dan melancarkan
kampanye aksi mereka sendiri pada awal tahun 1997 dengan menggunakan
bendera lain di beberapa kota. Secara spontan, aksi-aksi mahasiswa yang
diorganisir secara lokal, buruh dan petani terus melanjutkan aksinya, walaupun
untuk sementara media agak lebih berhati-hati.
Tapi bentuk aksi lainnya mulai terjadi ; yaitu aksi-aksi yang dilakukan oleh
anggota-anggota yang baru masuk PDI-Megawati. Megawati terus menolak
menerima pengesahan pemerintah terhadap PDI saingannya yang dipimpin
Soerjadi. Megawati lebih memilih menentangnya di pengadilan untuk mencabut
status hukum semua cabang lokal PDI yang dibentuk oleh Soerjadi. Walaupun
1
rejim,
namun
hampir
setiap
persidangan
disertai
dengan
Pada November 1996, PRD juga sudah mengalami pengelompokan kembali dan
membentuk beberapa komite aksi di beberapa kota dan mulai mengorganisir
aksi. Dalam empat bulan, sampai Mei 1997, sejumlah aksi protes terus
meningkat, mengangkat berbagai isu penting. Namun demikian, apa yang
menimpa Indonesia dalam bulan Mei 1997, telah secara tak langsung sudah
2
Dalam situasi seperti itulah mulai terjadi, terpisah dari protes-protes yang
terorganisir. Kerusuhan terjadi di Situbondo, Jawa Timur, pada bulan November
dan di Tasikmalaya pada bulan Desember. Kemudian pada tanggal 30 Januari di
Renggasdengklok, Jawa Barat. Terjadi juga kerusuhan di Ujung Pandang,
Kalimantan Barat dan Papua Barat. Dalam semua kasus tersebut, dilaporkan
bahwa insiden konflik antara orang Tionghoa dan non-Tionghoa, atau antara
individu-individu Kristen dan non-Kristen, turut memicu kerusuhan. Tapi, tak
terhindarkan, orang-orang yang terlihat dalam kerusuhan kali ini di seret dari
sektor yang lebih pedesaan dan tak terorganisir menyerang gedung-gedung
pemerintah dan simbol-simbol kemakmuran konsumen, termasuk gereja dan
gedung-gedung yang dimiliki orang-orang Tionghoa.
Bulan Mei, ketika Pemilihan Umum 1997 dilangsungkan atmosfer politik kian
meninggi. Terjadi demontrasi di beberapa tempat di seluruh negeri, hampir
setiap hari, menentang pemerintah dalam berbagai isu. Mobilisasi PDI juga
berlanjut. Misalnya, suatu kali sebelum pemilihan umum berlangsung di Jakarta
sebanyak kurang lebih 20.000 orang berkumpul di luar gedung pengadilan
Jakarta Pusat, dan memblokade jalan Gadjah Mada Padahal sembilan bulan
sebelumnya negara ini baru saja diguncang kerusuhan serupa di Jakarta, yang
diikuti dengan kerusuhan perusakan di berbagai pelosok negeri.
3
Keabsahan Pemilihan Umum juga ditantang dengan satu cara yang tak pernah
terjadi sebelumnya. Megawati dengan para pengikutnya, yang jelas merupakan
kekuatan terbesar kelompok partai dengan basis keanggotaan yang aktif, tak
bisa mengikuti Pemilihan Umum. Megawati dengan jitu menyarankan agar para
pengikutnya memboikot Pemilihan Umum. Beberapa figure relijius dan
komunitas nasional juga mengindiikasikan bahwa mereka mendukung boikot
Pemilihan Umum. Termasuk Surat Kerasulan (apostolic) sebelum paskah dari
Konferensi Keuskupan Indonesia, yang menjelaskan bahwa penganut Katolik
tidaklah berdosa jika tidak menobl;os dalam pemilihan umum 29 Mei. Hampir
seluruh LSM pro-demokratik dan kelompok aktivis; semacam PRD dan PIJAR,
menganjurkan boikot. Kelompok pemantau pemilu sendiri, yang terdiri dari
koalisi kelompok-kelompok aktivis, termasuk anggota-anggota PRD, bahkan
menggunakan aksi-aksi protes untuk menarik perhatian publik terhadap
penyimpangan prosedur, terutama sekali larangan terhadap PDI-Megawati
untuk mengikuti pemilu, dan sekarang menganjurkan PDI-Perjuangan (PDI-P
mengikuti pemilu .
diduga oleh seorang pun saat itu, bahwa aksi telah benar-benar independen
secara politik.
Dugaan bahwa kampanye Golkar akan ramai dan didanai besar-besaran tapi tak
berenergi, dan kampanye PDI Soerjadi akan loyo, menjadi kenyataan. Dugaan
bahwa PPP akan melakukan kampanye seperti biasanya, yakni sedikit banyak
mendukung Orde Baru dan lunak, juga menjadi kenyataan. Golkar sedang
mencari suara mayoritas sebesar-besarnya, lebih dari yang pernah mereka dapat
sebelumnya. PPP tidak berupaya keras dalam kampanyenya. Mereka, misalnya,
membatalkan aktivitas-aktivitas kampanye wilayah pedesaan dalam 3 hari yang
disediakan untuk kampanyenya. Rejim sendiri sangat peka terhadap
kemungkinan mobilisasi, UUD Pemilihan Umum melarang pengumpulan massa
dan arak-arakan secara bersamaan. Peraturan-peraturan ketat diberlakukan
untuk menjamin bahwa polisi bisa mengendalikan seluruh aktivitas kampanye.
Partai-partai harus memberitahukan polisi dan pejabat-pejabat pemilu terkait
tentang seluruh rencana kampanye terpadu dan aktivitas individual Aktivitas
tersebut diklasifikasikan sebagai Monolog dan Dialogis, tergantung apakah
publik yang menghadiri aktivitas tersebut diizinkan berbicara atau tidak.
Periode kampanye juga hanya sampai 27 hari, di mana setiap partai mendapat
giliran kampanye masing-masing 9 hari.
Yang sama sekali tidak terduga adalah mobilisasi besar dan militan yang terjadi
secara spontan pada hari jatah kampanye untuk PPP di Jakarta, dan di beberapa
kota lain. Di Jakarta, pada hari-hari yang dijatahkan tersebut, PPP punya
beberapa kegiatan yang direncanakan di beberapa tempat di Jakarta. Puluhan
ribu orang keluar mengalir dari perkampungan yang padat, mencari jalannya
sendiri ke tempat-tempat aktivitas PPP. Hanya mobiliasi spontan oleh orangorang miskin Jakarta yang akan menumpahkan kemarahan mereka. Tidak ada
orang yang membawa poster dan spanduk yang disediakan atau seruan
5
Baik pemimpin PPP atau pun Megawati sendiri tidak pernah mempromosilan
gagasan koalisi atau serua pertempuran seperti itu. Gagasan tersebut muncul
pertama-tama di Solo, Jawa Tengah, diangkat oleh Ketua Cabang PPP Solo,
Murdrick Setiawan Sangidoe, yang dikenal nyentrik. Ia menyeruhkan agar PDIMegawati memberikan suaranya pada PPP. Pada awal Mei, Mudrick juga
bertemu Megawati, yang tak menyatakan dukungannya pada koalisi semacam
itu. Kepemimpinan nasional PPP sendiri bahkan menjelaskan bahwa mereka
menentang gagasan semacam itu, yang dianggap sama saja dengan mendukung
aliansi yang melanggar hukum, dan di luar sistem pemilihan umum. Isu itu
selanjutnya tidak diangkat lagi oleh pemimpin manapun.
diorganisir
sedemikian
rupa
sehingga
setiap
partai
bisa
PPP sendiri semakin membesar, semakin marah dan militan. Sangat sulit
untuk membuat perkiraan dengan tepat jumlah orang yang tumpah ke jalanan
pada tanggal 14 Mei, hari yang disediakan untuk kampanye PPP. Kalkulasi oleh
pimpinan PRD mengatakan bahwa sebanyak lebih dari satu juta orang
termobilisasi di berbagai tempat di seluruh kota. Tak ada yang mobilisasi
terkonsolidasi yang terjadi di seluruh kota, karena orang begitu tumpah begitu
saja dari kampung-kampung dan bergerak ke berbagai titik pertemuan. Namun
demikian, seluruh penjelasan tentang kampanye menunjukkan terjadinya
mobilisasi yang massif dan luas. Akademisi Sjamsuddin Harris menyebut hal itu
sebagai
melimpahnya
orang-orang
dalam
kampanye
PPP,
yang
menghijaukan seluruh kota Jakarta. Saksi mata dan laporan koran semuanya
menggarisbawahi momen luar biasa di Jakarta pada hari giliran kampanye PPP,
ketika orang berjuta-juta; memadati jalan-jalan utama.
Dinamika garis politik baru yang diprakarsai massa ini yang menyeruhkan
persatuan oposisi untuk menyingkirkan Golkar tidak saja mengejutkan, tapi
juga menakutkan rejim dan elit secara umum. Segera setelah demomntrasi di
hari pertama giliran kampanye PPP, saat gejala Mega-Bintang muncul,
pemerintah melarang penggunaan poster apapun yang menyebutkan istilah
Mega-Bintang, dan segala perlengkapan apapun yang berhubungan dengan
Megawati, termasuk fotonya atau toto ayahnya, mantan Presiden Soekarno.
Segenap pelarangan tersebut, yang melengkapi manuver-manuver pro-Golkar
sebelum pemilu, dan yang paling kasar yang pernah dilakukan oleh pemerintah,
hanya menyulut penuduk yang sudah termobilisasi dan marah. Larangan
tersebut menguji militansi gairah popular. Akibat dari tantangan terhadap massa
Mega-Bintang
PPP tidak terlibat dalam pemgumpulan massa atau pawai apapun. Demikianlah,
instruksi tersebut tak berpengaruh pada sebagian besar massa yang sebelumnya
mengambang. Tindakan pembakangan itidak hanya mengambil bentuk arakarakan dan kerumuman massa penduduk kampung, tapi menyerang dan
membakar pos polisi saat polisi memerintahkan perampasan poster, dan bahkan
menyerang po;isi atau tentara lalu kabur. Kantor-kantor pemerintah lainnya juga
diserang atau dirusak. Bariakde tentara dan polisi, yang berusaha menghentikan
pengumpulan dan pawai terbuka di luar gedung, dilempari batu dan peserta
pawai berusaha terus menembus barikade. Dalam beberapa kasus, polisi dan
tentara menggunakan kekuatannya untuk membubarkan pawai tersebut.
Tawuran jalanan adalah biasa di seluruh Jakarta.
Kees van Dijk, dalam bukunya, Country in Despair, Indonesia between 1997
and 2000,yang menggunakan kumpulan laporan koran melihat apa yang terjadi.
Disebutkan Tak ada hari tanpa kermunan massa di beberapa tempat terjadi
amuk massa dan penguasaan ruas-ruas jalan, perkelahian terjadi antara para
pendukung partai berbeda, dan orang-orang dipukuli. Di seluruh Indonesia
kerumunan massa telah berubah menjadi kekerasaan. Barikade muncul di jalanjalan, orang-orang dengan sengit melawan pasukan keamanan atau mencegah
gang yang membela partai lain masuk ke lingkuingan penduduk, dan toko-toko
tetap tutup. Para pedagang yang menjual makanan dan minuman dirampok, dan
pom bensin dimintai bensin gratis. Supir dan penumpang mobil-mobil yang
lewat dipaksa menyerahkan uang atau rokok, dilempari batu atau botol bila
mereka tidak benar mengancungkan tanda satu, dua, atau tiga jari untuk
mengindikasikan dukungannya kepada PPP, Golkar, atau PDI.
Penjelasan Van Dijk memberikan gambaran yang jelas tentang suatu masyarakat
yang sedang berkembang menuju anarki, dan tampaknya akan demikian untuk
beberapa lama. Tapi penjelasannya juga mengungkapkan watak politik dari
keresahan serta peran kampanye PPP. Disebutkan bahwa : sebagian besar
bentrokan yang terjadi saat kampanye PPP tampaknya merupakan suatu
pelepasan dari rasa permusuhan terpendam, terhadap pemerintah dan semua
pihak yang mewakili pemerintah. Bagi warga biasa, kampanye PPP menjadi
hari-hari penuh ketakutan.
MALARI
1974
terjadi.
Mobilisasi-mobilisasi
Mega-Bintang
dan, dalam
12
Tak mengejutkan bahwa, segera setelah aktivitas aksi dimulai lagi sekitar 1989,
dengan segera pula ada upaya untuk mendirikan serikat buruh dan petani.
Masuknya sejumlah besar anggota baru kedalam PDI Megawati pada
pertengatan tahun 1990-an, yang menyeret lapisan dan jaringan sosial rendahan,
rakyat kecil , sebagaimana yang dijelaskan Aspinall, adalah juga manifestasi
dari pengorganisasian tersebut. Bertambah besarnya keanggotan PDI sekaligus
juga memboyong inovasi organisasional ke dalamnya, yang merupakan
manifestasi sempurna dari menguatnya karakter re-organisasi ( walaupun
sementara), yakni Posko secara harfiah berarti Pos Komando. Posko pertama
kali
dibentuk
pada
tahun
1997
sebagai
bagian
melawan gerakan
kampanye
untuk
Soeharto yang
mobilisasi. Tidak mungkin menyebut dengan pasti berapa banyak posko yang
telah didirikan, tapi bisa jadi ribuan posko telah dibentuk di kota-kota besar
atau menengah, yang bisa mengorganisir puluhan ribu orang. Begitu metode
tersebut menjadi popular bagi anggota PDI, maka metodetersebut juga
menyebar di kalangan organisasi organisasi lain, yang mendirikan pusat-pusat
koordinasi publik, dan dengan baik dipromosikan sebagai tempat berkumpul
masyarakat.
yang
13
dinilai ganjil dalam perkembangan sejarah Indonesia setelah 1965. . Karena aksi
itu sendiri merupakan mekanisme organisasi yang esensial, maka organisasinya
pun selkalu dalam status fluktuatif. Segalanya, atau hampir segalanya, bersifat
sementara. Jumlah orang yang termobilisasi secara politik, atau terlibat dalam
orghanisasi mobilisasi serta politik yang permanen dan stabil, masih sangat
kecil. Bahkan seandainya pun seluruh masyarakat mengorganisasikan diri
melalui begitu banyak organisasi temporer Komite-komite aksi tumbuh dan
hilang begitu situasi berubah. Koalisi antara LSM, kelompok politik, kelompok
mahasiswa, dan lainnya, juga tumbuh dan hilang. Bahkan ketika beberapa di
antaranya tetap stabil , anggotanya datang dan pergi dengan cepat, dan sering
memberikan karakter yang berbeda pada organisasi tersebut, pada saat yang
berbeda . Dengan kata lain, rejim tak tertantang oleh apa yang disebut bentuk
tipikal gerakan oposisi massa yang terorganisir dengan baik, tapi oleh suatu
proses, oleh sesuatu yang sedang menjadi.( Max Lane, 2007 : 222 225 )
Jatuhnya Soeharto di bulai Mei 1998 dianggap banyak orang sebagai tak
terbayangkan sebelumnya, sesuatu yang hampir mustahil, bahkan oleh para
Indonesianis terkemuka seperti Hall Hill dan R William Liddle. Di bawah rezim
Orde Baru Soeharto sejak 1966, Indonesia dalam sejarah modern, mengalami
untuk pertama kalinya periode pertumbuhan ekonomi yang cukup panjang.
GDP naik hampir lima kali lipat, yang menghasilkan kenaikan pendapatan per
kapita lebih dari 300 persen. Pertumbuhan GDP rata-rata 7,8 persen dalam
periode 1991 1995. Data dari Biro Pusat Statistik(BPS) juga memberikan
angka yang mengesankan. Jumlah penduduk miskin terus-menurun dalam
dekade 1990-an, dari 15,1 persen di tahun 1990 menjadi 13,7 persen di tahun
1993 dan 11,3 persen di tahun 1996. Di tahun 1995, menurut perhitungan World
Bank, pendapatan per kapita Indonesia telah mencapai US $ 1000. Oleh karena
itu, dalam kategori World Bank, Indonesia tidak lagi diklasifikasikan sebagai
14
Pemicu langsung ambruknya nilai tukar rupiah secara dratis adalah penilaian
dunia internasional terhadap prospek ekonomi Indonesia ketika krisis itu mulai
dengan menghantam Thailand di pertengahan 1997. Para investror tiba-tiba
menyadari tanda-tanda yang sebelumnya mereka anggap sepi, terutama tingkat
hutang yang sangat tinggi dan makin suburnya inefisiensi ekonomi Indonesia
yang salah kelola dan korup. Menurunnya nilai tukar rupiah mulai tanggal 21
Juli 1997, ketika itu nilai tukarnya satu 7 persen terhadap US Dollar. Sepanjang
Oktober dan November 1997, nilai tukar itu terus melemah sampai ke level Rp
3.500.- ( dari nilai normal sebelumnya yaitu sekitar Rp 2.4000,) terhadap US
Dollar. Setelah itu, depresiasi Rupiah mencapai 55 persen, sementara Baht
Thailand 40 persen. Ringgit Malaysia 31 persen, Peso Philipina 34 persen dan
Dollar Singapura hanya turun 11 persen. Dalam bulan Januari 1998, anjolk
nilai Rupiah telah mencapai 76 persen, atau Rp 10.000,- per satu UD Dollar.
Ketika Soeharto memutuskan lengser keprabon pada 21 Mei 1998, dan
Habibie naik menjadi presiden. Rupiah sudah menyentuh angka Rp 16.000,per satu US Dollar .
15
dengan IMF pada tanggal 15 Januari 1998, yang berisi poin-poin penghematan
berskala luas yang bertujuan untuk menghentikan ekonomi yang terus
tergelincir turun. Perjanjian tersebut menekankan pada reformasi struktural yang
membuat banyak pengamat menarik nafas lega karena akan mengurangi
kemapanan dan kekuasaan bisnis keluarga Soeharto dan kroni-kroninya jika itu
dilaksanakan Dana-dana budget dan non-budgeter untuk pabrik pesawat terbang
di bawah Habibie. IPTN, dihentikan. Segala bentuk dukungan dan bantuan
ditarik dari proyek mobil nasional milik Tommy Soeharto.
16
17
18
Sebagian besar mahasiswa pun merupakan korban krisis ekonomi menjadi kian
miskin. Kebutuhan hidup sehari-hari, kebutuhan alat tulis, dan biaya kuliah
semakin tak terjangkau. Seorang mahasiswa Universitas Nommensen Medan
dan Universitas Pattimura (Unpatti) Ambon terpaksa menjadi tukang becak dan
pengayuh perahu untuk bertahan hidup. Secara umum mahasiswa menghayati
krisis ekonomi melalui terhentinya kitriman orang tua di kampung, melonjaknya
harga kertas, biaya foto copy, bahan pratikum dan lain-lain. Di Institut
Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya 500 dari 11 ribu mahasiswa
menunda pembayaran SPP. Di Unpatti Ambon 300 dari 8600 mahasiswa tidak
mendaftar ulang karena tidak mampu melunasi SPP. Problem serupa juga
menimpa mahasiswa daerah-daerah seperti Universitas Brawijaya Malang,
UGM Yogyakarta dan lain-lain. Mahasiswa di kota-kota besar pun mengalami
nasib serupa. ( Muridan S Widjojo, 1998 : 157 159 )
19
Pelaku baru gerakan protes dan perlawanan mahasiswa, yang disebut Gerakan
Koreksi Orde Baru (GKOB) mulai menonjol pada akhir Februari 1998. Aksiaksi demontrasi mahasiswa tidak lagi hanya digerakan kelompok-kelompok
Gerakan Anti Orde Baru (GAOB) yang malang melintang melawan Orde Baru
sejak akhir 80-an, dengan aktivis dan massa yang kian membesar sejak awal
1998. Kalangan aktivis kampus dari organisasi resmi semacam SMPT (Senat
Mahasiswa Perguruan Tinggi) dan Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) dan
setengah resmi semacam KM (Keluarga Mahasiswa) atau presedium senat
mahasiswa fakultas-fakultas, yang menyebut gerakan mereka sebagai gerakan
moral, dengan format aksi keprihatinan di dalam kampus, mulai muncul dan
meluas. Elemen gerakan mahasiswa yang baru ini kebanyakan didukung oleh
staf pengajar dan pimpinan perguruan tinggi, yang menjadikan gerakan
mahasiswa sebagai gerakan civitas academica.
besar UI dalam mimbar bebas mengakhiri suatu ketegangan mahasiswabirokrasi kampus yang selama Orde Baru memang selalu dipertahankan. Para
birokrat kampus pada jaman Orde Baru lebih bersikap sebagai aparat represif
perpanjangan tangan rejim. Pimpinan kampus di era Orde Baru terutama
pimpinan perguruan-perguruan tinggi negeri, lebih berperan sebagai pelayan
kepentingan rejim Orde Baru dalam menjaga kontrol dan kelanggengan
kebijakan depolitisasi mahasiswa.
Model aliansi mahasiswa dan civitas academica ini menular ke berbagai
kampus terkemuka di Indonesia. Pada 3 Maret 1998 mahasiswa dan civitas
academica Universitas Udayana, Denpasar, melibatkan lima ratusan massa
mahasiswa, menyelenggarakan mimbar bebas keprihatinan dari aksi anti
kekerasan. Setelah itu bertutut-turut aksi mimbar bebas mahasiswa dan civitas
academica muncul di kampus-kampus seperti pada 5 Maret 1998 di Unair
Surabaya, pada 6 Maret di Universitas Yasri Jakarta, pada 7 Maret 1998
Universitas Padjadjaran Bandung dan pada 9 Maret 1998 di Universitas
Pasundan, pada 9 Maret 1998 di Undip Semarang, di UNS Solo, pada 10 Maret
1998 di Unila Lampung dan di Universitas Islam Indonesia Yogyakarta dan
pada 11 Maret 1998 di UGM. Aksi unjuk rasa di beberapa kampus, misalnya di
Unibraw (11 Maret 1998) dan di Universitas Pancasila (17 Maret 1998), bahkan
dipimpin oleh rektornya sendiri. Pada kurun waktu Maret 1998 terdapat
setidaknya 15 aksi yang terjadi di 10 kota melibatkan dosen, guru besar dan
pejabat dekanat serta pejabat rektorat.
Terdapat kesan umum, baik yang muncul di media massa maupun di kalangan
aktivis resmi bahwa tampilnya mahasiswa dan civitas academica UI
berpengaruh besar hingga menular mahasiswa dan civitas academica UI
pada akhir Februari, diikuti oleh aksi dengan dengan pola serupa di kampuskampus lain. Di sini terlihat bahwa mitos angkatan 66 yang diantaranya
menempatkan UI sebagai pelopor masih dianut oleh terutama kalangan kampus
dan media massa. Terlepas dari pameo yang sering diucapkan, kalau UI
bergerak, berarti negera dalam keadaan genting Cara pandang mitis ini pula
yang menjelaskan mengapa grejala baru demo mahasiswa di kampus inilah
yang dilihat oleh Forum Keadilan sebagai kebangkitan gerakan mahasiswa
setelah lelap tertidur selama 20 tahun. Forum Keadilan mengatakan bahwa,
21
Unjuk rasa terakhir yang masih terngiang dalam catatan sejarah dilakukan oleh
para mahsiswa 1978.
Jadi oleh Forum Keadilan munculnya kelompok studi mahasiswa, pers
mahasiswa alternatif, lalu kelompok parlemen jalanan di era 80-an dan
disusul oleh bangkitnya mahasiswa dalam gerakan politik yang yang lebih solid
dan terorganisir serta jelas dalam ideologi dan program-program politiknya
yang termanifestasi dalam SMID dan PRD dianggap bukan atau belum
merupakan gerakan mahasiswa. Padahal gerakan mahasiswa baik dalam
struktur komite; isu-isu politik, pola-pola slogan perlawanan yang muncul
selama 1998, adalah hasil dari proses panjang sejak 80-an hingga akhir 90-an.
Kemunculan aktivis-aktivis handal dalam APR (Surabaya), Forkot (Jakarta),
Famred (Jakarta), SMPR (Solo), PPPY dan KPRP ( Yogyakarta), FAMPR
(Purwokerto), atau KMPPRL (Lampung) adalah hasil dialektika dari gerakan
mahasiswa sebelumnya. Format dan isi perlawanan aktivis mahasiswa terhadap
rejim Orde Baru sejak 1989 pada era FKMY (Yogyakarta), BKMI (Jakarta),
atau FKMS (Surabaya) hingga PPPY, FIMB, KPMB, dan PRD-lah yang
menjadi subtansi gerakan mahasiswa yang munul pada 1998. Tampak di sini
Forum Keadilan masih mendefinisikan gerakan mahasiswa sebagai gerakan
moral. ( Muridan S Widjojo, 1998 : 159 163 )
Semasa berlangsungnya Sidang Umum MPR, unjuk rasa terus berlanjut, dengan
mimbar bebas, arak-arakan keliling kampus, menggelar poster dan spanduk,
menuntut reformasi ekonomi dan politik, pemerintahan yang bersih dari
korupsi, kolusi dan nepotisme, serta penurunan harga-harga khususnya sembilan
bahan pokok. Di Jakarta ratusan mahasiswa IKIP menggelar aksi keprihatinan
di lingkungan Kampus Rawamangun. Ratusan mahasiswa lainnya mengadakan
unjuk rasa di kampus Universitas Jayabaya. Di Bandung ribuan civitas
academica Institut Teknologi Bandung menggelar aksi keprihatinan .
Hal yang sama terjadi di Padang, Sumatera Barat, ribuan mahasiswa Universitas
Bung Hatta mengadakan aksi keprihatinan dengan mengadakan mimbar bebas,
menuntut pemerintah melakukan reformasi ekonomi dan reformasi politik
dengan menghapus monopoli, membentuk pemerintahan yang bersih dari
korupsi, kolusi dan nepotisme serta parlemen yang lebih memperhatikan
kepentingan rakyat banyak. Di Universitas Sumatera Utara (USU) dan Unika di
22
Maka dibentuklah Tim Mawar dari Kopassus yang waktu itu dipimpin oleh
menantu Soeharto. Belasan aktivis politik sebagian besar aktifis mahasiswa
diculik. Beberapa aktivis seperti Andi Arief (PRD), Pius Lustrilanang (Aldera),
Faisol Reza (PRD), Rahardjo Waluyo Jati (PRD) dll, muncul kembali dan
memberikan kesaksian. Namun belasan aktivis lainnya tidak pernah kembali.
Teori Dalang ternyata salah. Operasi penculikan oleh Kopassus terhadap
pimpinan PRD dan kelompok lainnya tidak efektif menghentikan perlawanan
mahasiswa. Yang sebaliknya justru terjadi. Bulan Maret 1998 adalah saat
ledakan demonstrasi pertama secara intensif maupun ekstensif di Indonesia.
Dari 49 aksi mahasiswa pada 1 Februari 1998 langsung melonjak mencapai 247
aksi pada bulan Maret 1998 lebih dari lima kali lipat daripada bulan
sebelumnya. Aksi mahasiswa merata di 20 kota dari 10 propinsi. Rektor terbesar
dibuat oleh mahasiswa Surabaya (35 aksi) diikuti oleh Ujung Pandang (32
aksi),, Bandung (28 aksi), Yogyakarta (25 aksi), Solo (19 aksi ), Malang (17
aksi), dan Semarang (16 aksi). Aktivis mahasiswa kota-kota kecil semacam
Tegal, Ungaran, Salatiga, Wonosobo, Jombang, dan Jember juga mulai
mengadakan aksi demontrasi.
Jumlah massa yang berhasil dimobilisasi untuk menghadiri aksi-aksi mahasiswa
kian membesar. Semakin banyak aksi demo yang massanya berjumlah ratusan
hingga ribuan. Aksi-aksi di kampus yang mampu melibatkan massa mahasiswa
dalam jumlah yang besar di atas sepuluh ribu orang hanya bisa dilakukan
universitas-universitas besar. Khusus Maret 1998, KM UGM mencatat massa
terbesar hingga 15 ribu orang pada 5 Maret 1998 dan 11 Maret Maret 1998.
Rekor massa terbesar kedua dilakukan oleh kelompok radikal Solo yang
mencapai belasan ribu, yakni SUMPR yang aksinya selalu dilakukan di gerbang
masuk kampus UNS. Menyadari kenyataan membesarnya aksi mahasiswa pada
14 Maret 1998 Pangab Jenderal Wiranto memperingatkan agar aksi mahasiswa
tidak anarkis dan destruktif.
Tampil memberi dan Bandung tetap menonjol dalam pemilihan isu politik,
yang lebih progresif, konsisten, dan radikal. Pada fase ini kalangan kampus
yang sebelumnya tidak aktif sudah bergerak secara merata. Aktivis-aktivis
organisasi mahasiswa resmi kampus, baik keluarga mahasiswa atau senat
mahasiswa, yang sebelumnya dinilai lamban dan konservatif mulai mengadakan
25
aksi mimbar bebas di dalam kampus. Para birokrat kampus, staf pengajar,
bahkan pembantu rektor dan rektor pun mulai terlibat dalam mimbar bebas di
dalam mimbar bebas. Mereka biasanya tampil memberi orasi atau sekedar hadir.
Sikap kalangan birokrat kampus ini memberikan legitimasi yang kuat bagi
khalayak mahasiswa yang sebelumnya ragu-ragu atau takut menjadi lebih aktid
dan berani. Sebagian besar kelompok mahasiswa berunjuk rasa dalam bentuk
mimbar bebas di dalam kampus. ( Muridan S Widjojo, 1999 : 163 165 )
Intensitas demontrasi pada bulan April 1998 semakin meningkat. Jumlah aksi
yang tercatat sedikit lebih banyak daripada Maret 1998, yakni 299 aksi. Aksi
semakin merata dan meluas ke lebih dari 33 kota dari 17 propinsi. Demontrasi
mewabah ke kampus-kampus kecil dan di kota-kota kecil yang sebelumnya
tidak pernah membuat aksi demontrasi. Mobilisasi mahasiswa pun semakin
gampang dengan adanya sikap longgar bahkan dukungan terbuka dari pimpinan
perguruan tinggi, Massa mahasiswa yang bisa dimobilisasi untuk masingmasing aksi mencapai ratusan hingga ribuan orang. KM UGM Yogyakarta
selalu berhasil membawa demontrasi yang melibatkan massa di atas sepuluh
ribu. Dukungan pimpinan dan staf pengajar di kampus biru ini juga meluas.
Rektor UGM Prof Dr Ichlasul Amal merupakan pimpinan perguruan tinggi yang
dikenal sebagai pendukung utama gerakan mahasiswa. Pada 21 April 1998
paling tidak 10 ribu massa dalam mimbar bebas di di halaman balairung UGM
bertepatan dengan hari Kartini. Prof Dr Loekman Soetrisno dam dosen-dosen
menunjukkan dukungannya untuk terus melawan rejim Orde Baru. Aktivis
mahasiswa Unhas Ujung Pandang berhasil membuat aksi dengan massa terbesar
di luar pula Jawa mencapai 10 ribu. Selain jumlah massanya, frekeunsi aksi
demo di Ujung Pandang adalah merupakan yang tertinggi.
26
menjadi bagian-bagian dari isu yang muncul pada awal April 1998. Dialog yang
diselenggarakan oleh Pangab dan sejumlah menteri secara politik tidak berhasil
mengubah relasi konflik rejim Orde Baru dengan elemen gerakan mahasiswa.
Kualitas isu dan tuntutan kian meningkat. Target politiknya kian jelas, menuntut
Soeharto mundur. Berbagai macam cara mahasiswa dilakukan untuk
menunjukkan penolakan pada Soeharto. Presedium mahasiswa Unisba Bandung
misalnya menuntut agar UUD 1945 pasal 7 mengenai jabatan presiden direvisi.
Di Ujung Pandang penolakan pada Soeharto ditunjukkan aktivis mahasiswa
Universitas 45 dengan tuntutan agar massa jabatan presiden dibatasi hingga dua
periode. KM ITB menuntut sidang istimewa MPR guna menuntut
pertanggungjawaban presiden. Berbagai pernyataan atau tuntutan politik di atas
bermuara sebenarnya pada satu tuntutan yakni agar Soeharto mengundurkan
diri.
Maraknya aksi-aksi demo mahasiswa pada Mei 1998 sudah memasuki - jika
dihitung sejak minggu kedua Februari 1998 minggu ke sepuluh. Tidak ada
tanda-tanda bahwa aksi protes ini menjadi surut baik karena kelelahan maupun
karena represi. Represi yang brutal dari militer justru memancing aksi-aksi
protes yang kian meluas. Kenyataan sebaliknya sangat luar biasa Kualitas dan
kuantitas aksi-aksi demo kian menjamur. Menginjak Mei, terhitung dari 1 Mei
hingga 30 Mei, tercatat lebih dari 445 aksi demonstrasi yang merata di seluruh
Indonesia. Angka ini masih terbatas pada demontrasi yang termuat di media
27
massa cetak, tidak termasuk aksi-aksi demo di kota-kota kecil yang tidak
terjangkau reporter.
Gerakan protes mahasiswa sebagai pelopor dan inti perlawanan menentang
rejim Orde Baru menampakkan kekuatan terbesarnya baik dari segi kuantitas
maupun kualitas perlawanannya. Pada momentum ini para aktivis mahasiswa
benar-benar mendominasi wacana publik kala itu. Aksi-aksi massa mahasiswa
mampu menghadirkan massa yang besar dan dengan dukungan media massa
mampu memberikan tekanan yang pada akhirnya menyudutkan rejim Orde
Baru. Jargon Reformasi yang sekaligus berarti turunkan Soeharto bergema
di seluruh pelosok Indonesia.
Suhu politik di tanah kian mendidih ketika aksi massa mulai berbenturan
dengan tembok pelindung Orde Baru : blokade aparat keamanan. Kekerasaan
pertama oleh aparat terjadi pada 11 Februari 1998 di Palu, sekitar 500
mahasiswa Universitas Tadulako bentrok dengan aparat keamanan, 19 orang
luka-luka, 6 dirawat di rumah sakit dan 34 orang ditahan. Selanjutnya bentrok
aparat versus mahasiswa kian kerap, 11 kali pada Maret 1998, 34 kali pada
bulan berikutnya, dan 37 kali hingga kejatuhan Soeharto. Bentrokan dengan
korban terbesar dialami SMPR Solo pada 8 Mei 1998 dengan korban 350 orang
luka-luka, 181 dirawat di RS, 31 aparat keamanan luka-luka dan 4 dirawat di
rumah sakit.
Bentrok demi bentrok antara mahasiswa dan aparat militer serta kepolisian sejak
Februari sampai Mei 1998 memperbesar solidaritas barisan gerakan mahasiswa
dari berbagai kelompok. Kalangan mahasiswa pun kian efektif mengeksploitasi
peristiwa bentrok sebagai penelanjangan kekuasaan Orde Baru yang selama ini
dibangun di atas kekerasaan dan represi yang berkesinambungan. Fase
ketakutan di kalangan mahasiswa akan represi Orde Baru sudah terlampui. Di
kalangan mahasiswa rekor bentrok bahkan menjadi kebanggaan tersendiri di
kalangan aktivisnya. Semakin banyak bentrok terjadi, semakin terbangun opini
publik yang bersimpati mendukung gerakan mahasiswa dan sebaliknya hujatan
terhadap rejim Orde Baru kian meluas. ( Muridan S Widjojo, 2006 : 1998 : 166
171 )
28
29
Selepas pukul 17.00 ketika massa mulai bergerak kembali ke kampus terdengar
tembakan beruntun, gas air mata dilemparkan, dan barisan aparat merangsek
maju menyerang massa mahasiswa yang sedang berjalan ke kampus. Semua
terkejut. Massa mahasiswa lari tunggang-langgang. Situasi chaos dan bentrokan
antara mahasiswa lawan aparat keamanan berlangsung lama, hingga pukul
20.00. Korban luka berjatuhan: 5 luka patah dan 17 luka biasa dan lebih
mengejutkan bagi empat mahasiswa Trisakti tewas akibat tembakan peluru
tajam yang diduga sudah direncanakan dan dilakukan oleh para penembak
professional.
Lebih dari 32 aksi demo di 16 kota di Indonesia serentak di gelar pada 13 Mei
1998 untuk menyatakan solidaritas dan menghormati arwah korban Trisakti.
Para rektor menyatakan kuliah diliburkan untuk berkabung. Orasi, yang tidak
jarang dengan isak tangis, di berbagai kampus terdengar mengutuk kekejaman
aparat keamanan Orde Baru. Bendera setengah tiang pun
secara spontan
berkibar di mana-mana. Pada tahap ini perasaan anti Soeharto dan Orde Baru
semakin mendekati puncaknya. Demo solidaritas untuk Trisakti berlanjut
selama beberapa hari sampai kerusuhan meledaki di berbagai tempat, utamanya
di Jakarta dan Solo.
30
Reaksi yang demikian luas itu menyeret publik pada suasana emosional, marah,
dan penuh perkabungan. Pemakaman ke empat mahasiswa masing-masing
dihadiri oleh ribuan massa mahasiswa dan masyarakat untuk memberikan
penghormatan terakhir. Secara spontan, sebagai apresiasi dan respek publik
pada pengorbanan mahasiswa secara umum, empat demonstran yang apes
itu diusulkan untuk dianugerahi gelar pahlawan reformasi Bahkan kemudian
setelah Soeharto jauh ada delegasi khusus dari keluarga besar Trisakti yang
datang menghadap Presiden Habibie untuk pemberian gelar itu.
31
Tanggal 13 Mei 1998, beberapa kerusuhan dan penjarahan terjadi tidak jauh dari
Universitas Trisakti, khususnya di Jalan K.H. Hasyim Asyhari, di sekitar pusat
pertokoan Roxy. Namun pada 14 Mei justru terjadi perusakan yang paling
banyak. Kerusuhan itu berlangsung terutama di beberapa jalan utama kota,
namun sebagian besar kompleks tidak disentuh. Itulah yang diperlihatkan,
misalnya, oleh posisi gedung hancur yang berderet mengikuti bentuk jalan
32
utama. Perusakan itu antara lain terjadi di poros timur-barat yang mencakup
jalan Daan Mogot, Kyai Tapa, dan K.H. Hasyim Asyahri, lokasi Universitas
Trisakti, serta poros utara-selatan mulai dari Medan Merdeka hingga Glodok
melewati jalan Gajah Mada dan Hayam Wuruk Lokalisasi lain juga diterakan :
Pasar Baru, Jalan Gunung Sahari, tetapi juga Jalan Pengeran Tubagus Angke
dan Kapuk. Deretan bangunan yang terbakar di jalan-jalan itu mencerminkan
gerak maju para perusuh dan memperrlihatkan tatanan arah yang berbentuk
garis, seperti kejadian pada 1974 dan 1996
Namun, kejadian Mei 1998 berbeda dari segi keluasan daripada kerusuhan 1974
dan 1996. Kerusuhan itu melanda semua kota madya. Memang benar tampak
jejak linier di sana sini, tetapi yang mencolok, adalah seberan wilayah yang
terkena dampaknya (perusakan parah terjadi juga di wilayah pinggiran
Tangerang, Bekasi dan Depok.
Di Jakarta Selatan, daerah pinggiran Kebayoran Baru juga mengalami
perusakan : Kebayoran Lama dan Jalan Cileduk di barat, Jalan Fatmawati di
selatan, dan Jalan Tendean di timur. Perusuh juga menyasar pusat perdagangan
Pasar Minggu yang menghimpun sebuah pasar, stasiun kereta api, dan pusat
pertokoan. Di Jakarta Timur, kerusuhan terjadi di empat kawasan utama :
pertama, di poros utara-selatan yang menghubungkan Jatinegara dan Pasar
Kramat Jati. Kedua, Di Klender terjadi kebakaran yang menewaskan ratusan
orang, Ketiga, di Jalan Kali Malang, dan terakhir di Rawamangun.
Di Jakarta Pusat, tercatat sejumlah wilayah yang mengalami huru-hara : Senen
dan Jalan Suprapto di sekitar Tanah Tinggi dan di sekitar Pasar Cempaka Putih,
Tanah Abang, Jalan Diponegoro. Namun, terutama Jalan Gunung Sahari, Pasar
Baru, Mangga Besar, dan Jalan Hayam Wuruk serta Jalan Gadjah Mada. Di
Jakarta Utara, Tanjung Priok dan Sunter terkena dampak sedikit, tetapi Teluk
Gong dan Kapuk Raya paling hancur. Sementara itu, Pluit dan daerah sekitarnya
tidak separah tetangganya. Terakhir, Kota Madya Jakarta Pusat mengalami
kerusakan sangat parah di jalan yang menuju Grogol dan Universitas Trisakti.
Selain itu, dapat ditambahkan Jalan Pengeran Tubagus Angke, Cengkareng,
sedangkan kerusakan di Kebon Jeruk tidak separah tetangganya.
33
34
Unsur utama dari kerusuhan adalah pemicu. Kebanyakan orang yang ditengarai
oleh penduduk disekitarnya tidak dikenal. Terkadang mereka meneriakan
berbagai slogan anti Tionghoa, menuduh mahasiswa pengecut karena tidak
bergabung dengan gerakannya, terkadang mereka berseru untuk menyerbu
gedung
Ciri-ciri tersebut membedakan dengan jelas orang-orang itu dari mereka yang
bergeombol dapat dikenali tentara (sejumlah anggota Badan Inteljen ABRI
(BIA) dikenali di antara para provokasi penjarahan sebuah agen mobil di
Salemba), dan juga preman (pada umumnya mereka dikenal sebagai orang
bertato, sedangkan prajurit tidak) dan anak muda yang tidak jelas asalnya
(sebagian :pemuda ini tampak tua). Pada umumnya mereka datang ke tempat
penjarahan dalam kelompok, diangkut dengan bus dan truk. Biasanya mereka
dipimpin oleh seorang ketua kelompok.
35
37
Pada hari yang sama Pimpinan ABRI Jenderal Wiranto bertemu dengan Ketua
Umum PB NU KH Abdurrachman Wahid di Wisma Yani yang didampingi oleh
Kasosospol dan Asospol ABRI. Pada pertemuan itu, Wiranto mengajak NU
untuk membantu upaya ABRI memulihkan kondisi nasional dan mencari solusi
terbaik menghadapi kemelut yang berlangsung. Jenderal Wiranto terkesan
dengan pernyataan Gus Dur yang mengatakan bahwa NU akan mendukung
sikap ABRI. Oleh karenanya Wiranto kemudian menugaskan Assospol Kasum
ABRI Mayjen Mardiyanto untuk membuat pernyataan pers. Konsep pernyataan
pers tersebut intinya adalah ucapan terima kasih ABRI kepada masyarakat
khususnya warga NU yang telah membantu memulihkan situasi sebagaimana
tertuang dalam lima butir pernyataan PB NU, Salah satu butir pernyataan
tersebut berbunyi bahwa NU sangat setuju keinginan Presiden Soeharto untuk
lengser keprabon, berhenti sebagai presiden. Konsep pernyataan pers yang
belum ditandatangani Wiranto ini dilaporkan oleh Letjen Prabowo kepada
Presiden Soeharto pada malam harinya. Berita ada laporan Prabowo kepada
Presiden Soeharto diterima Wiranto menjelang
Prabowo yang melaporkan hal itu, menurut pandangan Wiranto dianggap sudah
keluar dari norma keprajuritan, yang membuat dirinya merasa diragukan
kesetiaan oleh Soeharto.
38
Pada 17 Mei 1998 selepas subuh, Wiranto menghadap Presiden Soeharto untuk
mengklarifikasikan laporan Letjen Prabowo. Wiranto baru mengetahui secara
lengkap apa yang dilaporkan Prabowo dari Presiden Soeharto
menyiratkan bahwa Wiranto telah berkhianat
yang
39
Pada 18 Mei 1998, mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi dalam jumlah
besar diperkenankan masuk kedalam halaman gedung DPR/MPR Senayan. Izin
yang diberikan oleh Sekretariat Jenderal DPR/MPR dan penanggung jawab
keamanan setempat tidak lepas dari rekomendasi yang diberikan Pangdam Jaya.
Pihak militer memperkenankan mahasiswa berada di dalam halaman gedung
DPR/MPR dengan pertimbangan pengendalian keamanan yang lebih mudah
daripada mereka berada di luar. Rekomendasi yang diberikan Pangdam Jaya
kepada pihak keamanan gedung DPR/MPR sudah sepengetahuan Panglima
ABRI atau setidaknya sudah dilaporkan terlebih dahulu untuk mendapatkan
persetujuan. Pertimbangan kalangan militer untuk membuka halaman gedung
DPR/MPR merupakan upaya preventif mengkanalisasi terjadinya bentrokan
atau upaya pemisahan kekuatan dengan kelompok masyarakat yang dianggap
akan mendompleng aksi mahasiswa. Alasan lain, kalangan militer berpandangan
bahwa keinginan mahasiswa untuk menyampaikan aspirasinya secara langsung
ke DPR sudah sangat sulit untuk dibendung. Setelah peristiwa Trisakti yang
diikuti oleh kerusuhan massal hari-hari berikutnya, aparat nteljen sudah
mengetahui adanya rencana kalangan mahasiswa untuk menguasai gedung
DPR/MPR yang akan mendesak dilakukannya reformasi nasional. Kalangan
militer khususnya aparat inteljen sudah mencium adanya link-up antara para
aktivis
mahasiswa
dan
tokoh-tokoh
reformasi
atau
oposisi
dalam
40
perkembangan terakhir.
Ketua DPR Harmoko dan disiarkan secara luas, meminta Presiden Soeharto
mengundurkan diri. Sikap pimpinan DPR tersebut mendapatkan reaksi dari
pimpinan militer yang tidak mengetahui hal itu sebelumnya. Salah satu wakil
Ketua DPR/MPR dari ABRI Letjen Syarwan Hamid, mengakui bahwa pimpinan
DPR/MPR tidak sempat berkonsultasi
41
42
Tidak adanya petunjuk resmi dari Mabes ABRI baik dari Panglima maupun
Kasosspol dalam menghadapi perkembangan situasi menjadi salah satu alasan
yang menyebabkan para anggota Fraksi ABRI di legislatif
mendukung
oleh
Letjen
Susilo
Bambang
Yudhoyono
kepada
yang
Sore hari pada 18 Mei 1998, beberapa perwira tinggi ABRI menghadap
Presiden Soeharto di Cendana, secara terpisah. Selain Jenderal Wiranto yang
datang belakangan, hadir Jenderal Subagyo HS. Mayjen Sjafrie Sjamsoeddin
dan Letjen Prabowo Subianto. Secara terpisah mereka melaporkan
perkembangan situasi sesuai dengan ruang lingkup tugasnya. Tidak ada pesan
khusus dari Presiden Soeharto kepada para perwiea selain mrnanyakan hal-hal
yang terkait tugas masing-masing.
Secara khusus, Presiden Soeharto menyampaikan kepada Jenderal Wiranto
sebagai penerima Inpers No 16/1998. Inspres tersebut memberikan kewenangan
kepada Jenderal Wiranto selaku Panglima Komando Operasi Kewaspadaan dan
Keselamatan Nasional untuk menentukan kebijakan tingkat nasional
menghadapi krisis, mengambil langkah meniadakan sumber gangguan
43
48
50