya menegaskan soal pentingnya membentuk
sebuah forum nasional, di mana para tokoh politik terkemuka Indonesia akan saling
merundingkan kepentingan dan agenda mereka satu sama lain. Kendati demikian,
Abdurahman Wahid tidak berhenti. Setelah terpilih sebagai presiden, ia mengajukan
11
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

kebijakan yang ditujukan untuk mewujudkan gagasan rekonsialisi nasional. Alasan di balik
inisiatifnya yang berkenan dengan eks-tapol dan keluarga mereka itu .

Pertama, mengenai keputusannya memberi izin kepada para pengasingan politik Indonesia
untuk pulang kembali, dan mendapatkan kembali kewarganegaraan apabila mereka sendiri
menghendaki, karena Abdurahman Wahid mengharapkan terciptanya masyarakat sipil dalam
suasana Indonesia yang baru. Satu cara untuk merealisasikan harapan semacam ini adalah
dengan membangun wacana demokrasi dan pluralisme, di mana setiap warga negara
memiliki hak yang sama dalam mengembangkan dan menghidupi kemanusian mereka tak
peduli apa pun agama, etnis, dan afiliasi politik mereka.

Kedua, mengenai keputusannya untuk membubarkan Bakostranas dan menghentikan praktik-


praktik “penelitian khusus” (litsus), ia menganggap Bakostranas sebagai semata-mata alat
politik yang malah memperumit birokrasi. Sebagai juru bicara presiden, Marsilam
Simanjutak, menyatakan bahwa tujuan dikeluarkannya kebijakan ini ialah untuk membangun
sebuah asumi yang baik terhadap setiap orang.

Ketiga, Abdurahman Wahid secara pribadi menawarkan pernyataan permintaan maaf kepada
para keluarga korban pembantaian massal 1965-1966 dan kepada mereka yang telah
dipenjara tanpa melalui proses peradilan. Ini merupakan pernyataan yang mengagetkan.
Bagaimanapun, ia sebenarnya tidak bermaksud membuat kejutan, sebagaimana dikatakannya
bahwa ia juga pernah menyampaikan permintaan maaf semacam itu ketika menjabat sebagai
ketua Nahdlatul Ulama (NU). Sebagai tambahan dari permintaan maafnya terhadap para
korban pembantaian massal 1965-66 itu, ia menyetujui gagasan tentang peninjauan ulang
sejarah seputar “peristiwa 1965 “. Ia mengatakan bahwa demi mewujudkan rekonsiliasi
nasional, misteri kelam “ peristiwa 1965 “ harus disingkap kembali.

Keempat, Abdurahman Wahid mempunyai beberapa alasan dengan usulannya untuk


mencabut Tap MPRS No 25/1966 tentang pelarangan PKI dan ajaran
Komunisme/Marxisme/Leninisme. Awalnya, usulan itu dimaksudkan sebagai tanggapan
12
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

terhadap isu yang tengah muncul soal pencabutan semua ketentuan hukum yang
meminggirkan para eks-tapol dan keluarga mereka yang telah diwariskan oleh rezim Orde
Baru. Isu tentang pencabutan Tap MPRS tersebut muncul ke hadapan publik ketika seratus
eks tapol yang dipimpin Sri Bintang Pamungkas melakukan demontrasi di hadapan Dewan
Perwakilan Rakyat pada 3 November 1999. Mereka mengajukan petisi kepada komisi hak
asasi manusia dalam tubuh legislatif tersebut. Salah satu butir dari petisi yang mereka
kemukakan menuntut pencabutan Tap MPRS itu dan instrumen–instrumen hukum lainnya.
Ketentuan-ketentuan hukum tersebut, menurut Bintang, merupakan sebentuk diskriminasi
sosial dan politik terhadap para eks tapol dan keturunan mereka. Ia menggambarkan dua
contoh diskriminasi dalam kaitan dengan hal itu : (a) pencantuman label “ET” (Eks-Tapol)
pada kartu identitas (Kartu Tanda Penduduk) para eks tapol, yang merupakan sebentuk
tindakan stigmatisasi secara politik, dan (b) pelarangan keturunan keluarga dan orang-orang
terdekat dari para eks tapol untuk menjadi pegawai negeri atau untuk meniti karier dalam
dinas militer atau kepolisian.

Abdurahman Wahid menjawab petisi tersebut pada akhir Januari 2000. Ia mengumumkan
bahwa demi rekonsiliasi nasional, ia menerima dan sangat menyetujui gagasan pencabutan
Tap MPRS No 25/1966. Ia menegaskan bahwa PKI telah dihukum selama bertahun-tahun. Ia
mengajukan pertanyaan retoris “ Apakah kita masih harus menghukum mereka (“kaum
komunis itu “ ). Pernyataan Abdurahman Wahid menimbulkan protes dari publik, terutama
dari organisasi-organisasi Islam. Meskipun timbul protes seperti itu, ia terus menggulirkan
gagasan tersebut. Ia menyatakan dan menyeruhkan gagasannya itu dalam berbagai
kesempatan. Sebagai contoh, ketika ia ada di Universitas Islam Malang, Jawa Timur, ia
mengulang bahwa Tap MPRS tersebut seharusnya dicabut. Ia menegaskan bahwa telah
begitu banyak orang yang non-komunis turut terbunuh dan dipernjara (tanpa proses
peradilan) dengan adanya ketentuan hukum tersebut. Ia mengatakan bahwa kalaupun
seseorang komunis, ia tidak boleh diperlakukan sebagai orang yang tanpa hak-hak sipil. Jadi,
demikian ia menegaskan, gagasan pencabutan Tap MPRS tersebut terkait erat dengan isu hak
asasi manusia.

13
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

Tanpa memperdulikan protes yang muncul, Abdurahman Wahid kembali melontarkan secara
terus-menerus gagasan tersebut. Bahlkan sebelum melakukan shalat Jum’at di Jakarta, ia
mengatakan bahwa Tap MPRS tersebut dibuat oleh “seseorang yang tengah berendam dalam
nafsu (kekuasaan) dan takut dituduh sebagai salah seorang anggota PKI itu sendiri .”

Untuk meyakinkan khalayak bahwa ia benar-benar ingin menegaskan prinsip-prinsip hak


asasi manusia, Abdurahman Wahid mengkaitkannya dengan sepengal kisah hidupnya sendiri.
Ia lahir di dalam sebuah keluarga non_PKI. Akan tetapi, ia menyaksikan sebuah hubungan
pribadi yang sangat erat antara ayahnya, Wahid Hasyim, dan seorang tokoh terkemuka
komunis, Tan Malaka, yang acap mengunjungi orang tuanya dan diterima dengan tangan
terbuka .” Bagaimana mungkin seorang kiai dan seorang komunis saling berpelukan?“
Demikian Abdurahman Wahid bertanya untuk memberikan penegasan, bahwa berpayung di
bawah pandangan politik dan ideologi yang berbeda, atau bahkan saling berseberangan,
bukan merupakan sebuah aral tak terseberangi bagi terjalinnya persahabatan pribadi yang
erat.

Abdurahman Wahid mengatakan bahwa orang jarang sekali berniat untuk memahami hukum
dan pandangan politik seseorang atau orang lain. Ia menegaskan bahwa menghukum
seseorang anggota PKI, bahkan seorang yang benar-benar terlibat dalam “Peristiwa 1965 “,
tidak berarti bahwa anak-anaknya harus juga dihukum oleh masyarakat. Ia mengatakan
bahwa anak-anak tersebut barangkali bahkan tidak mengerti sama sekali soal politik atau
pandangan politik orang tua mereka. Oleh karena itu, ia kembali menegaskan, Tap MPRS
tersebut harus dicabut.

Untuk menekankan niat kuatnya atas usul pencabutan Tap MPRS tersebut, Abdurahman
Wahid menggunakan argumen keagamaan dengan menyatakan bahwa melanggar hak hukum
seseorang karena ia telah menyerang kita tidak mencerminkan pandangan hidup seorang
Msulim yang baik. Seorang Muslim yang baik, menurut Abdurahman Wahid, harus

14
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

mengatakan bahwa apa yang salah dan apa yang benar, terlepas dari kita menyukainya atau
tidak

Ia menyadari bahwa sejumlah kyai telah menentang dan mengeritiknya. Namun, ia tetap
berpegang teguh pada gagasan tersebut. Ia tidak merasa bermusuhan dengan dengan para kiai
itu.

Abdurahman Wahid tiada lelahnya melontarkan gagasan itu pada berbagai kesempatan. Pada
sautu kesempatan dalam pertemuan dengan masyarakat Kedungombo, sebagai misal, ia
menyatakan bahwa Tap MPRS tersebut bertentangan dengan Konsitusi (UUD 1945). Ia
menegaskan bahwa konsitusi tidak melarang ideologi apa pun. Bahkan kalaupun sebuah
ideologi dinyatakan sebagai ideologi terlarang, ideologi tersebut dibubarkan tetap hidup
dalam benak (para pemeluknya). Jadi, sia-sialah melarang ideologi apa pun. Tambahan pula,
menurut Abdurahman Wahid, bahkan kalaupun PKI telah berkali-kali mencoba
menghancurkan negara dan bangsa, toh mereka selalu gagal. Mereka gagal total. Jadi, kita
tak perlu panik dalam menghadapi komunisme.

Menanggapi gelombang demontrasi menentang usulannya untuk mencabut Tap MPRS


tersebut, Abdurahman Wahid berjanji untuk mengklarifikasinya pada 20 Mei 2000, dan
setelah tanggal itu ia akan berhenti, mengkampanyekan gagasan itu. Namun kembali lagi, ia
tetap merasa perlu mengatakan bahwa bahwa proses perumusan Tap MPRS tersebut
sangatlah sewenang-wenang. Tap tersebut tidak bisa membedakan antara hak hukum dan hak
politik warga negara. Hak hukum seseorang tak dapat dienyahkan begitu saja, bahkan
jikapun ia secara politik bersalah. Di samping itu, menurut Abdurahman Wahid, Tap
tersebut mengaburkan perbedaan antara partai dan ideologi. Kita bisa saja mencabut sebuah
partai, tetapi kita tak bisa melarang sebuah ideologi.

Protes-protes itu kemudian mereda karena adanya janji tersebut. Pada 20 Mei 2000, dalam
siaran yang ditayangkan oleh TVRI. Abdurahman Wahid pertama-tama mengulangi
15
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

alasannya. Kemudian ia menambahkan beberapa poin baru berkenan dengan status hukum
Tap MPRS tersebut dan tugasnya sebagai presiden. Meskipun status hukum sebuah Tap
MPR lebih tinggi daripada sebuah undang-undang, menurut Abdurahman Wahid, kita tidak
dapat memandangnya sebagai sesuatu yang keramat. Produk hukum seperti Tap MPR tidak
selalu relevan sepanjang massa. Abdurrahman Wahid memberi contoh. Misalnya, Tap MPR
yang berkaitan dengan jabatan seumur hidup presiden. Tap MPR yang berkenan dengan
Pedoman Penghayatan dan Pengalaman Pancasila (P4). Tap MPR tentang integrasi Timor,
semuanya telah diganti dan disesuaikan (dengan situasi baru). Sesuatu yang kita butuhkan
pada satu masa, mungkin saja dibutuhkan pada waktu lain.

Berkaitan dengan tugasnya sebagai presiden, Abdurahman Wahid menegaskan bahwa


menjadi kewajibannya untuk menegaskan prinsip-prinsip hak asasi manusia, sebagai
dinyatakan secara tegas dalam Konsitusi (UUD 1945). Dengan demikian, mengajukan
gagasan mencabut Tap MPRS No 25/11966, yang menurutnya bertentangan dengan hak asasi
manusia itu justru sangat sesuai dengan amanat Konsitusi. Di samping itu, tambah
Abdurrahman Wahid, saya hanya mengajukan (kepada MPR) MPR-lah yang berhak untuk
mempertimbangkan apakah menerima atau menolaknya. Jika MPR menolaknya, maka itu
adalah tanggung jawab MPR itu sendiri. Tidak lagi menjadi tanggung jawab saya. Setelah
klarifikasi, saya akan berhenti berbicara tentang gagasan ini.

Setelah memberikan klarifikasi, Abdurahman Wahid benar-benar berhenti berbicara


mengenai isu isu itu. Pada 29 Mei, Komite ad hoc Badan Pekerja MPR menolak usulan
pencabutan Tap MPRS tersebut. Argumen utama mereka adalah bahwa “ Tap MPRS itu
harus dipertahankan, karena ia justru melindungi hak asasi manusia .”

Argumen ini secara implisit mempersalahkan PKI sebagai pelanggar hak asasi manusia par
excellence, dan jika Tap MPRS tersebut dicabut, PKI akan (kemungkinan besar) hidup
kembali dan mengulangi “dosa-dosa “ lamanya. Ini menggambarkan suara dominan dari opni

16
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

publik dalam gelombang demontrasi menentang gagasan pencabutan Tap tersebut.


( Budiawan 2004 : 46 – 57 )

Ide Abdurahman Wahid mencabut MPRS/XXV/66, sesungguhnya mengandung bersit-bersit


apresiasi yang tinggi terhadap kemanusian dan hak-hak asasi manusia. Dengan demikian,
subtansi gagasan tersebut merangkum nilai-nilai cinta kasih yang universal nondiskriminatif.
Artinya, Abdurahman Wahid ingin menjadi Presiden bagi semua orang Indonesia tanpa pilih
kasih. Abdurahman Wahid ingin setiap orang diperlakukan setara dalam hukum, tanpa
membeda-bedakan dari mana mereka berasal dan apa warna ideologinya.

Dalam konteks ini, Abdurrahman Wahid sebagai presiden, tampaknya, tak hendak
memperlakukan sebagaian warganya sebagai “sampah“, melainkan menghargai mereka
sebagai sesama manusia dan sesama warga Indonesia. Lebih jauh lagi, Abdurahman Wahid
membuka sebuah cakrawala baru agar orang Indonesia bisa menjadi toleran terhadap ajaran
atau paham politik untuk menunjukkan sikapnya yang terbuka atas kebebasan berpikir dan
berideologi, dengan usulan mencabut Tap MPRS/XXV/1966.

Abdurahman Wahid menjadi Presiden yang menghormati hak asasi manusia, hak semua
warga yang ada di Indonesia, termasuk jika ada orang yang berpaham komunis. Kesetaraan
dalam hukum dan perlakuan menjadi penting. Abdurahman Wahid hendak membuka
cakrawala baru bagi bangsa Indonesia, bukan atas giringan politik dan ideologi Orde Baru.

Di sini, tampak Abdurrahman ingin menunjukkan persahabatannya kepada semua orang.


Suatu sikap yang tak pernah ditunjukkan pendahulunya, kecuali Soekarno. Abdurahman
Wahid juga tidak segan-segan menunjukkan sikap terbukanya atas masa lalu yang kelam dan
kejam, di mana banyak orang yang menjadi korban. Abdurahman Wahid tampak begitu
sportif dan bersedia mengenang para korban kekerasan politik masa lalu. Usulannya untuk

17
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

mencabut Tap MPRS/XXV/1966 lebih patut dilihat sebagai usaha membuka sejarah hitam
1965 – 1966, yang selama ini tertutup rapat, dan menggali kebenaran atas sejarah tersebut
secara adil. Hal ini penting untuk usaha menghentikan preseden balas dendam yang bakal
terus terjadi, mengiringi pergantian rezim-rezim politik di Indonesia pada masa mendatang

Ide membangun Indonesia yang toleran harus dibaca sebagai upaya memutus masa lalu –
masa yang penuh dengan intolerenasi. Orde Baru adalah orde yang kelam dan kejam, yang
tidak toleran terhadap hak asasi manusia. Membangun Indonesia yang toleran, justru semua
orang dihargai tanpa peduli asal dan warna ideologinya. Insitusi-insitusi demokratis, mesti
dibangun dengan cara mengundang partisipasi semua orang, di mana yang lemah tidak
ditinggalkan. Dari partisipasi luas inilah, kelak sebuah Indonesia yang kuat dan setia kawan
dapat diwujudkan.

Dari perspektif yang positif, Abdurahman Wahid berdamai dengan salah satu problem masa
lalu dan komunitas yang diduga terus “tertindas”, baik dengan cara stigmatisasi maupun
kriminalisasi, yang hingga kini masih terus menjadi perhatian banyak kalangan. Di masa
mendatang, seluruh unsur dan elemen masyarakat harus didorong untuk mengatasi seluruh
masalah secara bersama. Tentu saja dari sikap itu, Abdurahman Wahid ingin menunjukkan
dirinya sebagai salah satu negarawan yang baik, ingin memulai babak baru kehidupan
masyarakat.

Sebagai seorang demokrat, Abdurahman Wahid tampaknya konsisten dalam menjalanklan


ajaran demokrasi. Penegakan demokrasi dalam konteks pencabutan Tap MPRS/XXV/66
adalah mengembalikan persamaan hak warga bangsa agar tercipta rekonsialisi nasional.
Terciptanya rekonsialisi nasional sangat tergantung pada kemauan semua pihak.
Pertanyaannya selarang adalah dimulai dari mana rekonsialiasi itu ?

18
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

Untuk menentukan prioritas rekonsialiasi, tampaknya kita harus melakukan rekontruksi


timbulnya persoalan yang membelit bangsa Indonesia sepanjang satu dekade terakhir dengan
jernih, jujur, dan kepala dingin. Prosesnya harus dijalankan dengan melibatkan segala unsur
yang bertikai, tanpa paksaan dan penuh kerelaan. Efektivitas proses rekonsiliasi sangat
tergantung pada sikap dan rasa tanggung jawab terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara.
Tanggung jawab moral sangat penting dalam proses rekonsiliasi.

Kita bisa mulai dengan bagaimana kita harus bersikap terhadap suara orang-orang yang
paling menjadi korban dari praktik-praktik pelanggaran HAM. Selama kita masih memiliki
prasangka–prasangka ideologis, politis, etnis, atau agama terhadap suara-suara para korban
maka niscaya kita akan gagal menegakkan HAM ke dalam praktek-praktek sosial, dan hal ini
bisa menjadi kendala serius dalam upaya di aras legal-institusional. Misalnya, ini kita masih
memprasangkai suara-suara para eks-tapol “peristiwa 1965” sebagai upaya “cuci tangan“ dan
“membangkitkan kembali komunisme“, dan sederet contoh lainnya, maka kita tidak akan
pernah mampu menegakkan HAM sebagai modal untuk meletakkan fondasi rekonsiliasi.
Dengan kata lain, dalam politik mikro HAM, hal yang pertama-tama harus dikerjakan adalah
mendengarkan dan menghargai suara para korban.

Barangkali menurut Abdurahman Wahid untuk dapat mendengarkan dan menghargai suara
korban (eks anggota PKI) kita harus memposisikan eks anggota PKI secara sama di hadapan
warga bangsa lain, dan untuk dapat meletakkan secara sama eks PKI sebagai warga bangsa
perlu dilakukan penghapusan Tap MPRS/XXV/66 terlebih dahulu. ( Kasiyanto Kasimen
2003 : 77 – 81 )

Eks Tapol 65 dan Calon Legislatif

Perubahan penting mendasar yang perjadi pasca kejatuhan presiden Soeharto, adalah
dibentuknya apa yang disebut dengan Mahkamah Konsitusi (MK). MK merupakan sebuah

19
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

lembaga amat penting yang memiliki wewenang sangat menentukan dalam proses kehidupan
bernegara dan politik era pasca Soeharto. Tidak lama setelah Mahkamah Konsitusi berdiri,
sebuah keputusan penting lahir; yaitu keputusan bahwa para mantan tahanan atau eks tahanan
dan narapidana politik Partai Komunis Indonesia (PKI) diperbolehkan untuk menjadi calon
anggota legislatif (Caleg) dalam pemilu tahun 2009.

Mahkamah Konsitusi (MK) dalam putusannya, menyatakan pasal 60 huruf (g) Undang-
Undang (UU) Nomor 12/2003 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD
tidak berlaku lagi. Dengan demikian, para mantan eks organisasi terlarang Partai Komunis
Indonesia (PKI) bisa menggunakan hak untuk menjadi calon anggota legislatif (caleg). Ketua
MK Prof Dr Jimly Ashiddiqie yang memimpin sidang mengatakan. putusan itu sudah final.
Sesuai dengan aturan yang berlaku, para pejabat publik diminta untuk tidak lagi
mengomentari putusan MK tersebut.

Pasal 60 huruf (g) menyebutkan, “ calon anggota DPR,DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD
Kabupaten /Kota harus memenuhi syarat; bukan bekas anggota organisasi terlarang PKI,
termasuk organisasi massanya, atau bukan organisasi terlibat langsung ataupun tidak
langsung dalam G 30 S PKI atau organisasi terlarang lainnya .” Atas pasal itu, sejumlah
tokoh mengajukan judicial review (uji materiil). Mereka diantaranya adalah Deliar Noer, Ali
Sadikin, dan Sri Bintang Pamungkas. Putusan MK itu diwarnai dengan pendapat berbeda
(dissenting opinion) dari seorang hakim konsitusi, Ahmad Roestandi .

Dalam putusannya, juga, MK menilai pasal 60 huruf (g) itu bertentangan dengan UUD 1945,
sejumlah pasal dalam Undang-Undang tidak membenarkan adanya diskriminasi terhadap
seluruh warga negara Indonesia. Majelis Hakim MK juga menyatakan, pasal 60 huruf (g) itu
UU Nomor 12/2003 itu tidak mempunyai hukum tetap. Putusan MK itu mulai berlaku sejak
pada tanggal 23 Februari 2004 (setelah penetapan caleg pada pemilu 2004) namun tidak
berlaku surut. Artinya, mantan anggota PKI baru dapat mengajukan diri menjadi caleg pada
pemilu 2009.

20
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

Banyak pihak menilai putusan Mahkamah Konsitusi itu merupakan terobosan sekaligus
sarana bagi pengembangan rekonsiliasi nasional. Sebab dalam kehidupan sosial,politik
bahkan ekonomi selama sekitar 38 tahun, orang-orang bekas PKI dan yang tidak terlibat
langsung atau tidak langsung dengan G 30 S mengalami pembatasan melalui tindakan
diskriminatif. Karena inilah mantan Presiden RI KH Abdurahman Wahid pada era
pemerintahannya mengusulkan supaya sidang Tahunan MPR tahun 2000 yang lalu mencabut
Tap No XXV/ MPR/ 1966 yang melarang PKI. Namun usul itu tidak mendapat sambutan
dari elit politik di MPR bahkan menuduh mantan Ketua Umum PBNU ini mengkhianati
aspirasi masyarakat

Apa benar putusan Mahkamah Konsitusi itu bisa dikualifikasikan sebagai terobosan yang
sangat berani dan upaya rekonsiliasi nasional ? Jawabnya, antara “ya” dan “ tidak “, “ ya “
karena secara politis putusan itu sekaligus menghilangkan tindakan diskriminatif yang
selama ini diberlakukan terhadap mereka bekas anggota PKI dan yang terlihat G30S. Hak-
hak politik dan hak-hak keperdataan mereka yang secara penuh terkena pembatasan selama
puluhan tahun, kini dipulihkan sebagai kedudukan didepan hukum sama dengan warga
negara lainnya. Tapi putusan itu bisa dikatakan “tidak” merupakan terobosan dan upaya
rekonsiliasi karena secara konsitusional dan secara yuridis formal, larangan terhadap PKI
sebagai organisasi dan ideologi yang dianutnya masih berlaku berdasarkan Tap MPR No
XXV/MPRS/1966. Bahkan secara yuridis formal larangan bagi anggota PKI menjadi caleg
masih berlaku karena ketentuan pasal 60 huruif (g) UU No 12 Tahun 2003 tentang pemilu
belum dicabut lagi pula putusan Mahkamah Konsitusi itu tidak berlaku surut, dengan kata
lain, putusan itu, baru akan berlaku nanti pada Pemilu 2009.

Juga ketentuan pasal 27 ayat (1), Pasal 28 d Ayat (1) dan Pasal 28 I Ayat (2) UUD 1945 yang
menjadi dasar pertimbangan Mahkamah Konsitusi mengembalikan hak-hak konsitusional eks
anggota PKI, masih menimbulkan multi tafsir. Sebab, ada yang berpendapat, pasal–pasal
UUD 1945 yang dijadikan dasar pertimbangan Mahkamah, bisa dipatahkan oleh ketentuan
21
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

pasal 29 J Ayat (2) UUD 1945. Sebab pasal itu mengatakan, dalam menjalankan hak dan
kebebasan ,” setiap orang wajib untuk tunduk pada pembatasan yang ditetapkan dengan
undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan
atau hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan
pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu
masyarakat demokratis.

Pertimbangan moral keamanan dan ketertiban umum seperti tertera dalam pasal 28 J Ayat (2)
UUD 1945 dimaksudkan dikaitkan dengan putusan mahkamah yang merehabilitasi hak-hak
politik eks-PKI, justru perlu digaris bawahi. Sebab pasal 29 J Ayat (2) UUD 1945 inilah juga
yang menjadi dasar pertimbangan kita mengatakan bahwa putusan itu belum sepenuhnya
secara komprehensif mampu merajut rekonsiliasi nasional, apalagi baru akan berlaku nanti
pada Pemilu 2009, sementara Tap No. XXV/MPRS/1966 dan pasal 60 huruf (g) UU No 12
tahun 2003 tentang pemilu yang melarang eks-PKI menjadi caleg, masih berlaku.

Reaksi tentang keputusan Mahkamah Konsitusi (MK) yang mencabut larangan bagi bekas
anggota PKI dan organisasi massa yang berafiliasi dengannya serta pada mereka yang masa
lalu diduga terlibat G 30 S untuk memiliki hak dipilih sebagai anggota dewan, cukup
beragam. Dari yang menganggap keputusan itu sebagai sebuah terobosan sampai yang kaget
dan kecewa. Tidak mudah memetahkan kecenderungan pro-kontra atas keputusan itu
berdasarkan garis ideologis yang jelas. Dua organisasi massa Islam terpenting ini, Nahdlatul
Ulama dan Muhamadiyah, menyambut keputusan itu dengan menekankan pembelaannya
pada usaha untuk mengakhiri praktik diskriminasi.

Walaupun tidak disebut secara eksplisit, pengutamaan pada asas kesamanan kedudukan
warga negara dipakai sebagai pijakan untuk mengembangkan argumentasi bahwa tidak
sepatutnya sebuah peraturan hukum setingkat undang-undang dibuat dengan mengabaikan
asas yang dijunjung tinggi oleh semua konsitusi negara modern ini. Sebagian dari yang

22
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

mengambil posisi ini menambahkan argumentasinya pada kenyataan bahwa komunisme


bukan lagi merupakan ancaman, khususnya setelah runtuhnya komunisme di Uni Soviet dan
negara Blok Timur. Sementara itu mereka yang kaget dan kecewa, dari yang samar-samar
hingga yang jelas, membela posisinya dengan, mengembangkan argumentasi berdasarkan
pada sejarah yang menganggap PKI sebagai penghianatan bangsa. Sebagai tambahan mereka
yang berpandangan bahwa keputusan itu dapat menimbulkan masalah baru di masyarakat.
Tetapi kurang dari petinggi TNI, Partai Golkar, dan Partai Bulan Bintang yang menyuarakan
posisi seperti itu.

Menurut Daniel Sparingga, sebagai sebuah keputusan hukum pencabutan larangan itu
memiliki arti politik yang sangat subtansial karena beberapa alasan. Pertama, dan mungkin
yang terpenting secara praktik kenegaraan, keputusan itu meneguhkan kepercayaan baru
bahwa Mahkamah Konsitusi adalah lembaga yang memiliki komitmen yang kuat untuk
menjaga konsitusi. Kedua, keputusan itu secara simbolik juga mempresentasikan hadirnya
era konsitusionalisme yang pada intinya menekankan kewajiban untuk menghormati
konsitusi sebagai sebuah kontrak sosial yang mengikat warga negara dan lembaga-lembaga
penyelenggaraan negara tanpa kecuali. Ketiga, keputusan ini memberi landasan hukum dan
sekaligus pesan moral yang kuat untuk mendorong usaha kolektif dan mampu memberikan
jaminan bahwa praktik yang mengabaikan ajaran humanisme, hukum dan HAM takkan
pernah terjadi lagi.

Keempat, keputusan ini juga membuka jalan bagi usaha yang lebih jujur menghidupkan
kembali tentang gagasan tentang rekonsiliasi melalui pengungkapan kebenaran mengenai
berbagai pelanggaran HAM di masa lalu untuk tujuan menyelamatkan masa depan yang lebih
baik. Kelima, keputusan ini merupakan undangan bagi mereka yang dirugikan oleh praktik
penyelenggaraan penerapan prinsip peraturan mayoritas dalam dalam parlemen (mayority
rule) untuk mendapatkan kembali keadilan dan perlindungan dari konsitusi dan hukum
berdasarkan pengakuan dan penghormatan pada asas kesetaraan di depan hukum (equality

23
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

before law) dan kesetaraan berdasarkan prinsip kewarganegaraan (equality by citizenship )


tanpa memandang latar belakang agama, ras, etnik , dan golongan.

Aspek dan implikasi yang dicakup dalam keputusan Mahkamah Konsitusi bisa jadi lebih luas
dari yang bisa digambarkan saat ini. Respon dari pada sekedar reaksi masyarakat luas bisa
jadi juga lebih kompleks dari yang mampu digambarkan oleh media massa atau para analis.
Meski demikian, ketika kita sedang membahas sebuah prinsip yang memiliki implikasi
sangat mendasar dalam konsitusi dan konsitusionalisme. Jumlah tidak menjadi relevan
bahkan tidak relevan sekali, prinsip tidak bisa dihadapkan pada nomor alias jumlah.

Keputusan Mahkamah Konsitusi tentang pembebasan eks tapol PKI untuk bisa memilih dan
dipilih dalam pemilu 2009,ternyata prosedual. Hal ini dikatakan mantan anggota Pansus UU
Pemilu No 12/2003 Lukman Hakim Syarifuddin. Pemohon judicial rewiw terhadap pasal 60
huruf (g) No 12/2003 bukan pihak yang hak konsitusinya terganggu ,” dengan begitu
keputusan MK cacat secara prosedual ,” ujarnya. Sebelumnya ada banyak judicial review
yang ditolak MK. Beberapa dari penolakan itu, karena pemohon tidak berasal dari mereka
yang hak konsitusinya terganggu. Alasan ini pula yang seharusnya dijadikan besar
pertimbangan MK untuk memutuskan perkara eks tapol ini. Jika MK tidak menggunakan
ketentuan ini, berarti lembaga tersebut sudah tidak lagi konsisten dengan kebijakan
sebelumnya.

Permasalahan itu seharusnya diajukan oleh para caleg yang diajukan oleh para caleg yang
gugur karena terlibat PKI. Kenyatannya, KPU juga belum pernah menggugurkan caleg yang
diajukan partai hanya karena alasan terlibat organisasi terlarang sebagai disebutkan dalam
pasal 60 huruf (g) UU No 12/2003 tentang pemilu. Kebanyakan para caleg yang gagal masuk
daftar, karena ijazahnya palsu, alasan usia, dan lainnya. Hal ini MK tidak memperhatikan
prosedur permohonan judicial review yang benar. Jika ini tetap berlanjut, keputusan MK ini
bisa menjadi preseden buruk.

24
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

Sedangkan, Mahkamah Konsitusi masih bersikukuh dengan putusannya yang


memperbolehkan eks anggota PKI menjadi caleg. Anggota majelis MK, Ahmad Laica
Marzuki menyatakan tidak ada yang salah dengan prosedur pemahaman. Dia membenarkan
adanya kenyataan para pemohon bukan orang-orang yang pernah mencalonkan diri sebagai
anggota legislatif yang kemudian ditolak Komisi Pemilihan Umum (KPU) karena terkait
PKI. Menurut Laica, majelis tahu persis fakta itu namun lebih melihat pada kepentingan yang
lebih luas untuk orang-orang yang terkait dengan PKI. Seorang mantan anggota Pansus UU
No 12/2003, Lukman Hakim Syarifuddin, sempat menganggap putusan MK cacat prosedur.
Menurutnya, para pemohon pengujian kembali pasal 60 huruf (g) ketentuan tentang pemilu
itu bukan pihak yang hak konsitusionalnya terganggu .

Budayawan Mudji Sutrisno memberikan catatan-catatan yang dibingkai untuk proses


Indonesia kedepan yang lebih beradab, adil, menghormati kemajemukan, dan lebih
demokratis menyangkut keputusan Mahkamah Konsitusi yang membatalkan pasal pasal 60
huruf (g) UU Pemilu 2003 tentang larangan calon legislatif (caleg) bekas anggota Partai
Komunis Indonesia (PKI). Catatan yang pertama, bahasa hukum keputusan Mahkamah
Konsitusi ini posistif telah menghilangkan salah-satu pasal perundangan yang diskriminatif,
sehingga memberi ruang (walaupun masih kecil) untuk proses rekonsiliasi ke Indonesia masa
depan yang lebih adil dan beradab .

Catatan kedua, kultural moral pembiaran pembunuhan dengan sumber Tap MPRS ini
merupakan kejahatan. Karena mereka memandang sah memburu dan mengucilkan mereka
yang dianggap terlibat PKI sampai anak cucu. Ketika itu ada sekitar lima juta warga
masyarakat menjadi anggota PKI. Ada puluhan ribu orang diantara mereka yang dianggap
terlibat G30S tidak dapat tidak dapat dibuktikan secara hukum. Tetapi mereka yang dihukum
sampai pada 1979, ini juga kejahatan . Mengapa ? karena “dosa” mereka barangkali hanya
karena menjadi anggota organisasi politik PKI yang sampai pada 12 Maret 1966
keberadaannya legal. Jadi, bahasa hukum harus terus berjuang untuk produk-produk hukum
25
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

yang masih diskriminatif. Sedangkan bahasa kultural religius sosial adalah proses
rekonsiliasi dan format formalnya komisi kebenaran dan rekonsiliasi.

Catatan ketiga, Ideologi Komunisme, masih akan kembali dan berbahayakah ? Yang menjadi
ladang subur Komunisme adalah penyakit sosial masyarakat Mudji Sutrisno mengambil
pemikirian yang mengeritik agama yang tidak mampu menyelesaikan soal kemiskinan.
Aliniasi makna hidup dari elusi dari kepahitan dunia nyata dilarikan ke surga. Seperti dikritik
Karl Marx bahwa agama menjadi candu yang membuat manusia pasrah terhadap nasib dan
tidak berjuang merombak struktur masyarakat yang tidak adil dalam kapitalisme. Jadi
keputusan Mahkamah Konsitusi yang secara hukum masih kecil dampaknya, namun itu
sudah menunjukkan kesadaran bangsa untuk lebih membuat ruang-ruang Indonesia
rekonsiliasi ke depan. Sejarah pergantian kita masih penuh dengan luka dan dendam
berdarah. Siapa lagi yang harus menjadi pelaku Indonesia rekonsiliasi adalah meretak-
retakan, tetapi tafsir kultural rekonsiliatif adalah merajut dan menyembuhkan kembali luka.

Pemerintah belum nenentukan sikap berkaitan putusan Mahkamah Konsitusi yang


membolehkan mantan anggota Partai Komunis Indonesia (PKI) menjadi calon anggota
legislatif (caleg). Berhubungan belum jelasnya status hukum tersebut, apakah masih
mempunyai kekuatan mengikat diatas UU sebagai mana diatur dalam tata urutan perundang-
undangan, pemberlakuan non-diskriminasi terhadap eks anggota PKI tetap menjadi suatu
pertanyaan. ( Ahmad Suhelmi 2007 : 221 – 229 )

Mengungkap Masa Lalu

26
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

Setiap bangsa yang baru saja keluar dari kekuasaan otoriter atau perangsaudara
dihadapkan pada masalah mengurusi masa lalunya yang belakangan, yang ditandai oleh
perlakuan sewenang-wenang terhadap hak-hak asasi dan kejahatan terhadap kemanusian.
Masa lalu inilah yang mewariskan carut marut luka. Karena itu penanganan terhadap masa
lalu ialah penanganan terhadap carut marut yang telah mewujud di dalam memori kolektif.
Bagaimana memori kolektif ini ditangani atau berdampak penting, atau bahkan menentukan,
arah proses transisi. Oleh karenanya bagaimana masa lalu dengan ditangani merupakan
masalah yang sangat krusial dalam masyarakat pasca-otoriter atau pasca perang saudara.

Tetapi tidak setiap masyarakat transisi menghadapi masalah ini sebagai perhatiannya yang
utama. Sejumlah negara bahkan tidak memasukkannya di dalam agenda nasional mereka.
Tentu saja masing-masing mempunyai alasannya semdiri-sendiri. Namun hal yang paling
penting dipertimbangkan berkaitan dengan akibat-akibat yang mungkin timbul dari
penanangan masa lalu hanya akan mempuruk keadaan, maka konspirasi tutup mulut tentang
masa lalu cenderung berkembang. Lalu timbul “konsensus“ nasional untuk tidak bicara
tentang masa lalu. Mozambik merupakan contoh yang terbaik dalam kasus ini.

Sesudah mengakhiri perang saudara selama dua puluh tahun pada pertengahan 1990-an,
Mozambik mengalami konspirasi tutup mulut. Tidak ada minat untuk melihat masa lalu,
karena masa lalu terlalu mengerikan belaka. Mozambik terkunci di dalam suatu keadan
sejarah yang sulit. Ia perlu menyingkap masa lalu agar bisa menyembuhkan luka-lukanya.
Tetapi menyingkap masa lalu hanya akan menghidupkan permusuhan yang pernah ada, tetapi
juga bisa menjebaknya ke dalam apa yang disebut “ hari kemarin yang tanpa sudah :, di mana
masa lalu dan masa kini serentak bersinambung Diperlukan waktu yang tepat untuk
bernegoisasi dengan masa lalu.

Tidak seperti Mozambik, tetangganya, Afrika Selatan, tidak menunggu waktu yang tepat,
tetapi giat bekerja supaya bisa menangani masa lalu sesegera mungkin. Derajat keruwetan
masa lalu di antara keduanya memang sangat berbeda. Di Afrika Selatan garis antara pelaku
dan korban tindak sewenang-wenang an terhadap hak-hak asasi di masa lalu relatif mudah
ditarik, walaupun kenyataannya tidak sesederhana seperti yang mungkin diduga orang.

Banyak cendikiawan dan aktivis hak asasi berpendapat bahwa dunia menjadi kagum pada
Afrika Selatan yang berakhir dengan transisi damai dan kekuasaan minoritas rasial ke
demokrasi non-rasial. Terbentuknya Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) segera
sesudah rezim apartheid berakhir menghadapi kegentingan yang luar biasa dalam politik
global. KKR Afrika Selatan yang terbentuk di bawah pemerintahan baru harus menangani
masalah yang berkaitan dengan kekejaman terhadap hak-hak asasi selama masa
pemerintahan apartheid. Tugas komisi ini membongkar kebenaran tentang kekejaman masa
lalu, memberi amnesti pada pelaku-pelaku secara perseorangan, dan memberikan forum bagi
korban untuk mengisahkan pengalaman mereka. Pendek kata KKR memainkan peranan
pokok dalam “ mengubah represi menjadi ekspresi.”

27
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

Mozambik dan Afrika Selatan merupakan dua kasus yang saling berlawanan, baik dilihat dari
sudut masa lalu masing-masing maupun dari sudut cara masing-masing menatap dan
mengurus masa lalu itu. Mereka mengambil jalan yang berbeda dalam menangani masa lalu
mereka. Di Mozambik keyakinan yang diterima, walaupun tanpa dinyatakan, ialah “ semakin
kurang kita memikirkan tentang masa lalu, semakin mungkin rekonsiliasi akan terjadi “.
Sementara itu di Afrika Selatan pendapat yang diterima umum ialah bahwa “ semakin
banyak kebenaran, semakin banyak kita bicara tentang masa lalu, maka semakin terbuka
rekonsiliasi. Kedua cara penanganan masa lalu tersebut mempunyai tujuan yang sama, yaitu
melepaskan diri dari beban masa lalu .”

Apa yang terjadi di Indonesia pasca-Soeharto pada tingkatan nasional ada di luar dua kasus
yang berbeda itu. Di Indonesia yang terjadi bukannya berusaha melepaskan diri dari beban
masa lalu, tetapi banyak kelompok sosial yang malah menutup diri sendiri di dalam masa
lalu. Ini kentara sekali di dalam penolakan secara terbuka untuk bernegoisasi dengan warisan
pembantaian 1965-66. Kkita harus mengkaji masa lalu dan cara-cara yang dominan dalam
melihatnya agar bisa mengerti, tapi tidak berarti harus menerima gejala yang “ tidak lazim “
ini.

Sudah menjadi pengetahuan umum, bahwa masa lalu Indonesia yang belakangan ini, yaitu
masa tiga puluh dua tahun pemerintahan Soeharto (1966-1998), merupakan sebuah rezim
otoriter. Rezim itu sendiri dibangun di atas pembasmian PKI dan pembunuhan-pembunuhan
serta pemenjaraan tanpa proses pengadilan terhadap lebih dari satu juta kaum komunis atau
yang dituduh sebagai komunis. Meskipun demikian kisah dominan tentang masa lalu
komunis bungkam terhadap bagian masa lalu yang tragis ini. Apa yang dikemukakan dan
diuarkan justru tentang bagian-bagian lain dari masa lalu, yaitu tentang apa yang oleh
kelompok-kelompok anti komunis disebut sebagai “kekejaman“ dan “pengjhianatan“ kaum
komunis. Ini menujuk pada politik ofensif PKI pada paro pertama tahun 1960-an, yang
memuncak pada Peristiwa 30 September. Bukan hanya Soeharto dan militer, tetapi juga
kelompok-kelompok anti-komunis terutama partai-partai (politik) Islam, yang menaruh
pamrih dalam menciptakan dan membiakan narasi tentang masa lalu komunis yang berat
sebelah itu. Itulah sebabnya mengapa narasi demikian itu tetap lestari walaupun Soeharto
telah jatuh.

Dengan mempertahankan kisah masa lalu komunis ini, kelompok-kelompok anti-komunis


menjustifikasi klaim mereka sebagai pihak yang tidak bersalah dan yang menjadi korban.
Mereka berkisah tentang memori mereka tatkala ditindas, dihina, dan diintimidasi PKI ketika
partai ini masih dominan dan mendominasi kehidupan politik. Melalui pengakuan yang
demikian itu, mereka menempatkan diri pada kedudukan yang menuntut permohonan maaf
dari, alih-alih meminta maaf pada, pihak eks-komunis. ( Kedudukan ini berlawanan dengan
apa yang diprakarsai Abdurahman Wahid). Selain pengertian komunisme di dalam wacana
anti-komunisme direduksi sebagai ateisme, yang berlaku sebagai dasar yang efektif untuk
“mempersetan “ komunis, klaim sebagai pihak yang tidak bersalah dan menjadi korban itu
memberi mereka perasaan unggul secara moral.

Narasi masa lalu komunis bersifat berat sebelah. Narasi itu hanya bukan tentang apa yang
kaum “komunis“ lakukan, dan apa yang kaum anti-komunis derita sebelum pecahnya

28
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

Peristiwa 1965. Narasi itu bungkam tentang apa yang kaum komunis derita, dan apa yang
yang kaum anti-komunis lakukan sesudah peristiwa tersebut terjadi. Melalui narasi berat
sebelah masa lalu komunis ini, golongan anti-komunis mengaku-ngaku diri sebagai pihak
yang menjadi korban. Mereka menyembunyikan peran serta mereka, atau setidak-tidaknya
keterlibatan mereka , di dalam pengejaran dan penyembelihan massal terhadap para anggota
dan simpatisan PKI dalam tahun 1965-1966.

Namun sejatinya dua belah pihak menunjuk pada periode masa lalu yang berbeda. Apabila
kekejaman yang disebut kelompok anti-komunis ialah apa yang dilakukan PKI pada waktu
sebelum Peristiwa 1965 terjadi, para eks-tapol menunjuk pada apa yang dilakukan oleh
lawan-lawan PKI terhadap para anggota dan simpatisan PKI pada waktu sesudah Peristiwa
1965 terjadi. Yang disebut pertama mengingat apa yang dilupakan oleh yang disebut
kemudian, dan yang disebut kemudian mengingat apa yang dilupakan yang disebut pertama.
Masing-masing bicara mengenai bicara panjang lebar tentang “wilayahnya“ sendiri dari masa
lalu. Masing-masing memperlihatkan tidak adanya keinginan untuk bertemu, atau setidak-
tidaknya untuk melihat pada “wilayah“ milik yang lain. Masing-masing bertahan pada
“obsesi sempit pada diri atau kelompok sempit “, sehingga masing-masing menjadi “ tutup
mata terhadap ketidakadilan atas yang lain “. Di sinilah terletak perbedaan dalam menangani
masa lalu di Indonesia pasca-Soeharto jika dibandingkan dengan yang terjadi di dua negara
tersebut di atas. Tidak seperti Mozambik, Indonesia pasca–Soeharto tidak mengalami
konpirasi tutup mulut terhadap masa lalu. Namun tidak seperti Afrika Selatan, Indonesia
pasca-Soeharto juga tidak memperlihatkan kehendak yang bersemangat untuk mengakui dan
bernegosasi dengan masa lalu. Tidak seperti dua negeri itu, Indonesia pasca-Soeharto
memperlihatkan keengganan untuk membebaskan diri dari benan masa lalu. ( Budiawan
2004 : 232 – 242 )

Rekonsiliasi Akar Rumput

Mejadi masalah penting yang dihadapi bangsa Indonesia sekarang adalah bagaimana
menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran berat hak asasi manusia masa lalu secara tepat dan
memenuhi rasa keadilan masyarakat. Selama 32 tahun bangsa Indonesia hidup di bawah
kekuasaan pemerintah yang otoriter, dan menuju near keterbukaan, reformasi dan demokrasi,
sepertinya tidak peduli dengan apa yang terjadi pada masa lalu.

Penindasan dan kekejamam yang dirasakan korban berbagai pelanggaran hak asasi manusia
cenderung dilupakan begitu saja , sementara sistem yang mendasari pelanggaran-pelanggaran
hak asasi manusia tersebut tidak pernah dibedah dan direkontruksi kembali untuk
menemukan akar penyebabnya dan merumuskan lagi sistem baru yang lebih menghormati
hak asasi manusia . Sampai sekarang belum ada penjelasan yang memadai dan dapat
dipertanggungjawabkan mengenai apa yang terjadi pada peristiwa pembunuhan di tahun
1965-1966.

Kita pun belum memiliki perangkat yang memadai untuk menangani berbagai dampak
traumatik dari akibat pelanggaran hak asasi manusia masa lalu. Secara politis telah terlontar
suatu tawaran penyelesaian yaitu rekonsialiasi. Rekonsiliasi yang kurang lebih diartikan
sebagai perukunan atau perdamaian kembali, dan dalam dimensi waktu rekonsialiasi

29
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

diartikan sebagai berdamainya kembali seseorang atau sekelompok orang dengan suatu
tragedy di masa lampau. Perdamaian yang dimaksudkan adalah menyangkut penyebab
tragedi dan juga korban tragedi.

Konsep penyelesaian itu nampaknya berangkat dari sebuah refleksi bahwa secara
fenomenologis seseorang yang melakukan kejahatan akan berhadapan dengan beberapa
tahapan pengalaman, sebagaimana konsep seorang filsof fenomelogi Jerman, Max Scheler
(1874 – 1928). Di mana pada tahap pertama, seorang akan mengalami suatu disharmoni
berupa perasaan galau ketika seseorang telah melakukan pembunuhan, dan memerlukan
terapi melalui konsulutasi psikologis. Tahap kedua, akan muncul rasa sesal yaitu sebuah
harapan sia-sia karena peristiwanya mudah berlalu. Perasaan sesal semata-mata tidak akan
banyak bermanfaat karena hanya tertuju pada masa lampau. Pada tahap ketiga, muncul tobat
berupa keputusan yang dibuat oleh pelaku kejahatan untuk tidak mau mengulang lagi
kejahatan yang sama di masa mendatang. Tobat merupakan fase terpenting akan
menghasilkan perubahan sikap di masa depan.

Dalam kaitan itu korban tragedi nampaknya ingin dihadapkan dengan beberapa pilihan.
Pertama, tidak melupakan dan juga tidak mengampuni pelaku kejahatan , yang berarti “ adili
dan hukum “. Kedua, tidak melupakan tetapi kemudian mengampuni, yang berarti “adili dan
kemudian ampuni “. Ketiga, melupakan dan tidak pernah mengampuni, yang berarti “ tidak
diadili tetapi akan dikutuk selamanya “. Kemudian keempat, melupakan dan memaafkan ,
yang berarti “ tidak diadili dan dilupakan begitu saja .” ( Arief Priyadi 2002 : 248 – 249 )

Rekonsiliasi mengandalkan ada dua atau lebih kelompok berkonflik dan dipertemukan,
karena itu ia menunjuk ada korban dan pelaku. Penunjukan ini adalah niscaya. Sebab, ini
menentukan langkah yang tak dapat mundur. Pengertian korban merujuk kepada orang yang
perseorangan atau kelompok menderita kerugian, termasuk cedera fisik atau mental,
penderitaan emosional, kerugian ekonomi atau perampasan nyata terhadap hak dasar mereka.
Termasuk dalam istilah korban – sejauh yang dipandang tepat – keluarga atau orang yang
secara langsung atau tidak berada di bawah rongrongan para korban yang telah mengalami
penderitaan. Korban berhak mendapatkan pemulihan (reparasi), resistusi atau penggantian
kerugian, kompensasi , hingga rehabilitasi. Hal ini terutama berlaku pada para korban
tindakan pelanggaran berat Hak Asasi Manusia.

Dari konsep demikian, rekonsiliasi menuntut ruang publik yang merdeka untuk duduk
bersama antara korban dan pelaku. Dengan cara demikian, ingatan–ingatan individu yang
selama ini dibaikan, dilupakan, dan disingkirkan akan memasuki ruang publik sehingga
menemukan pengakuannya dan memungkinkan korban dan keluarganya memperoleh
kembali dunia mereka. Dengan demikian rekonsiliasi akan menemukan dimensi terdalamnya
sebagai penghormatan terhadap sesama manusia, pengakuan atas hak-hak dasarnya, dan
penghargaan terhadap hubungan di antara manusia, yakni melalui pemulihan relasi-relasi
yang dikoyakkan oleh kepentingan kekuasaan yang zalim. Pada tahap ini pelaku wajib
menyatakan penyesalan alias merasa bersalah. Pada kasus yang melibatkan pelakunya adalah
negara, maka negara dituntut menunjukkan tanggung-jawabnya. Dengan adanya tuntutan
tanggung jawab negara ini dirumuskan sama sekali tidak lewat jalur hukum. sebenarnya
rekonsiliasi dirumuskan sama sekali tidak menghilangkan penyelesaian konflik lewat jalur

30
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

hukum. Karena itu sebelum dan atau berbarengan dengan upaya-upaya rekonsiliasi ada
mediasi atau penyelesaian berdasar hukum. Jelas sekali dalam semangat rekonsiliasi,
kesepakatan berdamai antara kedua belah pihak tak boleh “membeli” atau “ menyudahi “
proses hukum.

Hal penting berkaitan dengan penyelesaian lewat jalur hukum maupun rekonsiliasi dalam
bentuk pertukaran ingatan itu, adalah bahwa proses tersebut pada prinsipnya memberikan
tempat pada perspektif atau suara korban Kita juga diingatkan oleh polemiknya Goenawan
Mohamad dengan Pramudya Ananta Toer, di mana pengarang ini secara sinis menolak
dilakukan rekonsiliasi menyangkut peristiwa 1965. Bagi pengarang Bumi Manusia itu,
rekonsiliasi sekadar basa-basi kalau justru menerjang keadilan dan hukum yang semestinya
ditegakkan. Pramudya mendesak agar semua pelanggaran terhadap kemanusian diadili dan si
pelaku dihukum sesuai dengan prinsip moral di mana setiap orang harus mampu
mempertanggungjawabkan perbuatannya. Prinsip rekonsiliasi nemang menyangkut batas di
mana ada jaminan suara korban tetatap diberi tempat.

Rekonsiliasi menjadi mungkin hanya dalam konteks pertukaran ingatan lama untuk
melahirkan memori bersama (baru) atas masa lalu. Ingatan bersama tidak dimaksudkan
menyeragamkan pemikiran, namun yang lahir dari perdebatan yang jujur dan tenang
sehingga melahirkan pertanggungjawaban sejarah. Ingatan bersama juga tidak dimaksudkan
untuk politisasi sehingga menjadi pijakan untuk pengulangan kekejaman dan kekerasan di
masa yang datang. Tetapi, sebaliknya, untuk menghindari terulangnya pengalaman buruk di
masa lalu. Dengan rekonsiliasi pada suatu bangsa diharapkan konflik masa lalu itu ada
jaminan tak terulang. Ketakterulangan ini adalah tanggung jawab bersama terutama pelaku,
khususnya yang terkait dengan konflik vertikal negara dan masyarakat. Inilah basis moral-
etik utama rekonsiliasi.

Dalam konteks rekonsiliasi atas kejahatan HAM masa lalu terutama menyangkut tragedi
1965, prinsip-prinsip yang sudah diurai di atas menjadi sangat penting dan perlu konsistensi.
Perlu diingat pada kasus Tragedi 1965 ini, pembunuhan massal itu disertai dengan
stigamtisasi pasca peristiwa yang tidak hanya ditunjukan terhadap korban, tetapi juga
keluarganya. Bahkan stimatisasi itu berjalan lama dengan coraknya yang tidak hanya semata-
mata ideologis tapi juga teologis dengan melibatkan pelaku dari kelompok agama(wan); dan
stigmatisasi itu juga diikuti dengan penghilangan hak sipil dan politik secara massif dan
berganda.

Jika konsep rekonsiliasi memerlukan persyaratan dan cakupan seperti di atas, maka
kenutuhan penulisan kembali historiografi juga harus dilakukan serentak. Di sini rekonsiliasi
juga menyangkut usaha-usaha membuka ruang konstruks baru atas memori kolektif tragedi
1965 yang ditafsirkan secara tunggal selama ini.

Selain menyangkut persyaratan dan prinsip seperti diurai diatas, rekonsiliasi di Indonesia
tampaknya masih menyimpan banyak problem. Hal itu menyangkut pertama, para pelaku
yang diduga melakukan pelanggaran HAM bersikukuh menyatakan tidfak terlibat apalagi
merasa bersalah atas beberapa peristiwa yang mencoreng sejarah bangsa.

31
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

Kedua, tampak juga bahwa desakan untuk penyingkapan melalui rekonsiliasi tersebut
terlampau bertumpu pada negara. Pelbagai pihak terkesan menganggap peran insitusi seperti
Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) sangat sentral dan tidak tergantikan. Padahal,
KKR hanya salah satu medium untuk melaksanakan rekonsialisi nasional. Memang dalam
KKR, penyelesaian hukum dapat diselesaikan secara agak sistimatis dan terorganisasi dengan
baik. Jadi, kedua belah pihak yang berkonflik bisa sama-sama puas atas keputusan yang
ditetapkan lembaga tersebut. Namun demikian, keberadaan KKR juga bisa jatuh pada
formalisme bahkan sekadar legitimasi adanya perhatian dari negara untuk kejahatan HAM
negara tanpa berarti bagi pemulihan bagi korban.

Beberapa aktivis sadar akan hal ini dan melakukan eksprimentasi kreatif untuk melakukan
rekonsiliasi yang dapat dimediasi oleh perorangan, kelompok atau civil society, dengan tetap
berpegang atas prinsip dan tujuan untuk pemulihan korban dan klarifikasi historis. Di antara
mereka adalah komunistas Syarikat (kumpulan anak muda NU) yang mencoba berinisiatif
melakukan rekonsiliasi di tingkat akar rumput. Model rekonsiliasi ini dilakukan dengan
pendekatan sosio-kultural. Bentuknya antara lain duduk bersama dan mediasi antar korban
dan pelaku seperti yang pernah dilakukan di Blitar. Mereka ini, yang terdiri atas kalangan
NU Blitar dan keluarga korban yang dicap PKI, melakukan aktivitas kooperatif-interaktif
kepanitiaan dalam pementasan ketoprak acara kampung. Mereka juga melakukan pertemuan
silaturami untuk saling memaafkan dan dialog pertukaran ingatan. Kegiatan yang hampir
sama juga dilakukan sejumlah kota lainnya. Tentu saja dibarengi dengan memperbesar
soliditas untuk mendesak negara agar segera merehabilitasi para korban kejahatan HAM
masa lalu. Yang kemudian dilanjutkan pertemuan per region yang dimaksudkan memperkuat
kesadaran bersama lebih luas untuk tidak terulangnya peristiwa tragis tersebut . ( Abdul
Mun”im DZ dan AS Buhan 2003 : 20 – 21 )

Penutup

Tragedi berdarah yang terjadi pada 1965 merupakan salah lembar paling hitam dalam sejarah
modern Indonesia. Selain karena begitu banyaknya warga bangsa ini yang telah menjadi
korbannya, juga karena dashyatnya dampak jangka pendek maupun jangka panjang yang
ditimbulkannya Ironisnya, meskipun tragedi itu adalah sebuah peristiwa terbuka yang besar-
besaran dan berlangsung dalam kurun waktu setidaknya beberapa bulan, ia masih
menyimpan begitu banyak :misteri:. Dan karena adanya unsur misteri ini, tragedi 1965
mendorong lahirnya banyak spekulasi, di samping tentu saja manipulasi dan distorsi.

Ketika orang berbicara mengenai peristiwa G30S 1965 biasanya versi yang secara resmi dan
umum berlaku adalah sebagai berikut. Pada 30 September 1965 melalui Pasukan

32
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

Cakrabirawa, PKI telah melancarkan kudeta dengan jalan membunuh tokoh-tokoh tertinggi
militer Indonesia di Jakarta. Begitu kejamnya orang-orang PKI itu sehingga enam orang
jendral plus seorang letnan telah menjadi korban. Kekejaman PKI berlanjut di Lubang
Buaya, dengan jalan menyayat-nyayat tubuh para jendral. Sekelompok perempuan yang
tergabung dalam organisasi Gerwani (Gerakan Wanita Indonesia) bahkan memotong alat-alat
vital para jendral itu sambil menari-nari di tengah orgi yang disebut “pesta harum bunga“.
Mata dari sebagian korban juga dicungkil dengan alat khusus.

Mernurut versi resmi ini, karena PKI dipandang sebagai satu-satunya “dalang” dari peristiwa
keji tersebut, maka “sudah selayaknya “ bahwa ratusan ribu anggota PKI di mana pun
mereka berada dikejar dan dibunuh secara beramai-ramai. Pantas pula peritiwa yang terjadi
pada tanggal 30 September 1965 itu disebut “G30S/PKI” dengan tekanan pada “PKI”nya
karena PKI merupakan pelaku utama. Juga, tepat kalau istilah yang dipakai adalah istilah “
Gestapu” ( Gerakan September Tigapuluh ). PKI juga layak ditumpas karena sebelumnya
telah dua kali “memberontak“ (tahun 1926/1927 dan 1948), dan ingin mengganti ideologi
Pancasila dengan ideologi Komunis yang ateis.

Tak dapat dipungkiri bahwa tampaknya memang terdapat unsur kesengajaan untuk
mengarahkan atau bahkan memproduksi opini publik dan ingatan akan apa yang terjadi pada
1965 itu menurut versi tertentu demi tujuan-tujuan tertentu pula. Misalnya saja penggunaan
istilah “ G30S/PKI”. Meskipun sebenarnya dalang yang sesungguhnya dari pembunuhan para
jendral itu belum jelas – atau bahkan setelah diketahui bahwa tokoh-tokoh kunci dari G30S
itu adalah justru anggota militer – tetap saja digunakan istilah tersebut dengan maksud untuk
memojokan PKI. Bahkan penggunaan istilah “Gestapu” tampak sekali sengaja dilakukan
untuk mengasosiasikan operasi militer yang konon didalangi oleh PKI itu dengan polisi
rahasia Jerman Gestapo (Geheime Stat Polizei ) yang terkenal kejamnya. ( Baskara T
Wardaya 2006 : 163 – 176 )

Pembantaian 1965-1966 menunjukkan betapa rezim Orde Baru telah berlumuran darah dan
menoreh luka yang menyakitkan bagi rakyat Indonesia. Pertanyaan adalah haruskah sejarah
33
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

buram itu kita lupakan dengan menyobeknya begitu saja dari lembar buku sejarah bangsa
kita ? Lalu, bagaimana cara menyembuhkan luka itu, sehingga tumbuh sikap saling
memaaafkan dan melegakan semua pihak ?

Mengutip Weschler Lawrence, pada setiap pembahasan mengenai isu pelanggaran HAM,
yang terjadi sebenarnya adalah sebuah kondisi yang menunjukkan bahwa setiap orang tahu
mengenai kebenaran dan atau apa yang terjadi sesungguhnya. Tahu siapa pelaku kekerasan
dan hal-hal yang dilakukan. Pelaku kekerasan juga tahu bahwa setiap orang mengetahui siapa
pelakunya. Bahkan setiap orang juga tahu bahwa pelaku kekerasaan tahu setiap orang tahu
mereka pelakunya. Namun, masalahnya bukan terletak pada posisi “saling tahu “ tersebut ,
tetapi pada tindakan “mengakui “ bahwa ada tindakan pelanggaran dan melakukan
pelanggaran .

Kita mesti belajar pada sejarah bangsa kita sendiri untuk membangun ingatan sosial “
terhadap serangkaian peristiwa. Sikap ini penting, agar kita tidak lupa akan sejarah bangsa
kita sendiri. Demi keadilan dan kedamaian, kata Walter Benyamin, tugas peradaban ialah
menggumuli memoria passionis mereka yang ditindas dan diperbudak, dan lalu membangun
budaya, mengingat masa lalu mereka yang menjadi korban penindasan atau perbudakan
merupakan upaya untuk menyelamatkan “masa lalu “ dan masa depan bangsa kita . ( Islah
Gusmian 2007 : 272 – 274 )

Tanpa beban masa lalunya, seluruh bangsa bisa “ membangun atau membangun kembali
hubungan hari ini, yang tidak dibayangi oleh konflik-konflik dan kebencian hari kemarin .”
Ini suatu kondisi di mana terjadi rasa saling percaya, baik secara horizontal maupun vertikal.
Ini suatu kondisi di mana semua pihak percaya bahwa tak seorang pun akan mengusik ko-
eksistensi damai yang dicapai. Ini juga suatu suatu kondisi di mana semua pihak sepakat
untuk menutup “ buku tentang masa lalu.” Di atas buku masa lalu yang tertutup inilah, masa
kini dibingkai kembali, dan masa depan bersama dibayangkan.

34
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

Para eks-tapol yang dituduh terlibat, atau dikaitakan dengan “peristiwa 1965 “ , yang telah
mengalami ketidakadilan dan yang mungkin telah melebihi ketidak-adilan yang mungkin
pernah mereka perbuat terhadap lawan-lawan politik mereka di masa lalu. Harus juga diikut-
sertakan dalam gerakan rekonsiliasi. Apa yang eks-tapol bisa dan harus lakukan “ialah “
melintas ke belakang “ para pra “ peristiwa 1965 “ , yaitu untuk mengakui apa yang mungkin
telah mereka lakukan terhadap lawan-lawan mereka, pada saat mereka ada di bawah naungan
politik Soekarno. Pada pihak lain semua komunitas anti komunis harus meninggalkan
periode pra” peristiwa 1965 “ mereka , untuk melintas ke depan pada periode sesudah
“peristiwa 1965 “ , pada saat mereka mungkin telah ikut ambil bagian atau turut terbawa
dalam pembantaian terhadap kaum komunis atau yang dituduh sebagai komunis. ( Budiawan
2004 , 252 - 254 )

Adanya kemauan baik untuk menuju rekonsiliasi nasional itu perlu dimanifestasikan dalam
bentuk yang nyata seperti menghilangkan dendam sejarah masa lampau “ dari kedua belah
pihak yang pernah bertikai di masa lampau. Dendam Sejarah itu hendaknya tidak diwariskan
ke anak cucu mereka. Diketahui ada upaya menghapus dendam sejarah telah dimulai dimulai
dengan dibentuknya Forum Silaturahmi antar Anak Bangsa. Di dalam forum ini anak-anak
para tokoh yang pernah bertikai di masa lampau bersatu . ( Ahmad Suhelmi 2007 : 264 )

Terkait dengan munculnya sejumlah eks-tapol untuk mencari keadilan atas kondisi yang
mereka alami, tidak bisa dilupakan peran gerakan masyarakat sipil di sejumlah daerah di
Indonesia yang mewujudkan dalam Non Goverment Organization (NGO), organisasi
korban, gerakan-gerakan sosial di tingkat akar rumput, pusat penelitian serta insitusi
keagamaan yang mempunyai perhatian besar pada upaya pencarian keadilan atas
pelanggaran hak-hak asasi di masa lalu, terutama Persitiwa 1965, yang belum diselesaikan.
Keterlibatan mereka dengan beragam jenis kegiatan penting untuk dicatat karena mereka
telah memberi pengaruh signifikan bagi konsolidasi gerakan advokasi terhadap korban
Peristiwa 1965 dan mendorong perubahan kebijakan politik negara untuk membuat sejumlah
payung hukum yang memungkinkan pengusutan kembali praktek kekerasan negara di masa
lampau .

Salah satu bentuk “keberhasilan“ perubahan di atas kebijakan politik itu antara lain ditandai
dengan rencana pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR). Menuruit

35
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

ketentuan formal, Komisi ini dibentuk berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia No


27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Namun dalam perkembanganya
UU No 27 2004 itu dibatalkan dan dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum yang
mengikat oleh Keputusan Mahkamah Konsitusi No 006/RUU-IV/2006, karena dinilai
bertentangan dengan UUD 1945.

Meski narasi tentang Peristiwa 1965 semakin beragam dan perubahan sejumlah kebijakan
politik negara telah terjadi serta muncul sejumlah pihak yang melakukan advokasi terhadap
korban Peristiwa 1965, namun wacana anti-komunis masih tetap dilanggengkan. Contoh
masih kuatnya wacana anti komunisme, antara lain juga terlihat dari respon terhadap eks-
tapol yang melakukan proses gugatan hukum (class action) kepada lima Presiden Republik
Indonesia. Kelompok masyarakat yang menamakan diri sebagai Front Anti Komunis
Nasional (FKAN) yang mengklaim sebagai gabungan beberapa organisasi Islam seperti
Gerakan Pemuda Islam (GPI), PINTAR, Pelajar Islam Indonesia (PII), Himpunan Mahasiswa
Muslim Antar Kampus ( Hammas ), Front Pembela Islam (FPI), dan Hizbullah, menolak
tuntutan class action eks-tapol di Pengadilan Negeri Jakarta beberapa waktu yang lalu.

Bahkan, komunis phobia kembali dimunculkan oleh Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan
Badan Inteljen Negara (BIN), melalui pernyataan Pangdam Jaya Mayjen TNI Agustadi
Sasongko Purnomo dan Pangdam Siliwangi tentang penyusupan 150 kader komunis ke DPR,
partai politik dan organisasi massa (ormas). Walaupun pernyataan itu dibantah oleh sebagian
kalangan pemimpin dan anggota legislatif, namun tak urung hal itu telah menimbulkan
polemik antara TNI dengan DPR di satu sisi dan dan di antara anggota DPR sendiri di sisi
lain ( Singgih Nugroho 2008 ; 35 – 41 )

36
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

Bibliografi

Budiawan . 2004. Mematahkan Pewarisan Ingatan . Wacana Anti Komunis dan Politik
Rekonsiliasi Pasca Soeharto . Jakarta : Elsam .

Gusmian,Islah “ Sejarah Melawan Lupa. ,” dalam Baskara T Wardaya et al. Menguak


Misteri Kekuasaan Soeharto . Yogyakarta : Galangpress. Hlm. 241 – 282 .

Hefner , Robert W. 1999. Geger Tengger . Perubahan Sosial dan Perkelahian


Politik. Yogyakarta : LKIS.

Kasemin, Kasiyanto.2 003. Mendamaikan Sejarah . Analisis Wacana Pencabutan TAP


MPRS/XXV/1966. Yogyakarta : LKIS.

Mun”im DZ, Abdul dan AS Burhan. ” Problem Historiografis dalam Rekonsiliasi di


Indonesia : Upaya Memberi Makna Baru terhadap Tragedia Kemanusian 1965. “
tashwirul Afkar , Edisi No 1 Tahun 2003, Hlm. 8 – 23.

Nugroho, Singgih. 2008. Menyintas dan Menyeberang. Perpindahan Massal Keagamaan


Pasca 1965 di Pedesaan Jawa. Yogyakarta : Syarikat .

Roosa, John . 2008. Dalih Pembunuhan Massal . Gerakan 30 September dan Kudeta Suharto
. Jakarta : ISSI dan Hasta Mitra.

Suhelmi, Ahmad . 2007. Islam dan Kiri. Respon Elite Politik Islam Terhadap
Kebangkitan Komunis Pasca -Soeharto. Jakarta : Yayasan SAD Satria Bhakti.

Van Langenberg , Michael.” Gestapu dan Kekuasaan Negara di Indonesia, “ dalam Robert
Cribb (ed). 2003. Pembantaian PKI Di Jawa dan Bali 1965 -1966. Yogyakarta : Mata
Bangsa .

Wardaya T, Baskara 2006 . Bung Karno Menggugat . Dari Marhaen, CIA, Pembantaian
Massal”65 hingga G30S. Yigyakarta : Galangpress.

37
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com

Anda mungkin juga menyukai