Anda di halaman 1dari 4

Gerakan Ikhwanul Muslimin

A. Gerakan di Mesir

Semenjak berdirinya Ikhwanul Muslimin (IM) pada tahun 1928 peta politik mesir
mengalami perubahan. IM dengan kekuatan masa yang besar menjadi sebuah organisasi
berpengaruh di negara kelahirannya, yaitu Mesir. Pergulatan Ikhwanul Muslimin dengan
pemerintah Mesir sering diwarnai adanya konspirasi, penindasan, yang kemudian disambut
dengan demonstrasi dan persaingan merebut kekuasaan. Kekuatan mereka yang mengakar,
sangat ditakuti pemerintahan Ahmad Mahir Pasha, sehingga berusaha menghalangi Ikhwan
dalam persaingan pemilu dengan memalsukan hasil pemilu, menghalangi para calon dan
menangkap para aktivis Ikhwanul Muslimin. Kebijakan yang ketat terhadap Ikhwan juga
diwarisi oleh pengganti Ahmad Mahir Pasha, alNuqrasyi Pasha yang menuduh Ikhwanlah yang
berada di balik pembunuhan Ahmad Mahir Pasha. Kebijakan al-Nuqrasyi Pasha ini berbuntut
demonstrasi yang dilakukan Ikhwanul Muslimin, yang membuahkan hasil dengan mundurnya al-
Nuqrasyi pada tanggal 15 Pebruari 1946.1

Berkaca dari kepemimpinan dua generasi Ahmad Mahir Pasha dan al-Nuqrasyi Pasha
yang dinilai gagal, Ismail Shidqi Pasha yang menggantikan al-Nuqrasyi berusaha mengakomodir
aspirasi Ikhwanul Muslimin. Strategi kepemimpinannya, dengan mendekati Ikhwan dan
mengajak tokohnya untuk bekerjasama. Hal ini memang menguntungkan pemerintah, namun
justru merugikan Ikhwanul Muslimin yang menghadapi serangan dan fitnah keji yang
dilancarkan oleh partai Wafd dan Komunis. Mereka juga menuduh Ikhwanul Muslimin memihak
pemerintahan Shidqi Pasha, padahal mereka selamanya akan selalu kritis terhadap kebijakan
pemerintah.2

Era Gamal Abdunnasser. Meskipun Nashr dan revolusi pada awalnya mendapat
dukungan dari Ikhwanul Muslimin, usai revolusi Ikhwanul Muslimin menentangnya setelah
terbukti bahwa Nasser tidak berniat mendirikan negara Islam, tetapi mempromosikan
nasionalisme dan sosialisme Arab sekuler. Ketika hubungan dengan Ikhwanul Muslimin
memburuk, pemerintah dan Ikhwanul Muslimin terlibat dalam peperangan sporadis yang dalam
beberapa kesempatan meledak menjadi tindak kekerasan. Akhirnya, pada 1966, Nasser bertindak
tegas menumpas Ikhwanul Muslimin sampai ke akar-akarnya, menghukum mati Sayyid Qutb,
ideolog utamanya dan tokoh-tokoh lain, menahan dan memenjarakan beribu-ribu orang, serta
mengejar anggota lain hingga mereka bersembunyi atau lari ke pengasingan. Menjelang akhir
periode Nasser, negara telah membelenggu lembaga keagamaan dan membungkam oposisi
Islam, termasuk Ikhwanul Muslimin.3

1
Umma Farida, Peran Ikhwanul Muslimin Dalam Perubahan Sosial Politik Di Mesir, Jurnal Penelitian, Vol.8, No.1,
(Kudus: IAIN Kudus, 2014)
2
Ibid.
3
Ibid.
Era Anwar Sadat, yang memerintah dari tahun 1971 hingga 1981, mewarisi Mesir dari
tangan Nasser. Dia meraih kekuasaan ketika Arab mulai bangkit dari keterpurukannya tahun
1967 dan setelah kematian Nasser. Sadat sadar akan kondisi ini, sehingga ia berusaha
membentuk identitas dan legitimasi politiknya sendiri, memanfaatkan Islam untuk
menyingkirkan pengaruh kekuasaan kubu Nasseris dan kelompok kiri. Namun, kebijakan
akomodatif Sadat ternyata tidak berlangsung lama, Peran Ikhwanul Muslimin dalam Perubahan
Sosial Politik di Mesir otoriterisme kembali menyelimuti Sadat dan penindasan terhadap para
penentangnya semakin luas, termasuk para pengritik kebijakan-kebijakan dalam negeri maupun
luar negerinya. Ikhwanul Muslimin Melalui majalah yang ia punya yaitu al-Da’wa sering
melontarkan kritik kepada Sadat. Salah satunya adalah penolakan kebijakan untuk mengadakan
perdamaian dengan Israel. Dalam majalan tersebut ditulis, “Mustahil hidup berdamai dengan
Israel”. IM melalui Al-Da’wa menuduh Sadat menjual kemerdekaan Mesir kepada Amerika,
sama dengan apa yang dilakukan Nasser kepada Soviet.4

Tindakan keras ini mencapai puncaknya pada 1981, ketika Sadat memenjarakan lebih
dari 1500 orang dari berbagai lapisan masyarakat; aktivis Islam, pengacara, dokter, wartawan,
dosen universitas, penentang politik dan mantan menteri pemerintahan. Penahanan-penahanan
itu menyulut perlawanan Islam yang semakin radikal, dan akhirnya berpuncak pada pembunuhan
Anwar Sadat, pada 3 November 1981 oleh para anggota Jamaah al-Jihad ketika dia sedang
meninjau parade militer memperingati perang 1973.

Pada masa Husni Mubarak, yang sebelumnya menjabat Wakil Presiden, tampil mengisi
jabatan presiden dengan semangat dan strategi baru. Gaya Presiden Mubarak, maupun gaya
kebangkitan Islam mengalami perubahan pada 1980-an setelah kematian Sadat. Jika kebangkitan
Islam selama tahun 1970-an tampil sebagai gerakan konfrontasi dan kekerasan, pada tahun 1980-
an gerakangerakan Islam masuk ke dalam arus utama dan pelembagaan aktivitas Islam.

Dalam rangka melebarkan pengaruh ideologinya, IM melakukan perluasan gerakan yang


berkaitan dengan partisipasi publik. IM membentuk organisasi masyarakat yang bernama Islamic
Trends untuk memfasilitasi infiltrasi IM pada asosiasi-asosiasi profesional di Mesir. 5 Tidak lama
Islamic Trends mengikuti pemilihan umum di asosiasi insinyur, dokter gigi, ilmuan, agronomis,
farmasi, jurnalis, pengacara dan pegawai swasta. Islamic Trends mampu memenangkan beberapa
posisi strategis di asosiasi-asosiasi tersebut, hal itu menjadikan Islamic Trends (Ikhwanul
Muslimin) menjadi blok kekuatan politik baru bagi elit profesional yang sudah ada sebelumnya.
Kemenangan Islamic Trends dalam menguasai asosiasi-asosiasi profesional membuat IM lebih
leluasa dalam mengekspresikan kepentingan mereka. Karena elite dari profesional memiliki
akses yang besar dengan menguasai pekerja dan karyawan di seluruh sektor publik. Cara ini
cukup efektif mengingat IM dilabeli sebagai organisasi terlarang sehingga pergerakannya
terbatas.
4
Dipid Hiro, The Rise of Islamic Fundamentalism, (New York: An Imprint Rouledge, 1989), hal. 78
5
Munson Ziad, Islamic Mobilization: Social Movement Theory and the Egyptian Moslem Brotherhood, the
Sociological Quarterly, Vol. 42 No.4, Department of Sociology, (Cambridge: Harvard University, 2001), hal. 33.
IM kemudian menjadi kekuatan Counter Hegemony penguasa pada saat itu. IM dalam
gerakan politiknya memanfaatkan partai oposisi sebagai sarana bagi kader IM untuk ikut
kontestasi pemilihan legislatif tahun 2005. Dengan memprioritaskan pada permasalahan social-
ekonomi IM mampu menarik simpati rakyat mendapat 88 kursi di parlemen dari 150 kandidat
IM yang ikut dalam pemilihan ini.6 IM mampu menunjukan dirinya sebagai organisasi social
yang efektif dalam meraih dukungan masyarakat mesir karena mampu mengartikulasikan
kepentingan rakyat.

Ikwanul Muslimin kemudian dianggap sebagai salah satu gerakan politik Islam yang
paling berpengaruh dalam kebangkitan gerakan Islam di Timur-Tengah dan dunia pada Abad ke
20. Gerakan IM berhasil menjadi pionir bagi lahirnya ide penyatuan gerakan agama dengan
politik. Hal tersebut menjadi inspirasi bagi model gerakan serupa di Yordania, Palestina, Turki,
Aljazair dan berbagai negara Islam lainnya. Gerakan IM menyebarkan ide transnasionalisme
Islam dan adanya kebangkitan Islam pasca runtuhnya kekhalifahan di Turki.7

Sebagai eksistensi gerakan Islam transnasional, sampai saat ini persebaran Ikhwanul
Muslimin berada di 70 negara, mulai dari Eropa, Timur Tengah, Asia hingga Amerika Serikat
Serikat dan Kanada. Walaupun dengan nama Ikhwanul Muslimin berbeda-beda di setiap negara,
meskipun demikian semua disatukan oleh pemikiran dan metodologi pergerakan IM. Gerakan
Ikhwanul Muslimin secara internasional dikendalikan oleh Mursyid ‘Am (pemimpin umum)
Ikhwanul Muslimin. Pada dasarnya IM menggunakan cara non-kekerasan dalam mencapai
tujuannya, dengan memanfaatkan jalur tarbiyah, bersifat moderat dan memakai instrumen
demokrasi untuk mewujudkan “Daulah Islamiyah”. Cara tersebut terbukti berhasil dengan
kemenangan partai jejaring Ikhwanul Muslimin yang berada di beberapa negara dalam pemilihan
di sekitar tahun 2004-2009. Bisa dilihat dalam data kemenangan partai Jejaring Ikhwanul
Muslimin dalam pemilihan parlemen tahun 2004-2009 di beberapa Negara. Mesir 88 Kursi 20%,
Aljazair 38 Kursi 7%, Bahrain 4 Kursi 33%, Jordania 20 Kursi 23%, Maroko 42 Kursi 12%,
Palestina 74 Kursi 56% Bangladesh 18 Kursi 6%.8

B. Gerakan di Indonesia

Gerakan Tarbiyah yang identik dengan Ikhwanul Muslimin (IM) juga menjadi salah satu varian
gerakan Salafi yang berkembang di tanah air. Dan disebut-sebut, gerakan inilah yang
mempelopori berdirinya Partai Keadilan (PK) atau Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Model
Tarbiyah dipopulerkan oleh Imaduddin Abdurrahim melalui diskusi-diskusi intensif yang di
selenggarakan oleh Lembaga Dakwah Kampus (LDK) yang menggunakan Masjid Salman
Institut Teknologi Bandung (ITB) sebagai pusat aktivitasnya. 9 Transmisi gerakan Tarbiyah
semakin mengemuka, ketika gerakan yang dibangun oleh Imaduddin mendapat dukungan dari
6
Adhe Nuansa Wibisono, Perjuangan Politik Al-Ikhwan Al-Muslimin dalam Melawan Rezim Otoritarianisme di
Mesir Pada Era Gamal Abdul Nasser sampai Hosni Mubarak (1957-2011), Skripsi, (Universitas Gadjah Mada
Yogyakarta, 2011), hal. 8.
7
Ibid, hal, 11.
8
Munson Ziad, hal. 41.
Alumni Lembaga Ilmu Islam dan Sastra Arab (LIPIA) Jakarta yang saat itu masih bernama
Lembaga Pengajaran Bahasa Arab (LPBA). Para alumni ini mendapatkan rujukan tentang
gagasan IM melalui interaksi langsung mereka dengan aktifis IM, ketika mereka mendapatkan
beasiswa melanjutkan studinya di Timur Tengah.10

Puncak kematangan gerakan Tarbiyah di Indonesia mulai terlihat pada awal tahun 90-an.
Saat itu, aktivis-aktivis Tarbiyah praktis menguasai organisasi intra kampus di sebagian besar
perguruan tinggi bergengsi di tanah air. Dan seiring dengan mulai munculnnya krisis nasional
pada tahun 1998, aktifis Tarbiyah mendirikan Kesatuan Aksi Mahasis Muslim Indonesia
(KAMMI) dan Himpunan Antar Muslim Kampus (HAMMAS), tepatnya di bulan April 1998.
Setelah jatuhnya Suharto, beberapa tokoh kunci gerakan Tarbiyah terlibat aktif dalam
pembentukan Partai Keadilan (PK).11

9
James J. Fox, Currents in Contemporary Islam in Indonesia, Harvard Asia Vision 21, 29 April – 1 May, (Cambridge:
Harvard University), 2004.
10
M. Imaduddin Rahmat, Arus Baru Islam Radikal, Transmisi Revivalisme Islam Timur Tengah ke Indonesia,
(Jakarta: Erlangga, 2005), hal. 83-84
11
Anthony Bubalo and Greg Fealy, Joining the Caravan?, Middle East, Islamism and Indonesia, (New South Wales:
The Lowy Institute for International Policy, 2005), hal. 69.

Anda mungkin juga menyukai