Anda di halaman 1dari 21

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Akhir abad ke 19 merupakan momentum bagi kebangkitan dunia Islam.

Kesadaran ini muncul setelah dunia Islam melihat perputaran roda sejarah

berbalik, dunia Barat maju dan dunia Islam terpuruk, bahkan Islam menjadi

bulan-bulanan dunia Barat yang Kristen itu. Dari realitas sejarah ini kemudian

muncul gerakan yang mencoba untuk melakukan otokritik secara kritis dengan

cara melakukan evaluasi sebab-sebab terjadinya perputaran roda sejarah yang

berbalik itu.

Permulaan abad ke-20 merupakan masa kebangkitan ummat Islam.

Gerakan-gerakan modern Islam itu muncul bersamaan dengan lahirnya kesadaran

Nasional dalam wujud pergerakan Nasional. Kedua pergerakan tersebut berjalan

seiring dalam mewujudkan cita-cita bangsa Indonesia untuk memperoleh

kemerdekaan. Bagi umat Islam, usaha-usaha untuk menuju cita-cita ini di tempuh

dalam bentuk organisasi-organisasi Islam dengan corak dan gayanya yang

berbeda. Masing-masing ditentukan oleh lingkungan kedaerahan, pengaruh

kepribadian tokoh-tokoh, dan tantangan yang dihadapi dari dalam maupun dari

luar lingkungan masyarakat Islam.1

Gerakan ini lebih mengemuka di hampir dunia Islam pada abad ke 20

dengan nama gerakan pembaharuan pemikiran Islam. Tema sentral ide

pembaharuan pemikiran dalam Islam di atas terletak pada kata kunci I’adatu al-

Islam, yakni keinginan masyarakat Islam untuk mengembalikan peran dunia Islam
1
Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1990-1942 (Jakarta: LP3S, 1985), p.95.
dalam percaturan global peradaban dunia, yang dulu pernah dilakukan Islam.

Salah satu wujud dari I’adatu al-lslam itu adalah lajdid al-fahm, yakni

memperbaharui kembali cara pandang dalam menjawab problematika yang

berkembang dengan kembali kepada al-Quran dan al-Hadis. Tajdid al-fahm ini

dilakukan karena kemunduran dunia Islam diakibatkan penempatan qaul ulama

abad pertengahan dijadikan rujukan utama dalam menjawab persoalan

kontemporer sehingga yang terjadi kemudian adalah bias-bias dan kekakuan

karena qaul itu sendiri muncul dan dirumuskan berdasarkan setting sosial oleh

ulama ketika masih hidup. Adapun tema sentral gerakan untuk memulihkan dunia

Islam adalah pemurnian akidah, ibadah dan semangat ijtihad di tengah masyarakat

singkretik dan masyarakat yang berorientasi taklid.2

Di pentas sejarah, organisasi pembaharuan Islam di Indonesia yang

memiliki ciri sebagai gerakan Tajdid di antaranya Muhammadiyah yang berdiri

pada tahun 1912 di Yogyakarta, Al-Irsyad di Jakarta, dan Persatuan Islam (Persis)

yang berdiri di Bandung pada tahun 1923. Semua gerakan ini berdasarkan ajaran-

ajaran salaf atau reformis.

Persatuan Islam atau yang disingkat menjadi PERSIS, adalah salah satu

gerakan pembaharuan yang berdiri di Bandung pada hari Rabu, tanggal 12

September1923 M / 1 Safar 1342 H., tepatnya di salah satu gang kecil yang

bernama Pakgade. Di gang ini banyak berkumpul para saudagar, yang saat itu

disebut Urang Pasar. Awal mula pembicaran pendirian PERSIS, didasarkan

pembicaraan awal antara Mohamad Zamzam dan Mohamad Yunus. Persis

2
Tiar Anwar Bachtiar dan Pepen Irfan Fauzan, Persis dan Politik; Sejarah Pemikiran dan
Aksi Politik Persis 1923-1997. (Jakarta: Pembela Isam, 2012), p.6.
bermula dari sebuah kelompok diskusi keagamaan. Diskusi-diskusi itu diadakan

secara berkala di rumah salah seorang anggota kelompok yang berasal dari

sumatera tetapi telah lama tinggal di Bandung.

Berdasarkan topik pembicaraan yang sering didiskusikan oleh kelompok

studi itu, maka latar belakang berdirinya Persis bisa diasumsikan sebagai berikut:

pertama, dan ini yang utama, adalah persoalan kemunduran masyarakat Islam.

Ketika itu, keadaan umat Islam di Indonesia pada umumnya tenggelam dalam

sikap taqlid (sikap membeo), perbuatan bid’ah, churafat, takhayul (mistis) yang

biasa disebut oleh kalangan reformis sebagai penyakit TBC. Karena itu, mereka

berusaha mengadakan pembaharuan sekaligus pemurnian ajaran Islam pada

masyarakat Islam Indonesia dengan slogan yang terkenal “kembali kepada Al-

Quran dan As-Sunnah”.3

Adanya pemahaman pemurnian agama ini memperlihatkan adanya

pengaruh paham keagamaan dari Timur Tengah. Ini adalah faktor yang kedua.

Indikasi ini terlihat bahwasannya para anggota kelompok studi itu dengan kritis

mangaji persoalan keagamaan yang dikupas oleh para reformis melalui corongnya

majalah al-Munir yang disunting Abdullah Ahmad di Padang, dan majalah al-

Manar yang memuat tulisan Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha di Mesir. 4

Persis sebagai organisasi didirikan untuk memperluas diskusi-diskusi

keagamaan yang selama ini diselenggarakan agar isu yang didiskusikan tidak

hanya diketahui di kalangan mereka. Perluasan itu dilakukan dengan cara

mengeluarkan terbitan-terbitan hasil diskusi, mengadakan perdebatan-perdebatan

3
Ibid., 30
4
Ibid., 31
dengan berbagai pihak, dan menghadiri undangan-undangan diskusi atau

menyelenggarakan diskusi sejenis di tempat lain. Tradisi semacam ini hanya bisa

diperbandingakan dengan berbagai studie club yang marak didirikan di berbagai

kota besar pada tahun 1920 dan 1930-an oleh anak-anak muda yang nantinya

menjadi tokoh-tokoh pergerakan seperti Sukarno, Sutomo, Wahidin, dan

sebagainya.5

Oleh karena perannya dalam bidang pemikiran keagamaan lebih menonjol,

banyak tokoh pemikir keagamaan dari organisasi-organisasi yang sudah berdiri

lebih dulu begabung dalam persis. Contohnya Mohammad Natsir, anggota Jong

Islamitie Bond, yang tertarik pada persis setelah pertemuannya dengan A. Hassan

dan diskusi-diskusi keagamaan Persis di Bandung. Selain itu tercatat pula Sabirin,

seorang tokoh penting Sarekat Islam, sebagai anggota Persis. Tercatat pula Hamka

dan Muhammad Hasbi Ash-Shiddiqy.6

Ketertarikan para tokoh organisasi pergerakan lain kepada persis terutama

setelah kedatangan A. Hassan yang memberi corak dan warna tersendiri pada

gerakan dan pemikiran Persatuan Islam. Diskusi-diskusi A. Hassan di forum-

forum pengkajian Persis dan publikasinya yang menjadi rujukan kelompok

pembaharu di seluruh Nusantara selalu menarik perhatian. Pikiran-pikiran A.

Hassan dan kolega-koleganya di Majelis Ulama Persatuan Islam selalu menjadi

rujukan. Bahkan sampai masa-masa berikutnya, tulisan-tulisan A. Hassan menjadi

5
Pepen Irpan Fauzan, Persatuan Dalam Perbedaan, Pergulatan Pemikiran dan Praktik
Politik Persatuan Islam 1930-1960 (Bandung: Granada,2005),p.3.
6
Ibid., 4.
rujukan penting bagi anggota organisasi pembaharu yang lain dalam masalah

hukum agama.7

Sebagai organisasi yang menekankan kegiatannya pada kajian keagamaan,


persis memang bukan organisasi politik, dalam artian formalistik. Secara formal,
persis adalah organisasi sosial-keagamaan. Walaupun demikian, bukan berarti
Persis mengacuhkan sama sekali masalah politik. Persis pun turut serta
berkecimpung dalam wacana pergerakan-kekuasaan. Orientasi politik Persis
bahkan dianggap mempunyai atau mewakili suatu sudut pandang yang khas.8

Persis memang turut berkecimbung dalam dunia politik, bisa diindikasikan


dari anggota-anggotanya yang banyak berpartisipasi dalam partai politik sejak
tahun 1930-an. Elite Persis pun banyak yang merangkap jabatan dengan Syarekat
Islam (SI), sebuah organisasi yang berhaluan politik. Ketika terjadi pertentangan
dengan SI dan dikeuarkan dari organisasi itu, elite Persis pun tidak berhenti akatif
dalam poitik. Mereka mendukung partai politik baru, yakni Partai Islam Indonesia
(PII). Bahkan, PII cabang Bandung dan umumnya wilayah Jawa Barat dikuasai
eite Persis.9

Setidak-tidaknya, ada dua faktor utama yang mendorong elite dan anggota

Persis terlibat aktif dalam politik sejak akhir tahun 1920-an dan awal tahun 1930-

an. Pertama, timbulnya ancaman eksternal saat itu, ancaman politik kristenisasi

yang dilancarkan oleh para misi dan zending kristen yang didukung Pemerintah

Kolonial Belanda. Jadi umat Islam menghadapi dua lawan sekaligus: Zending

Kristen dan Kolonial Belanda. Keduanya bersatu, bahu-membahu, mengikis Islam

dari Indonesia. Walaupun secara resmi pemerintah Belanda menyatakan sikap

7
Ibid
8
Tiar Anwar Bachtiar dan Pepen Irfan Fauzan, Persis dan Politik; Sejarah Pemikiran dan
Aksi Politik Persis 1923-1997. (Jakarta: Pembela Isam, 2012), p.31.
9
Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1990-1942 (Jakarta: LP3S, 1985),
p.177.
netral dalam urusan agama, namun dalam praktinya ada kebijakan-kebijakan yang

berbentuk dukungan terhadap golongan-golongan tertentu, khususnya Kristen.10

Faktor kedua yang juga memperkuat cita-cita politik keislaman kalangan

Persis pada periode ini adalah bangkitnya kalangan nasionalis sekuler yang

dipelopori PNI dengan tokoh utamanya Ir. Soekarno. Cita-cita radikal PNI, seperti

yang dipropagandakan oleh Ir. Soekarno, merupakan daya tarik bagi kalangan

muda terpelajar, termasuk kalangan muda Persis. Pandangan intelektual-

intelektual Persis seperti Fakhrudin Al-Kahiri, M. Natsir, dan yang paling

menonjol, A. Hassan tersebar dalam berbagai tulisan yang menyatakan penolakan

terhadap ide-ide nasionalisme dari kalangan yang dianggap sekuler seperti

Soekarno. Mereka menolak nasionalisme yang tidak didasarkan pada ajaran-

ajaran agama.11

Penelitian Gerakan Politik Persis penting dilakukan, karena pola-pola

pergerakan politik Persis berbeda dengan organisasi yang lain, kemudian

penelitian terhadap aktivitas politik Persis sangat jarang dilakukan, sehingga

orang tidak mengetahui perjalanan politik Persis yang kemudian beranggapan

bahwa Persis apatis terhadap Politik.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan dari latar belakang yang dipaparkan diatas, dapat ditarik

sebuah rumusan masalah sebagai berikut:

1. Bagaimana Gerakan Politik Persatuan Islam Tahun 1923-2010 ?

10
Tiar Anwar Bachtiar dan Pepen Irfan Fauzan, Persis dan Politik; Sejarah Pemikiran dan
Aksi Politik Persis 1923-1997. (Jakarta: Pembela Isam, 2012), p.32.
11
Ibid., 33.
C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan peninjauan dalam permasalahan yang telah dipaparkan oleh

penulis sebelumnya, yang menjadi tujuan dalam penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui Gerakan Politik Persatuan Islam Tahun 1923-2010

D. Pembatasan Masalah

Penelitian ini dibatasi hanya pada permasalahan Gerakan Politik Persatuan

Islam 1923-2010.

E. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis

Dengan tujuan yang ditetapkan diatas, hasil penelitian ini diharapkan dapat

berguna bagi berbagai pihak, diantaranya: Penelitian ini diharapkan dapat

memberikan sumbangan bagi pengembangan ilmu-ilmu sosial, khususnya ilmu

politik. Pengembangan tersebut diharapkan bisa menjadi bahan materi bagi

perkuliahan dan penelitian-penelitian selanjutnya yang berkenaan dengan kajian

pemikiran politik Islam.

2. Manfaat Praktis

Penelitian ini diharapkan menjadi manfaat bagi peneliti untuk

mengembangkan ilmu pengetahuan dan diharapkan dapat menjadi masukan

seluruh civitas akademika Universitas Siliwangi dan menjadi bahan rujukan atau

referensi bagi mahasiswa Fisip Unsil dalam memahami Gerakan-Gerakan politik

Islam Indonesia.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Sejarah Berdirinya Persatuan Islam

Persatuan Islam atau yang disingkat menjadi PERSIS, adalah salah satu

gerakan pembaharuan yang berdiri di Bandung pada hari Rabu, tanggal 12

September1923 M / 1 Safar 1342 H., tepatnya di salah satu gang kecil yang

bernama Pakgade. Di gang ini banyak berkumpul para saudagar, yang saat itu

disebut Urang Pasar. Awal mula pembicaran pendirian PERSIS, didasarkan

pembicaraan awal antara Mohamad Zamzam dan Mohamad Yunus.

Persis bermula dari sebuah kelompok diskusi keagamaan. Diskusi-diskusi

itu diadakan secara berkala di rumah salah seorang anggota kelompok yang

berasal dari sumatera tetapi telah lama tinggal di Bandung. Sejak berdirinya Persis

memang merupakan organisasi yang lebih menekuni masalah-masalah pemikiran

keagamaan daripada masalah lain.

Berdasarkan topik pembicaraan yang sering didiskusikan oleh kelompok

studi itu, maka latar belakang berdirinya Persis bisa diasumsikan sebagai berikut:

pertama, dan ini yang utama, adalah persoalan kemunduran umat Islam. Ketika

itu, keadaan umat Islam di Indonesia pada umumnya tenggelam dalam sikap

taqlid (sikap membeo, menerima segala sesuatu secara taken for granted),

perbuatan bid’ah, churufat, takhayul yang biasa disebut oleh kalangan reformis

sebagai penyakit TBC. Karena itu, mereka berusaha mengadakan pembaharuan

sekaligus pemurnian ajaran Islam pada masyarakat Islam Indonesia dengan slogan
yang terkenal “kembali kepada al-Quran dan al-Sunnah dan membersihkan Islam

dari takhayul, churafat dan bid’ah yang mengotorinya.

Adanya pemahaman pemurnian agama ini memperlihatkan adanya

pengaruh paham keagamaan dari Timur Tengah. Ini adalah faktor yang kedua.

Indikasi ini terlihat bahwasannya para anggota kelompok studi itu dengan kritis

mangaji persoalan keagamaan yang dikupas oleh para reformis melalui corongnya

majalah al-Munir yang disunting Abdullah Ahmad di Padang, dan majalah al-

Manar yang memuat tulisan Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha di Mesir.

Persis sebagai organisasi didirikan untuk memperluas diskusi-diskusi

keagamaan yang selama ini diselenggarakan agar isu yang didiskusikan tidak

hanya diketahui di kalangan mereka. Perluasan itu dilakukan dengan cara

mengeluarkan terbitan-terbitan hasil diskusi, mengadakan perdebatan-perdebatan

dengan berbagai pihak, dan menghadiri undangan-undangan diskusi atau

menyelenggarakan diskusi sejenis di tempat lain. Tradisi semacam ini hanya bisa

diperbandingakan dengan berbagai studie club yang marak didirikan di berbagai

kota besar pada tahun 1920 dan 1930-an oleh anak-anak muda yang nantinya

menjadi tokoh-tokoh pergerakan seperti Sukarno, Sutomo, Wahidin, dan

sebagainya.

Oleh karena perannya dalam bidang pemikiran keagamaan lebih menonjol,

banyak tokoh pemikir keagamaan dari organisasi-organisasi yang sudah berdiri

lebih dulu begabung dalam persis. Contohnya Mohammad Natsir, anggota Jong

Islamitie Bond, yang tertarik pada persis setelah pertemuannya dengan A. Hassan
dan diskusi-diskusi keagamaan Persis di Bandung. Selain itu tercatat pula Sabirin,

seorang tokoh penting Sarekat Islam, sebagai anggota Persis. Tercatat pula Hamka

dan Muhammad Hasbi Ash-Shiddiqy.

Ketertarikan para tokoh organisasi pergerakan lain kepada persis terutama

setelah kedatangan A. Hassan yang memberi corak dan warna tersendiri pada

gerakan dan pemikiran Persatuan Islam. Diskusi-diskusi A. Hassan di forum-

forum pengkajian Persis dan publikasinya yang menjadi rujukan kelompok

pembaharu di seluruh Nusantara selalu menarik perhatian. Pikiran-pikiran A.

Hassan dan kolega-koleganya di Majelis Ulama Persatuan Islam selalu menjadi

rujukan. Bahkan sampai masa-masa berikutnya, tulisan-tulisan A. Hassan menjadi

rujukan penting bagi anggota organisasi pembaharu yang lain dalam masalah

hukum agama.

Berdirinya organisasi Persatuan Islam, bersemboyan “kembali kepada al-

Qur’an dan Sunnah” , sehubungan dengan hal ini firman Allah yang berbunyi

sebagai berikut;

“Dan berpeganglah kamu sekalian dengan tali Allah, dan janganlah kamu

berpisahpisah, dan ingatlah nikmat Allah atas kamu, tatkala kamu bermusuh-

musuhan, lalu ia jinakkan antara hati-hati kamu, lantas dengan nikmat Allah

kamu jadi bersaudara, padahal, dahulunya kamu di pinggir lobang dari neraka,

tetapi Ia selamatkan kamu daripadanya; begitulah Allah terangkan kepada kamu

tanda-tanda- Nya supaya kamu mendapat petunjuk” (QS. Ali Imran: 103) .

Memang bukan perkara mudah untuk mengembalikan umat kepada kedua

ajaran pokok ini karena yang dihadapi bukan hanya sekedar masyarakat Muslim
yang secara aqa’di dan ta’abbudi sedang diliputi oleh tersebar luasnya syirik,

bid’ah, dan khurufat, dan dalam bidang ilmiah sedang diliputi kemunduran dan

kejumudan gerakan pemikiran. Melainkan dari aspek politik masyarakat Muslim

Indonesia dikuasai oleh penjajah sejak Portugis, Inggris, hingga Belanda. Yang

terakhir ini selama kurang lebih 350 tahun memaksakan kehendak kepada

masyarakat muslim Indonesia untuk diatur oleh wet (hukum, undang-undang),

utamanya pidana dan perdata oleh hukum jahiliyyah dan thagut holandiyah.

Belum lagi, masalah tatanan sosial ekonomi yang menjadikan masyarakat jajahan

yang disengsarakan. Saat itu, tidak ada yang disebut HAM karena kaum penjajah

yang umumnya orang kristiani eropa adalah para pelanggar HAM berat yang

dengan mengeruk harta kekayaan Bumi Nusantara, bahkan sekaligus dengan

membunuh kaum pribumi.

Organisasi Persatuan Islam pada awal terbentuknya melalui kenduri-

kenduri yang diadakan oleh kelompok para pedagang secara berkala dari rumah

ke rumah anggota kelompok yang berasal dari Pelembang, mereka hijrah ke

Bandung sejak abad 18, antara satu dengan yang lainnya mempunyai hubungan

kekeluargaan, dan perkawinan dan adanya kepentingan bersama dalam usaha

perdagangan serta adanya kontak antara generasi yang datang kemudian untuk

mengadakan studi agama, dan tamu-tamu lainnya yang datang pada acara tersebut

juga berasal dari orang lain di luar perkumpulan peranakan Palembang, yaitu

orang-orang yang ada di sekitar mereka berdagang.

Di antara tokoh-tokoh utama pendiri Persatuan Islam adalah Zamzam

(1894-1952) dan Muhammad Yunus. Topik pembicaraan pada saat kenduri yang
diadakan itu adalah diskusi-diskusi yang mengarah pada pendirian PERSIS dan

mengupas gagasan-gagasan reformis yang sangat popular di Sumatera, yaitu yang

dimuat di majalah al-Munir, yang terbit di Padang dan majalah yang bernama al-

Manar, majalah ini terbit di Mesir, juga konflik yang terjadi antara Jami’at al-

Khayr dengan al-Irsyad dalam masalah talafuz, niat dan berbagai persoalan

lainnya. Selain itu jama’ah cikal bakal berdirinya PERSIS juga sangat menaruh

perhatiannya terhadap organisasi-organisasi ke-Islaman lainnya seperti Syarikat

Islam, di mana saat itu mereka sedang mengalami perpecahan akibat pengaruh

faham komunis, begitu pula dengan Syarikat Islam di Bandung resmi menyokong

komunis pada kongres Nasional yang 6 di Surabaya pada tahun 1921. Hal ini

menjadi sangat menarik untuk dibicarakan oleh jama’ah cikal bakal berdirinya

PERSIS tersebut, di samping itu kalangan mayoritas kalangan ummat Islam di

Bandung khususnya menjadi sangat resah. Semua berita ini telah dibawa oleh

Fakih Hasyim dari Surabaya ke Bandung.

Dari jama’ah penela’ah tentang Islam, mereka namakan Persatuan Islam.

Saat itu pada setiap jama’ahnya selalu mengadakan hubungan antara satu dengan

yang lainnya, jadi jama’ah tersebut sebenarnya telah terbentuk tanpa hubungan

organisatoris yang resmi atau tanpa peraturan yang resmi, oleh karena itu

didirikanlah secara resmi organisasinya sehingga mempunyai peraturan resmi dan

disusun bersama, kemudian diberi nama dengan Persatuan Islam.

Berdirinya organisasi PERSIS bukan atas dasar kepentingan dari

pendirinya, namun atas dasar syi’ar Islam. Para pendiri PERSIS mendirikan

organisasi karena merasa terpanggil untuk memperbaiki ummat, dan para


pendirinya tidak mendapatkan kepentingan di dalamnya. Berdirinya organisasi

PERSIS saat itu hanya bertujuan untuk mengangkat ummat Islam dari kejumudan

berfikir dan ketertutupan pintu ijtihad.

Adanya pemahaman pemurnian agama yang dilakukan Persis

memperlihatkan adanya pengaruh paham keagamaan dari Timur Tengah. Indikasi

ini terlihat bahwasannya para anggota kelompok studi itu dengan kritis mengaji

persoalan keagamaan yang dikupas oleh para reformis melalui coromhnya

majalah al-Munir yang disunting Abdullah Ahmad di Padang, dan majalah al

Manar yang memuat tulisan Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha di Mesir.

Sebagai organisasi yang menekankan kegiatannya pada kajian keagamaan,

Persis memang bukan organisasi politik, dalam artian formalistik. Secara formal,

Persis adalah organisasi sosial-keagamaan. Walaupun demikian, bukan berarti

Persis mengacuhkan sama sekali masalah politik. Persis pun turut-serta

berkecimpung dalam wacana pergerakan-kekuasaan. Orientasi politik Persis

bahkan dianggap mempunyai atau mewakili suatu sudut pandang yang khas.

B. Arah dan Pergerkan Persatuan Islam

Organsisasi PERSIS, di awal berdirinya sudah menampakkan perbedaan

coraknya dengan kelompok pergerakan lainnya, dan berdirinya PERSIS

dititikberatkan pada pembentukan faham keagamaan, sedangkan kelompok-

kelompok pergerakan yang telah diorganisasikan, misalnya Budi Utomo, yang

didirikan pada tahun1908, pergerakannya dengan menitikberatkan pada bidang

pendidikan bagi orang-orang pribumi (khususnya orang-orang jawa), sementara

itu, Syarikat Islam yang didirikan pada tahun 1912, organisasi ini bergerak dalam
bidang perdagangan dan politik, dan Muhammadiyah yang berdiri pada tahun

1912, gerakan organisasi ini dikhususkan bagi kesejahteraan sosial masyarakat

muslim dan kegiatan pendidikan keagamaan.

PERSIS juga tidak banyak menekankan pengembangan jumlah

anggotanya, tetapi PERSIS masih tetap sebuah organisasi yang relatif kecil

dengan struktur yang longgar. sedangkan popularitas PERSIS dapat dirasakan

dibeberapa tempat, dan hal ini nampaknya terlihat pada bidang pendidikan agama

yang ditawarkannya, masjid-masjid, sikapnya yang jelas terhadap isu-isu

controversial, serta pada kontak social dan perhelatan yang diorganisasikan oleh

para aktifisnya melalui berbagai macam pertemuan, pengajian dan perdebatan,

karena itu reputasi PERSIS tidak banyak bergantung pada prestasi-prestasi

organisasionalnya, akan tetapi lebih karena kemampuannya dalam menciptakan

sebuah kesetiakawanan, sebuah ciri khas, sebuah pandangan, sebuah idiologi yang

memandang Islam sebagai inti kehidupan, dengan menggantungkan secara

langsung segala macam persoalan pada pendirian itu.

Dalam perkembangan selanjutnya perjuangan PERSIS memiliki dua

macam, yaitu: pertama: perjuangan kedalam, yang secara aktif membersihkan

Islam dari faham-faham yang tidak berdasarkan al-Qur’an dan Hadits, terutama

yang menyangkut masalah akidah dan ibadah serta menyeru ummat Islam supaya

berjuang atas dasar al-Qur’an dan Sunnah . kedua: perjuangan keluar, yang secara

aktif menentang dan melawan setiap aliran dan gerakan anti Islam yang hendak

merusak dan menghancurkan Islam di Indonesia, karena itulah segala aktifitas dan

perjuangannya ditekankan pada usaha menyiarkan, menyebarkan dan menegakkan


faham al-Qur’an dan Sunnah. Dengan demikian, usaha mengembangkan

organisasi tidak mendapat perhatian yang wajar, disamping tidak diniatkan, dan

PERSIS hanya mencari kwalitas bukan kwantitas, PERSIS mencari isi bukan

mencari jumlah.

Persis memang turut berkecimpung dalam dunia politik, bisa diindikasikan

dari anggota-anggotanya yang banyak berpartisipasi dalam partai politik sejak

tahun 1930-an. Elite Persis pun banyak yang merangkap jabatan dengan Syarekat

Islam (SI), sebuah organisasi yang berhaluan politik. Ketika terjadi pertentangan

dengan SI dan dikeluarkan dari organisasi itu, elite Persis pun tidak berhenti aktif

dalam politik. Mereka mendukung partai politik baru, yakni Partai Islam

Indonesia (PII). Bahkan, PII cabang Bandung, dan umumnya di wilayah Jawa

Barat, dikuasai elite Persis.

Setidak-tidaknya, ada dua faktor utama yang mendorong elite dan anggota

Persis terlibat aktif dalam politik sejak akhir tahun 1920-an dan awal tahun 1930-

an. Pertama timbulnya ancaman eksternal saat itu, ancaman politik kristenisasi

yang dilancarkan oleh para misi dan zending kristen yang didukung Pemerintah

Kolonial Belanda. Jadi, umat Islam menghadi dua lawan sekaligus, Zending

Kristen dan Kolonial Belanda. Keduanya bersatu, bahu-membahu, mengikis Islam

dari Indonesia. Walaupun secara resmi pemerintah Belanda menyatakan sikap

netral dalam urusan agama, namun dalam praktinya ada kebijakan-kebijakan yang

berbentuk dukungan terhadap golongan-golongan tertentu, khususnya Kristen.

Kerja sama dan saling dukung antara para Zending Kristen dengan

Pemerintah Kolonial, memunculkan image di mata pribumi muslim bahwa,


kejahatan kolonial sukar dibedakan dengan kejahatan kristenisasi. Keduanya

ibarat dua sisi tajam pada sebuah gunting. Meskipun sisinya berbeda, tapi

tujuannya sama, yakni menggunting kekuatan kaum muslim. Menghadapi

ancaman tersebut, elite Persis mengimbau dan membangkitkan kesadaran umat

Islam akan bahaya yang sedang mereka hadapi.

Tantangan kristenisasi itu memberikan hikmah, karena secara ideologis

memperkuat kelompok anggota Persis terhadap ikatan-ikatan ideoligi mereka.

Bagi elite Persis, hal itu memperkuat kesadaran politiknya bahwa Kolonialisme

menciptakan diskriminasi status dan posisi Islam dibandingkan dengan status dan

posisi Kristen.

Faktor kedua yang juga memperkuat cita-cita politik keislaman kalangan

Persis pada periode ini adalah bangkitnya kalangan nasionalis sekuler yang

dipelopori PNI dengan tokoh utamanya Ir. Soekarno. Cita-cita radikal PNI, seperti

yang dipropagandakan oleh Ir. Soekarno, merupakan daya tarik bagi kalangan

muda terpelajar, termasuk kalangan muda Persis.

Pandangan intelektual-intelektual Persis seperti Fakhrudin Al-Kahiri, M.

Natsir, dan yang paling menonjol, A. Hassan tersebar dalam berbagai tulisan yang

menyatakan penolakan terhadap ide-ide nasionalisme dari kalangan yang

dianggap sekuler seperti Soekarno. Mereka menolak nasionalisme yang tidak

didasarkan pada ajaran-ajaran agama.

Dalam tulisannya yang mengkritik tulisan Soekarno pada Majalah Panji

Islam no. 12-16 yang berjudul Memudakan Pengertian Islam, A. Hassan dengan

tegas menoak pendapat Sukarno yang mencontohkan Turki sebagai model


pembentukan negara nasional berdasarkan “nasionalisme” Turki. Ia memandang

bahwa Turki sudah mengabaikan hukum-hukum Islam alias memilih sekularisme

sebagai dasarnya. A. Hassan sendiri tidak menolak bahwa warga suatu negeri

mencintai tanah airnya sendiri dengan memberikan perhatian kepada negeri itu

secara mandiri.

C. Peran Persatuan Islam Terhadap Umat Islam

Pada dasarnya, perhatian Persis ditujukan terutama pada penyebaran

faham Alquran dan sunah. Hal ini dilakukan melalui berbagai aktivitas, di

antaranya dengan mengadakan pertemuan-pertemuan umum, tabligh, khutbah,

kelompok studi, tadarus, pendirian sekolah-sekolah (pesantren), penerbitan

majalah-majalah dan kitab-kitab, serta berbagai aktivitas keagamaan lainnya.

Dalam bidang pendidikan, pada 1924 diselenggarakan kelas pendidikan

akidah dan ibadah bagi orang dewasa. Pada 1927, didirikan lembaga pendidikan

kanak-kanak dan Holland Inlandesch School (HIS) yang merupakan proyek

lembaga Pendidikan Islam (Pendis) di bawah pimpinan Mohammad Natsir.

Kemudian, pada 4 Maret 1936, secara resmi didirikan Pesantren Persis yang

pertama dan diberi nomor satu di Bandung.

Dalam bidang penerbitan (publikasi), Persis banyak menerbitkan buku-

buku dan majalah-majalah, di antaranya majalah Pembela Islam (1929), Al-

Fatwa (1931), Al-Lissan (1935), At-Taqwa (1937), majalah berkala Al-

Hikam (1939), Aliran Islam (1948), Risalah (1962), Pemuda Persis

Tamaddun (1970), majalah berbahasa Sunda Iber (1967), dan berbagai majalah
ataupun siaran publikasi yang diterbitkan oleh cabang-cabang Persis di berbagai

tempat. Beberapa di antara majalah tersebut saat ini sudah tidak diterbitkan lagi.

Melalui penerbitan inilah, Persis menyebarluaskan pemikiran dan ide-ide

mengenai dakwah dan tajdid. Bahkan, tak jarang di antara para dai ataupun

organisasi-organisasi keislaman lainnya menjadikan buku-buku dan majalah-

majalah terbitan Persis ini sebagai bahan referensi mereka.

Gerakan dakwah dan tajdid Persis juga dilakukan melalui serangkaian

kegiatan khutbah dan tabligh yang kerap digelar di daerah-daerah, baik atas

inisiatif Pimpinan Pusat Persis, permintaan dari cabang-cabang, undangan dari

organisasi Islam lainnya, maupun atas permintaan masyarakat luas.

Pada masa A. Hassan, guru utama Persis, kegiatan tabligh yang digelar

Persis tidak hanya bersifat ceramah, tetapi juga diisi dengan menggelar perdebatan

tentang berbagai masalah keagamaan. Misalnya, perdebatan Persis dengan Al-

Ittihadul Islam di Sukabumi pada 1932, kelompok Ahmadiyah (1933), Nahdlatul

Ulama (1936), kelompok Kristen, kalangan nasionalis, bahkan polemik yang

berkepanjangan antara A. Hassan dan Ir Soekarno tentang paham kebangsaan.

Sepeninggal A. Hassan, aktivitas dakwah dengan perdebatan ini mulai

jarang dilakukan. Persis tampaknya lebih menonjolkan sikap low profile sambil

tetap melakukan edukasi untuk menanamkan semangat keislaman yang benar.

Namun, bukan berarti tidak siap untuk berdiskusi dengan kelompok yang

memiliki pandangan berbeda dalam satu bidang tertentu. Jika dibutuhkan, Persis

siap melakukan gebrakan yang bersifat shock therapy.


Dalam bidang organisasi, Persis membentuk Dewan Hisbah sebagai

lembaga tertinggi dalam struktur organisasi. Dewan Hisbah ini difungsikan untuk

meneliti masalah-masalah yang membutuhkan keputusan hukum, dan sebagai

Dewan Peneliti Hukum Islam sekaligus sebagai pengawas pelaksanaannya di

kalangan anggota Persatuan Islam, dan bertanggungjawab kepada Allah SWT

dalam setiap kinerja dan keputusan-keputusan hukum yang difatwakannya.


BAB III

KESIMPULAN

PERSIS, adalah salah satu gerakan pembaharuan yang didirikan oleh

Mohamad Zamzam dan Mohamad Yunus. Organisasi Persatuan Islam ini,

bersemboyan “kembali kepada al-Qur’an dan Sunnah dengan maksud

membersihkan Islam dari segala bid’ah, khurafat, syirik. Berdirinya organisasi

PERSIS bertujuan untuk mengangkat ummat Islam dari kejumudan berfikir dan

ketertutupan pintu ijtihad.

Pada dasarnya, perhatian Persis ditujukan terutama pada penyebaran

faham Alquran dan sunah. Hal ini dilakukan melalui berbagai aktivitas, di

antaranya dengan mengadakan pertemuan-pertemuan umum, tabligh, khutbah,

kelompok studi, tadarus, pendirian sekolah-sekolah (pesantren), penerbitan

majalah-majalah dan kitab-kitab, serta berbagai aktivitas keagamaan lainnya.

Peran persis sebagai salah satu organisasi Islam sangatlah besar,

misalnya dalam bidang pendidikan, ialah dengan menyelenggarakan kelas

pendidikan akidah dan ibadah bagi orang dewasa. Persis juga mendirikan lembaga

pendidikan kanak-kanak dan Holland Inlandesch School (HIS) yang merupakan

proyek lembaga Pendidikan Islam (Pendis). Kemudian, pada 4 Maret 1936, secara

resmi Persis mendirikan Pesantren Persis yang pertama dan diberi nomor satu di

Bandung. Dalam perkembangannya, Persis mengoordinasi pesantren-pesantren

dan lembaga-lembaga pendidikan yang tersebar di cabang-cabang Persis.


Dalam bidang penerbitan, Persis banyak menerbitkan buku-buku dan

majalah-majalah. Melalui penerbitan ini, Persis menyebarluaskan pemikiran dan

ide-ide mengenai dakwah dan tajdid.

Perkembangan selanjutnya, aktivitas Persis meluas ke aspek-aspek lain.

Orientasi Persis dikembangkan dalam berbagai bidang yang menjadi kebutuhan

umat. Mulai dari bidang pendidikan (tingkat dasar hingga pendidikan tinggi),

dakwah, bimbingan haji, zakat, sosial, ekonomi, perwakafan, dan lainnya.

Demikian makalah yang dapat penulis paparkan, semoga bermanfaat.

Anda mungkin juga menyukai