Anda di halaman 1dari 23

Kumpulan Tugas Teori Kriminologi

Walter C Reckless - Containment Theory

Walter Reckless mengemukakan bahwa containment theory berupaya menjelaskan


keterkaitan antara tarikan pull dan dorongan push pada konteks individu terhadap perilaku
penyimpangan dan kejahatan, egitupula faktor penahan containment pada individu terhadap
dorongan dan tarikan tersebut. Teori ini berlandaskan pada elemen penting yaitu konsep diri self-
concept seorang indiviu yang menjadi faktor utama dalam pembentukan faktor penahan
containment. Reckless mendeskripsikan dorongan, tarikan dan penahan tersebut sebagai faktor
inner dan outer.
Outer pull yang dimaksud oleh Reckless (1962) diantaranya kelompok sebaya
menyimpang delinquent peers dan penggambaran media massa. Sedangkan, outer push
diataranya adalah faktor kondisi ekonomi atau kemiskinan, diskriminasi dan ekslusi sosial.
Kemudian, inner push dideskripsikan sebagai dorongan naluri, frustrasi, permasalahan bilogis
dan psikologis serta perilaku memberontak.
Pada konteks containment yang terdiri dari inner dan outer containment, Reckless
menjelaskan, inner containment diantaranya berupa orientasi nilai konformis, komitmen atas
norma sosial dan yang terpenting adalah konsep diri yang kuat dan positif. Sedangkan outer
containment berupa kekuatan institusi sosial dimana individu tersebut berada, seperti keluarga,
sekolah, kelompok – kelompok sosial positif yang memberikan rasa penerimaan dan pengawasan
atas pelaksanaan norma sosial yang berlaku. (Reckless, 1962)
Sebagai kritik atas penjelasan Walter Reckless tentang Containment Theory, setidaknya
dapat dipaparkan dalam beberapa poin penting sebagai berikut:
 Pernyataan – penyataan Reckless dalam containment theory bersifat terlalu umum
sehingga sulit untuk diukur dalam rangka melihat hubungan nyata antara faktor – faktor
yang dikemukakan dalam teori ini dengan perilaku penyimpangan dalam konteks
kehidupan sehari hari.
 Teori ini memberi penekanan penting pada elemen konsep diri yang terbangun selama
proses tumbuh kembang seseorang, baik melalui berbagai faktor internal seperti keluarga,
maupun eksternal seperti proses sosialisasi dan melalui pendidikan. Namun, penelitian
Reckless berlandaskan pada observasinya terhadap remaja laki – laki. Sehingga, dalam
pemahaman ini, proses sosialisasi yang berbeda antara laki – laki dengan perempuan
menghasilkan kesimpulan yang berbeda pula, diragukan aplikasi teori ini untuk
menjelaskan dan kejahatan pada perempuan.
 Konteks inner containment dan kondisi lingkungan sebagaimana dideskripsikan Reckless
pada kenyataannya sangat bersifat sementara dan cenderung mudah berlalu dalam ingatan
sehingga cenderung menyulitkan proses identifikasi dalam rangka pengujian atas teori
ini.

Social Bond Theory – Travis Hirschi


Secara umum, Social Bond Theory oleh Travis Hirchi berupaya menjelaskan
penyimpangan yang dilakukan individu dalam masyarakat. Pemahaman dasar dalam teori ini,
menurut Hirschi (2009) adalah bahwa perilaku penyimpangan terjadi ketika ikatan antara
individu dengan masyarakatnya lemah atau rusak. Teori Social Bond atau ikatan sosial terdiri
atas empat elemen utama, yaitu: (1) attachment, (2) commitment, (3) involvement dan (4) belief.
Elemen pertama, attachment atau keterikatan diartikan sebagai kapasitas seseorang untuk
membangun hubungan yang efektif dengan individu lain dan institusi sosial, seperti hubungan
yang efektif dengan orang tua, sekolah dan kelompok sebaya atau peer. Hirschi (2009) meyakini
jika ikatan ini kuat, maka individu akan lebih mempertimbangkan pandangan dan ekspektasi
orang lain atas dirinya dan lebih besar kemungkinan untuk berperilaku berdasarkan
pertimbangan tersebut. Lebih jauh, Hirschi meyakini bahwa elemen ini tidaklah berlandaskan
kondisi psikologis seseorang, namun lebih kepada hubungan sosial yang terjadi sehari hari
sehingga dapat berubah seiring waktu.
Selanjutnya, commitment mengacu kepada sejauhmana individu berinvestasi pada
seperangkat tindakan konvensional yang diterima oleh masyarakat, sehingga dapat
dipertimbangkan seberapa besar kerugiannya ketika individu tersebut melakukan penyimpangan.
Elemen ini sangat lekat dengan konsep pilihan rasional rational choice dan pertimbangan untung
rugi atau cost-benefit. Sehingga, ketika seorang individu berinvestasi pada pola hidup dan
tindakan sosial konvensional, perilaku penyimpangan akan menjadi sesuatu yang sangat tidak
rasional dan merugikan.
Elemen involvement atau keikutsertaan tidaklah mengacu kepada dimensi emosional
ataupun psikologis, namun pada kegiatan sehari – hari, dimana keikutsertaan individu pada
kegiatan – kegiatan yang bersifat positif, prososial dan konformis pada nilai dan norma yang
berlaku. Pada logika sederhana, ketika individu memiliki keikutsertaan pada berbagai kegiatan
positif dalam lingkungannya, tidak akan banyak waktu tersisa untuk berpartisipasi dalam
kegiatan penyimpangan. Terakhir, belief atau keyakinan berarti penerimaan dan kepercayaan
individu terhadap nilai, norma dan sistem yang ada dalam masyarakat. elemen ini secara kuat
terikat dengan dan tergantung pada kekuatan elemen attachment individu terhadap orang lain dan
institusi sosial.
Keempat elemen tersebut, meskipun sejatinya bersifat independen satu sama lain, namun
saling berkaitan erat dan secara teoritik memiliki bobot yang sama pada setiap elemennya. Teori
keterikatan sosial meyakini bahwa keempat elemen ini berperan penting pada orientasi individu
terhadap perilaku penyimpangan. Pada konteks kenakalan anak, diyakini ketika keempat elemen
ini kuat, maka kemungkinan anak melakukan kenakalan akan lebih kecil.
Meskipun teori ini dianggap sebagai salah satu teori yang paling berpengaruh dan sukses
memberikan pemahaman atas kenakalan dan penyimpangan, namun terdapat beberapa kritik
terhadap teori ini. Pertama, teori ini tidaklah mampu menjelaskan bentuk penyimpangan secara
khusus, mengingat luasnya spectrum tindak penyimpangan dan kejahatan. Teori ini tidak mampu
menggambarkan lemahnya keterikatan sosial seseorang berdampak pada kemunculan perilaku
penyimpangan tertentu. Kemudian, teori ini pula cenderung mengabaikan konteks struktural dan
sosial atas kemunculan tindak penyimpangan. Konteks kondisi sosial dan struktural yang
dinamis pada realitanya, diasumsikan sebagai sesuatu yang statis dalam teori ini. Terakhir, teori
ini meski mampu menjelaskan kemunculan tindak penyimpangan, namun pada konteks
penyimpangan yang berulang (secondary deviance) tidak terjamah dalam batas konseptual teori
ini.
Predictors of Delinquency – Sheldon & Eleanor Glueck
Penelitian oleh Glueck & Glueck (1950) ini merupakan riset yang kompleks dengan
melibatkan 1000 anak laki – laki dengan proporsi 500 anak nakal dan 500 anak lainnya
dikategorikan sebagai non-delinquent boys. Variabel yang digunakan didalam penelitan ini
memiliki rentang yang cukup luas diantaranya struktur dan relasi dalam keluarga, prestasi dan
perilaku di sekolah, karakteristik fisik dan mental serta sikap dan perilaku.
Penelitian ini menyimpulkan bahwa terdapat seperangkat faktor penting yang mampu
menjelaskan dan memprediksi kenakalan yang disebut sebagai under-the-roof variables, (Glueck
& Glueck, 1950). Kelima variabel tersebut diklaim sebagai lima variabel terpenting dalam
memprediksi kenakalan anak yang secara rinci didefinisikan dan dikelompokkan intensitasnya.
Kelima variabel tersebut adalah:
1. Discipline of Boy by Father (Over strict or Erratic, Lax, Firm but kindly)
2. Supervision of Boy by Mother (Unsuitable, Fair, Suitable)
3. Affection of Father for Boy (Indifferent or Hostile, Warm)
4. Affection of Father for Boy (Indifferent of Hostile, Warm)
5. Cohesiveness of Family (Unintegrated, Some Elements of Cohesion, Cohesive)
Lebih jauh, Glueck & Glueck (1950) menjelaskan bahwa kelima faktor tersebut memiliki
keterkaitan yang erat satu sama lain serta kompleksitas interkasi yang tinggi. Namun, penelitian
ini cenderung jugmental atau menghakimi pada elemen intensitas variabelnya sehingga
berpotensi besar bias. Kemudian, penelitian ini, meskipun mempertimbangkan berbagai faktor
lain selain keluarga, seperti sekolah dan perilaku anak, namun pada kesimpulannya hanya
menekankan pada faktor relasi dan struktur dalam keluarga. Mengabaikan hakikat kejahatan dan
penyimpangan yang relatif dan multidimensional.
Pendefinisan elemen – elemen penting yang diklaim sebagai faktor prediktif atas kenakalan
anak cenderung tidak berdasar, tanpa landasan teoritik dan konseptual yang jelas, sehingga
kemudian kembali memunculkan pertanyaan terkait bias dalam penelitian ini. Pada konteks
masyarakat modern, signifikansi penelitian ini cenderung minim, meskipun tidak dapat
dipungkiri kontribusinya atas pemahaman bagaimana relasi anak dan orangtuanya dalam latar
keluarga, terutama penerapan disiplin oleh orang tua kepada anak, masih menjadi salah satu
faktor relevan dalam menjelaskan kenakalan anak. Tetapi, sebagaimana dijelaskan sebelumnya,
kejahatan dan kenakalan bukanlah fenomena sederhana dan tidak dapat dijelaskan atau
diprediksi melalui satu dimensi saja.
Daftar Pustaka
Glueck, S., & Glueck, E. (1957). Unraveling juvenile delinquency. Cambridge. Harvard
University Press
Hirschi, T. (2011). Causes of Delinquency (Vol. 1). Transaction Publishers.
Wolfgang, M. E., Savitz, L., & Johnston, N. (Eds.). (1970). The sociology of crime and
delinquency. Wiley.

Karl Max

Buku ini merupakan upaya oleh Bottomore dan Rubel untuk menjelaskan berbagai aspek
pemikiran Karl Marx melalui kumpulan karya-karyanya. Berbagai tulisan Marx dikumpulkan
dan dikelompokkan pada masing – masing fokus tertentu. Bab pertama yang berjudul
methodological foundations secara umum merupakan pendekatan filosofis atas Teori Sosial
Marx. Utamanya, berfokus pada tiga aspek penting, yaitu konsep materialistic sejarah, dimana
Marx berpendapat bahwa masyarakat adalah hasil dari berbagai kondisi historis, terutama
kondisi ekonomi. Masyarakat yang semula komunis kini berganti sistem menjadi Borjuis-
proletar dimana pada puncak sejarahnya berada ditangan kaum proletar. Labor, yang
didefinisikan Marx sebagai aktfitas yang menentukan signifikansi manusis, lekat dengan
kesadaran kaum proletar. Sehingga, kaum proletar diyakini Marx akan bangkit dan meruntuhkan
kekuasaan Borjuis dan melahirkan kekuasaan diktatorat proletar, fasi ini ditandai dengan
penghapusan atas properti pribadi dan hilangnya pemerintahan. Masyarakat akan hidup dibawah
kepemimpinan kaum yang tercerahkan dan hidup komunal.

Pada bagian ketiga di Bab pertama, Marx mejelaskan lebih jauh bahwa Labor merupakan
proses dimana manusia dan alam berpartisipasi, manusia sesuai dengan keinginannya sendiri
memulai, mengatur dan mengendalikan reaksi material antara dirinya dengan alam. Marx
mengatakan “He [Man] opposes himself to Nature as one of her own forces, setting in motion
arms and legs, head and hands, the natural forces of his body, in order to appropriate Nature's
productions in a form adapted to his own wants.” (pp 88). Kemudian Marx mengidentifikasi
bahwa proses kerja (labor process) terdiri dari tiga faktor dasar, yaitu (1) Aktivitas manusia
(Work), (2) Objek dari aktivitas, dan (3) Instrument.

Alam tidaklah menciptakan instrument – instrument yang digunakan manusia, seperti


mesin, lokomotif, rel kereta api dsb. Instrument tersebut adalah produk dari industri manusia,
hasil transformasi material alam menjadi instrumentasi dominasi manusia atas alam, sebuah
manifestasi material dari kekuatan ilmu pengetahuan yang dimiliki manusia. Masyarakat secara
utuh, layaknya bengkel kerja, memiliki pembagian kerjanya sendiri (Division of Labor). Lahir
dari berbagai sistem dalam masyarakat, division of labor ada dalam masyarakat secara utuh
berdasarkan aturan tetap. Namun, bukanlah aturan-aturan dalam sistem tersebut yang
menciptakan division of labor, melainkan kondisi produksi material yang akhirnya ditetapkan
sebagai aturan. Sehingga, berbagai bentuk division of labor menjadi pondasi bagi berbagai
organisasi sosial.

Penjelasan Marx tersebut mencerminkan pemikirannya tentang relasi sosial dan strukutr
ekonomi yang melekat pada berbagai bentuk relasi sosial. Labor yang sebelumnya merupakan
bentuk interaksi antara manusi dengan alam dijadikan komoditas, sehingga dalam masyarakat
kelas, relasi sosial yang terbentuk bersifat dangkal (superficial). Mereka yang memiliki properti
dan instrument membeli tenaga masyarakat biasa sehingga mereduksinya menjadi komoditas.
Pada pemahaman ini, Marx mengidentifikasi ekonomi sebagai akar dari berbagai bentuk relasi
sosial dalam masyarakat.

Weber

Bagian pertama pada buku ini “Conceptual Exposition” pada Bab 1 yang berjudul
“Basic Sociological Terms”, Weber berupaya menjalaskan konsep relasi sosial (social
relationship) dengan terlebih dahulu memperkenalkan konsep social action. Bab ini secara
khusus membahas skema konseptual Weber, baik dalam konteks sistematika kategori konseptual,
maupun relasi analitik diantara konsep tersebut. Pada masing – masing definisi, diberikan pula
elaborasi terhadapnya.

Dalam pemahaman Weber, Sosiologi bermakna sebagai ilmu pengetahuan mengenai


pemahaman interpretative atas social action atau tindakan sosial, dengan demikian memberikan
penjelasan kausal atas tujuan dan konsekuensinya. Action atau tindakan sendiri sebagai
komponen penyusun social action, bermakna ketika individi melakukan atau terlibat dalam
kegiatan tertentu, baik secara terbuka maupun tertutup, disengaja atau tidak. Ruang lingkup
tindakan atau action ada pada “the acting individual attaches a subjective meaning to his
behavior” (pp 4) dan sebuah tindakan menjadi social action sejauh makna subjektif yang
dilekatkan mempertimbangkan perilaku orang lain, sehingga berorientasi dalam tujuannya.

Meaning atau makna, dijelaskan oleh Webber terdiri dari dua jenis, (1) yaitu makna yang
bersifat actual pada konteks individu tertentu atau makna rata – rata dalam koteks individu –
individu (jamak) dan (2) pemaknaan murni yang dikonstruksikan secara teoritik pada konteks
tindakan tertentu. Weber menekankan bahwa batas antara tindakan yang bermakna (meaningful
action) dengan tindakan reaktif (reactive behavior) dimana tidak ada makna subjektif yang
dilekatkan, tidak dapat dibedakan secara empirik. Inilah mengapa sosiologi menurut Weber
haruslah interpretative, sangat subjektif, karena tindakan sosial, sebagai objek studinya, hanya
dapat diidentifikasi melalui pemaknaan subjektif yang dilekatkan kepada tindakan tertentu.
Tindakan sosial juga melingkupi failure to act dan passive acquiescence, kegagalan atau
kelalaian yang berorientasi pada masa lalu, masa kini dan ekspektasi perilaku orang lain di masa
depan.

Aspek penting dalam pemikiran Weber, yaitu pemahaman atau understanding haruslah
melibatkan interpretasi atas makna pada satu diantara konteks tertentu, yaitu:

(a) as in the historical approach, the actually intended meaning for concrete individual
action.; or (b) as in cases of sociological mass phenomena, the average of, or an approximation
to, the actually intended meaning; or (c) the meaning appropriate to a scientifically formulated
pure type (an ideal type) of a common phenomenon (pp 9)

Berdasarkan jenisnya, Weber menyatakan bahwa terdapat empat jenis tindakan atau
perilaku sosial, berdasarkan pemaknaan yang dilekatkan kepadanya, yaitu Instrumentally
rational yang ditandai dengan ekspektasi atas perilaku objek dan individu lain sebagai cara
mendapatkan tujuan rasional. Value-rational yang ditandai dengan keyakinan pada nilai etik,
aestetik, religious terlepas dari prospek kesuksesannya. Kemudian, affectual yang berorientasi
pada konteks emosional dan traditional yang ditandai dengan habituasi yang tertanam.

Kemudian, Weber mendefinisikan social relationship atau relasi sosial sebagai perilaku
actor – actor, sejauh perilaku tersebut memiliki makna, mempertimbangan bagaimana orang lain
memaknainya dan berorentasi terhadap pemaknaan orang lain atas perilaku tersebut. Sehingga,
relasi sosial,

“Consists entirely and exclusively in the existence of a probability that there will be a
meaningful course of social action, irrespective of the basis for this probability.” (pp 26 -27)

Relasi sosial yang dimaksud Weber, bercirikan,


“at least minimum of mutual orientation of the action of each to that of the others. Its
content may be of the most varied nature: conflict, hostility, sexual attraction, friendship, loyalty,
or economic exchange” (pp 27)

Pada pemahaman ini, relasi sosial menurut Weber tidak secara eksplisit dicirikan sebagai
suatu relasi yang bersifat positif (kooperatif) atau bertentangan. Weber menekankan pula bahwa
pemaknaan subjektif oleh actor – actor dalam relasi sosial tidaklah selalu sama, hal ini
menegaskan bahwa relasi sosial dapat pula bersifat non-resiprokal, unilateral atau asimetris,
selama memiliki orientasi yang saling menguntungkan (mutual orientation).

Durkheim

Salah satu karya Emile Durkheim yang cukup dikenal, selain tesisnya The Division of
Labor in Society adalah tulisannya berikut ini. Dalam buku The Rules of Sociological Method,
Durkheim mencetuskan bahwa subjek fundamental dalam studi sosiologi adalah studi fakta
sosial atau social fact. Fakta sosial didefinisikan oleh Durkheim sebagai cara bertindak, berfikir
dan merasa, yang berada diluar individu (external to the individual) dan memiliki kekuatan
memaksa (power of coercion). Berdasarkan definisi tersebut, dapat dipahami bahwa menurut
Durkheim, fakta sosial adalah sesuatu yang berada diluar individu, atau ekternal, baik secara
fisik maupun secara kesadaran. Namun, fakta sosial yang dimaksud Durkheim, meskipun berada
diluar diri dan kesadaran individu, mampu mempengaruhi perilaku seseorang.

Lebih lanjut Durkheim menjelaskan bahwa meskupun seringkali yang dimaksud dengan
fakta sosial adalah sesuatu yang tidak berwujud, bukanlah merupakan sebuah entitas fisik, seperti
yang dicontohkan Durkheim, collective tendencies dan passion. Namun, Durkheim menekankan
pentingnya melihat fakta sosial sebagai suatu benda. Apa alasan Durkheim? Penekanan ini
dimaksudkan untuk menegaskan keyakinannya bahwa meskipun seringkali bukanlah entitas
yang memiliki wujud fisik, namum ia meyakini bahwa fakta sosial adalah nyata, ada diluar sana,
diluar tubuh dan pikiran kita, tetapi keberadaannya berpengaruh terhadap bagaimana kita
berperilaku. Fakta sosial diyakini Durkheim adalah nyata adanya, sebagaimana benda fisik
lainnya mengingat kemampuannya memengaruhi, mencegah dan membatasi perilaku seseorang.
Dalam pemahaman ini, fakta sosial adalah realitas sosial yang objektif, eksternal dan dapat
dibuktikan. Meskipun, pada konteks observasinya, tidaklah mudah.
Durkheim meyakini bahwa fakta sosial adalah fenomena yang bersifat sui generis, dalam
Bahasa Latin berarti of its own kind atau berdiri sendiri. Fakta sosial bersifat independen
terhadap keinginan dan kebutuhan, tidak seperti manusia. Menelisik lebih jauh terhadap
keberadaannya, Durkheim menyatakan:

"the determining cause of a social fact should be sought among the social facts preceding
it and not among the states of the individual consciousness." (pp 110)

Sehingga, berdasarkan kutipan tersebut, dapat dipahami bahwa menurut Durkheim,


sebuah fakta sosial hanyalah mampu dijelaskan melalui fakta sosial lainnya. Karakteristik lain
darii fakta sosial yang menyerupai sebuah benda adalah kekuatannya terhadap perubahan,
sehingga tetap ada lintas generasi. Sebagai contoh, Durkheim mengemukakan bahwa gender,
peran, norma, nilai, institusi sosia (agama, keluarga, dan ekonomi) kesemuanya adalah contoh
dari fakta sosial.

Robert K Merton

"Social Structure and Anomie," American Sociological Review (October, 1938), 1:672-682.

Teori Anomie atau Teori Strain oleh Merton berupaya menjelaskan kemunculan
kejahatan, begitupula ketidakteraturan dan penyimpangan yang lebih luas. Dalam pemahaman
ini, apa yang dirumuskan oleh Merton adalah sebuah penjelasan sosiologis yang luas dan
komprehensif, berupaya menjelaskan kausalitas kejahatan dan penyimpangan. Teori ini
meminjam terminology Anomie yang dikemukakan sebelumnya oleh Durkheim, dimana pada
penjelasannya, Durkheim meyakini bahwa manusia secara naluriah memiliki keinginan yang
tidak terbatas, sehingga harus dikendalikan secara sosial, sedangkan pada Teori Anomie oleh
Merton, keinginan manusia yang tidak terbatas bukanlah produk biologis atau dorongan alamiah,
melainkan sesuatu yang dikonstruksikan secara sosial (socially constructed). Maka, dengan ini
Merton berfokus pada posisi individu dalam struktur masyarakat dan sebagaimana dikatakan
oleh Merton:

“our primary aim lies in discovering how some social structures exert a definite pressure
upon certain persons in the society to engage in noncomformist conduct.” (pp 672).
Dalam rangka memahami apa yang dimaksud Merton pada kutipan diatas, terlebih dahulu
harus dipahami bahwa pada setiap masyarakat, terdapat sistem kebudayaan yang (1) menyatakan
nilai dan tujuan yang disetujui secara sosial (culture goals) dan (2) merincikan norma atau cara
untuk mencapai tujuan tersebut (institutionalized means). Pada pemahaman ini, Merton meyakini
bahwa perilaku menyimpang, terutama kejahatan muncul akibat seseorang yang
menginternalisasi nilai cultural goal namun memiliki akses terbatas terhadap institutionalized
means akibat dari posisinya dalam struktur sosial. Merton mengidentifikasi lima bentuk adaptasi
yang muncul dari kondisi ini:

1. Conformity

Merupakan bentuk adaptasi dimana seseorang menginternalisasi, baik nilai


budaya (culture goal) dalam masyarakat dan cara yang diakui untuk emndapatkannya
(institutionalized means). Individu dengan pola adaptasi ini cenderung tidak akan
melakukan perilaku menyimpang meskipun muncul keterbatasan tertentu dalam akses
mereka kepada institutionalized means. Merton meyakini bahwa pola adaptasi seperti ini
adalah pondasi dari masyarakat yang membentuk stabiltas sosial.

2. Retreatism

Individu dalam kelompok adaptasi retreatism adalah mereka yang tidak menerima
tujuan budaya begitupula cara mendapatkannya yang disepakati dalam masyarakat.
Merton menyatakan “retreatist are those who rejects both social goals and thr means of
obtaining them” (pp 677)

3. Ritualism

Merton mengidentifikasi bahwa ritualisme dan konformis memiliki beberapa


kesamaan dimana keduanya merupakan pola adaptasi yang menginternalisasi cara yang
diakui dalam masyakat untuk mencapai tujaun, mereka yang berkerja pada organisasi
soial yang terikat dengan aturan. Ritualism cenderung tidak berfokus pada tujuan
kultural, melaiankan ‘terobsesi’ dengan cara yang diakui untuk mendapatknnya, terlepas
dari bagaimana hasilnya.

4. Innovation
Bentuk adaptasi ini diyakini Merton paling umum muncul dalam masyarakat
dalam menghadapi structural frustration. Mereka yang menggunakan pola adaptasi ini
yang menjadi perhatian utama dalam kriminologi. Para innovator ini ingin mewujudkan
nilai budaya yang berlaku namun menggunakan cara – cara illegal untuk mencapai
tujuannya.

5. Rebellion

Adaptasi ini muncul ketika seseorang akibat frustasi sosial menolak tujuan budaya
(culture goal) dan cara yang diakui untuk mendapatkannya. Alih – alih mengikuti tujuan
dan cara yang dimaksud, berbeda dengan Retreatist, mereka memunculkan seperangkat
nilai dan norma baru sebagai pengganti.

Kritik atas teori ini adalah teori ini tidak mampu menjelaskan berbagai perilaku yang
dilabel sebagai perilaku menyimpang yang dillakukan oleh mereka yang menerima standard
tujuan budaya dan cara yang disepakati oleh masyarakat. Kedua, teori ini dapat dikritisi atas
pemahamannya yg berausmsi bahwa cultural goals dan Institutionalized means adalah sesuatu
yang dipahami pada seluruh anggota masyarakat. Kemudian, dalam penjelasan dan tipologinya,
Merton tidak menjelaskan konteks perempuan dalam tipologinya.

Albert K. Cohen

Delinquent Boys, Glencoe: The Free Press, 1955. pp. 24-32.

Cohen (1955) dalam tulisan ini menyoroti bagaimana berbagai penelitian sebelumnya
cenderung berfokus pada proses dimana remaja laki – laki mengadopsi nilai – nilai menyimpang,
cenderung mengabaikan keberadaan subkultur menyimpang atau gang. Titik pijak Cohen dalam
pandangannya ini adalah pelanggaran oleh remaja seringkali bukanlah atas motfi ekonomi atau
kesuksesan finansial, sebagaimana dikemukakan oleh Merton. Sebaliknya, menurut Cohen,
remaja anggota geng mencuri demi kesenangan semata dan menikmati reputasi yang mereka
peroleh karena menjadi sosok yang kuat atas apa yang dilakukannya. Studi tentang geng atau
subkultur ini menawarkan kemungkinan motivasi lain, seperti status dan rasa hormat yang pada
penelitian sebelumnya cenderung tidak diakui keberadaannya.
Lebih jauh, Cohen menjelaskan meskipun masyarakat distratifikasi berdasarkan kelas
sosial-ekonominya, namun norrma dan nilai kelas menengah adalah nilai yang dominan dan
berlaku dalam rangka mengukur tingkat kesuksesan dan status sosial seseorang dalam
masyarakat. tentunya, jika remaja pria kelas pekerja berupaya beradaptasi pada nilai ini, sangat
mungkin nilai dan norma tersebut tidak akan terinternalisasi dengan baik. Kondisi ini yang
menyebabkan deficit of respect dan status frustration.

Berada pada kondisi kekurangan rasa hormat dan frustrasi atas status sosialnya di dalam
masyarakat, para remaja tersebut berkumpul satu sama lin, berinteraksi dengan sesamanya,
merasakan kesulitan yang sama pada akhirnya menyepakati seperangkat nilai dan norma
alternatif dimana mereka mampu memahaminya. Melalui cara ini, mereka mampu mendapatkan
status dan rasa hormat dengan terlibat pada berbagai kegiatan yang ditolak oleh kultur arus
utama, diantaranya, hedonism, agresi, kebohongan dan vandalisme. Secara umum, terkait dengan
subkultur penyimpangan yang dibentuk oleh geng, menurut Cohen dapat dideskripsikan dengan
tiga sifat, yaitu: Malicious, Negativistic dan Non Utilitarian. Malicious secara singkat dapat
diartikan bahwa perilaku mereka cenderung tanpa motivasi tertentu, seringkali tidak bermotif
ekonomi. Negativistic adalah kecenderungan subkultur menyimpang yang bertentangan dengan
kultur dominan di masyarakat, sebagaimana dijelaskan Cohen:

“The delinquent subculture is not only a set of rules, a design for living which is different
from or indifferent to or even in conflict with the norms of the "respectable" adult society. It
would appear at least plausible that it is defined by its "negative polarity" to those norms.” (pp
26)

Kemudian, Non-Utilitarian yang berarti bahwa perilaku mereka adalah eksrpesi atas
frustrasi mereka. Tidak bersifat fungsional, atau dapat dikatakan sebagai perilaku anti sosial,
sebagaimana sifat ini merangkum Malicious dan Negativistic. Teori subkultur penyimpangan
oleh Cohen seringkali dikritik atas kegagalan Cohen memberikan landasan data empirik terhadap
formulasi teoritiknya, bahkan pada banyak upaya pengujian teori ini, seringkali tidak terbukti.

Richard Cloward & Lloyd Ohlin

Delinquency and Opportunity, Glen, Coe: The Free Press, 1961. pp. 145-152: 161-186.
Upaya penjelasan subkultur kejahatan oleh Cloward & Ohlin pada dasarnya menekankan
pada perlunya dua teori untuk menjelaskan perilaku kriminal remaja, pertama perlu adanya teori
yang menjelaskan dorongan atau push mengapa banyak remaja yang melakukan pelanggaran.
Kedua, teori tentang tarikan atau pull yang menjelaskan kontinuitas dari perilaku pelanggaran
tersebut dan bagaimana proses transfernya. Cikal bakal teori differential opportunity structure
oleh Cloward & Ohlin berakar pada Teori Strain atau Anomie oleh Merton untuk menjelaskan
dorongan atau push yang berakar pada Strain (Struktur) dan Differential Association oleh
Sutherland untuk menjelaskan pull dimana proses pembelajaran kejahatan menjelaskan
kontinuitas dan transfernya.

Lebih jauh, Cloward & Ohlin sepakat dengan Merton yang melihat adanya peran struktur
sosial dan perbedaan kesempatan yang melekat didalamnya, namun, bagi Cloward dan Ohlin,
Merton tidak membahas lebih jauh struktur kesempatan yang bersifat illegitimate. Sederhananya,
Cloward dan Ohlin meyakini bahwa perbedaan kesempatan yang melekat pada struktur sosial
ekonomi tidak hanya yang bersifat Legitimate Means, tetapi juga Illegitimate Means.
Sebagaimana dijelaskan oleh Cloward & Ohlin:

“Just as the unintegrated slum cannot mobilize legitimate resources for the young,
neither can it provide them with access to stable criminal careers, for illegitimate learning and
opportunity structures do not develop” (pp 173).

Tidak semata-mata pengembangan atas konsep strain oleh Merton dan differential
opportunity oleh Sutherland, Clindard & Ohlin juga terinspirasi oleh karya-karya dari tokoh
Chicago School lain seperti Shaw & McKay. Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, teori ini,
mengandung unsur struktur (Strain) dan proses pembelajaran (learning). Sebagaimana dijelaskan
langsung oleh Cloward & Ohlin:

“The concept of differential opportunity structures permits us to unite the theory of


anomie, which recognizes the concept of differentials in access to legitimate means, and the
“Chicago tradition,” in which the concept of differentials in access to illegitimate means is
implicit. We can now look at the individual, not simply in relation to one or the other system of
means, but in relation to both legitimate and illegitimate systems.” (pp 151).
Pada penjelasan tentang penyimpangan oleh geng, Cloward dan Ohlin mengidentifikasi
tiga tipe gang: Criminal, Conflict & Retreatist. Criminal Gang bercirikan sebagaimana
Innovator dalam Teori Anomie oleh Merton, berorientasi pada tujuan konvensional yang
disepakati secara umum oleh masyarakat, seperti memiliki kesuksesan karir dan stabilitas
finansial melalui pekerjaan atau usaha yang legal. Namun, pada konteks Criminal Gang akses
terhadap cara legal mencapai tujuan tersebut tidak tersedia, sedangkan illegitimate opportunity
structure tersedia dalam bentuk organisasi kejahatan, memberikan keleluasan bagi geng untuk
mendapatkan uang dan status melalui cara illegal atau non konvensional. Kondisi ini seringkali
dicirikan dengan masyarakat dimana kelompok kejahatan dewasa memiliki kedekatan dengan
geng remaja. Sebagaimana dijelaskan oleh Cloward & Ohlin:

“Criminal subculture is likely to arise in a neighborhood milieu characterized by close


bonds between different age-levels of offenders, and between criminal and conventional
elements. As a consequence of these integrative relationships, a new opportunity structure
emerges which provides alternative avenues to success goals. Hence the pressures generated by
restrictions on legitimate access to success-goals are drained off. Social controls over the
conduct of the young are effectively exercised, limiting expressive behavior and constraining the
discontented to adopt instrumental, if criminalistics, styles of life.” (pp 171).

Kemudian, Conflict Gang muncul pada kondisi dimana tidak tersedia struktur
kesempatan kejahatan (Illegitimate Opportunity Sructure) maupun struktur kesempatan
konvensional (legitimate Opportunity Structure). Subkultur ini bercirikan pola perilaku
kekerasan dan destruktif. Tujuan konvensional ditinggalkan dan digantikan dengan nilai
alternatif yang seringkali menekankan pada kekuatan dan kecerdikan. Sebagaimana dijelaskan
oleh Cloward & Ohlin:

“First, an unorganized community cannot provide access to legitimate channels to


success goals[..] Secondly, access to stable criminal opportunity systems is also restricted […]
Finally, social controls are weak in such communities. These conditions, we believe, lead to the
emergence of conflict subcultures.” (pp 172).

Tipe ketiga dalam tipologi gang menurut Cloward & Ohlin adalah Retreatist Gang.
Serupa dengan pola adaptasi Retreatism dalam Teori Anomie oleh Merton, kelompok ini
dicirikan terdiri dari Social Dropouts, seperti pecandu narkoba dan alcohol. Kemunculan
kelompok ini dipicu kondisi yang kurang lebih sama dengan Conflict Gang. Dimana tidak
tersedia struktur kesempatan konvensional maupun kejahatan, namun perbedaannya ada pada
kondisi masyarakat dimana subkultur tersebut muncul. Pada Conflict Gang, masyarakatnya
cenderung tidak terorganisasi dengan baik (Disorganized Community), sedangkan pada
Retreatist Gang, masyarakatnya terorganisasi dengan baik (Organized Community). Hal ini
terjadi akibat toleransi masyarakat atas nilai kekerasan, pada masyarakat terorganisir, nilai
kekerasan dan destruktif tidak ditoleransi, sehingga subkultur yang muncul adalah pelarian
kepada alcohol dan obat – obatan.

Sebagai kritik, karya Cloward dan Ohlin yang berupaya menjelaskan subkultur kejahatan
dan kaitannya dengan struktur kesempatan kejahatan hanya bertumpu pada asumsi bahwa kelas
pekerja adalah kelompok yang homogeny, tujuan – tujuan kultural (Cultural Goals) diasumsikan
sama pada berbagai kelompok dan individu dalam masyarakat kelas pekerja. Kemudian,
sebagaimana para pendahulunya, penjelasan Cloward & Ohlin yang cenderung simplisistik atas
penyalahgunaan obat – obatan, pada kenyataannya, gagal menjelaskan perilaku penyalahguna
dari kalangan menengah yang cukup umum terjadi, terlebih lagi jika mempertimbangkan
konsumsi alcohol kedalam terminology drugs.

Teori Netralisasi dan Teori Drift


Teori Netralisai oleh David Matza dan Gresham Sykes (1957) berlandasan pada
penolakan terhadap kelompok teori pembelajaran sosial yang dianggap memberikan gambaran
yang terlalu sederhana atas penyimpangan dan kejahatan, begitupula dianggap sangat
deterministic, argumentasi penolakan ini secara sederhana dapat dirmuskan dalam dua poin
utama. Pertama, kelompok teori pembelajaran sosial berasumsi bahwa manusia adalah aktor
pasif, selayaknya lembar kosong, menunggu untuk diisi pengetahuan tentang perilaku yang baik
dan buruk. Kedua, kelompok teori ini meyakini bahwa nilai dan norma konvensional memiliki
perbedaan dan jarak dengan nilai dan norma subkultur penyimpangan, dimana senyatanya kedua
nilai tersebut saling berkaitan.
Teori Netralisasi yang muncul setelah dikemukakannya Teori Differential Association
oleh Sutherland dapat diidentifikasi sebagai eksplorasi atas salah satu premis utama dalam
pernyataan Sutherland, yaitu bahwa kejahatan dipelajari melalui interaksi intim dengan
kelompok sosial tertentu, teknik, perilaku begitupula rasionalisasinya. Sebagaimana
dikemukakan oleh Sykes & Matza (1957), netralisasi muncul mendahului perilaku
penyimpangan dan memungkinkan terjadinya penyimpangan. Lebih jauh dijelaskan, proses
pembelajaran kejahatan dan penyimpangan memungkinkan individu menguasai teknik tertentu
yang mampu menyeimbangkan atau menetralisasi nilai konvensional dan melintas (drift) bolak
balik antara perilaku konvensional dan penyimpangan. Meyakini adanya Subterranean Values
pada masyarakat Amerika, yang merupakan pengaruh menyimpang dari nilai moral
konvensional, dimana cenderung tidak dianggap menyimpang ketika tidak dilakukan secara
publik.
Kesimpulan ini merupakan jawaban atas pengamatan Sykes dan Matza bahwa, para
penjahat kelas kakap sekalipun, pada titik tertentu masih mengikuti nilai dan norma
konvensional yang berlaku, seperti bersekolah, berkeluarga dan bahkan mengikuti ajaran
agamanya. Perilaku seperti inilah yang didefinisikan sebagai Drift, kondisi berada diantara
rangkaian kesatuan antara kebebasan total dan kendali total. Kondisi Drift inilah yang
memungkinkan seseorang berpindah dari perilaku konfirmis kepada penyimpangan dan
sebaliknya, tergantung dari situasi dan kondisi yang dihadapi. Sykes dan Matza menekankan
pada penjelasan atas adanya keinginan bebas (free will) individu untuk memilih antara
konformitas atau penyimpangan, meskipun diakui bahwa pilihan tersebut tetap dipengaruhi oleh
kondisi sosial dan peer. Diakui pula bahwa konsep Drift yang dimaksud oleh Matza memiliki
kesamaan ciri dengan Anomie oleh Durkheim, namun penekanan Matza pada konsep Drift ialah
konteks kesejarahan yang berbeda dengan anomie dan konsep drift dilihat sebagai sesuatu yang
bersifat episodic atau tidak permanen, bukanlah sebagaimana anomie yang cenderung konstan.
Teori Drift yang menekankan pentingnya will atau kemauan, dimana kemauan untuk
melakukan penyimpangan atau kejahatan dipengaruhi oleh dua kondisi yang disebut oleh Matza
sebagai Preparation dan Desperation. Preparation adalah kondisi dimana individu merasa
sanggup melakukan penyimpangan atau kejahatan, sedangkan Desperation berarti kondisi
keputusasaan yang mendorong munculnya keinginan untuk melakukan penyimpangan atau
kejahatan, terlepas kesiapan individu.
Model teoritik dari Teori Netralisasi dilandaskan pada beberapa pengamatan Sykes dan
Matza, yaitu:
(1) criminals sometimes voice a sense of guilt over their illegal acts (rasa bersalah para
kriminal atas tindakan illegalnya),
(2) offenders frequently respect and admire honest, law-abiding people (kriminal
seringkali menghormati dan mengagumi orang yang jujur dan taat hukum),
(3) criminals draw line between those whom they can victimize and those whom they
cannot (kriminal membatasi siapa yang mereka viktimisasi dan yang tidak mereka viktimisasi),
(4) criminals are not immune to demands of conformity (kriminal tidaklah kebal terhadap
tuntutan konformitas).
Konsep netralisasi yang dimaksud Matza dan Sykes berangkat dari pemahaman bahwa
nilai dan norma konvensional, termasuk didalamnya hukum, memiiliki netralisasinya sendiri,
batasan – batasan yang jelas, menyebabkannya menjadi rentan. Sebagaimana kutipan berikut:
“The law contains the seeds of its own neutralization. Criminal law is
especially susceptible [to] neutralization because the conditions of
applicability, and thus inapplicability, are explicitly stated” (Matza, 1964:60).

Sehingga, netralisasi yang dimaksud Sykes dan Matza adalah upaya penjelasan atau
upaya menjauhkan diri dari konsekuensi negatif yang muncul akibat perilaku penyimpangan atau
kriminal. Penting untuk diketahui bahwa netralisasi ini tidak akan berlaku pada individu
psikopatik yang tidak memerlukan netralisasi akibat ketidakmampuannya merasa bersalah.
Menurut Sykes dan Matza (1957) terdapat lima teknik netralisasi, yaitu:

1. Denial of responsibility (Penyangkalan Tanggung Jawab)


2. Denial of injury (Penyangkalan Perlukaan)
3. Denial of a victim (Penyangkalan Korban)
4. Condemnation of condemners (Mengutuk Mereka yang Menyalahkan)
5. Appeal to higher loyalties (Upaya Menunjukkan Loyalitas)
Kritik atas Teori Netralisasi dan Teori Drfit diantaranya adalah sebagai berikut:
 Meskipun teori tersebut mampu menjelaskan kemunculan penyimpangan dan kejahatan,
serta mampu memberikan gambaran tentang pondasi karir kriminal. Pada konteks
kejahatan dan penyimpangan yang bersifat spontan dan eksresif, teori ini cenderung tidak
mampu menjelaskannya dengan baik.
 Teknik netralisasi yang dimaksud Sykes dan Matza cenderung tumpang tindih antara satu
dengan yang lainnya pada sudut pandang tertentu, misalnya Denial of Injury dengan
Denial of Victim.
Daftar Pustaka
Matza, D. (1967). Delinquency and drift. Transaction Publishers.
Sykes, G. M., & Matza, D. (1957). Techniques of neutralization: A theory of
delinquency. American sociological review, 22(6), 664-670.

Interaksionisme simbolik bertumpu pada analisis yang terdiri dari tiga premis. Pertama
adalah manusia bertingkah terhadap sesuatu atas dasar makna yang dimiliki sesuatu itu terhadap
yang bersangkutan. Apa yang dimaksud dengan sesuatu ini, mencakup segala hal yang ada dalam
kehidupan seseorang, seperti objek fisik, manusia lain, institusi, aktifitas lain dan sebagainya.
Premis kedua adalah bahwa makna dari hal-hal tersebut muncul dari intraksi sosial. Premis
ketiga adalah bahwa makna ini ditangani di, dan dimodifikasi melalui, proses interpretatif yang
digunakan oleh orang dalam berurusan dengan hal-hal yang dia temui

Terdapat dua cara utama dalam melihat asal usul makna di sini. Satu adalah pandangan
yang menggagap makna sebagai hal yang bersifat intrinsik dimana melekat pada sesuatu sebagai
hal yang hakiki. Dalam pandangan ini kursi adalah jelas kursi. Sebagai hal yang melekat dalam
sesuatu, makna hanya akan didapatkan dengan mengobservasi sesuatu objektif yang memiliki
makna tersebut. Makna adalah hal yang memancar, sehingga bisa dikatakan, dibalik hal-hal
yang memiliki makna, tidak ada proses yang terlibat dalam pembentukannya. Dengan demikian
apa yang perlu dilakukan adalah untuk mengenali makna yang ada dalam hal-hal tersebut.
Pandangan ini mencerminkan pandangan realisme dalam filsafat, yakni pandangan yang banyak
diadopsi dan mengakar kuat dalam ilmu sosial dan psikologis. Pandangan lain melihat bahwa
makna sebagai pertambahan psikis terhadap sesuatu oleh seseorang berurusan dengan sesuatu
tersebut dalam kehidupan sosialnya. Akresi psikis ini dilihat sebagai ekspresi dari unsur-unsur
dari jiwa, pikiran, atau organisasi psikologis seseorang. Unsur-unsur penyusunnya adalah hal-hal
seperti sensasi, perasaan, ide, kenangan, motif, dan sikap. Makna suatu hal adalah ekspresi
elemen psikologis yang diberikan yang dibawa ke dalam persepsi terhadap suatu hal. Sehingga
orang berusaha untuk menjelaskan arti dari suatu hal dengan mengisolasi unsur psikologis
tertentu yang menghasilkan makna.

Intraksionisme simbolik memiliki asumsi mengenai sumber makna yang berbeda dengan
dua pandangan umum tersebut. Intraksionisme simbolik melihat makna muncul dari proses
intraksi yang dilakukan oleh manusia. Makna dari suatu hal bagi seseorang tumbuh dari cara di
mana orang lain bertindak terhadap orang yang berurusan dengan hal itu. Maka intraksionisme
simbolik melihat makna sebagai produk sosial yang terbentuk di dalam dan melalui kegiatan
pendefinisian orang ketika mereka berinteraksi satu sama lain.

Interaksionisme simbolik didasarkan pada sejumlah ide dasar. Ide dasar tersebut adalah
kelompok manusia atau masyarakat, interaksi sosial, benda, manusia sebagai aktor, tindakan
manusia, dan interkoneksi garis tindakan. Ide dasar ini merupakan krangka studi dan analisis
intraksionisme simbolik dan merefleksikan pandangan intraksionisme simbolik terhadap manusia
dan masyarakat. Blumer melihat adanya ketidaksesuaian konteks jika pandangan Mead yang
menganggap makna terbentuk oleh tindakan yang dilakukan oleh individu, diterapkan pada skala
masyarakat. Menurut Blummer tindakan sosial kolektif masyarakat akan menghasilkan makna
yang tidak lagi didasari oleh tindakan sosial tiap individu.

Daftar Pustaka

Blumer, Herbert. 1969. Symbolic Interactionisim, Perspective and Method. California:


University of California Press.
Interaksionisme simbolik memiliki tiga premis dasar. Pertama adalah manusia
berperilaku terhadap sesuatu atas dasar makna yang dimiliki oleh sesuatu itu terhadap yang
bersangkutan. Apa yang dimaksud dengan sesuatu ini, mencakup segala hal yang ada dalam
kehidupan seseorang. Premis kedua adalah bahwa makna dari hal-hal tersebut muncul dari
intraksi sosial. Premis ketiga adalah bahwa makna ini dicerna melalui, proses interpretatif yang
digunakan oleh seorang dalam berurusan dengan hal-hal yang dia temui.

Ide dasar intraksionis adalah asal usul sosial daripada diri dan sifat manusia, refleksi diri,
serta pandangan bahwa tindakan adalah sesuatu yang dikonstruksi, bukan sekedar respon
sederhana. Dalam buku ini dijelaskan pemikiran awal intraksionis oleh beberapa tokoh yaitu
William James, Charles Horton Cooley, John Dewey, W.I. Thomas, dan George Herbert Mead
yang dipengaruhi oleh pemikiran filsafat pragmatisme. William James, seorang psikolog
mengembangkan pemikiran tentang self. Menurutnya perilaku manusia terdiri dari habit, self,
dan instinct. Terdapat empat elemen dalam diri manusia yakni material self, social self, dan pure
ego. Charles Horton Cooley dari ranah sosiologi mengatakan bahwa penjelasan perilaku manusia
dapat dijelaskan dari dua hal yakni sifat organik, dan sifat mental. John Dewey dari ranah filsafat
menyelidiki asal usul makna. Menurutnya makna datang dari kegunaan, dan tidak ada pemikiran
dan alasan murni. W.I. Thomas, mengutarakan konsep definisi situasi, yang berarti jika orang
mendefinisikan situasi sebagai nyata, maka hal tersebut akan nyata pada konsekuensinya.
Sementara George Herbert Mead menjelaskan bagaimana perkembangan diri dan objektifitas
dunia pada diri seseorang di dalam dunia sosial. Dia menekankan bahwa keberadaan diri
seseorang bergantung pada relasinya dengan orang lain.

Dapat dilihat bahwa pemikiran-pemikiran mereka memiliki fokus yang sama yaitu
interaksi antara individu dan masyarakat. Teori-teori tersebut menggambarkan keberangkatan
radikal dari kedua paradigma individualistis dan behavioristik pada saat itu.

Tealah Kritis

Kritk utama intraksionis adalah ketidakmapanan teoritis, dalam arti adalah perspektif
potensial, tetapi tidak ada formulasi teoritis yang seragam. Selain itu intraksionis diserang oleh
kritik bahwa gagal mendefinisikan sturuktur sosial. Memang beberapa tokoh seperti Goffman
mengasumsikan adanta sistem sosial yang tak dapat diubah, akan tetapi dalam nalar ini
intraksionis dapat dituduh konservatism. Gouldner pun mengeritisi perspektif Goffman sebagai
side game yang artinya tidak melihat gejala utama dalam masyarakat, tetapi yang dilihat adalah
penyesuaian sekunder yang dibuat oleh manusia terhadap kondisi yang ada.

Meltzer, B. N., Petras, J. W., & Reynolds, L. T. (1975). Symbolic interactionism: Genesis, varieties
and criticism. Routledge.

Penyimpangan adalah masalah sosial utama. Penyimpangan bersifat kompleks dan


dinegosiasikan. Rock melihat penyimpangan sebagai bagian dari keteraturan sosial, tidak
sebagai sekedar gejala patologis. Perilaku dan sikap non-deviant, masyarakat, dan otoritas
berperan sebagai instrumen untuk membentuk konsepsi penyimpangan sebagai tindakan yang
dilakukan oleh para pelaku penyimpangan. Penyimpangan tidak muncul dari pertemuan antara
penyimpang dan non-penyimpang. Dengan demikian impresi penyimpangan merupakan hal yang
tersegmentasi dan dinegosiasikan. Terdapat dua kategori penyimpangan yaitu penyimpangan
perimer dan sekunder berdasarkan tingakat motifnya. Penyimpangan mengundang reaksi dari
berbagai ranah di masyarakat tidak hanya hukum pidana, karena penyimpangan meruapakan
kategori yang luas dan kejahatan ada di dalamnya. Konsep peran penyimpangan memberikan
sebuah susunan tentang apa yang sebaliknya disebut dengan perilaku yang tidak teratur. Secara
konsisten tipifikasi dan kontertipifikasi terhadap bentuk-bentuk penyimpangan dibuat dalam
rangka membentuk realita sosial.

Misalnya Rock memberikan penjelasan bagaimana peran media masa dalam


pembentukan konsepsi mengenai penyimpangan. Stereotype menghasilkan pandangan publik
terhadap bentuk penyimpangan tertentu sebagai sebuah kategori perilaku yang homogen.
Misalnya Teddy Boys, Mods dan Rockers di Inggris, serta Diggers dan Hippies di Amerika
ditipifikasi oleh media. Rock menjelaskan bahwa kekuasaan muatan koran hampir selalu lebih
besar dari pernyataan perlawanan oleh diri para pelaku penyimpangan itu sendiri. Perilaku
menyimpang harus dipahami melalui analisa terhadap struktur kekuasaan dalam masyarakat.
Batu menolak untuk menerima baik pandangan hukum hanya sebagai perwujudan langsung dari
kepentingan ekonomi, atau gagasan pluralistik hukum sebagai instrumen keadilan. Memang,
mereka yang berkuasa memaksakan definisi hukum dan realitas mereka, tetapi diferensiasi harus
dibuat antara orang-orang yang memiliki kekuatan dari segi ekonomi, politik, militer, dan
lembaga keagamaan. Hal ini terjadi melalui diferensiasi ini dan intraksi antara substruktur dari
organisasi yang kompleks dimana hukum dilaksanakan dan penyimpangan terbentuk.
Penyimpangan demikian ditentukan oleh yang berkuasa, tetapi oleh elit kekuasaan daripada kelas
penguasa.

Tealah Kritis

Dengan melihat perilaku menyimpang dari perspektif fenomenologis, Rock


mengungkapkan bahwa penyimpangan adalah konsturksi sosial, tidak lebih dan kurang dari pada
itu. Dalam penjelasanya Rock pun memberikan fondasi logis dari konsepsi labelling.
Penyimpangan dibuat untuk menandai beberapa jenis hubungan sosial. Pengaturan mereka
disisihkan dalam bentuk kontras dengan kelompok orang lain. Dengan demikian kehidupan
sosial dikoordinasikan dan terorganisir. Di dalamnya makna moralitas yang kompleks menjadi
sederhana, dan pengertian dikelola dengan pembuatan batas-batas oleh lembaga-lembaga sosial.
Penyimpangan menopang dan menghasilkan keteraturan dengan melahirkan komitmen dan
ketegangan, dengan menghilangkan ambiguitas dan dengan menetapkan batas-batas perilaku.
Dapat dilihat bahwa pendefinisian oleh orang lain, trutama kekuasaan dalam hal Rock, yang
justur menghasilkan apa yang disebut dengan perilaku menyimpang.

Rock Paul, 1973, Deviant Behaviour, Hutchinson University Library, London

Donald R. Cressey mengemukakan sebuah teori yakni fraud triangle pada tahun 1950.
Dalam teori ini, Cressey menjelaskan sebab-sebab seseorang melakukan fraud. Menurut Cressey
seseorang yang memiliki jabatan dan memiliki masalah keuangan, cenderung akan
mempergunakan jabatannya sebagai langkah dalam menyelesaikan masalah keuangan yang
ditanggungnya. Wewenang dalam jabatan mempengaruhi pola pikir individu yang terkait dengan
masalah keuangan dalam proses penggunaan aset yang dipegang olehnya. Sehingga individu
tersebut menyalahgunakan jabatan dan wewenang yang ia pegang.

Cressey menambahkan bahwa individu yang menyalahgunakan jabatannya menyadari


apa yang ia lakukan adalah tindakan yang salah, namun mereka melakukan sanggahan dengan
apa yang ia lakukan adalah hal yang salah menjadi hal yang wajar dilakukan. Maka dari itu
Cressey membagi faktor penyebab terjadinya fraud sebagai berikut:

1. Pressure
Individu yang melakukan pelanggaran biasanya memiliki masalah keuangan yang tidak
dapat diselesaikan secara bersama-sama.
2. Kesempatan
Kesempatan timbul dari wewenang yang dimiliki akibat dari jabatan struktural individu
tersebut.
3. Rasionalisasi
Tindakan rasionalisasi dalam mewajarkan tindakan ilegal menjadi sesuatu hal yang
dianggap sebagai tindakan yang wajar.

Dalam teori ini Cressey menyoroti adanya keterikatan antar tiap faktor. Dimana pressure
mempengaruhi motif dari individu untuk mempergunakan kesempatan yang ada. Kemudian dari
tindakan yang didasari oleh kedua hal tersebut ditutupi oleh rasionalisasi yang dilakukan oleh
individu tersebut.

Namun, penulis melihat Cressy tidak menyoroti lebih mendalam penyebab timbulnya
kesempatan dalam fraud tirangle yang ia kemukakan. Kemudian interaksi pressure sebagai
faktor pendorong pemanfaatan kesempatan oleh individu juga tidak dibahas secara mendalam.
Dalam teori ini Cressey terlihat hanya membahas secara mendalam dalam konteks rasionalisasi
yang dilakukan oleh individu yang menyalahgunakan jabatan struktural yang dimilikinya.

Sehingga triangle fraud tidak cukup mapan dalam menjelaskan motivasi individu
melakukan fraud, di luar alasan pressure. Karena sebenarnya bentuk-bentuk pressure sendiri
memiliki variasi yang tidak terbatas pada definisi pressure yang dikemukakan oleh Cressey. Oleh
kerena itu, penulis menilai triangle fraud akan sangat rentan dipertanyakan dalam konteks
permasalahan fraud yang kasuistik jika teori ini diterapkan dalam menganalisis kasus-kasus
tertentu.

Cressey R. D. (1986) Why Managers Commit Fraud, AUSt & NZ Journal of


Criminology, Vol 19, 195-209

Teori differential assosiation yang dikemukakan oleh Sutherland menjelaskan bahwa tiap
kelompok sosial memiliki tatanan yang berbeda. Hal ini tergantung dari orientasi kelompok
sosial tersebut. Apakah melawan aktivitas kriminal atau tidak. Menurutnya, perilaku jahat
dipelajari melalui pergaulan terdekat dengan pelaku kejahatan. Dalam hal ini, Sutherland
memaparkan kelompok sosial yang melawan aktivitas kriminal dan melakukan kontak dengan
kelompok sosial yang melakukan aktivitas kriminal, dalam proses kontak ini akan terjadi
pembelajaran bagi kelompok sosial yang melawan aktivitas kriminal untuk melakukan aktivitas
kriminal. Kemudian Sutherland memaparkan lebih jauh mengenai dasar-dasar teori differential
assosiation, antara lain sebagai berikut :
1. Perilaku kejahatan dipelajari.
2. Perilaku kejahatan dipelajari dalam interaksi dengan orang lain dari proses komunikasi
yang dilakukan.
3. Dasar perilaku jahat terjadi dalam kelompok sosial yang intim.
4. Ketika perilaku jahat dipelajari, pembelajaran termasuk hal-ha khusus seperti motif,
dorongan, rasionalisasi, dan sikap-sikap yang timbul dalam konteks aktivitas kriminal.
5. Terjadi proses pembelajaran dalam menerjemahkan definisi aturan hukum yang
menguntungkan atau tidak menguntungkan.
6. Seseorang menjadi delinkuen disebabkan pemahaman terhadap definisi-definisi yang
menguntungkan dari pelanggaran terhadap hukum sebagai dasar melakukan aktivitas
yang melanggar hukum.
7. Adanya ragam frekuensi dan intensitas dari realitas aktivitas kriminal.
8. Proses pembelajaran perilaku jahat melalui pembelajaran bagaimana pola-pola kejahatan
dilakukan.
9. Melakukan kejahatan dan tidak melakukan kejahatan dianggap sebagai dua hal yang
tidak memiliki nilai perbedaan yang signifikan.
Dari 9 proposisi di atas, maka dapat disimpulkan bahwa Sutherland ingin
menyampaikan jika kejahatan dapat dipelajari melalui proses komunikasi dari interaksi sosial
yang dilakukan oleh kelompok-kelompok sosial.
Penulis melihat adanya kelemahan yang mendasar dari teori ini yaitu tidak semua
individu yang kontak dengan kejahatan ingin mempelajari kejahatan yang terjadi. Kemudia
teori ini tidak mempertimbangkan faktor-faktor penghalang bagi individu dalam suatu
kelompok sosial untuk meniru dan memperlajari suatu aktivitas kriminal. Kemudian teori ini
juga tidak mampu menjelaskan fenomena kejahatan yang dilakukan secara spontan dan tidak
mempertimbangkan proses pembelajaran dari suatu aktivitas kriminal di sekitarnya. ·
M.E. Wolfgang, L. Savits, N. Jonhnston (1970) The Sociology of Crime and Delinquency.
New York; John Wiley & Soms.Inc. 208-210

Anda mungkin juga menyukai