Anda di halaman 1dari 10

RANGKUMAN

GENDER DAN FEMINISME


“Mewujudkan Keluarga Dan Generasi Emas : Mengatasi Krisi Maskulinitas Dan
Dominasi”

Dosen Pengampu: Dr. Mohammad Sodik, S.Sos, M.Si

Oleh :

Nama : Lalu Pradipta Jaya Bahari

NIM : 21200012039

Kelas : I/D

PSIKOLOGI PENDIDIKAN ISLAM

FAKULTAS PASCASARJANA

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA

YOGYAKARTA

2022
A. Pengantar
Gerakan perempuan di Indonesia memiliki dampak positif seperti
perubahan peran, tanggung jawab, dan relasi keluarga. Dari yang sebelumnya
bersifat rigit dan subordinasi menjadi lebih fleksibel. Hal ini dikarenakan
banyaknya program-program strategis pemberdayaan perempuan sehingga
memperluas akses perempuan ke ranah publik kemudian semakin canggihnya
alat-alat rumah tangga serta banyaknya penafsiran agama yang
memperbolehkan fleksibilitas peran dan tanggung jawab dalam keluarga. Hal
ini tidak selamanya berdampak positif jika tidak diimbangi dengan semakin
banyaknya laki-laki yang masuk ke ranah domestik dan pengasuhan. Hal ini
dikarenakan secara sosial masyarakat, keluarga besar, dan penafsiran agama
yang belum bisa menerima konsep tentang bapak rumah tangga. Bahkan
secara ekonomis pun belum ada kebijakan dan program pemerintah yang
merespon terkait bapak rumah tangga.
Beberapa dampak negatif yang terjadi akibat perubahan ini di
antaranya adalah beban berlebihan yang didapatkan oleh perempuan,
kemudian terjadiya krisis maskulinitas karena sejatinya secara tradisional dan
peran serta tanggung jawab seorang laki-laki adalah sebagai pencari nafkah
yang masuk ke ranah publik. Lalu tingginya angka gugat cerai yang
disebabkan karena kemandirian ekonomi perempuan yang tinggi. Namun
semuanya akan kembali lagi menjadi positif jika fleksibilitas peran dan
tanggung jawab keluarga berdasarkan kesepakatan dan komitmen bersama.
Terlepas dari semua itu jika dikemudian hari terjadi perubahan yang di
akibatkan sebuah kesalahan baik dari istri maupun suami, tidak harus
diselesaikan dengan kekerasan ataupun pisah ranjang. Namun bisa
diselesaikan dengan cara damai seperti misalkan melakukan bulan madu ke-
dua kemudian musyawarahkan bersama terkait permasalahan-permasalahan
yang terjadi. Dengan begini angka KDRT serta penikahan dini dapat ditekan
ke angka yang lebih rendah lagi.
B. Dinamika Ancaman Dan Dampak
Perubahan sosial budaya dan teknoloi di era global ini tidak hanya
terjadi di masyarakat namun juga terjadi di ranah keluarga. Perubahan sosial
ini termanifestasi pada tanggung jawab, relasi dan peran suami istri serta
anggota keluarga lainnya.
1. Penafsiran Keagamaan Terkait Keluarga
Penafsiran keagamaan mulai bermunculan dalam membahas
terkait masalah peran dan tanggung jawab suami istri. Penafsiran yang
tekstual cenderung melihat peran, status, dan tanggung jawab laki-laki
lebih dominan daripada perempuan. Namun sebaliknya penafsiran secara
kontekstual melihat peran, status, dan tanggung jawab laki-laki dan
perempuan sama, seimbang dan egaliter. Namun di antara penafsiran di
atas terdapat penafsiran secara moderat yang cenderung mempersepsikan
peran, status, dan tanggungjawab laki-laki itu berbeda namun saling
melengkapi satu sama lain.
Secara umum kalangan feminis memberikan gambaran terkait
peran, tanggung jawab status dan relasi suami istri dan anggota keluarga
lainnya. Pertama adalah teori different-Maximizer teori ini seolah
menganggap peran suami dan istri sangat berbeda. Perbedaan ini pun
bukan untuk saling mengungguli ataupun mendominasi satu sama lain.
Namun untuk saling melengkapi satu sama lain. Hal ini didasari
kepribadian perempuan yang cederung memiliki kasih sayang yang tinggi
kemudian cinta damai serta lebih dekat dengan anak-anaknya sehingga
mendapatkan peran secara domesti yaitu mengasuh anak. Sedangkan laki-
laki yang berperan mencari nafkah dan urusan publik. Teori yang ke dua
yakni teori sameness –minimizer yang berargumen bahwa suami dan istri
itu sama dan memiliki peran dan tangung jawab yang sama. Di satu sisi
suami dan istri memiliki peran yang sama dalam membesarkan dan
mengasuh anak namun disisi lain juga berhak mencari nafkah dan
berperan di ranah publik.
2. Peraturan Dan Perundang-Undangan
Peraturan dan perundang-undangan yang berkaitan dengan
persoalan gender dan perlindungan anak sudah ada di Indonesia.
Beberapa diantaranya seperti;
a. UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974
b. Instruksi presiden No. 9 Tahun 2000 tentang pengarusutamaan gender
c. UU No. 23 Tahun 2004 tentang penghapusan kekerasan dalam rumah
tangga
d. Permen tenaga kerja No. 3 Tahun 1989 tentang larangan PHK bagi
pekerja perempuan
e. UU perlindungan anak No. 23 Tahun 2002
f. Peraturan menteri Negara pemberdayaan perempuan dan perlindungan
anak No. 12 Tahun 2011 tentang kota layak anak.

Selain peraturan dan undang-undang diatas masih ada juga peraturan dan
undang-undang yang membahas tentang perkawinan yang terkait dengan
aturan agama seperti UU pernikahan Pasal 1 ayat (1) No. 1 Tahun 1974
tentang perkawinan menegaskan bahwa “perkawinan adalah sah apabila
dilakukan menurut hokum masing-masing agama dan kepercayaan itu”
selanjutnya bagi masyarakat muslim dalam instruksi presiden No. 1
Tahun 1991 lebih ditegaskan lagi “perkawinan adalah sah apabila
dilakukan menurut hukum islam yang sesuai dengan pasal 2 ayat (1)
Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan.”
Secara psikologis dijelaskan kembali terkait masalah perkawinan
bahwasanya terapat pengaruh psikologi terhadap keluarga dalam menjaga
keutuhan keluarga. Semisal seperti kematangan emosi, persiapan mental,
kemampuan berintraksi, hingga skill dalam melakukan pekerjaan.
3. Akses Pendidikan
Akses pendidikan memiliki peranan penting terhadap cara
pandang dalam melihat persoalan di keluarga. Hal ini dikarenakan
meningkatnya gerakan kesadaran akan kesetaraan anatara laki-laki dan
perempuan yang dikawal oleh para feminis di Indonesia yang memiliki
tujuan untuk menciptakan kehidupan yang lebih baik bagi para
perempuan. Para feminis ini bergerak hampir di seluruh ranah kehidupan
seperti ekonomi, politik, agama, sosial, kesehatan, media dan bahkan di
ranah pendidikan.
Hal ini juga menimbulkan persoalan bahwasanya gerakan feminis
ini hanya terfokus pada persoalan perempuan saja dan tidak diimbangi
dengan persoalan laki-laki. Oleh karena itu lulusan terbaik yang berbicara
tentang feminis lebih banyak para perempuan.
4. Persoalan Seputar Keluarga Kontemporer
Persoalan keluarga yang muncul akibat dari beragamnya
penafsiran tentang gender, perundang-undangan serta akses pendidikan di
Indonesia cukup kompleks. Adapun yang paling menonjol yakni
Perceraian, Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Pernikahan Anak, dan
Beban Berlebih Bagi Perempuan.
a. Perceraian
Pada tahun 2010, terdapat 251.208 kasus gugat cerai, angka ini
meningkat pada tahun 2014 dengan jumlah 382.211. penelitian “Tren
Cerai Gugatdi kalangan muslim Indonesia” yang dilakukan di tujuh
daerah yakni aceh, padang, cilegon, indramayu, banyuwangi,
pekalongan, dan ambon mendapati empat penyebab tingginya angka
cerai gugat, yaitu ketidakharmonisan keluarga, tidak ada tangung
jawab antara suami dan istri, gangguan pihak ketiga, dan ekonomi.
b. Kekerasan Dalam Rumah Tangga
Pada 2010 terjadi sekitar 105.103 kasus, jumlah ini meningkat
pada 2011 menjadi 119.107 kasus. Pada 2016 Komnas Perempuan
melaporkan bahwa berdasarkan data dari Pengadilan Agama dan Mitra
Pengadaan Layanan, angka kekerasan atas perempuan 259.150 kasus.
Komnas Perempuan membagi kekerasan atas perempuan dalam tiga
ranah, yaitu ranah Personal, masyarakat dan negara. Berdasarkan
pengaduan langsung ke Komnas Perempuan, Kekerasan pada ranah
personal (KDRT) pada posisi tertinggi yaitu 903 kasus dari total kasus
1.022 pengaduan.
c. Pernikahan Anak
Data dari Pengadilan Agama menunjukkan bahwa angka
pernikahan anak juga meningkat, mencapai 30,5% pada 2011, dan
32,49% pada 2012. Data ini terlihat dengan jelas tren kenaikan
pernikahan anak di Indonesia. Data dari Badan Kependudukan dan
Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) juga menunjukkan tingginya
pernikahan di bawah usia 16 tahun di Indonesia, yaitu mencapai 25%
dari jumlah pernikahan yang ada. Bahkan di beberapa daerah
persentasenya lebih besar, seperti Jawa Timur (39,43%), Kalimantan
Selatan (35,48%), Jambi (30,63%), Jawa Barat (36%), dan Jawa
Tengah (27,84%). Demikian juga temuan Komisi Perlindungan Anak
Indonesia (KPAI) di kawasan pantai utara Jawa, perkawinan anak
mencapai 35%, 20% di antaranya dilakukan pada usia 9—11 tahun.
Penelitian Remaja membuktikan bahwa ada korelasi positif
antara pernikahan dini dan angka perceraian di Indonesia. Artinya,
semakin banyak pernikahan anak maka akan semakin tinggi tingkat
perceraian di Indonesia. Faktor yang menyebabkan terjadinya
pernikahan dini adalah masalah ekonomi keluarga, rendahnya tingkat
pendidikan, faktor orang tua, media massa, lingkungan, dan faktor
adat. Dampak yang ditimbulkan dari pernikahan dini meliputi dampak
pada suami-istri yaitu terjadinya pertengkaran dan percekcokan kecil
dalam rumah tangganya. Remaja pada usia antara 13—18 tahun
dianggap belum matang secara psikologis sehingga dinilai masih
terlalu muda untuk melangsungkan pernikahan, hal inipun diikuti
belum matangnya mental serta kematangan fisik terutama bagi pihak
perempuan.
d. Beban Berlebih Bagi Perempuan
. Pada era globalisasi ini terjadi perubahan pola keluarga yang
tradisional-feodal ke modern. Hal ini dapat menimbulkan persoalan
kesetaraan gender jika tidak dibicarakan dan dikomunikasikan dengan
baik pada anggota keluarga, sebagaimana dijelaskan pada bab
sebelumnya.
Keluarga tradisional feudal wilayah publik dan produksi
ditangani oleh laki-laki sedangkan wilayah domestik dan reproduksi
dilakukan oleh perempuan. Untuk keluarga urban modern, wilayah
publik dan produksi sudah banyak dilakukan oleh laki-laki dan
perempuan. Sedangkan wilayah domestik dan reproduksi secara jelas
dilakukan perempuan namun masih menjadi tanda tanya bagi laki-laki.
Hal ini dapat dimengerti karena jika perempuan masuk ke dunia publik
dan produksi dia akan diapresasi secara ekonomi, sosial dan psikolgis.
Sebaliknya hal itu tidak akan terjadi jika suami/laki-laki masuk ke
dunia domestik dan reproduksi. Walaupun perlu dicatat bahwa
terkadang persoalan ini hanya terjadi pada kelas menengah ke atas.
Untuk konteks Indonesia, perempuan kelas menengah ke bawah sudah
terbiasa dengan berbagi tanggung jawab domestik-publik dan
reproduksi-produksi dengan pasangannya.
Dampak dari ketidakadilan dan ketidaksetaraan ini tak jarang
menjadi beban berlebih bagi perempuan. Di masyarakat, masih banyak
diyakini bahwa perempuan mempunyai lima peran, yaitu sebagai ibu
dengan pekerjaan pengasuhan, istrl yang senantiasa melayani suami,
pencari nafkah di saat keluarga membutuhkan income lebih untuk
memenuhi kebutuhannya, anggota masyarakat yang terlibat aktif di
organisasi kemasyarakatan ataupun keagamaan, dan anak perempuan
yang menjaga orang tuanya saat sudah renta. Sementara kebanyakan
masyarakat meyakini peran laki-laki/ayah hanya sebagai pencari
nafkah dan terlibat di kegiatan sosial kemasyarakatan dan keagamaan.
pembinaan keluarga menuju keluarga berkualitas dan mandiri
merupakan tanggung jawab keluarga sendiri, masyarakat, dan negara.
sebagai pelaksana tanggung jawab negara, pemerintah berkewajiban
menyiapkan regulasi dan fasilitas bagi teriaksananya pembinaan
keluarga. selain itu, jika kenyataannya masih banyak keluarga yang
tidak mampu untuk mewujudkan keluarga yang berkuaIitaS dan
mandiri tersebut, pemerintah juga harus mengambil alih dan
melaksanakan kewajiban keluarga yang dimaksud.
C. Peluang Mewujudkan Keluarga Setara Dan Generasi Emas
Berbicara masalah kesetaraan gender termasuk di dalam keluarga,
Indonesia mempunyai modal yang baik. Paling tidak ada empat hal yang
menjadi modal dasar nilai kesetaraan gender di Indonesia yaitu, filsafat Jawa,
budaya, bahasa, dan pengalaman sejarah. Istilah garwo, sebutan istri atau
suami singkatan sigaraning nyowo (separuh nyawa) membawa konsekuensi
bahwa tanggung jawab perempuan pada keluarga relatif sama dengan laki-
laki. Artinya, pembagian peran laki-laki dan perempuan dalam adat Jawa
lebih pada persoalan teknis.
Keberadaan para ratu dalam sejarah Nusantara menjadi bukti bahwa
Indonesia mempunyai toleransi pada masalah gender. Misalnya di Jawa ada
Ratu Sima di Jawa Tengah-Kalingga, Tri Buana Tungga Dewi di Jawa Timur-
Majapahit, SultanaAceh selama empatperiode atau 58 tahun (1641—1699),
Ratu Siti Aisyah We Tenriolle (Temate, 1856) dan juga Bundo Kandung di
Minangkabau.
Namun demikian, tidak dapat dipungkiri bahwa ada juga budaya Jawa
yang mempunyai nilai-nilai ketidaksetaraan seperti istilah surgo nunut neroko
katut (ke surga ikut, ke neraka terbawa) dan perempuan identik dengan kasur,
dapur, pupur (kasur, dapur, bedak) atau manak, masak dan macak
(melahirkan, memasak, berdandan) yang cukup populer di masyarakat.
Karena itu tidak mengherankan jika dalam kehidupan sosial, perempuan jika
sudah menikah maka dia akan kehilangan namanya dan dia akan dipanggil
nama suaminya.
Keberadaan organisasi besar Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama
serta perguruan tinggi agama Islam ikut menyangga kehidupan kesetaraan
gender dan ketahanan keluarga. Sampai saat ini, tiga Pilar ini masih kuat
dalam menyangga kehidupan keislaman yang moderat progresif. Namun, jika
tiga Pilar ini sudah mulai ada kecenderungan mengadopsi pemahaman
tekstual, maka akan sulit menjaga Islam moderat-progresif di Indonesia.
Gerakan perempuan yang menjunjung tinggi nilai-nilai keluarga serta
mampu mensosialisasikan hak dan kewajiban dalam keluarga serta
menghilangkan dominasi dan mengedepankan negosiasi juga akan menjadi
peluang untuk dikembangkan. Selama ini, masih banyak gerakan perempuan
yang lebih mengedepankan hak tanpa dibarengi cara berkomunikasi dan
bernegosiasi dengan pasangannya saat terjadi persoalan di keluarga. Bahkan,
ada beberapa feminis muda yang memilih tidak menikah karena ada
kekhawatiran tidak dapat mewujudkan keluarga samawa pada keluarga yang
heterokseksual yang cenderung patriarkis. Padahal, banyak contoh keluarga
feminis Islam yang mempunyai keluarga samawa walaupun dalam koridor
heteroseksual.
Selain itu, masih banyak keluarga yang sulit memperoleh pendidikan
dan pelayanan kesehatan berkualitas, yang tinggal di wilayah rawan pangan,
wilayah rawan bencana, dan daerah tinggi. Inisiasi RUU Ketahanan Keluarga
perlu dilihat lebih cermat secara subtantif yang dapat mengantarkan Keluarga
dan generasi emas 2045. Inisiator berargumen bahwa Badan Kependudukan
dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) sebagai salah satu institusi yang
melaksanakan program ketahanan keluarga, menempatkan program ketahanan
keluarga sebatas pendukung program Keluarga Berencana. Ketahanan
keluarga Indonesia membutuhkan kebijakan menuju tindakan. Keberadaan
keluarga sebagai pranata sosial memiliki peran yang sangat besar bagi
perkembangan suatu negara.
Keluarga zaman now dituntut mempunyai fleksibilitas peran dan
tanggung jawab dengan mengedepankan nilai-nilai kesetaraan dan keadilan
dalam keluarga. Persoalan produksi, reproduksi, domestik, dan publik adalah
tanggung jawab bersama. Suami atau istri yang Icbih banyakberperan di
masing_ masing ranah tersebut akan sangat tergantung pada kesepakatan
keluarga tersebut. Kesepakatan tersebut diputuskan berdasarkan konteks dan
peluang yang terjadi serta perlindungan dan tumbuh kembang anggota
keluarga.
Anak dan remaja pada 2019-an ini pada 2045 kedepan adalah aset
bangsa yang menjadi bonus demografi yang akan menjadi pemimpin negeri
ini. Karena itu, perlu menjadi perhatian yang serius dalam pembentukan
karakternya dan juga mengarahkan dan membimbingnya serta melindunginya
dari pernikahan anak, kekerasan, perdagangan, pornografi, dan nilai-nilai
yang tidak sesuai dengan budaya Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai