Anda di halaman 1dari 22

TUGAS MATA KULIAH

IDE-IDE POLITIK

RESUME FILM G30S-PKI DAN SENYAP

DISUSUN OLEH :

ANISA NOVIANA IRFANI 17111024340002

PROGRAM STUDI HUBUNGAN INTERNASIONAL

FAKULTAS SOSIAL DAN HUMANIORA

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH KALIMANTAN TIMUR

SAMARINDA

2018
FILM PENGKHIANATAN G30S-PKI

Judul Film : Pengkhianatan G30S/PKI

Produser : Gufran Dwipayana

Sutradara : Arifin C. Noer

Tanggal rilis : 1984

Durasi : 234 Menit

Latar :

 Tempat : Jakarta
 Suasana : menegangkan
 Waktu : 1965
 Alur : Maju (menceritakan peristiwa dari awal hingga akhir)

Tokoh :

 Amoroso Katamsi sebagai Jenderal Soeharto,


 Syu’bah Asa sebagai DN Aidit, dan
 Ade Irawan sebagai Ibu Nasution.
 Didi Sadikin
 Kies Slamet
 Sofia WD
 Wawan Wanisar

Sudut Pandang : Orang Ketiga

Amanat : Musuh negara adalah bukanlah manusia

Alur Film
1. Di awali dengan keadaan Presiden Soekarno yang sedang sakit parah, dan di
tambah keadaan negara yang bisa di bilang keadaan demokrasinya sedang
gagal. Di gambarkan dengan gelandangan sana sini yang tidur di pinggir jalan
dengan keadaan membludaknya kemiskinan inilah PKI yang mempunyai
kekuatan politik besar mendapat dukungan dari rakyat politik dan dengan
cepat mempunyai jutaan anggota pada tahun 1965.
2. Presiden Soekarno yang sedang sakit parah juga di manipulasi PKI dengan
merekayasa cerita. berdasarkan dokumen Gilchirist yang palsu, bahwa. dewan
jendral sedang mempersiapkan kudeta bila Ir.Soekarno mati, Kemudian PKI
berencana melakukan ini sebagai alasan dalam menjalankan kudetanya. Di
perlihatkan dalam film ini, pelatihan prajurit-prajurit PKI untuk melakukan
kudetanya.
3. Pada malam 30 september - 1 Oktober, tujuh unit anggota dikirim untuk
menculik ke tujuh jendral yang di bilang terkait dengan Dewan Jendral, ke 6
jendral dan 1 perwira di tangkap, disiksa dengan keji, di bunuh, dan di buang
ke sumur kecil di Lubang buaya Jakarta,
hanya satu jendral yang lolos dari penculikan, yaitu jendral Nasution (lolos
dengan melompati pagar).
4. Selanjutnya, semua unit anggota Letnan Kolonel Untung (PKI) mengambil
alih kantor RRI (Radio Republik Indonesia) dan memaksa staf di sana untuk
membaca pidato Untung yang menyatakan bahwa G30S telah bergerak untuk
mencegah kudeta oleh “Dewan Jenderal” dan mengumumkan pembentukan
“Dewan Revolusi”. Anak buah G30S/PKI lain pergi ke istana untuk
mengamankan presiden tapi menemukan bahwa presiden telah pergi
meninggalkan istana. Pidato radio lain kemudian segera dibacakan,
menguraikan komposisi Dewan Revolusi yang baru dan mengumumkan
perubahan hirarki Angkatan Darat. Para pemimpin G30S mulai merencanakan
pelarian mereka dari Halim, yang harus dilakukan secepatnya.
5. Soeharto, saat itu membantah pengumuman Untung, menyatakan dengan tegas
bahwa tidak ada Dewan Jenderal dan membuat catatan-catatan tambahan
tentang hakikat G30S. Karena ada kekosongan kekuasaandengan
meninggalnya Yani, Soeharto mengambil kendali sementara Angkatan Darat
dan mulai merencanakan serangan-balik dengan semua anggota
kepercayaannya, namun bagaimanapun dia tidak mau memaksakan
pertempuran. Dia malah menyatakan bahwa ia akan memberikan
pengumuman lewat radio, yang disampaikan setelah pasukan yang setia
kepadanya merebut kantor RRI. Pengumuman ini menguraikan situasi kala
itu, menggambarkan G30S sebagai kontra-revolusioner, dan menyatakan
bahwa Angkatan Darat akan berurusan dengan kudeta ini. Tak lama kemudian
para pemimpin kudeta melarikan diri dari Halim, dan pasukan Soeharto
merebut kembali pangkalan udara tersebut. Beberapa waktu kemudian,
pasukan di bawah kepemimpinan Soeharto menyerang sebuah markas G30S
atau PKI. Sementara tentara yang berafiliasi dengan PKI melawan,pimpinan
Partai lolos dan melarikan diri.
6. Seharto kemudian segera dipanggil ke istana kedua di Bogor untuk berbicara
dengan Pres. Soekarno. presiden mengatakan bahwa ia telah menerima
jaminan dari Marsekal Udara bahwa Angkatan Udara tidak terlibat dalam
kudeta ini. Soeharto membantah pernyataan tersebut, mencatat bahwa
persenjataan gerakan ini adalah seperti orang-orang dari Angkatan Udara.
Pertemuan ini akhirnya menghasilkan konfirmasi pengangkatan Soeharto
sebagai pemimpin Angkatan Darat, bekerja sama dengan Pranoto Rekso
samodra. Dalam investigasi mereka terhadap peristiwa kudeta ini, Angkatan
Darat menemukan kamp di Lubang Buaya – termasuk tubuh para jenderal,
yang dikeluarkan dari sumur sembari Soeharto menyampaikan pidato
menggambarkan kudeta ini dan peran PKI di dalamnya. Jenazah para jenderal
kemudian dimakamkan di tempat lain dan Soeharto memberikan pidato
hagiografi, di mana ia mengutuk G30S PKI dan mendesak masyarakat
Indonesia untuk melanjutkan perjuangan jenderal-jenderal yang telah
meninggal tersebut.

Review
Dalam sejarah sinema dunia, film propaganda adalah bagian strategi
kebudayaan untuk gagasan-gagasan politik tertentu. Tak sedikit dari film
propaganda dibuat oleh sutradara-sutradara andal dengan karya-karya hebat dan
terus-menerus dipelajari secara akademis, sebut saja Leni Riefenstahl (Jerman),
Sergei Eisenstein (Rusia), dan Mikhail Kalatozov (Rusia).
Indonesia-nya Orde Baru juga doyan memakai film sebagai alat propaganda
politik. Ada banyak film perjuangan yang jadi tontonan wajib bagi siswa,
sebagian besar tentang kehebatan perjuangan rakyat Indonesia terutama militer
dalam mempertahankan revolusi.
Pada 1980-an hingga 1990-an, Departemen Penerangan Republik
Indonesia—melalui Pusat Produksi Film Negara (PPFN)—merupakan lembaga
yang bertanggung jawab memproduksi film-film propaganda politik rezim Orde
Baru dengan sokongan cukup besar dana.
Salah satunya yang legendaris adalah Pengkhianatan G 30S PKI yang
disutradarai Arifin C. Noer dan diproduksi oleh PPFN pada 1984. Seluruh stasiun
televisi wajib menayangkan film yang mengisahkan penculikan terhadap tujuh
jenderal (atau “Dewan Jenderal”) pada subuh 1 Oktober 1965. Penayangan baru
dihentikan pada masa pemerintahan Habibie, melalui Menteri Penerangan Yunus
Yosfiah, pada 1998. TNI-Angkatan Udara juga dikabarkan keberatan atas
kebijakan penayangan karena film itu mengimplikasikan keterlibatan
AU. Terlepas dari misi propaganda yang dibawa dalam G30S, banyak temuan
menarik di pelbagai adegan dan menurut saya adalah capaian puncak bahasa
film—tentu saja dengan tidak melepaskan konten propaganda di dalamnya.
Pengkhianatan G30S PKI terdiri dua bagian. Pertama mencakup latar
belakang peristiwa, rencana kudeta, dan penculikan para jenderal. Kedua meliputi
kisah penumpasan pemberontakan.
Bagian pertama menggambarkan para penculik (PKI, Pemuda Rakyat, dan
Gerwani) melakukan kekejaman terhadap para korban. Sosok Mayor Jenderal
Soeharto mulai dimunculkan pada bagian kedua sebagai sosok penumpas dan
pembongkar konspirasi di belakang penculikan, selain digambarkan memimpin
evakuasi jenazah para korban penculikan. Ditulis dengan plot dan gaya bahasa
yang berbeda, setiap bagian menempatkan tokoh-tokoh utama dalam bahasa
visual yang berbeda pula.
Sukarno, misalnya, selalu ditampilkan sebagai sosok yang gagah,
berwibawa, intelektual, dan terpelajar—dapat dilihat pada bagian pertama pada
saat digambarkan sakit dan kesehariannya yang tidak lepas dari buku. Arifin
selalu menghadirkan presiden pertama RI ini dengan low-angle shot agar sosok
Sukarno tampak tinggi besar.
Film ditutup dengan kemenangan Pancasila sebagai ideologi negara dan
suara rekaman asli Jenderal A.H. Nasution saat prosesi pemakaman korban. Dua
bagian ini secara sangat sadar ditulis oleh Arifin.
Syam Kamaruzaman, dalam film ini adalah koordinator lapangan
penculikan, digambarkan tegas, bengis, percaya diri, dan perokok berat. Arifin
menggambarkan tokoh ini tidak lepas dari asap yang mengepul dari mulutnya.
Beberapa dialog pada bagian pertama dihadirkan dalam bingkai-bingkai extreme
close-up.
D.N. Aidit digambarkan sebagai tokoh ambisius, gila kekuasaan, dengan
kepercayaan diri yang tinggi. Kolonel Untung, komandan pasukan Cakrabirawa
yang memimpin penculikan, digambarkan selalu gamang pada pilihan politiknya.
Terakhir, tokoh Soeharto yang digambarkan sosok yang tenang, berwibawa, dan
penuh kesantunan.
Dengan konstruksi bahasa visual sangat terukur pada tiap adegan, Arifin C.
Noer paham sepenuhnya bahwa G30S merupakan propaganda. Ia tahu cara
memvisualkan teori konspirasi yang disebarluaskan oleh Orde Baru.
G30S dibuka dengan pernyataan tegas tentang makna pengorbanan dan
perjuangan yang tertulis di monumen Lubang Buaya. Sebuah kalimat yang
dibacakan oleh beberapa orang secara bersamaan, yang membangun imaji tentang
suara orang yang dikubur di sumur Lubang Buaya:

“Cita-cita perjuangan kami untuk menegakkan kemurnian Pancasila tidak


mungkin dipatahkan hanya dengan mengubur kami dalam sumur ini’— Lubang
Buaya, 1 Oktober 1965.”
Setelah pernyataan pembuka, dalam suasana gelap dan temaram, kaki-kaki
melangkah, diikuti pemandangan orang-orang yang sedang salat Subuh di sebuah
masjid. Kamera menyorot ke langit gelap. Setelah sunyi sejenak, terjadilah
penyerangan terhadap jemaah salat Subuh dan perusakan kitab suci.

Suara narator lantas menerangkan berbagai peristiwa kekerasan oleh aktivis


PKI dan organ-organ terafiliasi di Jawa. Narator juga menjelaskan intrik-intrik
politik di kalangan elite pada masa itu: Presiden Sukarno sakit-sakitan di tengah
isu persaingan di Angkatan Darat yang diembuskan oleh PKI.

Pada bagian pertama, yang paling menarik adalah adegan-adegan konspirasi


elite PKI dari persiapan hingga pelaksanaan penculikan. Hampir semua adegan
rapat dan dialog antar-tokoh selalu dibuat sangat detail dengan penonjolan
karakter-karakter penculik.
Suasana visual pada bagian pertama ini begitu temaram, gelap, dan tersembunyi
di antara ingar-bingar Jakarta. Arifin sangat berhati-hati dalam menggunakan
dialog, yang dibatasinya pada tiap-tiap tokoh, sebagai representasi visual atas
“teori” Orde Baru.
Tokoh-tokoh di belakang layar ini hanya mengeluarkan kata-kata kunci menurut
versi Orde Baru yang melatarbelakangi Gerakan 30 September. Syam
Kamaruzaman dalam sebuah rapat, misalnya, hanya berkata: “Inilah saatnya kita
merebut kekuasaan. Kita harus mendahului, jangan didahului.”

Adegan itu lebih banyak bermain dalam ranah visual. Suasana keseharian di
sebuah rumah tetap digambarkan oleh sutradara dengan detail-detail perabotan
dalam rumah, lampu, kursi, pajangan di dinding, buku-buku, dan ekspresi orang-
orang di sana; gelas-gelas kopi, rokok, dan istri yang melayani para tamu.
Menariknya, rangkaian adegan di bagian pertama ini dibuat begitu cair, tanpa
pretensi berlebihan, untuk menggambarkan sebuah kelompok yang
mempersiapkan kudeta.

Pada beberapa dialog, Arifin memakai bingkai-bingkai extreme close-


up untuk menebalkan efek kepulan asap rokok dari mulut para penculik. Setiap
karakter yang diposisikan sebagai tokoh sentral selalu memegang rokok, yang
saat-saat tertentu ditampilkan begitu ekstrem. Tokoh D.N. Aidit, misalnya,
digambarkan tidak pernah lepas dari rokok bahkan ketika memimpin rapat, begitu
juga saat di rumah persembunyian.

Dalam G30S, mengisap rokok dalam-dalam merepresentasikan gambaran


orang berpikir keras saat menghadapi situasi pasca penculikan. Pada titik ini
Arifin sadar betul bahwa tokoh-tokoh ini adalah para pemikir. Secara terselubung,
sangat jelas, ia mencoba menggambarkan orang-orang ini bukanlah para
pembunuh picisan, tetapi para intelektual.

Adegan merokok ini juga ditampilkan pada karakter Soeharto. Pada bagian
kedua, tergambar Soeharto berpikir keras menghadapi kemelut politik, Arifin
menggambarkannya duduk di sisi jendela kantor—markas Komando Cadangan
Strategis Angkatan Darat—sambil mengisap rokok.

Selain rokok, kopi juga cukup mencolok di bagian pertama. Dalam suasana
rapat yang temaram, kopi seakan jadi distribusi informasi di antara masing-
masing karakter sekaligus pengisi kekosongan dialog. Sementara karakter
Soeharto digambarkan tidak minum kopi, tapi teh.

Adegan-adegan bersuasana temaram pada bagian pertama ini diselingi


kemunculan karakter-karakter korban. Arifin menggunakan teknik multilayer
sequence untuk menjelaskan keterhubungan masing-masing peristiwa.
Metode jump-cut sangat sering dipakai dan cukup berhasil menjukstaposisikan
satu peristiwa seperti suasana rapat dan suasana rumah/keluarga para jenderal
beriringan adegan Presiden Sukarno di istana.

Suasana rapat para petinggi PKI dalam film ini dihadirkan dengan tidak
biasa. Salah satu contoh adalah rapat di meja bundar di sebuah rumah ketika
karakter-karakter dibiarkan menghalangi kamera. Lalu ada extreme shot dari atas,
yang memberikan suasana sangat dalam. Ini juga dilakukan pada rapat-rapat
Soeharto dengan para staf di markas Kostrad.
High-angle menjadi gaya shot utama. Arifin sepertinya bereksperimentasi dengan
konsep voyeuring atau mengintip dari jauh. Ini tentu tidak lepas dari ide “melihat
dari jauh sebuah peristiwa” yang belum tentu diyakini kebenarannya oleh sang
sutradara. Pada pertemuan-pertemuan tertentu dalam film ini, Arifin terkadang
hanya menampilkan bayangan orang-orang serta suasana percakapan dari balik
tirai jendela.

Secara filmis, gambaran ini sangat puitis. Tentu Arifin ingin menghadirkan
keterselubungan peristiwa demi peristiwa yang melatarbelakangi Gerakan 30
September. Secara terselubung, Arifin mengatakan dalam bahasa filmnya bahwa
peristiwa-peristiwa ini merupakan sejarah yang masih gelap.

G30S pun tidak cerewet untuk menjelaskan karakter para jenderal. Ia cukup
menampilkan suasana rumah, kerja, dan orang-orang di sekitar mereka. Arifin
sangat disiplin mendesain simbolisasi karakter, misalnya dalam penggambaran
sosok D.I. Panjaitan yang tegas dan religius.

Ia ditampilkan mendengarkan alunan Requiem Mozart dari piringan hitam di


ruang kerja. Musik yang sama terus hadir hingga ia ditembak di depan rumah dan
mencapai klimaks ketika muncul adegan putri D.I. Panjaitan mengelap muka
dengan darah sang bapak.

Pada tokoh Pierre Tendean juga demikian. Kali pertama muncul, Pierre
masuk ke kamar sambil membaca surat cinta dari sang kekasih. Musik melankolis
membangun suasana adegan itu dengan sangat baik. Pada saat Pierre ditembak di
Lubang Buaya, musik yang sama hadir kembali. Penonton diajak kembali pada
suasana “membaca surat cinta” yang dihadirkan jauh sebelum pembunuhan.

Pada korban lain, Mayor Jenderal Soeprapto, peristiwa kematian pertama-


tama ditampilkan melalui semacam nubuat. Digambarkan Soeprapto duduk di
meja kerja sambil mengisap cangklong dan menggambar, kemudian sang istri
datang.

“Masih sakit, Mas?” tanya sang istri.


“Kok, malah nanya? Mau minta apa? Justru karena sakit ini enggak bisa
tidur. Isap cangklong saja enggak bisa. Tidurlah situ dulu,” jawab sang jenderal.

“Gambar apa itu, Mas?”

“Ini rencana Museum Perjuangan di Yogya.”

“Loh, kok kayak kuburan toh?”

Kamera menuju ke gambar. Tanpa dialog selanjutnya, Arifin sangat pandai


membangun konstruksi “kematian” dengan dialog yang menyentil dan hangat,
seperti minta apa?, situ—sebuah dialog intim antara suami-istri. Juga pada
pernyataan istri atas gambar seperti kuburan. Pada titik ini, Arifin menautkan
kontras antara keintiman dan “tanda kematian”.

G30S jelas menampilkan para jenderal dengan perspektif kepahlawanan


versi militer. Mereka digambarkan sebagai orang-orang berkarakter, terhormat,
tegas, dan berwibawa. Meski Arifin mencoba mereduksinya secara terselubung
dalam beberapa karakter, tetapi suasana kepahlawanan mereka tak bisa
dihindarkan.

Bagian paling mengerikan dalam Pengkhianatan G30S PKI terdiri


serangkaian adegan penculikan dan pembunuhan para jenderal.

Mobil-mobil militer berjalan dalam kegelapan, tanpa suara. Bingkai gambar


berhenti pada lampu truk militer yang berhenti di depan rumah para korban. Ada
beberapa cara dan peristiwa dalam adegan penculikan. Ada yang terasa sangat
kasar dan keras. Ada pula yang sangat halus dan manis. Ada juga gabungan dari
kedua cara tersebut.
Adegan penculikan Jenderal Ahmad Yani, misalnya, dibuka dengan gambar
pasukan Cakrabirawa ke halaman rumah sang jenderal dan mengetuk pintu.
Ketika pintu dibuka seorang pembantu, dengan garang, sang komandan operasi
menanyakan keberadaan tuan rumah. Seketika, seorang anak kecil datang
meminta untuk bertemu sang ibu kepada pembantu.
Sang komandan bicara dengan manis dan sopan dengan sang anak: “Mana
bapakmu, Nak?”.
“Tidur,” kata sang anak.
“Tolong kamu bangunkan Bapak, ya. Bilang ada tamu.”
Kemudian Jenderal Yani keluar dengan masih berpiyama. Di sini terjadilan
peristiwa kekerasan. Yani menampar para prajurit yang menghardiknya. Ia
ditembak dengan senjata mesin. Sang anak melihatnya dari balik meja.

Adegan penculikan lain juga hampir sama. Namun, yang menarik,


penggambaran para penculik yang turun dari truk dengan gerakan slow-
motion tanpa suara. Ada musik khas, yang selalu hadir saat kedatangan para
penculik di rumah para jenderal. Jika didengarkan di hadapan penonton generasi
1980-an dan 1990-an di Indonesia, mereka akan segera mengenali musik pada
adegan ini, meski tanpa filmnya.

Dialog bernada tinggi dan tindakan kekerasan saat interogasi para jenderal
dihadirkan tanpa menampilkan muka dan karakter para interogator. Sutradara
meramunya dengan visual kaki, tangan, dan muka para jenderal yang tenang dan
diam. Di antara itu terdengar sorak-sorai kegembiraan dan caci-maki kepada para
jenderal: “Darah itu warnanya merah, Jenderal!”
Kemudian, adegan beralih ke suasana di luar rumah penyiksaan. Terlihat
para lelaki dan perempuan menari dan menyanyikan lagu “Genjer-genjer.” Ada
seorang perempuan mendatangi salah satu korban. Kamera beralih sekilas ke
pisau silet di dinding anyaman bambu. Ia mengambilnya. Setelah diletakkan di
pipi sang jenderal, silet itu disayatkan. Adegan bergerak ke pembunuhan. Ada
tikaman dan tembakan. Peristiwa ini ditutup dengan diseretnya para jenderal ke
dalam sebuah lubang sumur. Peralihan bab film Pengkhianatan G30S PKI dibuka
dengan gambar Monumen Nasional, lalu muncul tulisan: “Bagian II:
Penumpasan”.
Adegan beranjak ke tokoh sentral, Mayor Jenderal Soeharto. Dimulai
dengan suasana rumahnya di pagi hari, Soeharto digambarkan sebagai tokoh yang
sangat jeli melihat situasi. Ia diperlihatkan langsung berinisiatif mengambil alih
tampuk pimpinan Angkatan Darat.
Soeharto juga digambarkan tokoh yang berhati-hati dan memperhatikan detail-
detail tindakan yang akan diambilnya. Misalnya, ketika memanggil
Kolonel Sarwo Edhie Wibowo, Komandan RPKAD—kini bernama Kopassus,
Soeharto memerintahkannya mengambil alih Radio Republik Indonesia.

“Usahakan jangan sampai ada korban,” pesan Soeharto.


Ini salah satu gambaran yang dipromosikan oleh rezim Orde Baru untuk
menunjukkan rasa kemanusiaan yang tinggi dari Soeharto. Arifin tidak terlalu
banyak berbuat sesuatu dalam menghadirkan sosok Soeharto sesungguhnya.
Adegan demi adegan yang berhubungan dengan tokoh ini selalu ditampilkan
sebagai sosok ideal seorang pemimpin.
Dalam adegan-adegan rapat koordinasi penumpasan, gambaran Soeharto seperti
hanya mengikuti “S.O.P.” dari apa yang digambarkan oleh pemerintah waktu itu
sebagai produser film. Dalam satu adegan, Soeharto bak penceramah kepada para
perwira lain. Ia mengatakan:
“Apa yang disebut Dewan Jenderal itu tidak ada. Sama sekali tidak benar apa
yang dikatakan Untung. Menghadapi situasi ini, kita ingin mencari keadilan.
Karena jenderal-jenderal kita telah diculik dan dibunuh. Kita merasa terpanggil
sebagai prajuri Sapta Marga, karena yang terancam adalah bangsa dan negara.
Saya memutuskan untuk menghadapi mereka. Kalau kita tidak hadapi, kita akan
mati konyol. Seorang prajurit Sapta Marga harus memilih mati untuk Negara dan
Pancasila, bukan mati konyol. Insyaallah, kita akan berhasil menumpas mereka.”

Teks di atas adalah dialog terburuk dalam seluruh adegan film ini. Di sinilah
letak salah satu “dosa” besar Arifin C. Noer kepada sejarah bangsa dan
kebudayaan Indonesia. Meski seharusnya bisa mengolahnya ke dalam bahasa
film, ia tidak berbuat apa-apa. Arifin cukup lihai memanfaatkan bahasa filmis
pada bagian pertama film ini. Namun, ia kalah oleh sosok Soeharto yang memang
tokoh paling sentral sebagai penumpas Gerakan 30 September .
Monas dihadirkan beberapa kali dalam bagian kedua film. Bangunan
berbentuk phallus—perlambang proyek mercusuar kebanggaan Sukarno—ini
dipakai oleh Arifin sebagai penanda “kemenangan”. Tidak seperti film-film yang
berlokasi di Jakarta, Monas dalam film ini tidak dipakai sebagai identifikasi
lokasi, melainkan sebagai jembatan untuk peristiwa kemenangan penumpasan
Gerakan 30 September yang digambarkan dengan baik lewat low-angle
shot berlatar langit cerah.

Sama seperti bagian pertama, adegan-adegan pada bagian kedua selalu


minim dialog. Dialog panjang hanya digunakan ketika Soeharto menyampaikan
instruksi dan saat ia menghadap Sukarno. Dialog-dialog ini sengaja dibuat
mengambang untuk memberikan ruang interpretasi kepada penonton serta
membangun dramatisasi. Kadang-kadang dialog hanya dalam satu kata “Halo”
ketika mengangkat telepon. Kemudian loncat ke adegan lain.
Penumpasan yang dimaksud dalam bagian kedua film tidak begitu jelas. Di sini
lebih banyak menampilkan sosok Soeharto yang memberikan perintah. Para tokoh
PKI digambarkan kalut di tempat persembunyiannya. Tidak ada aksi
penangkapan. Aksi penumpasan ditutup dengan ditemukan tempat para jenderal
dikubur: Lubang Buaya.

Pada adegan penggalian ini, sutradara menggunakan suara asli Soeharto


yang direkam oleh wartawan RRI pada 3 September 1965. Lagi-lagi elaborasi
Arifin sangat terbatas dalam menggunakan footage suara ini dalam gaya bertutur
filmis yang baik.
FILM SENYAP ( THE ACT OF KILLING )

Judul Film : Senyap ( The Act Of Killing )

Produser : Signe Byrge Sorensen

Sutradara : Joshua Oppenheimer

Tanggal rilis : 10 November 2014

Durasi : 98 Menit

Genre : Dokumenter

Latar :

 Tempat : Indonesia
 Suasana : Mencekam
 Alur : Flash Back

Review

Bila The Act of Killing (Jagal) bercerita tentang upaya pembenaran diri
sendiri demi kebenaran semu, maka The Look of Silence (Yang setelah ini akan
saya sebut dengan "Senyap") bercerita tentang usaha rekonsiliasi demi berdamai
dengan masa lalu. Tidak tepat jika menyebut Senyap adalah sekuel
langsung Jagal, karena menurut hemat saya, sebutan antonim ketimbang sekuel
adalah julukan yang lebih tepat untuk Senyap, Kenapa? Karena Jagal berbicara
dengan nada bangga yang didasari oleh kekejian masa lampau,
sementara Senyap berbicara dengan nada lirih, yang dibangun oleh rasa duka dan
kepahitan selama bertahun-tahun.
Adi Rukun adalah seorang dokter kacamata. Sehari-harinya ia pergi ke
rumah para pasiennya, memasangkan lensa, dan bertanya: "apakah sudah terang
atau belum?". Adi lahir pada tahun 1968, dua tahun setelah kakaknya, Ramli,
meninggal. Ibu Adi berkata kepadanya bahwa Adi adalah pengganti Ramli,
sebuah penghiburan yang diberikan Tuhan kepada Ibu yang kehilangan anaknya.
Adi, yang belum pernah bertemu dengan kakaknya pun mencari tahu siapa para
pelaku pembunuh kakaknya, mengharapkan jawaban "maaf" dari para pelaku
yang sudah mencabut nyawa kakaknya. Adi pun memulai perjalanannya,
mengoyak luka lama dengan cara berkonfrontasi dengan para pelaku, demi
mencapai sebuah perdamaian yang hakiki.
Sejatinya, lebih sulit untuk menerima maaf ketimbang meminta maaf. Raut
wajah Adi yang getir saat ia menyaksikan para pembunuh yang dengan bangga
memperagakan pembunuhan para anggota PKI sudah menggambarkan suasana
hati Adi yang berkecamuk: ia marah, sedih, dan kesal. Berkali-kali kamera
menyorot wajah Adi yang gusar dan kecewa saat ia menyaksikan para pelaku
bercerita sambil tertawa. Terlebih lagi di dalam satu adegan, di mana ada yang
berkata: "saya potong payudaranya, baru lehernya." Tidak hanya Adi yang
terluka saat mendengar perkataan itu, saya pun ikut terluka.
Senyap makin menegangkan saat Adi berkonfrontasi dengan para pelaku
yang bertanggung jawab dibalik insiden pembunuhan kakaknya. Para pelaku
bercerita tentang betapa bangganya mereka melibas para anggota PKI kepada Adi,
betapa mulianya tindakan mereka, dan betapa mereka merasa pantas untuk
mendapatkan sebuah piagam penghargaan atas kerja keras yang mereka lakukan.
Namun semua berubah drastis saat Adi berkata:
"Saya adik Ramli, adik orang yang kalian bunuh."
Sontak raut wajah para pelaku berubah dan mereka pun mencari-cari alasan.
Berdalih kalau mereka tidak bertanggung jawab atas hilangnya nyawa kakaknya,
berdalih kalau mereka melakukan kewajiban negara, berdalih kalau mereka
memberantas para kaum yang tidak beragama. Sementara saat mereka terus
berdalih, Adi hanya memperhatikan mereka dengan tatapan kecewa.
Senyap bisa membuat penonton terhubung langsung dengan filmnya karena
senyap lebih personal dan relatable daripada Jagal. Senyap juga didukung
dengan visual yang begitu kelam dan tajam. Berbanding terbalik dengan Jagal
yang kasar dan surreal. Membuat Senyap tidak bisa dibilang lebih baik atau lebih
jelek dibanding Jagal, namun setara karena pada akhirnya, saya merasa
kalau Senyap dan Jagal adalah sebuah satu kesatuan yang berlawanan. Mereka
hidup berdampingan, dalam dua kubu yang berbeda.

Tidak ada nilai yang bisa saya berikan untuk Senyap. Yang bisa saya
berikan untuk Senyap hanyalah tepuk tangan tanpa henti kepada semua orang
yang turut bekerja dalam pembuatan film ini, terlebih lagi kepada Adi Rukun. Apa
yang sudah Adi lakukan adalah sebuah tindakan berani yang membuka mata
setiap orang yang menontonnya. Tatapan mata Adi yang tajam dan yakin di
sepanjang film seolah-olah mengatakan bahwa apa yang sudah berlalu tidak bisa
berlalu begitu saja. Apa yang berlalu mesti dipertanyakan, apa yang berlalu mesti
dipertanggungjawabkan, dan apa yang berlalu tidak bisa begitu saja dilupakan.
Lewat Senyap, Adi mengajak kita untuk berdiri berdampingan, lalu meneriakan
suara kebenaran dengan lantang dan berani, bersama-sama, memecah kesenyapan.

KOMPARASI NARASI POLITIK DAN IDEOLOGI

Pengkhianatan G30S-PKI

Film 'Penumpasan Pengkhianatan G30S/PKI' diputar kembali lewat nonton


bareng yang diadakan TNI. Seorang narasumber dalam diskusi 'Tentang Film Itu'
yang juga wartawan senior, Zaenal Bintang, mengatakan hal tersebut merupakan
keputusan politik.
"Pemutaran film itu adalah sebuah keputusan politik. Bahwa dulu ada
peristiwa bernama PKI, karena itu membunuh secara sadis tokoh-tokoh bangsa,"
kata Zaenal dalam diskusi Perspektif Indonesia, di Gado-gado Boplo, Jalan Gereja
Theresia Nomor 41, Menteng, Jakarta Pusat, Sabtu (23/9/2017).
Menurut Zaenal, yang juga politisi senior Partai Golkar, pemutaran film
tersebut merupakan kebutuhan tentara Indonesia. TNI adalah kekuatan politik
meskipun tidak formal. Zaenal beranggapa masyarakat selalu hangat kepada TNI
saat terjadi instabilitas dalam pemutaran film tersebut.
"Kalau itu terjadi kita lihat pimpinan TNI melihat sesuatu, dengan TNI
mengambil keputusan seperti itu berarti mereka ada melihat sesuatu. Tapi lihat
esensi film itu diputar, kematian enam jenderal. Mungkin di versi baru, unsur
sadisme dikurangi, tapi jangan sampai hilang garisnya," jelasnya. selain itu,
Zaenal menduga adanya kalangan besar yang terus berusaha mengadang Presiden
Jokowi. Menurutnya, isu PKI ini termasuk yang mengadang Jokowi.
"Saya menduga karena sekarang sejak Pak Jokowi terjun di 2014 ada
kalangan besar tidak mau melihat dia jadi presiden. You lihat sebagai wartawan
dia terus diadang dan dijegal untuk tidak lanjut, sampai ada buku 'Jokowi
Undercover', ini dapat suara dari kelompok tidak suka dari Jokowi. Banyak ini
tidak berdarah biru, turunan Sukarno atau Soeharto tidak ada begitu," tuturnya.
"Kalau dia jadi presiden, ada yang tidak puas, politik kita liberal, terbuka,
dituduh beliau PKI. Itu kenapa ada 411, 212, setiap bulan karena itu mengecek,
sampai hari ini tidak ada masalah dengan umat Islam, dimunculkan masalah yang
ada di film ini," sambungnya.
Namun Zaenal meluruskan perintah Jenderal TNI Gatot Nurmantyo untuk
mengajak pasukannya menonton film tentang pengkhianatan tersebut.
Menurutnya, Gatot hanya ingin menyampaikan luka bangsa.
"Dugaan saya, film ini mengandung muatan dengan politik, jegal-menjegal.
Tidak begitu, bukan Panglima, Panglima justru ingin meluruskan, tentara berada
di garis depan untuk membela, Panglima tidak seperti itu (menjegal presiden),"
jelasnya.
"Karena yang ingin disampaikan Panglima, awas komunis, karena
kehilangan enam orang jenderal itu luka bangsa. Inilah sebenarnya pesan saya,
mudah-mudahan dari film ini lebih selektif melihatnya, jangan ikut-ikutan
membuat jangkauan informasi yang merusak," imbuh Zaenal.

Senyap ( The Act Of Killing )

Indonesia Menonton Senyap SENYAP (The Look of Silence) adalah film


dokumenter berlatar belakang pembersihan komunisme pada tahun 1965, yang
merupakan film karya Joshua Oppenheimer sebagai lanjutan dari film Jagal (The
Act of Killing) pada 2013 lalu. Berdurasi 99 menit, Senyap mendokumentasikan
pencarian kebenaran dengan berani atas pembungkaman suara korban 65 dalam
sebuah masyarakat yang tercekat oleh intimidasi Orde Baru dimana para korban
‘diteror’ dalam kesenyapan dan para pembunuh diperlakukan sebagai pahlawan.
Hal itu sedikit menunjukkan hausnya masyarakat dari film-film dokumenter
yang bertema pengungkapan sejarah seperti ‘Senyap’. Kegembiraan ikut
bertambah ketika mendengar film ini akan juga diputar di banyak daerah secara
serentak pada peringatan hari Hak Asasi Manusia (HAM) 10 Desember
mendatang. ‘Senyap’, seperti juga ‘Jagal’, menampilkan sisi kebanggaan,
heroisme dan patriotisme dari para pelaku pembantaian yang selalu menyatakan
pembunuhan itu sebagai hal yang wajar sebagai penyelamatan negara dari PKI.
Bagaimana para pelaku menuturkan ‘kemenangan berdarah’ tanpa merasa
bersalah membunuh puluhan, ratusan bahkah ribuan orang yang mereka
‘identifikasi’ sebagai orang-orang PKI tanpa ada proses pengadilan juga terlihat
dalam film ini. Namun, ‘Senyap’ sedikit lebih berani mengkonfrontasikan pelaku
dengan korban. Bagaimana keluarga korban mencari apa sebenarnya yang terjadi
pada masa itu, bagaimana Adi berhadapan dengan orang-orang yang membunuh
saudaranya, bagaimana reaksi kemarahan, kesedihan dan ketabahan korban ketika
mendapat pengakuan dari pelaku ataupun melihat rekaman para pelaku dengan
senang hati melakukan penghilangan nyawa dengan cara yang keji persis seperti
yang dikatakan Anwar Kongo dalam film Jagal: “Saya menghabisi orang PKI itu
dengan gembira”.
Periode Pembantaian 1965 Seperti sudah terungkap dalam sejarah,
Peristiwa 30 September 1965 (G30S) merupakan titik awal pemicu pembantaian
besar-besaran di Indonesia. Ketika konfilk internal di tubuh militer berujung pada
pembunuhan enam Jendral, militer (sayap kanan) menjadikan peristiwa tersebut
sebagai jalan untuk tunduk pada imperialis dengan mengalihkan tuduhan pada
PKI (yang pada waktu itu merupakan partai komunis terbesar di Asia sekaligus
kekuatan anti-imperialis di Indonesia) sebagai dalang peristiwa pembunuhan 6
Jendral tersebut. Soeharto mengambil alih kontrol kepemimpinan Angkatan Darat
dengan sokongan Pangkodam Jaya Umar Wirahadikusumah dan Komandan
RPKAD Sarwo Edhie Wibowo. Soeharto lalu membentuk Komando Operasi
Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib) yang memegang kendali besar
dalam pembantaian massal. Kopkamtib kemudian diperbolehkan merekrut dan
melatih kelompok sipil dalam membantu operasi tersebut. Melalui tangan
kelompok-kelompok sipil seperti Pemuda Pancasila dan Banser NU, militer
melakukan gerakan pembersihan. Militer mempropagandakan pada rakyat bahwa
komunis adalah musuh rakyat yang akan melakukan pemberontakan terhadap
negara dan identik dengan atheisme sehingga harus dihancurkan. Bahwa
pekerjaan ‘membunuh PKI’ adalah pekerjaan yang mulia dan terhormat, sehingga
tokoh masyarakat dan tokoh agama secara tidak langsung ikut merestui
pembunuhan. Pembantaian jutaan manusia adalah metode penghabisan PKI ala
orde baru yang sering dikatakan “sampai ke akar-akarnya”.
Penumpasan tersebut terjadi di hampir semua daerah di Indonesia, dimana
yang terbesar terjadi di Sumatera, Jawa dan Bali. Tak ada data pasti berapa jumlah
orang yang tewas dalam pembantaian. Menurut Komnas HAM, diperkirakan
sekitar 2,5 juta orang terbunuh dalam peristiwa itu. Mengungkap Kebenaran
Bukan Dendam Periode panjang Orde Baru dimulai setelah keluarnya
Supersemar dan pelarangan PKI di Indonesia yang tertuang dalam TAP MPRS
NO: XXV/MPRS/1966. Suharto juga ‘menyapu bersih’ DPR dan MPR dari
unsur-unsur PKI walaupun mereka terpilih secara sah dalam pemilu 1955, juga
membersihkan simpatisan Sukarno. Orde Baru menjadi semakin kuat dan otoriter
dalam menghancurkan demokrasi melalui tangan-tangan militer. Sejak itulah
demokrasi menjadi ‘barang mahal’. Para korban yang selamat beserta keluarganya
maupun yang masih dipenjara, mengalami kekerasan fisik dan mental,
diskriminasi ekonomi, politik, sosial dan budaya. Hak-hak sipil mereka dibatasi
dan tidak ada pemulihan hukum bagi mereka. Setelah reformasi, Presiden
Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dalam sebuah pernyataan publiknya di acara
‘Secangkir Kopi Bersama Gus Dur’ yang disiarkan langsung oleh TVRI, Selasa
15 Maret 2000, sempat meminta maaf atas tragedi kemanusiaan 1965 kepada para
korban dan juga mengusulkan pencabutan TAP MPRS XXV/1966. Di era Gus
Dur jugalah, langkah-langkah pembentukan UU Komisi Kebenaran dan
Rekonsiliasi dijalankan hingga kemudian dikeluarkan dalam bentuk UU Nomor
27 Tahun 2004 Tentang Komisi Kebenaran Dan Rekonsiliasi. Namun upaya ini
masih ditentang banyak pihak yang tidak demokratis dan tidak gandrung pada
kebenaran sejarah, khususnya PPAD (Persatuan Purnawirawan Angkatan Darat).
Hingga pemerintahan SBY berakhir, langkah mengungkap sejarah tetap menemui
jalan buntu.
Yang terjadi masih lah tetap: para pelaku berlindung dibalik kekuasaan
negara, merasa diri dan dianggap pahlawan, saling lempar tanggung jawab sambil
berucap “jika kamu terus membuat masalah dari masa lalu, itu pasti akan terjadi
lagi.” Pengungkapan kebenaran bukan lah dendam. Seperti yang Adi Rukun
katakan dalam Senyap: “Kalau saya dendam saya tak akan ke sini”. Baik Adi,
maupun seluruh korban 65 tidak ingin menjadikan diri mereka pahlawan, seperti
yang para pelaku lakukan. Mereka hanya ingin pengakuan bahwa mereka tidak
bersalah dan negara telah bersalah dengan mendalangi pembantaian manusia.
Tanpa pengakuan dan pengungkapan atas kebenaran, bukan kah kebenaran akan
terus menjadi kabut dan hal serupa dapat terjadi pada siapa saja?
SUDUT PANDANG

Pengkhianatan G30S-PKI, dan Senyap ( The Act Of Killing ), kedua film ini
tidak hanya berbeda dari segi genre, tapi ada hal yang ingin disampaikan kepada
penonton lewat kedua film tersebut.
Pertama yang akan kita bahas adalah film Pengkihianatan G30S-PKI, film
ini bercerita tentang masa-masa kelam yang terjadi di Indinesia pada waktu itu.
Berbagai hal dengan unsur politik dan perang ideologi disajikan dengan apik
dalam kedua film ini.
Pengkhianatan G30S-PKI Mennyajikan bagaimana bengis dan kejamnya
PKI ketika melakukan pembantaian. Unsur politik pun terlihat dengan jelas,
karena film ini diputar karena untuk melakukan efek perlawan yang dimana pada
tahun 2014, Presiden Joko Widodo terlau banyak dikecam dan banyak yang ingin
menggulingkan pemerintahan beliau. Film ini diputar kembali untuk
membandingkan kejadian yang akan terjadi apabila terlalu banyak massa yang
memaksa hendak menggulingkan sistem pemerintahan beliau, maka resiko
terjadinya kerusuhan dan perang saudara akan lebih besar diakibatkan perpecahan
pendapat.
Ada sebagian pihak yang menggunakan film G30S-PKI ini untuk
mengammbil keuntungan dalam sistem pemerintahan era Jokowi. Namun, sangat
disayangkan apabila film ini diputar hanya untuk menjaga dan melindungi
kelompok-kelompok tertentu.
Sedangkan dalam film Senyap ( The Act Of Killing ). Menceritakan hal ini
dari sudut pandang yang berbeda, penulis menceritakan tentang bagaimana
sadisnya pembantaian yang dilakukan oleh elemen masyarakat Indonesia terhadap
semua orang yang “dianggap” PKI.
Jika film Pengkhianatan G30S-PKI “mengajarkan” kepada kita agar
menghindari komunisme, Senyap lebih memilih untuk melakukan rekonsiliasi
antara kedua belah pihak. Meski di film ini yang selalu diangkat adalah
kekejaman para algojo dalam memberantas PKI, sehingga banyak yang menduga
bahwa film ini hanya bertujuan untuk mengembalikan eksistensi PKI di tanah air,
atau paling tidak berusaha menyelamatkan diri agar terbebas dari “cap buruk”
generasi PKI.
Diluar dari unsur-unsur politik tersebut, sesungguhnya kedua film ini patut
diapresiasi karena merupakan film yang bagus untuk pendidikan. Karena hampir
setiap unsur hiburan di negara ini sudah diisi oleh unsur politi yang
mementingkan kepentingan golongan.

Anda mungkin juga menyukai