Anda di halaman 1dari 50

Titik Balik Perlawanan

Demontrasi dan kerusuhan Juli, 1996, merupakan pertanda meningkatnya krisis


politik bagi kontra revolusi : politik massa mengambang sedang mengalami
penghancuran. Tak mengherankan, rejim melancarkan serangan langgung
terhadap agen utama yang mempromosikan aksi : PRD. PRD dituduh
mengorganisir kerusuhan. Kampanye propagandanya mulai mencap PRD
sebagai komunis dan versi baru PKI. Perintah diturunkan untuk menangkapi
semua pimpinan dan anggotanya. Sebanyak 30 pimpinan dan anggota PRD
ditangkap serta dipenjara. PRD, dengan demikian, dipaksa bergerak di bawah
tanah kecuali pada tahun 1997, saat beberapa pimpinan PRD muncul ke
permukaan saat diadili. Tak satu pun dibebaskan hingga Soeharto jatuh.

Sementara organisasi yang mempromosikan aksi diburu; aksi-aksi protes itu


sendiri terus meningkat, bermutasi menjadi berbagai aktivitas. Aksi-kasi yang
diprakarsai kelompok-kelompok PRD menyurut untuk beberapa bulan hingga
organisasinya bisa dipulihkan lagi secara diam-diam

dan melancarkan

kampanye aksi mereka sendiri pada awal tahun 1997 dengan menggunakan
bendera lain di beberapa kota. Secara spontan, aksi-aksi mahasiswa yang
diorganisir secara lokal, buruh dan petani terus melanjutkan aksinya, walaupun
untuk sementara media agak lebih berhati-hati.

Tapi bentuk aksi lainnya mulai terjadi ; yaitu aksi-aksi yang dilakukan oleh
anggota-anggota yang baru masuk PDI-Megawati. Megawati terus menolak
menerima pengesahan pemerintah terhadap PDI saingannya yang dipimpin
Soerjadi. Megawati lebih memilih menentangnya di pengadilan untuk mencabut
status hukum semua cabang lokal PDI yang dibentuk oleh Soerjadi. Walaupun
1

perjuangan hukum adalah taktik yang dipilih oleh PDI-Megawati untuk


melawan

rejim,

namun

hampir

setiap

persidangan

disertai

dengan

perngumpulan massa PDI yang berpawai atau berdemontrasi. Kadang-kadang


anggota PDI berdemontrasi di Komisi Pemilihan Umum atau badan-badan
pemerintah terkait. Aksi-aksi tersebut relatif tidak militan meski sesekali
dibubarkan dengan kekerasaan dan anggota PDI melawan balik - tapi kebijakan
tersebut secara efektif bisa menyebarluaskan metode mobilisasi tersebut ke
seluruh negeri. Aksi-kasi tersebut terjadi pararel dengan aksi-aksi spontanitas,
itu artinya negeri ini mulai memasuki status permanen aksi.

Budaya politik massa mengambang benar-benar telah mati dan terkubur.


Tapi de-organisasi masih mendominasi. Walaupun mungkin puluhan ribu orang
bergabung dengan PDI-Megawati antara tahun 1993 dan tahun 1996, namun
terdapat jutaan lainnya yang tak memiliki organisasi paling tidak tak ada
organisasi permanennya. Sebelum tahun 1996, kerusuhan biasanya terjadi
bersamaan dengan aksi besar tertentu, biasanya diprakarsai oleh mahasiswa,
yang bisa meninggalkan sentimen politik ke tahap yang lebih tinggi. Setelah Juli
1996, PDI dan aksi-aksi spontan yang terjadi selama periode yang sama bisa
memasukkan berbagai isu penting ke dalam agenda politik secara bersamaan,
sehingga gairah politik memasuki tahap kemarahan dan pembangkangan
permanen, bahkan pemberontakan.

Pada November 1996, PRD juga sudah mengalami pengelompokan kembali dan
membentuk beberapa komite aksi di beberapa kota dan mulai mengorganisir
aksi. Dalam empat bulan, sampai Mei 1997, sejumlah aksi protes terus
meningkat, mengangkat berbagai isu penting. Namun demikian, apa yang
menimpa Indonesia dalam bulan Mei 1997, telah secara tak langsung sudah
2

diisyaratkan oleh kejadian yang menanadai lahirnya tahap baru pembakangan


dan jenis alinasi baru, yakni peristiwa di Lampung, Sumatera Selatan, pada
Desember 1996. Ketika itu, tepatnya tanggal 10 dan 11 Desember 1996, kota
Lampung dilumpuhkan oleh kombinasi mogok supir-supir mikrolet dan bus,
dengan demontrasi mahasiswa serta pelajar. Aksi gabungan antara mahasiswa,
pelajar dan supir tersebut sedikit banyak terjadi secara spontan.

Dalam situasi seperti itulah mulai terjadi, terpisah dari protes-protes yang
terorganisir. Kerusuhan terjadi di Situbondo, Jawa Timur, pada bulan November
dan di Tasikmalaya pada bulan Desember. Kemudian pada tanggal 30 Januari di
Renggasdengklok, Jawa Barat. Terjadi juga kerusuhan di Ujung Pandang,
Kalimantan Barat dan Papua Barat. Dalam semua kasus tersebut, dilaporkan
bahwa insiden konflik antara orang Tionghoa dan non-Tionghoa, atau antara
individu-individu Kristen dan non-Kristen, turut memicu kerusuhan. Tapi, tak
terhindarkan, orang-orang yang terlihat dalam kerusuhan kali ini di seret dari
sektor yang lebih pedesaan dan tak terorganisir menyerang gedung-gedung
pemerintah dan simbol-simbol kemakmuran konsumen, termasuk gereja dan
gedung-gedung yang dimiliki orang-orang Tionghoa.

Bulan Mei, ketika Pemilihan Umum 1997 dilangsungkan atmosfer politik kian
meninggi. Terjadi demontrasi di beberapa tempat di seluruh negeri, hampir
setiap hari, menentang pemerintah dalam berbagai isu. Mobilisasi PDI juga
berlanjut. Misalnya, suatu kali sebelum pemilihan umum berlangsung di Jakarta
sebanyak kurang lebih 20.000 orang berkumpul di luar gedung pengadilan
Jakarta Pusat, dan memblokade jalan Gadjah Mada Padahal sembilan bulan
sebelumnya negara ini baru saja diguncang kerusuhan serupa di Jakarta, yang
diikuti dengan kerusuhan perusakan di berbagai pelosok negeri.
3

Keabsahan Pemilihan Umum juga ditantang dengan satu cara yang tak pernah
terjadi sebelumnya. Megawati dengan para pengikutnya, yang jelas merupakan
kekuatan terbesar kelompok partai dengan basis keanggotaan yang aktif, tak
bisa mengikuti Pemilihan Umum. Megawati dengan jitu menyarankan agar para
pengikutnya memboikot Pemilihan Umum. Beberapa figure relijius dan
komunitas nasional juga mengindiikasikan bahwa mereka mendukung boikot
Pemilihan Umum. Termasuk Surat Kerasulan (apostolic) sebelum paskah dari
Konferensi Keuskupan Indonesia, yang menjelaskan bahwa penganut Katolik
tidaklah berdosa jika tidak menobl;os dalam pemilihan umum 29 Mei. Hampir
seluruh LSM pro-demokratik dan kelompok aktivis; semacam PRD dan PIJAR,
menganjurkan boikot. Kelompok pemantau pemilu sendiri, yang terdiri dari
koalisi kelompok-kelompok aktivis, termasuk anggota-anggota PRD, bahkan
menggunakan aksi-aksi protes untuk menarik perhatian publik terhadap
penyimpangan prosedur, terutama sekali larangan terhadap PDI-Megawati
untuk mengikuti pemilu, dan sekarang menganjurkan PDI-Perjuangan (PDI-P
mengikuti pemilu .

Seruan untuk memboikot pemilu yang dilontarkan dari berbagai jurusan,


ternyata tidak begitu efektif, kecuali di wilayah di mana PDI-Megawati kuat.
Tapi bahkan di sana pun seruannya adalah boikot mencoblos dan tidak selalu
memboikot kampanye. Peningkatan momentum protes tidak lancar mendorong
orang untuk berdiam diri di rumah dan abai terhadap urusan negeri yang telah
mengagitasi mereka. Alih-alih, kecenderungannya sekarang adalah melakukan
mobilisasi. Pemilihan Umum Mei 1997 menunjukan mobilisasi terbesar dalam
sejarah Orde Baru. Mungkin juga yang paling militan dalam sejarah Indonesia
setelah kemerdekaan. Mobilisasi tersebut mengambil bentuk yang tak biasa

diduga oleh seorang pun saat itu, bahwa aksi telah benar-benar independen
secara politik.

Dugaan bahwa kampanye Golkar akan ramai dan didanai besar-besaran tapi tak
berenergi, dan kampanye PDI Soerjadi akan loyo, menjadi kenyataan. Dugaan
bahwa PPP akan melakukan kampanye seperti biasanya, yakni sedikit banyak
mendukung Orde Baru dan lunak, juga menjadi kenyataan. Golkar sedang
mencari suara mayoritas sebesar-besarnya, lebih dari yang pernah mereka dapat
sebelumnya. PPP tidak berupaya keras dalam kampanyenya. Mereka, misalnya,
membatalkan aktivitas-aktivitas kampanye wilayah pedesaan dalam 3 hari yang
disediakan untuk kampanyenya. Rejim sendiri sangat peka terhadap
kemungkinan mobilisasi, UUD Pemilihan Umum melarang pengumpulan massa
dan arak-arakan secara bersamaan. Peraturan-peraturan ketat diberlakukan
untuk menjamin bahwa polisi bisa mengendalikan seluruh aktivitas kampanye.
Partai-partai harus memberitahukan polisi dan pejabat-pejabat pemilu terkait
tentang seluruh rencana kampanye terpadu dan aktivitas individual Aktivitas
tersebut diklasifikasikan sebagai Monolog dan Dialogis, tergantung apakah
publik yang menghadiri aktivitas tersebut diizinkan berbicara atau tidak.
Periode kampanye juga hanya sampai 27 hari, di mana setiap partai mendapat
giliran kampanye masing-masing 9 hari.

Yang sama sekali tidak terduga adalah mobilisasi besar dan militan yang terjadi
secara spontan pada hari jatah kampanye untuk PPP di Jakarta, dan di beberapa
kota lain. Di Jakarta, pada hari-hari yang dijatahkan tersebut, PPP punya
beberapa kegiatan yang direncanakan di beberapa tempat di Jakarta. Puluhan
ribu orang keluar mengalir dari perkampungan yang padat, mencari jalannya
sendiri ke tempat-tempat aktivitas PPP. Hanya mobiliasi spontan oleh orangorang miskin Jakarta yang akan menumpahkan kemarahan mereka. Tidak ada
orang yang membawa poster dan spanduk yang disediakan atau seruan
5

mendukung PPP, sebagaimana biasanya. Alih-alih, dan ini mengejutkan semua


orang mereka membawa spanduknya sendiri, memproklamirkan dukungan pada
Mega-Bintang. Kata Mega mengacu pada Megawati dan ? Bintang
mengacu pada lambang PPP. Kaum miskin kota Jakarta, baik yang
mengamalkan ajaran Islam atau tidak, bersatu dalam kemarahan menolak
Golkar dan Orde Baru. Spanduk yang terbaca antara lain Koalisi MegaBintang-Rakyat untuk Demokrasi. Koalisi Mega-Bintang-Rakyat Menolak
Mayoritas Mutlak Golkar, dan Koalisi Mega-Bintang-Rakyat untuk
Perubahan. Sebagaimana juga GOLKAR Korupsi GOLKAR Curang dan
slogan-slogan anti pemerintah lainnya.

Baik pemimpin PPP atau pun Megawati sendiri tidak pernah mempromosilan
gagasan koalisi atau serua pertempuran seperti itu. Gagasan tersebut muncul
pertama-tama di Solo, Jawa Tengah, diangkat oleh Ketua Cabang PPP Solo,
Murdrick Setiawan Sangidoe, yang dikenal nyentrik. Ia menyeruhkan agar PDIMegawati memberikan suaranya pada PPP. Pada awal Mei, Mudrick juga
bertemu Megawati, yang tak menyatakan dukungannya pada koalisi semacam
itu. Kepemimpinan nasional PPP sendiri bahkan menjelaskan bahwa mereka
menentang gagasan semacam itu, yang dianggap sama saja dengan mendukung
aliansi yang melanggar hukum, dan di luar sistem pemilihan umum. Isu itu
selanjutnya tidak diangkat lagi oleh pemimpin manapun.

Massa menggunakan garis politiknya sendiri, menyeruhkan pada dua kubu


oposisi terkemuka tersebut untuk bersatu melawan pemerintah. Kampanye
pemilu

diorganisir

sedemikian

rupa

sehingga

setiap

partai

bisa

menyelenggarakan hari kampanyenya sendiri walaupun bukan pengumpulan


massa dan pawai. Ada empat babak kampanye, masing-masing satu hari untu
setiap partainya. Pada babak keempat, skala mobilisasi di jalanan yang
membakang terhadap larangan pemerintah mengadakan arak-arak di luar
gedung, dan juga mengabaikan alasan dan pembatalan kegiatan tersebut oleh
6

PPP sendiri semakin membesar, semakin marah dan militan. Sangat sulit
untuk membuat perkiraan dengan tepat jumlah orang yang tumpah ke jalanan
pada tanggal 14 Mei, hari yang disediakan untuk kampanye PPP. Kalkulasi oleh
pimpinan PRD mengatakan bahwa sebanyak lebih dari satu juta orang
termobilisasi di berbagai tempat di seluruh kota. Tak ada yang mobilisasi
terkonsolidasi yang terjadi di seluruh kota, karena orang begitu tumpah begitu
saja dari kampung-kampung dan bergerak ke berbagai titik pertemuan. Namun
demikian, seluruh penjelasan tentang kampanye menunjukkan terjadinya
mobilisasi yang massif dan luas. Akademisi Sjamsuddin Harris menyebut hal itu
sebagai

melimpahnya

orang-orang

dalam

kampanye

PPP,

yang

menghijaukan seluruh kota Jakarta. Saksi mata dan laporan koran semuanya
menggarisbawahi momen luar biasa di Jakarta pada hari giliran kampanye PPP,
ketika orang berjuta-juta; memadati jalan-jalan utama.

Dinamika garis politik baru yang diprakarsai massa ini yang menyeruhkan
persatuan oposisi untuk menyingkirkan Golkar tidak saja mengejutkan, tapi
juga menakutkan rejim dan elit secara umum. Segera setelah demomntrasi di
hari pertama giliran kampanye PPP, saat gejala Mega-Bintang muncul,
pemerintah melarang penggunaan poster apapun yang menyebutkan istilah
Mega-Bintang, dan segala perlengkapan apapun yang berhubungan dengan
Megawati, termasuk fotonya atau toto ayahnya, mantan Presiden Soekarno.
Segenap pelarangan tersebut, yang melengkapi manuver-manuver pro-Golkar
sebelum pemilu, dan yang paling kasar yang pernah dilakukan oleh pemerintah,
hanya menyulut penuduk yang sudah termobilisasi dan marah. Larangan
tersebut menguji militansi gairah popular. Akibat dari tantangan terhadap massa
Mega-Bintang

tersebut adalah meningkatnya mobilisasi dan pembakangan

terhadap semua larangan untuk membawa atribut Mega-Bintang pembakangan


tersebut seolah tidak mengindahkan instruksi Ketua PPP-Jakarta agar anggota
7

PPP tidak terlibat dalam pemgumpulan massa atau pawai apapun. Demikianlah,
instruksi tersebut tak berpengaruh pada sebagian besar massa yang sebelumnya
mengambang. Tindakan pembakangan itidak hanya mengambil bentuk arakarakan dan kerumuman massa penduduk kampung, tapi menyerang dan
membakar pos polisi saat polisi memerintahkan perampasan poster, dan bahkan
menyerang po;isi atau tentara lalu kabur. Kantor-kantor pemerintah lainnya juga
diserang atau dirusak. Bariakde tentara dan polisi, yang berusaha menghentikan
pengumpulan dan pawai terbuka di luar gedung, dilempari batu dan peserta
pawai berusaha terus menembus barikade. Dalam beberapa kasus, polisi dan
tentara menggunakan kekuatannya untuk membubarkan pawai tersebut.
Tawuran jalanan adalah biasa di seluruh Jakarta.

Kees van Dijk, dalam bukunya, Country in Despair, Indonesia between 1997
and 2000,yang menggunakan kumpulan laporan koran melihat apa yang terjadi.
Disebutkan Tak ada hari tanpa kermunan massa di beberapa tempat terjadi
amuk massa dan penguasaan ruas-ruas jalan, perkelahian terjadi antara para
pendukung partai berbeda, dan orang-orang dipukuli. Di seluruh Indonesia
kerumunan massa telah berubah menjadi kekerasaan. Barikade muncul di jalanjalan, orang-orang dengan sengit melawan pasukan keamanan atau mencegah
gang yang membela partai lain masuk ke lingkuingan penduduk, dan toko-toko
tetap tutup. Para pedagang yang menjual makanan dan minuman dirampok, dan
pom bensin dimintai bensin gratis. Supir dan penumpang mobil-mobil yang
lewat dipaksa menyerahkan uang atau rokok, dilempari batu atau botol bila
mereka tidak benar mengancungkan tanda satu, dua, atau tiga jari untuk
mengindikasikan dukungannya kepada PPP, Golkar, atau PDI.

Penjelasan Van Dijk memberikan gambaran yang jelas tentang suatu masyarakat
yang sedang berkembang menuju anarki, dan tampaknya akan demikian untuk
beberapa lama. Tapi penjelasannya juga mengungkapkan watak politik dari
keresahan serta peran kampanye PPP. Disebutkan bahwa : sebagian besar
bentrokan yang terjadi saat kampanye PPP tampaknya merupakan suatu
pelepasan dari rasa permusuhan terpendam, terhadap pemerintah dan semua
pihak yang mewakili pemerintah. Bagi warga biasa, kampanye PPP menjadi
hari-hari penuh ketakutan.

Mobilisasi-mobilisasi serupa hampir-hampir selalu di luar kendali PPP


terjadi di beberapa kota, khususnya di Jawa. Pada hari terakhir kampanye,
sindrom

MALARI

1974

terjadi.

Mobilisasi-mobilisasi

Mega-Bintang

menyuarakan garis politik yang jelas, yakni menuntut koalisi demokratik


melawan GOLKAR, yang diikuti oleh ledakan kerusuhan. Sebagai seorang
peneliti Indonesia menjelaskan dalam laporannya: Tidak ada kata lain untuk
menggambarkan kampanye PPP di Jawa pada akhir massa kampanye Pemilu
1997 (Jumat 23 Mei 1997) ini, kecuali RUSUH. Kerusuhan itu menyebar dari
ujung Jawa Barat hingga ke Jawa Timur. Laporan tersebut, misalnya, juga
menjelaskan bagaimana di Tegal, Jawa Tengah, ratusan orang dipukuli oleh
popor tentara setelah sebelumnya digunakan semprotan gas air mata, dan
bagaimana kantor polusi di bakar di Cirebon, perkelahian jalan antara massa
dengan anggota Golkar di Semarang, serangan terhadap kantor polisi serta
pemerintah di Tangerang. Di beberapa kota bahkan pos tentara pun diserang.
Dalam laporan CSIS, penulisnya memasukkan angka-angka yang menunjukkan
bahwa hanya di enam harian saja dilaporkan terjadinya setidaknya 259 insiden
bentrokan kekerasan selama 27 hari periode kampanye. Laporan itu
menekankan bahwa angka-angka tersebut mungkin tidak akurat, karena banyak
insiden yang tak dilaporkan.
9

Larangan membawa poster dan perlengkapan Mega-Bintang, yang didasarkan


pada alasan tak ada partai yang terdaftar atas nama Mega-Bintang terus
dipertahankan sepanjang massa kampanye, tapi tak bisa sepenuhnya
dipaksakan. Rejim menderita kekalahan telak untuk pertama kalinya di tangan
pembakangan popular. Ketakutan yang ditimbulkannya terasa oleh seluruh elit.
Ketika rejim melarangnya, PPP sama sekali lepas tangan. Satu kecemasan lagi
bagi rejim dan elit secara umum adalah, walaupun PRD sudah bergerak di
bawah tanah, aktivis-aktvis PRD tetap mampu membantu menggenakan
tuntutan politik disuarakan oleh massa. Dengan mengatasnamakan koalisi
Mega-Bintang-Rakyat, mereka mulai menyebarkan selebaran kepada massa
yang sedang berkumpul dan berpawai, yang isinya meliputi beberapa tuntutan
politik tertentu, dan terutama adalah : Turunkan Soeharto. Di dalamnya
termasuk ; penghapusan lima Undang-Undang Politik, cabut dwi-fungsi ABRI;
komposisi kabinet yang mewakili partai-partai, hapuskan korupsi dan
konglomerat; selidiki harta kekayaan anak-anak Presiden, menteri-menteri dan
para pejabat lainnya; dan turunkan harga. Aktivis PRD menyatakan bahwa
mereka menyebarkan 600.000 selebaran dengan bantuan sukarelawan dari
orang-orang yang bergabung dengan mobilisasi. Seleberan kecil tersebut dicetak
dengan kertas koran murahan atau distensil.

Ratusan ribu selebaran tersebut, berisi tuntutan-tuntutan dan gagasan-gagasan


perlawanan didalamnya, di tengah ketatnya kontrol tentara. Dan selebaran
tersebut disambut oleh rakyat dengan penuh semangat. Tak satu selebaran pun
terlihat tercecer di tanah. Banyak ibu-ibu mengambilnya dan menfotokopinya
Saat pimpinan PRD berteriak lantang : Mega, Bintang, Rakyat, massa
membalasnya : Rakyat ngamuk! Rakyat benar-benar melawan dengan segala
kemampuannya, mencoba menembus barikade tentara yang dibuat untuk
10

menghalangi penyatuan massa antarwilayah kota. Rakyat tahu dan sudah


dijelaskan dalam seleberan bahwa bila mereka bisa menembus barikade tersebut
maka massa dari seluruh wilayah Jakarta-Bogor-Tanggerang akan bersatu,
kemudian siapa yang tahu apa yang akan tercapai. Sebagian besar media massa
mempublikasikan tuntutan yang ada dalam selebaran. Awalnya hal tersebut
mengejutkan PRD, bagaimana bisa laporan tentang selebaran PRD lolos dari
pengawasan rejim tehadap media. Tapi kemudian PRD sadar bahwa rejim
sendiri yang memberikan kesempatan pada media untuk mempublikasikannya
karena mereka merasa butuh untuk melancarkan propaganda balasan melawan
PDR.

Pimpinan PPP sendiri mengumumkan bahwa mereka telah melaporkan


selebaran Mega-Bintang-Rakyat kepada polisi, walaupun tak ada nama dan
alamat dalam seleberan tersebut, Menteri Dalam Negeri, Jenderal Syarwan
Hamid, dan juga Harmoko, Ketua Umum Golkar, secara terbuka menuduh
partai terlarang PRD yang berada di balik penyebaran selebaran.

Gairah perlawanan massa Mega-Bintang berlanjut beberapa minggu setelah


pemilu dipancing oleh pengumuman bahwa Golkar telah memenangkan 70
persen lebih suara. Mobilisasi kemarahan massa menentang Golkar selama
kampanye, yang mengejutkan banyak orang, dikombinasikan dengan semua
dokumentasi tentang kecurangan dan manipulasi yang dilaporkan wartawan dan
berbagai koalisi pengawasan pemilu, menyebabkan hasil pemilu secara luas
dianggap sebagai hasil kecurangan. Dengan segera muncul kemarahan baru dan
memobilisasi besar menentang hasil pemilu. Semuanya terjadi di beberapa kota
di seluruh negeri. Dalam beberapa kasus, lagi-lagi kantor polisi dan kantor
pemerintah dibakar, diduduki atau dirusak. (Max Lane, 2007 : 173 184 )
11

Kesadaran mobilisasi yang berkembang selama tahun 1990-an adalah kesadaran


yang mencerminkan pembangkangan, bertujuan untuk merebut kembali sesuatu
yang telah dirampas. Wujud tindakannya lebih marah, lebih menyerang, dan
lebih militan serta konsisten dengan kebutuhan untuk berkonfrontasi di jalanan.
Sejak tahun , semuanya jelas jelas merupakan pembakangan terhadap negara
dan harus menghadapi kekerasan negara, yang dilakukan terutama oleh tentara,
sepanjang periode Orde Baru . Hal tersebut menyurut setelah kejatuhan
Soeharto, tapi tidak menghilang.

Begitu aksi meluas, berzigzag di sepanjang satu dekade perkembangan politik,


maka proses tersebut juga telah menfasilitasi reorganisasi kelas popular yang
sebelumnya tak terorganisir. Peningkatan dan oposisi yang sangat menyerang
tersebut, yang dihadapi Orde Baru

selama tahun 1990-an, meningkatkan

pengorganisasian segmen-segmen masyarakat lebih banyak lagi. Komite aksi,


kelompok diskusi, koalisi kampanye, kelompok adivokasi baru, tumbuh bagai
jamur di musim hujan. Lebih jauh lagi, proses tersebut merupakan skala
nasional, yang mulai terjadi dari Aceh hingga Papua. Namun, demikian
fenomena paling penting untuk dipahami adalah bahwa aksi itu sendiri telah
membentuk organisasi. Struktur organisasi selalu ada dalam aksi

dan, dalam

berbagai kasus, didokumentasikan dalam kronologi.. Ada pembagian kerja,


peran yang pasti dari anggota selama aksi, pendirian bersama dan sadar dalam
menghadapi aparat negara dan kelompok lain. Baik sebagai aktibvitas yang
secara langsung melibatkan masyarakat , dan sesuatu yang dipandang sebagai
model, aksi merupakan suatu mekanisme pengorganisasian kembali.

12

Tak mengejutkan bahwa, segera setelah aktivitas aksi dimulai lagi sekitar 1989,
dengan segera pula ada upaya untuk mendirikan serikat buruh dan petani.
Masuknya sejumlah besar anggota baru kedalam PDI Megawati pada
pertengatan tahun 1990-an, yang menyeret lapisan dan jaringan sosial rendahan,
rakyat kecil , sebagaimana yang dijelaskan Aspinall, adalah juga manifestasi
dari pengorganisasian tersebut. Bertambah besarnya keanggotan PDI sekaligus
juga memboyong inovasi organisasional ke dalamnya, yang merupakan
manifestasi sempurna dari menguatnya karakter re-organisasi ( walaupun
sementara), yakni Posko secara harfiah berarti Pos Komando. Posko pertama
kali

dibentuk

pada

tahun

1997

mempertahankan PDI Megawati

sebagai

bagian

melawan gerakan

kampanye

untuk

Soeharto yang

menindasnya. Posko adalah pusat koordinasi di tingkat akar rumput yang


didirikan pada tingkat lingkungan warga. Posko biasanya merupakan bangunan
kecil atau pondok/gubug dengan berbagai macam atribut PDI spanduk,
bendera dan sebagainya. Orang-orang berkumpul di situ untuk berdiskusi,
merencanakan penerimaan anggota dan mengorganisir aksi-aksi. Saat ada
mobilisasi besar di bawah

bendera PDI, posko benar-benar penting bagi

mobilisasi. Tidak mungkin menyebut dengan pasti berapa banyak posko yang
telah didirikan, tapi bisa jadi ribuan posko telah dibentuk di kota-kota besar
atau menengah, yang bisa mengorganisir puluhan ribu orang. Begitu metode
tersebut menjadi popular bagi anggota PDI, maka metodetersebut juga
menyebar di kalangan organisasi organisasi lain, yang mendirikan pusat-pusat
koordinasi publik, dan dengan baik dipromosikan sebagai tempat berkumpul
masyarakat.

Mungkin saja ada kecenderungan untuk meremehkan level organisasi yang


sedang berkembang itu , dan karenanya meremehkan pula ancaman tantangan
politiknya . Itu karena karakteristik fundamental organisasi tersebut

yang
13

dinilai ganjil dalam perkembangan sejarah Indonesia setelah 1965. . Karena aksi
itu sendiri merupakan mekanisme organisasi yang esensial, maka organisasinya
pun selkalu dalam status fluktuatif. Segalanya, atau hampir segalanya, bersifat
sementara. Jumlah orang yang termobilisasi secara politik, atau terlibat dalam
orghanisasi mobilisasi serta politik yang permanen dan stabil, masih sangat
kecil. Bahkan seandainya pun seluruh masyarakat mengorganisasikan diri
melalui begitu banyak organisasi temporer Komite-komite aksi tumbuh dan
hilang begitu situasi berubah. Koalisi antara LSM, kelompok politik, kelompok
mahasiswa, dan lainnya, juga tumbuh dan hilang. Bahkan ketika beberapa di
antaranya tetap stabil , anggotanya datang dan pergi dengan cepat, dan sering
memberikan karakter yang berbeda pada organisasi tersebut, pada saat yang
berbeda . Dengan kata lain, rejim tak tertantang oleh apa yang disebut bentuk
tipikal gerakan oposisi massa yang terorganisir dengan baik, tapi oleh suatu
proses, oleh sesuatu yang sedang menjadi.( Max Lane, 2007 : 222 225 )

Jatuhnya Soeharto di bulai Mei 1998 dianggap banyak orang sebagai tak
terbayangkan sebelumnya, sesuatu yang hampir mustahil, bahkan oleh para
Indonesianis terkemuka seperti Hall Hill dan R William Liddle. Di bawah rezim
Orde Baru Soeharto sejak 1966, Indonesia dalam sejarah modern, mengalami
untuk pertama kalinya periode pertumbuhan ekonomi yang cukup panjang.
GDP naik hampir lima kali lipat, yang menghasilkan kenaikan pendapatan per
kapita lebih dari 300 persen. Pertumbuhan GDP rata-rata 7,8 persen dalam
periode 1991 1995. Data dari Biro Pusat Statistik(BPS) juga memberikan
angka yang mengesankan. Jumlah penduduk miskin terus-menurun dalam
dekade 1990-an, dari 15,1 persen di tahun 1990 menjadi 13,7 persen di tahun
1993 dan 11,3 persen di tahun 1996. Di tahun 1995, menurut perhitungan World
Bank, pendapatan per kapita Indonesia telah mencapai US $ 1000. Oleh karena
itu, dalam kategori World Bank, Indonesia tidak lagi diklasifikasikan sebagai
14

negara miskin, tetapi telah masuk ke kelompok negara-negara yang


berpendapatan menengah.

Terlepas dari indikator-indikator optimistik dalam fundamental ekonomi


Indonesia, faktor krusial dalam bidang ekonomi yang makin mengkawatirkan
pertumbuhannya adalah meningkatnya hutang luar negeri. Di akhir 1997, naik
menjadi US$ 148 milyar. Indonesia lalu menjadi negeri penghutang terbesar
ketiga di dunia (di bawah Mexico dan Brazil). Bila diukur dari rasio cicilan
hutang dan nilai ekspor nasional, beban hutang Indonesia jauh lebih besar
daripada Mexico dan Brazil. Di tahun 1990-an, Indonesia harus mengeluarkan
lebih banyak uang untuk membayar hutang luar negeri ketimbang untuk
membayar gaji semua pegawai negeri.

Pemicu langsung ambruknya nilai tukar rupiah secara dratis adalah penilaian
dunia internasional terhadap prospek ekonomi Indonesia ketika krisis itu mulai
dengan menghantam Thailand di pertengahan 1997. Para investror tiba-tiba
menyadari tanda-tanda yang sebelumnya mereka anggap sepi, terutama tingkat
hutang yang sangat tinggi dan makin suburnya inefisiensi ekonomi Indonesia
yang salah kelola dan korup. Menurunnya nilai tukar rupiah mulai tanggal 21
Juli 1997, ketika itu nilai tukarnya satu 7 persen terhadap US Dollar. Sepanjang
Oktober dan November 1997, nilai tukar itu terus melemah sampai ke level Rp
3.500.- ( dari nilai normal sebelumnya yaitu sekitar Rp 2.4000,) terhadap US
Dollar. Setelah itu, depresiasi Rupiah mencapai 55 persen, sementara Baht
Thailand 40 persen. Ringgit Malaysia 31 persen, Peso Philipina 34 persen dan
Dollar Singapura hanya turun 11 persen. Dalam bulan Januari 1998, anjolk
nilai Rupiah telah mencapai 76 persen, atau Rp 10.000,- per satu UD Dollar.
Ketika Soeharto memutuskan lengser keprabon pada 21 Mei 1998, dan
Habibie naik menjadi presiden. Rupiah sudah menyentuh angka Rp 16.000,per satu US Dollar .

15

Sebetulnya Pemerintahan Soeharto meminta bantuan IMF pada bulan Oktober


1997. Sekalipun detil rincian dari letter of intent tertanggal 31 Oktober 1997
dari pemerintah Indonesia kepada IMF itu, yang menyebutkan apa yang akan
dilakukan Indonesia sebagai imbalan atas bantuan finasial tersebut, tidak
diumumkan kepada publik pada waktu itu, namun dokumen itu jelas menuntut
pemerintah Indonesia untuk menghentikan bantuan dan menutup bank-bank
yang hutangnya telah melebihi batas toleransi. Akan tetapi keadaan malah
bertambah buruk setelah pemerintah menutup 16 bank di awal November 1997.
Selama dua bulan penuh, tidak ada inisiatif yang datang dari pihak pemerintah.
Soeharto sudah jarang dan hanya sesekali saja tampil di publik, dan ini
menimbulkan kekhawatiran pasar tentang siapa sekarang yang berwewenang
mengambil keputusan, serta muncul juga spekulasi-spekulasi tentang kondisi
kesehatan presiden yang telah berusia 76 tahun itu. Di dalam bulan Desember
IMF dilaporkan telah mengirim surat teguran yang keras tentang pelaksanaan
perubahan-perubahan kebijakan yang telah dijanjikan pemerintah Soeharto. Di
bawah tekanan kuat dari luar negeri (terutama 9IMF dan AS) dan didorong oleh
penasehat dan negoisator utamanya, Widjojo Nitisastro, untuk menerima
reformasi.

Soeharto kemudian menandatangani suatu letter of intens baru

dengan IMF pada tanggal 15 Januari 1998, yang berisi poin-poin penghematan
berskala luas yang bertujuan untuk menghentikan ekonomi yang terus
tergelincir turun. Perjanjian tersebut menekankan pada reformasi struktural yang
membuat banyak pengamat menarik nafas lega karena akan mengurangi
kemapanan dan kekuasaan bisnis keluarga Soeharto dan kroni-kroninya jika itu
dilaksanakan Dana-dana budget dan non-budgeter untuk pabrik pesawat terbang
di bawah Habibie. IPTN, dihentikan. Segala bentuk dukungan dan bantuan
ditarik dari proyek mobil nasional milik Tommy Soeharto.

16

Memasuki tahun 1998, menjadi jelas bahwa krisis keuangan di Indonesia


ternyata tidak semata-mata merupakan masalah kinerja bank yang buruk atau
penarikan dana-dana besar-besaran ataupun pelarian modal ke luar negeri, tetapi
juga dampaknya yang sangat serius bagi kehidupan sehari-hari rakyat banyak.
Jatuhnya nilai tukar membuat harga barang-barang impor seperti beras dan
kebutuhan-kebutuhan lainnya meningkat tajam. Beras, minyak goreng, gula dan
minyak tanah adalah produk-produk utama yang terkena. Ketakutan akan
adanya hiperinflasi memicu para pembelanja untuk menimbun barang sebelum
mereka digebuk oleh harga-harga yang makin tinggi. Banyak orang merasa
khawatir kehilangan pekerjaan dalam keadaan tidak siap. Harga-harga makanan,
bensin, dan angkutan umum naik, dan pada waktu yang bersamaan perusahaanperusahaan memotong gaji para pegawai agar bisa tetap bertahan hidup.

Keengganan Soeharto untuk mengimplementasikan paket-paket reformasi


ekonomi IMF, yang jelas merugikan kepentingan bisnis pengusaha kroni di
sekelilingnya dan keluarganya, telah menyebabkan terus menurunnya nilai
rupiah, yang pada gilirannya, makin memperparah ekonomi dalam negeri.
Diangkatnya putrinya sendiri, Tutut sebagai Menteri Sosial dan pengusaha kroni
yang paling dekat dengan dirinya, Bob Hasan, sebagai Menteri Perdagangan
dan Industri dalam kabinet baru yang diumumkannya bulan Maret 1998 telah
menimbulkan kekecawaan besar di kalangan konsituen dalam negeri dan luar
negeri yang penuh minat menanti-nanti implementasi serius sebuah reformasi
ekono dan politik

( Syamsul Hadi, 2005 : 314 318 )

17

Semakin jatuhnya nilai rupiah ini mengakibatkan kepanikan konsumen


golongan menengah-atas. Mulai 9 Januari 1998 mereka secara panik mendorong
sembako di pasar-pasar swalayan dan di pasar-pasar tradisional. Aksi pembelian
sembako besar-besaran terjadi serempak di kota-kota besar, seperti Jakarta,
Bandung, Surabaya, dan Medan. Aksi ini membuat harga kian membumbung
tinggi dan akibat lainnya konsumen kelas bawah di pasar-pasar tradisional kian
menderita. Pemerintah bereaksi seperti biasa, tidak ada alasan untuk panik
pemerintah telah menyediakan bahan-bahan kebutuhan pokok secara cukup, dan
telah mengatur pendistribusiannya. Ditambahkan oleh Kepala Bulog Beddu
Amang bahwa pemerintah akan mengadakan operasi pasar tanpa batas waktu.

Kenaikan harga sembako, pertama, mendorong sejumlah produsen maupun


distributor untuk menimbun barang sampai harga tertinggi. Akibatnya soal lain
muncul, kelangkaan sembako di pasar. Di Jakarta dan di Tangerang, misalnya,
Bakorstanasda Jaya mengaku menemukan timbunan beras hingga 250 ribu ton,
31 ribu ton keledai, dan 11 ribu ton gula. Di kota-kota lain juga diketemukan
kasus serupa. Kemarahan dan frustasi masyarakat kian berlipat-lipat. Kedua,
kenaikan dratis itu menciptakan kepanikan yang luar biasa di kalangan
masyarakat bawah hingga mendorong mereka melakukan kerusuhan. Di jalan
raya Bandung Cirebon, kota Jatiwangi, pada 12 Februari 1998, massa
berkerumuman dan berteriak turunkan harga. Mereka merusak pertokoanpertokoan mulai dari toko elektronik, motor, hingga warung jamu dan
kemudian diikuti oleh pembakaran. Di daerah Jawa Barat yang lain
(Pamanukan, Ciasem, Lemah Abang, Priangan, Pengalengan, Cicalengka,
Cimindi). Di Jawa Trngah (Losari, Bobotsari Banyumas), di Nusa Tenggara
Barat (Lombok Tengah), dan, dan di Sulawesi Selatan (Ujung Pandang) juga
muncul kerusuhan dan keresahan sosial dengan sebab melonjaknya harga dan
tuntutan yang sama turunkan harga.

Dunia usaha di sektor properti, otomotif, elektronika, petrokimia, sepatu,


perunggasan, susu, hingga tempe, yang banyak mengandalkan bahan baku
impor dan banyak berhutang dalam dolar dibuat tidak berkutik dengan anjoknya
nilai rupiah. Paling parah tentunya dialami oleh otomatif dan properti. Hutang
swasta yang diperkirakan berjumlah US $ 65 milar belas jelas penyelesaiannya
karena tidak disinggung dalam paket IMF. Semakin turun nilai rupiah, semakin
membengkak pula hutang swasta. Ancaman ambruknya dunia usaha ini sudah
pasti kemudian melahirkan bencana lanjutan yakni gulung tikar, lalu PHK, dan
akhirnya pengangguran besar-besaran.

18

Sebagian besar mahasiswa pun merupakan korban krisis ekonomi menjadi kian
miskin. Kebutuhan hidup sehari-hari, kebutuhan alat tulis, dan biaya kuliah
semakin tak terjangkau. Seorang mahasiswa Universitas Nommensen Medan
dan Universitas Pattimura (Unpatti) Ambon terpaksa menjadi tukang becak dan
pengayuh perahu untuk bertahan hidup. Secara umum mahasiswa menghayati
krisis ekonomi melalui terhentinya kitriman orang tua di kampung, melonjaknya
harga kertas, biaya foto copy, bahan pratikum dan lain-lain. Di Institut
Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya 500 dari 11 ribu mahasiswa
menunda pembayaran SPP. Di Unpatti Ambon 300 dari 8600 mahasiswa tidak
mendaftar ulang karena tidak mampu melunasi SPP. Problem serupa juga
menimpa mahasiswa daerah-daerah seperti Universitas Brawijaya Malang,
UGM Yogyakarta dan lain-lain. Mahasiswa di kota-kota besar pun mengalami
nasib serupa. ( Muridan S Widjojo, 1998 : 157 159 )

Keresahan masyarakat atas melangitnya harga-harga sembilan bahan kebutuhan


pokok (sembako) dan ancaman putus kuliah serta masa depan yang suram di
kalangan mayoritas mahasiswa, menjadi faktor penggerak tersendiri bagi
kalangan kampus - mahasiswa dan civitas academica untuk menyatakan
keprihatinannya. Aksi mimbar bebas dan keprihatinan di kampus menyeruhkan
tuntutan penurunan harga-harga barang, terutama sembako diikuti oleh tuntutan
yang berkaitan dengan krisis ekonomi lainnya yakni agar penimbunan barang
ditindak, agar masalah pengangguran semakin luas ditangani, dan tuntutan agar
kebijakan ekonomi lebih kompleks berpihak pada kepentingan mayoritas
rakyat.
Pada Februari 1998, kuantitas aksi demontrasi memang semakin meningkat. Di
luar Jawa, mahasiswa mulai aktif: Palu, Bima, Lahat, dan yang terbanyak Ujung
Pandang. Dari 49 aksi di seluruh Indonesia selama bulan Februari, 17 aksi di
antaranya terjadi di Ujung Pandang. Sementara itu di kota-kota tradisional ,
seperti di Bandung, Solo, Jakarta dan Yogyakarta juga semakin meningkat
kuantitas dan kealitasnya. Adalah turunkan harga (31 kasus) yang justru
menjadi isu politik utama selama Februari 1998 dan bukan tolak Soeharto
( hanya 6 kasus ).

19

Pelaku baru gerakan protes dan perlawanan mahasiswa, yang disebut Gerakan
Koreksi Orde Baru (GKOB) mulai menonjol pada akhir Februari 1998. Aksiaksi demontrasi mahasiswa tidak lagi hanya digerakan kelompok-kelompok
Gerakan Anti Orde Baru (GAOB) yang malang melintang melawan Orde Baru
sejak akhir 80-an, dengan aktivis dan massa yang kian membesar sejak awal
1998. Kalangan aktivis kampus dari organisasi resmi semacam SMPT (Senat
Mahasiswa Perguruan Tinggi) dan Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) dan
setengah resmi semacam KM (Keluarga Mahasiswa) atau presedium senat
mahasiswa fakultas-fakultas, yang menyebut gerakan mereka sebagai gerakan
moral, dengan format aksi keprihatinan di dalam kampus, mulai muncul dan
meluas. Elemen gerakan mahasiswa yang baru ini kebanyakan didukung oleh
staf pengajar dan pimpinan perguruan tinggi, yang menjadikan gerakan
mahasiswa sebagai gerakan civitas academica.

Peran kelompok mahasiswa bersama dengan civitas academica ditandai oleh


aksi mimbar bebas yang terjadi di kampus UI Salemba Jakarta, pada 25
Februari 1998. Mahasiswa UI bergabung dengan Ikatan Alumni (ILUNI UI )
yang dipimpin oleh Irjen Kehutanan Mayjen (Purn) Hariadi Darmawan,
didukung oleh mantan Rektor UI Prof Mahar Mardjono, dan guru besar UI
termasuk Prof Selo Soemardjan dan Prof Emil Salim, membuat aksi
keprihatinan menuntut pemerintah mengatasi berbagai krisis yang sedang
melanda bangsa Indonesia. Mimbar bebas ini ditutupi dengan tindakan simbolis
mahasiswa UI menutup tulisan kampus perjuangan Orde Baru yang
terpanjang pada baliho besar yang dipanjang di depan kampus UI. Selamat
Datang di Kampus Perjuangan Orde Baru. Peristiwa ini secara simbolis
menamdai mahasiswa dan civitas academika UI yang mengurangi dukungannya
terhadap rejim Orde Baru.
Gejala baru yang menarik adalah meluasnya keterlibatan kalangan civitas
academia atau pun birokrat kampus dalam aksi-aksi mahasiswa. Peristiwa
mimbar bebas UI tersebut menandai suatu era baru hubungan politik antara
mahasiswa dengan civitas academica. Keterlibatan warga kampus dalam aksiaksi demo mahasiswa tidak pernah terjadi dalam kurun waktu sebelumnya.
Dukungan para pimpinan perguruan tinggi yang besar misalnya dari Rektor
Unibraw, Unair, UI dan Purek III Unhas terhadap aksi mahasiswa bahkan
diungkapkan secara terbuka. Keterlibatan para alumni, staf pengajar, dan guru
20

besar UI dalam mimbar bebas mengakhiri suatu ketegangan mahasiswabirokrasi kampus yang selama Orde Baru memang selalu dipertahankan. Para
birokrat kampus pada jaman Orde Baru lebih bersikap sebagai aparat represif
perpanjangan tangan rejim. Pimpinan kampus di era Orde Baru terutama
pimpinan perguruan-perguruan tinggi negeri, lebih berperan sebagai pelayan
kepentingan rejim Orde Baru dalam menjaga kontrol dan kelanggengan
kebijakan depolitisasi mahasiswa.
Model aliansi mahasiswa dan civitas academica ini menular ke berbagai
kampus terkemuka di Indonesia. Pada 3 Maret 1998 mahasiswa dan civitas
academica Universitas Udayana, Denpasar, melibatkan lima ratusan massa
mahasiswa, menyelenggarakan mimbar bebas keprihatinan dari aksi anti
kekerasan. Setelah itu bertutut-turut aksi mimbar bebas mahasiswa dan civitas
academica muncul di kampus-kampus seperti pada 5 Maret 1998 di Unair
Surabaya, pada 6 Maret di Universitas Yasri Jakarta, pada 7 Maret 1998
Universitas Padjadjaran Bandung dan pada 9 Maret 1998 di Universitas
Pasundan, pada 9 Maret 1998 di Undip Semarang, di UNS Solo, pada 10 Maret
1998 di Unila Lampung dan di Universitas Islam Indonesia Yogyakarta dan
pada 11 Maret 1998 di UGM. Aksi unjuk rasa di beberapa kampus, misalnya di
Unibraw (11 Maret 1998) dan di Universitas Pancasila (17 Maret 1998), bahkan
dipimpin oleh rektornya sendiri. Pada kurun waktu Maret 1998 terdapat
setidaknya 15 aksi yang terjadi di 10 kota melibatkan dosen, guru besar dan
pejabat dekanat serta pejabat rektorat.
Terdapat kesan umum, baik yang muncul di media massa maupun di kalangan
aktivis resmi bahwa tampilnya mahasiswa dan civitas academica UI
berpengaruh besar hingga menular mahasiswa dan civitas academica UI
pada akhir Februari, diikuti oleh aksi dengan dengan pola serupa di kampuskampus lain. Di sini terlihat bahwa mitos angkatan 66 yang diantaranya
menempatkan UI sebagai pelopor masih dianut oleh terutama kalangan kampus
dan media massa. Terlepas dari pameo yang sering diucapkan, kalau UI
bergerak, berarti negera dalam keadaan genting Cara pandang mitis ini pula
yang menjelaskan mengapa grejala baru demo mahasiswa di kampus inilah
yang dilihat oleh Forum Keadilan sebagai kebangkitan gerakan mahasiswa
setelah lelap tertidur selama 20 tahun. Forum Keadilan mengatakan bahwa,

21

Unjuk rasa terakhir yang masih terngiang dalam catatan sejarah dilakukan oleh
para mahsiswa 1978.
Jadi oleh Forum Keadilan munculnya kelompok studi mahasiswa, pers
mahasiswa alternatif, lalu kelompok parlemen jalanan di era 80-an dan
disusul oleh bangkitnya mahasiswa dalam gerakan politik yang yang lebih solid
dan terorganisir serta jelas dalam ideologi dan program-program politiknya
yang termanifestasi dalam SMID dan PRD dianggap bukan atau belum
merupakan gerakan mahasiswa. Padahal gerakan mahasiswa baik dalam
struktur komite; isu-isu politik, pola-pola slogan perlawanan yang muncul
selama 1998, adalah hasil dari proses panjang sejak 80-an hingga akhir 90-an.
Kemunculan aktivis-aktivis handal dalam APR (Surabaya), Forkot (Jakarta),
Famred (Jakarta), SMPR (Solo), PPPY dan KPRP ( Yogyakarta), FAMPR
(Purwokerto), atau KMPPRL (Lampung) adalah hasil dialektika dari gerakan
mahasiswa sebelumnya. Format dan isi perlawanan aktivis mahasiswa terhadap
rejim Orde Baru sejak 1989 pada era FKMY (Yogyakarta), BKMI (Jakarta),
atau FKMS (Surabaya) hingga PPPY, FIMB, KPMB, dan PRD-lah yang
menjadi subtansi gerakan mahasiswa yang munul pada 1998. Tampak di sini
Forum Keadilan masih mendefinisikan gerakan mahasiswa sebagai gerakan
moral. ( Muridan S Widjojo, 1998 : 159 163 )
Semasa berlangsungnya Sidang Umum MPR, unjuk rasa terus berlanjut, dengan
mimbar bebas, arak-arakan keliling kampus, menggelar poster dan spanduk,
menuntut reformasi ekonomi dan politik, pemerintahan yang bersih dari
korupsi, kolusi dan nepotisme, serta penurunan harga-harga khususnya sembilan
bahan pokok. Di Jakarta ratusan mahasiswa IKIP menggelar aksi keprihatinan
di lingkungan Kampus Rawamangun. Ratusan mahasiswa lainnya mengadakan
unjuk rasa di kampus Universitas Jayabaya. Di Bandung ribuan civitas
academica Institut Teknologi Bandung menggelar aksi keprihatinan .
Hal yang sama terjadi di Padang, Sumatera Barat, ribuan mahasiswa Universitas
Bung Hatta mengadakan aksi keprihatinan dengan mengadakan mimbar bebas,
menuntut pemerintah melakukan reformasi ekonomi dan reformasi politik
dengan menghapus monopoli, membentuk pemerintahan yang bersih dari
korupsi, kolusi dan nepotisme serta parlemen yang lebih memperhatikan
kepentingan rakyat banyak. Di Universitas Sumatera Utara (USU) dan Unika di
22

Medan, Sumatera Utara, mahasiswa melakukan mimbar bebas di kampus


masing-masing, mengajukan tuntutan reformasi politik dan hukum.
Unjuk rasa yang sama terjadi di Universitas Udayana, Bali dan berbagai kampus
di Yogyakarta, seperti Universitas Islam Indonesia (UII), Universitas Gafjah
Mada (UGM), Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa, Universitas Sanata
Dharma (USD), Universitas Atma Jaya Yogyakarta (UAY), Universitas
Muhammdiyah Yogyakarta (UMY), Universitas Widya Mataram Yoguakarta
(UWMY), serta Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi (STIE) dan Insitut Seni
Indonesia (ISI). Tuntutan yang diajukan selain mendesak pemerintah
melaksanakan reformasi ekonomi dan politik, juga menuntut pergantian
kepemimpinan nasional.
Hari terakhir Sidang Umum MPR, unjuk rasa semakin marak terjadi di berbagai
perguruan tinggi di Jakarta, Bogor, Bandung, Tegal, Purwokerto, Yogyakarta,
Surakarta, Jember, Surabaya, Padang, Medan, Denmpasar, Pontianak dan Ujung
Pandang, tetap mengajukan tuntutan yang sama penurunan harga, reformasi
politik, reformasi ekonomi, dan pembentuikan pemerintah yang bersih dari
korupsi, kolusi dan nepotisme. Bentrokan pun tak terhindari seperti yang terjadi
di ISIIP (Insititut Ilmu Pemerintahan dan Ilmu Polirik) Lenteng Agung Jakarta
Selatan. Namun bentrokan antara mahasiswa dengan aparat keamanan terjadi di
kampus Institut Teknologi Sepuluh November (ITS), Surabaya, menyebabkan
enam mahasiswa cedera dalam bentrokan, salah seorang di antaranya di rawat di
rumah sakit karena gegar otak. ( Rene L Pattiradjawane, 1999 : 125 126 )
SU MPR sandiwara meminjam istilah aktivis mahasiswa dimulai pada 1
Maret 1998 dan berakhir 11 Maret 1998. Penjagaannya sangat ketat, melibatkan
25 ribu personel berjaga siang dan malam. Lebih ketat lagi, menutut Forum
Keadilan, adalah pengaman non fisik. Abdi dalem Orde Baru dr Abdul
Gafur jauh-jauh hari mengancam akan merecall anggota FKP yang berani
interupsi dan mewajibkan anggota FKP menandatangani dukungan untuk
Habibie. Seluruh rekayasa dilakukan untuk mengamankan pencalonan
Habibie .sebagai Wapres RI. Rantap tentang Pemberian Tugas dan Wewenang
Khusus kepada Presiden/Mandataris MPR dalam rangka Penyuksesan dan
Pengamanan Pembangunan Nasional sebagai Pengamalan Pancasila
dikhawatirkan akan semakin membuat kekuasan Soeharto menjafi absolut .
23

SU MPR memang berakhir mulus, Soeharto kembali menjadi Presiden. Seperti


tidak terpengaruh oleh demo-demo mahasiswa yang kian marak, pada 16 Maret
1998 Jenderal Besar Haji Mohammad Soeharto mengummkan dan melantik
Kabinet Pembangunan VI. Susunan kabinet kali ini menegaskan
ketidakpedulian Soeharto pada tuntutan masyarakat dan mahasiswa untuk
menciptakan pemerintahan yang bersih dan monopoli, korupsi, kolusi, dan
nepotisme. Siti Hadiyanti Rukmana Tutut, anak sulung Soeharto yang menjadi
simbol nepotisme Orde Baru diangkat menjadi Menteri Sosial. Bon Hasan, yang
terkenal sebagai monopolis dalam industri kayu, diangkat menjadi Menteri
Perindustrian dan Perdagangan. Citra monopoli, korupsi dan kolusi melekat liat
dalam diri kroni Soeharto ini. Citra sebagai kabinet KKN semakin dipertegas
dengan keberadaan Haryanto Danutirto dan Abdul Latief.
Yang paling menantang mahasiswa adalah diangkatnya Prof Dr Wiranto
Arismunandar, mantan Rektor ITB yang terkenal represif. Kesetiaannya pada
Orde Baru dibuktikan dengan tindakan memecat aktivis mahasiswa ITB yang
terlibat dalam demo menentang kehadiran Mendagri Rudini pada 1989 dan
seorang aktivis dalam kasus Ospek pada 1994. Penunjukan Wiranto ini
langsung dilihat oleh mahasiswa sebagai rencana Soeharto untuk
menghancurkan gerakan protes mahasiswa yang memang kian membesar dan
meluas ke seluruh Indonesia.
Kritik keras terhadap Kabinet Pembangunan VI salah satunya muncul dari
Amien Rais. Ia mengancam rejim Soeharto akan memimpin aksi people power
jika dalam enam bulan tidak terjadi perbaikan. Ekonom UI, Faisal Basri
mengeaskan, Kabinet ini tak representatif dan saya perkirakan akan gagal
membawa Indonesia keluar dari krisis. Sebelum ultimatum Amien Rais
terbukti. Kabinet ini ternyata hanya berumur dua bulan. Gelombang protes
mahasiswa mengakhiri kekuasaan Soeharto pada 21 Mei 1998.
Rejim Soeharto tampaknya menyadari gawatnya keadaan politik, berkaitan
dengan gerakan mahasiswa yang terus membesar meskipun sudah dilakukan
pemberangusan pasca 27 Juli 1996. Rejim yang begitu percaya pada Teori
Dalang ini beranggapan bahwa para pemimpin gerakan mahasiswa yang masih
aktif dan cenderung radikal harus dilenyapkan agar gerakan ini bisa dihentikan.
24

Maka dibentuklah Tim Mawar dari Kopassus yang waktu itu dipimpin oleh
menantu Soeharto. Belasan aktivis politik sebagian besar aktifis mahasiswa
diculik. Beberapa aktivis seperti Andi Arief (PRD), Pius Lustrilanang (Aldera),
Faisol Reza (PRD), Rahardjo Waluyo Jati (PRD) dll, muncul kembali dan
memberikan kesaksian. Namun belasan aktivis lainnya tidak pernah kembali.
Teori Dalang ternyata salah. Operasi penculikan oleh Kopassus terhadap
pimpinan PRD dan kelompok lainnya tidak efektif menghentikan perlawanan
mahasiswa. Yang sebaliknya justru terjadi. Bulan Maret 1998 adalah saat
ledakan demonstrasi pertama secara intensif maupun ekstensif di Indonesia.
Dari 49 aksi mahasiswa pada 1 Februari 1998 langsung melonjak mencapai 247
aksi pada bulan Maret 1998 lebih dari lima kali lipat daripada bulan
sebelumnya. Aksi mahasiswa merata di 20 kota dari 10 propinsi. Rektor terbesar
dibuat oleh mahasiswa Surabaya (35 aksi) diikuti oleh Ujung Pandang (32
aksi),, Bandung (28 aksi), Yogyakarta (25 aksi), Solo (19 aksi ), Malang (17
aksi), dan Semarang (16 aksi). Aktivis mahasiswa kota-kota kecil semacam
Tegal, Ungaran, Salatiga, Wonosobo, Jombang, dan Jember juga mulai
mengadakan aksi demontrasi.
Jumlah massa yang berhasil dimobilisasi untuk menghadiri aksi-aksi mahasiswa
kian membesar. Semakin banyak aksi demo yang massanya berjumlah ratusan
hingga ribuan. Aksi-aksi di kampus yang mampu melibatkan massa mahasiswa
dalam jumlah yang besar di atas sepuluh ribu orang hanya bisa dilakukan
universitas-universitas besar. Khusus Maret 1998, KM UGM mencatat massa
terbesar hingga 15 ribu orang pada 5 Maret 1998 dan 11 Maret Maret 1998.
Rekor massa terbesar kedua dilakukan oleh kelompok radikal Solo yang
mencapai belasan ribu, yakni SUMPR yang aksinya selalu dilakukan di gerbang
masuk kampus UNS. Menyadari kenyataan membesarnya aksi mahasiswa pada
14 Maret 1998 Pangab Jenderal Wiranto memperingatkan agar aksi mahasiswa
tidak anarkis dan destruktif.
Tampil memberi dan Bandung tetap menonjol dalam pemilihan isu politik,
yang lebih progresif, konsisten, dan radikal. Pada fase ini kalangan kampus
yang sebelumnya tidak aktif sudah bergerak secara merata. Aktivis-aktivis
organisasi mahasiswa resmi kampus, baik keluarga mahasiswa atau senat
mahasiswa, yang sebelumnya dinilai lamban dan konservatif mulai mengadakan
25

aksi mimbar bebas di dalam kampus. Para birokrat kampus, staf pengajar,
bahkan pembantu rektor dan rektor pun mulai terlibat dalam mimbar bebas di
dalam mimbar bebas. Mereka biasanya tampil memberi orasi atau sekedar hadir.
Sikap kalangan birokrat kampus ini memberikan legitimasi yang kuat bagi
khalayak mahasiswa yang sebelumnya ragu-ragu atau takut menjadi lebih aktid
dan berani. Sebagian besar kelompok mahasiswa berunjuk rasa dalam bentuk
mimbar bebas di dalam kampus. ( Muridan S Widjojo, 1999 : 163 165 )

Intensitas demontrasi pada bulan April 1998 semakin meningkat. Jumlah aksi
yang tercatat sedikit lebih banyak daripada Maret 1998, yakni 299 aksi. Aksi
semakin merata dan meluas ke lebih dari 33 kota dari 17 propinsi. Demontrasi
mewabah ke kampus-kampus kecil dan di kota-kota kecil yang sebelumnya
tidak pernah membuat aksi demontrasi. Mobilisasi mahasiswa pun semakin
gampang dengan adanya sikap longgar bahkan dukungan terbuka dari pimpinan
perguruan tinggi, Massa mahasiswa yang bisa dimobilisasi untuk masingmasing aksi mencapai ratusan hingga ribuan orang. KM UGM Yogyakarta
selalu berhasil membawa demontrasi yang melibatkan massa di atas sepuluh
ribu. Dukungan pimpinan dan staf pengajar di kampus biru ini juga meluas.
Rektor UGM Prof Dr Ichlasul Amal merupakan pimpinan perguruan tinggi yang
dikenal sebagai pendukung utama gerakan mahasiswa. Pada 21 April 1998
paling tidak 10 ribu massa dalam mimbar bebas di di halaman balairung UGM
bertepatan dengan hari Kartini. Prof Dr Loekman Soetrisno dam dosen-dosen
menunjukkan dukungannya untuk terus melawan rejim Orde Baru. Aktivis
mahasiswa Unhas Ujung Pandang berhasil membuat aksi dengan massa terbesar
di luar pula Jawa mencapai 10 ribu. Selain jumlah massanya, frekeunsi aksi
demo di Ujung Pandang adalah merupakan yang tertinggi.

26

Situasi politik semakin memburuk. Demo mahasiswa tidak menunjukkan tanda


akan berhenti, bahkan kian meluas. Sementara itu bentrok, antara mahasiswa
dan aparat keamanan terjadi tiap hari. Berbagai himbauan aancaman dinyatakan
petinggi birokrasi sipil dan militer namun tidak diindahkan bahkan dalam demodemo nya mahasiswa menanggapi dengan berbagai ekspresi yang intinya
mengabaikan pernyataan elit-elit politik. Menyadari kredibilitas pemerintah
yang kian merosot, Pangab Wiranto menawarkan dialog dengan mahasiswa.
Oleh sebab itu isu tolak dialog

dengan Pangab dan menteri-menteri

menjadi bagian-bagian dari isu yang muncul pada awal April 1998. Dialog yang
diselenggarakan oleh Pangab dan sejumlah menteri secara politik tidak berhasil
mengubah relasi konflik rejim Orde Baru dengan elemen gerakan mahasiswa.

Kualitas isu dan tuntutan kian meningkat. Target politiknya kian jelas, menuntut
Soeharto mundur. Berbagai macam cara mahasiswa dilakukan untuk
menunjukkan penolakan pada Soeharto. Presedium mahasiswa Unisba Bandung
misalnya menuntut agar UUD 1945 pasal 7 mengenai jabatan presiden direvisi.
Di Ujung Pandang penolakan pada Soeharto ditunjukkan aktivis mahasiswa
Universitas 45 dengan tuntutan agar massa jabatan presiden dibatasi hingga dua
periode. KM ITB menuntut sidang istimewa MPR guna menuntut
pertanggungjawaban presiden. Berbagai pernyataan atau tuntutan politik di atas
bermuara sebenarnya pada satu tuntutan yakni agar Soeharto mengundurkan
diri.
Maraknya aksi-aksi demo mahasiswa pada Mei 1998 sudah memasuki - jika
dihitung sejak minggu kedua Februari 1998 minggu ke sepuluh. Tidak ada
tanda-tanda bahwa aksi protes ini menjadi surut baik karena kelelahan maupun
karena represi. Represi yang brutal dari militer justru memancing aksi-aksi
protes yang kian meluas. Kenyataan sebaliknya sangat luar biasa Kualitas dan
kuantitas aksi-aksi demo kian menjamur. Menginjak Mei, terhitung dari 1 Mei
hingga 30 Mei, tercatat lebih dari 445 aksi demonstrasi yang merata di seluruh
Indonesia. Angka ini masih terbatas pada demontrasi yang termuat di media
27

massa cetak, tidak termasuk aksi-aksi demo di kota-kota kecil yang tidak
terjangkau reporter.
Gerakan protes mahasiswa sebagai pelopor dan inti perlawanan menentang
rejim Orde Baru menampakkan kekuatan terbesarnya baik dari segi kuantitas
maupun kualitas perlawanannya. Pada momentum ini para aktivis mahasiswa
benar-benar mendominasi wacana publik kala itu. Aksi-aksi massa mahasiswa
mampu menghadirkan massa yang besar dan dengan dukungan media massa
mampu memberikan tekanan yang pada akhirnya menyudutkan rejim Orde
Baru. Jargon Reformasi yang sekaligus berarti turunkan Soeharto bergema
di seluruh pelosok Indonesia.
Suhu politik di tanah kian mendidih ketika aksi massa mulai berbenturan
dengan tembok pelindung Orde Baru : blokade aparat keamanan. Kekerasaan
pertama oleh aparat terjadi pada 11 Februari 1998 di Palu, sekitar 500
mahasiswa Universitas Tadulako bentrok dengan aparat keamanan, 19 orang
luka-luka, 6 dirawat di rumah sakit dan 34 orang ditahan. Selanjutnya bentrok
aparat versus mahasiswa kian kerap, 11 kali pada Maret 1998, 34 kali pada
bulan berikutnya, dan 37 kali hingga kejatuhan Soeharto. Bentrokan dengan
korban terbesar dialami SMPR Solo pada 8 Mei 1998 dengan korban 350 orang
luka-luka, 181 dirawat di RS, 31 aparat keamanan luka-luka dan 4 dirawat di
rumah sakit.
Bentrok demi bentrok antara mahasiswa dan aparat militer serta kepolisian sejak
Februari sampai Mei 1998 memperbesar solidaritas barisan gerakan mahasiswa
dari berbagai kelompok. Kalangan mahasiswa pun kian efektif mengeksploitasi
peristiwa bentrok sebagai penelanjangan kekuasaan Orde Baru yang selama ini
dibangun di atas kekerasaan dan represi yang berkesinambungan. Fase
ketakutan di kalangan mahasiswa akan represi Orde Baru sudah terlampui. Di
kalangan mahasiswa rekor bentrok bahkan menjadi kebanggaan tersendiri di
kalangan aktivisnya. Semakin banyak bentrok terjadi, semakin terbangun opini
publik yang bersimpati mendukung gerakan mahasiswa dan sebaliknya hujatan
terhadap rejim Orde Baru kian meluas. ( Muridan S Widjojo, 2006 : 1998 : 166
171 )

28

Insiden penting yang sangat berpengaruh pada membesarnya gelombang


gerakan anti Orde Baru adalah peristiwa terbunuhnya empat mahasiswa
Trisakti. Pada Selasa, 12 Mei 1998, massa mahasiswa, plus karyawan, dosen,
pimpinan, fakultas, dan universitas
sekitar 6000 orang berkumpul di
Universitas Trisakti menggelar mimbar bebas untuk keprihatinan terhadap
kondisi politik dan ekonomi terakhir. Pada pukul 12.30 WIB mahasiswa
bermaksud long march menuju DPR /MPR RI, namun tertahan di depan kantor
walikota Jakarta Barat oleh blokade aparat. Negoisasi dilakukan dengan aparat
dan, seperti biasa, gagal. Menjelang gelap pukul 17.00, disepakati untuk samasama mundur dan membubarkan diri . Provokasi kecil-kecilan sempat terjadi,
namun gagal membakar emosi massa. Tidak akan ada yang istimewa dari aksi
ini: format aksi, isu-isu politik, dan jumlah massa, tidak berbeda dengan aksiaksi sebelumnya.

29

Selepas pukul 17.00 ketika massa mulai bergerak kembali ke kampus terdengar
tembakan beruntun, gas air mata dilemparkan, dan barisan aparat merangsek
maju menyerang massa mahasiswa yang sedang berjalan ke kampus. Semua
terkejut. Massa mahasiswa lari tunggang-langgang. Situasi chaos dan bentrokan
antara mahasiswa lawan aparat keamanan berlangsung lama, hingga pukul
20.00. Korban luka berjatuhan: 5 luka patah dan 17 luka biasa dan lebih
mengejutkan bagi empat mahasiswa Trisakti tewas akibat tembakan peluru
tajam yang diduga sudah direncanakan dan dilakukan oleh para penembak
professional.

Lebih dari 32 aksi demo di 16 kota di Indonesia serentak di gelar pada 13 Mei
1998 untuk menyatakan solidaritas dan menghormati arwah korban Trisakti.
Para rektor menyatakan kuliah diliburkan untuk berkabung. Orasi, yang tidak
jarang dengan isak tangis, di berbagai kampus terdengar mengutuk kekejaman
aparat keamanan Orde Baru. Bendera setengah tiang pun

secara spontan

berkibar di mana-mana. Pada tahap ini perasaan anti Soeharto dan Orde Baru
semakin mendekati puncaknya. Demo solidaritas untuk Trisakti berlanjut
selama beberapa hari sampai kerusuhan meledaki di berbagai tempat, utamanya
di Jakarta dan Solo.

30

Tewasnya empat mahasiswa ini Heri Hertanto, Elang Mulya, Henduawan


Lesmana, dan Hafidin Royan - kian meningkatkan opini publik nasional yang
anti pemerintah. Pernyataan solidaritas mengalir dari masyarakat seluruh
penjara tanah air. Kecaman, kesedihan dan caci maki spontan emosional yang
muncul di berbagai media massa cetak dan elektronik tertuju ke arah rejim Orde
Baru. Pada 13 Mei 1999 kamus Trisakti menjadi pusat perhatian. Para tokoh
politik seperti Megawati dan Amien Rais, pimpinan militer Pangdam Majen
Sjaffrie Syamsoeddin, kaum intelektual berdatangan ke kampus Trisakti
menyatakan solidaritas dan mengecam kekerasaan yang dilakukan oleh aparat
keamanan.

Reaksi yang demikian luas itu menyeret publik pada suasana emosional, marah,
dan penuh perkabungan. Pemakaman ke empat mahasiswa masing-masing
dihadiri oleh ribuan massa mahasiswa dan masyarakat untuk memberikan
penghormatan terakhir. Secara spontan, sebagai apresiasi dan respek publik
pada pengorbanan mahasiswa secara umum, empat demonstran yang apes
itu diusulkan untuk dianugerahi gelar pahlawan reformasi Bahkan kemudian
setelah Soeharto jauh ada delegasi khusus dari keluarga besar Trisakti yang
datang menghadap Presiden Habibie untuk pemberian gelar itu.

31

Reaksi internasional yang ditunjukan oleh berbagai media massa terhadap


insiden Trisakti sangat negatif. Wakil Perdana Menteri Australia Tim Fischer
dan Menteri Luar Negeri Amerika Serikat Madelaine Albright menyatakan
keprihatinannya. Reaksi pasar pun sama negatifnya, Rupiah yang sudah anjok
hingga penutupan terakhir Rp 10.900 per US $ 1 semakin ambles ke Rp 11.375
di pasar uang New York. Reaksi negatif yang sama juga terjadi di pasar saham.
Menurut Menteri Pendayagunaan BUMN Tantri Abeng, dua dari delapan
investor yang bermaksud menanamkan modalnya di Indonesia langsung
mengundurkan diri sesaat setelah insiden Trisakti.

Penembakan hingga tewas empat mahasiswa diikuti segera oleh kerusuhan


massal di pusatpusat kegiatan ekonomi di Jakarta, massa yang terkesan
terorganisir bergerak ke sana kemari menuju pusat-pusat keramaian, membuat
provokasi terhadap massa setempat, untuk menjarah, untuk membakar dan
sebagian melakukan kekerasan dan pemerkosaan pada warga etnis Tionghoa.
Korbannya luar biasa besarnya secara material maupun nonmaterial, 250 mayat
hangus terpanggang di Jakarta, 119 di Tanggerang dan 90 di Bekasi. Paling
tidak 4.939 bangunan rusak dibakar, 1.119 mobil hangus, angkutan umum 66
unit dan 821 unit sepeda motor menjadi kerangka besi gosong. Total kerugian
yang ditaksir oleh Gubernur DKI Jaya Sutiyoso sebesar Rp 2,5 trilyun lebih.
( Muridan S Widjojo, 1998 : 166 171 )

Tanggal 13 Mei 1998, beberapa kerusuhan dan penjarahan terjadi tidak jauh dari
Universitas Trisakti, khususnya di Jalan K.H. Hasyim Asyhari, di sekitar pusat
pertokoan Roxy. Namun pada 14 Mei justru terjadi perusakan yang paling
banyak. Kerusuhan itu berlangsung terutama di beberapa jalan utama kota,
namun sebagian besar kompleks tidak disentuh. Itulah yang diperlihatkan,
misalnya, oleh posisi gedung hancur yang berderet mengikuti bentuk jalan
32

utama. Perusakan itu antara lain terjadi di poros timur-barat yang mencakup
jalan Daan Mogot, Kyai Tapa, dan K.H. Hasyim Asyahri, lokasi Universitas
Trisakti, serta poros utara-selatan mulai dari Medan Merdeka hingga Glodok
melewati jalan Gajah Mada dan Hayam Wuruk Lokalisasi lain juga diterakan :
Pasar Baru, Jalan Gunung Sahari, tetapi juga Jalan Pengeran Tubagus Angke
dan Kapuk. Deretan bangunan yang terbakar di jalan-jalan itu mencerminkan
gerak maju para perusuh dan memperrlihatkan tatanan arah yang berbentuk
garis, seperti kejadian pada 1974 dan 1996
Namun, kejadian Mei 1998 berbeda dari segi keluasan daripada kerusuhan 1974
dan 1996. Kerusuhan itu melanda semua kota madya. Memang benar tampak
jejak linier di sana sini, tetapi yang mencolok, adalah seberan wilayah yang
terkena dampaknya (perusakan parah terjadi juga di wilayah pinggiran
Tangerang, Bekasi dan Depok.
Di Jakarta Selatan, daerah pinggiran Kebayoran Baru juga mengalami
perusakan : Kebayoran Lama dan Jalan Cileduk di barat, Jalan Fatmawati di
selatan, dan Jalan Tendean di timur. Perusuh juga menyasar pusat perdagangan
Pasar Minggu yang menghimpun sebuah pasar, stasiun kereta api, dan pusat
pertokoan. Di Jakarta Timur, kerusuhan terjadi di empat kawasan utama :
pertama, di poros utara-selatan yang menghubungkan Jatinegara dan Pasar
Kramat Jati. Kedua, Di Klender terjadi kebakaran yang menewaskan ratusan
orang, Ketiga, di Jalan Kali Malang, dan terakhir di Rawamangun.
Di Jakarta Pusat, tercatat sejumlah wilayah yang mengalami huru-hara : Senen
dan Jalan Suprapto di sekitar Tanah Tinggi dan di sekitar Pasar Cempaka Putih,
Tanah Abang, Jalan Diponegoro. Namun, terutama Jalan Gunung Sahari, Pasar
Baru, Mangga Besar, dan Jalan Hayam Wuruk serta Jalan Gadjah Mada. Di
Jakarta Utara, Tanjung Priok dan Sunter terkena dampak sedikit, tetapi Teluk
Gong dan Kapuk Raya paling hancur. Sementara itu, Pluit dan daerah sekitarnya
tidak separah tetangganya. Terakhir, Kota Madya Jakarta Pusat mengalami
kerusakan sangat parah di jalan yang menuju Grogol dan Universitas Trisakti.
Selain itu, dapat ditambahkan Jalan Pengeran Tubagus Angke, Cengkareng,
sedangkan kerusakan di Kebon Jeruk tidak separah tetangganya.

33

Peristiwa itu mengakibatkan tragedi. Jumlah korban tewas berbeda, tergantung


pada sumber, antara tiga ratus dan lebih dari seribu. Sebagian besar terbakar
dalam kebakaran kantor dan terutama pusat perbelanjaan Misalnya di perokoan
Sentral, Klender, dua ratus orang terjebak api, di pertokoan Glodok, dikeluarkan
lebih dari sepuluh jenazah. Pada masa itu, surat kabar terutama memberitakan
para penjarah yang terjebak kebakaran yang disulut oleh orang luar pada saat
pertokoan sedang penuh.
Kerugian material juga sangat besar: jumlah gedung yang rusak atau runtuh
bervariasi, menurut sumber yang berbeda. Tim Trisakti, misalnya, selama
survei mencatat sekitar 700 gedung yang terdiri dari atas berbagai jenis 218
toko, 165 ruko,155 bank, 81 gedung perkantoran, 32 pusat pertokoan, dua
menara apartemen (Pluit), 21 rumah dan beberapa gudang, hotel dan bengkel
.Data itu memosisikan kerusuhan di sepanjang jalan utama tempat perdagangan.
Maka, dapat dipertanyakan apakah kerusuhan itu bersifat ekonomi.
Ketika diamati waktu kerusuhan meletus, sejumlah titik awal muncul serempak,
baik di pusat kota maupun di pinggiran. Di sanalah kerusuhan dimulai dan tidak
menjalar. Misalnya yang terjadi di Salemba. Pada pukul 11.00, konflik dimulai
di tengah massa besar sekali, yang membakar ban mobil sebelum memicu
kebakaran di toko dan agen mobil. Pada saat yang sama, kerusuhan meletus di
perempatan Jalan Pemuda. Setengah jam kemudian, giliran Pasar Minggu di
selatan Jakarta, Cempaka Putih di sebelah timur Jakarta Pusat, diikuti oleh
Rawamangun dan Klender di Timur, Kalibata di Selatan, Pos Pengumben di
Barat, dan Grogol sejak pukul 13.00. Sore hari, sejumlah kebakaran terjadi lagi,
khususnya di sekitar Kali Malang, di Jalan Tendean, dan di Kebayoran Lama.
Pancaran itu merupakan fenomena baru dalam sejumlah kerusuhan di Indonesia
sehingga menimbulkan dugaan adanya perencanaan di dalam gerakan itu, dan
keterlibatan provokator.

34

Cara penjarahan tersebut berlangsung memperlihatkan lebih jelas lagi


bagaimana tindakan itu diorganisasi. Lazimnya, massa dihimpun dengan
berbagai cara : dari mulut ke mulut, tetapi juga dengan membakar ban mobil
untuk menarik perhatian. Massa semakin cepat terhimpun, jika wilayahnya
berdekatan dengan kampung. Seperti yang tampak pada peta umum, sebagian
besar wilayah di Jakarta dihuni oleh penduduk dari berbagai kalangan, rumah
yang lebih nyaman di perumahan mewah berdampingan dengan kampung yang
lebih padat dan lebih miskin dengan rumah yang berkualitas rendah. Kecuali
beberapa kediaman kaum elite, kebanyakan kebakaran terjadi di dekat
pemukimannnya yang luas.

Unsur utama dari kerusuhan adalah pemicu. Kebanyakan orang yang ditengarai
oleh penduduk disekitarnya tidak dikenal. Terkadang mereka meneriakan
berbagai slogan anti Tionghoa, menuduh mahasiswa pengecut karena tidak
bergabung dengan gerakannya, terkadang mereka berseru untuk menyerbu
gedung

atau memberikan contoh, sebelum mundur ketika massa mulai

menjarah. Kelompok pemuda ini mempunyai berbagai ciri : ada yang


berseragam SMA atau berjaket mahasiswa; yang lain berpakaian lusuh dan
berwajah sangar; sebagian lagi berbadan tegap, berambut cepak, dan bersepatu
militer; dan ada juga yang berbadan tegap, berwajah dingin, tetapi bertato.

Ciri-ciri tersebut membedakan dengan jelas orang-orang itu dari mereka yang
bergeombol dapat dikenali tentara (sejumlah anggota Badan Inteljen ABRI
(BIA) dikenali di antara para provokasi penjarahan sebuah agen mobil di
Salemba), dan juga preman (pada umumnya mereka dikenal sebagai orang
bertato, sedangkan prajurit tidak) dan anak muda yang tidak jelas asalnya
(sebagian :pemuda ini tampak tua). Pada umumnya mereka datang ke tempat
penjarahan dalam kelompok, diangkut dengan bus dan truk. Biasanya mereka
dipimpin oleh seorang ketua kelompok.

35

Rekutmen kelompok-kelompok tersebut mengikuti skema sederhana : prajurit


berpakaian sipil (seperti yang telah diurigai pada saat markas besar PDI
diserang pada tahun 1996 ), preman yang menjadi upahan provokator atau
penduduk wilayah tertentu menerima bayaran di kirim ke sana untuk merusak.
Tampak bahwa dalam konteks pengagguran dan kemiskinan, merekut anak buah
tidak lah sulit (Jerome Tadie, 2009 : 43 48 )
Saat pertiswa Trisakti terjadi, yang diikuti oleh kerusuhan di hari-hari
berikutnya, Presiden Soeharto sedang melakukan kunjungan kenegaraan di
Kairo, Mesir sejak 9 Mei 1998. Presiden baru kembali pada 15 Mei dini hari.
Pada hari yang sama Presiden Soeharto menerima Wakil Presiden BJ Habibie
dan sejumlah menteri yaitu Menko Polkam, Mendagri, Menkeh, Mensegneg,
Menpen, Kepala Bakin, Jaksa Agung dan Menhankam Pangab Wiranto. Pada
kesempatan itu, Presiden Soeharto bersedia merevisi kenaikan harga bahan
bakar minyak (BBM) yang dipersoalkan oleh masyarakat. Pada pertemuan
dengan sejumlah menteri
tersebut Presiden menyampaikan rencana
pelaksanaan Tap MPR No V/1998 tentang pemberian khusus kepada Presiden
mandataris MPR untuk mengambil langkah-langkah yang diperlukan dalam
rangka kesenambungan pembangunan nasional. Dikemukakan bahwa lembaga
yang akan dibentuk semacam Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan
Ketertiban ( Kopkamtib, namun tidak dipimpin oleh Menhankam /Pangab
dengan alasan banyaknya beban tugas Menhankam /Pangab.
Penjelasan terakhir Presiden tersebut menurut Wiranto dirasakan janggal.
Menurut dia, bagaimana mungkin sebuah komando operasional pemulihan
keamanan
terpisah dengan strukrur komando Panglima ABRI sebagai
penanggung jawab keamanan. Kegundahan Wiranto kemudian ditindaklanjuti
dengan pertemuan staf Mabes di Jalan Merdeka Barat, yang menghasilkan
beberpa rekomendasi untuk disampaikan kepada Presiden. Subtansi dari
rekomendasi tersebut adalah (1) Melaporkan bahwa setelah insiden Trisakti,
kerusuhan dan aksi mahasiswa menyebar ke beberapa kota, II) Tindakan
represif akan menimbulkan korban jiwa da kemarahan rakyat serta tekanan
internasional l (III) Tuntutan reformasi telah menyebar di kalangan masyarakat
luas, tidak hanya di mahasiswa yang menuntut Presiden mundur, melaksanakan
sidang istimewa MPR dan reshuffle kabinet ; (IV) Menyarankan perubahan
36

apapun yang diambil hendaknya konstitusional ; dan (V) Meminta dunia


internasional agar tidak ikut campur terhadap permasalahan Indonesia.
Masih tanggal 15 Mei 1998, Presiden Soeharto memanggil.menerima petinggi
ABRI lainnya seperti KSAD Jenderal Subagyo Hadisiswoyo, Pangdam Jaya
Mayjen Sjafrie Sjamsoeddin, Kapolda Metro Mayjen (Pol) Hamami Nata dan
Pangkostrad Letjen Prabiwo Subianto. Kepada para tersebut, Presiden Soeharto
menayakan perkembangan terakhir secara terpisah sesuai dengan tugas masingmasing. Pada umumnya para perwira tersebut melaporkan bahwa situasi
keamanan sudah dapat dikendalikan, sekalipun masih ada aksi-aksi demontrasi
mahasiswa. Sejak kedatangan Soeharto dari Kairo, situasi keamanan berangsurangsur pulih dan terkendali. Penjarahan yang berlangsung sejak tanggal 13 Mei
bisa dikatakan berhenti. Tidak ada laporan baik dari pihak militer maupun dari
pemberitaan media massa tentang jumlah korban jiwa akibat tindakan aparat
dalam mengatasi kerusuhan. Secara umum masyarakat memiliki kesan bahwa
aparat seolah membiarkan kerusuhan tersebut berlangsung. (Yuddy Chrisnandi,
20005 : 40 41 )
Pada 16 Mei 1998, di antara tamu-tamu yang diterima Presiden Soeharto dfi
kediamannya di Jalan Cendana, Menteng, Jakarta Pusat adalah Pimpinan
DPR/MPR : Harmoko, Abdul Gafur, Ismail Hasan Metarum, Fatimah Ahmad,
Syarwan Hamid dan Sekjen DPR Afif Maruf. Mereka menyampaikan aspirasi
yang masuk ke DPR. Aspirasi tersebut secara umum meminta reformasi segera
di segala bidang, reshuffle cabinet ( perombakan kabinet) dan minta
pengunduran diri Presiden Soeharto. Kepada pimpinan DPR.MPR, Presiden
Soeharto menyatakan kesediaan menjalankan reformasi di segala bidang dan
mengadakan perombakan kabinet pembangunan VII.

37

Pada hari yang sama Pimpinan ABRI Jenderal Wiranto bertemu dengan Ketua
Umum PB NU KH Abdurrachman Wahid di Wisma Yani yang didampingi oleh
Kasosospol dan Asospol ABRI. Pada pertemuan itu, Wiranto mengajak NU
untuk membantu upaya ABRI memulihkan kondisi nasional dan mencari solusi
terbaik menghadapi kemelut yang berlangsung. Jenderal Wiranto terkesan
dengan pernyataan Gus Dur yang mengatakan bahwa NU akan mendukung
sikap ABRI. Oleh karenanya Wiranto kemudian menugaskan Assospol Kasum
ABRI Mayjen Mardiyanto untuk membuat pernyataan pers. Konsep pernyataan
pers tersebut intinya adalah ucapan terima kasih ABRI kepada masyarakat
khususnya warga NU yang telah membantu memulihkan situasi sebagaimana
tertuang dalam lima butir pernyataan PB NU, Salah satu butir pernyataan
tersebut berbunyi bahwa NU sangat setuju keinginan Presiden Soeharto untuk
lengser keprabon, berhenti sebagai presiden. Konsep pernyataan pers yang
belum ditandatangani Wiranto ini dilaporkan oleh Letjen Prabowo kepada
Presiden Soeharto pada malam harinya. Berita ada laporan Prabowo kepada
Presiden Soeharto diterima Wiranto menjelang

tengah malam. Tindakan

Prabowo yang melaporkan hal itu, menurut pandangan Wiranto dianggap sudah
keluar dari norma keprajuritan, yang membuat dirinya merasa diragukan
kesetiaan oleh Soeharto.

38

Pada 17 Mei 1998 selepas subuh, Wiranto menghadap Presiden Soeharto untuk
mengklarifikasikan laporan Letjen Prabowo. Wiranto baru mengetahui secara
lengkap apa yang dilaporkan Prabowo dari Presiden Soeharto
menyiratkan bahwa Wiranto telah berkhianat

yang

kepada Presiden. Menyikapi

kegundahannya, Wiranto telah menyatakan bahwa dirinya siap berhenti sebagai


Menhankam-Pangab apabila Presiden sudah tidak lagi mempercayainya lagi,
seraya meyakinkan bahwa apa yang dilaporkan Prabowo tidak benar. Menurut
Wiranto, Presiden Soeharto menanggapi penjelasannya dengan menolak
permintaan berhenti dan memintanya melanjutkan tugas.

Sesuai bertemu Presiden Soeharto, Wiranto menemui KSAD Jenderal Subagyo


HS, Mayjen Sjafrie dan Letjen Prabowo yang pagi itu sudah berada di kediaman
Presiden. Para perwira tersebut menyaksikan adanya teguran keras (kemarahan)
Jenderal Wiranto kepada Letjen Prabowo. Sebagai Panglima ABRI, Wiranto
menanyakan maksud kehadiran mereka di Cendana. Ia menjelaskan bahwa
KSAD dipanggil menghadap Presiden, Pangkostrad atas inisitifnya, sedangkan
Pangdam Jaya mengakui secara kebetulan lewat dan melihat ada keramaian di
sana. Dari ketiga perwira tersebut\, hanya KSAD yang pada pagi hari itu resmi
diterima Presiden Soeharto dan mengadakan pembicaraan. Isi pembicaraan
KSAD dengan Presiden adalah rencana Presiden mengeluarkan instruksi
presiden (Inpers) tentang pemulihan keamanan dengan membentuk lembaga
Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Keselamatan Nasional. Kepada
KSAD, Presiden menanyakan kesiapannya menerima tugas tersebut. Sebalikya
KSAD menanyakan apakah posisi Jenderal Wiranto selaku Panglima ABRI
akan digantikan olehnya. Keinginan Presiden Soeharto agar KSAD menerima
Inpers tersebut tanpa harus merngganti kedudukan Jenderal Wiranto, ditolak
oleh KSAD yang menyatakan tidak bersedia. KSAD menyarankan kepada
Presiden bahwa seyogyanya pemegang/pelaksanaan Inspers tersebut harus
dipegang oleh pimpinan ABRI sehingga tidak ada dualisme
komando/kepemimpinan dalam tubuh ABRI ( Yuddy Chrisnandi, 2005 : 44 47
)

39

Pada 18 Mei 1998, mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi dalam jumlah
besar diperkenankan masuk kedalam halaman gedung DPR/MPR Senayan. Izin
yang diberikan oleh Sekretariat Jenderal DPR/MPR dan penanggung jawab
keamanan setempat tidak lepas dari rekomendasi yang diberikan Pangdam Jaya.
Pihak militer memperkenankan mahasiswa berada di dalam halaman gedung
DPR/MPR dengan pertimbangan pengendalian keamanan yang lebih mudah
daripada mereka berada di luar. Rekomendasi yang diberikan Pangdam Jaya
kepada pihak keamanan gedung DPR/MPR sudah sepengetahuan Panglima
ABRI atau setidaknya sudah dilaporkan terlebih dahulu untuk mendapatkan
persetujuan. Pertimbangan kalangan militer untuk membuka halaman gedung
DPR/MPR merupakan upaya preventif mengkanalisasi terjadinya bentrokan
atau upaya pemisahan kekuatan dengan kelompok masyarakat yang dianggap
akan mendompleng aksi mahasiswa. Alasan lain, kalangan militer berpandangan
bahwa keinginan mahasiswa untuk menyampaikan aspirasinya secara langsung
ke DPR sudah sangat sulit untuk dibendung. Setelah peristiwa Trisakti yang
diikuti oleh kerusuhan massal hari-hari berikutnya, aparat nteljen sudah
mengetahui adanya rencana kalangan mahasiswa untuk menguasai gedung
DPR/MPR yang akan mendesak dilakukannya reformasi nasional. Kalangan
militer khususnya aparat inteljen sudah mencium adanya link-up antara para
aktivis

mahasiswa

dan

tokoh-tokoh

reformasi

atau

oposisi

dalam

memperjuangkan keinginannya. Kalangan militer tampaknya khawatir bahwa


upaya menghalangi keinginan mahasiswa masuk ke gedung DPR/MPR akan
menimbulkan bentrokan dan konflik yang mengkhawatirkan .

40

Bersamaan dengan kehadiran ribuan mahasiswa ke gedung DPR/MPR,


pimpinan DPR mengadakan rapat yang membahas

perkembangan terakhir.

Ketua DPR Harmoko dan disiarkan secara luas, meminta Presiden Soeharto
mengundurkan diri. Sikap pimpinan DPR tersebut mendapatkan reaksi dari
pimpinan militer yang tidak mengetahui hal itu sebelumnya. Salah satu wakil
Ketua DPR/MPR dari ABRI Letjen Syarwan Hamid, mengakui bahwa pimpinan
DPR/MPR tidak sempat berkonsultasi

lebih dahulu dengan Mabes ABRI

mengingat perkembangan yang demikian cepat. Dalam pandangannya, pada


saat itu situasi berkembang sangat dinamis dan mengerucut pada kesimpiulan
bahwa aspirasi masyarakat yang berkembang luas meminta pengunduran diri
Presiden Soeharto. Hal itulah yang yang disampaikan pimpinan DPR/MPR.
Sebagai kepanjangan tangan Mabes ABRI di lembaga legislatif, langkah
Syarwan Hamid yang bersama-sama pimpinan DPR/MPR lainnya meminta
Presiden Soeharto mengundurkan diri menjadi tanda tanya besar di kalangan
militer. Banyak kecurigaan tertuju pada Syarwan Hamid yang dianggap pihak
militer memiliki agenda diluar kebijakan Mabes ABRI. Syarwan Hamid yang
pernah menjabat Kassospol ABRI bersama Menko Polkam Jenderal Feisal
Tanjung dianggap cukup dekat dengan Wakil Presiden BJ Habibie. Sebelum
pembacaan sikap tersebut, Syarwan Hamid sudah menghubungi Panglima ABRI
Wiranto dan Kasospol ABRI untuk meyakinkan. Namun menurutnya, baik
Wiranto maupun Bambang tidak memberikan komentar selain akan
melaporkannya lebih dahulu kepada Presiden Soeharto.

41

Menyikapi hal itu, Fraksi ABRI di DPR/MPR bersikap pasif, menunggu


petunjuk Mabes ABRI yang tidak kunjung datang. Selaku Pimpinan Umum
Fraksi ABRI, Syarwan Hamid mengambil inisiatif mengarahkan Fraksi ABRI
untuk memberikan dukungan terhadap sikap pimpinan DPR.MPR. Anggota
legislatif dari ABRI yang mendukung mengatasnamakan pribadi-pribadi bukan
institusi Mabes ABRI. Pendapat Syarwan Hamid tersebut disepakati dan tidak
ada yang mempersoalkan. Mereka siap bertanggung jawab secara pribadipribadi bila hal itu kemudian dipersalahkan oleh Mabes ABRI. Sikap para
anggota fraksi ABRI ini, didasari oleh pemahaman mereka terhadap aspirasi
yang terus menerus mengalir ke dewan.

42

Tidak adanya petunjuk resmi dari Mabes ABRI baik dari Panglima maupun
Kasosspol dalam menghadapi perkembangan situasi menjadi salah satu alasan
yang menyebabkan para anggota Fraksi ABRI di legislatif

mendukung

kebijakan pimpinan DPR/MPR. Sikap yang ditunjukkan oleh Letjen Syarwan


Hamid baik yang dikemukakan kepada Fraksi ABRI maupun kehadirannya
bersama Ketua DPR.MPR Harmoko, menimbulkan polemik internal militer.
Tidak sedikit para perwira di Mabes ABRI yang tidak sependapat dengannya.
Ungkapan ketidaksepahaman pendapat para perwira dengan Syarwan Hamid
disampaikan

oleh

Letjen

Susilo

Bambang

Yudhoyono

kepada

yang

bersangkutan. Namun, menurut Syarwan Hamid, Bambang sendiri dapat


mengerti situasi psikologis yang sedang berlangsung di dewan saat itu.
Bambang berjanji

pada Syarwan untuk lebih menjelaskan situasi yang

berkembang di dewan kepada Jenderal Wiranto. Selain berkomunikasi dengan


Kasospol

ABRI setelah pernyatan sikap DPR, Syarwan Hamid berbicara

dengan Jenderal Wiranto menanyakan sikapnya mengenai pernyataan tersebut.


Pada saat itu Wiranto tidak mengomentari seraya mengatakan bahwa ia akan
menghadap Presiden Soeharto pada sore itu .

Sore hari pada 18 Mei 1998, beberapa perwira tinggi ABRI menghadap
Presiden Soeharto di Cendana, secara terpisah. Selain Jenderal Wiranto yang
datang belakangan, hadir Jenderal Subagyo HS. Mayjen Sjafrie Sjamsoeddin
dan Letjen Prabowo Subianto. Secara terpisah mereka melaporkan
perkembangan situasi sesuai dengan ruang lingkup tugasnya. Tidak ada pesan
khusus dari Presiden Soeharto kepada para perwiea selain mrnanyakan hal-hal
yang terkait tugas masing-masing.
Secara khusus, Presiden Soeharto menyampaikan kepada Jenderal Wiranto
sebagai penerima Inpers No 16/1998. Inspres tersebut memberikan kewenangan
kepada Jenderal Wiranto selaku Panglima Komando Operasi Kewaspadaan dan
Keselamatan Nasional untuk menentukan kebijakan tingkat nasional
menghadapi krisis, mengambil langkah meniadakan sumber gangguan
43

keamanan serta mengkordinasi para menteri/lembaga pemerintah untuk


membantu pelaksanaan tugas komando operasi. Padasaat menyerahkan salinan
Inpers tersebut, tidak ada kesan memerintah dari Soerharto kepada Wiranto
untuk melaksanakannya. Menurut Wiranto, Presiden Soeharto menyerahkan
kepadanya untuk memutuskan apakah Inpers tersebut akan dilaksanakan atau
tidak
Tidak adanya kesan memaksa itulah yang menurut Wiranto dijadikan
pertimbangannya untuk memikirkan kembali layak tidaknya Inspres tersebut.
Menurut Wiranto, Presiden Soeharto tidak menghendaki adanya pertumpahan
darah di tengah masyarakat. Sementara dalam pandangan Wiranto, pertumpahan
darah tidak dapat dihundari bila Inspers itu benar-benar dilaksanakan untuk
mempertahankan kekuasaan Presiden Soeharto Dalam perjalanan ke Mabes
ABRI Merdeka Barat dari Cendana itulah, menurut Wiranto ia memutuskan
tidak akan menggunakan Inpers No 16.1998. Keputusannya kemudian ia
bicarakan dengan Kasospol Letjen Susilo Bambang Yudhoyono. Menurut
Wiranto, ia menegaskan komitmennya untuk menghindari pertumpahan darah.
Pada petang hari itu juga, Panglima ABRI memimpin rapat staf yang membahas
pernyatan pimpinan DPR/MPR Harmoko. Dan membahas perkembangan situasi
keamanan, khususnya informasi adanya rencana pengerahan massa ke Monas
tanggal 20 Mei. Seusai rapat staf pimpinan Mabes ABRI, Jenderal Wiranto
memberikan pernyataan yang berintikan empat hal yaitu 1) Meminta agar
rencana pengerahan massa besar-besar pada tanggal 20 Mei dihentikan; 2)
Pernyataan pimpinan DPR yang meminta pengunduran diri presiden merupakan
pendapat individual ; 3) Melaksanakan reshuffle kabinet; 4) Membentuk Dewan
Reformasi. Pada kesempatan tersebut, Jenderal Wiranto tidak menyinggung
sama sekali adanya Inpers No 16/1998 yang ia terima dari Presiden Soeharto
yang ia sampaikan sebelumnya kepada Kasospol ABRI.
Tanggal 19 Mei 1998, Presiden Soeharto menerima beberapa tokoh masyarakat
di Istana Merdeka, di antaranya KH Abdurrachman Wahid ( Ketua Umum PB
NU), Emha Ainun Najib (Budayawan), Nurcholis Madjid, Ali Yafie (Ketua
MUI), Malik Fadjar, Sutrisno Mudham (Muhammadiyah), Yusril Ihza
Mahendra, KH Cholil Baidlawi, Ahmad Subagja dan Maruf Amun (NU). Tidak
jauh dari ruang pertemuan, hadir juga Wiranto (Menhankam Pangab), Jenderal
Pol Dibyo Widodo (Kapolri), Mayjen (Pol) Hamani Nata (Kapolda Metro),
44

Mayjen Sjafrie Sjamsoeddin (Pangdam Jaya) dan Letjen Prabowo Subianto


( Pangkostrad )
Sementara itu, di halaman gedung DPR/MPR kelompok masyarakat yang
berbeda aspirasi dengan para mahasiswa berdatangan menyuarakan
dukungannya kepada Presiden Soeharto. Kelompok tersebut dikoordinasi oleh
pimpinan Pemuda Pancasila. Terjadinya bentrokan antara kelompok pendukung
Presiden Soeharto dan kalangan mahasiswa yang sudah lebih dahulu berada di
halaman gedung DPR/MPR dapat dicegah dengan kehadiran beberapa perwira
dari Kodim Jakarta Pusat yang dipimpin oleh Letkol (Inf) S Widodo. Aparat
militer meminta kelompok Pendukung Presiden Soeharto untuk meninggalkan
areal DPR/MPR. Pada waktu yang hampir bersamaan, Pangdam Jaya menerima
perintah dari Panglima ABRI melalui ajudan, untuk menyediakan transportasi
bagi mahasiswa yang akan menuju gedung DPR/MPR. Instruksi Panglima
ABRI tersebut dimaksudkan untuk mengantisipasi adanya provokasi terhadap
gerakan aksi mahasiswa di perjalanan yang akan mrenuju ke gedung DPR/<PR.
Langkah tersebut ditanggapi positif oleh para pimpinan DPR/MPR yang
mengizinkan mahasiswa memasuki halaman/gedung DPR/MPR.
Hasil pertemuan Presiden dengan para tokoh masyarakat kemudian diumumkan
olerh Presiden Soeharto ke publik. Beberapa hal penting yang disampaikan
Presiden Soeharto adalah 1) Presiden bersedia untuk melaksanakan Pemilu
secepatnya dengan UU Pemilu yang baru; 2) Presiden Soeharto juga
menegaskan tidak akan mencalonkan diri kembali; 3) Segera melakukan
rushuffle kabinet Pembangunan VII menjadi kabinet reformasi; dan 4)
Membentuk komite reformasi yang bertugas menyelesaikan UU Pemilu, UU
Kepartaian UU susduk MPR/DPR/DPRD, UU antimonopoli dan UU
antikorupsi sesuai keinginan masyarakat.
Petang hari tanggal 19 Mei di Mabes ABRI Merdeka Barat, Panglima ABRI
Wiranto memimpin rapat staf untuk membahas perkembangan keadaan dan
langkah mengantisipasi rencana pengerahan massa untuk memperingati hari
kebangkitan nasional tanggal 20 Mei 1998 yang akan dihadiri oleh Amien Rais
dan tokoh-tokoh oposisi lainnya. Jenderal Wiranto memerintahkan jajarannya
untuk dapat menghentikan rencana tersebut yang dalam pandangannya dapat
menimbulkan benturan dan resiko terjadinya kerusuhan massa yang tidak
45

terkendali. Namun Wiranto tidak menjelaskan secara rinci bagaimana cara


menghentikan kegiatan tersebut apabila jadi dilakukan. Menurut Letjen
Prabowo, ia sempat menanyakan kepada Jenderal Wiranto apakah harus dengan
tindakan kekerasan bila himbauan tersebut tidak dihiraukan, namun tidak
dijawab dengan jelas.
Sejak petang hari tanggal 19 Mei, aparat militer telah memblokade jalan-jalan
menuju ke Monas dengan kawat berrduri dan panser. Upaya lain yang dilakukan
kalangan militer untuk menghentikan rencana peringatan kebangkitan nasional
di Monas adalah menghubungi para kerabat Amien Rais, seperti Malik Fadjar
dan Nurcholis Madjid, Mayjen Kivlan Zein, Mayjen Muchdi Pr dan Letjen
Prabowo terlibat aktif dalam upaya membujuk Amien Rais membatalkan
rencananya hadir di Monas. Begitupun dengan Letjen Susilo Bambang
Yiudhoyono yang intens melakukan komunikasi dengan dengan Nurcholid
Madjid, melakukan hal yang sama. Pada saat itu, yang dilakukan militer adalah
upaya nasional, dengan resiko seminimal mungkin mencegah pengerahan
massa. Langkah-langkah persuasif dilakukan oleh para perwira yang memiliki
hubungan dengan tokoh-tokoh gerakan reformasi, sedangkan tindakan preventif
dilakukan oleh Pangdam Jaya sebagai penanggung jawab keamanan ibu kota.
Dini hari tanggal 20 Mei 1998, Amien Rais, atas inisiatif para kerabatnya
bersedia memberikan siaran pers yang menyatakan pembatalan kegiatan
peringatan hari kebangkitan nasional. Menurut kalangan militer, tindakan
Amien Rais ini dilakukan karena militer tidak menghendaki resiko kerusuhan
yang mungkin akan terjadi. Sementara, Amien Rais dan kelompok-kelompok
yang merencanakan aksi tidak dapat memberikan jaminan keamanan kepada
peserta aksi sekiranya terjadi kekacauan yang mendorong aparat miliuter
bertindak tegas. Kedua belah pihak, baik militer maupun para tokoh reformasi,
tidak menghendaki terjadnya korban. Peringatan hari kebangkitan nasional
tersebut akhirnya diselenggarakan di halaman gedung DPR/MPR oleh para
mahasiswa yang sudah beberapa hari berada di sana yang dihadiri Amien Rais.
Pada hari itu, menurut beberapa perwira, Presiden Soeharto tampak kecewa
setelah menerima /mengetahui adanya surat pengunduran diri 14 menteri
Kabinet Pembangunan VII. Kekecewaan lainnya adalah ketidaksediaan para
tokoh masyarakat untuk duduk dalam Komite Reformasi yang dibentuk
46

Presiden Soerharto. Disebutkan juga adanya pertemuan Wakil Presiden RI


Habibie dengan Letjen Prabowo, yang menurut Jenderal Prabowo tanpa
sepengetahuannya. Rencana Presiden Soeharto untuk berhenti dari jabatannya
pertama kali diketahui kalangan militer dari Jenderal Wiranto, yang pada malam
hari tanggal 20 Mei berada di Cendana. Wiranto pertama kali menyampaikan
hal itu pada Susilo Bambang Yudhoyono yang menunggunya di Markas Besar
TNI Angkatan Darat di kawasan Gambir Jakarta Pusat. Tidak banyak kalangan
perwira yang mengetahui rencana Presiden untuk berhenti. Jenderal Wiranto
tampaknya cukup berhati-hati menyampaikan informasi tersebut karena ia
khawatir ada perubahan keadaan. Kalangan militer dari kesatuan Paspampress
yang jumlahnya sangat terbatas, ditugaskan untuk mengawal Yusril Izha
Mahendra yang ditugaskan Presiden Soeharto membuat naskah pengunduran
diri. Sekalipun bagi kalangan sipil yang berada di sekitar Wakil Presiden BJ
Habibie maupun tokoh-tokoh reformasi lainnya dapat dengan cepat, mengetahui
rencana tersebut pada malam harinya, kalangan militer jsutru menyatakan
sebaliknya ( Yuddy Chrisnandi, 2005 : 47 56 )
Hari itu, tanggal 21 Mei 1998. Waktu menunjukkan pukul 09.00 pagi. Presiden
Soeharto, yang mengenakan pakaian setelan sipil warna gelap dan peci hitam,
berjalan ke arah mikrofon yang ditempatkan di tengah-tengah Credentials
Room, Istana Merdeka, Jalan Merdeka Utara, Jakarta. Ia didampingi Wakil
Presiden Bachruddin Jusuf (B.J.) Habibie dan para ajudan.
Dalam acara yang disiarkan secara langsung oleh seluruh stasiun televisi dan
radio itu, Presiden Soeharto, yang tampak tenang, nyaris tanpa ekspresi,
mengeluarkan kacamata baca dan memakainya, serta mengambil naskah pidato
yang sudah disiapkan sebelumnya dari saku bajunya. Tepat pukul 09.00,
Presiden Soeharto mulai membacakan pidato pengunduran dirinya sebagai
Presiden.
Ketika Soeharto sampai pada kalimat, saya memutuskan untuk menyatakan
berhenti dari jabatan saya sebagai Presiden RI terhitung sejak saya bacakan
pernyataan ini pada hari Kamis, 21 Mei 1998. banyak permirsa televisi dan
pendengar radio yang tertegun dan kaget. Mereka semasa sekali tidak
menyangka bahwa pagi itu Presiden Soeharto akan membacakan pidato
pengunduran dirinya. Karena, sedianya, pagi itu Presiden Soeharto akan
47

membentuk Komite Reformasi dan mengumumkan susunan Kabinet


Reformasi , yang merupakan Kabinet Pembangunan VII yang di-reshuffle/
Jangankan mereka, bahkan sebagian besar elite politik yang pada tanggal 20
Mei 1998 malam sudah mendengar mengernai rencana pengunduran diri
Presiden Soeharto itu pun tertergun. Sulit rasanya untuk percaya bahwa
peristiwa benar-benar terjadi. Bagaimana mungkin Soeharto yang selama ini
begitu berkuasa tiba-tiba memutuskan untuk mundur semudah itu.
Namun, keterkejutan itu tidak berlangsung lama, hanya sejenak, Mereka,
kemudian segera menyambut gembira pengunduran diri Soeharto dari jabatan
presiden yang sudah didudukjinya lebih dari 30 tahun. Soeharto dilantik sebagai
presiden tanggal 27 Maret 1068. Sedangkan, kedudukan sebagai pejabat
presiden diperolehnya pada tanggal 22 Februari 1967, 31 tahun yang lalu.
( James Luhulima, 2007 : 1 4 )
Pengunduran diri Soeharto disambut gembira oleh pukuhgan tibu mahasiswa
yang menduduki Gedung MPR/DPR sejak tanggal 18 Mei 1998. Para
mahasiswa yang mengerumuni pesawat televisi di lobi Lokawirasabha dan
ruang-ruang lain di DPR berteriak dan berjingrak serta bersalam-salaman.
Mereka kemudian berlari ke arah tangga di gedung utama M{R/DPR sambil
menyanyikan lagu Sorak-sorak Bergembira. Seiring dengan berkumandangnya
lagu kebangsaan Indonesia Raya., mereka menaikkan bendera setengah tiang,
untuk menghormati empat mahasiswa Trisakti yang tewas tertembak, menjadi
satu tiang penuh, untuk merayakan kemenangan mereka..
Para mahasiswa bersorak-sorai, berteria-teriak, menari-nari, saling berpelukan,
bahkan ada yang meloncat kedalam kolam air mancur di halaman depan gedung
utama MPR/DPR. Ada pula yang meloncat kedalam kolam air mancur di
halaman depan gedung utama MPR/DPR. Ada pula yang sujud dan berdoa
dengan air mata berlinang. Suasana serupa juga tampak di kota-kota lain,
termasuk Yogyakarta, Semarang, Purwokewrto, Denpasar, Palembang, dan
Ujungpandang. Di beberapa tempat, warga masyarakat ikut larut bersama
kegembiraan mahasiswa .

48

Para mahasiswa sangat bergembira karena perjuangan mereka untuk menuruhn


Presiden Soeharto sejak Desember 1997 membuahkan hasil. Walaupun untuk itu
empat mahasiswa Trisakti tewas tertembus peluru aparat keamanan, dan
mahasiswa yang mengalami luka-luka tak terhitung jumlahnya.
Beberapa pemimpin dunia pun turut menyambut baik keputusan Soeharto untuk
mengundurkan diri dari jabatannya sebagai presiden, di antaranya Presiden
Amerika Saerikat (AS) Bill Clinton, Perdana Menteri (PM) Jepang Ryutaro
Hashimoto, PM Australia John Howard dan PM Selandia Baru Jenny Sjipley.
Mereka melihat pengunduran diri Soeharto ini sebagai langkah awal ke arah
pelaksanaan demokrasi di Indonesia. ( James Luhulima, 2007 : 10 12 )
Tak lama setelah prngunduran diri, Soeharto hidup dalam kondisi hampir tak
berhubungan dengan dunia luar. Pada tanggal 22 Mei 1997, ia dengan dingin
tidak menghiraukan Prabowo yang putus asa tang praktis dikesampingkan
oleh Habibie dan Wiranto akan harapan-harapannya untuk dapat
mengupayakan kembali kebangkitannya. Ia tidak berhubungan dengan Habibie
pada hari-hari awal kepresidenannya. Ia tak banyak yang memberikan
kesempatan wawancara dan jarang tampak di depan uumum, saudara torinya
melaporkan bahwa ia sedang mengumpulkan bahan untuk menjawab kritikan
orang-orang terhadap dirinya.
Abdurrachman Wahid berkali-kali, walau tidak berhasil, mencoba melakukan
upaya untuk menarik Soeharto kembali ke proses politik pada 1998. Karena,
menurut Wahid, Soeharto adalah
penyusun skenario dari serangkaian
kekerasaan yang bertujuan menggoyahkan masyarakat. Meski ada digaandugaan lebih lanjut bahwa kelompok-kelompok yang terkait dengannya akan
melakukan upaya-upaya sistimatis untuk merongrong para pemimpin pengganti
dan pemerintah mereka, ia tampaknya benar-benar tidak melibatkan diri dalam
dunia polirik selain serangan-serangannya yang langka, seperti komentarkomentar sinisnya yang pasrah pada April 1999 tentang pemilihan umum
mendatang, permasalahan Timor Timur, serta kebijakan-kebijakan IMF yang
ia kuasai begitu lama.
Sebagian besar waktunya ia habiskan, seperti sejak tahun 1966, di Jalan
Cendana, meski kadang-kadang ia dilaporkan ringgal di sebuah rumah yang
tidak lama sebelumnya dibangun di Taman Mini, Jakarta Timur. Sesekali ia
terlihat menghadiri upacara-upacara keagamaan. Merayakan Idul Fitri pada
49

Januari 2000, misalnya, Soeharto dan keluarga melakukan doa-doa ritual


mereka di mesjid At-Tin di dalam kompleks Taman Mini. Bahwa ia masih
memiliki dukungan rakyat yang cukup berarti tampak jelas dari kerumuman
orang yang ingin menyambutnya, mereka mungkin bagian dari orang-orang
yang masih mengenang bahwa pembangunan ekonomi yang nyata bagi
mereka baru dimulai setelah Repelita I ditetapkan pada 1969. Menurut
Abdurrachman Wahid, Soeharto tetap yakin bahwa ia tidak berbuat salah , dan
tak ada yang ia mesti mintakan maaf atau pengampunan.
Sulit untuk memahami pendapat Soeharto tentang perubahan-perubahan besar
yang terjadi di Indonesia setelah kejatuhannya, dibebaskannya pers dari
belenggu pemerintah, dilepaskannya para tahanan politik, munculnya prakeikpratik demokrasi, lahirnya berbagai partai baru, seruan-seruan untuk
memisahkan diri dari daerah, tindak otonomi daerah yang lebih tinggi , dan
dilepaskannya Timor Timur serta sudah tentu krisis perekonomian yang
berlanjut. Mungkin, ia merenung, ini hanyalah takdir yang menyertai
kemerdekaan Indonesia. ( R.E. Eslon, 2005 : 568 570 )

50

Anda mungkin juga menyukai