Anda di halaman 1dari 5

REVIEW

GENEALOGIES OF ISLAMIC RADICALISM IN POST-SUHARTO INDONESIA

KARYA MARTIN van BRUINESSEN

Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Agama & Masyarakat

Dosen Pengampu: Dr. Sunarwoto, S.Ag., M.A.

Kelompok 1

1. Muhammad Zikri (21xxxxxxxxxx) 7. Malik Luqman H (212xxxxxxxx)


2. Helma Winda (21xxxxxxxxxx) 8. Lalu Pradipta Jaya B. (21200012039)
3. Nurul Fajri A. (21xxxxxxxxxx) 9. Hafiidz Adhi T (212xxxxxxxx)
4. Alif Muhammad Z. (21200012022) 10. Noni Aprilia J.A (212xxxxxxxx)
5. Tirta Rhamadanty (212xxxxxxxxx) 11. Vera Sari (212xxxxxxxx)
6. Miftahul Ulum (212xxxxxxxxx) 12. Febiola Cindi F.D. (212xxxxxxxx)

PSIKOLOGI PENDIDIKAN ISLAM

FAKULTAS PASCASARJANA INTERDISCIPLINARY ISLAMIC STUDIES

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA

2022
Introduction
Transformasi Masyumi
Pada tahun 1965 sampai dengan 1966, dijumpai peristiwa pembubaran Partai Komunis
Indonesia (PKI) secara fisik yang artinya ideologi dari PKI ini masih eksis dan ada di Indonesia,
di antara tahun tersebut pun terjadi penggulingan Sukarno dan Suharto mengukuhkan dirinya
sebagai pemimpin baru, kemudian di era kepemimpinan Suharto inilah para pemimpin Masyumi
dibebaskan dari penjara tetapi tidak diizinkan memainkan peran politik. Setelah itu terbentuklah
partai bernama Parmusi sebagai alih atau nama lain Masyumi, namun partai ini tidak
berkembang karena tidak mendapat dukungan dari para pemimpin Masyumi sebelumnya.
Menurut penulis hal ini terjadi karena adanya dua kubu dalam satu partai.
Kelompok pertama dipimpinan oleh tokoh yang terkenal puritan dan karismatik yakni
Mohammed Natsir, Natsir dinilai lebih condong pada dakwah daripada eksis di dunia politik, hal
tersebut termanifestasi melalui organisasi yang didirikan oleh Natsir yakni DDII pada tahun
1967, organisasi ini menolak Piagam Jakarta (Jakarta Charter) yang artinya menolak kehidupan
secara syariah. Namun dalam hal tersebut penulis menemukan ketidakmungkinan sikap pada
DDII karena pada saat itu Arab Saudi menggelontorkan dana untuk membiayai penyebaran
ajaran Islam konservatif dan puritan namun di dalam DDII terdapat keyakinan akan gaya
demokrasi barat sekaligus kekhawatianr dengan upaya misionaris Kristen sebagai ancaman
terhadap Islam.
Kelompok kedua adalah tokoh Masyumi yang meninggalkan oposisi terhadap Orde Baru
Suharto dan bergabung dengan mesin politik Golkar. Disebutkan pada artikel ini bahwa pada
awal 1970-an, Golkar masih didominasi oleh Muslim nominal dan sekularis, kemudian pada
akhir 1980-an, mereka menjadi minoritas, dan pada 1990-an Golkar bertransformasi menjadi
sebuah merek Islam yang konservatif, yang kemudian dilindungi oleh Suharto.
Pada tahun-tahun awal Orde Baru, generasi baru pemimpin Himpunan Mahasiswa Islam
menciptakan wacana Muslim liberal baru yang sangat cocok dengan depolitisasi Islam yang
dianggap perlu oleh para penasihat Suharto sehingga Orang-orang dari kalangan ini merasa
mudah untuk berkarir di bidang politik (Golkar), birokrasi, pendidikan, dan bisnis. Mereka
adalah generasi pertama pria dan wanita muda dengan latar belakang Muslim yang ketat untuk
bergabung dengan kelas menengah baru.
Pelarangan Masyumi dan depolitisasi umum yang diterapkan pada Islam Indonesia di
bawah Suharto yang menyebabkan peralihan ke pemikiran Islam sehingga wacana muslim
tersebut muncul karena mulai banyak pemikir-pemikir Islam reformis yang terilhami oleh
reformis Mesir Muhammad 'Abduh dan khususnya Rashid Ridha. Kemudian terdapat
pertumbuhan penerbitan Islam yang dimulai pada 1980- an, pertumbuhan penerbitan ini
mencerminkan pluralisme dan keterbukaan banyak Muslim Indonesia terhadap ide-ide baru.
Pada masa tersebut Ide-ide yang mungkin memberikan pengaruh intelektual yang paling kuat
adalah dari para pemikir Iran yakni Ali Syari'ati dan Murtaza Muthahhari. Kedua penulis ini
sangat menarik bagi mahasiswa dan intelektual muda. Ketertarikan mereka sebagian karena,
tidak diragukan lagi, karena hubungan mereka dengan revolusi Iran. Penemuan para pemikir ini
menciptakan minat yang luas terhadap Syi'ah, terutama di kalangan mahasiswa yang tidak puas
secara politik.
DDII menanggapi perkembangan ini dengan cara yang semakin tidak bersahabat, DDII
secara lebih keras menentang ajaran Syi'ah dan mencela Syiah sebagai penyimpangan fatal dari
Islam dan menerbitkan serangkaian traktat dan buku anti-Syiah. Kegiatannya tampak semakin
terfokus pada ancaman yang dirasakan yakni ancaman dari Syiah dan liberalisme Islam, serta
ancaman dari luar (ancaman Kristen dan Yahudi terhadap dunia Islam). Tampaknya DDII
percaya pada konspirasi orang Kristen (terutama Katolik keturunan Cina) untuk 'menggulung
kembali' Islam di Indonesia, atau setidaknya untuk menghancurkannya sebagai kekuatan politik.
Transformasi Darul Islam

Pada paragraph ini membahas terkait dengan pemberontakan Darul Islam yang
berlangsung hingga tahun 1960-an. Penulis menjelaskan bahwa jaringan ini tidak sepenuhnya
hilang meskipun banyak diantara anggotanya yang berusaha untuk menghilangkan kontak
dengan sesame anggotanya serta stigma pemikiran dari jaringan darul islam ini. Namun perlu
diketahui bahwa bukan berarti jaringan ini sepenuhnya telah hilang. Terbukti dengan peristiwa
komunis di tahun 1965, badan intelejen melaporkan bahwa par veteran Darul Islam di jawa barat
tepatnya di Kabupaten subang datang ke sebuah perkebunan guna membunuh para pekerja
perkebunan yang dianggap komunis.
Penulis kemudian menjelaskan kembali, yakni pada tahun 1970-an dan awal tahun 1980-
an. Telah terjadi peristiwa-peristiwa terorisme yang mengatasnamakan islam. Adapun bentuk
terornya seperti pengeboman gereja, klub malam dan bioskop. Media pun menjelaskan bahwa
semua peristiwa ini berkaita dengan kelompok gelap bernama “Komando Jihad” dan dampak
dari peristiwa ini seolah-olah mencegah masyarakat untuk tidak memilih satu-satunya partai
muslim saat itu, PPP. Mengapa hal ini ini dikaitkan dengan partai ?, karena peristiwa ini hal-hal
ini terjadi saat menjelang pemilu.
Kembali ke pembahasan tentang Komando Jihad. Disaat terjadi penagkapan terhadap
para pemimpin jaringan tersebut diketahui bahwa sebagian besar dari mereka merupakan para
Veteran Darul Islam. Dan salah satu diantara mereka menjelaskan dalam sebuah persidangan
terkait kontaknya dengan Ali Murtopo. Yang dimana Ali Murtopo ini merupakan salah seorang
operator intelejen. Adapun peristiwa Komando Jihad ini juga diketahui dengan nama lain seperti
“Teror Warman”.
Pada paragraph ketiga ini menjelaskan bahwa terbuktinya banyak diantara para veteran
darul islam yang dikendalikan oleh badan intelejen. Kemudian pada tahun 1980-an di
Yogyakarta terdapat sekelompok kecil mahasiswa yang menerbitkan bulletin yang bersifat semi-
rahasia yang dimana pada bulletin itu menulis terkait simpatisan terhadap jaringan Darul Islam
ini. Para editor di tangkap dan diadili. Namun banyak diantara mereka yang masih bersembunyi
dan menampakkan diri pasca jatuhnya kepemimpinan presiden Suharto.
Disini penulis kembali menjelaskan bahwa jaringan darul islam ini banyak dibentuk oleh
pesantren. Salah satunya di daerah Ngruki di Solo,yang dijalankan oleh Kiyai Abdulla Sungkar
dan Kiyai Abu Bakar Ba’asyir. Pihak berwenang pun sampai mengaitkan kedua guru besar ini
dengan Komando Jihad yang berakhir dengan ukuman di penjara. Selepasnya dari penjara kedua
guru besar ini mengungsi ke Malaysi. Disini penulis menjelaskan hasil wawancara dengan
Aktivis NII/TII yang diasingkan ke Malaysia pada tahun 1989. Adapun hasil wawancaranya
menjelaskan bahwa Kedua Guru besar tersebut merupakan pendatang baru dalam gerakan.
Namun didalam persidangan peran mereka dalam gerakan seolah-olah dibesar-besarkan guna
memberatkan DDII.
Kemudian pada pertengahan tahun 1980-an. Sebagai bentuk tanggapan dari
diberlakukannya pancasila sebagai dasar Negara yang dianggap mengesampngkan hal-hal berbau
islam serta penindasan kekerasan terhadap kerusuhan yang terjadi di pelabuhan tanjung priok
jakarta, terjadilah gelombang insiden pada bulan September 1984. Masuk diantaranya insiden
pengeboman Borobudur, kemudian beberapa cabang bank besar yang dimiliki oleh salah satu
mitra bisnis Cina Suharto. Pengadilan yang dicurangi setelahnya melibatkan tersangka aktivis
NII/TII serta dua kritikus Suharto yang terkenal dan dikenal secara internasional. Lagi-lagi
beberapa anggota jaringan NII/TII ditangkap; namun sebagian lainnya tetap di bawah tanah di
Indonesia atau melarikan diri ke Malaysia, yang menjadi surga bagi berbagai lawan Orde Baru.
Dari Malaysia, puluhan dan mungkin ratusan bahkan ribuan orang Indonesia melakukan
perjalanan ke Pakistan dan Afghanistan, untuk terlibat dalam jihad dan menerima pelatihan
gerilya. Kontak yang saya lakukan dengan beberapa pengungsi Indonesia di Malaysia pada akhir
1980-an menunjukkan bahwa kelompok NII/ TII tidak hanya mencakup orang-orang dari
berbagai daerah di Jawa tetapi juga para aktivis dari Sulawesi. Separatis Aceh, yang saat itu juga
banyak tinggal di Malaysia, tidak dianggap sebagai bagian dari NII/TII tetapi berhubungan
dengannya, dan diduga juga mengirim orang ke Pakistan untuk pelatihan.
Gerakan darul islam pada tahun-tahun tersebut terbukti dengan pandangan ideolig mereka
yang tidak koheren terkait cita-cita mereka dalam membangun Negara islam. Darul islam saat itu
lebih kepada gerakan politik bukan gerakan keagamaan. Yang diamana para pengikutnya
menganut islam salafi yang menghambat perkembangan hubungan dengan beberapa jaringan
yang muslim Malaysia yang tradisionalis dalam hal ritual ibadah dan doktrin. Sebuah studi baru-
baru ini yang unik dari bagian dari gerakan, berdasarkan wawancara dengan peserta serta catatan
polisi, adalah tesis oleh Abdul Syukur,Gerakan Usroh di Indonesia: kasus peristiwa Lampung
1989[ItuUsrohpergerakan di Indonesia: kasus peristiwa Lampung 1989], Skripsi S-2, Jurusan
Sejarah, Universitas Indonesia, 2001. antara konsepsi puritan mereka tentang Islam dan tindakan
politik mereka. Cita-cita Islam mereka sangat tidak ideologis dan tidak memerlukan visi yang
jelas tentang sifat negara Islam mereka.
Kampus Islam

Anda mungkin juga menyukai