Anda di halaman 1dari 6

PROLOG

Islam dalam Perspektif Indonesia

Apapun politik terhadap Islam yang dilancarkan oleh kekuasaan


non Islam hasilnya senantiasa berbeda dari apa yang ingin dikejar
kekuasaan tersebut. Kekuatan dunia memang sedang mencoba
menyudutkan atau bahkan menghabisi Islam untuk mencapai
tujuan-tujuan politiknya, tapi sekali lagi, semakin mereka
mendegradasi Islam semakin mereka tahu kemuliaan Islam

Betapapun lamanya Indonesia dikuasai imperialisme Eropa, pada


akhirnya seluruh modal, persenjataan, manusia dan seluruh upaya
yang mereka lakukan tidak dapat mewujudkan misi mereka. Tak dapat dipungkiri, kekuatan
Indonesia karena umat Islamnya.

Diskusi saya secara terpisah dengan Prof. Amien Rais, Prof. Jimly Asshiddiqie dan Prof.
Azyumardi Azra menyimpulkan ada semacam kesepakatan kita bahwa karena adanya akar
sejarah Islamlah yang menyebabkan Indonesia cukup kuat.

Prof. W.E Werstheim dalam pengantar buku Harry J. Benda mengatakan, Islam Indonesia pada
masa pendudukan Jepang seperti “Bulan Sabit dan Matahari Terbit”. Analisis cerdas dari
Wertheim terhadap kajian Harry Benda yang melakukan studi umat Islam Indonesia pada masa
pendudukan Jepang - telah menunjukkan betapa "kedigdayaan" umat Islam Indonesia pada saat
itu.

Dr. Harry Benda dalam bukunya "The cresent and the rising sun, Indonesian Islam under the
Japanese occupation, 1942-1945" menegaskan kekuatan Islam di bumi Nusantara: Bahwa
berkembangnya agama Islam di kepulauan Indonesia sudah berlangsung selama beberapa abad
lalu. Sejak awal abad ke 13 berdiri kerajaan Islam di ujung Sumatera Utara (Kerajaan Samudra
Pasai). Sekitar permulaan abad ke 15, Islam telah menguat di Malaka, dan Malaka menjadi
pusat perdagangan Asia Tenggara, dan dari sini pula Islam melebarkan sayap ke wilayah
Indonesia lainnya.

Islam di Pulau Jawa, berkembang sejak kedatangan Wali Songo yang berdakwah di sejumlah
wilayah yang tersebar tahun 1400-an. Sesuai namanya, Wali Songo merujuk pada jumlah
sembilan ulama yang tingkatannya adalah Waliyullah. Kesembilan Wali ini berdakwah di tanah
Jawa atas inisiatif Kekhalifahan Usmani yang ketika itu dipimpin oleh Sultan Suleiman Al
Qonuni. Pada masa ini Kekhalifahan Usmani berada dalam masa puncak kejayaan dengan
wilayah negeri yang dikuasainya mencapai sepertiga dunia, meliputi sebagian Asia, Afrika dan
Eropa. Adapun yang tegas menunjukkan waktu kedatangan Islam ke Jawa dapat dilihat dari
tahun pembangunan Masjid Sunan Giri (1442) dan Masjid Marunda (1527). Setidaknya, jika
para wali membangun masjid berarti adanya kebutuhan tempat beribadah untuk masyarakatnya
yang sudah masuk Islam.

Pergolakan di Tunisia, Mesir, Libya dan negeri-negeri di Timur Tengah lainnya yang dikenal
sebagai “Arab Spring” sesungguhnya adalah serangkaian gerakan protes dan pemberontakan
yang dilakukan oleh masyarakat pro-demokrasi di Timur Tengah dan Afrika Utara pada awal
tahun 2010-an. Tujuan dari gerakan ini adalah menggulingkan kepemimpinan otoriter,
menuntut kehidupan yang demokratis, dan menghormati hak asasi manusia. Dan yang
memperjuangkan ini adalah umat Islam. Hikmah pengalaman Arab Spring untuk Indonesia
adalah jangan mudah di intervensi asing. Karenanya sebagai muslim harus lebih ulet dan kritis
agar tidak lemah.

Perkembangan Islam di Indonesia tidak lepas dari pasang surutnya dakwah Islam. Namun jika
hendak melihat bagaimana kondisi Islam di Indonesia saat ini, lihat saja jumlah masjid, Islamic
Center, pesantren, organisasi dan Lembaga-lembaga Islam, perguruan tinggi Islam, sekolah
Islam, madrasah, dan tentu jumlah umat Islamnya. Inilah indikatornya.

Menurut laporan pemerintah Belanda tahun 1831, jumlah lembaga pendidikan Islam tradisonal
di luar kesultanan Surakarta dan kesultanan Yogyakarta ada sekitar 853 pesantren. Pada tahun
1885 jumlahnya telah menjadi 14.929 pesantren dengan total jumlah santri sekitar 222.663
orang. Peningkatan ini dimungkinkan karena munculnya kesadaran kaum pribumi pasca
merebaknya Perang Jawa antara pasukan yang dipimpin Pangeran Diponegoro melawan
Belanda tahun 1825-1830. Ada semacam kebangkitan keagamaan (religious revivalisme).
Perang Jawa adalah perang besar, baik ditinjau dari segi luasan (meluas sampai ke Jawa Timur),
pasukan dari kedua belah pihak, dan biaya perang. Bedanya pasukan Pangeran Diponegoro
memperoleh dukungan biaya perang dari penduduk muslim yang berempati dan memiliki cita-
cita sama untuk mengusir penjajah, sementara tentara Belanda dimodali oleh pemerintah
Hindia Belanda. Maju perang dengan niat ibadah dengan perang demi tugas tentu beda
hasilnya. Itulah yang menyebabkan pasukan Pangeran Diponegoro tidak pernah kehabisan
energi selama lima tahun berperang. Sedangkan Belanda yang sudah terpojok dan kewalahan
menggunakan cara licik perundingan yang hanya akal-akalan untuk menangkap Pangeran
Diponegoro.

Di samping itu ditandai semakin represifnya sikap pemerintah kolonial Hindia Belanda, begitu
dibuka Terusan Suez tahun 1869 hubungan Eropa - Asia termasuk hubungan Indonesia (Jawa-
Arab) lancar. Hal ini merupakan penyebab penyebaran Islam ke pedesaan lancar dan jamaah
haji semakin lancar. (Baca: M. Natsir Zubaidi, (editor) Mendesain Masjid Masa Depan,
Pustaka Insani Indonesia - Jakarta, 2011).

Jika di negara-negara Timur Tengah berlaku tradisi kerajaan dan fanatisme kesukuan lebih
kuat daripada fanatisme agama, maka Islam di Indonesia di samping memiliki tradisi, adat,
nasionalisme dan kesukuan, juga memiliki pilar penguat berupa organisasi keagamaan, seperti
Syarikat Dagang Islam (SDI; 1905) yang diprakarsai M. Samanhudi dan Tjokroadisuryo,
Muhammadiyah yang dipimpin KH. Ahmad Dahlan (1912), Jong Islamics Bond oleh
Syamsurizal (1920), Nahdlatul Ulama atas Prakarsa KH. Hasyimn Asy'ari (1926). Inilah pilar
kekuatan Islam yang tidak dimiliki oleh negara-negara lain. Sebagai perbandingan, di negara
Arab Saudi, organisasi semacam ini tidak boleh didirikan.

Pada masa pendudukan Belanda maupun Jepang, Pemerintah Kolonial selalu melakukan
tekanan politik dan upaya memecah belah untuk menguasai (Devide et Impera). Maka adanya
ancaman dari luar itu akhirnya telah menyebabkan jurang perbedaan, yang menurut istilah
Harry Benda adalah antara kaum reformis dengan kaum orthodoks. Siapa mengira bahwa
Muhammadiyah (reformis) dan Nahdlatul Ulama (orthodoks) kemudian bekerjasama
mendirikan federasi Islam dengan nama Majelis Islamil A'laa Indonesia (MIAI) atau Majlis
Agung Islam Indonesia di Surabaya tahun 1937. Inilah Islam.

Dan dari MIAI inilah merupakan embrio adanya Partai Islam - Majelis Syuro Muslim Indonesia
(Masyumi) dengan pilar organisasi NU dan Muhammadiyah dengan tokoh-tokohnya KH.
Hasyim Asy'ari, Wahyu Hasyim, Kyai Mas Mansur dan Kahar Muzakir. Pendapat saya pribadi,
organisasi MIAI adalah pemersatu dalam ukhuwah Islamiyah dalam perjalanan bangsa
Indonesia. Karena dari tokoh yang berasal dari MIAI seperti KH. Hasyim Asy'ari, KH. Mas
Mansur, KH. Wahid Hasyim, KH. Kahar Mudzakir dan Abi Koesno,adalah tokoh-tokoh Islam
yang telah banyak memberikan andil dan kontribusi dalam pembentukan bangsa dan negara
Indoesia.
Pada saat reformasi, bangsa Indonesia berada di persimpangan jalan dengan adanya tarik
menarik antara kekuatan orde lama (Megawati SP) dengan kekuatan orde baru (BJ Habibie).
Maka muncullah "poros tengah" yang berperan sebagai sabuk pengaman bangsa (seat belt of
nation) yang akhirnya menampilkan tokoh Islam Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dari NU
sebagai Presiden. Tokoh Islam Politik Amien Rais dari Muhammadiyah sebagai ketua MPR-
RI, dan tokoh nasional Akbar Tanjung dari HMI sebagai ketua DPR-RI. Komposisi itu
setidaknya merupakan upaya pengamanan, pada masa transisi bangsa Indonesia pergantian
rejim Soeharto yang telah berkuasa selama tiga dekade.

Kita bangga bahwa keberadaan Majelis Ulama Indonesia (MUI) mampu berperan sebagai
payung atau tenda besar umat Islam. Sejak berdirinya hingga saat ini, MUI telah banyak
memberikan kontribusi yang cukup besar terhadap stabilitas dan keutuhan negara dan bangsa
Indonesia. Dan kita bangga karena bangsa Indonesia negara dengan penduduk muslim terbesar
di dunia dipandang telah menjalankan perannya sebagai negara demokrasi. Menlu AS, Hillary
Clinton, dalam kunjungan ke Jakarta tahun 2010, menyatakan pengakuan ini: "Kalau Anda
ingin belajar tentang gender, perubahan iklim, Islam dan demokrasi datanglah ke Jakarta". (If
you want learn about woman, climate change, Islam and democracy please come to Jakarta).

Mantan Perdana Menteri Inggris Tony Blair dalam pertemuannya dengan Wakil Presiden
Boediono akhir Agustus 2011, juga mengapresiasi proses transisi demokrasi yang berlangsung
di Indonesia. Tony Blair juga sempat membandingkan dengan krisis politik yang terjadi di
Timur Tengah dan memulai bahwa, demokrasi Indonesia yang berlangsung di Indonesia sudah
cukup baik. Demokrasi itu penting, tetapi juga tidak kalah penting adalah pemerintahan harus
bekerja secara efektif pula. (Kompas, 24/8/ 2011)

Lembaga survei Jerman Frederich Naumman Stiftung (JFNS) memuji proses demokratisasi di
Indonesia dan kecenderungan meningkatnya konservatisme' keagamaan (Islam) diantara anak-
anak muda muslim di kawasan ini. Nampaknya 'konservatisme' yang dimaksudkan oleh
lembaga Jerman itu adalah meningkatnya bentuk ketaatan atau kedekatan keagamaan (religius
attachment) anak muda di Asia Tenggara, khususnya di Indonesia.

Ada lagi survei global bertajuk 'Visual on Globalization and Faith' yang dilakukan oleh IPSOS,
menyatakan hasil survei tentang agama sebagai mediator kedermawanan (giving)
kedermawanan dalam bentuk pemberian uang, menempatkan muslim Indonesia sebagai yang
paling dermawan diantara tiga negara: Muslim Indonesia (91%), Arab Saudi (719%) dan
muslim Turki (33%).
Dengan data dan fakta tersebut diatas maka Islam Indonesia terbukti sudah sangat berakar dan
sudah menjadi faktor common denominator bagi bangsa Indonesia . Kalau saja kualitas umat
ini mampu dipelihara, negara akan jaya.

Ada pesan Pemimpin Islam, mantan Ketua Umum Masyumi/Ketua Dewan Dakwah Islamiyah
Mohammad Natsir ketika berkhutbah di IPB tahun 1968, agar kita memelihara tiga pilar umat
Islam: masjid - pesantren - Kampus.

Data di atas belumlah seberapa. Namun tujuan menampilkan data tersebut untuk mendudukkan
bahwa Islam dan umat Islam Indonesia telah berperan dalam poros inti pembangunan kemajuan
peradaban Indonesia yang rahmatan lil alamin.

Saat berbicara tentang konstelasi Islam di dunia saat ini, terdapat setidaknya empat negara
yang saling mengkampanyekan gaya Islam yang berbeda-beda ke dunia. Arab Saudi dengan
Islam wahabismenya, Iran dengan Islam Syiah-nya, Turki dengan sekularisme Islam-nya,
dan Mesir dengan Islam Al-Azhar-nya. Di sela-sela kedigdayaan empat negara Islam
tersebut dalam mewarnai peradaban Islam kekinian, tanpa menafikan negara-negara Islam
lainnya, muncul kekuatan alternatif Islam dari Asia Tenggara yang diwakili Indonesia dan
Malaysia.

Indonesia dan Malaysia menjadi wajah alternatif dunia Islam karena beberapa hal, di
antaranya populasi umat Islam yang menjadi mayoritas di kedua negara, warna Islam yang
sangat mencolok dalam kehidupan publik, dan stabilitas yang lebih baik jika dibandingkan
dengan negara Islam di Timur Tengah. Menawarkan Islam yang cair

Malaysia lebih nyaman menjadi negara monarki demokratis dengan rasa Islam di konstitusi,
sedangkan Indonesia dalam wadah republik berketuhanan mengusung Islam Wasathiyah.

Islam wasathiyah adalah aset unik muslim Indonesia di tengah isu global.
Di tengah persoalan umat Islam yang terjadi saat ini maka konsep Islam Wasathiyah menjadi
semakin relevan. Bahkan prinsip politik luar negeri Indonesia bebas aktif juga karena sejalan
dengan Islam Wasathiyah.

Wasathiyah dalam Islam bertumpu pada tauhid sebagai dasar ajaran Islam dan penegakan
keseimbangan. Realisasinya berbasis tiga hal: akidah, toleransi dan realistis. Akidah umat
Islam di Indonesia tak bisa diganggu. Di dunia internasional, toleransi musllim Indonesia kuat
dan mencerminkan Islam yang moderat, lentur, luwes. Sedangkan realistis adalah jalan yang
dkitempuh dalam memperjuangkan keadilan.

Dengan konsepsi ini sebenarnya Indonesia dapat menawarkan peran strategis dalam
penyelesaian konflik di kawasan Timur Tengah, Eropa, Asia Selatan, persaingan antara
Tiongkok-Amerika, dan wilayah konflik. Tetapi juga tidak boleh kepedean. Kita merasa sudah
cukup umur menjalankan peran strategis di dunia Islam maupun di dunia internasional, tetapi
kita sendiri dipandang belum cukup umur dan pengalaman untuk memainkan peran itu. Jam
terbangnya belum tinggi.

Persoalan ke depan, Indonesia tidak lepas dari terpaan arus globalisasi, yang difaktori oleh era
revolusi industri 4.0. dan era disrupsi dimana perubahan akan berlangsung demikian cepat. Kita
ingin memastikan bahwa Indonesia – dengan kekuatan umat Islamnya - mampu menghadapi
trend dunia ke depan, berada di poros tengah dan menjadi katalisator peradaban.

"Hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh
dan berbuat kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar, merekalah orang-orang
yang beruntung" (QS. Ali Imran : 104)

(Natsir Zubaidi).

Anda mungkin juga menyukai